• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pemberian Curcuminoid Terhadap Konsentrasi Hidrogen Peroksida (H2O2) Serum Dan Ekspresi Malondialdehid (MDA) Fibroblas Koklea Pada Rattus Norvegicus Model Diabetes Mellitus Chapter III VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Pemberian Curcuminoid Terhadap Konsentrasi Hidrogen Peroksida (H2O2) Serum Dan Ekspresi Malondialdehid (MDA) Fibroblas Koklea Pada Rattus Norvegicus Model Diabetes Mellitus Chapter III VI"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian adalah eksperimental laboratorik ex vivo, yang dipilih karena baik sampel maupun perlakuan lebih terkendali, terukur dan pengaruh perlakuan dapat lebih dipercaya. Rancangan penelitian ini menggunakan rancangan randomized post test only control group laboratory experimental design untuk mengetahui efek pemberian curcuminoid terhadap konsentrasi H2O2 serumdan ekspresi MDA fibroblas koklea setiap unit eksperimen dengan pengukuran variabel yang hanya dilakukan setelah pemberian perlakuan. Pengambilan sampel dilakukan secara acak dan ada kontrol pembanding.

3.2 Tempat dan Teknik Pengambilan Data Penelitian 3.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di laboratorium terstandardisasi dan mempunyai peralatan lengkap serta pengalaman memadai. Pemeliharaan hewan coba dilakukan di Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, pembuatan sediaan dan teknik pemeriksaan imunohistokimia dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi RSUD dr. Soetomo Surabaya, pemeriksaan ELISA dikerjakan di Laboratorium Patologi Klinik RSUD dr. Soetomo Surabaya.

3.2.2 Teknik Pengambilan Data

(2)

3.3 Variabel Penelitian 3.3.1 Variabel bebas

Variabel bebas adalah stres hiperglikemik yang didapatkan melalui injeksi streptozotocin 60 mg/kgbb/ekor dosis tunggal serta pemberian curcuminoid dengan dosis 200 dan 400 mg/kgbb/ekor/hari selama 5 dan 10 hari.

3.3.2 Variabel terikat

Respon molekuler pada fibroblas berupa konsentrasi H2O2 danekspresi MDA.

3.3.3 Variabel terkendali

Tikus Rattus norvegicus galur Wistar, jenis kelamin tikus, kandang tikus terpisah, berat badan tikus, makanan dan minuman tikus, cara pemberian perlakuan injeksi streptozotocin serta curcuminoid, prosedur penelitian dan cara pemeliharaan hewan coba.

3.4 Sampel

Tikus dipilih menjadi sampel penelitian karena memiliki kemiripan struktur telinga dalam dengan manusia. Tikus telah digunakan sebagai model hewan coba untuk penelitian penyakit ketulian genetik manusia dan terbukti bermanfaat dalam membantu mengidentifikasi gen yang sesuai pada manusia yang berperan dalam perkembangan sistem auditorius. Melalui identifikasi genetik dan sekuensnya, tikus dinyatakan homolog (>70%) dengan manusia (Van de Water, 1996).

Tikus Rattus norvegicus galur Wistar, jenis kelamin jantan, kondisi sehat, umur dewasa (2-3 bulan), dengan berat badan 150-250 gram agar perubahan berat selama penelitian relatif kecil (Hume, et al.,1977).

(3)

dengan dosis tertentu, kemudian diukur variabel penelitian hanya setelah pemberian perlakuan.

Rancangan penelitian memiliki kriteria; pengambilan sampel dilakukan secara acak, streptozotocin diberikan dalam dosis tertentu sesuai berat badan tikus, ada kontrol pembanding, dan bersifat double blind.

Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis untuk mencapai tujuan penelitian.

3.4.1 Besar sampel

Besar sampel ditentukan berdasarkan jumlah ulangan yang dianggap telah cukup baik (Federer, 1955), dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

k = jumlah kelompok subyek penelitian (k=6) r = jumlah ulangan

Perhitungan:

(6-1) (r-1) ≥ 15; 5r-5 ≥ 15; 5r ≥ 20; r ≥ 4 n = r x k; n = 4 x 6 = 24

ditetapkan besar sampel secara keseluruhan yaitu minimal 24 ekor tikus. 3.4.2 Pengelompokan sampel

Berdasarkan rumus di atas maka besar sampel adalah tikus yang diambil peneliti secara random untuk tiap kelompok perlakuan, sehingga sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 24 ekor tikus yang dibagi menjadi 6 kelompok sebagai berikut:

(4)

K1 : Kelompok kontrol, diberikan injeksi buffer natrium sitrat dan CMC.

K2 : Kelompok perlakuan diberikan injeksi streptozotocin 60 mg/kgbb/ekor dosis tunggal.

K3 : Kelompok perlakuan dengan injeksi streptozotocin 60 mg/kgbb/ekor dosis tunggal dan pemberian curcuminoid 200 mg/kgbb/ekor/hari selama 5 hari.

K4 : Kelompok perlakuan dengan injeksi streptozotocin 60 mg/kgbb/ekor dosis tunggal dan pemberian curcuminoid 400 mg/kgbb/ekor/hari selama 5 hari.

K5 : Kelompok perlakuan dengan injeksi streptozotocin 60 mg/kgbb/ekor dosis tunggal dan pemberian curcuminoid 200 mg/kgbb/ekor/hari selama 10 hari.

K6 : Kelompok perlakuan dengan injeksi streptozotocin 60 mg/kgbb/ekor dosis tunggal dan pemberian curcuminoid 400 mg/kgbb/ekor/hari selama 10 hari.

3.4.3 Teknik pengambilan sampel

Tikus Rattus norvegicus galur Wistar didapat dari institusi penyedia yang memiliki kualifikasi standar. Sebelum digunakan sebagai subyek penelitian, hewan coba dilakukan evaluasi klinis dan dikondisikan dalam lingkungan yang sesuai (selama 14x24 jam) untuk meyakinkan bahwa

P1 (Perlakuan 1) K2 (Kelompok 2) Subyek

P0 (tanpa perlakuan = kontrol) K1 (Kelompok 1)

(5)

hewan tersebut tidak berpenyakit atau tidak berpotensi menularkan penyakit.

Sebelum mendapatkan perlakuan penelitian, dilakukan skrining dengan beberapa kriteria, yaitu:

1. Kriteria inklusi: hewan coba berusia 2-3 bulan, jenis kelamin jantan dan berat badan 150-250 gram.

2. Kriteria eksklusi:

a. Hewan dinyatakan berpenyakit oleh dokter hewan konsultan, baik

penyakit menular atau tidak menular atau cedera fisik atau berpotensi

menularkan penyakit dalam kurun waktu evaluasi klinis di dalam kondisi

lingkungan yang sesuai (selama 14 x 24 jam).

b. Hewan terdeteksi memiliki kelainan bawaan yang dinyatakan oleh dokter

hewan konsultan.

c. Hewan berperilaku agresif, dalam pengamatan sering menyerang

anggota kelompok lain.

(6)

3.5 Definisi Operasional Penelitian

1. Induksi Diabetes: injeksi Streptozotocin dengan dosis 60 mg/kg berat badan tikus (single dose) secara intraperitoneal, kemudian kadar gula darah diukur 2 hari pasca injeksi, sampai terjadi kondisi hiperglikemia (KGD >200 mg/dl).

2. Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah tikus mencapai >200 mg/dl yang diukur menggunakan strip pengukur kadar gula darah merk Gluko DR® Bio Sensor dari allmedicus. 3. Fibroblas: sel yang terdapat pada jaringan dinding lateral koklea.

Sel berinti tunggal dalam bentuk yang panjang.

4. Konsentrasi H2O2 diukur dengan metode ELISA menggunakan darah prekordial tikus yang telah dilakukan sentrifugasi 3000 rpm (rounds per minute) selama 10 menit. Serum yang diperoleh dari proses sentrifugasi pada tiap kelompok dilabel dengan antibodi spesifik terhadap H2O2. Konsentrasi H2O2 pada tiap sampel ditentukan dengan cara membandingkan optical density (OD) tiap sampel terhadap kurva standar. Pemeriksaan aktivitas H2O2 dilakukan sesuai petunjuk pelaksanaan pada package insert yang terdapat dalam rat hydrogenperoxide ELISA kit (Glory Science Co., Ltd catalog #:34647). Pembacaan nilai OD diukur pada panjang gelombang 450 nm pada plate reader ELISA reader. Hasil penghitungan akhir dinyatakan dalam pg/ml (skala numerik/angka).

(7)

kemudian dilakukan penghitungan skor imunoreaktif. Skor imunoreaktif diperoleh dengan mengalikan skor luas dengan skor intensitas.

Hasil ukur skor imunoreaktif: 0-9.

Dalam penelitian ini digunakan Malondialdehyde Antibody NB100-62737 dari Novus Biological (www.novusbio.com).

6. Curcuminoid: zat pigmen kuning yang diekstraksi dari tumbuhan Curcuma domestica Val. atau Curcuma longa L. Pada penelitian ini yang digunakan adalah curcuminoid serbuk dengan kadar (16.62 ± 0.14)% w/w dibandingkan dengan standar, yang diukur dengan metode thin layer chromatography dan densitometri. Sediaan yang diberikan berupa curcuminoid serbuk dengan dosis 200 dan 400 mg/kgbb/hari per ekor tikus karena berdasarkan literatur dan penelitian terdahulu dosis tersebut dapat menurunkan konsentrasi H2O2 dan ekspresi MDA.

3.6 Alat dan Bahan Penelitian

3.6.1 Hewan coba yang dikenai perlakuan

Tikus putih jantan Rattus norvegicus galur Wistar yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi akan mendapatkan pembagian kelompok sesuai hasil randomisasi.

3.6.2 Bahan perlakuan a. Streptozotocin

Streptozotocin disimpan pada suhu 200C. Konsentrasi

streptozotocin adalah 22,5 mg/l, disimpan dalam tabung reaksi yang ditutup dengan aluminium foil (karena sensitif terhadap cahaya).

b. Curcuminoid

(8)

dan densitometri. Sediaan yang diberikan berupa curcuminoid serbuk dengan dosis 200 dan 400 mg/kgbb/hari perekor tikus. c. Buffer natrium sitrat dibuat dengan melarutkan 1,47 gram

Natrium sitrat dalam 50 ml dH2O.

d. Carboxy Methyl Cellulose (CMC) dibuat dengan mensuspensikan 0.5 gram CMC dalam 100 cc larutan akuades. e. Eter inhalan sebagai zat anestesi.

3.6.3 Bahan pemeriksaan laboratorium

Alat yang digunakan pada penelitian ini, antara lain: kandang tikus, gunting bedah, disposible syringe, mikroskop binokuler, gelas obyek dan cover glass, mikrotom, tabung reaksi, pipet pasteur steril, tabung silikon, pipet mikro, beker gelas, spuit 1 cc, spuit 3 cc, spuit 5 cc dan lemari es, glukoDR.

Untuk Hematoxillin Eosin dan Imunohistokimia meliputi H2O2 3%, xylol, alkohol 100%, PBS, HCL 0.5 M, antibodi primer rat hydrogenperoxide (H2O2) ELISA kit (Glory Science Co., Ltd catalog #: 34647), antibody Malondialdehyde NB 100-62737 (Novusbio) dan biotinylated secondary Ab (anti rabbit), streptavidin berlabel peroksidase, pewarna Meyer-hematoxilen, TrisHCl pH 6.8, entelen, akuades steril, parafin lunak, poli-D-lysin, BSA 3%, tripsin 0.025%, substrat DAB.

3.7 Prosedur Penelitian 3.7.1 Tahap persiapan

Untuk menjamin bahwa semua prosedur yang dilakukan pada penelitian ini laik etik, maka sebelum dilakukan penelitian proposal diajukan terlebih dahulu pada komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara untuk mendapatkan penilaian dan pengesahan kelaikan etik.

3.7.2 Prosedur induksi diabetes menggunakan streptozotocin.

(9)

b. Hitung dosis induksi streptozotocin dengan kebutuhan 60 mg/kgbb/ekor tikus.

c. Hitung kebutuhan dapar sitrat yang dibutuhkan demgan konsentrasi streptozotocin 22,5 mg/ml dalam dapar sitrat.

d. Siapkan tabung dan bungkus dengan aluminium foil pada bagian luarnya.

e. 15 – 20 menit sebelum induksi, timbang streptozotocin yang dibutuhkan kemudian larutkan ke dalam dapar sitrat dengan volume yang telah ditentukan.

f. Masukan larutan streptozotocin yang diperoleh kedalam tabung berbungkus aluminium foil.

g. 30 detik – 1 menit sebelum induksi pindahkan larutan streptozotocin ke dalam spuit 1 ml.

h. Injeksikan larutan streptozotocin melalui intraperitoneal tikus sesuai dengan kebutuhan dosis per ekor. Induksi dilakukan hanya satu kali. i. Berikan larutan sukrosa 10% atau dekstrosa 10% sepanjang malam

pertama setelah induksi untuk menghindari sudden hypoglycemic post injection.

j. Setiap pagi tikus diperiksa kadar glukosa darah puasa (tikus dipuasakan dengan cara tidak diberi pakan dan kandang dikosongkan dari sekam selama 6 jam). Hiperglikemia yang bermakna akan dijumpai 2 hari setelah induksi.

3.7.3 Prosedur pemberian curcuminoid

(10)

3.7.4 Perlakuan pada tikus

Setelah tikus putih beradaptasi terhadap lingkungan kandang di laboratorium selama 2 minggu, selanjutnya perlakuan diberikan sesuai dengan kelompok yang direncanakan.

3.7.5 Prosedur pengambilan jaringan koklea tikus

Tikus dikorbankan dengan inhalasi eter, dilakukan nekropsi jaringan tulang temporal kepala tikus. Sampel jaringan diambil, difiksasi dengan larutan buffer formalin 10% dan dilakukan dekalsifikasi dengan EDTA selama 4 minggu. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan laboratorium.

3.7.6 Pemeriksaan laboratorium

a. Fiksasi jaringan dengan pembuatan paraffin block jaringan.

Jaringan tulang didekalsifikasi dengan menggunakan EDTA selama 4 minggu. Jaringan selanjutnya dicuci dengan PBS 3-5 kali untuk membersihkannya dari kontaminan. Kemudian jaringan difiksasi pada larutan formalin 10%. Setelah itu dilakukan dehidrasi dengan alkohol bertingkat (30%, 50%, 70%, 80%, 96% dan absolut) masing-masing selama 60 menit. Dilakukan clearing menggunakan xylol sebanyak 2 kali masing-masing 60 menit. Kemudian dilakukan impregnasi dengan parafin lunak selama 60 menit pada suhu 480C. Selanjutnya dilakukan blocking preparat dalam parafin keras pada cetakan dan didiamkan selama sehari.

b. Proses deparafinisasi

Dilakukan pemotongan blok parafin setebal 4 µm dengan rotary microtome. Jaringan yang sudah dipotong dimasukkan dalam air hangat, lalu diletakkan pada kaca.

c. Proses pewarnaan Hematoxilin Eosin

(11)

menit. Warnai sediaan dengan Hematoxilin selama 10 menit, setelah itu direndam dalam tap water selama 10 menit lalu dibilas dengan dH2O. Sediaan selanjutnya diwarnai kembali dengan larutan Eosin selama 3 menit lalu didehidrasi dengan alkohol berseri 30% dan 50% masing-masing selama 5 menit, cuci dengan dH2O selama 5 menit dan dikering-anginkan. Inkubasi kembali dengan xylol sebanyak 2 kali masing-masing selama 2 menit kemudian dilakukan mounting dengan entelan dan tutup dengan cover glass.

d. Pemeriksaan konsentrasi H2O2 dengan teknik ELISA

Darah prekordial tikus diambil dan dilakukan sentrifugasi 3.000 rpm (revolutions per minute) selama 10 menit sampai didapatkan serum sampel. Supernatan yang diperoleh dari proses sentrifugasi diperiksa aktivitas H2O2-nya sesuai petunjuk pelaksanaan pada package insert yang terdapat dalam rat hydrogenperoxide (H2O2) ELISA kit (Glory Science Co., Ltd cat#34647). Rat hydrogenperoxide ELISA kit dirancang untuk mengukur H2O2 secara kuantitatif dalam berbagai sampel.

e. Pemeriksaan ekspresi MDA dengan teknik imunohistokimia.

(12)

pH 7.4 sebanyak 3 kali selama 5 menit. Selanjutnya, sediaan direaksikan dengan antibodi sekunder (biotinylated secondary antibody) selama 60 menit, lalu cuci kembali dengan PBS pH 7.4 sebanyak 3 kali selama 5 menit. Inkubasi dengan dengan steptavidin-HRP selama 60 menit, lalu cuci menggunakan PBS pH 7.4 sebanyak 3 kali selama 5 menit. Tetesi dengan DAB dan inkubasi selama 30 menit, lalu cuci menggunakan dH2O selama 5 menit. Masukkan sediaan ke dalam larutan Mayer Hematoxylin sebagai counterstaining dan diinkubasi selama 10 menit, lalu cuci menggunakan tap water. Selanjutnya, sediaan dibilas dengan dH2O dan dikering-anginkan. Kemudian dilakukan proses mounting menggunakan entelan lalu ditutup dengan cover glass.

3.7.7 Penghitungan sel pada pemeriksaan imunohistokimia

Menggunakan mikroskop Olympus XC 10 dengan pembesaran 40x Penghitungan jumlah fibroblas terekspresi dilakukan oleh peneliti dan pemeriksa ahli.

1. Penghitungan dilakukan terhadap semua slide yang ada dengan rincian:

a. Jumlah hewan coba yang termasuk kriteria masukan 40 sampel b. Setiap hewan coba diambil sampel jaringan, difiksasi dengan 10%

formalin, dilakukan dekalsifikasi dengan EDTA selama 4 minggu. c. Masing-masing sampel jaringan dibuat sediaan irisan setebal 4 µm,

kemudian diwarnai dengan Hematoxilin Eosin (HE).

2. Semua slide yang sudah berkode ditutup nomor kodenya dan diberi nomor baru secara acak sehingga pemeriksa dan peneliti yang ikut memeriksa tidak mengetahui slide yang diperiksa milik sampel yang mana (double blind).

(13)

4. Pemeriksaan dan penghitungan sel dilakukan secara terpisah diantara ke 2 pemeriksa, disesuaikan dengan kemampuan/kesediaan waktu pemeriksa.

5. Pemeriksaan dan penghitungan sel dilakukan terhadap masing-masing slide pada bidang pandang di dinding lateral koklea yaitu daerah yang ditandai dengan adanya fibroblas dengan pembesaran 40x.

6. Hasil penghitungan sel sesuai dengan slide yang diperiksa ditulis di lembar kerja pada kotak yang sesuai.

(14)
(15)

3.9 Analisis Statistik

(16)

HASIL PENELITIAN

4.1 Profil Konsentrasi H2O2 Serum dan Ekspresi MDA Fibroblas Koklea Tikus Model Diabetes Mellitus

Hasil penelitian yang didapatkan berdasarkan pemeriksaan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) untuk memeriksa konsentrasi H2O2 dan imunohistokimia untuk melihat ekspresi MDA pada setiap kelompok, yaitu kelompok kontrol (kelompok 1) dan kelompok model DM (kelompok 2,3,4,5 dan 6). Gambaran konsentrasi H2O2 dan ekspresi MDA keenam kelompok penelitian ditampilkan pada tabel 4.1 dan gambar 4.1 dibawah ini:

Tabel 4.1 Nilai Rerata dan Standar Deviasi Konsentrasi H2O2 Serum dan Ekspresi MDA Fibroblas Koklea.

Kelompok (n=6)

Konsentrasi H2O2 Ekspresi MDA Nilai Rerata Standar

Deviasi

Nilai Rerata Standar Deviasi

1 2.7250 0.20616 2.00 1.000

2 4.1250 0.52520 7.80 1.643

3 3.5675 0.32999 5.40 2.510

4 3.1500 0.38730 4.00 1.871

5 3.6000 0.43205 1.60 0.548

(17)

Gambar 4.1 Nilai Rerata Konsentrasi H2O2 Serum dan Ekspresi MDA Fibroblas Koklea Tiap Kelompok Perlakuan

Keterangan:

A. Konsentrasi H2O2

Terjadi peningkatan konsentrasi H2O2 pada kelompok 2 dibanding kelompok lainnya. Penurunan konsentrasi H2O2 terjadi pada kelompok yang mendapatkan curcuminoid, terutama dosis besar yaitu kelompok 4 dan 6, dibandingkan kelompok 2.

B. Ekspresi MDA

(18)
(19)

pada Serum Tikus Model Diabetes Melitus

Data hasil penelitian yang didapatkan berdasarkan pemeriksaan ELISA selanjutnya diolah dan dianalisis secara statistik.

Tabel 4.2 Hasil Uji ANOVA terhadap Konsentrasi H2O2 pada Setiap Kelompok

Kelompok Perbedaan rerata ± Standar error Nilai p Kelompok 1 Kelompok 2 1.4000 ± 0.265 .001*

Kelompok 3 .8425 ± 0.265 .079

Kelompok 4 .4250 ± 0.265 1.000

Kelompok 5 .8750 ± 0.265 .060

Kelompok 6 .0500 ± 0.265 1.000

Kelompok 2 Kelompok 3 .5575 ± 0.265 .753

Kelompok 4 .9750 ± 0.265 .026*

Kelompok 5 .5250 ± 0.265 .954

Kelompok 6 1.4500 ± 0.265 .001*

Kelompok 3 Kelompok 4 .4175 ± 0.265 1.000

Kelompok 5 .0325 ± 0.265 1.000

Kelompok 6 .8925 ± 0.265 .052

Kelompok 4 Kelompok 5 .4500 ± 0.265 1.000

Kelompok 6 .4750 ± 0.265 1.000

(20)

konsentrasi H2O2 serum yang bermakna (p<0.05) secara statistik pada kelompok 2 bila dibandingkan dengan kelompok 1, yang berarti bahwa pada kelompok model DM tanpa pemberian curcuminoid terjadi peningkatan konsentrasi H2O2 serum yang bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol.

(21)

4.3 Gambar Fibroblas Dinding Lateral Koklea dengan Pengecatan Hematoxillin Eosin dan Imunohistokimia

Pengecatan HE (Gambar 4.2) dilakukan untuk melihat potongan dinding lateral koklea yang tepat secara histopatologis dan kemudian digunakan sebagai pembanding untuk selanjutnya dilakukan pengecatan imunohistokimia (Gambar 4.3)

Gambar 4.2 Penampang Dinding Lateral Koklea Rattus norvegicus (tanda panah) dengan Pengecatan HE (perbesaran 4)

(22)

Fibroblas Koklea Tikus Model Diabetes Melitus

Gambar 4.4 Ekspresi MDA pada tiap kelompok perlakuan (perbesaran 100) : (A) Kelompok 1; (B) Kelompok 2; (C) Kelompok 3; (D) Kelompok 4; (E) Kelompok 5; (F) Kelompok 6. Tanda panah menunjukkan ekspresi MDA pada fibroblas koklea yang ditandai dengan warna coklat.

Keterangan:

(23)

dan 400 mg/kgbb/hari selama 5 hari [Gambar 4.2 (C), (D)]. Hasil ini menunjukkan perbedaan jumlah sel yang mengekspresikan MDA pada fibroblas koklea antara semua kelompok.

Untuk mengetahui kelompok perlakuan mana yang memiliki perbedaan, maka dilanjutkan dengan uji ANOVA.

Tabel 4.3 Hasil Uji ANOVA terhadap Ekspresi MDA pada Setiap Kelompok Kelompok Perbedaan rerata ± Standar error Nilai p

Kelompok 1 Kelompok 2 5.800 ± .970 .000*

Kelompok 3 3.400 ± .970 .027*

Kelompok 4 2.000 ± .970 .752

Kelompok 5 2.000 ± .970 1.000

Kelompok 6 .600 ± .970 1.000

Kelompok 2 Kelompok 3 2.400 ± .970 .311

Kelompok 4 3.800 ± .970 .010*

Kelompok 5 6.200 ± .970 .000*

Kelompok 6 6.400 ± .970 .000*

Kelompok 3 Kelompok 4 1.400 ± .970 1.000

Kelompok 5 3.800 ± .970 .010*

Kelompok 6 4.000 ± .970 .006*

Kelompok 4 Kelompok 5 2.400 ± .970 .311

Kelompok 6 2.600 ± .970 .196

Kelompok 5 Kelompok 6 .200 ± .970 1.000

*Bermakna secara statistik (p<0.05)

(24)

pada kelompok model DM tanpa pemberian curcuminoid terjadi peningkatan ekspresi MDA fibroblas koklea yang bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Berdasarkan tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa terjadi penurunan ekspresi MDA fibroblas koklea yang bermakna secara statistik (p<0.05) pada kelompok 4, kelompok 5 dan kelompok 6 bila dibandingkan dengan kelompok 2. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok model DM yang mendapatkan curcuminoid dengan dosis 200 mg.kgbb/hari selama 10 hari dan dosis 400 mg/kgbb/hari baik yang diberikan selama 5 hari maupun selama 10 hari, terjadi penurunan ekspresi MDA fibroblas koklea yang bermakna dibandingkan dengan kelompok model DM yang tidak mendapatkan curcuminoid.

4.5 Korelasi Konsentrasi H2O2 Serum dengan Ekspresi MDA Fibroblas Koklea Tikus Model Diabetes Melitus

Untuk melihat bagaimana kaitan antara penurunan konsentrasi H2O2 serum dengan penurunan ekspresi MDA fibroblas koklea dilakukan uji korelasi terhadap keduanya. Hasil uji tersebut terlihat pada tabel 4.4 dibawah ini:

Tabel 4.4 Hasil Uji Korelasi terhadap Konsentrasi H2O2 Serum dengan Ekspresi MDA Fibroblas Koklea

H2O2 Serum MDA Koklea H2O2 Serum Koefisien korelasi (r) 1 .598

Nilai p .002

MDA Koklea Koefisien korelasi (r) .598 1

Nilai p .002

** Korelasi sangat kuat (r=0.800 – 1.000)

(25)
(26)

PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan salah satu dari sekian banyak peranan curcuminoid, yaitu sebagai antioksidan. Stress oksidatif dipercaya memegang peranan penting dalam patogenesis terjadinya kerusakan koklea akibat diabetes mellitus, yang pada akhirnya menyebabkan gangguan pendengaran pada penderita diabetes. Penelitian menunjukkan bahwa berbagai mekanisme yang menyertai

hiperglikemia dapat menyebabkan kerusakan oksidatif (peningkatan stress

oksidatif) dalam darah dan jaringan pada penderita diabetes,

dibandingkan dengan individu normal. Peningkatan stress oksidatif dalam

darah dan jaringan diperkirakan memegang peranan penting terhadap

onset dan perkembangan komplikasi pada diabetes (Kashiwagi, 2001).

Pada penelitian ini induksi diabetes mellitus dilakukan menggunakan injeksi streptozotocin intraperitoneal 60 mg/kgbb dosis tunggal. Tikus diperiksa kadar gula darah setiap hari dan pada hari kedua pasca induksi tikus yang tidak memenuhi kriteria dikeluarkan dari penelitian. Digunakan streptozotocin dan dengan dosis tunggal 60 mg/kgbb karena berdasarkan penelitian, metode tersebut merupakan metode yang digunakan secara luas, menyebabkan terjadinya diabetes pada hari 1-2 setelah induksi, dan jarang menyebabkan ketosis sehingga hewan coba dapat bertahan lebih lama tanpa pemberian insulin (Ghosh et al., 2015; Palma et al., 2014; Islas-Andrade et al., 2000).

(27)

maka pada penelitian ini digunakan dosis 200 mg/kgbb dan dosis 2x lipatnya yaitu 400 mg/kgbb untuk melihat dosis optimal curcumin sebagai antioksidan.

Jalur metabolik terdiri dari sistem enzim yang terlibat dalam scavenging oksigen aktif yang terbentuk dalam sel. Enzim tersebut adalah 1) SOD

yaitu enzim yang mengubah O2 endogen menjadi hidrogen peroksida

termasuk Cu, Zn-SOD, Mn-SOD dan SOD ekstraseluler 2) catalase dan

gluthatione redox cycle yang mengubah hidrogen peroksida menjadi air.

Hidrogen peroksida sendiri tidak memiliki elektron yang tidak

berpasangan, tetapi diubah menjadi radikal hidroksil yang sangat reaktif

(OH) sehingga mekanisme detoksifikasi H2O2 berperan penting dalam

perlindungan sel dan jaringan dari stress oksidatif (Kashiwagi, 2001).

Stres oksidatif didefinisikan sebagai ketidakseimbangan antara produksi ROS (oksigen reaktif spesies) atau radikal bebas dan pertahanan antioksidan, yang dapat menyebabkan cedera jaringan. Hal ini dapat dinilai dengan pengukuran produk reaksi dari kerusakan oksidatif, seperti peroksidasi lipid, oksidasi DNA dan oksidasi protein. Tingkat MDA (malondialdehid) serum menunjukkan indeks peroksidasi lipid. Pada diabetes, stres oksidatif disebabkan oleh peningkatan pembentukan radikal bebas plasma dan penurunan pertahanan antioksidan. Hiperinsulinemia dan hiperglikemia dapat meningkatkan produksi radikal bebas dan menginduksi stres oksidatif yang mungkin juga berkontribusi terhadap peningkatan risiko untuk penyakit arteri koroner pada diabetes (Bikkad & Somwanshi, 2014).

(28)

perkembangan komplikasi diabetes. Radikal bebas berperan penting sebagai penyebab dan dalam perkembangan komplikasi diabetes mellitus. Saat ini stress oksidatif dianggap sebagai mekanisme yang mendasari terjadinya diabetes dan komplikasi diabetes. Peningkatan stress oksidatif dan perubahan kapasitas antioksidan pada diabetes mellitus telah diteliti baik pada penelitian klinis maupun eksperimental, diperkirakan merupakan etiologi komplikasi diabetes kronik. Implikasi stress oksidatif pada patogenesis diabetes, tidak hanya pembentukan radikal bebas, tetapi juga akibat glikosilasi protein non enzimatik, autooksidasi glukosa, gangguan metabolisme gluthation, gangguan pada enzim antioksidan, pembentukan lipid peroksidasi dan penurunan kadar asam askorbat. Selain GSH, ada mekanisme pertahanan lain terhadap radikal bebas seperti enzim superoxide dismutase (SOD), glutathione peroxidase (GPx) dan catalase (CAT) yang berperan dalam menghilangkan superoksida, hidrogen peroksida dan radikal hidroksil. Kadar enzim antioksidan mempengaruhi kerentanan berbagai jaringan terhadap stres oksidatif dan berhubungan dengan perkembangan komplikasi diabetes. Hal ini juga berbahaya bagi sel sel pulau beta, yang merupakan salah satu jaringan yang memiliki kadar antioksidan intrinsik terendah (Shradha & Sisodia 2010).

Mikrosirkulasi pada koklea memegang peranan penting dalam fisiologi koklea. Keadaan hiperglikemia dan hiperlipidemia dikaitkan dengan peningkatan kekentalan darah dan gangguan sistem sirkulasi. Penelitian menunjukkan bahwa penyakit penyakit telinga dalam sering dikaitkan dengan kerusakan mikrosirkulasi, khususnya yang melibatkan stria vaskularis (Xipeng, et al, 2013).

(29)

internal yang didukung oleh mikrosirkulasi. Meskipun telah jelas diketahui bahwa gangguan suplai darah koklea dapat menyebabkan disfungsi koklea, mekanisme yang jelas mengenai gangguan pendengaran pada diabetes seperti regulasi transduksi sinyal seluler dan saraf, regulasi mikrosirkulasi otonom dan humoral masih menjadi bahan perdebatan dan belum dipelajari secara menyeluruh (Xipeng, et al, 2013).

Stres oksidatif memainkan peranan penting dalam cedera selular akibat hiperglikemia. Kadar glukosa yang tinggi dapat merangsang produksi radikal bebas (Tiwari et al., 2013). Stres oksidatif meningkat pada diabetes mellitus akibat terjadinya peningkatan produksi radikal bebas oksigen dan kurangnya mekanisme pertahanan antioksidan. Radikal bebas terbentuk secara tidak proporsional pada diabetes akibat oksidasi glukosa, glikasi protein non-enzimatik, dan diikuti degradasi oksidatif protein terglikasi (McGrowder, Anderson-Jackson & Crawford, 2013). Spesies oksigen reaktif terdiri dari radikal bebas oksigen seperti anion superoksida (O2• -), hidrogen peroksida (H2O2), radikal hidroksil (OH •), singlet oksigen, nitrat oksida, dan peroksinitrit. Sebagian besar radikal bebas diproduksi pada konsentrasi rendah selama kondisi fisiologis normal dalam tubuh dan kemudian dinetralisir oleh antioksidan enzimatik endogen dan juga antioksidan non-enzimatik yang meliputi superoxide dismutase, gluthathione peroxidase, catalase, dan molekul kecil seperti vitamin C dan E (McGrowder, Anderson-Jackson & Crawford, 2013).

5.1 Pengaruh Curcuminoid terhadap Konsentrasi H2O2 Serum Tikus

Model Diabetes Mellitus

(30)

dengan cepat menjadi radikal hidroksil yang sangat reaktif melalui reaksi Fenton(Rhee et al., 2010). CAT dan GPx memegang peranan penting di dalam mekanisme pertahanan antioksidan seluler dengan cara membatasi akumulasi H2O2. CAT dengan segera melakukan proses dekomposisi H2O2 menjadi oksigen (O2) dan molekul air (H2O), sementara GPx akan mengkonversi H2O2 menjadi 2 molekul air (H2O) dengan menggunakan glutathione sebagai substrat, sehingga mengurangi partisipasi H2O2 dalam reaksi Fenton dan Haber-Weiss yang mampu membentuk senyawa radikal hidroksil (OH•) yang sangat reaktif (Kehrer, 2000; Li, et al., 2000; Lobo, et al., 2010; Kabel, 2014). Akibat terjadinya stres oksidatif yang disebabkan oleh keadaan hiperglikemia, produksi radikal anion superoksida (O2•-) dan H2O2 akan berlebihan karena proses konversi langsung radikal anion

superoksida (O2•-) menjadi H2O2 oleh enzim SOD, sehingga terjadi akumulasi H2O2 intraseluler. Oleh sebab itu, enzim CAT dan GPx tidak mampu mengkonversi akumulasi H2O2 secara efektif dan komplit.

Pada hiperglikemia O2- intraseluler meningkat dari beberapa sumber termasuk keluarga enzim NADPH oxidase, xantin oksidase, cycloxigenase, uncoupled constitutive nitric oxide synthase (eNOS), transpor elektron mitokondria, glukosa oksidase, dan lipooxygenase. Intraseluler O2- adalah spesies yang relatif singkat, yang dapat mengalami proses dismutasi oleh enzim superoxide dismutase (SOD) menjadi hidrogen peroksida (H2O2). Paparan glukosa yang tinggi meningkatkan H2O2, yang merupakan hasil dari dismutasi O2- di mitokondria dan peningkatan aktivitas NAD(P)H oxidase-4 (NOX4) di sitosol. Pada kondisi stres oksidatif, kadar H2O2 intraseluler diatur melalui keterlibatan langsung catalase, dan secara tidak langsung melalui keterlibatan langsung dari uncoupling protein, dan ekspresi NRF-2 (Patel et al., 2013).

(31)

oxidase dalam stress oksidatif akibat hiperglikemia pada otot rangka tikus yang di induksi diabetes juga mendapatkan terjadinya peningkatan H2O2 tikus yang diinduksi diabetes mellitus, baik H2O2 yang diproduksi oleh mitokondria, maupun yang diperantarai oleh xanthin oxidase.

Konsentrasi yang berlebihan dari hidrogen peroksida dapat menyebabkan kerusakan yang signifikan terhadap protein, DNA, RNA, dan lipid. Lipid dilaporkan sebagai salah satu utama target ROS. Hidrogen peroksida memiliki efek toksik pada sel baik secara langsung maupun melalui degradasi menjadi radikal hidroksil yang bersifat sangat toksik. Selain itu hidrogen peroksida juga dapat bereaksi dengan logam transisi seperti besi atau tembaga untuk membentuk aldehida yang stabil, seperti malondialdehid (MDA) yang dapat menyebabkan kerusakan sel (Tiwari et al., 2013).

Penelitian ini menunjukkan bahwa secara deskriptif pemberian curcuminoid baik dosis 200 mg/kgbb/hari maupun 400mg/kgbb/hari mampu menurunkan konsentrasi H2O2 serum tikus model diabetes mellitus. Selain itu secara statistik didapatkan bahwa dosis curcuminoid 400mg/kgbb/hari baik diberikan selama 5 maupun 10 hari mampu menurunkan konsentrasi H2O2 serum yang bermakna. Dari hasil ini dapat diambil kesimpulan bahwa dosis 200 mg/kgbb/hari belum memberikan perbedaan yang bermakna dalam menurunkan konsentrasi H2O2 serum tikus model DM. Penelitian sebelumnya mendapatkan bahwa pemberian curcuminoid 100 mg/hari dapat menurunkan konsentrasi H2O2 pada koklea tikus yang diinduksi bising (Haryuna et al, 2016).

(32)

mengubahnya menjadi molekul air dan selanjutnya menurunkan konsentrasi H2O2 sehingga tidak memberikan dampak kerusakan akibat akumulasi H2O2 intrasel yang berlebihan.

Curcumin mampu memberikan efek protektif terhadap destruksi sel epitel ginjal LLC-PK1 hewan coba tikus yang diinduksi oleh radikal peroksida H2O2. Kadar dan aktivitas H2O2 dapat berkurang secara bermakna pada kelompok tikus yang diberikan curcumin selama 15 hari (Cohly, et al., 1998).

Pada penelitian yang dilakukan pada model sel epitel kanker payudara manusia yang diberikan radiasi dosis rendah LET (linear energy transfer) partikel α (150 keV/µm) dan dikultur dengan 17β-estradiol (estrogen), pemberian curcumin dapat mengurangi produksi H2O2 yang terbentuk dan meningkatkan ekspresi SOD dan CAT terhadap sel epitel tersebut serta menurunkan proses peroksidasi lipid yang terjadi (Calaf, et al., 2011). Pemberian curcumin mampu memberikan efek sitoprotektif terhadap sel NG108-15 pada tikus yang mengalami kerusakan oksidatif dengan cara menginhibisi aktivitas H2O2 hingga berkurang serta menurunkan konsentrasinya pada sel (Mahakunakorn, et al., 2003).

Curcumin mampu menurunkan aktivitas H2O2 pada sel CHO yang mengalami aberasi kromosom hewan coba hamster akibat stres oksidatif yang disebabkan oleh H2O2, Fe2+ dan Fe3+ karena sifat klastogenik yang dimiliki zat tersebut pada konsentrasi tertentu (Antunes, et al., 2005).

(33)

Tikus Model Diabetes Mellitus

Salah satu konsekuensi dari stres oksidatif (ketidak seimbangan antara prooksidan dan antioksidan, dimana lebih banyak jumlah prooksidan) adalah cedera sel-sel, jaringan dan organ yang disebabkan oleh kerusakan oksidatif. Peroksidasi lipid secara umum dapat digambarkan sebagai suatu proses di mana oksidan seperti sebagai radikal bebas atau spesies non radikal menyerang lipid yang mengandung karbon-karbon ikatan ganda, terutama asam lemak tak jenuh ganda (PUFA). Produk utama utama peroksidasi lipid adalah hidroperoksida lipid (LOOH). Di antara banyak aldehida yang berbeda yang dapat dibentuk sebagai produk sekunder selama peroksidasi lipid antara lain yaitu malondialdehid (MDA), propanal, heksanal, dan 4-hidroksinonenal (4-HNE). MDA dianggap merupakan produk peroksidasi lipid yang paling mutagenik, sedangkan 4-HNE adalah yang paling beracun (Ayala, Munoz & Arguelles, 2014). MDA dibentuk sebagai hasil peroksidasi lipid yang dapat digunakan untuk mengukur lipid peroksida setelah bereaksi dengan asam tiobarbiturat (Ullah, Khan & Khan, 2016).

(34)

mudah dipisahkan, sehingga radikal bebas dapat berikatan dengan struktur kimia rantai ganda karbon (C=C) pada PUFA yang kemudian bereaksi dengan oksigen dan membentuk radikal peroksil yang akan memisahkan atom hidrogen lebih lanjut pada struktur PUFA di sebelahnya, memicu reaksi berantai yang menghasilkan produk radikal asam lemak yang tidak stabil. Radikal asam lemak tersebut kemudian akan bereaksi dengan ion-ion logam transisi bebas seperti Fe2+ dan Cu2+ sehingga menyebabkan terputusnya rantai asam lemah pada PUFA menjadi senyawa aldehid sitotoksik berupa MDA dan 4-HAE yang memiliki reaktivitas yang tinggi terutama terhadap protein dan DNA serta gas hidrokarbon seperti etana. Rusaknya struktur PUFA pada membran plasma juga akan mengganggu permeabilitas membran sehingga radikal bebas akan mudah masuk ke dalam sel serta bereaksi dengan organel yang terdapat dalam sel (Repetto, et al., 2012; Abd Ellah, et al., 2013; Pizzimenti, et al., 2013; Ayala, Munoz & Arguelles, 2014).

Penelitian oleh Hussein et al (2015) mendapatkan terjadinya peningkatan kadar MDA serum penderita diabetes dibandingkan dengan kontrol. Hussein & Zinadah (2010) mendapatkan peningkatan kadar MDA baik pada ginjal maupun hepar tikus yang diinduksi diabetes dibandingkan dengan kontrol.

(35)

curcumin yang merupakan donor atom H. Selain itu gugus fenolik sangat penting untuk aktivitas scavenging radikal bebas (Menon & Sudheer, 2007). Curcumin menetralisir radikal bebas melalui sifat mengikat logam. Curcumin memiliki potensi untuk melewati sawar darah-otak pada mamalia dan menghasilkanefek pelindung (Jaiswal et al., 2016). Curcuminoid mampu mencegah reduksi spontan H2O2 dengan berkompetisi terhadap ion-ion logam transisi bebas sehingga reaksi Fenton dan Haber-Weiss yang dapat menghasilkan radikal hidroksil (OH•) dapat dicegah, akibatnya proses peroksidasi lipid terhadap struktur PUFA dapat dihambat.

Hasil ini sama dengan yang didapatkan oleh Hussein & Zinadah (2010) yang mendapatkan penurunan kadar MDA baik pada ginjal maupun hepar tikus diabetes yang mendapatkan terapi curcumin. Seo et al (2008) mendapatkan bahwa curcumin dapat menurunkan kadar MDA baik pada hepar maupun pada sel eritrosit tikus diabetes, selain juga dapat menormalkan kadar enzim –enzim antioksidan seperti SOD, catalase dan gluthathione peroxidase.

(36)

mengurangi produksi ROS, namun pada dosis besar justru meningkatkan produksi ROS pada penelitian terhadap sel leukemia manusia (Chen et al., 2005). Penelitian lain menunjukkan bahwa curcumin dosis rendah (<10microM) dapat mencegah deplesi enzim antioksidan GSH namun pada dosis yang lebih tinggi malah menyebabkan penurunan GSH secara bertahap pada sel darah merah yang mengalami kerusakan oksidatif (Banerjee et al., 2008). Selain hal-hal tersebut diatas, faktor lain yang juga dapat berpengaruh adalah faktor farmakodinamik yang dapat mempengaruhi efikasi obat, yaitu ceiling effect yaitu aktivitas intrinsik maksimal obat, dimana penambahan dosis yang lebih besar tidak memberikan penambahan efikasi obat.

5.3 Korelasi Konsentrasi H2O2 Serum dengan Ekspresi MDA Fibroblas Koklea Tikus Model Diabetes Mellitus

(37)
(38)

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Curcuminoid dosis 400 mg/kgbb/ekor/hari dapat menurunkan konsentrasi H2O2 serum pada Rattus norvegicus model diabetes mellitus yang bermakna secara statistik (p<0.05).

2. Curcuminoid dapat menurunkan ekspresi MDA fibroblas koklea pada Rattus norvegicus model diabetes mellitus yang bermakna secara statistik (p<0.05).

3. Curcuminoid dosis 400 mg/kgbb/ekor/hari tidak terbukti lebih baik dibandingkan dosis 200 mg/kgbb/ekor/hari dalam menurunkan ekspresi MDA pada Rattus norvegicus model diabetes mellitus, dimana pada pada penelitian ini didapatkan perbedaan yang tidak bermakna 4. Curcuminoid dosis 400 mg/kgbb/ekor/hari yang diberikan selama 10

hari tidak terbukti lebih baik dibandingkan dengan curcuminoid 400 mg/kgbb/ekor/hari yang diberikan selama 5 hari dalam menurunkan konsentrasi H2O2 serum pada Rattus norvegicus model diabetes mellitus, dimana pada pada penelitian ini didapatkan perbedaan yang bermakna secara statistik (p>0.05).

(39)

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat disampaikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Perlu dilakukan penelitian dengan penambahan kelompok yang mendapatkan terapi curcuminoid sebelum dilakukan induksi diabetes melitus untuk melihat apakah curcuminoid memiliki sifat preventif terhadap terjadinya stres oksidatif pada fibroblas koklea.

2. Perlu dilakukan penelitian dengan pemilihan sediaan curcuminoid yang memiliki bioavailabilitas yang baik, seperti nanocurcumin atau kapsul liposom.

Gambar

Tabel 4.1 Nilai Rerata dan Standar Deviasi Konsentrasi H2O2 Serum dan Ekspresi MDA Fibroblas Koklea
Gambar 4.1 Nilai Rerata Konsentrasi H2O2 Serum dan Ekspresi MDA
Tabel 4.2 Hasil Uji ANOVA terhadap Konsentrasi H2O2 pada Setiap Kelompok
Gambar 4.2 Penampang Dinding Lateral Koklea Rattus norvegicus (tanda panah) dengan Pengecatan HE (perbesaran 4)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan: Curcuminoid terbukti berpotensi efektif dalam mencegah dan memperbaiki kerusakan fibroblas dinding lateral koklea dengan meningkatkan ekspresi kolagen tipe IV pada

400 mg/kgbb/hari/ekor dimulai hari ke-3 selama 3 hari (kelompok 4) menunjukkan ekspresi yang lebih tinggi dibandingkan kelompok yang mendapat perlakuan injeksi STZ 60

B. Kandang tikus dan tikus yang dipilih secara acak C.. Curcuminoid diberikan ke tikus melalui NGT E. Tulang temporal tikus dalam buffer formalin 10% G. Blok

Role of oxidative stress in hearing impairment in patients with type two diabetes mellitus.. The Journal of Laryngology &amp;

Anggota Muda Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Indonesia (PERHATI-KL) (2012

kasih setia dan penyertaanNya yang tidak berkesudahan sehingga saya dapat menyelesaikan tesis saya yang berjudul “Pengaruh Pemberian Curcuminoid Terhadap Ekspresi

Kesimpulan: Curcuminoid dapat bekerja sebagai antioksidan dalam keadaan stres oksidatif akibat diabetes melitus melalui peningkatan.. ekspresi SOD pada fibroblas

1.2.4 Apakah curcuminoid 100 mg perhari lebih baik dari curcuminoid 50 mg perhari dalam mencegah kerusakan fibroblas koklea yang diberi pajanan bising frekuensi 1-10 kHz