• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DAN RESOLUSI KONFLIK STUDI KASUS UMAT BERAGAMA PADA MASYARAKAT SUKU BADUY PERBATASAN DI PROVINSI BANTEN. Arsyad Sobby Kesuma

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DAN RESOLUSI KONFLIK STUDI KASUS UMAT BERAGAMA PADA MASYARAKAT SUKU BADUY PERBATASAN DI PROVINSI BANTEN. Arsyad Sobby Kesuma"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DAN RESOLUSI KONFLIK STUDI KASUS UMAT BERAGAMA PADA MASYARAKAT SUKU

BADUY PERBATASAN DI PROVINSI BANTEN

Arsyad Sobby Kesuma

Upaya dialog antar agama selama ini juga banyak dinilai cenderung elitis. Hal ini bisa dilihat dari minimnya keterlibatan masyarakat akar rumput (grass-root) dalam dialog tersebut. Kegiatan dialog agama juga cenderung banyak bicara persoalan teologis-normative. Sehingga bukan pemecahan social-empirical problem yang dihasilkan, tetapi banyak debat doktrinal yang dihasilkan.

Abstrak

Beragam budaya, agama, etnis, suku, golongan dan perbedaan lainya merupakan kenyataan yang tidak bisa diingkari dalam kehidupan di masyarakat. Setiap agama mengajarkan ajaran kemanusiaan (humanity values) seperti berbuat kebajikan, menjaga kesucian, memanusiakan manusia, dan sebagainya. Terlebih agama yang memiliki kesamaan nenek moyang seperti Islam, Kristen dan Yahudi yang sering disebut dengan abrahamic religions – agama dari keturunan Nabi Ibrahim. Azyumardi Azra menyebutnya dengan istilah ‘siblings’ – ketiganya di atas memiliki hubungan kakak dan adik. Namun, kerukunan dan kedamaian dalam masyarakat yang majemuk itu menjadi ‘barang mahal’ untuk didapatkan. Sangat sedikit dari masyarakat yang bisa saling menghargai, menghormati, hidup dengan menjunjung tinggi persaudaraan, rasa kasih sayang dan sebagainya, meskipun semua agama secara normatif mengajarkannya.

Kata Kunci: Kerukunan, Umat Beragama, Resolusi Konflik Pendahuluan

1

Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, Prodi Pemikiran Politik Islam

1 Hal ini bisa dilihat dari buku yang dihasilkan dari kegiatan Dialog antar Iman/Agama yang banyak mengupas masalah doktrin daripada realitas

Akibatnya pada dataran praktis belum banyak menghasilkan manfaat yang bisa dirasakan masyarakat. Para tokoh agama mungkin sering bertemu, tetapi bukan untuk membahas persoalan kerukunan umat beragama, tetapi untuk mendukung pencalonan pejabat. Di samping

(2)

itu, pemerintah sudah secara rutin mengadakan dialog antar umat beragama,2

Secara geografis wilayah Baduy terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LU dan 108°3’9” – 106°4’55” BT

tetapi tampaknya kurang menyentuh akar persoalan yang berkembang di masyarakat. Akibatnya kegiatan dialog lintas agama itu kehilangan ruh, seperti layaknya ‘ritual tahunan’ yang kering dan membosankan. Ada kegiatan dialog, tetapi ruh berdialog, toleransi, menghormati, berinteraksi, itu menghilang. Kegiatan dialog antar iman itu sudah seperti ‘zombie’

(mayat hidup) – ada kegiatan, tetapi tidak ada nilainya.

Orang Baduy justru sangat menghormati eksistensi Orang Baduy Muslim. Dalam kepercayaan Orang Baduy semua manusia pada dasarnya berasal dari satu keturunan yang kemudian berpencar dan mengalami perubahan identitas-identitas, termasuk di dalamnya identitas keagamaan.

Harmonisasi beragama yang ada diwilayah Baduy disebabkan oleh kuatnya mereka dalam memegang prinsip bahwa mereka berawal dari satu keturunan atau keluarga. Karena itu, meskipun mereka berbeda kepercayaan, mereka tetaplah satu keluarga yang utuh.

Komunitas suku Baduy atau juga disebut dengan suku Kanekes adalah salah satu suku di antara banyak suku unik yang dimiliki oleh Indonesia. Suku Baduy berada di pedalaman pegunungan Kendeng yakni 900 meter di atas permukaan laut, termasuk wilayah Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten, dan berjarak sekitar 50 km dari kota Rangkasbitung dan menghuni sekitar 5000 hektar areal hutan.

3

2 Pemerintah (Depag, Pemprov, Pemkot/kab) setiap tahun menganggarkan kegiatan untuk keperluan dialog lintas agama.

3 Johan Iskandar, Ekologi Perladangan di Indonesia: Studi Kasus Dari Daerah Baduy, Jakarta: Djambatan, 1992, hlm. 21. Atau lihat, R Cecep Eka Permana,Mitra Sejajar Pria dan Wanita Dari Inti Jagat; Sebuah Kajian Antropologis, Pusat Paparan di atas Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Paparan di atas Universitas Indonesia, 1998, hlm. 10.

dengan mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). Karena itu-lah

(3)

120 Jurnal TAPIs Vol.9 No.2 Juli-Desember 2013

kondisi suhu wilayah Baduy terbilang cukup dingin yaitu sekitar bersuhu rata-rata 20°C.Ketika pertama kali menginjakan kaki di wilayah Baduy ternyata ada nuansa yang berbeda. Suku Baduy ternyata memiliki tiga lapisan masyarakat yakni suku baduy Dalam yang disebut dengan Baduy Tangtu, Baduy Luar yang disebut dengan Panamping, dan Baduy Dangka.Munculnya ketiga lapisan tersebut tidak terjadi secara alami, melainkan karena beberapa faktor, diantaranya adalah akibat pelanggaran adat yang membuat mereka harus eksodus dari wilayah Baduy Dalam yang kemudian menjadi dan menetap di Baduy Luar dan Baduy Dangka.Inti kepercayaan agama Orang Baduy dapat ditunjukkan dengan adanya kepercayaan akan pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang disampaikan para leluhurnya untuk selalu dianut dan dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Baduy. Warisan pikukuh nenek moyang ini-lah yang dijadikan ”sabda suci” dan panutan hidup orang Baduy sampai kini. Isi terpenting dari konsep pikukuh (kepatuhan) masyarakat Baduy adalah konsep ketentuan “tanpa perubahan apapun”, atau perubahan sesedikit mungkin. Hal ini bisa dilihat dari ajaran pikukuh:

“Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung”, “Gede ulah di cokot, leutik ulah ditambahan”

Kehidupan di Baduy Dangka secara adat memang sudah jauh lebih longgar dibandingkan dengan Baduy Panamping sendiri. Karena keberadaan masyarakat Dangka pada mulanya berasal dari perpindahan masyarakat Panamping. Hampir sama dengan masyarakat Panamping, keberadaan masyarakat Dangka berasal dari dua faktor; Pertama, karena keinginan sendiri untuk pindah dari Panamping menjadi masyarakat yang hidup lebih bebas.Kedua, karena faktor adanya pengusiran dari Panamping akibat melanggar adat.4

4 Edi S Ekadjati, Kebudayaan Sunda; Suatu Pendekatan Sejarah, Jakarta:

Pustaka Jaya, Cet. 3, 2009Ibid., hlm. 69.

Meskipun begitu, warga Dangka masih diperbolehkan kembali menjadi warga Panamping setelah ia menjalani upacara penyucian dosa akibat melanggar ketentuan adat.

(4)

Meskipun masyarakat Baduy secara tingkatan kewargaan terbagi atas tiga lapisan; Tangtu, Panamping dan Dangka. Akan tetapi status hubungan kekerabatan atau kekeluargaan satu sama lainnya tidak terputus.

Orang Panamping masih menganggap keluarga kepada anggota keluargannya meskipun mereka ada diwilayah Panamping atau Dangka sekalipun, begitu sebaliknya. Prinsip hidup seperti ini-lah yang membuat keutuhan masyarakat Baduy sampai saat ini masih terjaga dengan baik. Akan tetapi, perbedaan kewarganegaraan akan berpengaruh hanya dalam hal-hal tertentu seperti pernikahan, pengangkatan jabatan struktur pemerintahan.

Model kehidupan rukun yang ditampilkan oleh warga komunitas suku Baduy menurut hemat saya penting untuk dijadikan pelajaran oleh kita yang selama ini selalu disibukkan dengan prilaku-prilaku konflik yang terus berkepanjangan layaknya seperti kecambah dimusim hujan.

Meskipun begitu, uniknya keberadaan warga muslim di Cicakal Girang, tak pernah satu kali pun warga Baduy yang menyatakan keluar dari lingkungan adat dan kemudian memeluk agama Islam yang diislamkan disana. Warga Baduy yang menyatakan masuk Islam biasanya diislamkan di luar Baduy yakni di Ciboleger Desa Bojongmenteng atau di Pal Opat. Cara ini dilakukan demi untuk menghormati orang Baduy sendiri yang masih memegang teguh kepercayaannya.

Di sini-lah pentingnya paparan di atas ini yang akan mencoba menggali model kerukunan beragama yang ditampilkan oleh masyarakat suku Baduy Banten sebagai model resolusi konflik yang berasal dari komunitas lokal yakni suku terasing Baduy. Paparan di atas ini berusaha untuk menggali akar kerukunan yang berkembang di masyarakat suku Baduy Banten sampai hari ini.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi persoalan paparan di atas (research questions) di dalam paparan di atas ini dirumuskan sebagai berikut: 1). Bagaimana pandangan masyarakat Baduy tentang hidup bersama secara rukun, dan pola kerukunan seperti apa yang dikembangkan oleh masyarakat Baduy?; 2). Bagaimana komunikasi dan interaksi yang dilakukan antar agama, dan wadah seperti apa yang digunakan untuk proses interaksi itu?; 3). Apa jenis konflik antar umat beragama yang pernah terjadi di komunitas suku Baduy dan bagaimana cara penyelesaiannya.

(5)

122 Jurnal TAPIs Vol.9 No.2 Juli-Desember 2013

Mengenal Masyarakat Baduy Lebih Dekat Letak Geografis Masyarakat Baduy

Dilihat dari letak geografisnya, Baduy masuk dalam wilayah Provinsi Banten. Banten merupakan salah satu wilayah yang yang cukup luas terutama areal perhutannya yakni Jumlah luas hutan sendiri sekitar 282,105, 64 ha. Luas hutan itu meliputi hutan lindung 8%, hutan produksi 27% dan hutan konservasi 65%

Secara geografis wilayah Baduy terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LU dan 108°3’9” – 106°4’55” BT

. Provinsi yang pada awalnya merupakan pemekaran dari Provinsi Jawa Barat ini mempunyai kandungan alam terbilang cukup kaya.

Tidak hanya itu, Banten juga dikenal sebagai daerah yang kaya akan budaya yang unik, sebut saja di antaranya adalah suku Baduy. Suku yang menurut para peneliti masuk dalam katagori suku terasing ini—meskipun penyebutan ini sebenarnya kurang tepat—berada dibagian selatan Provinsi Banten dengan dikelilingi gunung-gunung dan bukit disekitarnya dan hulu beberapa sungai yang mengalir dari selatan ke utara. Karena itu, di daerah yang lebih dikenal sebagai areal suku Baduy—meskipun sebenarnya penyebutan istilah suku Baduy itu sendiri kurang begitu di sukainya—masih terdapat hutan-hutan yang lebat dan sampai saat ini cukup terlindungi.

5

5 Johan Iskandar, Ekologi Perladangan di Indonesia: Studi Kasus Dari Daerah Baduy, (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm. 21. Atau lihat, R Cecep Eka Permana, Mitra Sejajar Pria dan Wanita Dari Inti Jagat; Sebuah Kajian Antropologis, (Pusat Paparan di atas Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Paparan di atas Universitas Indonesia, 1998), hlm. 10.

dengan mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). Karena itu-lah kondisi suhu wilayah Baduy terbilang cukup dingin yaitu sekitar bersuhu rata-rata 20°C.

(6)

Untuk menuju wilayah Baduy bisa dilakukan dengan beberapa alternatif perjalanan; Pertama, jika kita dari Jakarta, maka jarak tempuh menuju Baduy kira-kira 140 km dengan perjalanan melalui Cikande – Rangkasnitung – Leuwidamar – Ciboleger. Kedua, untuk menuju Baduy juga bisa ditempuh melalui Bogor sekitar 160 km dengan rute perjalanan Bogor – Jasinga – Cipanas – Ciminyak – Cisimet – Lewidamar – Ciboleger.

Ketiga, jika perjalanan dari Serang maka rute perjalanannya melalui Pandeglang – Rangkasbitung – Lewidamar – Simpang – Parigi – Ciboleger atau menuju Kroya dan kemudian langsung menuju Baduy dengan jalur arah Selatan. Akan tetapi, jalur Selatan adalah merupakan jalur yang dilarang oleh masyarakat Baduy. Hal ini merupakan ketentuan adat Baduy yang menyatakan bahwa hanya melalui jalur Ciboleger-lah atau jalur Utara yang dibolehkan untuk dilintasi bagi mereka yang hendak menuju Baduy.

Ketentuan adat ini tidak hanya diberlakukan kepada orang luar Baduy yang hendak ke Baduy, tetapi juga berlaku untuk orang Baduy sendiri. Adanya pelarangan adat ini karena masyarakat Baduy menganggap dan meyakini bahwa arah Selatan merupakan arah kiblat yang tidak boleh dinodai atau pun dilanggar.6

Dilihat dari luas arealnya, berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) No.

32 Tahun 2001 tentang perlindungan Hak Ulayat, masyarakat Baduy memiliki luas 5.101,85 hektar meliputi areal pemukiman, perladangan atau areal pertanian, dan hutan larangan. Lahan pertanian merupakan areal terluas yakni sekitar 50,67 %, areal pemukiman 0,48 %, dan areal hutan larangan sekitar 48,85 %.7

Luas areal suku Baduy sekarang telah mengalami penyempitan seiring dengan adanya kebijakan pemerintah yang menjadikan sebagian areal hutan Baduy menjadi hutan produksi dengan ditanami pohon Sawit dan Karet. Dalam catatan yang ditulis oleh A.J. Spaan pada tahun 1867 dan B.

Dilihat dari wilayah perbatasannya, daerah Baduy berbatasan dengan Desa Cibungur dan Cisimeut sebelah Utara, di sebelah Timur berbatasan dengan Desa Sobang, di sebelah Selatan berbatasan dengan desa Cigemblong, dan di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Karangnunggal.

6 Informasi ini berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa tokoh adat Baduy pada tanggal 2 November 2010.

7 Peraturan Daerah (Perda) No. 32 Tahun 2001 tentang perlindungan Hak Ulayat.

(7)

124 Jurnal TAPIs Vol.9 No.2 Juli-Desember 2013

Van Tricht tahun 1929 bahwa pada abad ke-18 wilayah Baduy terbentang mulai dari Kecamatan Leuwidamar sampai ke Pantai Selatan. Sedangkan dalam catatan Judhistira Garna, berdasarkan adanya kesamaan kepercayaan sunda lama dan adanya pertalian kerabat masyarakat, maka wilayah Baduy meliputi beberapa kecamatan yakni; Muncang, Sajira, Cimarga, Maja, Bojongmanik dan Leuwidamar. Terjadinya penyempitan wilayah Baduy pada fase kemudian disebabkan adanya kebijakan Sultan Banten dalam rangka penyebarluasan agama Islam.8

Dilihat dari jumlah populasi penduduknya, catatan pertama yang sampai saat ini masih terdokumentasikan adalah catatan pada tahun 1988 yang menyatakan bahwa jumlah penduduk baduy saat itu adalah sekitar 291 orang yang menempati 10 buah kampung. Jumlah penduduk Baduy pun kemudian bertambah cukup signifikan pada tahun berikutnya menjadi 1.407 orang yang mendiami 26 kampung.

Kondisi Demografis Masyarakat Baduy

9 Jumlah penduduk Baduy pun terus mengalami penambahan. Dalam paparan di atas Tricht, dilaporkan bahwa pada awal abad ke-20 saja, tepatnya pada tahun 1908 jumlah penduduk Baduy tercatat 1.547 orang. Akan tetapi, dua puluh tahun kemudian jumlah penduduk Baduy sedikit mengalami pengurangan menjadi 1.521 orang.10

Berdasarkan catatan Garna, jumlah penduduk Baduy pada tahun 1966 mengalami perubahan dengan penambahan yang sangat signifikan menjadi 3.935 orang, dan pada tahun 1969 menjadi 4.063 orang. Jumlah itu mengalami penurunan menjadi 4.057 pada tahun 1980. Tiga tahun kemudian, mengalami penambahan menjadi 4.574 orang, dan pada tahun

8 Judhistira Garna, “Masyarakat Baduy di Banten” dalam Koentjaraningrat, (ed), Masyarakat Terasing di Indonesia, Jakarta: Kerjasama Gramedia dan Depsos RI, Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial, 1993, hlm. 124-135.

9 J. Jacobs dan J.J Meijer, De Badoej’s, ‘s-Grahenhage: Martinus Nijhoff, 1891. Atau lihat, A.A. Pennings, “De Badoewi’s in Verband met enkele Oudheden in de Residentie Bantam”, TBG, XLV, 1902, hlm. 370-386.

10 B. Van Tricht, Levende Antiquiteiten in West-Java, Djawa, IX, 1929, hlm. 43-120.

(8)

1986 menjadi 4850 orang.11

Adanya naik turun jumlah penduduk Baduy pertahunnya berdasarkan analisa Van Tricht disebabkan oleh adanya perkawinan yang terlalu dekat di antara kelompok mereka.

Dan saat ini penduduk Baduy berjumlah 7000 orang meliputi 800 orang penduduk Baduy Dalam, dan 6200 orang penduduk Baduy Luar yang menempati 28 kampung dan 8 anak kampung.

12 Dugaan ini menurut Iskandar adalah disebabkan karena Van Tricht belum pernah menemukan adanya laporan pernah terjadi bencana; baik itu bencana alama, wabah penyakit, tau pun kepalaran yang menimpa masyarakat Baduy.13

Lalu pertanyaannya dari mana penyebutan istilah Baduy itu berasal?.

Menurut Hoevell bahwa penyematan mereka dengan sebutan Baduy pertama kali dilakukan oleh orang-orang yang berada di luar Baduy yang sudah memeluk agama Islam. Penyebutan ini ditengarai sebagai sebutan ejekan terhadap mereka (Orang Baduy) berdasarkan beberapa alasan yakni kehidupan yang primitif, nomaden, ketergantungan pada alam, membuat mereka di samakan dengan kehidupan masyarakat Badui, Badawi atau Perspektif Masyarakat Baduy

Penyebutan mereka dengan sebutan Orang Baduy atau Urang Baduy sebagaimana yang umum dilakukan oleh masyarakat luar atau peneliti sebenarnya tidak-lah mereka sukai. Mereka lebih senang menyebut dirinya sebagai Urang Kanekes, Urang Rawayan, atau lebih khusus dengan menyebut perkampungan asal mereka seperti; Urang Cibeo, Urang Cikartawana, Urang Tangtu, Urang Panamping.

11 Judistira Garna, Orang Baduy di Jawa: Sebuah Studi Kasus Mengenai Adaptasi Suku Asli terhadap Pembangunan:, dalam Lim Teck Ghee dan Alberto G.

Gomes (Peny)., Suku Asli dan Pembangunan di Asia Tenggara, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), hlm. 142-160.

12 Dikutip oleh R.Cecep Eka Permana, Mitra Sejajar Pria dan Wanita Dari

“Inti Jagat”; Sebuah Kajian Antropologis, (Laporan Paparan di atas Pusat Paparan di atas Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Paparan di atas Universitas Indonesia, 1998), hlm. 19.

13 Johan Iskandar, Ekologi Perladangan di Indonesia, hlm. 27-28.

(9)

126 Jurnal TAPIs Vol.9 No.2 Juli-Desember 2013

Bedouin yang ada di daerah Arab.14

Begitu populernya istilah ini (Baduy) bagi masyarakat di luar Baduy membuat beberapa masyarakat di luar Baduy memberikan nama-nama kandungan alam dengan Istilah Baduy, seperti penyebutan Gunung yang ada diwilayah Baduy dengan sebutan Gunung Baduy, dikenal juga Sungai Baduy.

Dengan alasan ini-lah kemudian istilah Baduy pun di bakukan dan lebih dikenal dibandingkan dengan istilah suku atau orang Kanekes itu sendiri.

15 Bahkan menurut Pleyte, kata ”Baduy” sendiri mempunyai ciri yang khas sebagai kata dalam bahasa sunda seperti; tuluy, aduy, uruy.16

Dalam sumber yang lain, penyebutan mereka dengan istilah Baduy, pertama kali disebutkan oleh orang Belanda ketika melakukan penjajahan di Indonesia. Orang Belanda biasa menyebut mereka dengan sebutan badoe’i, badoej, badoewi, Urang Kanekes dan Urang Rawayan.17

Penyebutan istilah di atas didasari oleh beberapa alasan; Pertama, istilah Baduy muncul karena berasal dari nama sebuah gunung Baduy yang kini menjadi tempat huniannya. Alasan ini kemudian ditolak karena penyebutan gunung menjadi gunung Baduy muncul setelah mereka membuka areal perhutanan tersebut untuk dijadikan pemukiman. Kedua, istilah Baduy berasal dari kata Budha yang kemudian berubah menjadi Baduy. Ketiga, Ada juga yang mengatakan bahwa istilah Baduy berasal dari kata “Baduyut” kerena di tempat ini-lah banyak ditumbuhi pepohonan baduyut, sejenis beringin. Keempat, pendapat yang lain juga muncul bahwa

14 WR. Van Hoevell, Bijdragen tot de Kennis der Badoeinen in het Zuiden der Residentie Bantam, (TNI, 7, IV, 1845), hlm. 360-361.

15 Pleyte, “Badoejsche Geesteskinderen”, (TBG, 54, afl.3-4, 1912), hlm.

218-219. Atau lihat, Danasasmita dan Anis Djatisunda, Kehidupan Masyarakat Kanekes, (Bandung: Bagian Proyek Paparan di atas dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Depdikbud, 1986), hlm.1. atau lihat Edi S Ekadjati, Kebudayaan Sunda; Suatu Pendekatan Sejarah, (Jakarta: Pustaka Jaya, Cet. 3, 2009), hlm. 46.

16 Pleyte, Ibid., hlm. 217-218.

17Judhistira Garna, “Masyarakat Baduy di Banten” dalam Koentjaraningrat, (ed), Masyarakat Terasing di Indonesia, hlm. 120

(10)

penyebutan Baduy di ambil dari bahasa Arab Badui yang berarti berasal dari kata Badu atau Badawu yang artinya lautan pasir.18

Berbeda dengan kepercayaan masyarakat Baduy tentang sejarah asal-usul mereka. Para ahli sejarah mempunyai pandangan yang ternyata juga berbeda versi prihal sejarah awal Baduy. Versi pertama menyatakan bahwa sejarah awal keberadaan masyarakat Baduy berasal dari Kerajaan Padjajaran sebagaimana tertera dalam catatan pertama tahun 1822 mengenai suku Baduy yang ditulis oleh ahli botani bernama C.L. Blumen.

Alasan ini menurut saya kurang tepat. Penyamaan istilah Baduy dengan keberadaan suku yang ada di Arab bukanlah berdasarkan kesamaan definisi istilah, akan tetapi berdasarkan kesamaan pola hidup yakni berpindah-pindah (nomaden) dari satu tempat ke tempat yang lain mengikuti keberadaan tempat persediaan kebutuhan hidup dalam hal ini keberadaan pangan.

Perspektif Ahli Sejarah

19 Menurut sejarah, pada sekitar abad ke-12 dan ke-13 M, kerajaan Pajajaran menguasai seluruh tanah Pasundan meliputi Banten, Bogor, Priangan sampai ke wilayah Cirebon. Saat itu kerajaan Padjajaran dikuasai oleh Raja bernama Prabu Bramaiya Maisatandraman atau yang lebih dikenal dengan gelar Prabu Siliwangi. Ketika terjadi pertempuran sekitar abad ke-17 M antara kerajaan Banten melawan kerajaan Sunda, kerajaan Sunda yang saat itu dipimpin oleh Prabu Pucuk Umun (keturunan Prabu Siliwangi) mengalami kekalahan yang cukup telak.20 Karena itu-lah Sang Parbu Pucuk Umun dengan beberapa punggawanya melarikan diri ke daerah hutan pedalaman. Dari sini-lah kemudian mereka hidup menetap dan berkembangbiak menjadi komunitas yang kemudian kini disebut sebagai suku Baduy.21

18 Djuwisno MS, Potret Kehidupan Masyarakat Baduy, (Jakarta: Khas Studio, 1986), hlm. 5

19 Dalam catatannya Blumen menulis: “dipangkuan sebuah rangkaian pegunungan yang menjulang tinggi di kerajaan Bantam Jawa Barat kamu mendapatkan beberapa kampong pribumi yang dengan sengaja bersembunyi dari penglihatan orang-orang luar. Di sebelah Barat dan di sebelah selatan gunung ini yang tidak dimasuki oleh ekspedisi Hasanuddin (Raja Kerajaan Banten) dalam kegelapan hutan yang lebat, mereka masih dapat memuja para dewa mereka selama berabad-abad”. (R. Cecep Eka Permana, Mitra Sejajar Pria dan Wanita, hlm. 19).

20 Judistira Garna, Orang Baduy di Jawa, hlm. 144.

21 Djuwisno MS, Potret Kehidupan Masyarakat Baduy, hlm. 1-2.

(11)

128 Jurnal TAPIs Vol.9 No.2 Juli-Desember 2013

Pendapat ini jika kita bandingkan dengan beberapa bait pantun yang kerap dinyayikan oleh masyarakat Baduy ketika hendak melakukan upacara ritual, nampaknya mempunyai nilai pembenarannya. Pantun tersebut berbunyi:

“Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu puguhnu diteang, malipir dina gawir, nyalindung dina gunung, mending keneh lara jeung wiring tibatan kudu ngayonan perang jeung paduduluran nu saturunan atawa jeung baraya nu masih keneh sa wangatua”

Artinya :

“jauh tidak menentu yang tuju (Jugjug), berjalan tanpa ada tujuan, berjalan ditepi tebing, berlindung dibalik gunung, lebih baik malu dan hina dari pada harus berperang dengan sanak saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan”

Keturunan ini-lah yang sekarang bertempat tinggal di kampung Cibeo (Baduy Tangtu) dengan ciri-ciri; berbaju putih hasil jaitan tangan (baju sangsang), ikat kepala putih, memakai sarung biru tua (tenunan sendiri) sampai di atas lutut, dan sifat penampilannya jarang bicara (seperlunya) tapi ramah, kuat terhadap hukum adat, tidak mudah terpengaruh, berpendirian kuat tapi bijaksana.

Versi kedua, berbeda dengan pendapat pertama di atas, pendapat kedua ini muncul dari Van Tricht yang merupakan seorang dokter yang pernah melakukan riset di Baduy pada tahun 1928. Menurutnya, komunitas Baduy bukanlah berasal dari sisa-sia kerajaan Padjajaran yang melarikan diri, melainkan penduduk asli dari daerah tersebut yang mempunyai daya tolak yang kuat terhadap pengaruh luar.22 Pendapat Van Tricht ini hampir sama dengan pendapat yang diyakini oleh masyarakat Baduy sendiri yang mengatakan bahwa mereka adalah masyarakat terpilih yang diberikan tugas oleh raja23

22 Judistira Garna, Orang Baduy di Jawa, hlm. 146

untuk melakukan mandala (kawasan yang suci) di daerah

23 Dalam catatan Danasasmita dan Djatisunda bahwa raja yang memerintah saat itu adalah Raja Rakeyan Darmasiksa, yaitu raja Sunda yang ke-13 keturunan Sri

(12)

kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang) Jati Sunda atau Sunda Asli atau Sunda Wiwitan, yang kini di diami oleh masyarakat Baduy.

Versi ketiga, jika kita coba komparasikan antara keyakinan sejarah masyarakat Baduy dengan penemuan para ahli sejarah (arkeolog, budayawan, dan sejarawan) terlihat perbedaan yang kontras bahkan bertolak belakang. Menurut catatan sejarah, berdasarkan proses sintesis dari penemuan prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai Tatar Sunda, keberadaan masyarakat suku Baduy sendiri dikaitkan dengan keberadaan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang).

Menurut catatan para ahli sejarah, sebelum berdirinya Kesultanan Banten oleh Sultan Maulana Hasanuddin yang berada di wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan salah satu bagian terpenting dari Kerajaan Sunda.

Wilayah Banten pada saat itu adalah merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar yakni Pelabuhan Karangantu. Sungai Ciujung yang berhulu di areal wilayah Baduy dan melewati Kabupaten Lebak dan Serang dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan sangat ramai digunakan sebagai alat transportasi untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman Banten.

Melihat kondisi ini, penguasa wilayah tersebut (Banten Selatan) yakni Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Dengan alasan itu-lah, maka kemudian ia memerintahkan pasukan khusus kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola areal kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut.

Ketiga pendapat ini memang sulit untuk dipadukan karena masing- masing (masyarakat Baduy dan ahli sejarah) mempunyai alasan tersendiri—

yang satu sama lainnya menganggap benar. Karena itu, langkah yang bijak

Jayanupati generasi kelima, (Danasasmita dan Djatisunda, Kehidupan Masyarakat Kanekes, (Bandung: Bagian Proyek Paparan di atas Kebudayaan Sunda (sundanologi), 1986, hlm. 4-5.) Pendapat senada pun diungkapkan oleh R.

Cecep Eka Permana dalam bukunya, “Mitra Sejajar Pria dan Wanita Dari “Inti Jagat”, hlm. 19.

(13)

130 Jurnal TAPIs Vol.9 No.2 Juli-Desember 2013

adalah membiarkan perbedaan pendapat itu sebagai sebuah realita sejarah yang menarik dan unik.

Pandangan Masyarakat Baduy Tentang Kerukunan

Orang Baduy dikenal sebagai masyarakat yang patuh akan aturan adat--atau dalam bahasa mereka disebut dengan pikukuh adat. Salah satu pikukuh adat yang sampai saat ini selalu mereka patuhi adalah;

”Ngasuh Ratu-Ngajayak Menak”

“mageuhkeun tali duduluran”

Itu-lah sepenggal kalimat pikukuh adat yang selalu diungkapkan saat ritual Seba dilakukan. Meskipun terlihat sederhana, tapi ungkapan itu mempunyai makna filosofi yang dalam. Orang Baduy sadar bahwa penghuni dunia ini tidak hanya dirinya. Tugas memelihara alam ini, bukan hanya tugas masyarakat Baduy saja, akan tetapi tugas semua umat manusia yang ada di bumi ini, karena semua manusia itu berstatus sama yakni butuh akan kebaikan dan kemurahan alam sebagai sumber kehidupan. Karena itu, pesan yang selalu disampaikan disetiap kali Seba adalah ajakan agar pihak orang luar Baduy dan pemerintah ikut terlibat dan bertanggung jawab terhadap pemeliharaan alam. Bahkan menurut Orang Baduy, Pemerintah-lah yang mempunyai wewenang merancang dan membuat aturan terkait usaha pemeliharaan alam, termasuk alam tempat tinggal Orang Baduy.

Orang Baduy menganggap bahwa masyarakat luar yang disimbolkan dengan pihak pemarintah adalah merupakan saudara. Karena itu, prilaku untuk saling memberikan nasihat satu sama lainnya adalah sebuah keharusan. Dan perayaan tradisi Seba Baduy yang sudah dilakukan warga Baduy secara turun-temurun adalah dalam rangka untuk memberiakan, mengingatkan dan menjalin hubungan baik dan silaturrahmi dengan pihak pemerintah. Ini-lah yang dimaksud dengan makna ”Ngasuh Ratu-Ngajayak Menak”, “mageuhkeun tali duduluran”.

Sebungkus laksa dan sejumlah seserahan saat Seba memang tidak begitu berharga terutama bagi masyarakat luar Baduy. Tetapi ketulusan, keikhlasan, dan sejumlah prosesi sakral yang dilalui, dan perjalanan yang

(14)

melelahkan tentunya hal yang paling bermakna dari segalanya. Karena itu wajar jika kemudian Ayah Mursid saat berbincang-bincang di Pendopo Gubernur mengungkapkan perasaan bahagia yang luar biasa karena telah berhasil melaksanakan kewajiban sebagai warga Baduy. Ia bersyukur karena sampai saat ini masih mampu mengemban amanat leluhurnya yakni mengunjungi “dulur“ (saudara) atau pihak “pamarentah“ yang ada diluar Baduy.

Di antara pikukuh adat Baduy lainnya yang menggambarkan kurukunan adalah:

Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu puguhnu diteang, malipir dina gawir, nyalindung dina gunung, mending keneh lara jeung wiring tibatan kudu ngayonan perang jeung paduduluran nu saturunan atawa jeung baraya nu masih keneh sa wangatua.

Artinya :

Jauh tidak menentu yang tuju (Jugjug), berjalan tanpa ada tujuan, berjalan ditepi tebing, berlindung dibalik gunung, lebih baik malu dan hina dari pada harus berperang dengan sanak saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan.

Ungkapan di atas adalah salah satu bentuk bagaimana Orang Baduy menjunjung tinggi nilai persaudaraan antar manusia tanpa melihat darimana ia berasal. Orang Baduy percaya bahwa manusia yang ada di bumi ini adalah berasal dari satu keturunan. Karena itu, prilaku memusuhi dan berperang di antara mereka adalah hal yang dilarang dalam kepercayaan adat Baduy.

Konsep ungkapan hidup dalam kebersamaan adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan prilaku di atas. Di sini-lah fungsi agama, di samping sebagai sistem keyakinan, agama bisa menjadi bagian dan inti dari sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat, dan menjadi pendorong atau penggerak serta pengontrol bagi tindakan anggota masyarakat tertentu untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran agamanya. Ketika pengaruh ajaran agama sangat kuat terhadap sistem nilai dari kebudayaan masyarakat yang bersangkutan, maka sistem nilai kebudayaan itu terwujud sebagai simbol suci yang maknanya bersumber pada ajaran yang menjadi kerangka acuannya.

(15)

132 Jurnal TAPIs Vol.9 No.2 Juli-Desember 2013

Kesimpulan

Dari paparan di atas yang disajikan dalam bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Dalam kepercayaan Orang Baduy, meskipun mereka saat ini sudah banyak berubah karena disebabkan pelanggaran adat atau pikukuh Baduy; seperti perubahan identitas agama, akan tetapi dalam kepercayaan Baduy mereka tetaplah satu kasatuan yang utuh. Orang Baduy masih meyakini bahwa mereka adalah berasal dari satu keturunan yang tidak boleh terpecah hanya karena berbeda status atau kepercayaan. Lebih lanjut, dalam kepercayaan Orang Baduy, saudara tetaplah saudara dan tidak akan berubah dan terputus sampai kapanpun meskipun meraka mengalami perubahan termasuk dalam hal kepercayaan beragama.

2. Meskipun identitas keagamaan mereka bukan lagi sebagai penganut agama sunda wiwitan, akan tetapi hal itu tidak membuat hubungan kekerabatan mereka terputus. Identitas agama bagi kepercayaan Orang Baduy bukan sebagai penghalang bagi mereka untuk memutuskan tali silaturrahmi di antara mereka. Karena itu, wajar jika pada upacara-upacara tertentu seperti dalam perayaan Ngalaksa, Seba, antara komunitas Baduy yang beragama Sunda Wiwitan dan komunitas Baduy Muslim kerap secara bersama-sama melakukan ritual tersebut. Upacara Seba yang selalu dilakukan oleh Orang Baduy dilakukan setiap tahun sekali sebagai bentuk ungkapan rasa syukur dan pengakuan terhadap mereka yang berbeda. Pada saat ini- lah meskipun secara identitas agama mereka sudah berbeda, akan tetapi komunikasi di antara mereka tetap berlanjut. Bahkan dalam ritual Seba, Orang Baduy secara terbuka melakukan komunikasi dengan warga non-Baduy.

3. Meskipun Orang Baduy dikenal sebagai masyarakat yang taat dan santun, tapi faktanya dalam kehidupan mereka kerap kali terjadi gesekan-gesekan yang kemudian menjadi konflik. Hanya saja konflik yang terjadi pada komunitas Baduy tidak sampai membesar sehingga menimbulkan korban harta dan jiwa seperti yang terjadi pada masyarakat-masyarakat diluar Baduy. Penyebab dari semua itu adalah karena ada dua model resolusi konflik yang terjadi pada

(16)

komunitas Baduy; Pertama, kuatnya kesadaran masyarakat bahwa antar manusia ini pada dasarnya adalah bersaudara yang ditugaskan oleh Batara Tunggal (Tuhan dalam istilah Baduy) untuk memelihara alam. Kedua, keteladanan hidup para ketua adat, terutama para Puun (ketua adat).

Daftar Pustaka

A.A. Pennings, “De Badoewi’s in Verband met enkele Oudheden in de Residentie Bantam”, (TBG, XLV, 1902)

Abd A’la, Melampaui Dialog Agama, (Jakarta: Kompas, 2002)

Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur, (Yogyakarta: LKiS, 2005)

Azyumardi Azra, ‘Merajut Kerukunan Hidup Beragama antara Cita dan Fakta’, dalam Harmoni: Jurnal Multikultural dan Multreligious, (Vol VII No. 7, 2003)

B. Van Tricht, Levende Antiquiteiten in West-Java, (Djawa, IX, 1929) Danasasmita dan Anis Djatisunda, Kehidupan Masyarakat Kanekes,

(Bandung: Bagian Proyek Paparan di atas dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Depdikbud, 1986)

Djuwisno MS, Potret Kehidupan Masyarakat Baduy, (Jakarta: Khas Studio, 1986)

Edi S Ekadjati, Kebudayaan Sunda; Suatu Pendekatan Sejarah, (Jakarta:

Pustaka Jaya, Cet. 3, 2009)

Irwan Abdullah, dkk (ed.)., Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)

J. Jacobs dan J.J Meijer, De Badoej’s, (‘s-Grahenhage: Martinus Nijhoff, 1891).

Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001) Johan Iskandar, Ekologi Perladangan di Indonesia: Studi Kasus Dari

Daerah Baduy, (Jakarta: Djambatan, 1992)

Judhistira Garna, “Masyarakat Baduy di Banten” dalam Koentjaraningrat, (ed), Masyarakat Terasing di Indonesia, (Jakarta: Kerjasama Gramedia dan Depsos RI, Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial, 1993)

_______, Orang Baduy di Jawa: Sebuah Studi Kasus Mengenai Adaptasi Suku Asli terhadap Pembangunan:, dalam Lim Teck Ghee dan

(17)

134 Jurnal TAPIs Vol.9 No.2 Juli-Desember 2013

Alberto G. Gomes (Peny)., Suku Asli dan Pembangunan di Asia Tenggara, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993)

Kusnaka Adimihardja, Dinamika Budaya Lokal, (Bandung: Pusat Kajian LBPB, 2008)

Lewis A. Coser dan Bernard Rosenberg, Sociological Theory, (New York:

Macmillan Publishing Co. 1976)

Loekman Sutrisno, Konflik Sosial: Studi Kasus Indonesia, (Yogyakarta:

Tajidu Press, 2003)

Nicola Colbran, “Realities and Challenges in realising freedom of Religion or belief in Indonesia,” The International Journal of Human Rights, Vol. 14, No. 5, September, 2010.

Onong Uchjana Effendy, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Bandung: Alumni, 1981)

Peraturan Daerah (Perda) No. 32 Tahun 2001 tentang perlindungan Hak Ulayat.

Referensi

Dokumen terkait

a) Eliminasi. Hirarki teratas yaitu eliminasi/menghilangkan bahaya ditempat kerja yang bertujuan untuk mengeliminasi kemungkinan kesalahan manusia dalam menjalankan

Menolak hidup dalam kepahitan masa lalu atau ketakutan akan masa depan, dan hidup pada masa kini, saat ini, sebagai kesempatan untuk melakukan kebaikan-kebaikan yang dilandasi

Pemungutan bunga cengkeh dilakukan dengan cara memetik tangkai bunga dengan tangan, kemudian dimasukkan kedalam kantong kain atau keranjang yang telah disiapkan,

Dengan demikian, accident lebih banyak disebabkan oleh tindakan tidak aman manusia ( man ) yang meliputi faktor umur, pendidikan, masa kerja, pengetahuan,

Penelitian tentang karakteristik habitat dan struktur populasi kerang silet ( Solen lamarckii, Chenu 1984) di zona pasang surut Desa Apiapi Kecamatan Bandar Laksamana

Peneliti melakukan penelitian terhadap novel Bidadari- Bidadari Surga karya Tere Liye menggunakan bermacam-macam sumber atau dokumen untuk menguji data yang sejenis

.. Kurikulum yang menggabungkan sejumlah disiplin ilmu melalui pemaduan area isi, keterampilan dan sikap. Anak akan memahami konsep-konsep yang mereka pelajari melalui

Salah satu kekhasan Jepang adalah bunga Sakura, yang memang identik dengan negeri tersebut.. Pada Sakura, terkandung nilai- nilai luhur sebuah identitas