• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta D 762008001 BAB VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta D 762008001 BAB VI"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

6. . Agama dan Globalisasi

Analisis mengenai responsi komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning terhadap globalisasi pada Bab ini diawali dengan uraian pengantar mengenai hubungan agama dan gobalisasi. Tidak mudah menemukan formula hubungan keduanya dalam sifatnya yang tunggal dan monolitik. (ubungan agama dan globalisasi lebih bersifat kompleks sekompleks makna agama dan globalisasi itu sendiri ketika dipahami oleh masing-masing pakar dan agamawan pada setiap agama. Kompleksitas hubungan keduanya terletak pada perspektif dan dimensi apa globalisasi itu dipandang sebagai kekuatan dunia yang mempengaruhi agama. Apakah globalisasi dilihat dalam perspektif ekonomi, politik atau perspektif kebudayaan? Dari perspektif-perspektif ini yang dapat membantu memahami secara tepat bagaimana globalisasi mempengaruhi kehidupan beragama dalam interaksinya di masyarakat lokal.

(2)

nilai-nilai suci dalam arti nilai-nilai-nilai-nilai yang dihormati kebenarannya sehingga senantiasa diperjuangkan oleh pemeluknya dalam kehidupan nyata. Pada gilirannya nilai-nilai yang dipercayainya itu tumbuh mentradisi dan terinstitusi secara sosial menjadi sistem kebudayaan di mana agama itu dilahirkan dan berkembang. Namun terdapat pula sekelompok orang yang memahami agama secara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris kehilangan dimensi kerohaniannya sebagai sistem kepercayaan yang dapat mengantarkan manusia dalam kehidupan yang bermartabat dan luhur.

Untuk itu dengan melihat perspektif-perspektif agama dan globalisasi secara relevan dan mendudukkan hubungan keduanya dengan baik, akan diketahui secara jelas bagaimana kompleksitas perspektif-perspektif itu terurai, sehingga dapat dipahami dengan benar bagaimana agama memberikan responsi ketika berinteraksi dengan globalisasi sebagai kekuatan dunia yang mengubah dalam realitas sosial. Kekuatan dunia di sini berarti globalisasi dipandang secara teoritis sebagai kekuatan eknomi, politik dan kebudayaan.

(3)

melahirkan peleburan kebudayaan secara evolutif dan menyatu, akan tetapi juga memungkinkan munculnya tata baru di dunia sosial, seperti nilai moral baru, sensitifitas agama, pertukaran nilai akibat responsi spiritual dan berbagai bentuk elemen ajaran agama yang melahirkan etika global. Pada satu sisi globalisasi dapat mendorong terwujudnya harmoni sosial di tengah masyarakat multikultural dalam konsensus etika global. Namun di sisi lain, globalisasi dapat menjadi peringatan sekaligus ancaman yang menakutkan jika ia menimbulkan penyeragaman kebudayaan baru yang instan yang menghancurkan nilai-nilai transedensi agama. Berbagai dampak positif dan negatif globalisasi itu juga menghasilkan respon yang berbeda dalam diri setiap kelompok agama, satu pihak tidak menerima globalisasi dalam rupa timbulnya reaksi penolakan yang keras, dan menghendaki kembali ke nilai-nilai yang bersifat tradisionalistik dan kolot, yang tidak jarang reaksinya diekspresikan melalui cara-cara kekerasan yang meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Ada pula pihak lain yang memanfaatkan globalisasi sebagai sebuah kekuatan dunia yang dipandang secara kreatif dan optimistik.

Apabila globalisasi dilihat sebagai bagian dari kekuatan kapitalisme global, semua masyarakat dan elemen lain, termasuk agama institusi ditariknya

Mark Juergensmeyer, )ntroduction: Religious Ambivalence to Global

Civil Society , dalam Mark Juergensmeyer ed. , Religion in Global Civil

(4)

menjadi aktor ekonomi yang mendukung pertumbuhan kapitalisme. (al ini terjadi karena sistem kapitalisme pada globalisasi ekonomi selalu menuntut penguasaan tunggal atas dunia, sehingga membangkitkan minat para aktor ekonomi untuk melakukan investasi, produksi dan konsumsi yang kesemuanya bergantung pada besarnya kekuatan nilai pasar di masyarakat sebagai sumber keuntungan yang tidak ada habisnya. Sebagai perwujudan ideologi kapitalisme, globalisasi dengan demikian tumbuh dalam kehendak ekspansi yang kuat untuk menguasai tata dunia dalam doktrin pertumbuhan ekonomi, melakukan ekploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia, memperluas produksi barang ke berbagai negara dan bangsa, serta penyebaran tingkat konsumsi barang dengan memperluas jaringan pasar ke seluruh dunia sebagai komoditas yang menyatu. Doktrin pertumbuhan ekonomi kapitalistik itu lahir dalam rangkaian misinya untuk mendapatkan keuntungan material berlipat ganda yang tidak jarang orientasinya mengabaikan kepentingan sosial masyarakat lapisan bawah. Globalisasi dengan demikian, tidak saja menjelma menjadi sistem kekuasaan ekonomi, tetapi juga kekuasaan politik dunia yang bersifat kapitalistik.

Sebagai sistem kekuasaan ekonomi dan politik dunia, kapitalisme telah berkembang sedemikian pesat.

Abdullahi A. An-Na im, The Politics of Religion and the Morality of

Globalization , dalam Mark Juergensmeyer ed. , Religion in Global Civil

(5)

Sebagai contoh, pada saat terjadi kelemahan ekonomi satu negara, seperti AS, akan mengakibatkan terjadi goncangan ekonomi di negara-negara lain. )ni artinya dalam situasi ketika politik ekonomi seluruh dunia sudah menyatu, maka globalisasi telah berada pada puncak perkembangan sejarahnya. Seluruh dunia telah menjadi satu secara ekonomi dengan AS sebagai penggerak utamanya secara politik. Oleh karena itu, goncangan ekonomi yang terjadi di AS, menimbulkan goncangan juga di berbagai bagian lain dunia. Robinson menyebutnya sebagai tahapan kapitalisme global yang memuncak

dengan intensive capitalism ketika kebutuhan manusia di

berbagai belahan dunia telah menjadi komoditas tunggal

di mana hal itu terjadi setelah extensive capitalism

tumbuh seiring dengan perkembangan kapitalisme di berbagai belahan dunia.

Namun globalisasi yang bersifat kapitalistik itu juga dapat mendorong kehadiran kekuatan alternatif, yaitu

civil society di masyarakat beragama, di mana masyarakat

beragama berperan sebagai aktor kemanusiaan human

agency yang mempunyai kebebasan untuk merumuskan

sekaligus merealisasikan dirinya sebagai agen global civil

society, menjadi agen kekuatan sosial dunia yang

memihak masyarakat sipil. Bukan sebagai aktor sosial

William ). Robinson, A Theory of Global Capitalism: Production, Class,

and State in a Transnational World Baltimotre and London: The Johns

(6)

yang mendukung sistem ekonomi kapitalistik yang meminggirkan peran masyarakat kecil.

Oleh karena itu transformasi agama sebagai organisasi masyarakat sipil di tengah globalisasi merupakan keharusan sejarah dan tuntutan ideal untuk membangun mobilisasi masyarakat akar rumput, di mana masyarakat dapat lebih efektif untuk melakukan sendiri dalam mencapai tujuan dan cita-cita sosial mereka sendiri ketika merespon globalisasi. )ni artinya organisasi

masyarakat sipil yang bersifat top-down yang lahir di

tengah globalisasi, dapat dibentuk oleh sekelompok kecil orang dalam ruang-ruang lokalitas dengan kegiatan dan agenda yang sesuai dengan isu-isu yang dikehendaki sebagaimana isu-isu yang dipersoalkan di tingkat global dalam wujud keperpihakannya pada masyarakat.

Dalam konteks pertumbuhan agama-agama dunia sebagai bagian dari agama internasional, globalisasi juga sebenarnya merupakan fenomena alamiah bersifat religius yang kemunculannya telah ada sejak proses persebaran agama-agama itu terjadi di masa lalu, ketika mereka hendak keluar dari geo-kultral di mana agama-agama itu pertama kali dilahirkan. Proses persebaran agama-agama ini membawa misi yang sama atau hampir sama untuk merekrut pemeluk dan jumlah anggota ke seluruh dunia, ke berbagai bangsa, etnik dan budaya yang

Abdullahi A. An-Na im, The Politics of Religion..., .

Andi Widjajanto, dkk., Transnasionalisasi Masyarakat Sipil

(7)

berbeda, seperti yang ditunjukkan dari kelahiran agama (indu dan Buddha dari anak benua )ndia yang menyebar dan bertransformasi ke kawasan Asia Timur di China, Jepang, Korea, dan Asia Tenggara. Kekristenan yang semula menjadi bagian dari sekte Yahudi yang memerdekakan diri di Yerusalem tumbuh menyebar dan bertransformasi ke benua Eropa, Amerika dan Australia, dan )slam yang berasal dari tanah Arab mengalami perluasan pengaruh ke bagian laut China, Asia Selatan dan Asia Tenggara. Tentu berbeda dengan situasi dan kondisi global dewasa ini, di mana globalisasi juga merupakan kekuatan dunia yang dapat mendorong semua elemen masyarakat dalam posisi yang sejajar dan terbuka untuk berinteraksi, dan agama menjadi bagian utama dari proses interaksi itu dengan wajah sosialnya yang beragam.

Dalam hal interaksi antara agama dengan ilmu pengetahuan yang dibawa oleh globalisasi, misalnya juga melahirkan pertentangan diantara keduanya. Wajah agama sebagai sebuah sistem kepercayaan yang hadir terlebih dahulu sebelum manusia menemukan berbagai produk ilmu pengetahuan dalam perkembangan globalnya. Sementara pertentangan muncul karena

Peter Berger, Religion and Global Society , dalam Mark

Juergensmeyer ed. , Religion in Global Civil Society New York: Oxford

University Press, , .

Mehrzad Boroujerdi, Subduing Globalization: the Challenge of the )ndigenization Movement , dalam Birgit Schaebler dan Leif Stenberg ed. ,

Globalization and the Muslim World: Culture, Religion and Modernity New

(8)

perbedaan pandangan antara agama dan ilmu pengetahuan dalam mengklaim hakikat kebenaran. Pada satu sisi, agama dipercaya sebagai suatu pengetahuan

yang mempunyai kebenaran mutlak, hakikat

kebenarannya bersifat final dan tidak terbantahkan karena muatan sakralitas nilai kepercayaannya itu yang tidak membutuhkan bukti-bukti empirik dan ilmiah. Sedangkan ilmu pengetahuan merupakan penemuan manusia yang cenderung subyektif, kebenarannya bersifat relatif dan desakralisasi karena senantiasa mengalami perubahan dan penemuan-penemuan baru dalam rangkaian metode berfikir manusia yang bersifat tesis antitesis dan sintesis. Asumsi ini sebetulnya tidak selamanya benar dan juga tidak sepenuhnya benar, karena ilmu pengetahuan juga terikat dengan kode etik suci dalam mempertanggungjawabkan kebenaran ilmiah yang ditemukannya dalam mengembangkan peradaban hidup manusia agar sejalan dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan.

Pertentangan antara ilmu pengetahuan dengan agama ini juga timbul di Dunia )slam, di mana )slam mencoba bereaksi secara radikal melakukan )slamisasi ilmu pengetahuan untuk merespon perkembangan ilmu-ilmu sekuler yang dibawa oleh globalisasi, seperti ditunjukkan dari munculnya istilah islamic economics sebagai bagian dari ilmu agama. Meskipun demikian,

)bid., .

(9)

agaknya perkembangan ilmu pengetahuan sekuler yang sedemikian pesat berhadapan dengan ilmu agama yang sakral itu belum menemukan solusi akademiknya di Dunia )slam sampai kini, terutama perdebatan

menyangkut otoritas kebenaran ontologi dan

epistemologi ilmu itu sendiri. Perdebatan menjadi lebih ironis karena tidak lagi dapat melihat sisi kemanfaatan kehadiran keduanya bagi kehidupan kemanusiaan.

(10)

agama menjadi bagian kebudayaan yang semula hidup dalam bayang-bayang politik monarkhi tradisional yang membelenggu.

(11)

6. . Respon Komunitas Masjid Terhadap Globalisasi

6. . . Respon Multikulturalisme dan Toleransi Religius

Respon pertama komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning terhadap globalisasi dapat diketahui dari isu-isu multikulturalisme dan wacana toleransi religius yang masuk ke lingkungan lokalnya, sehingga identitas komunitas masjid yang semula dibangun oleh kehadiran agama )slam dari dunia luar yang masuk ke dalam etnik lokal sehingga membentuk corak kebudyaaan Jawa yang semula tertutup karena romantisme sejarah, kian mengalami perubahaan. Perubahan itu ditandai dengan keterbukaan pandangan dan sikap komunitas masjid terhadap isu-isu multikulturalisme dan toleransi religius yang juga menggema sebagai wacana ilmu pengetahuan yang berkembang dalam kenyataan masyarakat Yogyakarta pada umumnya.

(12)

menunjukkan komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning merupakan kelompok lokal yang semula bersikap tertutup dalam pandangan dunianya berubah menjadi bersifat terbuka. )ni artinya dalam konteks kebudayaan lokal, era gobalisasi mendorong identitas lokal pada komunitas itu, seperti yang ditunjukkan dari ekspresi tradisi-tradisi agama dan budaya Jawa yang bersifat simbolis itu tetap hidup, namun sekaligus terbuka menemukan ruang pertemuan bagi munculnya makna baru, yakni tumbuhnya pandangan mengenai pengakuan terhadap multikulturalisme dan toleransi religius, sehingga menjadi cara pandang dan perilaku sosial komunitasnya dalam beragama dan berbudaya.

Perubahan identitas lokal komunitas masjid dengan demikian, tidak terjadi pada bentuk atau simbol dari identitas komunitas, tetapi pada substansi yang memuat makna baru yang mengubah pandangan dan perilaku komunitas di tengah kemajemukan masyarakatnya. Kecenderungan kemajemukan sosial ini tidak hanya ditandai dari kesadaran adanya perbedaan komunitas Plosokuning Jero dan Plosokuning Jobo dalam lingkup internal masjid, tetapi juga dari sisi perbedaan etnik dan agama yang tumbuh di lingkungan komunitas, seperti etnik Jawa, Sumatera dan lain-lain.

(13)

kebudayaan lokal di )ndonesia yang memberi warna globalisasi sebagai sebuah sistem dunia yang dibangun oleh ketergantungannya pada kekuatan lokal. Robertson menjelaskan bahwa kekuatan lokal yang disebut glokalisasi itu yang memberikan pengaruh pada kekuatan global sehingga globalisasi juga ditegakkan diantara unsur-unsur lokalitas yang hidup di berbagai belahan negara, etnik dan bangsa, yang kemudian disebut juga globalisasi lokal. Oleh karena itu keistimewaan daerah Yogyakarta dengan kebudayaan lokalnya dan kemajemukan masyarakatnya yang hidup kemudian tumbuh menjadi bagian dari dunia global yang terintegrasi dalam karakteristik glokalisasi dunia yang heterogen.

)ni artinya sebagai bagian dari wilayah Yogyakarta, Dusun Plosokuning tidak terlepas dari pengaruh masyarakat urban yang memutuskan untuk menetap di wilayah Dusun Plosokuning. (al itu terjadi karena Dusun Plosokuning secara geografis berada di wilayah jantung kota Yogyakarta seiring dengan perluasan wilayah kota, yang tidak jauh dari pusat-pusat pendidikan utama, seperti UGM, Sekolah Tinggi Santo Paulus dan U)). Selain itu, akses masyarakat Dusun Plosokuning ke arah tempat-tempat keramaian kota juga tidak begitu jauh untuk ditempuh, kurang lebih sekitar , kilometer dari pusat kota Yogyakarta, memungkinkan terjadinya banyak

Lihat globalisasi sebagai sistem, Roland Robertson, Globalization

(14)

perubahan dalam kehidupan sosial dan corak masyarakatnya. Masyarakat Plosokuning yang semula bersifat homogen, baik dalam agama, suku maupun pekerjaannya di masa lalu di awal mula masjid ini berdiri kemudian seiring dengan perjalanan waktu mengalami diferensiasi dan keragaman sosial. Keragaman sosial dan diferensiasi pekerjaan ini timbul karena wilayah Plosokuning juga menjadi sasaran penting dari urbanisasi masyarakat )ndonesia dari berbagai daerah yang menetap di dusun ini, sehingga melahirkan kemajemukan dalam agama, suku, budaya dan bahkan dalam pekerjaan yang digeluti.

Sebagai sebuah bangsa besar, )ndonesia mempunyai komposisi penduduk yang sangat beragam, setidaknya berbagai macam suku yang tersebar di seluruh wilayah )ndonesia yang menunjukkan negeri ini bersifat multikultural. Etnis terbesar yang menempati wilayah

)ndonesia adalah etnis Jawa dengan jumlah , juta

, % , urutan kedua yaitu etnis Sunda dengan

prosentasi juta , % , etnis-etnis lain seperti

Madura, Batak, Minahasa, Papua, Ambon, Timor, Minangkabau, Betawi, Bugis, Melayu dan Banten masing-masing berkisar antara - juta atau setara - , %. Sedangkan, etnis terkecil adalah Tionghoa dengan

penduduk . . jiwa , % .

Supardi, Pendidikan Sejarah Lokal: Dalam Kontekss

Multikulturalisme , Jurnal Cakrawala Pendidikan UNY Yogyakarta, Februari

(15)

Demikian pula Yogyakarta sebagai daerah yang dijuluki sebagai miniatur )ndonesia modern, dengan analogi bahwa raja adalah bentuk perwakilan dari presiden, walikota dan bupati sebagai gubernur dan seterusnya. Analogi tersebut mengantarkan pemahaman bahwa komposisi masyarakat Yogyakarta tidak berbeda jauh dengan realitas keberagaman masyarakat )ndonesia yang berbineka. (anya saja ia berada dalam lingkup yang lebih kecil, yakni setingkat provinsi. Selain itu, daerah Yogyakarta yang berpredikat sebagai kota pendidikan terebesar di negeri ini, menunjukkan banyak pemuda dan pemudi, baik itu dari golongan pelajar maupun mahasiswa dari berbagai daerah di )ndonesia datang untuk menuntut ilmu, sebagaimana yang telah dijelaskan

sebelumnya, lebih dari institusi pendidikan tinggi

tumbuh, baik itu institusi pendidikan yang dimiliki oleh kelembagaan swasta, lembaga pendidikan yang dimiliki oleh pemerintah maupun lembaga kedinasan.

Dampak dari kedudukan Yogyakarta sebagai basis pendidikan terbesar ini memperlihatkan bahwa para pemuda dan pemudi dari daerah lain, bahkan dari negara lain yang tinggal di daerah ini mempunyai latar belakang

budaya, tradisi, agama dan gaya hidup life style yang

berbeda. Dalam konteks ini, Yogyakarta dapat disebut sebagai ciri masyarakat multikultural yang khas keindonesiaan yang bersuku-suku. Tentu masyarakat

(16)

multikultural yang menjadi ciri khasnya ini tidak tumbuh secara statis dalam arti hanya melihat kenyataan dengan membiarkan adanya perbedaan, melainkan masyarakat multikultural yang menjunjung tinggi nilai-nilai persamaan, kemanusiaan dan keterbukaan terhadap perbedaan sebagaimana spirit dan karakteristik konseptual dari multikulturalisme itu sendiri yang lahir dari kesadaran akan adanya perbedaan dari kelompok-kelompok sosial. Pertanyaannya kemudian, apakah kesadaran multikulturalisme yang tumbuh itu juga dapat hidup berdampingan dengan kebudayaan lokal Jawa yang mendominasi alam kebudayaan masyarakat Yogyakarta, sehingga tidak melahirkan konflik dan pertentangan budaya?

Berdasarkan realitas masyarakat yang tinggal di Yogyakarta yang bersifat majemuk, konflik antar suku dan kelompok pun beberapa kali terjadi. Konflik antar kelompok muncul karena alasan perbedaan nilai atas suatu sikap kebudayaan tertentu yang tidak selamanya diterima oleh kelompok dari satu wilayah tertentu sehingga melahirkan sikap eksklusivitas. Ketegangan ini

Konflik yang terjadi di beberapa daerah di )ndonesia kerapkali diakibatkan oleh hubungan sosial lintas agama yang relatif eksklusif. Kerusuhan yang terjadi di masa lalu, seperti di Maumere NTT dan Timur

Timor , Surabaya, Situbondo,Tasikmalaya , Rengasdengklok

, Jakarta, Solo, Kupang , Ambon dan Sambas Kalimantan

(17)

dapat menjadi sebuah pertentangan pemahaman sehingga melahirkan kericuhan sosial dan anomali, di mana masing-masing pihak mengedepankan kebenaran dirinya secara eksklusif, tanpa ada yang mau mengalah diantara masing-masing pihak yang bersitegang itu. Tidak adanya sikap mau mengalah di sini dapat diartikan tidak munculnya sikap saling menghormati karena pemahaman nilai kebenarannya sendiri yang ditonjolkan di tengah

perbedaan yang menuntut saling pengertian.

Sebagaimana juga artikel yang ditulis oleh Christian

Joppke, bahwa konflik masyarakat migrasi urban

society , yaitu konflik yang timbul karena perbedaan budaya, agama, ras, suku dan minoritas akibat urbanisasi sosial yang tidak terbendung perlu dijembatani dengan pemahaman multikulturalisme sebagai sebuah kesadaran sosial bersama akan kemajemukan.

)stilah multikulturalisme itu sendiri dimaknai sebagai ekspresi pengakuan atas eksistensi keragamaan budaya, baik keragaman tradisional sebagaimana

berbeda itu. Meskipun faktor utama pemicu konflik itu hakikatnya tidak semata dilatarbelakangi oleh masalah perbedaan agama, melainkan juga masalah lain, seperti kondisi sosial, politik dan ekonomi. Oleh karena itu kecenderungan konflik dari kanyataan heterogenitas ini akan terus berpeluang melahirkan konflik jika pola hubungan sosial lintas agama yang dipratekkan masyarakat masih bersifat tertutup dan eksklusif. Marwan Salahuddin, Mengenal Kearifan Lokal di Klepu Ponorogo; Praktek (ubungan Sosial Lintas Agama dan Mekanisme Pencegahan Konflik , dalam )rwan

Abdullah ed. , Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, , .

Christian Joppke. The Retreat of Multiculturalisme in the Liberal

State: Theory and Policy , The British Journal of Sociology, , Vol. ,

(18)

keragaman suku, ras, budaya dan agama serta keragaman berbagai macam bentuk kehidupan subkultur yang senantiasa mengalami perkembangan dalam proses

kehidupan sosial. )ni artinya wawasan

multikulturalisme yang tumbuh dapat mendorong bagaimana masyarakat mesti bersikap ketika menghadapi keragaman. Keragaman dalam masyarakat multikultur kadangkala menghadirkan dua wajah ambivalensi yang saling terkait.

Pada satu sisi, terdapat masyarakat yang memahami wawasan multikulturalisme akan mendorong sebuah harmonisasi sosial dalam wujud tumbuhnya nilai-nilai toleransi yang bersifat universal. Namun di sisi lain, arogansi ekspresi yang menunjukkan eksistensi diri maupun identitas kelompok di masyarakat dapat berujung pada sikap intoleransi, baik dalam skala fikiran maupun tindakan sosial. Sikap intoleransi terjadi bermula dari diri masing-masing pihak yang secara arogan

menganggap pendapat dan pemahaman yang

diekspresikannya, misalnya mengenai ajaran agama yang paling benar, sementara yang lain salah yang berdampak melahirkan konflik dan sikap intoleran.

Pada komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning, respon intoleransi religius seperti itu justru tidak muncul

Ana )rhandayaningsih, Kajian Filosofis terhadap Multikulturalisme

di )ndonesia , ejournal.undip.ac.id/index.php/humanika. Diunduh pada

tanggal Maret .

John (ick, Problem of Religious Pluralism London: Macmillan Press,

(19)

ke permukaan sebagaimana pandangan FGD yang direpresentasikan oleh statemen Bapak Raden Ngabehi Suprobo mengenai kerukunan beragama yang menjadi bagian dari wacana multikulturalisme di lingkungan mereka :

Terkait dengan kerukunan narasumber bilang kalau daerah tersebut masyarakatnya rukun meski akhir-akhir ini ada banyak pendatang yang membawa keyakinan yang berbeda dengan apa yang diyakini oleh orang Jero tersebut. Karena orang Jero menganut paham agama yang dekat dengan NU, maka di saat

Sholat Taraweh diwajibkan rokaat,

sedangkan orang Jobo menjalankannya dengan rokaat, seperti orang Muhammadiyah. Dan ini tidak masalah karena sudah masalah keyakinan masing-masing orang asalkan orang tersebut tidak mengganggu atau menghasut orang lain, dan selama ini tidak ada konflik masalah keyakinan tersebut.

Pandangan yang dikutip dari hasil FGD di atas, terutama mengenai kerukunan dalam perbedaan tersebut dimaknai dalam konteks kebudayaan Jawa sebagai sikap

tenggang rasa, yakni perasaan orang Jawa dalam

menghormati perbedaan, tanpa harus mengganggu

eksistensi keyakinan lain dengan mengakui

keberadaannya yang berbeda dengan dirinya sebagai satu

(asil FGD pandangan Bapak R. Ng. Suprobo, Komunitas

(20)

kesatuan dalam satu tempat, tetapi berbeda eksistensi. Cara pandang harmonisasi sosial, yakni satu kesatuan ini juga didukung oleh pemikiran Bapak Raden Muhammad Agung sebagaimana hasil FGD di bawah ini yang memaknai toleransi tidak saja membiarkan tetapi saling mendukung keberadaan masing-masing pihak untuk eksis dan saling menyapa:

Terkait dengan kerukunan beragama sangat diharuskan dan harus ada toleransi. Karena ini masalah keyakinan tutur dari narasumber. Kalau zaman dulu di sini mayoritasnya daerah sekitar masjid, yang menjadikan perbedaannya saat sholat taraweh dan sholat subuh, kalau taraweh mereka hanya rokaat dan saat sholat subuh mereka tidak menganut paham Muhammadiyah itu ditahlili selama hari. Sedangkan untuk hari,

hari, tahun dan harinya tidak

dilaksanakan karena sudah dijadikan satu saat hari itu.

(asil FGD, pandangan Bapak Raden Muhammad Agung, Komunitas

(21)

Menariknya keunikan toleransi religus dari komunitas masjid ini justru membiarkan dengan menghargai perbedaan tata peribadatan dalam satu komunitas, khususnya dalam shalat tarawih pada bulan puasa Ramadhan. Komunitas Plosokuning Jero menjalankan tata peribadatan shalat tarawih sebanyak rakaat, sedangkan komunitas Plosokuning Jobo menjalankannya hanya rakaat. Begitu juga dalam acara tahlilan yang berbeda.

Sikap toleransi dalam internal agama seperti ini terjadi tidak hanya masing-masing pihak dituntut oleh kondisi sosial untuk membiarkan perbedaan, tetapi juga merupakan hasil dari munculnya kesadaran baru untuk merayakan perbedaan sebagai bagian dari kekayaan kebudayaan dan interpretasi ajaran agama. Bahkan dalam tata peribadatan sekalipun, seiring dengan arus urbanisasi sosial yang masuk di lingkungan masjid dengan kehadiran para pendatang yang berbeda keyakinan. Sikap toleransi religius atas perbedaan keyakinan ini juga ditunjukkan tidak hanya di lingkungan internal agama )slam, akan tetapi antara agama )slam

Shalat tarawih secara harafiah berarti shalat istirahat, istilah lain

dari shalat tarawih adalah Qiyam al-Lail, yang artinya shalat malam hari.

Shalat tarawih adalah ibadah shalat yang tidak diwajibkan, tetapi dianjurkan pada malam bulan puasa yang dilakukan secara berkelompok. (anya masing-masing kelompok umat dalam menunaikan ibadah shalat ini berbeda, satu pihak ada yang menunaikan rakaat gerakan , sementara pihak yang lain dua puluh tiga rakaat.

(22)

dengan Kekristenan yang diperlihatkan dengan kehadiran gereja dan komunitasnya di wilayah ini sebagai kenyataan sejarah keindonesiaan yang disadarinya. Meskipun pada awalnya kehadiran mereka diwaspadai, namun akhirnya diterima dengan alasan-alasan yang rasionalistik; yang dapat diterima oleh akal sehat publik, selain juga karena nilai-nilai agama dan budaya yang dipercayai yang menjunjung tinggi nilai harmonitas budaya; keselarasan hidup, nilai kesatuan antara diri dan lingkungannya, sebagaimana dituturkan oleh Bapak Saelan di bawah ini :

Dan pada saat itu daerah Plosokuning itu semua masyarakatnya beragama )slam, baru akhir-akhir ini ada agama lain yang masuk.

Contohnya di Perumnas Minomartani

sekarang sudah ada gereja. Kalau masalah tahunnya sudah lupa tetapi berdirinya gereja tersebut pada saat pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Jadi semenjak berdirinya gereja itu. Jemaat yang mau melakukan pembaktian banyak pendatang baru yang beragama Kristen yang tinggal di Minomartani, mereka masuk dengan cara membeli tanah orang Minomartani.

Kata toleransi itu sendiri semula merupakan istilah asing yang terderivasi dari bahasa Latin yang mengalami

pengindonesiaan, yakni tolerantia yang artinya

(asil FGD pandangan Bapak Saelan, Komunitas Plosokuning Jobo,

(23)

kelembutan hati, kelonggaran, kesabaran dan keinginan.

)a juga dapat diartikan tolerar yang bermakna dasar

sebagai sikap yang saling menghargai, membiarkan dan

membolehkan. Pengertian keindonesiaaan ini

mengantarkan pemahaman untuk bersikap longgar dan sabar yang memberikan hak sepenuhnya kepada orang lain, meskipun berbeda pandangan, sehingga dapat melahirkan sikap terbuka dan jiwa yang lapang dada terhadap perbedaan.

)ni artinya dalam konsepsi dan pergumulan sejarahnya, toleransi juga menjadi menguat dalam agama )slam sering dengan isu-isu kerukunan beragama, menjadi bagian dari keniscayaan sejarah dan perkembangan kesadaran teologis, yakni karena tujuan dari toleransi itu sendiri untuk membangun kedamaian dan kenyamanan di tengah keberagaman, sebagaimana pesan dasar agama ketika lahir ke dunia sebagai pembawa rahmat kepada manusia dan dunia kosmosnya, meskipun pesan itu tidak diaktualiasasikan dengan utuh di negeri-negeri Timur Tengah saat ini. Terlebih lagi pesan dasar teologis ini sangat dibutuhkan oleh komunitas masjid di tengah keberagaman kelompok dengan latar belakang sejarah, kebudayaan serta identitas

Lucia (erma, dkk., Toleransi dalam )nterdiskursus Teks Sastra dan Teks Non-Sastra , Jurnal MAKARA, Sosial (umaniora, Vol. , No. , Desember

, .

Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi: )nklusivisme, Pluralisme

(24)

yang sebenarnya saling bertolak belakang antara satu dengan yang lain.

Jika mengacu pada pada analisis di atas, sikap toleransi komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning sejalan dengan sikap Pemerintah Yogyakarta, yang mengambil makna toleransi dengan merayakan perbedaan, seperti yang tampak dari beragam perayaan baik yang bersifat religi, budaya maupun sekedar perayaan festival yang digelar secara terbuka bagi masyarakat umum. )ni artinya, tidak ada diskriminasi minoritas atau mayoritas bagi masyarakat untuk turut mengakses berbagai acara tersebut. Seperti halnya dengan mengadakan acara-acara yang bercorak keislaman yang berkonteks kebudayaan Jawa, seperti perayaan Sekaten di alun alun utara Keraton yang disaksikan oleh beragam masyarakat dari ragam suku dan agama. Acara lain yang mewujudkan penghormatan dan toleransi pada agama lain yang kemudian diikuti oleh masyarakat umum, adalah perayaan Tahun Baru )mlek yang dilihat sebagai peristiwa kebudayaan Tionghoa, dan juga perayaan (ari Raya Nyepi yang digelar secara kolosal oleh masyarakat (indu di kompleks candi Prambanan setiap tahun.

Berbagai jenis perayaan kebudayaan etnik dan agama tersebut tidak membatasi siapapun untuk berpartisipasi. (al ini juga sejalan dengan status daerah

(25)

Yogyakarta sebagai pusat pendidikan di )ndonesia dan daerah destinasi pariwisata dunia, selain juga penetapannya sebagai city of tolerance atau kota

toleransi yang dicetuskan pada tanggal Maret ,

oleh mantan walikota Yogyakarta (enry Zudianto bersama Aliansi Jogja Untuk )ndonesia Damai Aliansi di kompleks Balai Kota. Masalahnya kemudian makna toleransi ini juga diselubungi oleh kepentingan-kepentingan industri pariwisata yang tumbuh di daerah ini sebagai bagian dari komoditi ekonomi yang menarik bagi para pelaku ekonomi dunia untuk melibatkan diri.

Dengan demikian globalisasi yang memberikan pandangan baru dalam bentuk kesadaran bersama tentang nilai multikulturalisme dan toleransi religius juga menguat di daerah Yogyakarta, bahkan juga di komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning. Globalisasi yang terus

mendorong dunia menjadi satu global village secara

universal yang dilahirkan dari keragaman, di mana tradisi-tradisi agama dan kebudayaan lokal yang hidup di seluruh dunia yang berjauhan tempat itu turut mewarnai globalisasi, sehingga tidak lagi bersifat monolitik dalam dominasi kebudayaan besar.

6. . . Respon Bangkitnya Lokalitas

Respon kedua dari komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning terhadap globalisasi adalah

(26)

bangkitnya unsur-unsur lokalitas dalam identitas sosialnya sebagai bagian dari tuntutannya untuk menyuarakan nilai-nilai dan tatanan dunia yang adil di tengah gempuran globlisasi yang mendominasi semua sendi kehidupan masyarakat untuk diseragamkan, seperti yang terjadi di lingkungan mereka. Sebagai sistem dunia yang tunggal yang terlahir dari proses modernisasi dan kapitalisme global, globalisasi mau tidak mau juga dilihat sebagai kekuatan kebudayaan besar yang mengancam terhadap eksistensi jatidiri lokal suatu komunitas.

Sebagaimana gambaran arti globalisasi yang luas sebagai suatu tatanan dunia dalam perekonomian, politik, interaksi sosial yang didukung oleh jejaring teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang pesat. Tentu saja hal itu mengundang respon komunitas lokal terhadap eksistensi jatidiri kebudayaannya. Kebudayaan yang selama ini dipandang sebagai nilai kearifan yang mapan, ketika dihadapkan pada globalisasi, ia menghadapi gempuran nilai-nilai baru yang kadang tidak sejalan dengan tradisi yang telah berlaku, dan bahkan meminggirkanya. Setidaknya ada tiga responsi yang menjadi opsi pada setiap komunitas lokal dalam menghadapi globalisasi, yaitu responsi berdiri sendiri-sendiri, sintesis dan sinkretis. Kemungkinan lain dari

Muhammad Damami, Makna Agama dalam Masyarakat Jawa

(27)

respon globalisasi adalah berubahnya tampilan kebudayaan etnik.

Responsi berdiri sendiri menghasilkan komunitas lokal itu mengisolasi diri dari dunia global sehingga berada dalam stagnasi budaya. Responsi sintesis mendorong komunitas lokal berdialog dengan dunia global sehinga menghasilkan perpaduan kebudayaan yang kadangkala kontras, dan reponsi sinkretis menghasilkan komunitas lokal itu melebur secara inheren dalam dunia global sehingga kehilangan jatidiri aslinya, serta respon perubahan tampilan kebudayaan berarti globalisasi telah melenyapkan kebudayaan lokal komunitas itu dengan mengganti dalam tampilan kebudayaan yang sama sekali baru.

Namun Robertson mengungkapkan bahwa

globalisasi dapat menjadi pemicu bangkitnya identitas

lokal pada ruang-ruang publik yang disebut glocalization,

seperti yang disinggung diatas. Gejala dari menguatnya identitas lokal yang dipicu oleh globalisasi merupakan bagian dari dari pengobat rasa rindu dengan lingkungan rumah yang dahulu pernah dilalui. )dentitas lokal menggeliat kuat di tengah luasnya peran media informasi

Menurut Damami, perubahan masyarakat Jawa yang berpenampilan tidak Jawa atau lebih menghayati kultur lain merupakan dampak dari globalisasi. Secara pribadi, hal ini sah-sah saja, hanya saja orang tersebut telah tercerabut dari akar etnisnya. )bid., .

Richard Giulianotti and Roland Robertson, Glocalization, Globalization and Migration: The Case of Scottish Football Supporters in

North America , )nternational Sociology, March , Vol. London: Sage

(28)

dan kontestasi dengan budaya-budaya baru. Dampaknya, adanya upaya melakukan peneguhan identitas lokal sebagai responsi kebudayaan alternatif, seperti yang ditunjukkan dalam tradisi keagamaan dan kebudayaan lokal yang diekspresikan secara unik oleh komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning di berbagai kesempataan dan peristiwa khusus. Ekspresi identitas itu merupakan bagian dari sumber nilai, pengetahuan dan pengalaman lokal yang mengandung kearifan hidup dalam jatidirinya yang diwariskan dari para leluluhur.

(29)

upload di jejaring dunia maya, sebagaimana disampaikan oleh Arjun Appadurai dengan memanfaatkan teknologi baru digital yang dibawa oleh globalisasi sebagai lanskap global yang mendorong suatu komunitas dapat hidup eksis dan berekpresi dalam dunia maya.

Lanskap globalisasi yang terkoneksi secara sosial tidak pelak, ia seperti buntalan benang yang kompleks; sulit untuk diuraikan kembali dalam lanskap yang tunggal. Fenomena tersebut berpengaruh signifikan pada kehidupan sosial, sehingga hubungan inter-koneksi, dapat pula mendorong terbentuknya ekspresi atas identitas,

tradisi dan keaslian local wisdom dalam masyarakat.

Kenyataan ini terlihat karena globalisasi berdampak melahirkan rasa kekuatiran terhadap eksistensi tradisi dan kebudayaan lokal dari ancaman kepunahan.

Kekuatiran tersebut diaktualisasikan dengan

memperkuat identitas lokal dalam merespon isu-isu dan dinamika globalisasi sebagai arus kebudaayaan besar, seperti yang diperlihatkan pada komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning. Pokok fikiran yang hendak digarisbawahi dari tantangan globalisasi sebagai kebudayaan besar, adalah kekuatiran akan kehilangan identitas lokal di tengah maraknya kebudayaan baru

Lih., Arjun Appadurai, Disjuncture and Difference in the Global

Cultural Economy , dalam G. Durham & Douglas M. Kellner, Media and

Cultural Studies: KeyWorks, USA, Blackwell, .

Roland Robertson, Globalization Theori and Civilizational

Analysis , Comparative Civilizations Review, , , Downloaded on -

(30)

yang dianggap lebih modern atau sejalan dengan tuntutan zaman. Kebudayaan besar itu hadir dengan orientasi nilai-nilai yang lebih materialistik dan kekinian, sehingga identitas lokal yang bersifat kekunoan itu menjadi alternatif yang ditunjukkan sebagai jatidiri komunitas yang luhur karena memang berasal dari warisan leluhur . Oleh karena itu, Robertson juga menganalisis bahwa

globalisasi merupakan sebuah tatanan satu tempat atau a

single place,31 yaitu tata masyarakat dunia yang semakin

luas tanpa dinding pembatas antara satu tempat dengan tempat lain. Dalam satu waktu masyarakat dari berbagai belahan dunia dapat saling berinteraksi secara bersamaan melalui produk-produk modernitas yang disebut dengan teknologi informasi dan komunikasi.

Dalam analisisnya mengenai a single place tersebut atau

tempat yang tunggal, dapat ditambahkan bahwa globalisasi memberikan pengertian munculnya tata

hubungan antara kondisi lokal dan situasi global

Local-global nexus dan atau kondisi global dan situasi lokal

global-local nexus yang saling berkelindan dalam satu tempat.

(al )ni membuktikan ruang-ruang lokalitas menjadi bagian dari ruang globalitas. Sebaliknya, ruang globalitas

John Tomlinson, Globalization and Culture Paper was presented at University of Nottingham Ningbo China UNNC , Research Seminar Series

- Publication on )APS website , . Diunduh pada tanggal

Januari .

Roland Robertson, Mapping the Global Condition: Globalization as

the Global Concept: Theory, Culture and Society, Vol. London: SAGE

(31)

juga menjadi bagian dari ruang lokalitas dalam suatu hubungan kebudayaan yang saling mempengaruhi secara

hibrida cangkokan , sebagaimana yang juga

diekspresikan oleh komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning, baik dalam menerima teknologi global yang membangkitkan kesadaran identitasnya maupun yang mengubah identitas lokalnya dengan memanfaatkan jejaring teknologi tersebut.

Sejalan dengan itu, Yogyakarta sebagai salah satu daerah yang menjadi pewaris kebudayaan lokal di )ndonesia juga menghadapi globalisasi sebagai sebuah tantangan yang direspon secara positif dan kreatif. Langkah ini dilakukan dengan usaha penguatan kebudayaan Jawa dalam kehidupan sosial masyarakatnya, termasuk pada komunitas di Masjid Pathok Negoro Plosokuning, tanpa harus tertinggal dari apa yang disebut dengan makna peradaban modern. Artinya ada keseimbangan antara nilai kebudayaan lokal warisan leluhur dan semangat perkembangan zaman, terutama dalam memberi kontribusi bagi makna baru wajah globalisasi yang dipandang bias itu.

Dalam meresponsi tantangan globalisasi dalam sektor ekonomi, pariwisata dan jatidiri kebudayaan,

Pemerintah Yogyakarta telah melakukan rebranding

logo Jogja )stimewa yang diluncurkan pada

pertengahan bulan Maret ini. Usaha melakukan

Rubrik KR., Yogyakarta Butuh Rebranding Luar-Dalam , Koran

(32)

rebranding dilakukan untuk tetap mengikuti perkembangan zaman tanpa harus melupakan identitas lokal atas makna keistimewaan Yogyakarta. Pemerintah )ndonesia, sebagai penentu kebijakan tingkat pusat juga mengeluarkan produk undang-undang keistimewaan bagi daerah Yogyakarta sebagai wujud dukungannya, agar dapat menjaga kekayaan kebudayaan bangsa atas keistimewaan Yogyakarta sebagai kota budaya yang unik. Setidaknya sikap ini menjadikan pemerintah daerah dan Keraton Yogyakarta mempunyai posisi yang sama dalam mendorong dan menentukan ke mana keistimewaan

Yogyakarta akan dibawa di masa depan.

Tantangan dari budaya asing yang masuk melalui globalisasi sebenarnya jauh hari telah disadari oleh Sultan (amengkubuwono )X. (al itu ditunjukkan sebagaimana pengakuan Raja Jawa itu dalam kutipan berikut:

Sepenuhnya saya menyadari bahwa tugas yang ada di pundak saya adalah sulit dan berat, terlebih-lebih ini karena ini menyangkut mempertemukan jiwa Barat dan Timur agar dapat bekerjasama dalam suasana harmonis, tanpa yang Timur kehilangan kepribadiannya. Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang

W. Riawan Tjandra, UU Perda dan D)Y , Koran Kedaulatan

(33)

sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap adalah orang Jawa .

Sikap raja itu menunjukkan globalisasi yang datang dari kebudayaan Barat, tidak harus menjadi ancaman, justru diberi tempat dan dipertemukan hibrid sebagai bentuk harmonisasi sosial dalam filosofi kehidupan bangsa Timur. (armonisasi sosial adalah nilai estetika keselarasan hidup tanpa kehilangan identitas dasar yang lahir dari asal-usulnya sebagai sebuah etnik di mana ia dilahirkan dan tumbuh dalam kebudayaan etnik itu. Dalam pada itu putra penerusnya, yaitu Sri Sultan (emengkubuwono X juga menandaskan di tengah gencarnya kritik publik, bahwa penggunaan pakaian tradisional busana Jawa bagi para pegawai negeri dalam

peringatan (adeging Nagari Ngayogyakarta ulang tahun

berdirinya negeri Yogyakarta tidak sekedar untuk melestarikan budaya, tetapi juga dapat membentengi diri dari kebudayaan asing . (al itu memperlihatkan bahwa dalam diri raja sebagai pewaris nilai dan tradisi Keraton sekaligus mewakili pemerintah setempat, menyadari akan kuatnya tantangan zaman yang ditimbulkan dari arus globalisasi sebagai bagian dari ekspansi kebudayaan dunia. Bahwa jika tidak disikapi dengan bijak, globalisasi

Laksmi Kusuma Wardani, Pengaruh Pandangan Sosio-Kultural Sultan (amengkubuwono )X terhadap Eksistensi Keraton Yogyakarta . Jurnal Masyarakat dan Kebudayaan Politik, Universitas Kristen Petra Surabaya, Vol.

, No. , , .

Rubrik KR., Penggunaan Pakaian Jawa sesuai Pakem: Bentengi Diri

(34)

yang bersifat ekspansif itu menggerus nilai-nilai tradisi dan identitas kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Oleh karena itu diperlukan adanya sikap kreatif yang dilakukan oleh masyarakat setempat untuk mendorong kesadaran penguatan identitas lokal, dan percontohan bagi masyarakat secara luas untuk dipelajari di tengah globalisasi yang dapat menimbulkan hal-hal baru yang menggantikan secara frontal hal-hal yang lama.

Pada praktek-praktek kehidupan sosial, komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning sebagai kelompok lokal setingkat dusun ternyata mempunyai sikap kearifan tersendiri, di mana hal-hal baru yang datang dari kebudayaan atau masyarakat luar sekalipun, cenderung diterima dengan kesadaran kritis. Sikap ini sejalan dengan konsep filsosofi kehidupan orang Jawa yang lahir dari fenomena kehidupan orang desa, yakni prinsip mandi atau berenang di arus sungai yang mengalir begitu

deras, yaitu anglaras ilining banyu, angeli ananging ora

keli, yang artinya secara filosofis adalah kesadaran manusia untuk berkontestasi menghanyutkan diri dalam arus air tetapi tetap sadar dan tidak hanyut ke dalam arusnya atau kehilangan identitasnya. Filosofi lokal ini mengandung nilai bahwa komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning memiliki kesadaran pandangan dunianya yang terbuka terhadap hal-hal baru di tengah perbedaan dengan hal-hal yang lama.

Sikap yang cenderung terbuka menghanyutkan

(35)

kemudian dibentengi dengan kesadaran akan munculnya sikap yang tidak mudah terbawa arus atau tidak tengelam

ora keli oleh globalisasi yang masuk di lingkungan mereka, sehingga tidak kehilangan kesadaran identitas lokalnya. (al ini juga sejalan dengan pemahaman filosofi toleransi pada kebudayaan Jawa yang cenderung

mengutamakan tepa slira. Tepa slira merupakan sebuah

konsep toleransi dalam arti tumbuhnya sikap saling pengertian karena perbedaan. Sejarah tentang kehidupan Raja Amangkurat Jawi )V misalnya, yang mengharapkan sebuah tatanan kehidupan masyarakat beretika dan berperilaku mulia sebagai pembeda antara masyarakat berbudaya dan masyarakat secara umum. Kemuliaan yang dimaksudkan adalah sebuah konsep tentang etika dan spiritualitas mengenai perintah, anjuran, larangan serta harapan yang mencakup kesadaran untuk menjaga wasiat dan tidak melanggarnya, dorongan cinta terhadap tanah air, harapan mendapat anugerah Tuhan, serta memanjatkan doa kepada-Nya.

Kerangka berpikir kebudayaan religius tersebut menjadi berat dan absurd jika dihadapkan dengan realitas sosial bahwa globalisasi telah menyeret masyarakat di negeri ini ke dalam kompetisi hidup yang serba materalistik. Nilai-nilai materialisme yang tumbuh telah menjungkirbalikkan tatanan nilai-nilai lama yang

Purwadi, Pemikiran Religius Masyarakat Jawa Yogyakarta:

Elmatera Publishing, , .

(36)

bersifat spiritual. )ni artinya kehadiran globalisasi tidak lain adalah bagian dari ekspansi kapitalisme ke seluruh dunia. Sebagaimana pernyataan yang ditegaskan oleh Robinson, bahwa globalisasi yang menghadirkan dunia baru yang kapitalistik itu berkembang dalam empat tahapan sejarah dunia.

Tahap pertama antara tahun - yang

disebutnya sebagai fase transisi dari masyarakat feodalistik ke kapitalisme di Eropa dan ekspansi keluarnya. Era ini disebut juga sebagai era penemuan dan penaklukan yang disimbolkan dengan kedatangan Colombus di Amerika. Pada tahap ini bangsa-bangsa Barat tersebar ke seluruh dunia dan mendiami berbagai wilayah bumi dimulai sebagai minoritas pada tempat baru itu. Minoritas yang berhasil secara ekonomi kemudian meningkatkan statusnya sebagai mayoritas secara politik yang berakhir dengan pemerdekaan dirinya sebagai bangsa dan negara baru. AS adalah contoh utama dari negara dan bangsa baru pada era ini. Tahap kedua

terjadi pada akhir tahun , sering dengan timbulnya

revolusi industri yang diikuti dengan lahirnya kelas borjuis dan kehadiran negara-bangsa baru yang disimbolkan dengan keberhasilan Revolusi Perancis dan revolusi manufaktur di )nggris.

Tahap ketiga yang terjadi sampai dengan awal

tahun an, adalah tahap munculnya kapitalisme

(37)

monopoli korporasi dengan terbentuknya satu pasar dunia bersama dan sistem negara-bangsa ketika kapitalisme telah diorganisasikan dengan baik dalam perusahaan raksasa. (adirnya badan-badan dunia, seperti Bank Dunia, )MF, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan sebagainya adalah simbol tahap ini. Tahap keempat, yaitu tahap yang sedang dimasuki kapitalisme Barat yang didukung oleh teknologi microchips dan komputer atau disebut pula zaman teknologi informasi, yang secara politik diikuti pula oleh runtuhnya sosialisme abad ke- M., serta kegagalan negara-negara Dunia Ketiga untuk menawarkan gerakan pembebasan sebagai alternatif bagi dominasi kapitalisme global. Tahap yag merupakan tahap perubahan dari negara-bangsa ke tahap transnasional, negara tanpa batas. Perubahan-perubahan ini telah menempatkan kapitalisme Barat yang mengglobal itu menjadi satu-satunya kekuatan politik dan ekonomi dunia.

Menurut Korten yang juga mengulas globalisasi

sebagai pemerintahan korporasi atau transnational state

dengan kapitalismenya itu menimbulkan dampak dalam

tiga masalah sosial utama, yaitu pertama, semakin

tingginya keyataan unemployment, penutupan berbagai

perusahaan, upah di bawah standar, dan sebagainya sehingga menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat.

Kedua, meningginya kegelisahan sosial yang muncul

(38)

sebagainya. Ketiga, adalah krisis lingkungan hidup yang semakin meluas. Goldsmith menambahkan bahwa korporasi-korporasi tersebut dengan mudah dapat

memindahkan re-locate pabrik-pabrik mereka dari satu

negara ke negara lain, termasuk negara mereka sendiri karena alasan profit untuk mendapatkan upah pekerja yang dapat dibayar lebih murah tanpa memperhitungkan akibat sosial yang harus dipikul oleh para pekerja yang ditinggalkan. Krisis-krisis global yang ditimbulkan ini semakin mengindikasikan lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap pranata-pranata sosial, seperti demokrasi, pemerintah dan pranata kebudayaan lokal.

Dengan demikian globalisasi yang disertai dengan perkembangan kapitalisme global dengan perluasan pasarnya ke seluruh dunia berdampak menimbulkan perubahan di masyarakat, bahkan sampai di tingkat komunitas lokal dengan krisis hilangnya pranata kebudayaan yang dipeliharanya sekian lama. Dalam konteks komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning, responsi globalisasi yang bias kapitalistik ini mendorong munculnya kesadaran baru dan tanggung jawab sosial bersama, dengan tetap menjaga keseimbangan mempertahankan identitas lokal sebagai pengemban kebudayaan Jawa yang luhur dalam komunitas karena

ketinggian nilai-nilai spiritual, keadilan dan

David C. Korten, When Corporations Rule the World London:

Earthscan Publication Ltds., , - .

James Goldsmith, The Response to GATT and Global Free Trade

(39)

kemanusiaannya di satu sisi, dan di sisi lain tanggung jawab dan kesadaran menghadapi perubahan dari dunia luar yang masuk, seperti budaya konsumeristik yang serba kebendaan.

Tentu saja tanggung jawab ini menjadi berat, khususnya bagi generasi muda Masjid Pathok Negoro Plosokuning saat ini, dan di masa depan karena kekuatiran kian kehilangan identitas lokalnya dari warisan sejarah masa lalu leluhurnya sebagai jatidiri yang berusaha dibanggakan. Kekuatiran kehilangan identitas lokal sebagai bentuk krisis jatidiri komunitas ini pernah diungkapkan oleh seorang peneliti berkebangsaan Belanda, yaitu Niels Mulder. Niels Mulder dalam buku

catatan perjalanannya selama di Yogyakarta

mengungkapkan sebagaimana kutipan statemennya berikut ini :

(40)

kejawaannya-yang tentu saja sangat menyedihkan bila kecemasan itu diucapkan di kota kebudayaan Yogyakarta. Tetapi bagaimanapun materialis dan keluarnya orientasi hidup mereka, tidak bisa disangkal bahwa generasi muda adalah juga orang Jawa. Mereka pasti orang Jawa tetapi juga pembawa kesadaran yang berbeda, yang mungkin sudah agak kabur dan sulit diterangkan, yang mungkin berkurang dalam hal imajinasi. Yogyakarta telah menjadi bagian dari )ndonesia, sebuah kota provinsi di wilayah pinggiran yang secara kultural tergantung pada sumber asing dan berkurang dalam hal keorisinilan .

Dari pengakuan Mulder di atas, banyak dinamika kehidupan yang terjadi di masyarakat Yogyakarta, terutama perubahan pola pikir yang terjadi di kalangan pemuda Jawa yang mulai melupakan nilai-nilai identitas lokal, tercerabut dari akar budayanya, dan berpikir sangat materialistik demi eksistensi sosial. Perubahan itu terjadi menurut Mulder karena keterputusan mata rantai kebudayaan generasi muda dengan kebudayaan leluhur yang dimiliki oleh generasi tua. )ni artinya ada kesenjangan sosial dan budaya antara generasi muda dan generasi tua sehingga memunculkan pemisahan pola pikir yang sangat berdampak pada terkikisnya kebudayaan Jawa yang adiluhung sebagai identitasi sosial masyarakat

Niels Mulder, Di Jawa: Petualangan Seorang Antropolog

(41)

yang semula dibanggakan, digantikan oleh kebudayan global yang bersifat kapitalistik dan keduniaan.

Namun kekuatiran Mulder tersebut tidak sepenuhnya berlaku dalam komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning yang mengambil inisiatif secara kreatif untuk mewariskan tradisi religius dan kebudayaannya dari generasi yang tua ke generasi yang lebih muda. Mereka mengekspresikan identitas lokalnya tidak dalam rangka berkonfrontasi atau meleburkan diri menyatu dalam globalisasi. Akan tetapi justru memperkuat identitas lokal komunitasnya untuk hadir dalam kesadaran yang diwariskan kepada generasi selanjutnya, sekaligus diekspresikan secra koloboratif menjadi bagian dari globalisasi yang mendorong keragaman nilai, agama dan kebudayaan global tumbuh dalam kesadaran lokalitas. Penguatan identitas ini tidak hanya ditunjukkan kembali dengan mendialogkan agama dengan kebudayaan sehingga meneguhkan identitas lokalnya sebagai identitas primordial. Akan tetapi

Robert W. (efner, Civil )slam: )slam dan Demokratisasi di )ndonesia,

diterjemahkan oleh Ahmad Baso Jakarta: )nstitut Studi Arus )nformasi, , - .

(42)

mereka juga melakukan responsi globalisasi yang menghasilkan perubahan identitas.

6. . . Respon Kehadiran Teknologi Informasi dan Komunikasi

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dengan derasnya arus globalisasi yang menyebar ke seluruh dunia merupakan dua proses yang saling terkait. Kedua kekuatan dunia itu saling mendukung secara eksistensial. Tidak ada globalisasi yang tumbuh di suatu negara, bangsa atau komunitas sosial tanpa menyertakan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang mengiringinya. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga akan berjalan lambat, bahkan tersendat-sendat jika masyarakat di suatu bangsa atau negara tidak berpikir secara global. )ni artinya masyarakat yang tidak memiliki wawasan globalisasi atau kerangka berpikir yang mendunia juga akan menyulitkan mereka menerima kehadiran teknologi informasi dan komunikasi di mana mereka bertempat tinggal dan bernteraksi dalam ikatan komunitasnya, dan dengan dunia luar .

yang muncul dan tak terpecahkan hingga saat ini dengan persoalan identitas ganda itu adalah ketika menempatkan identitas nasional sebagai identitas baru yang belum menemukan karakteristik dan bentuk kebudayaannya. Lih.

John A Titaley, Religiositas Di Alenia Ketiga: Pluralisme, Nasionalisme dan

Transformasi Agama-Agama Salatiga: Satya Wacana University Press, ,

(43)

Globalisasi yang berbasis pada perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang masuk dalam masyarakat yang terbuka pada gilirannya juga menghasilkan penetrasi nilai baru yang berasal dari dunia luar. Penetrasi nilai baru itu terjadi ketika masyarakat

menggunakan media informasi information , komunikasi

communication , dan teknologi technology di mana nilai-nilai baru itu hadir secara terselubung, bersamaan dengan munculnya kepentingan kapitalisme dan industrialisasi yang berorientasi pada perluasan pasar

maketing oriented . Wilayah )ndonesia yang dihuni oleh

berbagai suku dan agama yang kini telah menjadi bagian dari pasar kapitalisme itu pun tidak dapat menghindarkan diri dari persoalan penetrasi nilai baru dalam globalisasi itu. Lebih lagi didukung dengan kemudahan perangkat-perangkat teknologi informasi dan komunikasi yang dapat dibeli oleh masyarakat di berbagai tempat, seperti radio, handphone, camera, tape recorder, video, VCD, DVD, internet, komputer, dan sebagainya. Perangkat-perangkat itu tidak hanya digunakan oleh masyarakat untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara modern, tetapi juga dimanfaatkan untuk mendokumentasikan berbagai tradisi dan kebudayaan lokalnya yang hidup.

Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi itu tentu saja menciptakan kebanggaan primordial

Setiyono, Tantangan Seni Tradisional di Tengah Arus Globalisasi,

(44)

tersendiri, selain juga dipakai untuk tujuan-tujuan komersial. Komersialisasi tradisi dan budaya lokal itu yang kemudian menjadi bagian dari industrialisasi budaya dan komoditas yang bernilai ekonomi, seperti penggunaan perangkat VCD untuk mendokumentasikan pertunjukan wayang kulit dan seni tari Jathilan yang produknya dapat dijual bebas di sejumlah toko. Namun tetap saja kesejahteraan terbesar dari industrialisasi budaya tidak mereka dapatkan sebesar yang diperoleh perusahan-perusahaan raksasa penyedia perangkat teknologi informasi dan komunikasi itu.

(45)

Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang juga masuk ke dalam komunitas masjid sebagai bentuk responsinya yang positif dan hati-hati terhadap globalisasi, mengakibatkan banyak perubahan pada dunia komunitas mereka sendiri. Sekat-sekat identitas yang semula membatasi perbedaan antara komunitas Plosokuning Jero dengan Plosokuning Jobo kian memudar, perubahan status sosial, seperti tingkat kebangsawanan, dan status ekonomi kedua komunitas dan pandangannya terhadap identitas primordialnya yang harus bertahan dengan ciri tradisionalismenya juga berubah.

)ni artinya globalisasi telah meratakan dunia sosial mereka yang semula tersekat ke dalam perbedaan status sosial, ekonomi dan bahkan tembok politik monarkhi, serta terisolir dari dunia luar karena kesetiaan pada identitas primordial di masa lalunya kian membuka diri menjadi kekuatan lokalitas yang eksis. Sekat-sekat yang membatasi itu telah didatarkan oleh masuknya globalisasi yang terjadi di lingkungan komunitas melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Menurut Friedman, globalisasi yang diartikan sebagai

dunia tanpa tapal batas borderless world semakin

(46)

globalisasi yang dimulai sejak ketika Columbus mulai membuka perdagangan antara Dunia Lama dan Dunia Baru. Pada masa ini, negara maupun pemerintah yang dipicu oleh imperialisme telah mendobrak dinding pembatas wilayah, sehingga dunia menjadi satu melalui ekspansi bangsa-bangsa Barat ke seluruh dunia. Penyatuan global ini melihat dunia yang semula berukuran besar menjadi berukuran menengah.

Kedua, globalisasi yang berlangsung dari sekitar

tahun hingga dengan diselingi oleh masa

depresi besar dan meletusnya Perang Dunia ) dan )). Pelaku utama dalam proses penyatuan global versi kedua ini adalah perusahaan multinasional. Perusahaan-perusahaan ini mendunia demi pasar dan tenaga kerja yang dipelopori oleh Belanda dan )nggris sejak timbulnya revolusi industri di Eropa. Proses penyatuan global digerakkan oleh jatuhnya biaya transportasi berkat kemajuan mesin uap, kereta api dan jatuhnya biaya telekomunikasi berkat telegraf, telepon, PC, satelit dan

serat optic dan w.w.w. world wide web . Kekuatan dibalik

globalisasi masa ini adalah terobosan di bidang perangkat keras berawal dari kapal uap dan kereta api sampai telepon dan komputer, sehingga dunia menjadi diratakan kian kecil.

Ketiga, globalisasi yang dimulai sekitar tahun .

Motor penggerak globalisasi versi ketiga ini adalah

Thomas L. Friedman, The World is Flat...., .

(47)

kekuatan lokal baru yang ditemukan untuk bekerjasama dalam lingkup global. Proses penyatuan global versi ketiga ini lahir untuk memberdayakan, dan melibatkan individu serta kelompok kecil di seluruh dunia sebagai

aktor global dalam tatanan dunia yang datar flat-world

platform yang menggantikan aktor globalisasi versi

pertama dan kedua. Proses kovergensi dari gelombang glibalisasi itu pada akhirnya menjadikan dunia datar, terlebih dengan kehadiran teknologi informasi dan

komunikasi yang berkembang, seperti netscape yang

menghidupkan internet sehingga mudah diakses oleh siapapun yang mendorong dunia semakin diratakan. Semakin internet dihidupkan, semakin beragam individu

di seluruh dunia melakukan banyak hal di web.

Perkembangan teknologi internet ini sebagai revolusi sunyi yang tidak disadari kebanyakan orang. Padahal revolusi sunyi ini mendorong lebih banyak individu di berbagai tempat untuk merancang, mempertunjukkan, mengelola dan berkolaborasi dalam dunia yang kecil tetapi berdampak global. Pekerjaan dan aktivitas budaya yang dilakukan oleh individu maupun kelompok mengalir lebih cepat, dan mendorong mereka menawarkan berita

dan opini mereka sendiri di web., menulis ensiklopedia

mereka sendiri lalu meng-upload-nya ke seluruh dunia,

termasuk dalam mengunggah aktivitas tradisi agama dan kebudayaan lokal mereka sendiri.

(48)

)ni artinya komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning yang bersifat lokal itu secara kreatif juga menerima globalisasi dengan cara memanfaatkan jaringan teknologi informasi dan komunikasi sebagai

bagian dari kebutuhan komunitas dalam

berkontekstualisasi, terutama pada dua hal, yaitu

pertama, kebutuhan mengekspresikan identitas lokalnya ke dunia global seiring dengan kesadaran globalnya yang tumbuh melalui interaksi sosialnya di dunia maya, dengan memanfaatkan jaringan internet yang tersedia, seperti situs blog., dan video sehingga kian memperluas pengaruhnya sampai tingkat global. Teknologi informasi dan komunikasi, terutama penggunaan jaringan internet ini telah memberikan jalan bagi komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning untuk mengekpresikan identitasnya sebagai kekuatan lokal ke dunia global lewat berbagai kegiatan tradisi keagamaan dan kultural yang sarat dengan kearifan lokal dan pesan-pesan religius.

(49)

dalam memperkaya khasanah industri kepariwisataan, dan bagi perkembangan eksistensi kesejahteraan

komunitas lokal itu sendiri. Kedua, globalisasi juga

mengubah identitas komunitasnya menjadi majemuk. )dentitas majemuk komunitas Masjid Pathok Negoro ditandai dari selain ekspresi tradisi keagamaan dan kebudayaan lokal yang ditunjukkan dalam kegiatan-kegiatannya di masyarakat yang selalu dipertahankan, juga tumbuhnya pandangan dunianya yang baru dalam kesadaran nilai-nilai multikulturalisme, terutama responsi keragaman etnik dan agama yang hidup di sekitar komunitas masjid yang disikapi secara toleran karena sejalan dengan falasafah kebudayaan lokal mereka sendiri, sekaligus identitas lokalnya menjadi bagian dari dunia globalisasi teknologi informasi dan komunikasi yang masuk dan diterima di lingkungan komunitas itu. Tentu saja hal ini juga berdampak bagi munculnya perubahan nilai-nilai baru yang masuk, seperti nilai-nilai efisiensi, kreatifitas dan efektifitas. Globalisasi dengan demikian, memberikan jalan yang rata bagi komunitas masjid ini untuk menghidupkan kesadaran dan kebanggaan lokalitasnya yang tidak hanya berguna bagi dirinya, tetapi juga bagi masyarakat dunia umumnya untuk memperoleh informasi baru melalui pemanfaatan perangkat teknologi informasi dan komunikasi yang melekat menjadi bagian dari di lingkungan mereka.

(50)

Plosokuning selain jejaring internet, juga tampak dari penggunaan alat pengeras suara modern, sepert TOA yang dipasang di masjid sebagaimana yang telah diuraikan di atas, tanpa meninggalkan alat tradisional berupa kentongan dan bedug yang menandai waktu shalat sebagai bentuk kearifan budaya lokalnya yang terpelihara. Alat pengeras suara sebagai media teknologi informasi dan komunikasi ini selain berfungsi untuk menandai waktu shalat tiba, juga digunakan secara kreatif sebagai media yang mendorong integrasi sosial komunitas dalam berkohesi sosial, disamping pemakaian

gadget handphone untuk berkomunikasi antar anggota

komunitas di wilaah lokal. Jaringan teknologi informasi

dan komunikasi yang lain juga digunakan oleh komunitas

masjid ini, seperti media koran dan televisi online, serta

media sosial medsos lain yang dipakai dalam mengkomunikasikan identitas lokalnya di dunia global seiring dengan kesadaran budaya pariwisata yang muncul, sehingga jangkauannya tidak hanya bersifat lokal, yang semula hanya diketahui oleh komunitas lokal dalam mengkampanyekan nilai-nilai lokalitasnya di Dusun Plosokuning saja, tetapi ke seluruh dunia karena

dapat diakses secara luas, ontime dan online oleh

masyarakat di belahan dunia manapun.

)dentitas lokal itu ditunjukkan dengan cara

mengekspresikan tradisi-tradisi keagamaan dan

(51)

dunia global. Namun identitas komunitas masjid ini juga menghadapi tantangan berat, berupa masuknya nilai-nilai baru yang lebih materialistik dan rasionalistik dalam kehidupan mereka. Tradisi dan kebudayaan lokal yang menguat tidak hanya karena alasan-alasan rasionalistik untuk menghidupkan nilai-nilai kearifan lokal yang dipedomani dan menjadi kebanggaan lokalnya, melainkan juga keterbukaan itu juga pelan-pelan menggeser nilai-nilai lama dengan masuknya orientasi kesejahteraan yang memanfaatkan tradisi dan budaya lokal komunitas untuk tujuan industri pariwisata. )ni artinya tradisi dan kebudayan lokal itu juga berkolaborasi menjadi produk budaya yang kehadirannya secara ekonomi menjadi bagian dari tujuan industrialisasi pariwisata yang berkembang di Yogyakarta pada umumnya.

6. . . Respon Perubahan Identitas: Dari Politik Ke Kebudayaan

(52)

Bahkan perubahan global yang mendatarkan dunia ini juga telah menggeser identias komunitas masjid yang semula bersifat politik menjadi bagian dari kebudayaan lokal. Rangkaian proses perubahan identitas dari politik ke kebudayaan ini dapat dijelaskan dalam tiga pokok pemikiran berikut.

(53)

tidak memiliki ikatan kekerabatan, seperti komunitas Plosokuning Jero.

Kedua, seiring dengan perubahan globalisasi yang masuk yang menjadi bagian dari kesadaran kebudayaan, pembelahan sosial komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning mulai terkikis sehingga menghasilkan perubahan identitas agama dan etnik menjadi bagian dari identitas kebudayaan Jawa. )a tidak lagi menjadi identitas politik yang membelah komunitas masjid. Perubahan identitas komunitas masjid yang menempatkan agama sebagai kekuatan kebudayaan ini, tidak hanya mendapat dukungan dari komunitas itu sendiri yang ditunjukkan dari menggeliatnya tampilan kebudayaan lokal yang diperlihatkannya ke masyarakat dunia, melainkan juga dukungan dari pihak Keraton sebagai lembaga adat dan kebudayaan Jawa yang terus menerus menyokong keberadaan komunitas budaya lokal ini. Selain, tentu saja dukungan negara seiring dengan penetapan masjid sebagai benda yang bernilai cagar kebudayaan, warisan lokal yang dibanggakan bangsa yang menjadi faktor utama pemicu perubahan identitas.

Perubahan identitas ini juga memberikan penjelasan bahwa agama pada dasarnya sebagaimana dalam konsepsi Durkheim lahir dari kebudayaan masyarakatnya, ia menjadi produk kebudayaan, di mana

Referensi

Dokumen terkait

Panduan pengobatan TB yang berlaku di dunia dan Indonesia saat ini disebut dengan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse chemotherapy). DOTS merupakan

Isolasi bakteri endofit daun kemangi (O.basilicum L.)dilakukan dengan metode penanaman langsung dan pemurnian isolat dilakukan dengan menggunakan metode streak

Kepada Bapak/Ibu yang bersedia mengikuti penelitian ini nantinya akan diminta mengisi surat persetujuan ikut dalam penelitian, mengikuti wawancara untuk mencari adanya hal-hal

Berdasarkan Berita Acara Penetapan Pemenang dari Pokja ULP Kegiatan Pengembangan Dan Pengelolaan Sarana Prasarana Penunjang Jalan Pekerjaan Paket 9 - Pemasangan PAL LPJU

 Cairan koloid digunakan pada pasien dengan perembesan plasma hebat, dan tidak ada respon pada minimal volume cairan kristaloid yang diberikan.  Volume cairan rumatan

Bank BNI (Persero) berdasarkan penilaian prestasi kerja dalam pengembangan karier, yang dapat dilihat dari jawaban mereka bahwa setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan, dapat

Skripsi dengan judul “Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe CIRC (Cooperative Integreated Reading dan Composition) Terhadap Kemampuan Pemecahan

Sebaliknya, hanya pada kondisi-kondisi yang luar biasa, di mana Negara menolak untuk bekerja sama dengan Sub-komite atau untuk mengambil langkah- langkah untuk memperbaiki