• Tidak ada hasil yang ditemukan

(STUDI TRADISI ENDOG-ENDOGAN DI SUKU USING KABUPATEN BANYUWANGI ) ALI MUTOWIF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "(STUDI TRADISI ENDOG-ENDOGAN DI SUKU USING KABUPATEN BANYUWANGI ) ALI MUTOWIF"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

KABUPATEN BANYUWANGI )

ALI MUTOWIF

(2)

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta Pasal 2

(1) Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pengarang untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana Pasal 27

(1) Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat satu (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah); atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

(3)

KABUPATEN BANYUWANGI )

ALI MUTOWIF

(4)

BANYUWANGI ) ALI MUTOWIF

Copyright © 2019

Cetakan I, Juni 2019

Editor : Verdi Indra Satria Desain cover : Ahmad Solahuddin Desain Lay Out : Ulla Umu Rosyda

Diterbitkan oleh:

CV. Madza Media

Kantor:

Jl. Pahlawan, Simbatan - Kanor - Bojonegoro. 62193 Jl. Rejoasri, Bakalan – Bululawang – Malang. 65171 Email: redaksi@madzamedia.co.id

Fanspage: Penerbit Madza

Website: www.madzamedia.co.id

ISBN :

Hak Cipta dilindungi undang-undang

Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit

(5)

Syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada Allah SWT, Tuhan Semesta Alam, yang telah mencurahkan limpahan rahmatnya kepada umat manusia, memberinya akal sehingga dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Dengan mengendarai rasa syukur yang indah aku panjatkan shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan pada Nabi akhir zaman, Rasulullah Muhammad salla> alla>h ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya, serta kaum intelektual shaleh yang telah menyinari alam semesta ini dengan cahaya ilmu serta untaian do’a tulus mereka.

Dalam proses penyelesaian Tesis ini tentunya banyak pihak yang ikut andil, baik secara langsung maupun tidak langsung, begitu juga secara materi dan moral, oleh karena itu adalah suatu kewajiban bagi penulis untuk memberikan penghormatan dan ucapan terima kasih yang sebesarnya terutama kepada :

1. Yang selalu hidup dalam jiwaku, ayahanda H. Mahfud Afandi, Ibunda Hj. Uswatun Hasanah yang telah mendidik, membesarkan, dan mencurahkan segenap kasih sayangnya serta memberikan dorongan moral, material dan spiritual kepada penulis. Semoga kedua orang tua kami diampuni dosanya dan diterima semua amal ibadah-Nya, Amien.

2. Istri tercinta Devilia Karisma Putri, SST. Keb. yang telah memberikan dukungan dan motivasi 100% dalam penelitian ini.

3. Tak lupa, bapak ibu kedua kami yakni mertua: Bapak Agus Rantohan, S.Pd, Ibu Lilik Sutriami serta saudara-saudari penulis, Siti Aisah, Saiful Aziz, Rois Fatoni, S.Pd, Noer Syamsi Zakaria, S. Hi, Dr. Miftahul Arif, M. HI. Semoga mereka selalu dalam naungan rahmat-Nya, Amien.

(6)

4. Bapak Prof. Dr. Maksoem Machfoedz, M. Sc. Selaku Rektor Pascasarjana Program Magister Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Jakarta.

5. Bapak Dr. Ahmad Suaedy, MA. Hum. Selaku Direktur Pascasarjana Program Magister Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Jakarta. Yang selama ini tak kurang-kurangnya memberikan motivasi dan arahan kepada penulis perihal akademik.

6. Bapak Dr Mastuki HS., M.Ag. Selaku dosen pembimbing penulis yang telah mencurahkan segala pikiran dan waktunya demi memberikan arahan dan bimbingan dalam penulisan Tesis ini.

7. Terima kasih kepada seluruh dosen dan civitas Pasca Sarjana Universitas Nahdlatul Ulama Jakarta. Prof Dr. KH Said Aqil Siradj, MA. Dr. KH.

Ali M Abdillah, MA. Dr. KH. Abdul Moqsid Ghazali, MA. Dr Mastuki, HS., M.Ag. Dr. Hamdani, Ph.D. Dr Isom El Saha, M.Ag. Prof Dr Dien Majid, MA. MA., Dr Zastrouw El-Ngatawi, MA., KH Agus Sunyoto, M.Pd. Dr. Ulil Abshar, M.Hum, Dr M Ulinnuha Husnan, Lc.MA., Dr Syafiq Hasyim, Ph.D. Dr Ulil Absar Abdalla, Dr M Adib Misbachul Islam, Dr. Endin Aj Soefihara, MA., Dr Ahmad Fudhaili, MA. Dr Ali Akbar, M.Si, Dr Mahrus Elmawa, M.Ag. Ali Masyhar, Lc., M.Hum. A.

Ginanjar Sya’ban, Lc. M.Hum, Johan Wahyudi, M.Hum. Ayatullah, M.Phil. Rohul, M.Hum. Muhtarom, M.Hum dan lainnya.

8. Semua teman-teman Mahasiswa Pascasarjana Program Magister Angkatan 2016, yang telah menemani pengembaraan intelektual penulis selama di bangku kuliah.

9. Guru-guruku semuanya tanpa terkecuali yang telah lulus mewariskan ilmunya demi kecerahan kehidupanku.

Sebagai manusia yang tak luput dari salah dan dosa, penulis menyadari bahwa Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan

(7)

segala kerendahan hati, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun. Akhirnya penulis berharap, semoga Tesis ini dapat memberikan kemanfaatan bagi pengembangan ilmu pengembangan, peningkatan kualitas manusia dan kemanusiaan meski hanya sebesar biji sawi.

Wa Alla>h al-Muwa>fiq ila> aqwam at} T}a>ri>q Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Jakarta, 10 Mei 2019 Penulis

(8)

Kata Pengantar...i

Daftar Isi ... iv

Pendahuluan ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Studi Pustaka ... 7

E. Kerangka Teori ... 12

1. Deskripsi Kontruksi Sosial ... 12

2. Konsep Internalisasi ... 15

F. Metodologi Penelitian ... 24

1. Jenis Penelitian ... 24

2. Sumber Data ... 25

G. Teknik Pengumpulan Data ... 26

1. Metode Analisis Data ... 27

H. Teknik dan Sistematika Penulisan ... 29

Tradisi kebudayaan lokal dan Nilai-nilai Islam ...31

A. Deskripsi Kebudayaan ... 31

B. Pengertian Tradisi Dan Tradisi Agama ... 32

1. Pengertian Tradisi ... 32

2. Macam-Macam Tradisi ... 36

3. Pengertian Tradisi Agama ... 41

C. Konsep Ushul Fiqh Tentang ‘Urf ... 43

1. Pengertian Adat (‘Urf dalam Ushul Fiqh) ... 43

(9)

2. Syarat-syarat ‘Urf... 45

3. Kaidah Ushul Fiqh Tentang ‘Urf ... 45

4. ‘Urf ditinjau dari segi (Objeknya, Cakupannya dan Keabsahannya) ... 47

Potret Sejarah dan Kebudayaan di Suku Using Banyuwangi ...49

A. Profil Suku Using ... 49

1. Sejarah Suku Using di Banyuwangi ... 49

2. Kehidupan Suku Using di Banyuwangi (Pola Kekerabatan, Sebaran dan Nilai Seni) ... 53

3. Masyarakat Using dan Kekayaan Khazanah Budaya ... 59

B. Masuknya Islam di Banyuwangi ... 67

C. Sejarah Tradisi Endog-Endogan ... 69

1. Latar belakang tradisi Endog-Endogan. ... 69

2. Peran NU dan KH. Abdullah Fakih Sebagai Pencetus Tradisi Endog-Endogan. ... 72

3. Prosesi tradisi Endog-Endogan. ... 75

4. Tradisi Endog-Endogan sebagai Medium: Pertemuan Budaya, Sosial dan Agama. ... 79

5. Perkembangan Tradisi Endog-Endogan ... 80

Internalisasi di Balik Simbol Tradisi Endog-Endogan ...83

A. Proses Internalisasi Nilai-nilai Islam dengan Tradisi Endog-endogan... 83

B. Peringatan Maulid Sebagai Medium ... 86

C. Nilai Filosofis Tradisi Endog-Endogan ... 103

D. Pengaruh Tradisi Endog-endogan ... 108

1. Sosial dan Politik ... 108

2. Keagamaan ... 109

3. Ekonomi ... 110

4. Pariwisata ... 111

E. Temuan Lapangan dan Analisis ... 112

(10)

Penutup ... 119

A. Kesimpulan... 119

B. Saran-Saran ... 120

Daftar Pustaka... 122

Biodata Penulis ... 128

(11)

A. Latar Belakang Masalah

Tradisi endog-endogan ini, merupakan tradisi lama yang dimulai sejak tahun 1911 dalam mengenalkan dan memperkuat Islamisasi di Banyuwangi yang mengajarkan untuk memahami Islam dari sudut pandang nilai filosofi di dalam sebuah telur. Tradisi endog-endogan dilakukan dengan memasak terlebih dahulu telur matang, lalu disunduk menggunakan bambu, dihiasi dengan bunga-bunga dari kertas kemudian ditancapkan kesebuah pohon pisang, kemudian diarak keliling desa dengan menggunakan mobil dan ditambah kesenian lokal Banyuwangi lainya (yaitu Kuntulan). Ketika acara pawai keliling sudah selesai, masyarakat dikumpulkan ke masjid lalu didoakan dengan membaca Al Barzanji terlebih dahulu, kemudian telurnya dibagikan kemasyarakat yang hadir.

Selain itu tradisi endog-endogan mempunyai daya tarik pemerintahan khususnya, yang mana sejak dibawah pimpinan bapak Bupati Azwar Anas, tradisi ini lebih ditingkatkan dalam prosesinya dengan menggelar festival setiap tahunnya. Adapun tujuan dari pemerintah adalah sebagai pengembangan budaya lokal dan sekaligus menambah wisata baru yang dikemas dengan berbagai macam keunikan, sehingga berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat.

Bahkan wisata asing banyak berdatangan pada waktu acara tradisi diselenggarakan.

Latar belakang tradisi endog-endogan muncul sebagai peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, bahkan tradisi ini muncul sebagai media dakwah Islam di wilayah Banyuwangi yang pada saat itu masih bernama Blambangan. Sedangkan pada masa itu Blambangan dibawah kekuasaan VOC yang menyebarkan agama Nasrani.

(12)

Masjid menjadi pusat diadakannnya tradisi endog-endogan di setiap masing-masing desa. Dalam acara tahunan ini pasti dimulai dengan rapat dengan beranggotakan para pengurus masjid, tokoh masyarakat dan remaja masjid seminggu sebelum acara ditentukan. Tokoh masyarakat dan pengurus masjid yang bertanggung jawab dalam mengawal para remaja masjid yang diberi amanah dalam teknis untuk persiapan acara, agar dapat berjalan dengan sukses serta meriah. Adapun proses kegiatan dalam tradisi endog-endogan yakni dengan persiapan telur hias oleh masing-masing keluarga, remaja masjid membagikan takir (tempat makan) dan hiasan buat tempat telur sebanyak 3 biji, selain itu telur direbus, peralatan yang lain khas suku Using adalah ancak yang nantinya berisi nasi, lauk pauk dan berbagai rempah-rempah kemudian diantarkan ke masjid dan khusus telur di tancapkan ke jhodang- jhodang1, yang telah dihias dengan bunga-bunga kertas lalu diarak sembari diiringi kesenian banyuwangi, diantaranya kuntulan, peralatan sond sistem dan beberapa ornament kendaraan-kendaraan pembawa endog yang dihias sesuai kreatifas masing-masing warga.2

Dari tradisi endog-endogan di atas, hal tersebut membuktikan bahwa Islam tidak hanya berhubungan dengan kehidupan spiritual, yang mana tidak ada sangkut pautnya dengan masyarakat dan negara, mungkin sama jauhnya dari kenyataan dengan menyatakan bahwa Islam telah memberikan sebuah sistem sosial, ekonomi, dan politik yang menyeluruh serta terperinci. Hukum Islam, Syariah, dalam dua sumber sucinya yakni al-Quran dan Sunnah, tradisi verbal dan praktis Nabi Muhammad SAW, bersifat permanen, tetapi aturan-aturan legalnya yang langsung bersifat terbatas, pada saat yang sama, turunan intelektualnya sebagaimana ditunjukkan dalam berjilid-jilid karya fiqih dan kumulasi tingkah-laku masyarakat muslim sepanjang berabad-abad

1 Jhodang adalah Batang Pohon pisang.

2 Wawancara Pribadi dengan bapak Syaiful Aziz, Tokoh Masyarakat desa Sragi kecamatan Songgon, (Banyuwangi, 14 November 2018).

(13)

dan ditempat yang berbeda, seperti halnya dalam catatan sejarah bisa berubah.3

Tradisi endog-endogan dalam masyarakat Banyuwangi, masih tetap dilestarikan meskipun telah ada perubahan di beberapa hal. Seperti telur yang dulu ditusuk dengan bambu, maka sekarang dibungkus agar tidak mudah busuk. Dalam suatu tradisi yang berkembang pada masyarakat pasti memiliki fungsi dan pengaruh terhadap keberlangsungan hidup masyarakat, seperti pada tradisi endog-endogan. Keberadaannya tidak mungkin jika tidak mempunyai fungsi sama sekali, karena pada dasarnya segala bentuk unsur kebudayaan diciptakan untuk memenuhi kebutuhan dan manfaat bagi kehidupannya.

Tradisi endog-endogan merupakan produk asli Suku Using Banyuwangi, tidak semua wilayah daerah Banyuwangi mengadakan tradisi ini. Ada beberapa desa Suku Using yang masih kental dalam mengadakan tradisi ini, diantara: Desa Kemiren kecamatan Glagah, desa Sumberbaru kecamatan Singojuruh, desa Balak kecamatan Songgon dan puncak acara perayaan dilakukan oleh pemerintahan daerah kabupaten Banyuwangi, yang kemudian dikemas dengan bentuk kegiatan festival yang melibatkan warga sekitar kecamatan kota Banyuwangi. Endog-endogan sendiri, menurut idiom lokal bahasa Using bermakna telur hias yang ada pada bulan maulid Nabi Besar Muhammad SAW. Masing-masing bagian dari endog-endogan atau telur menyimpan makna dan mengarah pada satu frekuensi dalam dakwah Islam serta memiliki makna nilai filosofis yang tinggi yang erat hubungannya dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.4

Perkembangannya, tradisi di Indonesia mengalami akulturasi dengan bentuk-bentuk kultur yang ada, sehingga bentuk dan coraknya dipengaruhi oleh budaya yang bermacam-macam, seperti: animisme, dinamisme, Islam serta Hindu-Budha. Proses akulturasi secara perlahan- lahan dengan budaya yang ada sehingga membentuk suatu pemahaman

3 Bahtiar Efendy, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia”, (Jakarta: Democracy Project Yayasan Abad Demokrasi. 2011), h. 1.

4 Wawancara Pribadi dengan bapak Suhailik, Budayawan Lokal Banyuwangi, Banyuwangi, 6 Maret 2019.

(14)

dan pengalaman budaya baru.5 Tradisi tersebut, masih ada kesinambungan warisan budaya dan cara berfikir antar generasi yang sulit diputuskan dengan begitu saja. Budaya adalah cara berfikir, pandangan hidup, falsafah, pandangan dunia dan pandangan keagamaan yang membentuk prilaku sehari-hari. Jika dalam perspektif metodologis, orang bisa saja bahkan perlu membedakan antara

“spiritualitas, sakralitas, dan moralitas”. Semuanya itu seringkali jumbuh, bahkan sangat sulit dibedakan antara Ontologis-Metafisis, ketika terjadi ketumpang tindihan antara ketiganya, maka barangkali itu yang disebut orang dengan istilah budaya.6

Penyebaran Islam di Banyuwangi Nampak lengkap, ketika kehadiran Masyarakat santri di berbagai daerah nusantara, termasuk di bumi Blambangan yang kini disebut kabupaten Banyuwangi berwujud pondok pesantren. Menurut Dofier pondok artinya adalah rumah kecil, gubug, teratak yang berdinding bambu, beratap rumbia yang fungsi sebagai asrama dan tempat belajar agama (ngaji). Akan tetapi yang perlu dicatat keberadaan pesantren tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat di sekitarnya. Keduanya memiliki hubungan mutualisme simbiosis, masing-masing saling membutuhkan dalam rangka pelestarian tradisi kaum santri. Dengan demikian terdapat satu kesatuan yang utuh antara pesantren dan masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu hadir satu kehidupan masyarakat santri yang memperkuat struktur masyarakat pedesaan di Banyuwangi, dimana terdapat satu tokohnya yaitu KH.

Abdullah Faqih Cemoro (1878 M).7

Sebagaimana pondok pesantren yang ada di zaman itu, pondok pesantren ini tidak memiliki nama, namun merujuk pada daerah didirikannya akhirnya pesantren ini dikenal dengan pondok pesantren Cemoro. Dalam melakukan penyebaran Islam, Kiai Abdullah Faqih tidak menggunakan cara formal sebagaimana ulama timur tengah. Kiai

5 A. Syahri, “Implementasi Agama Islam Pada Masyarakat Jawa,” (Jakarta: DEPAG, 1985), h.2.

6 Forum Ilmiyah Festifal Istiqlal II, “Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa, Aneka Budaya di Jawa,”

(Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996), h. 179.

7 Zamakhsyari Dhofir, “Tradisi Pesantren,” (Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan, Ekonomi dan Sosial.1984), h. 82.

(15)

Using ini juga mengikuti kultur masyarakat suku Using yang amat mencintai kesenian.

Mengetahui karakter yang demikian, KH. Abdullah Faqih mencoba memasukkan doktrin ajaran agama dengan pendekatan kesenian. Maka, atas ijtihad tersebut muncullah apa yang disebut dengan tradisi endog-endogan pada setiap peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di seluruh pelosok Banyuwangi. Dalam hal ini cukup jeli melihat sistem sosial yang ada di daerah tempat tinggalnya sehingga ajaran agama yang dibawanya dapat diterima oleh masyarakat sekitar tanpa membenturkannya dengan budaya setempat.8

Tradisi endog-endogan mempunyai peranan sangat penting dalam proses dakwah di Banyuwangi, karena dalam tradisi ini ada telur yang digunakan sebagai simbol dakwah dalam penyebaran Islam. Jika penulis lihat dan amati, tradisi endog-endogan memiliki pengaruh terhadap masyarakat, prosesinya melibatkan seluruh masyarakat dalam melaksanakan ritual tersebut. Terkait dengan itu semua tentang cara keberagamaan orang Jawa yang memiliki khas tersendiri, dan tentu saja memiliki dampak dan pengaruh terhadap dinamika sosial kehidupan bermasyarakat, baik itu dari aspek sosial, budaya, keagamaan maupun ekonomi masyarakat itu sendiri.

Dengan melihat hal-hal yang terjadi, maka penulis berusaha mengungkap keberadaan tradisi endog-endogan secara lebih lanjut, yang merupakan budaya atau peninggalan leluhur yang tetap dipertahankan oleh masyarakat setempat sampai pada era modern ini. Penelitian ini diharapkan mampu mengungkap terkait masalah yang penulis teliti yaitu tradisi endog-endogan (studi tentang asal-usul, internalisasi pertemuan budaya dan nilai Islam di suku Using Banyuwangi).

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah dan proses tradisi endog-endogan di suku Using kabupaten Banyuwangi?

2. Bagaimana internalisasi nilai Islam dalam budaya lokal tradisi endog- endogan di suku Using kabupaten Banyuwangi?

8 Wawancara Pribadi dengan Kiai Umar, Cucu Kiai Abdullah Faqih, Banyuwangi, 2 Juli 2017.

(16)

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Untuk mengetahui, mengungkap sejarah dan proses tradisi endog- endogan di suku Using Banyuwangi, selain itu juga memperjelas terkait sejarah, makna, persiapan, praktek, sehingga masih tetap dilaksanakan hingga saat ini.

2. Untuk mengetahui dan Menganalisis internalisasi nilai Islam dalam budaya lokal tradisi endog-endogan di suku Using kabupaten Banyuwangi.

Adapun penelitian ini mempunyai dua manfaat bagi pembaca maupun peneliti selanjutnya, yakni manfaat secara teoritis dan secara praktis, yang akan diuraikan sebagai berikut:

1. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memperkaya pengembangan keilmuan baru dibidang akademis dan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi dunia pendidikan terkait fungsi tradisi terhadap kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat di Indonesia. Selain itu, penelitian ini dapat mengembangkan pengetahuan sosial yang berkaitan dengan sejarah dan kebudayaan.

2. Secara praktis

Kegunaan praktis penelitian ini terdiri dari kegunaan untuk peneliti, akademisi, dan masyarakat umum. Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menerapkan teori yang telah didapatkan di bangku perkuliahan, serta mampu melihat realitas permasalahan sosial disekitar tempat tinggal dan dapat bermanfaat untuk pengetahuan, pengalaman sebagai bekal turun ke dalam lingkungan masyarakat.

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat, khususnya pengkaji kebudayaan agar bisa mengerti peran dan makna simbolik yang muncul dari tradisi endog-endogan suku Using di Banyuwangi. Disamping itu, penelitian ini bisa berguna dalam meningkatkan intelektual para akademisi dan dapat melengkapi atau sebagai sumber referensi bagi para akademisi dalam penelitian

(17)

berikutnya. Sugeng Priyadi.9 menjelaskan sumbangan sejarah lokal yang terpenting adalah sejarah nasional Indonesia yang berwawasan kebudayaan yang multi etnik, selain itu juga memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang khazanah seni budaya bangsa.

D. Studi Pustaka

Studi pustaka merupakan salah satu usaha untuk memperoleh data yang sudah ada, karena data merupakan salah satu hal yang terpenting dalam ilmu pengetahuan. Dalam studi pustaka ini penulis mencoba mengemukakan penelitian yang sejenis dengan apa yang penulis teliti baik itu dari penelitian tentang Banyuwangi sendiri ataupun tentang daerah lain yang mempunyai tema yang sejenis berupa laporan penelitian, jurnal maupun artikel dan karya ilmiah lainnya. Referensi yang akan dijadikan rujukan oleh peneliti diantaranya adalah sebagai berikut:

M. Nawa Syarif Fajar Sakti dengan Skripsi yang berjudul“

Internalisasi Nilai-nilai Pendidikan Agama Islam Pada Sanggar Budaya Posdaya Di Masjid Nurul Khasanah Pujon Kabupaten Malang” Dalam Skripsinya tersebut mengupas adanya internalisasi nilai pendidikan Agama Islam pada Sanggar Budaya kepada peserta didik agar lebih memahami ajaran Islam, tetapi mereka juga tetap mempertahankan kebudayaan setempat yang menjadi kearifan lokal. Adapun nilai pendidikan agama Islam diantaranya adalah nilai dalam bidang keimanan, syari’ah dan akhlak. Sedangkan kebudayaan diartikan segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia sebagai hasil akal dan budinya, peradaban sebagai akal budi manusian dan ilmu pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang dimanfaatkan untuk kehidupan dan memberi manfaat kepadanya.

Kemudian persamaan skripsi ini dengan penelitian yang sedang peneliti tulis diantaranya: Pertama, membahas tentang internalisasi Islam dengan kebudayaan lokal yang mana saling berkolaborasi tanpa menghilangkan kebudayaan yang semula ada. Kedua, memberi sebuah

9 Sugeng Priyadi, “Sejarah Lokal Konsep, Metode dan Tantangan,” (Yogyakarta: Ombak, 2012), h. 44.

(18)

pemahaman akan pentingnya budaya untuk selalu dilestarikan dan dikembangkan sebagai identitas daerah setempat yang budaya tersebut tidak dimiliki oleh daerah lain. Ketiga, sama-sama menggunakan sarana tempat ibadah yakni masjid ketika melakukan aktifitas pendidikan.

Kemudian jika melihat perbedaan dengan objek kajian penulis yakni: Pertama, dalam segi tempat atau daerah wilayah kajian Skripsi ini berada di Kabupaten Malang. Kedua, sasaran lingkungan kebudayaan ada di kawasan pendidikan dan peserta didik sebagai motor dalam pelaku internalisasi kebudayaan tersebut. Ketiga, sekripsi ini lebih mengarah pada nilai-nilai Islam tanpa menyebutkan seseorang untuk ditokohkan dalam internalisasi budaya tersebut.10

Skripsi Adnan Zulfikar Fanani, “Peran Tradisi Endog-endogan dalam Islamisasi di desa Kalirejo, kecamatan Kabat kabupaten Banyuwangi.” Sripsi ini memaparkan tentang Islamisasi dalam lingkup desa dan lebih khusus masjid Baitul Muttaqien. Persamaan dengan penelitian kami, yakni membahas tradisi endog-endogan akan tetapi skripsi ini lingkupnya cuman satu desa yang lebih terfokus di sebuah masjid, tidak sampai menerangkan pencetus serta pemetaan kawasan Using.

Berbeda dengan kajian kami yang lebih luas di beberapa tempat Suku Using, yang mana identik dengan tempat berjalannya tradisi tersebut. Selain itu menurut saya Skripsi ini belum tuntas dan terlalu lebay dalam menguraikan dengan contoh memberikan sumbangan dana ke panitia masjid, padahal ketika saya cek ke warga sekitar masjid.

Bahwa yang ada justru hanya sumbangan swadaya masyarakat dan membawa nasi, kue. Dalam segi acara juga biasa saja dan kurang meriah, seperti tradisi endog-endogan yang masih kental nilai spiritualnya di desa Kemiren ataupun daerah desa Balak.11

Tesis Nafidzatun Nuri Lailin Nisfah membahas tentang “Pepunden dalam konsep Keagamaan masyarakat” (studi atas ritual selametan

10 M. Nawa Syarif Fajar Sakti, “Internalisasi Nilai-nilai Islam Pada Sanggar Budaya Posdaya Di Masjid Nurul Khasanah Pujon Kabupaten Malang,” (Skripsi Program Studi Pendidikan Agama Islam Jurusan Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2018), h. 31.

11 Adnan Zulfikar Fanani, “Peran Tradisi Endog-endogan dalam Islamisasi di desa Kalirejo, Kecamatan Kabat kabupaten Banyuwangi”, (Skripsi, UIN Sunan Kalijaga, 2015), h. 15.

(19)

Buyut Cili di masyarakat suku Using desa Kemiren kecamatan Glagah Banyuwangi). Pemahaman suku Using terkait pepunden, adalah sebuah bentuk ritual yang sederhana. Adapun ritual itu sendiri berupa selametan dan mempunyai ciri khas sendiri, berbeda pada selametan pada umumnya. Selametan sendiri ada tempat khusus yakni di makam Buyut Cili, yang mana Buyut Cili merupakan leluhur desa.

Bahkan konon masyarakat setempat mempercayai Buyut Cili sebagai penjaga yang melindungi desa dan menjadi semacam tempat pengaduan segala bentuk keluh kesah yang dialami masyarakat sekitar.

Selain itu juga dalam proses selametan pasca ritual, semua makanannya dimakan ditempat. Berangkat dari situ dapat ditarik kesimpulan, bahwasanya ritual itu biasa dijadikan pusat keagamaan dan kehidupan masyarakat yang mengakar kuat dan dalam perkembangan kehidupan masyarakat desa Kemiren mengandung bentuk religi, budaya, maupun ekonomi.

Kemudian ritual itu memberikan kontribusi kepada masyarakat dalam menyelesaikan masalah, meminimalisir bahkan menghindarkan konflik seperti halnya ketika ada orang kena santet. Proses penyembuhannya biasanya selain ke orang pintar, masyarakat sekitar juga tak lupa membawa ke makam Buyut Cili, dengan terlebih dahulu mengadakan ritual selametan. Penelitian ini mengandung beberapa kesamaan diantaranya: Dalam sasaran kajian terfokus dalam budaya suku Using, tradisi yang digunakan juga memakai simbol penanda berupa makam Buyut Cili, mempunyai manfaat mempererat persatuan dan kesatuan masyarakat di suku Using.

Adapun perbedaannya dengan penelitian kami, yakni: penelitian ini menggunakan teori Clifford Geertz tentang (stratifikasi abangan, santri dan priyayi), bentuk simbol sebagai alat penanda juga berbeda, penelitian ini cuman fokus pada satu desa Kemiren saja. Sedangkan penelitian kami lebih luas dan mencakup beberapa daerah suku Using yang melestarikan tradisi endog-endogan sampai sekarang.12

12 Nafidzatun Nuri Lailin Nishfah, Pepunden Dalam Konsep Keagamaan Masyarakat “Studi Atas Ritual Selametan Buyut Cili di Masyarakat Suku Using Desa Kemiren Kecamatan Glagah Banyuwangi”,(Tesis S2 Prodi Interdisciplinary Islamic Studies, Konsentrasi Islam Nusantara, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2017), h. 24.

(20)

Skripsi livia Anis Metasari “fungsi tradisi Seblang terhadap kehidupan sosial dan Keagamaan masyarakat desa Bakungan kecamatan Glagah kabupaten Banyuwangi”. Universitas Islam negeri sunan kalijaga Yogyakarta. Seblang adalah sebuah ritual tradisi penolak balak serta bertujuan untuk penyucian desa. Dengan tradisi ini juga merupakan bagian dari cara mengucapkan rasa bersyukur masyarakat desa Bakungan terhadap nikmat dan kesejahtraan yang selama ini diberikan oleh sang pencipta kepada masyarakat desa, adapun diwujudkan dengan sebuah tarian mistik (magis).

Penari yang melakukan ritual tersebut dalam keadaan tidak sadar (dirasuki oleh roh atau danyang), umur wanita tua yang berusia 50 tahun ke atas dan telah mati haid. Tradisi ini mempunyai kontribusi yang besar dalam mempengaruhi kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat sampai saat ini masih tetap dipertahankan serta dilestarikan. Penelitian ini ada kesamaan dengan penelitian kami, dimana sama-sama membedah tentang tradisi lokal. Seblang memang tradisi tertua di Banyuwangi yang mana tradisi itu menempati urutan pertama dari pada tradisi endog-endogan.

Kesamaan yang lain memakai simbol penari sebagai media dalam pelaksanaan upacara. Akan tetapi yang membedakan adalah arah subtansi kajian penelitian ini fokus membahas fungsi dari sebuah tradisi dan hanya memakai satu teori saja tentang agama. Sedangkan penelitian kami memakai dua sampai tiga teori yang lebih spesifik. Selain itu perbedaannya, penelitian ini secara tidak langsung menggunakan bantuan roh halus dan mempunyai tujuan mengusir balak, sedangkan penelitian kami bermaksud memperingati Maulid Nabi Besar Muhammad SAW. Begitu juga prosesi dalam pelaksanaan, terlebih dahulu menghias beberapa alat penanda yang mau dibuat kirab serta tak lupa di iringi musik khas Banyuwangi yakni kuntulan, kemudian dibawa ke masjid untuk di doain lewat pembacaan Al Barzanji, baru setelah itu dibagikan ke jamaah yang hadir.13

13 Lavia Anis Metasari, “Fungsi Tradisi Seblang Terhadap Kehidupan Sosial dan Keagamaan Masyarakat Desa Bakungan, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, 2015), h. 20.

(21)

Rujukan lain adalah Selain itu artikel Suhalik yang berjudul

“Sejarah masuknya agama Islam dan multikultural Banyuwangi”.14 Menjelaskan tentang sejarah masuknya agama Islam di Blambangan yang berawal dari perkawinan cucu penguasa Blambangan Prabu Menak Sembuyu (Menak Dedali Putih), yaitu Putri Sekardadu dengan Syekh Maulana Ishak atau Syekh Wali Lanang. Berangkat dari situlah kemudian Islam berkembang di bumi Blambangan. Tempat berseminya diaspora beberapa kebudayaan suku-suku bangsa di Indonesia. Suhalik juga menjelaskan bahwa keanekaragaman tersebut selain menjadi faktor daya tarik, juga merupakan kelemahan pembangunan Banyuwangi.

Karya Suhalik ini memberikan gambaran yang sangat banyak terhadap sejarah Banyuwangi.

Selanjutnya persamaan artikel ini dengan penelitian kami, adalah kesamaan dalam segi pembahasan Islam, letak lokasi yakni kabupaten Banyuwangi, serta bermuatan sejarah yang dalam. Adapun perbedaan, artikel ini tidak membahas tentang kebudayaan lokal seperti halnya tradisi endog-endogan, yang sedang kami teliti, selain itu dalam Artikel ini tidak ditemukan teori-teori, sebagaimana yang kami gunakan.

Tesis Bambang Soeyono juga menjelaskan tentang Gandrung sebagai identitas budaya, Gandrung Banyuwangi.15 Sebagai identitas budaya masyarakat Using di Jawa Timur. Tesis ini menjelaskan tentang awal mula munculnya Gandrung dan segala perubahannya, fungsi Gandrung, bentuk sajian, nilai dan estetika Gandrung, bahkan sampai Gandrung yang menjadi pilihan profesi bagi wanita-wanita muda di Banyuwangi. Eksistensi penari Gandrung dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat Using, latar belakang perjalanan penari Gandrung serta arti Gandrung bagi masyarakat Using, hingga menjadi identitas budaya.

Kontribusi tradisi tarian pertunjukan Gandrung dapat memberikan nilai lebih dalam budaya dan menjadikan sebuah daya tarik pariwisata asing, sehingga membuat pemerintah bangga dan kemudian dapat perhatian khusus dalam pelestariannya.

14 Suhalik, “Sejarah Masuknya Agama Islam dan Multikultural Banyuwangi”, (Lembar Kebudayaan, Edisi 20, 2011), h. 11.

15 Bambang Soeyono, “Gandrung Banyuwangi Sebagai Identitas Budaya Masyarakat Using di Jawa Timur”, (Tesis. Universitas Gadjah Mada, 1998), h. 56.

(22)

Kemudian persamaan tesis ini adalah penelitian yang membahas tentang tradisi kebudayaan, sama-sama menjadi aikon daerah dalam setiap tahunnya, selain itu Gandrung merupakan ciri khas tradisi budaya lokal suku Using.

Adapun perbedaannya Gandrung sebuah tarian adat daerah tetapi jika endog-endogan tradisi khusus memperingati hari besar agama Islam, dalam pelaksanaan Gandrung berpusat di daerah pendopo dan pas penyambutan tamu yang berkunjung di kabupaten Banyuwangi, sedangkan endog-endogan dilaksanakan di masing-masing desa, kecamatan dengan keliling daerah tersebut dan saling berlomba-lomba dalam menghias endog-endogan, sampai kendaraan yang dipakai untuk berjalan keliling, kemudian penelitian kami juga mengungkapkan bagaimana asal-usul dan proses internalisasi terhadap tradisi tersebut, bahkan dalam penyebarannya bisa melebur dengan kebudayaan komunitas suku Using lewat seorang tokoh KH. Abdullah Faqih.

E. Kerangka Teori

1. Deskripsi Kontruksi Sosial

Kontruksi sosial merupakan proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif. Adapun secara bahasa berasal dari kata To Construct yang berarti membangun atau wujud, sehingga maksud dari kontruksi sosial berarti wujud tentang realitas sosial. Adapun tujuan kontruksi sosial untuk menjelaskan cara-cara bagaimana fenomena secara sosial dibangun.

Contohnya kata “Perang” bisa dimaknai sebagai tindakan saling agresif dengan menggunakan kekuatan senjata, “Perang” juga dapat dimaknai sebagai pertentangan ideologi.16

Sejarah perkembangan kontruksi sosial tepatnya pada abad ke 20, kemudian berkembang pesat pada tahun 1970. Dalam perkembangannya banyak dipengaruhi oleh ide-ide Foucault, yang kemudian disebut kontruksionisme sosial. Kemudian kontruksi sosial

16 Margaret Poloma, “Sosiologi Kontemporer,” (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h. 9.

(23)

lahir dari beberapa sumber, seperti interaksionisme sosial, antroplogi simbolik, dan para ilmuan bidang gay lesbian dan feminis.

Pendekatan ini lebih menekankan pengaruh budaya dalam memberikan suatu kerangka bagi pengalaman dan pemaknaan seksualitas.

Dengan demikian, kontruksi sosial secara tegas menyertakan budaya sebagai faktor kunci untuk memahami seksualitas. Selain itu asal-usul kontruksi sosial berasal dari filsafat kontruksivisme yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glaserfeld, sebenarnya gagasan pokok kontruktivisme telah dimulai oleh Glambatissta Vico, ia seorang epistemologi dari Italia dan dialah awal munculnya cikal bakal Kontruktivisme.17

Sejauh ini ada tiga macam kontruktivisme, yakni:

Kontruktivisme radikal, Kontruktivisme hipotesis, dan kontruktivisme biasa.

a. Kontruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran kita, bentuk itu tidak selalu representasi dunia nyata.

Kontruktivisme ini mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran.

Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksi suatu realitas ontologisme obyektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu merupakan kontruksi dari individu lain yang pasif karena itu kontruksi harus dilakukan sendiri olehnya terhadap pengetahuan itu. Sedangkan lingkungan adalah sarana terjadinya kontruksi itu.

b. Realisme hipotesis adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki.

c. Kontruktivisme biasa yaitu mengambil semua konsekuensi kontruktivisme dan memahami pengetahuan sebagai gambaran dari realitas itu. Kemudian pengetahuan individu dipandang sebagai gambaran yang dibentuk dari realitas objektif dalam dirinya sendiri.

17 Suparno, “Filsafat Kontruktivisme dalam Pendidikan,” (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h. 24.

(24)

Dalam ketiga macam kontruktivisme terdapat kesamaan dimana kontruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di sekitarnya. Individu kemudian membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihat itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya, inilah yang oleh Berger dan Luckmann disebut kontruksi sosial.18

Melalui sentuhan Hegel yakni tesis-antitesis-sintesis, Berger menemukan konsep untuk menghubungkan antara yang subjektif dan objektif melalui konsep dialektika, yang kemudian dikenal dengan eksternalisasi-objektivasi-internalisasi.

a. Eksternalisasi ialah penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia.

b. Objektivasi ialah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi.

c. Internalisasi ialah individu mengindentifikasi diri di tengah lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya.

Jika teori-teori sosial tidak menganggap penting atau tidak memperhatikan hubungan timbal balik atau dialektika antara ketiga momen ini menyebabkan adanya kemandegan teoritis. Dialektika berjalan simultan, artinya ada proses menarik keluar (ekseternalisasi) sehingga seakan-akan hal itu berada diluar (objektif) dan kemudian ada proses penarikan kembali ke dalam (internalisasi) sehingga sesuatu yang berada dalam diri atau kenyataan subjektif.19

Berger dan Luckmann dalam memahami kontruksi sosial dimulai dengan mendifinisikan apa yang dimaksud dengan kenyataan dan pengetahuan. Pertama, kenyataan sosial adalah sesuatu yang tersirat di dalam pergaulan sosial yang diungkapkan secara sosial melalui komunikasi lewat bahasa, bekerjasama dengan berbagai

18 Suparno, “Filsafat Kontruktivisme dalam Pendidikan,” (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h. 25- 26.

19 Basrowi, Sukidin, “Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro,” (Surabaya: Insan Cendekian, 2002), h. 206.

(25)

organisasi-organisasi sosial dan yang lainnya. Kenyataan sosial itu bisa ditemukan di dalam pengalaman intersubyektif.

Kedua, pengetahuan mengenai kenyataan sosial itu sendiri adalah semua hal yang berkaitan dengan penghayatan kehidupan masyarakat dengan segala aspeknya meliputi: kognitif, psikomotoris, emosional dan intuitif. Kemudian dilanjutkan dengan meneliti sesuatu yang dianggap intersubyektif tadi, karena Berger menganggap bahwa terdapat subyektivitas dan obyektivitas di dalam kehidupan manusia dan masyarakat.20

Berger dan Luckmann mengatakan institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun institusi sosial dan masyarakat terlihat nyata secara obyektif, namun pada kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Obyektifitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektifitas yang sama. Pada tingkat yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupan. Intinya Berger dan Luckmann mengatakan terjadi dialetika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Proses dialektika ini terjadi melalui eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi.21

2. Konsep Internalisasi

Pengertian internalisasi dalam KBBI adalah “Penghayatan proses falsafah Negara secara mendalam berlangsung lewat penyuluhan, penataran”. Penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin, atau nilai, sehingga merupakan keyakinan dan kesadaran akan kebenaran doktrin atau nilai yang diwujudkan dalam sikap dan prilaku. Sementara itu, pengertian nilai secara bahasa dijelaskan

20 Nur Syam, “Islam Pesisir,” (Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara, 2005), h. 37.

21 Burhan Bungin, “Kontruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Tlevisi dan Keputusan Konsumen Serta Kritik Terhadap Peter L. Berger dan Thomas Luckmann,” (Jakarta: Kencana, 2008), h. 14-15.

(26)

dalam KBBI bahwa nilai adalah harga (diarti taksiran harga), sebenarnya tidak ada ukuran yang pasti untuk menentukan.22 Dalam pengertian tersebut dapat diketahui bahwa pengertian nilai dapat disesuaikan dengan objek yang mengikutinya, tergantung dengan cara atau metode yang digunakan.

Pengertian nilai menurut J.R. Fraenkel yaitu sebuah konsep gagasan tentang apa yang dianggap oleh seseorang penting dalam hidupnya. Menurut Sidi Ghazali nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal bukan benda konkrit, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empiric, melainkan soal penghayatan yang dikehendaki, disenangi dan tidak disenangi. Selain itu, Lauis D. Kattsof berpendapat bahwa “ nilai merupakan kualitas empiris yang tidak dapat didefinisikan, tetapi kita dapat mengalami dan memahami secara langsung kualitas yang terdapat dalam objek tersebut. Dengan demikian nilai tidak semata-mata subyektif, melainkan ada tolak ukur yang pasti yang terletak pada esensi tersebut.23

Ada dua aliran nilai dalam kajian nilai dalam filsafat, yaitu naturalisme dan non-naturalisme. Bagi naturalisme, nilai adalah sejumlah fakta. Oleh karena itu setiap keputusan nilai dapat diuji secara empirik. Contohnya prilaku jujur, adil, dermawan. Sementara non-naturalisme, nilai merupakan sesuatu yang tidak sama dengan fakta, artinya fakta dan nilai adalah jenis yang terpisah dan secara absolut tidak tereduksi satu dengan yang lain. Oleh karena itu, nilai tidak dapat diuji secara empirik. Pemberian nilai baik atau buruk maupun benar atau salah menurut aliran ini hanya dapat diketahui melalui intuisi moral yang telah dimiliki manusia, yaitu kesadaran langsung adanya nilai murni seperti benar atau salah dalam setiap prilaku, objek atau seseorang.24

22 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, KBBI, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 439.

23 Chabib Toha, “Kapita Selekta Pendidikan Islam,” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 60- 61.

24 Amril, “Etika Islam; Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghib Al- Isfhani,” (Yogyakarta:

Pustaka Belajar, 2002), h. 212-214.

(27)

Pengertian lain tentang Internalisasi adalah proses individu yang tidak dapat melepaskan subjektifitasnya. Dalam sebuah masyarakat yang memiliki ideologi tertentu, masing-masing orang akan memahami ideologi tersebut secara berbeda-beda. Demikian halnya dengan masyarakat yang terbentuk dalam sebuah tradisi dan kearifan lokal tertentu. Kemudian seiring dengan berputarnya waktu dan perkembangan zaman, paling tidak sedikit atau banyak ia akan berpeluang melakukan hal baru yang tidak pernah dilakukan oleh pendahulunya.25

Secara sepintas konsep ini merupakan proses individu manusia mulai awal dilahirkan sampai mau meninggal, individu tersebut belajar menanamkan kedalam pribadinya segala perasaan, hasrat, nafsu, emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya. Akan tetapi dalam mengaktifkannya sangat dipengaruhi oleh berbagai macam stimulasi yang ada disekitar alam serta lingkungan sosial maupun kebudayaan.

Sebagai contoh pertama yakni perasaan, yang mana ini diaktifkan dalam kepribadian seorang bayi saat dilahirkan adalah perasaan puas dan tidak puas. Lingkungan yang berbeda dengan ibu memberikan pengalaman tidak puas yang pertama kepada si individu baru itu.

Baru setelah ia dibungkus selimut dan diberi kesempatan untuk menyusu, maka rasa tidak puas itu hilang.

Kemudian setiap kali terkena pengaruh-pengaruh lingkungan berakibat rasa tidak puas tadi ia menangis, tetapi akan berubah nyaman ketika dikasih selimut dan susu. Secara sadar bayi tersebut telah belajar untuk tidak hanya mengalami, bahkan juga mulai belajar mengetahui cara mendatangkan rasa puas, yaitu dengan cara menangis. Begitu juga kepribadian yang lain, juga ada berbagai hasrat. Diantaranya hasrat bergaul, meniru, berbakti, menahan diri, semua itu dipelajari melalui proses internalisasi menjadi bagian kepribadian individu.26

Internalisasi ini berlangsung seumur hidup seseorang dengan melakukan sosialisasi. Pada proses internalisasi ini, setiap individu

25 Muhamad Barir, “Tradisi Al-Qur’an di Pesisir,” (Jaringan Kiai Dalam Transmisi Tradisi Al- Qur’an Di Gerbang Islam Tanah Jawa), (Yogyakarta: NURMAHERA, 2017), h. 203.

26 Koentjaraningrat, “Pengantar Ilmu Antropologi,” (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2009), h. 185.

(28)

berbeda-beda dalam dimensi penyerapan. Ada yang lebih menyerap aspek ekstern, ada juga yang lebih menyerap bagian intern. Selain itu juga proses internalisasi dapat diperoleh individu melalui jalur proses sosialisasi primer dan sekunder. Adapun urain lebih jelasnya sebagai berikut: Pertama, sosialisasi primer adalah sosialisasi awal yang dialami individu pada masa kecil, dimana saat itu ia diperkenalkan dengan sosial pada individu. Kedua, sosialisasi sekunder adalah proses pengenalan individu pada usia dewasa dan memasuki dunia publik, dunia pekerjaan dalam lingkungan yang lebih luas. Sosialisasi paling penting bagi individu, yakni sosialisasi primer dan dasar struktur dalam proses sosialisasi sekunder harus mempunyai kemiripan dengan struktur dasar sosialisasi primer.27

Selain itu proses internalisasi yang disampaikan Berger juga menyatakan identifikasi, yang mana identifikasi tersebut adalah internalisasi berlangsung dengan berlangsungnya si anak menukar peranan dan sikap orang-orang yang mempengaruhinya. Artinya dia menginternalisasi dan menjadikan peranan atas sikapnya sendiri, dalam akumulasi proses pengenalan dunianya, si anak akan menemukan akumulasi respon orang lain terhadap tindakannya.

Dimana si anak mulai mengeneralisasi nilai dan norma atas akumulasi respon orang lain.

Adapun fase terakhir dari proses internalisasi ini adalah terbentuknya identitas. Identitas dianggap sebagai unsur kunci dari kenyataan subyektif, yang juga berhubungan secara dialektis dengan masyarakat. Identitas dibentuk oleh proses-proses sosial. Begitu memperoleh wujudnya, ia dipelihara, dimodifikasi, atau malahan dibentuk ulang oleh proses-proses hubungan-hubungan sosial.

Bentuk-bentuk proses sosial yang terjadi mempengaruhi bentuk identitas seorang individu, apakah identitas itu dipertahankan, dimodifikasi atau bahkan dibentuk ulang. Identitas itu sendiri

27 Peter L. Berger, Thomas Luckmann,“Tafsir Sosial atas Kenyataan”Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan,” (Jakarta: LP3ES, 2013), h. 188.

(29)

merupakan suatu fenomena yang timbul dari dialektika antara individu dengan masyarakat.28

Jadi internalisasi merupakan proses yang mendalam untuk menghayati nilai-nilai agama yang dipadukan dengan nilai-nilai pendidikan secara utuh yang sasarannya menyatu dalam kepribadian peserta didik, sehingga menjadi satu karakter atau watak peserta didik. Dalam pengertian psikologis, internalisasi mempunyai arti penyatuan sikap atau penggabungan, standart tingkah laku, pendapat, Freud juga meyakini bahwa bahwa suoer ego atau aspek moral kepribadian dari internalisasi sikap-sikap orang tua.29 Kemudian ada juga proses atau tahapan yang bisa mewakili terjadinya internalisasi, diantaranya sebagai berikut:

a. Tahap Transpormasi Nilai: Tahap ini merupakan suatu proses yang dilakukan oleh pendidik dalam menginformasikan nilai- nilai yang baik dan kurang baik. Pada tahapan ini hanya terjadi komunikasi verbal antara pendidik dan peserta didik atau anak asuh.

b. Tahap Transaksi Nilai: Suatu tahap pendidikan nilai dengan jalan melakukan komunikasi dua arah, atau interaksi antara peserta didik dengan pendidik yang bersifat interaksi timbal balik.

c. Tahap Transinternalisasi: Tahap ini jauh lebih mendalam dari tahap transaksi. Pada tahap ini bukan hanya dilakukan dengan komunikasi verbal tapi juga sikap mental serta kepribadian. Jadi pada tahap ini komunikasi kepribadian yang berperan secara aktif.

Jadi, dalam upaya menginternalisasi nilai-nilai karakter religius pada diri anak sehingga mampu tercermin pada prilaku mereka, maka diperlukan suatu penciptaan budaya religius disetiap kegiatannya.

Hal ini mengingat proses pembiasaan nilai dalam membentuk sikap, pengetahuan agama dan aspek-aspek lainnya.30

28 Peter L. Berger, Thomas Luckmann, “Tafsir Sosial atas Kenyataan”Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan, (Jakarta: LP3ES, 2013), h. 189-191.

29 James Caplin, “Kamus Lengkap Psikologi,” (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), h. 256.

30 Muhaimin, “Strategi Belajar Mengajar,” (Surabaya: Citra Media, 1996), h. 153.

(30)

Melihat sesuai dengan prosesi internalisasi maka dapat dikemukakan kembali bahwa internalisasi adalah suatu proses memasukkan atau mendoktrin suatu sikap dan tingkah laku kepada peserta didik yang terdiri atau melalui beberapa tahapan tadi.

Sedangkan kebalikan dari internalisasi adalah eksternalisasi.

Eksternalisasi sendiri mempunyai makna, suatu pencurahan kedirian manusia secara terus menerus ke dalam dunia, baik dalam aktifitas fisik maupun mentalnya. Dalam pembangunan dunia, manusia karena aktifitas-aktifitasnya menspesialisasikan dorongan- dorongannya dan memberikan stabilitas pada dirinya sendiri. Karena secara biologis manusia tidak memiliki dunia-manusia, maka dia membangun suatu dunia manusia. Manusia menciptakan berbagai jenis alat untuk mengubah lingkungan fisik alam dalam kehendaknya.

Manusia juga menciptakan bahasa, yang mana melalui bahasa manusia membangun suatu dunia simbol yang meresapi semua aspek kehidupannya. Sama seperti kehidupan materialnya, masyarakat juga sepenuhnya produk manusia. Pemahaman atas masyarakat sebagai suatu produk aktifitas manusia sebagaimana berakar pada eksternalisasi menjadi penting mengingat kenyataan bahwa masyarakat tampak dalam pengertian sehari-sehari sebagai sesuatu yang berbeda dari aktifitas manusia. Transformasi produk-produk manusia kedalam suatu dunia tidak saja berasal dari manusia tetapi juga kemudian menghadapi manusia sebagai suatu faksitas diluar dirinya sebagaimana diletakkan dalam konsep objektivasi.31

Strategi dalam pengembangan internalisasi agama dalam komunitas, dalam teori Koentjaraningrat dalam bukunya Muhaimin bahwasanya adanya upaya tiga tataran nilai, yaitu tataran nilai yang dianut, tataran praktik keseharian, tataran simbol-simbol budaya.

Pertama pada tataran nilai yang dianut, perlu dirumuskan secara bersama nilai-nilai agama yang disepakati dan perlu dikembangkan, selanjutnya dibangun komitmen dan loyalitas bersama antara sesama warga terhadap nilai-nilai yang disepakati. Adapun nilai tersebut ada yang bersifat vertical dan horizontal.

31 Zakiyah Darajat, “Dasar-Dasar Agama Islam,” (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 260.

(31)

Sedangkan yang vertical berwujud huhungan manusia dengan sesamanya dan hubungan mereka dengan lingkugan alam sekitar.

Kedua dalam praktek keseharian, nilai-nilai keagamaan yang telah disepakati tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap dan prilaku keseharian. Kemudian dalam proses pengembangan tersebut dapat melalui tiga tahap, yaitu 1) Sosialisasi nilai-nilai agama yang disepakati sebagai sikap dan prilaku ideal yang ingin dicapai pada masa mendatang. 2) Penetapatan mingguan atau bulanan sebagai tahapan dan langkah sistematis yang akan dilakukan dalam mewujudkan nilai-nilai agama yang telah disepakati. 3) Pemberian penghargaan terhadap prestasi seseorang sebagai usaha pembiasaan yang menjunjung sikap dan perilaku yang komitmen dan loyal terhadap ajaran nilai-nilai agama. Ketiga dalam tataran simbol-simbol budaya, pengembangan yang perlu dilakukan adalah mengganti simbol-simbol budaya yang kurang sejalan dengan ajaran dan nilai- nilai agama dengan simbol agama yang agamis. Adapun perubahan simbol dapat dilakukan dengan mengubah model berpakaian dengan prinsip menutup aurot, pemasangan hasil karya yang mengandung pesan-pesan nilai keagamaan.32

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua pendekatan yaitu: Pertama teori kontruksi sosial, kedua teori Strutural fungsional.

Yang mana kedua teori tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

Teori kontruksi sosial merupakan kelanjutan dari pendekatan fenomenologi, yang lahir sebagai teori tandingan terhadap teori-teori yang berada dalam paradigma fakta sosial, terutama yang digagas oleh Emile Durkheim dan kemudian teori ini dikembangkan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckmann. Dalam teorinya terdapat kerangka konseptual yang perlu dipahami tentang “kenyataan dan pengetahuan”. Berger dan Luckmann mulai menjelaskan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman kenyataan dan pengetahuan.

Realitas diartikan sebagai suatu kualitas yang terdapat didalam realitas-realitas yang diakui sebagai memiliki keberadaan yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri. Sedangkan pengetahuan

32 Muhaimin, “Rekontruksi Pendidikan Islam,” (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2009), h. 325.

(32)

didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata dan memiliki karakteristik yang spesifik.33

Teori kontruksi sosial dalam gagasan Berger mengandaikan bahwa agama sebagai bagian dari kebudayaan, merupakan kontruksi manusia, artinya terdapat proses dialektika ketika melihat hubungan masyarakat dengan agama, bahwa agama merupakan entitas yang objektif karena berada diluar diri manusia. Dengan demikian agama mengalami proses objektivasi, seperti ketika agama berada di dalam teks atau menjadi tata nilai, norma, aturan yang kemudian mengalami proses internalisasi kedalam diri individu, sebab agama telah diinterpretasi oleh masyarakat untuk manjadi pedoman. Agama juga mengalami proses eksternalisasi karena ia menjadi acuan norma dan tata nilai yang berfungsi menuntun serta mengontrol tindakan masyarakat.34

Selain itu juga peneliti menggunakan teori struktural fungsional.

Robert K. Merton seorang pentolan teori ini berpendapat bahwa objek analisa sosiologi adalah fakta sosial seperti: peranan sosial, pola-pola instutional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian sosial.

Teori ini menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat, menurut teori ini masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian- bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi dalam satu bagian akan membawa perubahan pula terhadap perubahan yang lain, asumsi dasarnya adalah setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya kalau ada fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya.35

Teori struktural fungsional menurut Talcott Parsons mempunyai empat sistem tindakan yaitu skema AGIL. Fungsi itu

33 Peter L. Berger, Thomas Luckmann, “Tafsir Sosial atas Kenyataan”Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan,” (Jakarta: LP3ES, 2013), h. 1.

34 Peter L. Berger, Thomas Luckmann,“Tafsir Sosial atas Kenyataan”Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan , (Jakarta: LP3ES, 2013), h. 33-36.

35 George Ritzer, “Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda,” (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), h. 21-22.

(33)

sendiri merupakan suatu gugusan aktifitas yang di arahkan untuk memenuhi satu atau beberapa sistem, adapun Parsons percaya ada empat ciri yakni: A (adaptasi), G (goal attainment atau pencapaian tujuan), I (integrasi), L (latensi/pemeliharaan pola). Uraian empat sistem tersebut sebagai berikut:

1. Adaptasi: Sistem harus mengatasi kebutuhan situasional yang datang dari luar, ia harus beradaptasi dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan dengan kebutuhan-kebutuhannya.

2. Pencapaian tujuan: Sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan-tujuan utamanya.

3. Integrasi: Sistem harus mengatur hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Itupun harus mengatur hubungan antar ketiga imperative fungsional tersebut (A,G, I, L).

4. Latensi (pemeliharaan pola): Sistem harus melengkapi, memelihara, memperbarui motivasi individu, pola-pola budaya yang menciptakan dan mempertahankan motivasi tersebut.36

Berangkat dari kerangka pemahaman di atas, maka tradisi endog-endogan merupakan hasil kontruksi sosial masyarakat lokal di dalam konteks sosio-religio-kultural. Selain itu dengan menggunakan kontruksi sosial dan struktur fungsional dapat memahami makna, proses pembentukan, pelembagaan Tradisi endog-endogan, sekaligus dalam rangka untuk menelusuri fungsi sosial tradisi tersebut dalam mewujudkan kesejahtraan sosial dan ekonomi. Bisa dikategorikan sistem kebudayaan yang terintegrasi secara permanen ke dalam sistem sosial yang mencakup eksistensi kepercayaan yang hidup di dalam suatu komunitas sosial yang menjadi pendukungnya, selalu mengalami proses interpretasi, bahkan rasionalisasi yang melibatkan seperangkat pengetahuan dan pengalaman. Selanjutnya dari kajian tradisi kebudayaan ini, peneliti akan menemukan peran yang sangat subtansial terhadap harmonisasi suku Using di Banyuwangi, termasuk pengaruh tradisi lokal terhadap Islam itu sendiri yang pada akhirnya terbentuklah tradisi endog-endogan.

36 George Ritzer, Douglas J.Goodman, “Teori Sosiologi,” (Bantul: Kreasi Wacana, 2014), h. 257- 258.

(34)

Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran terbentuknya tradisi itu sendiri, yang kemudian menganalisis proses eksternalisasi, objektifasi dan internalisasi dalam tradisi endog-endogan masyarakat suku Using di Banyuwangi. Tak lupa juga mengidentifikasi makna dan fungsi yang terkandung dalam tradisi endog-endogan suku Using.

F. Metodologi Penelitian

Dalam melakukan suatu penelitian ilmiah, pada hakikatnya merupakan suatu tindakan yang harus diterapkan oleh manusia untuk memenuhi salah satu hasrat yang selalu ada dalam kesadaran manusia yaitu rasa ingin tahu.37 Oleh karena itu sudah tentu dalam penelitian ilmiah ini menggunakan beberapa metode untuk mendapatkan dan mengumpulkan data-data yang akurat untuk penelitian dan sebagai suatu jalan agar mencapai tujuan dari seorang peneliti. Adapun objek yang dikaji dalam penelitian ini adalah aktifitas kelompok orang dalam melestarikan tradisi warisan para leluhurnya. Oleh karena itu, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriftif: Ucapan atau tulisan dan prilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subjek) itu sendiri.38

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian lapangan (Field Research) Yaitu penyusunan langsung meneliti berdasarkan masalah yang diambil yaitu tradisi endog-endogan (studi asal-usul, internalisasi pertemuan budaya dan nilai Islam di suku Using Banyuwangi). Penelitian lapangan Tesis ini adalah mengambil data sebanyak-banyaknya dari informan mengenai latar belakang keadaan permasalahan yang ingin diteliti.

37 Moh Soehada, “Metode Penelitian Sosiologi Agama Kualitatif,” (Yogyakarta: Sukses Offset, 2008), h. 25.

38 Furchan Arief, “Pengantar Metode Penelitian Kualitatif,” (Surabaya: Usaha Nasional, 1992), h. 21.

(35)

Adapun penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan mengambarkan dan melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian (lembaga sosial, lembaga masyarakat dan yang berhubungan dengan bahan penelitian ini) berdasarkan fakta-fakta yang tampak dan sebagaimana adanya.39 Selain itu peneliti juga menganalisis berdasarkan data dari hasil penelitian dan literatur- literatur yang relevan, yaitu untuk mendapatkan kesimpulan dari masalah yang dibahas dalam Tesis ini.

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah bersifat subjek dari mana data tersebut diperolehnya.40 Subjek yang diteliti oleh penulis adalah sebagai pusat perhatian dan sasaran bagi penulis.41 Data-data yang diperoleh oleh penulis ini adalah bersumber data dari ungkapan informan saat wawancara yang berkaitan dengan tradisi endog-endogan (studi asal-usul, internalisasi pertemuan budaya dan nilai Islam di suku Using Banyuwangi) diantaranya: Dinas Kebudayaan dan pariwisata Banyuwangi, keturunan KH. Abdullah Faqih, tokoh suku Using dan warga sebagai informan tambahan.

Kemudian sumber data lain, penulis dapatkan dari buku dan dokumentasi yang berupa foto terkait dengan tema penelitian.

Sedangkan dalam proses penelitian ini memiliki dua jenis pengambilan data, yaitu: sumber data primer dan sumber data sekunder.

a. Data Primer

39 Hadari Nawawi, “Metode Penelitian Sosial,” cet.7, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Perss, 1995), h. 63.

40 Irawan Soehartono, “Metodologi Penelitian Sosial, Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahtraan Sosial dan Ilmu Sosial,” (Bandung: PT Remaja Roesdakarya, cetakan ke-5, 2002), h. 35.

41 Suharsini Arikunto, “Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek,” (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h. 172.

(36)

Sumber data primer ini diambil dari sumber-sumber data asli, hasil penelitian lapangan secara langsung yang di dalamnya memuat informasi mengenai penelitian ini.42 Dalam hal ini penelitian tradisi endog-endogan (studi asal-usul, internalisasi pertemuan budaya dan nilai Islam di suku Using kabupaten Banyuwangi). Adapun masyarakat yang terlibat dan juga ikut berpartisipasi dalam tradisi tersebut ikut menjadi informan.

b. Data Sekunder

Sumber data sekunder ini dapat diperoleh dari tulisan- tulisan penelitian sebelumnya atau berupa buku-buku, artikel, Koran ataupun pustaka pendukung lainnya yang dapat dijadikan sebagai sumber data yang berkaitan dengan tema penelitian serta juga referensi maupun penelitian yang berkaitan dengan tesis peneliti.

G. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian lapangan ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan untuk mengetahui peran serta makna simbolik yang terkandung di dalam pelaksanaan tradisi endog-endogan. Penjelasan lisan maupun tertulis tentang maksud dan tujuan tradisi endog-endogan sangatlah diperlukan sebagai pelengkap data peneliti, kemudian tak lupa juga peneliti akan melakukan interview terkait soal ini dengan tokoh masyarakat suku Using, para pelaku sejarah pelaksana tradisi dan instansi terkait yang secara langsung ikut serta dalam tradisi endog- endogan. Terakhir kalinya peneliti juga akan memeriksa beberapa dokumentasi berupa video, foto-foto yang berada pada dinas kebudayaan kabupaten Banyuwangi maupun yang tersimpan oleh pelaku itu sendiri.

Peneliti akan melakukan penggalian sumber-sumber data itu semua sampai pada puncak dan maksimal hingga data tersebut diperoleh, kemudian data dipilih dan dipilah yang relevan, hingga pada ujungnya dianalisis dengan menggunakan teori kontruksi sosial dan struktural fungsional untuk mendapatkan kejelasan terkait peran tradisi

42 Tatang Amrin, “Menyusun Rencana Penelitian,” (Jakarta: Rajawali Perss, 1986), h.132.

(37)

endog-endogan terhadap harmoni sosial masyarakat suku Using, serta mengetahui lebih dalam makna simbolik yang ada pada perangkat tradisi endog-endogan tersebut.

1. Metode Analisis Data

Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang yang diamati.43 Metode ini digunakan untuk mengetahui dan memahami sesuatu yang bersifat realitas sosial dan tingkah laku manusia itu sendiri terhadap tradisi endog-endogan tersebut. Penelitian ini masih ada hubungannya dengan sejarah tradisi lokal, yang mana paling tidak juga harus mengetahui langkah dalam metode sejarah sebelum menganalisis lebih jauh terkait data-data yang berhubungan dengan penelitian.

Adapun metode sejarah yang harus dipahami diantara: (1) Heuristik: Sebuah kegiatan yang bertujuan menghimpun sumber- sumber baik lisan maupun tulisan tentang materi sejarah, (2) Kritik atau verifikasi sumber: Sebuah usaha menyeleksi secara kritis terhadap data dan sumber sejarah setelah dikumpulkan pada tahapan sebelumnya, (3) Intrepretasi: Sebuah usaha untuk menafsirkan dan menemukan makna dari data-data yang ada. Fakta tersebut dibaca dan disesuaikan sesuai dengan fokus penelitian, dan (4) Historiografi: Sebuah tahapan paling akhir dalam penelitian sejarah.Tahapan ini diwujudkan dengan pemaparan seluruh hasil penelitian dalam bentuk karya tulis.44

Kemudian lebih lanjut analisis data dilakukan dengan mengidentifikasi makna yang disampaikan melalui penjelasan pada tiap-tiap kata. Dalam hal analisis data hasil informan mendasarkan pada istilah dan penjelasan responden, yang kemudian dianalisis

43 Lexy J. Moelong, “Metodologi Penelitian Kualitatif,” (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2017), h. 4.

44 M. Dien Madjid dan Johan Wahyudhi,”Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar,” (Jakarta: Prenada Media Group, 2014), h. 219.

Referensi

Dokumen terkait

Islam Terhadap Tradisi Pasai dalam Perkawinan Adat Suku Banggai (Studi Kasus di Desa Kombutokan Kecamatan Totikum Kabupaten Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah)

Tradisi merejung Serawai muncul ketika acara tarian Ampak Penganten, didalam tarian tersebut dilaksanakan rejung yang merupakan bagian dari tarian adat atau tari

Penelitian ini mendeskripsikan kearifan lokal suku Using, adat dan tradisi serta kesenian yang dapat digunakan sebagai sumber belajar pada mata pelajaran Geografi di

Kesenian daerah yang diilhami oleh Agama Islam atau kesenian Nusantara yang telah berbaur dengan tradisi Islam disebut ..... Seni budaya lokal bernuansa

Adat perkawinan Sumba Barat Daya merupakan tradisi turun temurun yang dilakukan hingga sekarang, tradisi ini merupakan prosesi yang sangat sakral, Prosesi adat

Masyarakat abangan tidak memiliki pendirian dalam menjalankan perintah agama karena masyarakat Islam Jawa ini lebih percaya pada tradisi-tradisi asli jawa yang

Penelitian ini mendeskripsikan kearifan lokal suku Using, adat dan tradisi serta kesenian yang dapat digunakan sebagai sumber belajar pada mata pelajaran Geografi di

Untuk memahami pandangan ulama atau tokoh agama Islam terhadap tradisi paculan dalam pernikahan masyarakat adat Banten di Desa Linduk, dan mengevaluasi kesesuaian tradisi ini dengan