• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kadar Matrix Metalloproteinase-3 dengan Gangguan Pendengaran pada Pasien Artritis Reumatoid

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Kadar Matrix Metalloproteinase-3 dengan Gangguan Pendengaran pada Pasien Artritis Reumatoid"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi

Artritis Reumatoid (AR) adalah suatu penyakit autoimun dan

merupakan poliartritis inflamasi yang bersifat kronis (artritis yang

mempengaruhi 5 atau lebih sendi). AR adalah penyakit multisistemik

kronis yang ditandai dengan peradangan pada membran sinovial

diartrosis yang dapat diikuti oleh kerusakan tulang rawan, erosi tulang,

serta pelemahan dan penghancuran ligamen, tendon, dan kapsul sendi

(Harris, 1989; Colletti, et al., 1997; Silman & Hochberg, 2001; Takatsu, et

al., 2005; Centers for Disease Control and Prevention, 2012).

Menurut American Rheumatism Association (ARA), AR adalah suatu penyakit kronik, biasanya ditandai dengan inflamasi di lapisan sendi atau

disebut juga sinovium. Penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan sendi

jangka panjang, nyeri kronik, kehilangan fungsi dan kecacatan. World Health Organization (WHO) mendefinisikan AR sebagai suatu penyakit sistemik kronik yang melibatkan persendian, jaringan penghubung, otot,

tendon, dan jaringan fibrosa. Penyakit ini merupakan kondisi kecacatan

kronik yang menyebabkan rasa nyeri dan deformitas. Sedangkan,

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

mendefinisikannya sebagai penyakit inflamasi sistemik kronik yang

terutama mengenai sendi diartrodial. Penyakit ini termasuk penyakit

autoimun dengan etiologi yang tidak diketahui (Rani, et al., 2008).

Menurut WHO, gangguan pendengaran adalah berkurangnya

kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya, pada salah satu

atau kedua telinga, baik derajat ringan atau lebih berat dengan ambang

pendengaran rerata lebih dari 26 dB pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan

4000 Hz (Kolegium Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L., 2008). Gangguan

pendengaran pada AR dapat berupa tuli konduktif (Conductive Hearing

(2)

maupun tuli campuran (mixed Hearing Loss/mixed HL) (Doig, et al., 1971;

Reiter, et al., 1980; Elwany, ElGarf, & Kamel, 1986; Colletti, et al., 1997;

Ozcan, et al., 2002; Atcherson & Prout, 2003; American

Speech-Language-Hearing Association, 2005; Dikici, et al., 2009).

2.2 Anatomi Kavum Timpani

Kavum timpani terutama berisi udara yang mempunyai ventilasi ke

nasofaring melalui tuba eustachius. Menurut ketinggian batas superior dan

inferior membran timpani (Gambar 2.1), kavum timpani dibagi menjadi tiga

bagian, yaitu epitimpanum atau attik yang merupakan bagian kavum

timpani yang lebih tinggi dari batas superior membran timpani,

mesotimpanum yang merupakan ruangan di antara batas atas dengan

batas bawah membran timpani, dan hipotimpanum yaitu bagian kavum

timpani yang terletak lebih rendah dari batas bawah membran timpani

(Helmi, 2005; Lalwani, 2007; Dhingra, 2010).

Gambar 2.1 Pembagian Kavum Timpani (Dhingra, 2010)

Secara skematis, kavum timpani (Gambar 2.2) diibaratkan seperti

kubus atau kotak korek api dengan enam dinding, yaitu (Austin, 1997;

Soetirto, Hendarmin, & Bashiruddin, 2007):

Dinding atas : Berupa tulang tipis yang membatasi dura yang

(3)

sama sekali.

Dinding bawah : Berbatasan dengan vena jugularis. Adakalanya

antara kavum timpani dengan bulbus vena jugularis

terdapat tulang tipis. Namun, adakalanya tidak ada

tulang sama sekali.

Dinding

belakang

: Bagian atas berhubungan dengan sellulae mastoid

melalui aditus ad antrum.

Dinding muka : Bagian atas berhubungan dengan nasofaring melalui

tuba eustachius.

Dinding lateral : Disini letak membran timpani akan tetapi tidak

seluruh dinding ditutupi oleh membran timpani.

Dinding medial : Dinding ini juga merupakan dinding lateral dari telinga

bagian dalam. Pada mesotimpani, dinding ini

menonjol kearah kavum timpani dan bagian ini

disebut promontorium.

Gambar 2.2 Kavum Timpani (Dhingra, 2010)

Di dalam kavum timpani terdapat dua buah otot yaitu muskulus tensor

timpani dan muskulus stapedius. Di dalam kavum timpani juga terdapat

tiga buah tulang pendengaran (osikel), dari luar ke dalam: maleus, inkus,

dan stapes (Austin, 1997; Helmi, 2005; Dhingra, 2010). Tulang-tulang

pendengaran, membentuk suatu sistem pengungkit yang meneruskan

(4)

unit, memberikan respon rotasi terhadap gerakan membran timpani

melalui suatu aksis yang merupakan suatu garis antara ligamentum

maleus anterior dan ligamentum inkus pada ujung prosesus brevis.

Gerakan-gerakan tersebut tetap dipelihara berkesinambungan oleh sendi

inkudomaleus. Gerakan rotasi tersebut diubah menjadi gerakan seperti

piston pada stapes melalui sendi inkudostapedius (Austin, 1997).

Baik sendi inkudomaleus (Gambar 2.3) maupun inkudostapedius

(Gambar 2.4) merupakan sendi diartrodial. Epitel telinga tengah terdapat

pada permukaan luar kapsul sendi tersebut, sedangkan di permukaan

dalamnya terdapat membran sinovial. Kapsul sendi terdiri atas jaringan

fibrosa dengan kandungan serat elastis yang banyak. Diskus artikular

merupakan ruang di kedua ujung artikular yang sebagian besarnya terdiri

atas fibrokartilago (Wenig & Michaels, 2007).

Gambar 2.3 Sendi Inkudomaleus (Wenig & Michaels, 2007)

Gambar 2.4 Sendi Inkudostapedius (McCall, et al., 2010)

2.3 Anatomi Telinga Dalam

Telinga dalam terletak sebelah medial dari telinga tengah di dalam

pars petrosa tulang temporal (Donaldson, 1990; Dhingra, 2010). Telinga

dalam disebut juga dengan labirin. Labirin terdiri dari:

1. Labirin bagian tulang yang merupakan susunan ruangan yang terdapat

dalam pars petrosa tulang temporal dan merupakan salah satu tulang

yang terkeras di tubuh. Labirin tulang terdiri dari vestibulum, kanalis

(5)

semisirkularis, dan koklea. Bagian ini berisi cairan perilimfe yang tinggi

natrium dan rendah kalium.

2. Labirin bagian membran yang merupakan susunan kantong-kantong

dan duktus yang saling berhubungan dan terdapat di dalam labirin

tulang. Labirin membran terdiri dari sakulus, utrikulus, kanalis

semisirkularis, dan koklea. Bagian ini berisi cairan endolimfe yang

tinggi kalium dan rendah natrium (Wright, 1997; Gulya, 2003).

Labirin bagian tulang dan membran memiliki bagian vestibularis dan

bagian koklearis. Bagian vestibularis berhubungan dengan keseimbangan,

sementara bagian koklearis merupakan organ pendengaran. Koklea terdiri

dari organ sensorik yaitu organ corti. Koklea merupakan saluran yang

berbentuk spiral dengan dua setengah putaran yang panjangnya kurang

lebih 35 cm. Aksis dari spiral tersebut dikenal sebagai modiolus (Austin,

1997; Pawlowsky, 2004; Lim, 2006).

Gambar 2.5 Duktus Koklea (Bailey, Johnson, & Newlands, 2006)

Segitiga dari duktus koklea seperti yang diperlihatkan pada Gambar

2.5, sisi dasarnya membentuk batas antara skala media dan skala timpani

yaitu membran basilaris dan lamina spiralis pars osseus termasuk

(6)

spiralis, stria vaskularis, prominensia spiralis dan sulkus eksternal sebagai

sisi lateralnya. Sisi miringnya adalah membran reissner dan membran

basilaris (Mills, Khariwala, & Weber, 2006).

Koklea terbagi menjadi 3 ruang yaitu skala vestibuli, skala media, dan

skala timpani. Skala vestibuli dan skala timpani adalah labirin tulang dari

koklea yang berisi cairan perilimfe. Skala vestibuli dan skala timpani saling

berhubungan di helikotrema pada apeks koklea. Pada bagian basis

koklea, skala vestibuli berakhir di foramen ovale dan skala timpani pada

foramen rotundum. Skala media yang berisikan cairan endolimfe berada

diantara skala vestibuli dan skala timpani (Mills, Khariwala, & Weber,

2006). Stria vaskularis terdiri dari 3 lapisan sel yaitu sel marginal, sel

intermediet, dan sel basal. Sel-sel stria vaskularis merupakan

satu-satunya sel yang berhubungan dengan pembuluh darah di koklea. Stria

vaskularis bertanggung jawab menjaga konsentrasi ion kalium dalam

cairan endolimfe dan menjaga potensial positif endolimfe pada skala

media agar tetap tinggi (Austin, 1997; Wright, 1997).

Organ corti merupakan rumah dari sel sensoris pendengaran. Organ

corti terletak di sepanjang membran basilaris dan menonjol dari basis ke

apeks koklea. Pada organ corti terdapat sel-sel yang terdiri dari sel

sensoris (sel rambut dalam dan sel rambut luar), sel pendukung (sel

deiter, sel phalangeal dalam), ujung saraf aferen dan eferen, sel pilar dan

sel hansen. Di dalam organ corti terdapat kira-kira 15.500 sel rambut.

Sel-sel ini dikelompokkan menjadi Sel-sel rambut luar yang berjumlah 3.500 Sel-sel

dan sel rambut dalam yang berjumlah 12.000 sel. Sel rambut dalam dan

luar memegang peranan penting pada perubahan energi mekanik menjadi

energi listrik. Fungsi sel rambut dalam sebagai mekanoreseptor utama

yang mengirimkan sinyal syaraf ke neuron pendengaran ganglion spiral

dan pusat pendengaran sedangkan fungsi sel rambut luar adalah

meningkatkan puncak gelombang berjalan dengan meningkatkan aktivitas

membran basilaris. Peningkatan gerakan ini disebut cochlear amplifier

(7)

Vaskularisasi

Telinga dalam mendapat vaskularisasi dari a.labirintin cabang dari

a.serebellaris anterior, tetapi dapat juga sebagai cabang langsung dari

a.basilaris atau a.vertebralis. Arteri ini memasuki meatus akustikus

internus dan terpisah menjadi a.vestibularis anterior a.koklearis komunis

yang bercabang pula menjadi a.koklearis dan a.vestibulokoklearis.

A.vestibularis anterior memperdarahi vestibularis, utrikulus, dan sebagian

duktus semisirkularis. A.koklearis berjalan mengitari n.akustikus di kanalis

akustikus internus dan di dalam koklea mengitari modiolus.

A.vestibulokoklearis sampai di modiolus dan terpisah menjadi cabang

terminal vestibular dan cabang koklear. Cabang vestibular memperdarahi

sakulus, sebagian besar kanalis semisirkularis dan ujung basal koklea.

Cabang koklear memperdarahi ganglion spiralis, lamina spiralis ossea,

limbus dan ligamentum spiralis. Vena dialirkan ke v.labirintin yang

diteruskan ke sinus petrosus inferior atau sinus sigmoideus. Vena-vena

melewati akuaduktus vetibularis dan koklearis ke sinus petrosus superior

dan inferior (Austin, 1997; Wright, 1997).

Persarafan

N.vestibulokoklearis yang dibentuk oleh bagian koklearis dan

vestibularis, di dalam meatus akustikus internus bersatu pada sisi lateral

akar n.fasialis dan memasuki batas antara pons dan medulla. Sel-sel

sensoris vestibularis dipersarafi n.koklearis dengan ganglion vestibularis

n.koklearis dengan ganglion spiralis corti terletak di modiolus. Pada dasar

meatus akustikus internus terletak ganglion vestibulare (Donaldson, 1990;

Austin, 1997).

2.4 Fisiologi Pendengaran

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh

daun telinga dalam bentuk gelombang. Setelah memasuki meatus

eksterna, bunyi akan menggetarkan membran timpani selanjutnya

(8)

melalui osikula, akhirnya getaran yang telah diperkuat daya dorongnya

diteruskan ke dalam perlimfe yang terdapat dalam koklea. Bila frekuensi

getaran yang masuk sangat rendah (frekuensi subsonik), maka lintasan

gelombangnya adalah: fenestra ovalis → skala vestibuli → helikotrema →

skala timpani → fenestra rotundum . Lintasan ini tidak berlaku jika

frekuensi bunyi lebih tinggi. Untuk frekuensi bunyi sonik (16 – 20.000 Hz),

lintasannya sebagai berikut: fenestra ovalis → skala vestibuli → duktus

koklearis → skala timpani → fenestra rotundum (Kolegium Ilmu Kesehatan

T.H.T.K.L., 2008).

Duktus koklearis merupakan bagian labirin membran. Bila pintasan

gelombang bunyi menggerakkan membran basilaris maka akan terjadi

efek gesekan membran tektoria terhadap rambut-rambut sel sensorik

pada organ corti. Pergerakan sel rambut tersebut akan menimbulkan

reaksi biokimiawi di dalam sel sensorik sehingga timbul muatan listrik

negatif pada dinding sel. Ujung-ujung saraf kedelapan yang menempel

pada dasar sel-sel sensorik akan menampung impuls yang terbentuk.

Lintasan impuls auditorik selanjutnya adalah: ganglion spiralis corti →

nervus VIII → nukleus koklearis → kolikulus inferior → korpus genikulatum

medial → korteks auditori (area 39 -40) di lobus temporalis serebrum

(Kolegium Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L., 2008).

2.5 Epidemiologi dan Genetika

AR merupakan penyakit autoimun yang paling sering dijumpai yaitu

sebanyak 0,5-1% populasi. Penyakit ini biasanya menyerang kelompok

dewasa produktif berumur 20-40 tahun. Perempuan kira-kira 2,5-3 kali

lebih sering daripada laki-laki (Brooker, 1988; Abdel-Nasser, Rasker, dan

Valkenburg, 1997; Carter, 2005; Takatsu, et al., 2005; Alamanos,

Voulgari, dan Drosos, 2006; Junior, et al., 2006). AR ditemukan di seluruh

dunia dan dijumpai pada semua ras. Serangan awal paling sering terjadi

pada dekade keempat dan kelima, dengan 80% dari semua pasien

(9)

wanita berusia 60-64 tahun dijumpai enam kali lebih banyak daripada

wanita berusia 18-29 tahun (Lipsky, 2008).

Studi keluarga menunjukkan pengaruh genetik. AR berat pada saudara

kandung pasien AR ditemukan kira-kira empat kali lebih banyak. Hal ini

dihubungkan dengan keberadaan autoantibodi faktor reumatoid. Sekitar

10% pasien AR akan mempunyai saudara kandung yang juga menderita

AR. Pada kembar monozigotik, kemungkinan menderita AR adalah sekitar

empat kali lebih banyak daripada kembar dizigotik (Lipsky, 2008).

Pada tahun 2005, sekitar 1,5 juta orang dewasa Amerika Serikat (AS)

yang berusia ≥18 menderita AR atau sebanyak 0,6%. Terjadi penurunan

dari perkiraan sebelumnya yaitu sebanyak 2,1 juta orang pada tahun

1990. Sistem perawatan kesehatan AS pada tahun 2001-2005

memperkirakan bahwa 1,5 juta orang dewasa AS menderita AR

(Lawrence, et al., 1998; Sacks, Luo, & Helmick, 2010). Dilakukan survei

dengan nyeri muskuloskeletal pada total populasi pedalaman sebanyak

4683 orang dan kota sebanyak 1071 orang, dengan umur ≥15 tahun di

Jawa Tengah. Prevalensi untuk AR definitif yang memenuhi kriteria ARA

di kawasan pedalaman adalah sebanyak 0,2% dan di kawasan perkotaan

adalah sebanyak 0,3% (Darmawan, et al., 1992).

Pada penelitian yang dilakukan Ozcan, et al. (2002), pada kelompok

penderita AR gangguan pendengaran dijumpai sebesar 51,4%,

sedangkan pada kelompok kontrol gangguan pendengaran hanya sebesar

14,3%. Pada pasien dengan AR, baik SNHL maupun CHL telah

dilaporkan. SNHL merupakan temuan yang sering pada pasien AR,

walaupun CHL dan mixed HL juga dapat ditemukan. SNHL dilaporkan lebih sering dijumpai yaitu sebanyak 24-60%. CHL juga telah dilaporkan

pada pasien dengan AR, namun dengan prevalensi yang lebih rendah

yaitu sebanyak 0-24,3%. Sedangkan mixed HL dijumpai sebanyak 10-10,8% (Doig, et al., 1971; Reiter, et al., 1980; Walek, Fritze, & Kolarz,

1980; Elwany, ElGarf, & Kamel, 1986; Kastanioudakis, et al., 1995;

(10)

2.6 Etiologi

Walaupun faktor penyebab maupun patogenesis AR yang sebenarnya

hingga kini belum diketahui dengan pasti, faktor genetik seperti produk

kompleks histokompatibilitas utama (Major Histocompatibility

Complex/MHC) kelas II Human Leukocyte Antigen DR4 Locus (HLA-DR4) dan beberapa faktor lingkungan telah lama diduga berperan dalam

timbulnya penyakit ini (Daud, 2006; Junior, et al., 2006).

a. Kompleks histokompatibilitas utama kelas II

Telah lama diketahui bahwa AR lebih sering dijumpai pada kembar

monozigotik dibandingkan dengan kembar dizigotik. Akan tetapi bukti

terkuat yang menunjukkan bahwa AR memiliki predisposisi genetik

diketahui dari terdapatnya hubungan antara produk kompleks

histokompatibilitas utama kelas II, khususnya HLA-DR4 dengan AR

seropositif. Data dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien

yang mempunyai HLA-DR4 memiliki risiko relatif 4:1 untuk menderita

penyakit ini (Daud, 2006).

b. Hubungan hormon sex dengan AR

Berbagai obeservasi telah menimbulkan dugaan bahwa hormon sex

merupakan salah satu faktor predisposisi penyakit ini. Sebagai contoh,

prevalensi AR diketahui 3 kali lebih banyak diderita kaum wanita

dibandingkan dengan kaum pria. Rasio ini dapat mencapai 5:1 pada

wanita usia subur. Demikian pula remisi seringkali dijumpai pada pasien

AR yang sedang hamil (Daud, 2006).

c. Faktor infeksi sebagai penyebab AR

Sejak tahun 1930, faktor infeksi telah diduga merupakan penyebab

AR. Dugaan faktor infeksi sebagai penyebab AR juga timbul karena

umumnya onset penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul disertai

dengan gambaran inflamasi yang mencolok. Dengan demikian timbul

dugaan kuat bahwa penyakit ini sangat mungkin disebabkan oleh

tercetusnya suatu proses autoimun oleh suatu antigen tunggal atau

(11)

penyebab AR antara lain adalah bakteri, mikoplasma, atau virus (Daud, 2006). Selengkapnya, dideskripsikan pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Tahapan Perkembangan AR (McInnes & Schett,

2.7 Patologi dan Patogenesis

2011)

Destruksi jaringan sendi terjadi melalui dua cara. Pertama adalah

destruksi yang disebabkan produksi protease, kolagenase, dan

enzim-enzim hidrolitik lainnya. Enzim-enzim-enzim ini memecah kartilago, ligamen,

(12)

dengan radikal oksigen dan metabolit asam arakidonat oleh leukosit

polimorfonuklear dalam cairan sinovial. Proses ini diduga sebagai bagian

dari respon autoimun terhadap antigen yang diproduksi secara lokal

(Carter, 2005).

Kedua, destruksi jaringan yang terjadi melalui kerja pannus reumatoid.

Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari makrofag yang

teraktivasi, sel fibroblas yang berproliferasi, dan jaringan mikrovaskular

yang terbentuk dari sinovium yang meradang dan kemudian meluas ke

sendi. Di sepanjang pinggir pannus terjadi destruksi kolagen dan

proteoglikan melalui produksi enzim oleh sel di dalam pannus tersebut

(Carter, 2005, Daud, 2006).

2.7.1 Proses imunologi sinovial dan inflamasi

Sinovitis terjadi bila leukosit menginfiltrasi kompartemen sinovial.

Akumulasi leukosit tersebut berasal dari migrasi bukan berasal dari

proliferasi lokal. Migrasi sel tersebut disebabkan oleh aktivasi endotel

pembuluh-pembuluh mikro sinovial, yang meningkatkan ekspresi

molekul-molekul perlengketan (yang meliputi integrin, selektin, dan anggota

superfamili imunoglobulin) dan kemokin. Oleh karena itu, neoangiogenesis

yang dipicu oleh kondisi hipoksik lokal, sitokin, dan limfangiogenesis

merupakan ciri khas sinovitis pada stadium dini. Perubahan lingkungan

mikro ini dipadu dengan penyusunan kembali arsitektur sinovial dan

aktivasi fibroblas lokal, menyebabkan pembentukan jaringan inflamasi

sinovial (Shah & Clair, 2012).

Interaksi antara sel dendrit, sel T, dan sel B terjadi terutama pada

kelenjar getah bening. Keadaan ini menimbulkan reaksi autoimun

terhadap self protein yang mengandung sitrulin. Pada membran sinovial dan sumsum tulang di dekatnya, sistem imun adaptif dan bawaan berpadu

meningkatkan pemodelan ulang dan kerusakan jaringan. Loop feedback

positif dimediasi oleh interaksi antara leukosit, Fibroblast-Like Synoviocyte

(13)

mengakibatkan fase kronis (Shah & Clair, 2012). Selengkapnya,

dideskripsikan pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Proses Sistem Imun dalam Sendi pada AR (McInnes & Schett,

2.7.2 Kerusakan tulang rawan

2011)

Sinovium hiperplastik adalah kontributor utama kerusakan tulang rawan

pada AR. Kehilangan efek protektif normal dari sinovium (misalnya,

penurunan ekspresi lubrisin) mengubah sifat-sifat ikatan protein

permukaan tulang rawan, yang meningkatkan perlengketan dan invasi

(14)

14 dan 16 oleh FLS tersebut meningkatkan kerusakan ikatan kolagen tipe

II. Proses ini mengubah kandungan glikosaminoglikan dan retensi air yang

secara langsung menyebabkan disfungsi biomekanik. MMP-14 ternyata

merupakan MMP dominan yang diekspresikan oleh FLS untuk

mendegradasikan matriks kolagen tulang rawan. Enzim matriks lainnya

mendegradasi aggrecan dan karenanya semakin mengurangi integritas tulang rawan (Shah & Clair, 2012).

Inhibitor enzim endogen seperti Tissue Inhibitors of Metalloproteinase

(TIMP) gagal menghambat proses kehancuran ini. Selain itu, tulang rawan

artikular itu sendiri mempunyai potensi regeneratif yang terbatas.

Kondrosit mengatur secara fisiologik pembentukan dan pembelahan

matriks. Dengan pengaruh sitokin sinovial (terutama interleukin-1 dan

17A) dan intermediat nitrogen reaktif, tulang rawan kehilangan kondrosit

secara progresif. Proses ini pada akhirnya menyebabkan kehancuran

permukaan tulang rawan dengan tampilan radiografik berupa penyempitan

ruang sendi (McInnes & Schett,

2.7.3 Erosi tulang

2011;Shah & Clair, 2012).

Erosi tulang terjadi dengan cepat dan menyerang 80% pasien dalam

setahun setelah diagnosis ditegakkan. Hal ini berhubungan dengan

inflamasi yang berkepanjangan. Sitokin sinovial, terutama faktor

perangsang koloni makrofag dan Receptor Activator NF-κB Ligand

(RANKL) meningkatkan diferensiasi dan invasi osteoklas ke permukaan

periosteal yang dekat dengan tulang rawan sendi. Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) serta interleukin-1, 6, dan 17 memperkuat diferensiasi dan

aktivasi osteoklas tersebut. Osteoklas mempunyai bagian enzimatik asam

yang dapat menghancurkan jaringan yang mengalami mineralisasi, yang

meliputi tulang rawan yang mengalami mineralisasi dan tulang subkondral.

Kehancuran jaringan ini menimbulkan lubang-lubang resorpsi yang dalam,

(15)

Faktor-faktor mekanis juga memicu tempat tertentu untuk mengalami

erosi. Dengan demikian, tempat ‘yang rentan secara mekanis’ seperti

metakarpal kedua dan ketiga rentan terhadap erosi. Inflamasi yang

menerobos tulang kortikal memungkinkan akses sinovial ke sumsum

tulang. Hal ini menyebabkan inflamasi di sumsum tulang, dimana agregat

sel T dan sel B menggantikan lemak sumsum secara perlahan-lahan.

Pada AR, tulang periartikular yang mengalami erosi menunjukkan sedikit

bukti perbaikan, berbeda dengan tulang pada artropati akibat inflamasi

lainnya (Shah & Clair, 2012).

2.7.4 Patogenesis gangguan pendengaran pada AR

Patogenesis gangguan pendengaran pada AR belum diketahui secara

pasti. Sendi inkudomaleus dan inkudostapedius adalah sendi diartrodial

(diartrosis sejati), sehingga dapat dikenai lesi rematoid yang sama

sebagaimana sendi diartrodial lain pada tubuh. Pada persendian

tulang-tulang pendengaran pasien AR, dijumpai disolusi

Vaskulitis, neuritis, kerusakan sel rambut koklea, ototoksisitas obat

yang digunakan dalam pengobatan, dan akumulasi deposit imun pada

telinga bagian dalam dihubungkan dengan kejadian SNHL. Meskipun tidak

ada referensi langsung bagi mekanisme tersebut, telah diketahui bahwa

penyakit autoimun dapat menghasilkan gangguan pendengaran perseptif

sebagai akibat dari perubahan degeneratif pada organ corti (Heyworth &

Liyanage, 1972; Coutinho & Duarte, 2002; Dikici, et al., 2009).

material diskus

bersamaan dengan proliferasi pada permukaan diskus dan artikular,

dengan pembentukan jaringan seperti pannus (Kakani, Mehra, & Deodhar,

1990; Magaro, Zoli, & Altomonte, 1990; Colletti, et al., 1997; Frade &

Martin, 1998; Salvinelli, et al., 2006; Dikici, et al., 2009).

Mekanika abnormal di telinga tengah telah dikemukakan sebagai

kemungkinan penyebab CHL. Kelemahan mekanisme transduser telinga

tengah, yang disebabkan oleh keterlibatan ligamentum suspensorium

(16)

diajukan sebagai penyebab CHL tersebut. Inflamasi pada tahap aktif

penyakit dan fibrosis dalam rangkaian tulang pendengaran dapat

menyebabkan kurangnya elastisitas dan munculnya komponen konduktif

pada gangguan pendengaran (Schleuning, et al., 2006; Dikici, et al.,

2009). Reiter, et al. (1980) juga mengutarakan peningkatan kekakuan

persendian pada rangkaian tulang pendengaran tanpa penurunan

stabilitas ligamennya. Selain itu, vaskulitis dapat mengakibatkan perfusi

yang tidak adekuat pada tulang pendengaran terutama pada prosessus

longus inkus. Nekrosis pada struktur ini dapat menyebabkan diskontinuitas

tulang pendengaran (Colletti, et al., 1997).

Namun, ada juga peneliti yang mengemukakan bahwa kekakuan

persendian inkudomaleus dan inkudostapedius yang terjadi tidak

menyebabkan perubahan dalam konduksi suara ke koklea. Ini disebabkan

persendian tersebut utuh secara fungsional selama transmisi suara.

Keadaan ini dapat menjelaskan keadaan

2.8 Manifestasi Klinis

pendengaran yang normal

meskipun terjadi peningkatan kekakuan sendi di telinga tengah (Dikici, et

al., 2009).

Potensi inflamasi sendi yang menyebabkan kerusakan tulang rawan, erosi tulang, dan perubahan integritas sendi merupakan petanda penyakit

ini. Manifestasi artikular AR dapat dibagi menjadi gejala inflamasi akibat

aktivitas sinovitis yang bersifat reversibel dan gejala akibat kerusakan

struktur pesendian yang bersifat ireversibel. Poliartritis yang terjadi bersifat

simetris dan mengenai sendi perifer. Deformitas sendi dapat terjadi akibat

inflamasi yang menetap. Perbandingan antara sendi normal dan sendi

yang terkena AR diperlihatkan pada Gambar 2.8. AR dapat pula

menyerang organ-organ lain di luar sendi (manifestasi ekstraartikular)

seperti vaskulitis dan neuropati akibat vaskulitis (Kasper, et al., 2005;

(17)

Gambar 2.8 Perbandingan antara Sendi Normal dan yang Terkena AR (National Institute of Arthritis, Musculoskeletal and Skin Diseases, 2009)

Manifestasi otologi penyakit AR dapat melibatkan telinga luar, tengah,

dan dalam. Nodul reumatoid, yang berupa lesi kutan atau subkutan dapat

dijumpai pada telinga luar. Manifestasi telinga tengah dicirikan dengan

CHL, sedangkan manifestasi telinga dalam berupa SNHL. Komponen

konduktif dapat berkembang lebih lambat daripada komponen

sensorineural. Hal ini menyebabkan

2.9 Diagnosis AR

mixed HL. Gangguan pendengaran pada pasien AR dapat bermanifestasi sebagai gangguan pendengaran

bilateral ringan pada frekuensi tinggi. Tinitus bilateral atau unilateral dapat

dijumpai. Meskipun demikian, pendengaran yang normal juga dapat

dijumpai pada penyakit ini (Dikici, et al., 2009; Bewly & Ruckenstein,

2014).

Diagnosis AR ditegakkan berdasarkan kriteria ARA tahun 1978.

Menurut ARA 1987, diagnosis AR dapat dikatakan positif apabila terdapat

sekurang-kurangnya empat dari kriteria-kriteria yang sekurang-kurangnya

sudah berlangsung selama 6 minggu (Arnett, et al., 1988; Daud, 2006).

(18)

Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis menurut ARA 1987 (Arnett, et al., 1988; Daud, 2006; Salvinelli, et al., 2006)

No. Kriteria Definisi

1. Kaku pagi hari Kekakuan pada pagi hari pada persendian dan sekitarnya, sekurang-kurangnya selama 1 jam sebelum perabaikan maksimal

2. Artritis pada tiga daerah

persendian atau lebih

Pembengkakan jaringan lunak atau persendian atau lebih fusi (bukan pertumbuhan tulang) pada sekurang-kurangnya tiga sendi secara bersamaan yang diobservasi oleh seorang dokter

3. Artritis pada

persendian tangan

Sekurang-kurangnya terjadi pembengkakan satu persendian tangan seperti yang tertera di atas

4. Artritis simetris Keterlibatan sendi yang sama seperti yang tertera pada kriteria 2 pada kedua belah sisi (keterlibatan PIP, MCP, atau MTP bilateral dapat diterima walaupun tidak mutlak bersifat simetris)

5. Nodul reumatoid Nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan ekstensor atau daerah juksta artikuler yang diobservasi oleh seorang dokter

6. Faktor reumatoid dalam serum

Terdapatnya titer abnormal faktor reumatoid serum yang diperiksa dengan cara memberikan hasil positif kurang dari 5% kelompok kontrol yang diperiksa

7. Perubahan gambaran radiologis

Perubahan gambaran radiologis yang khas pada AR pada pemeriksaan sinar-x tangan posterior atau pergelangan tangan yang harus menunjukkan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang berlokasi pada sendi atau daerah yang berdekatan dengan sendi (perubahan akibat osteoartritis saja tidak memenuhi persyaratan).

2.10 Diagnosis Gangguan Pendengaran pada AR

Melalui anamnesis, dapat diketahui riwayat gangguan pendengaran

maupun tinitus. Dapat diketahui pula riwayat infeksi telinga, trauma,

penggunaan obat ototoksik, komplikasi sistemik dari penyakit kronis lain,

maupun gejala penyakit telinga lain. Pada pemeriksaan otoskopi,

(19)

Pemeriksaan audiometri nada murni

Dengan menggunakan audiometri nada murni, dapat dijumpai jenis

gangguan pendengaran CHL, SNHL, maupun mixed HL (Doig, et al., 1971; Reiter, et al., 1980; Elwany, ElGarf, & Kamel, 1986; Colletti, et al.,

1997; Ozcan, et al., 2002; Dikici, et al., 2009). Melalui pemeriksaan ini,

dapat dijumpai peningkatan ambang pendengaran pada frekuensi 8000

Hz (Baradaranfar & Doosti, 2010). Ambang pendengaran meningkat

bersamaan dengan peningkatan usia, Laju Endap Darah (LED), dosis

kumulatif metotreksat, faktor reumatoid (Reumatoid Factor/RF), Protein

C-Reaktif (C-Reactive Protein/CRP), jumlah trombosit, dan durasi penyakit

pada pasien dengan nodul reumatoid. Ambang pendengaran dijumpai

lebih tinggi pada pria dibandingkan dengan wanita (Dikici, et al., 2009).

Pemeriksaan timpanometri

Dengan menggunakan nada probe 660 Hz ditemukan penurunan kekakuan sendi. Nekrosis pada prosesus longus inkus akibat vaskulitis,

dapat menyebabkan diskontinuitas tulang pendengaran yang

digambarkan dengan timpanogram tipe Ad. Sebaliknya, peningkatan

kekakuan tulang-tulang pendengaran juga bisa ditemukan, yang

digambarkan dengan timpanogram tipe As pada pasien AR kronis dengan

menggunakan nada probe 220 Hz (Moffat, et al., 1977; Elwany, ElGarf, & Kamel, 1986; Siamopoulou-Mavridou, et al., 1990; Colletti, et al., 1997;

Takatsu, et al., 2005; Dikici, et al., 2009).

Pemeriksaan Transient Evoked OtoAcoustic Emission (TEOAE)

Dapat dijumpai penurunan nilai TEOAE bersamaan dengan

peningkatan usia, jumlah trombosit, dosis kumulatif metotreksat, dan

durasi penyakit. Namun, nilai TEOAE dapat meningkat ketika nilai Protein

C-Reaktif dan faktor reumatoid meningkat. Nilai TEOAE lebih rendah pada

(20)

2.11 Diagnosis Banding

Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh AR dapat didiagnosis

banding dengan:

1. Penyebab gangguan pendengaran konduktif lain yang diakibatkan oleh

gangguan mekanisme hantaran di telinga luar atau telinga tengah,

antara lain: terdapat cairan di telinga tengah, otitis media, otitis media

serosa, gangguan fungsi tuba eustachius, perforasi membran timpani,

impaksi serumen, otitis eksterna, benda asing, atau malformasi telinga

luar dan tengah.

2. Penyebab gangguan pendengaran sensorineural lain yang diakibatkan

oleh kelainan di koklea, N.VIII, dan pusat pendengaran di korteks

serebri, antara lain: obat ototoksik, proses penuaan, trauma kepala,

malformasi telinga dalam, dan terpapar bising.

3. Penyebab gangguan pendengaran campuran lain yang diakibatkan

gangguan konduktif dan sensorineural. (Yellin, 1991; Feldman 1997,

Atcherson & Prout, 2003; Soetirto, Hendarmin, & Bashirudddin, 2010;

American Speech-Language-Hearing Association, 2005)

2.12 Matrix Metalloproteinase-3 (MMP-3)

MMP-3 (Stromelysin-1, Progelatinase) dideskripsikan pertama kali

pada tahun 1985 sebagai protein 51-kDa yang disekresikan oleh fibroblas

kelinci. MMP-3 dibedakan dari kolagenase karena tidak mampu

mendegradasikan kolagen tipe I. MMP-3 mempunyai struktur MMP dasar

dengan domain serupa hemopexin. Proenzim laten 51-kDa bisa diaktifkan

dengan pengangkatan prodomain proteolitik, misalnya dengan serin

protease, tripsin-2, dan matriptase, yang menghasilkan enzim aktif 43-kDa

pada manusia. Kadar MMP-3 ditingkatkan oleh interleukin 1b dan

(21)

2.12.1 Aktivitas biologi MMP-3

MMP-3 adalah anggota famili proteinase ekstraselular. Protein ini

terlibat dalam penguraian matriks ekstraselular pada proses fisiologi

normal, seperti perkembangan embrio, reproduksi, dan pemodelan ulang

jaringan, serta dalam proses penyakit, seperti artritis dan kanker. Ini

disebabkan oleh spesifisitas substratnya yang luas. Target MMP-3

meliputi kolagen, fibronektin, laminin, plasminogen, e-cadherin dan MMP

lainnya (berpartisipasi dalam aktivasi pro MMP) (Nagase, Visse, &

Murphy, 2006; Enzo Life Sciences, 2014;

Kultur tulang rawan pelat pertumbuhan terbukti menghasilkan vesikel

matriks yang mengandung pro MMP-3 dan MMP-3 aktif. Kondrosit dari

zona pertumbuhan menghasilkan vesikel membran dengan kandungan

MMP yang lebih tinggi, yang mengindikasikan bahwa enzim ini terlibat

dalam pemodelan ulang matriks ekstraselular pada zona sel hipertrofik

pada pelat pertumbuhan tulang panjang. Sebuah studi tentang neuron

dopaminergik menunjukkan adanya peranan pro-apoptotik dari MMP-3

intrasel aktif. Selama apoptosis, pro MMP-3 dibelah untuk menjadi bentuk

aktif secara katalitik oleh serin proteinase. Ketiadaan aktivitas MMP-3

intrasel melindungi sel-sel dopaminergik dari apoptosis. Penghambatan

aktivitas MMP-3 melemahkan aktivasi caspase-3, enzim pengeksekusi

dalam apoptosis (Olsen, et al., 2011).

2.12.2 Susunan domain

MMP-3 mempunyai susunan domain yang serupa dengan susunan

domain kolagenase (Nagase, Visse, & Murphy, 2006). Gen MMP-3

(Gambar 2.9) berlokasi pada lengan panjang (q) dari kromosom 11 pada

posisi 22.3 (lokasi sitogenetik: 11q22.3) (Genetics Home Reference,

(22)

Gambar 2.9 Gen MMP3 (Genetics Home Reference, 2014).

mRNA MMP-3 (Gambar 2.10) digambarkan secara skematis di atas

dengan kodon permulaan AUG, kodon stop UAG dan posisi target siRNA (siMMP3-1369 dan siMMP3-1302). SS mengindikasikan rangkaian sinyal

sekresi yang mengandung pemutus helix prolin pada asam amino kelima.

Prodomain (Pro) juga ditandai sebagai dugaan domain pengikat

peptidoglikan. Domain katalitik (CAT) juga ditandai sebagai domain zinc-dependent metazincine (ZnMc), yang dikonservasi di antara metalloproteinase yang tergantung zink. Daerah engsel adalah domain

penghubung yang dicirikan oleh struktur kaya prolin. Domain PEX terbukti

merupakan domain pengikat DNA. Domain NES yang mengandung empat

leucine juga ada ditemukan (Eguchi, et al., 2008).

(23)

2.13 MMP-3 sebagai Petanda Penyakit AR dan Gangguan Pendengaran pada AR

Pada AR, MMP-1, MMP-3, MMP-9, dan MMP MT1 diproduksi secara

berlebihan. MMP ini disekresikan ke dalam sinovium dan menyerang

tulang rawan yang terendam dengan cairan sinovial. Konsentrasi MMP-3

dalam cairan sinovial reumatoid lebih tinggi daripada MMP lainnya dan

dalam beberapa studi terbukti bersifat memprediksi kehancuran sendi

(Carrasco & Barton, 2010).

MMP-3 merupakan proteinase yang disekresikan oleh fibroblas dan

kondrosit sinovial. Aktivitasnya menyebabkan degradasi protein inti

aggrecan, protein tulang rawan, fibronektin, serta kolagen tipe IV, VII, IX dan XI. MMP-3 ada dalam cairan sinovial AR dan diekspresikan secara

berlebihan. Polimorfisme MMP-3 berhubungan dengan kerusakan sendi

yang lebih parah pada AR. Dalam hal lainnya, konsentrasi MMP-3 serum

diajukan sebagai prediktor untuk kehancuran sendi pada AR dini atau AR

yang sudah lanjut. Konsentrasi MMP-3 yang bersirkulasi tampaknya telah

ditentukan secara genetik

Selama ini, diagnosis AR didasarkan pada manifestasi-manifestasi

klinik. Akan tetapi, sering sulit mendiagnosis AR pada fase yang sangat

dini dan dalam banyak kasus kerusakan yang ireversibel terjadi pada

waktu diagnosis ditegakkan. Karena itu, pemeriksaan laboratorium yang

sensitif dan spesifik di awal masa perjalanan penyakit diperlukan untuk

diagnosis dan intervensi lebih dini. Selama bertahun-tahun, telah diteliti

biomarker potensial untuk diagnosis dan prognosis AR dalam jumlah yang

sangat besar tetapi hanya test autoantibodi (RF) dan penanda inflamasi

(LED dan CRP) diperiksa sekarang ini secara rutin dalam praktek klinik

(Carrasco & Barton, 2010). Perihal gangguan pendengaran pada pasien

AR, pada penelitian yang dilakukan oleh Takatsu, et al., ditemukan bahwa

SNHL pada pasien AR tersebut berhubungan signifikan dengan LED

(24)

2.14 Kerangka Teori

(25)

Keterangan Gambar 2.11:

Reumatoid artritis melibatkan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik yang diidentifikasi meliputi

HLA-DRB1 dan HLA-DR4. Sedangkan faktor lingkungan meliputi merokok dan bentuk lain dari stres bronkus (misalnya, paparan silika), agen

penginfeksi (seperti virus Epstein–Barr, cytomegalovirus, proteus, dan

Escherichia coli), serta periodontitis (Porphyromonas gingivalis). Hilangnya toleransi terhadap neoepitopes tersebut memunculkan respon

ACPA (McInnes & Schett,

Sinovitis terjadi ketika leukosit memasuki kompartemen sinovial.

Migrasi leukosit diperantarai oleh aktivasi endotel di dalam pembululuh

darah mikro sinovial, yang meningkatkan ekspresi molekul adhesi

(termasuk integrin, selektin, dan anggota superfamili imunoglobulin) dan

kemokin. Termasuk didalamnya MMP-3 yang disekresikan ke dalam

sinovium dan menyerang tulang rawan yang terendam dengan cairan

sinovial. Konsentrasi MMP-3 dalam cairan sinovial reumatoid lebih tinggi

daripada MMP lainnya. Oleh karena itu, neoangiogenesis yang

disebabkan oleh kondisi hipoksia lokal dan sitokin, dan limfangiogenesis

yang tidak cukup (yang membatasi jalan keluar selular) merupakan

karakteristik synovitis (McInnes & Schett, 2011).

Perubahan lingkungan mikro ini berkombinasi dengan reorganisasi

arsitektur sinovial yang sangat buruk dan aktivasi fibroblas lokal. Ini

menyebabkan penumpukan jaringan inflamasi sinovial pada artritis

reumatoid (McInnes & Schett,

2011).

2011). Hal ini menyebabkan resorpsi tulang,

destruksi sendi, dan pembentukan pannus yang berlanjut dengan

diskontinuitas tulang pendengaran dan kekakuan tulang pendengaran. Ini

bermanifestasi sebagai CHL (Dikici, et al., 2009). Vaskulitis, neuritis, dan

ototoksisitas obat yang digunakan untuk pengobatan penyakit ini juga

dapat menyebabkan degenerasi organ corti yang bermanifestasi sebagai

SNHL. Jika kedua jenis gangguan pendengaran ini terjadi maka dapat

(26)

2.15 Kerangka Konsep

Gambar 2.12 Kerangka Konsep

Keterangan Gambar 2.12:

Dilakukan pemeriksaan audiometri nada murni pada pasien AR untuk

mengetahui jenis dan derajat gangguan pendengaran serta untuk

mengetahui rerata ambang hantaran udara, ambang hantaran tulang, air-bone gap dan ambang dengar. Dilakukan pula pemeriksaan timpanometri untuk mengetahui rerata compliance dan tekanan telinga tengah. Kemudian diteliti perbedaan kadar MMP-3 pada pasien AR dengan

gangguan pendengaran dan pasien AR tanpa gangguan pendengaran.

2.16 Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah: terdapat hubungan kadar MMP-3

dengan gangguan pendengaran pada pasien AR. Audiometri nada murni:

- jenis dan derajat

gangguan pendengaran - rerata ambang dengar - rerata hantaran udara - rerata hantaran tulang - rerata air-bone gap

Timpanometri:

- tipe timpanometri Pasien AR

Gangguan pendengaran (+)

Gangguan pendengaran (-)

Kadar MMP-3 plasma

Gambar

Gambar 2.1 Pembagian Kavum Timpani (Dhingra, 2010)
Gambar 2.2 Kavum Timpani (Dhingra, 2010)
Gambar 2.5 Duktus Koklea (Bailey, Johnson, & Newlands, 2006)
Gambar 2.6 Tahapan Perkembangan AR (McInnes & Schett,
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dorayaki Pisang with Fla Selai Ceria merupakan olahan siap saji berbentuk cembung yang didalamnya diisi dengan selai yang bervarian diantaranya

Diameter sel parenkim dari tepi luar batang ke arah dalam bervariasi dengan 121 sel, terlihat bahwa diameter parenkim memiliki variasi yang tinggi dan dapat juga

Like other projects discussed in this volume, the Views from the North atlas uses Nunaliit, a Cybercartographic Atlas Framework technology that has been developed under the

Fokus Penelitian yang akan dikaji adalah (1) Bagaimana tata cara mujahadah yang dilakukan untuk meningkatkan ukhuwah Islamiyah, (2) Bagaimana peran mujahadah keliling

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Peran Pujian dan Penyembahan dalam Ibadah Kebaktian Kebangunan Roh Terhadap Jemaatnya di Gereja GBI Keluarga Allah Surakarta berpengaruh positif

Sedangkan minat membaca pada usia prasekolah umumnya baik (di sekolah yang penulis observasi) anak-anak sangat senang, antusias apabila berkunjung/bermain

Sementara ciri orang yang memiliki konsep diri negatif adalah yakin akan kemampuannya mengatasi masalah, merasa setara dengan orang lain, menerima tanpa rasa malu, menyadari

Hal ini dikarenakan dalam pembelajaran dengan menggunakan Reciprocal Teaching disertai AfL, mahasiswa memiliki kesiapan yang lebih karena dengan adanya AfL, mahasiswa