Superkonduktor merupakan material yang memiliki hambatan listrik bernilai nol (ρ=0) pada temperatur yang sangat rendah. Temperatur dimana hambatan listrik bernilai nol disebut dengan temperatur kritis (Tc). Hubungan temperatur dan resistivitas untuk superkonduktor dan logam ditunjukkan seperti pada gambar 1. (Wiendartun, 2008).
0 K
Tc
Temperatur
H
am
ba
ta
n
Superkonduktor Logam
Gambar 1. Grafik Hubungan Temperatur dan Hambatan pada Logam dan Superkonduktor (Callister & Rethwisch, 2007)
Hambatan jenis pada logam mengalami penurunan yang linear jika didinginkan hingga mendekati temperatur mutlak, sedangkan resistivitas pada superkonduktor juga mengalami penurunan, namun pada temperatur mendekati temperatur mutlak terjadi penurunan resistivitas yang drastis hingga bernilai nol (Callister & Rethwisch, 2007). Fenomena turunnya hambatan listrik suatu zat padat menjadi nol jika temperaturnya diturunkan hingga temperatur tertentu dikenal sebagai superkonduktivitas (Hidayat, 1991).
2.2Sejarah dan Perkembangan Superkonduktor
Sifat superkonduktor suatu bahan pertama kali ditemukan oleh seorang fisikawan Belanda, Heike Kamerlingh Onnes tahun 1911. Onnes berhasil mencairkan helium dengan cara mendinginkan sampai 4 K atau -269°C. Sejak saat itu Onnes
Pada waktu itu telah diketahui hambatan suatu logam akan turun (bahkan hilang sama sekali) ketika logam tersebut didinginkan jauh dibawah temperatur ruang (temperatur yang sangat dingin) atau lebih rendah dari temperatur kritis logam tersebut, tetapi belum ada yang dapat mengetahui berapa batas bawah hambatan yang dicapai ketika temperatur logam mendekati 0 K atau nol mutlak (Wiendartun, 2010).
Beberapa ilmuwan pada waktu itu seperti William Kelvin memperkirakan bahwa ketika dicapai temperatur nol mutlak (0 K) maka elektron akan berhenti mengalir (arus statis). Ilmuwan yang lain termasuk Onnes memperkirakan bahwa hambatan akan menghilang pada keadaan tersebut. Sehingga untuk mengetahui hal yang terjadi sebenarnya, Onnes mengalirkan arus pada kawat merkuri murni kemudian mengukur hambatannya sambil menurunkan temperaturnya. Pada temperatur 4,2 K Onnes mendapatkan bahwa hambatannya tiba-tiba menjadi hilang. Tanpa adanya hambatan arus mengalir melalui kawat merkuri terus-menerus. Sehingga arus dapat mengalir tanpa kehilangan energi. Kemudian fenomena ini oleh Onnes diberi nama superkonduktivitas (Ismunandar & Sen, 2004).
Superkonduktor kini telah banyak digunakan dalam berbagai bidang. Penggunaan superkonduktor dibidang transportasi memanfaatkan efek Meissner, yaitu pengangkatan magnet oleh superkonduktor. Hal ini diterapkan pada kereta api super cepat di Jepang yang diberi nama The Yamanashi MLX01 MagLev train. Kereta api ini melayang diatas magnet superkonduktor. Dengan melayang, maka gesekan antara roda dengan rel dapat dihilangkan dan akibatnya kereta dapat berjalan dengan sangat cepat sekitar 550 km/jam.
2.3Jenis – Jenis Superkonduktor
Superkonduktor dapat dibedakan berdasarkan medan magnet kritis dan temperatur kritis. Berdasarkan medan magnet kritisnya superkonduktor dibagi menjadi 2 jenis, yaitu superkonduktor tipe I dan superkonduktor tipe II. Sedangkan superkonduktor berdasarkan temperatur kritis, yaitu superkonduktor temperatur tinggi (High Temperature Superconductor – HTS) dan superkonduktor temperatur rendah (Low Temperatur Superconductor –LTS).
2.3.1 Superkonduktor Tipe I
Superkonduktor tipe I menurut teori BCS (Bardeen, Cooper, dan Schrieffer) dijelaskan menggunakan pasangan elektron (yang sering disebut pasangan Cooper). Pasangan elektron bergerak sepanjang terowongan penarik yang dibentuk ion-ion logam yang bermuatan positif. Akibat dari pembentukan pasangan dan tarikan ini arus listrik akan bergerak dengan merata dan akan terjadi superkonduktivitas. Superkonduktor yang berkelakuan seperti ini disebut superkonduktor tipe I yang secara fisik ditandai dengan efek Meissner, yakni gejala penolakan medan magnet luar (asalkan kuat medannya tidak terlalu tinggi) oleh superkonduktor. Bila kuat medan melebihi batas kritis, gejala superkonduktivitasnya akan menghilang. (Amalia, 2013).
2.3.2 Superkonduktor Tipe II
Superkonduktor tipe II mempunyai dua nilai medan magnet kritis Hc1 (di
bawah) dan Hc2 (diatas). Selain itu, superkonduktor tipe II memiliki tiga keadaan
seperti ditunjukkan pada gambar 2.
MEISSNER STATE H < Hc1
MIXED STATE Hc1 < H < Hc2
NORMAL STATE H > Hc2
Keadaan bahan superkonduktor tipe II berdasarkan gambar 2, ketika H < Hc1
bahan superkonduktor tipe II berada dalam keadaan Meissner, yaitu fluks magnetik ditolak sempurna hingga medan magnet kritis dengan resistivitas (ρ) adalah nol dan induksi magnetik (B) adalah nol. Selain itu ketika Hc1 < H < Hc2 maka
superkonduktor berada dalam keadaan campuran, yaitu sebagian fluks magnetik menerobos spesimen superkonduktor. Ketika H > Hc2 bahan superkonduktor berada
dalam keadaan normal, yaitu fluks magnetik dapat menembus bahan superkonduktor seluruhnya (ρ ≠ 0 dan B ≠ 0) (Cyrot & Pavuna, 1992)
2.3.3 Superkonduktor Temperatur Tinggi
Superkonduktor temperatur tinggi (High Temperature Superconductor – HTS) merupakan superkonduktor yang memiliki temperatur kritis diatas temperatur nitrogen cair (77 K), sehingga sebagai pendinginnya dapat digunakan nitrogen cair untuk memunculkan sifat superkonduktivitasnya (Wiendartun, 2008). Adapun contoh superkonduktor temperatur tinggi yaitu YBa2Cu3O7-x dengan Tc = 92 K.
2.3.4 Superkonduktor Temperatur Rendah
Superkonduktor temperatur rendah (Low Temperature Superconductor – LTS) merupakan superkonduktor yang memiliki temperatur kritis di bawah temperatur nitrogen cair (77 K), sehingga sebagai pendinginnya dapat digunakan helium cair untuk memunculkan sifat superkonduktivitasnya (Kamihara et al., 2008). Adapun contoh superkonduktor temperatur rendah adalah Hg (Tc = 4,2 K), Pb (Tc = 7,2 K) dan niobium nitride (Tc = 16 K).
2.4Karakteristik Superkonduktor
Material superkonduktor memiliki beberapa karakteristik yaitu memiliki medan magnet kritis (Hc), rapat arus kritis (Jc) yang berbeda dengan material konduktor dan memiliki temperatur kritis (Tc).
2.4.1 Medan Magnet Kritis (Hc)
medan magnet dalam superkonduktor. Hal ini terjadi karena superkonduktor menghasilkan medan magnet dalam bahan yang berlawanan arah dengan medan magnet luar yang diberikan. Efek yang sama dapat diamati jika medan magnet diberikan pada bahan dalam temperatur normal kemudian didinginkan sampai menjadi superkonduktor. Pada temperatur kritis, medan magnet akan ditolak. Efek ini dinamakan Efek Meissner (Pikatan, 1989).
B B
T > Tc
T < Tc
Gambar 3. Efek Meissner (Mundy & Cross, 2006)
2.4.2 Rapat Arus Kritis (Jc)
Pada bahan superkonduktor terdapat kisi, basis serta elektron bebas. Namun, atom-atomnya diam dan susunannya teratur disebabkan temperatur mendekati temperatur mutlak. Jika terjadi interaksi antara elektron dengan inti atom karena medan magnet, elektron dapat melewatinya tanpa hambatan dari atom kisi seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.
+
+
+
+
+
+
-Elektron melewati inti atom bermuatan positif disebabkan distorsi dari kisi
2.4.3 Temperatur Kritis (Tc)
Temperatur dimana terjadi perubahan sifat konduktivitas menjadi superkonduktor disebut dengan temperatur kritis (Tc). Temperatur kritis terbagi menjadi 2, yaitu temperatur kritis pada Tconset dan temperatur kritis pada Tc0. Kondisi
temperatur kritis superkonduktor saat mengalami penurunan resistivitas yang drastis disebut Tconset. Sedangkan, kondisi temperatur kritis superkonduktor saat penurunan resistivitas yang drastis hingga mencapai nol disebut Tc0 (Ismunandar, 2004). Suatu
bahan dikatakan sebagai bahan superkonduktor apabila menunjukkan sifat khusus, yaitu konduktivitas sempurna dengan resistivitas (ρ) adalah nol.
ρ
(Ohm.m)
T (K)
Tc
0Tc
onsetGambar 5. Grafik Resistivitas terhadap Temperatur (Amirani, 2016)
Berdasarkan gambar 5, menunjukkan kurva resistivitas terhadap temperatur kritis. Kurva ini menunjukkan ketika temperatur kritis superkonduktor turun pada titik Tconset maka material mengalami penurunan resistivitas secara drastis hingga
mencapai temperatur Tc0 yang menunjukkan resistivitas nol. (Amirani, 2016).
2.5Magnesium Diboride (MgB2)
Pada tahun 1953, Jones et al dan Russell et al melaporkan pembentukan fasa MgB2 dengan interaksi antara Mg dan amorf B pada atmosfer hidrogen atau argon.
Diagram sejarah penemuan superkonduktor konvensional, dimana titik-titik mendistribusikan erat bersama kesesuaian kurva. Oleh karena itu, tidak diherankan bahwa superkonduktivitas dari MgB2 telah diungkapkan hingga 2001 dan
superkonduktor dengan temperatur transisi diatas titik didih nitrogen cair, mungkin dapat ditemukan setelah 2060 yang dapat dilihat pada gambar 6.
50
Gambar 6. Grafik Perkembangan Superkonduktor Konvensional terhadap Temperatur Kritis (Tc) (Luiz, 2010)
MgB2 merupakan material superkonduktor (terdiri dari dua unsur logam yang
mempunyai perilaku superkonduktor) dengan temperatur kritis ~ 39 K (diatas helium cair), dengan rapat arus kritis yang tinggi sebesar 106-107 A/cm2 dan medan magnet
0 pada temperatur rendah. Stuktur kristal MgB2 adalah Hexagonal Closed Pack
(HCP), termasuk dalam sistem kristal heksagonal dengan golongan ruang P6/mmm (Nagamatsu et al., 2001).
a
c
a
Mg
B
Bila dibandingkan dengan superkonduktor temperatur rendah (LTS) dan superkonduktor oksida tembaga temperatur tinggi (HTS), karakteristik MgB2
memiliki temperatur kritis lebih tinggi dari pada temperatur rendah (LTS). Atom boron membentuk grafit seperti sarang lebah dan atom Mg terletak pada poros segienam (Eltsev et al., 2002; Masui et al., 2003). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kim et al., mengungkapkan perbedaan yang siginifikan dalam temperatur penguraian fasa magnesium diboride dibandingkan dengan temperatur pada literatur. Penguraian fasa MgB2, MgB4 dan MgB7 yang awalnya diperkirakan masing-masing
berada pada temperatur 1550°C, 1830°C dan 2150°C. Untuk reaksi penguraian fasa
boride: 2MgB2 ⇒MgB4 + Mg (g) dan 7MgB4 ⇒ 4MgB7 + 3 Mg(g), batas tertinggi
dan terendah untuk temperatur penguraian pada literatur untuk MgB2 sebesar 850°C
≤ Tdecomp (MgB2)≤ 1550°C dan untuk MgB4 sebesar 1020°C ≤Tdecomp (MgB4) ≤
1827°C. Sehingga menurut hasil penelitian memperkirakan temperatur penguraian
MgB2 sebesar 1174°C, MgB4 sebesar 1273°C dan MgB7 sebesar 2509°C, dapat
2.6Serbuk dalam Tabung Tertutup / Powder In Sealed Tube (PIST)
membantu dalam membentuk densitas inti yang relatif tinggi. Cara ini meminimalisasi oksidasi dan pengurangan sampel di dalam tabung Fe dari sintesis dan merupakan metode paling sederhana dibandingkan dengan inert gas dan vacuum
furnaces (Li et al., 2016; Varghese et al., 2009).
Dalam proses PIST digunakan Stainless steel yang merupakan baja paduan yang mengandung sedikitnya 11,5% krom berdasarkan beratnya. Stainless steel memiliki sifat tidak mudah terkorosi. Stainless steel berbeda dari baja biasa dari kandungan kromnya. Stainless steel memiliki persentase jumlah krom yang memadahi sehingga akan membentuk suatu lapisan pasif kromium oksida yang akan mencegah terjadinya korosi lebih lanjut. Baja paduan SS 304 tube merupakan jenis baja tahan karat austenitic stainless steel yang memiliki komposisi 0.042%C, 1.19%Mn, 0.034%P, 0.006%S, 0.049%Si, 18.24%Cr, 8.15%Ni, dan sisanya Fe. Beberapa sifat mekanik yang dimiliki baja karbon tipe 304 ini antara lain: kekuatan tarik 646 Mpa, yield strength 270 Mpa, elongation 50%, kekerasan 82 HRB.
Stainless steel tipe 304 merupakan jenis baja tahan karat yang serbaguna dan paling banyak digunakan. Komposisi kimia, kekuatan mekanik, kemampuan las dan ketahanan korosinya sangat baik dengan harga yang relatif terjangkau. Stainless steel tipe 304 ini banyak digunakan dalam dunia industri maupun skala kecil. Penggunaannya antara lain untuk: tanki dan container untuk berbagai macam cairan dan padatan, peralatan pertambangan, kimia, makanan, dan industri farmasi (Sumarji, 2011).
2.7Differential Thermal Analysis / Thermal Gravimetric Analysis
dilakukan untuk mengetahui karakteristik termal sampel secara fisis berdasarkan termodinamika, meliputi reaksi eksotermis dan endotermis (Tahta et al., 2012). Analisis termal untuk karakterisasi solid diilustrasikan pada gambar 9 :
Solids
Gambar 9. Ilustrasi Analisis Termal pada Solid (Tahta et al., 2012)
Terdapat banyak fasa perubahan yang dapat terjadi ketika suatu solid dipanaskan. Setiap fasa tersebut memberikan respon berbeda ketika dilakukan pemanasan. Ketika dipanaskan fasa kristalin mengalami perubahan fasa kemudian terdekomposisi. Sementara fasa amorfus mengalami perubahan menjadi fasa glass sebelum terdekomposisi. Respon ini merupakan pengaruh dari pelepasan atau penyerapan energi panas (entalpi).
DTA mengukur perbedaan temperatur antara sampel dan material referensi, yang kemudian dikonversi menjadi perubahan entalpi. Perhitungan entalpi DTA dilakukan menggunakan metode perubahan massa. Material referensi merupakan material atau substance yang secara termal inert dan tidak mengalami perubahan fasa pada rentang temperatur tertentu. Material referensi, misalnya safir atau alumina, digunakan untuk mengestimasi faktor konversi. Material inert yang digunakan tidak mengalami perubahan struktur dengan perubahan panas selain panas laten. Jika terdeteksi bahwa tidak terdapat perbedaan temperatur antara sampel dan material referensi berarti sampel tidak mengalami perubahan kimiawi ataupun fisik. Jika terdapat perubahan temperatur, maka sampel dapat teridentifikasi dikarenakan kurva DTA berfungsi selayaknya finger print bagi material.
EXOTHERM
Berdasarkan penelitian dari Aksu, 2013, menjelaskan bahwa kedua puncak eksotermik dan endotermik bergeser ke temperatur yang lebih tinggi dengan kenaikan laju pemanasan seperti yang diharapkan. Hasil pengukuran mengenai eksperimen termal dalam hal ini, menunjukkan bahwa sensitivitas dan prosedur kalibrasi sangat penting dalam jenis penelitian ini. Tingkat pemanasan memainkan peranan penting dalam pembentukan MgB2, sehingga saat temperatur reaksi bergeser
ke temperatur yang lebih tinggi maka laju pemanasan meningkat karena durasi reaksi antara atom Mg dan B tidak cukup pada temperatur yang lebih rendah. Hasil kurva DTA/TGA dapat dilihat pada gambar 12 (Aksu, 2013).
Gambar 12. Kurva DSC Untuk Bubuk Campur Mg:B (1:2), Laju Pemanasan 5, 7,5, 10 dan 150C/min. Pada Grafik Menunjukkan Kurva Turunan dari Kurva DSC (Aksu, 2013)
Berdasarkan hasil penelitian Kadam et al, dari plot DTA/TGA campuran bubuk kelebihan Mg dan MgB2 diamati bahwa saat temperatur mulai naik dari
2.8Teknik Perlakuan Panas (Heat Treatment)
Perlakuan panas merupakan proses pemanasan dan pendinginan bahan yang terkontrol dengan maksud merubah sifat fisik untuk tujuan tertentu. Perlakuan panas terdiri dari beberapa tipe. Salah satunya berupa sintering. Sintering digunakan untuk meningkatkan kerapatan sampel sesuai dengan struktur mikro dan komposisi fase yang diinginkan (Saputra, 2010). Temperatur sintering biasanya dilakukan di bawah titik leleh bahan dasarnya. Melalui proses ini terjadi perubahan struktur mikro seperti pengurangan jumlah dan ukuran pori, pertumbuhan butir (grain growth), peningkatan densitas dan penyusutan (shrinkage). Faktor yang menentukan proses dan mekanisme sintering adalah jenis bahan, komposisi bahan dan bahan pengotor (Reynen & Bastius, 1986).
Mekanisme perpindahan materi (difusi) selama sintering dapat berlangsung melalui difusi volume, difusi permukaan, difusi batas butir, difusi secara penguapan dan kondensasi. Tiap-tiap difusi akan memberikan efek terhadap perubahan sifat fisis bahan setelah sintering, antara lain perubahan densitas, porositas, penyusutan, dan pembesaran butir. Dengan adanya difusi, maka terjadi kontak antara partikel dan terjadi suatu ikatan yang kuat diantara partikel-partikel. Selain itu terjadi juga rekonstruksi susunan partikel yang dapat menghilangkan atau mengurangi pori-pori yang berada diantara partikel. Umumnya peningkatan densitas, pengurangan dan penyusutan disebabkan karena adanya difusi volume dan difusi antar butir (Ristic, 1989). Sintering dilakukan dengan pemanasan cuplikan yang telah dicetak berbentuk pelet pada temperatur tinggi tertentu. Penurunan temperatur dari temperatur sintering secara teratur dan perlahan dilakukan untuk proses pengurangan tekanan internal, menstabilkan bentuk dimensi dan memperhalus ukuran butir. Dengan demikian tahapan annealing tidak perlu dilakukan (Margono, 1997).
Terdapat tiga tahapan sintering, yaitu: 1. Tahap awal
2. Tahap kedua
Pada tahap kedua ukuran kaitan antar butir tumbuh dan porositasnya menurun dikarenakan partikel-partikel saling mendekat. Pada tahap ini mulai terjadi pertumbuhan butir (grain growth), terbentuk pori yang berbentuk pipa, jarak antar butir semakin dekat dan terjadi penyusutan.
3. Tahap akhir
Pada tahap ini pori yang berbentuk pipa akhirnya menjadi pori yang bulat, ukuran butir meningkat dan laju penyusutan pori lebih kecil (Oktara et al., 2007).
Tahap awal Tahap kedua Tahap akhir
Gambar 13. Pertumbuhan Ikatan Mikrostruktur Antar Partikel Selama Proses Sintering (Subekti, 2011)
2.9 X-Ray Diffraction (XRD)
Sinar-X ditemukan oleh Wilhelm Conrad Roentgen pada tahun 1895. Roentgen menemukan sejenis radiasi yang keluar dari sebuah tabung muatan (discharge tube) yang karena misteriusnya diberi nama sinar-X. Sinar-X pada tabung muatan ini terbentuk dengan cara pemberian beda tegangan pada elektroda-elektroda tabung yang menghasilkan sinar elektron yang ditumbukkan ke bahan tertentu (Nisa, 2016). Teknik difraksi X-Ray Diffraction (XRD) sangat penting untuk mengetahui sifat-sifat bahan seperti logam, paduan logam, keramik, polimer, dan sebagainya. Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi fase-fase pada sampel, ukuran butir, tekstur dan struktur kristal. Informasi yang dapat diperoleh berupa posisi puncak-puncak difraksi, intensitas dan bentuk puncak-puncak difraksi.
merupakan ukuran dari kesempurnaan kristal. Setiap bahan memiliki pola difraksi tertentu dengan intensitas dan sudut difraksi (2θ) yang berbeda-beda. Suatu kristal dapat mendifraksikan sinar-X karena panjang gelombang sinar-X berada di sekitar jarak antar bidang kristal. Sinar-X yang digunakan untuk difraksi memiliki panjang gelombang dalam range 0,3 - 2,5 Å. Difraksi terjadi jika interaksi antara sinar-X dengan kisi pada bidang kristal menghasilkan interferensi konstruktif berupa puncak-puncak intensitas. Interferensi konstruktif terjadi jika panjang gelombang dan sudut difraksi memenuhi hukum Bragg (Van Vlack, 1991). Hukum Bragg memenuhi persamaan berikut:
��= 2�ℎ sin� (2.1)
Dengan: � = panjang gelombang sinar x �ℎ = jarak antar kisi kristal � = sudut datang sinar
n = orde difraksi (1,2,3 dan seterusnya) (Triaminingnsih, 1998). Pada tahun 2004, Yan et al melaporkan bahwa sampel disintering pada 6000C memiliki MgB4 dan kemurnian fasa MgO dan sampel disintering di atas 6500C
memiliki lebih kemurnian MgO sebagai kenaikan temperatur. Sampel yang dibuat pada suhu 6500C adalah fasa tunggal dengan sedikit kotoran MgO. Hasilnya menunjukkan bahwa perbedaan antara Mg dan B tidak cukup apabila temperatur proses di bawah 6500C. Pola XRD MgB
2 bulk sintesis dengan temperatur berbeda
dapat dilihat pada gambar 14.
Gambar 14. Pola XRD MgB2Bulk Sintesis dengan Temperatur Berbeda (Yan et al.,
Pada tahun 2013, Aksu melaporkan pola difraksi sinar-X dari sampel yang disintering pada temperatur yang berbeda untuk menentukan pembentukan dari fasa MgB2. Aksu melaporkan bahwa bahwa sintesis MgB2 dengan temperatur sintering
5000C, 5500C dan 6000C masih memperlihatkan fasa Mg yang dominan dan disertai dengan jumlah kecil fasa MgO dan MgB2. Namun keberadaan MgO dan puncak Mg,
MgB2 secara bertahap menjadi fasa dominan untuk sampel yang dihasilkan pada
temperatur yang lebih tinggi dari 6000C. Untuk sampel yang dihasilkan pada temperatur lebih tinggi dari 7500C, fasa Mg tidak terdeteksi pada gelombang MgB2
yang terbentuk struktur kristal heksagonal dengan kelompok ruang P6/mmm. Pembentukan optimal fasa MgB2 pada temperatur diatas 8000C-9000C yang dapat
dilihat dalam pola XRD pada gambar 15.
Gambar 15. Pola XRD dari Sampel MgB2 yang Disintering pada Sembilan
2.10 Scanning Electron Microscope-Energy Dispersive X-Ray (SEM-EDX) Scanning Electron Microscope (SEM) adalah jenis mikroskop elektron yang menggunakan elektron untuk menghasilkan citra dalam bentuk gambar dari sampel dengan scanning sinar elektron yang terfokus. Berkas elektron umumnya di scan dalam pola scan raster, dan posisi balok ini dikombinasikan dengan sinyal terdeteksi untuk menghasilkan gambar (Yahya et al., 2017).
SEM didesain untuk menyelidiki permukaan dari objek solid secara langsung yang memiliki perbesaran 10 - 3000000x, depth of field 0.4 - 4 mm dan resolusi sebesar 1 - 10 nm. Fungsi utama SEM antara lain dapat digunakan untuk mengetahui informasi mengenai:
a. Topografi, yaitu ciri-ciri permukaan dan teksturnya (kekerasan, sifat memantulkan cahaya, dan sebagainya).
b. Morfologi, yaitu bentuk dan ukuran dari partikel penyusun objek (kekuatan, cacat pada Integrated Circuit (IC), chip, dan sebagainya). c. Komposisi, yaitu data kuantitatif unsur dan senyawa yang terkandung di
dalam objek (titik lebur, kereaktifan, kekerasan, dan sebagainya).
d. Kristalografi, yaitu informasi mengenai bagaimana susunan dari butir-butir di dalam objek yang diamati (konduktifitas, sifat elektrik, kekuatan, dan sebagainya) (Prasetyo, 2012). Prinsip kerja SEM adalah menembak permukaan benda dengan berkas elektron berenergi tinggi. Secara lengkap skema SEM dijelaskan pada gambar 16.
Berdasarkan gambar 16, elektron dihasikan oleh sebuah sumber elektron yang disebut electron gun dan dipercepat oleh anoda. Vacuum chamber dibutuhkan agar berkas elektron yang dihasilkan oleh electron gun akan menemukan interferensi konstan dari partikel udara di atmosfer, sehingga tidak akan merusak permukaan spesimen. Elektron tersebut ditembakkan ke arah sampel yang difokuskan oleh
condenser lens. Scanning coils mengarahkan sinar elektron yang terfokus memindai (scan) ke seluruh sampel. Ketika elektron mengenai sampel yang diletakkan pada
sample chamber, maka sampel akan mengeluarkan elektron baru. Selanjutnya elektron tersebut diperkuat dan besar amplitudonya ditampilkan pada layar monitor
Cathode Ray Tube (CRT) dengan pola gelap-terang. Pada layar CRT gambar struktur sampel diperbesar dan bisa dilihat (Rahmat, 2011).
Interaksi elektron dengan atom sampel akan menghasilkan berbagai macam sinyal termasuk diantaranya Secondary Electron (SE) dan Back Scattered Electron (BSE) (Qulub, 2011). Pada tahun 2004, Yan et al melaporkan bahwa reaksi keadaan padat antara partikel Mg dan partikel B tidak dapat menginduksi porositas dalam jumlah besar setelah pembentukan MgB2. Temperatur sintering memiliki efek yang
luar biasa pada kepadatan MgB2 dan menunjukkan bahwa kabel MgB2 dan pita
perekat dengan kerapatan tinggi dapat dibuat pada temperatur 8000C, yang dapat dilihat pada gambar 17.
Gambar 17. Morfologi SEM MgB2 pada Temperatur 8000C (Yan et al., 2004)
tahun 2007, Yan et al melakukan penelitian morfologi dari dua MgB2 bulks yang
disiapkan mulai dari Mg + B (sampel I) atau MgB4 + Mg (sampel II) dan
campuran-campuran telah diselidiki oleh Scanning Electron Microscope. Mikrostruktur dari sampel I menunjukkan sebuah porositas lebih besar dibandingkan dengan sampel II. Di sisi lain, ternyata rata-rata ukuran butir sampel II lebih kecil dari pada sampel I, mungkin karena pertumbuhan kristal dan penggabungan butir selama perlakuan panas menjelang akhir.
Mikrostruktur dari sampel II menjadi lebih padat dan lebih ringkas dibandingkan dengan sampel I. Pada sampel II, residu MgB4 + Mg yang tidak
bereaksi, partikel MgO, dan kristal MgB2 diidentifikasi oleh Energy
Spektroskopi Dispersive (EDS): tampaknya, ini menunjukkan perbedaan morfologi dan dapat dengan mudah dibedakan; masing-masing MgB2 terbentuk menjadi padat
karena adanya campuran MgB4 dan Mg yang dapat dilihat pada gambar 18.
Gambar 18. Hasil Uji SEM dari Dua MgB2 Bulk yang Disiapkan Mulai dari Mg + B
(a, c) dan MgB4 + Mg (b,d) (Yan et al., 2007)
pengukuran intensitas garis untuk setiap unsur dalam sampel dan untuk unsur-unsur yang sama dalam standar kalibrasi dari komposisi yang diketahui. Dengan scanning sinar dalam raster dan menampilkan intensitas garis sinar X dipilih, gambar distribusi unsur atau map dapat dihasilkan. SEM juga dapat digunakan untuk mapping unsur jika ditambahkan spektrometer X-ray (Nisa, 2016).
2.11 Cryogenic Magnet
Cryogenic magnet adalah teknologi vakum dan pemampatan/ekspansi gas yang berdasarkan pada prinsip Four-Point Probe (FFP) berguna dalam menurunkan temperatur gas Helium, sehingga dalam menciptakan kondisi temperatur super rendah jauh lebih sederhana. Metode pengukuran four-point probe adalah salah satu metode untuk mengukur resistivitas (Callister & Rethwisch, 2007; Schuetze et al.
Gambar 19. Skema Pengukuran Resistivity Memakai Metode Four Point Probe (Imaduddin et al., 2014)
Aliran arus pada FPP membentuk pola setengah bola sehingga luas yang dialiri arus adalah A = 2 �2, dan untuk memperoleh resistivitas sampel digunakan
persamaan sebagai berikut:
= R � (2.2)
Dengan: = Resistivitas (Ohm.m) A = Luas Penampang (m2) = Panjang sampel (m)