• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta D 762008001 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi Studi pada Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning Keraton Yogyakarta D 762008001 BAB III"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

AGAMA DAN ETNIK SEBAGAI IDENTITAS SOSIAL

. . Individu dan Masyarakat

Bab ini disusun dengan tujuan memberi kerangka pemikiran bagi pengayaan bangunan teori identitas dalam agama dan etnik sebagai dasar teoritis kedua dalam studi ini. Namun sebelum menguraikan teori identitas, pemahaman tentang asal-usul masyarakat sebagai obyek analisis riset tentang komunitas akan dieksplorasi secara detil. Sebab pembahasan identitas selalu terkait dengan dan tumbuh bersama perkembangan masyarakat. Pertanyaan pertama yang dimunculkan ialah apa itu masyarakat? Adakah kesamaan antara masyarakat dengan komunitas? Lalu bagaimana kedudukan dan peran komunitas dalam berinteraksi sehingga melahirkan identitas sosial? Pertanyaan-pertanyaan itu penting diterangkan, sebelum memasuki

karangka teoritik mengenai identitas dan

keterhubungannya dengan agama dan etnik di masyarakat.

Secara harafiah kata masyarakat berasal dari bahasa Arab, yaitu syaraka, yang artinya ikut serta, berperan serta atau bekerjasama dan bersekutu. Serumpun dengan arti itu dalam bahasa Latin, kata masyarakat

Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir: Kamus Arab Indonesia

(2)

disebut socius, diderivasikan ke dalam bahasa )nggris menjadi society, yang artinya kawan atau perkumpulan. Sementara definisi akademik untuk mengetahui arti masyarakat menurut Kamus Besar Bahasa )ndonesia KBB) , adalah sekumpulan manusia dalam arti yang seluas-luasnya dan terikat oleh kebudayaan yang dianggap sama. Masyarakat merupakan sekumpulan individu yang hidup bersama ketika berinteraksi dalam kebudayaan yang sama. )ndividu di sini adalah manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai kebutuhan berinteraksi. Pertanyaan selanjutnya, dalam kebutuhan berinteraksi, apakah masyarakat yang dibentuk oleh individu atau individu yang dibentuk oleh masyarakat? Dengan kata lain, lebih dahulu mana antara individu itu ada atau masyarakat yang lebih awal ada?

Pertanyaan itu dapat dijawab dengan

memperhatikan dari perspektif mana sosiolog memahami masyarakat. Jika mengikuti cara pandang Weber, individu sebagai pembentuk masyarakat. Melalui analisis

Dhanny R. Cyssco, and Jack Dawson, World Dictionary Jakarta: Pustaka Delapratasa, , .

http://kbbi.web.id/masyarakat. Diunduh pada tanggal Oktober .

(3)

tipe kepemimpinan dalam dunia sosial, yakni kepemimpinan kharismatik, Weber memandang individu yang memiliki kekuatan adikodrati dan daya kharisma adalah aktor pembentuk masyarakat di mana ia tumbuh dan berkembang, seperti tindakan para utusan Tuhan dan rohaniawan dalam mengkonstruksi dunia sosial. Namun apabila merujuk perspektif Durkheim, masyarakat yang membentuk individu di mana individu tunduk pada tatanan sosial yang mengikatnya sebagai anggota masyarakat. Jika ada individu yang tidak tunduk atau menyimpang dari masyarakat, ia menjadi individu yang mengalami anomali. Jadi masyarakat merupakan

tindakan subyektif, Weber membedakan tindakan sosial menjadi empat, yaitu Pertama, Tindakan Rasional Instrumental, yakni tindakan individu berdasarkan cara yang digunakannya disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai dari tindakan itu dalam berinteraksi sosial. Jadi rasionalitas dari tindakan diletakkan pada rasionalitas tujuan dan instrumen yang digunakan. Biasanya tindakan seperti ini terjadi pada birokrasi modern.

Kedua, Tindakan Rasional Berorientasi Nilai, yakni tindakan individu yang

didasarkan pada asas kemanfaatan. Letak rasionalitasnya terdapat pada nilai kegunaan dari tindakannya; benar atau salah dari penilaian yang diukur oleh masyarakat. Rasionalitas tindakan berorientasi nilai biasa dilakukan oleh kelompok-kelompok religius. Ketiga, Tindakan Tradisional, yakni tindakan individu berdasarkan adat kebiasaan, atau tradisi yang dipelihara masyarakat lokal. Tindakan ini dilakukan oleh tokoh-tokoh adat untuk seremoni upacara adat dan tradisi. Keempat, Tindakan Afektif, yakni tindakan individu yang didasarkan pada perasaan-perasaan intuitif atau reaksi spontan ketika individu berinteraksi dengan sifatnya yang emotif dan psikis. Lih., Max Weber, Economy And Society, Volume I, An Outline of Interpretative

Sociology, Guenther Roth and Claus Wittich, ed., California: The Regents of

University of California, , Chapter ) & ))) , - .

(4)

individu-individu yang mengikatkan diri dalam kelompok.

. . Komunitas dan Identitas

Pada setiap masyarakat, terdapat karakteristik yang mengikatnya sebagai anggota kelompok yang disebut komunitas, yakni ikatan individu terhadap kelompok berdasarkan kesamaan ciri-ciri sosial dan tujuannya dalam berkelompok. Komunitas juga merupakan kelompok sosial dari beberapa organisme yang berbagi lingkungan yang memiliki ketertarikan dan habitat yang sama. Dalam komunitas manusia, individu-individu di dalamnya mempunyai tujuan, kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, risiko, kegemaran dan sejumlah kondisi sosial lain yang serupa.

Ciri berkelompok dapat diketahui dari kesamaan fisik, dapat pula ditentukan oleh kesamaan sosial, agama, atau psikis. Ciri-ciri ini yang mendorong individu

Menurut Durkheim, dalam kontek integrasi indvidu dalam masyarakat yang melahirkan solidaritas sosialnya terkait dengan tipe masyarakat itu sendiri. Jika masyarakat masih dalam taraf kehidupan sederhana baca: primitif , ikatan sosial yang membentuk solidaritas sosialnya dipersatukan oleh moralitas bersama yang disebut dengan kesadaran kolektif yang bersifat mekanik. Berbeda dengan masyarakat yang sudah berkehidupan modern, kesadaran kolektif yang mengikat moralitas -nya menurun, digantikan oleh ikatan sosial yang didasarkan pada pembagian kerja, di mana antara individu satu dengan individu lain terikat solidaritasnya karena pekerjaan yang berbeda-beda yang menuntutnya saling bergantung, sehingga melahirkan solidaritas organik. Lih, George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, diterjemahkan oleh Alimandan Jakarta: Prenada Media Group, , ; Bdk., Emile Dukheim,

The Divison of Labor in Society, translated by W.D. (alls New York, Free

(5)

membentuk konsep diri dan konsep sosial yang sebangun artinya dengan kesadaran jatidiri atau identitas. Sejalan dengan itu, Koentjaraningrat mengungkapkan komunitas merupakan suatu kesatuan hidup manusia yang menempati wilayah nyata dan berinteraksi sesuai dengan sistem adat istiadat dan terikat oleh identitas komunitas community sentiment . Penjelasan ini memperlihatkan setiap komunitas memiliki tiga elemen, yaitu pertama inidividu-individu yang berinteraksi sosial. Kedua, kesatuan tempat atau wilayah di mana individu manusia itu berinteraksi sosial, dan ketiga adalah identitas, seperti ciri-ciri, cita-cita dan adat istiadat yang membentuk sentimen kelompok dalam diri setiap individu.

. . Makna Agama dan Masyarakat

Menurut Durkheim, agama yang dianggap sudah ketinggalan zaman ternyata masih dibutuhkan oleh masyarakat modern, karena agama adalah gejala universal yang terdapat di semua kategori masyarakat. Untuk membuktikan pernyataan itu, Durkheim melakukan penelitian mengenai elemen-eleman dasar kehidupan beragama, sehingga diketahui sebab-sebab mengapa agama masih dibutuhkan dalam kehidupan

http://gurumenulis.blogspot.com/ /masyarakat-dan-komunitas. Diunduh pada tanggal Oktober ; Bdk., Emile Durkheim, The

Elementary Forms of the Religious Life New York: The Free Press, .

K. J. Veeger, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan

Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi Jakarta: Gramedia

(6)

masyarakat modern. Dengan mengambil obyek penelitian terhadap masyarakat yang masih hidup sederhana, yaitu suku Aborigin, Durkheim menemukan banyak hal tentang asal usul sistem religius pada kehidupan masyarakat primitif di benua Australia itu.

Bagi Durkheim, sistem religius yang paling sederhana yang ditelitinya dari asal mula totem bermuara pada konsep-konsep agama yang menyangkut dua ciri utama, yaitu pertama; sistem religius yang ditelitinya itu terdapat dalam organisasi masyarakat yang paling sederhana, dan tidak ada lagi yang lebih sederhana dari masyarakat itu. Kedua; sistem religius tersebut dapat dijelaskan tanpa terlebih dahulu memperkenalkan elemen-elemen lain dari agama yang lebih tua dari padanya.

Durkheim kemudian menjelaskan pada mulanya konsep totem dan fungsi sosialnya di masyarakat primitif adalah lambang binatang, manusia totemik, sistem kosmologi totemisme dan konsep tentang jenis-jenisnya, totem individu, totem seksual sampai konsepsinya tentang jiwa dan roh hingga ritual, memiliki fungsi yang utama dalam pembentukan masyarakat primitif. Dalam sistem religi totemisme, ia menyimpulkan sebagai berikut:

Pertama, setiap masyarakat yang paling sederhana selalu memiliki sistem kepercayaan terhadap yang

(7)

keramat, yang disucikan dan dihormati. Sesuatu yang keramat disebut totem, yaitu benda-benda alam, manusia dan binatang-binatang yang disucikan. Lambang-lambang totem ini yang membedakan dunia profan dan dunia sakral di masyarakat. Lebih lanjut dapat dijelaskan, pembagian dunia yang berbeda bukanlah pada yang supernatural dan natural pada masyarakat, tetapi pada dunia yang sakral dan profan itu. Kategori yang pertama dianggap superior, sangat kuasa, terlarang dari hubungan normal, dan pantas mendapat penghormatan tinggi. Sementara kategori kedua, yaitu yang profan merupakan kebalikan yang pertama; ia lebih rendah, sekuler dan tidak disakralkan. Dalam masyarakat primitif totem menjadi lambang yang disakralkan, ia mengandung tuntunan kuasa moral yang mengikat individu.

Kedua, sistem kepercayaan terhadap yang suci kemudian membentuk praktek-praktek ritual atau pemujaan sebagai bagian dari ikatan kolektif. Praktek ritual merupakan upacara keagamaan yang dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang sehingga mengikat secara moral dan mental. Agama kemudian

dipahami sebagai sebuah sistem terpadu dari

kepercayaan dan praktek yang berhubungan dengan hal-hal yang sakral sacred things , yaitu hal-hal yang terpisah dan terlarang . Jika ditanyakan, apa tujuan dari hal-hal yang sakral?. Jawabannya terletak pada bagian kedua dari

(8)

definisi tersebut, yaitu praktek-praktek agama menyatu dalam suatu komunitas moral yang disebut gereja atau umat; semua orang taat pada praktek itu.

Karya Durkheim tersebut yang mengguncangkan masyarakat Eropa pada zamannya, menyumbangkan pemikiran baru bagi masyarakat dan gereja mengenai arti dan asal usul agama dengan pendekatan sosiologi. Agama yang secara mainstream dipahami sebagai rumusan teologi dan sekumpulan dokma metafisis yang "mengabaikan" realitas sosial, diubahnya dengan pemahaman baru yang lebih empirik. Alhasil bagi Durkheim, agama yang selama ini dipegang teguh oleh masyarakat di mana saja berada, bermula dari penghayatan yang suci terhadap sesuatu yang dipercayai bersama; sehingga sesuatu yang suci itu menjadi perekat terpenting dari kehadiran masyarakat. Oleh karena itu di tangan masyarakatlah, agama menemukan pemaknaan dan fungsi dasarnya bagi kehidupan sosial, terutama melalui praktek-praktek ritual dan pemujaan terhadap yang suci.

Pandangan Durkheim tersebut juga menjelaskan pengertian dan kedudukan antara agama dengan masyarakat itu sejalan maknanya, karena hakikat agama tanpa masyarakat, ia tidak mungkin dapat hadir ke dunia sosial, dan agama hanya menjadi nama yang dikenang

)bid., ; Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern:

Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim, dan Max Weber, diterjemahkan

(9)

yang kehilangan wujud sosialnya. Begitu pula suatu masyarakat tanpa agama, ia tidak dapat dikatakan sebagai masyarakat karena dari agamalah masyarakat menjadi ada untuk menemukan bentuknya sebagai organisasi sosial yang hidup dengan ikatan nilai sakral. Dengan demikian hubungan agama dengan masyarakat dalam kontek pembagian dan pembedaan antara yang sakral dan profan dalam dunia kebudayaan manusia adalah hubungan yang tidak terpisahkan, karena kebutuhan dalam merekatkan dunia sosial.

. . Identitas di Masyarakat

)dentitas atau dalam bahasa )ndonesia disebut jatidiri telah menjadi wacana kontekstual yang menarik saat ini. )dentitas menjadi isu sentral masyarakat )ndonesia berkaitan dengan arus globalisasi. Modernisasi yang serta merta membawa globalisasi telah menimbulkan kegelisahan tersendiri, terutama identitas dirinya sebagai orang )ndonesia. Bahkan pemerintah sendiri terus mengkampanyekan, bangsa )ndonesia harus memperteguh identitas nasionalnya sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Globalisasi yang masuk dengan sendirinya dicurigai sebagai unsur asing yang mengancam eksistensi bangsa dan negara, terutama memudarnya identitas nasional.

(10)

Kata identitas berasal dari bahasa )nggris, identity, ia berakar dari bahasa Latin, idem yang bertarti sama dan identidem yang berarti berulang-ulang atau berkali-kali . Kedua istilah ini membentuk kata baru identitas yang berarti, sebelah menyebelah dengan mereka yang serupa likeness dan satu oneness . )ni artinya identitas secara harafiah maknanya sama, baik sama dalam bentuk maupun isi. )dentitas mencerminkan suatu kelompok mempunyai kesamaan yang diwujudkan dalam atribut sosial yang mengikat isi, yakni karakteristik nilai dan cita-cita sosial yang sama.

(enri Tajfel adalah tokoh mula-mula yang menggagas teori identitas sosial yang berkaitan dengan penjelasan mengenai prasangka, diskriminasi, konflik antar kelompok dan perubahan sosial. Ciri khas fikiran Tajfel adalah non-reduksionis, yang membedakan antara proses kelompok dari proses dalam individu. Jadi harus dibedakan antara proses seseorang dari orang lain dan proses identitas sosial yang menentukan apakah seseorang dengan ciri-ciri tertentu termasuk atau tidak, dalam suatu kelompok. )dentitas merupakan proses dari keindividuan manusia menuju pada proses berkelompok

krisis globalisasi tidak terjadi di luar negara, melainkan justru di dalam negara itu sendiri. Lih., Firmanzah, Globalisasi: Sebuah Proses Dialektika

Sistemik Jakarta: Yayasan Sad Satria Bhakti, , - .

Markus Dominggus Lere Dawa, Teori-teori Sosial Tentang Identitas,

Tugas Makalah Program Doktor Sosiologi Agama UKSW Salatiga, , . )dham Putra, Teori )dentitas Sosial , dalam http://idhamputra.wordpress.com. Diunduh pada tanggal April .

(11)

karena kesamaan ciri-ciri khusus dari masing-masing individu dalam berperilaku sosial.

Perilaku kelompok berbeda dengan perilaku individu, sebab setiap individu menciptakan identitas sosial di tengah identitas diri yang berproses, yang membantunya mengkonseptualisasi dan mengevaluasi diri sendiri. )dentitas sosial mencakup banyak karakteristik unik, seperti nama seseorang dan konsep diri serta gender. Sebagai contoh seperti hubungan interpersonal seseorang, yakni anak perempuan, anak laki-laki, pasangan, orang tua, ideologi yang meliputi pecinta lingkungan, demokrat, republikan, vegetarian. Atribut khusus misalnya homoseksual, cerdas, keterbelakangan mental, pendek, tampan dan afiliasi etnik atau religi yang meliputi Katholik, orang selatan, (ispanik, Yahudi, warga kulit hitam, Muslim, dan atheis .

Menurut Fromm, )dentitas diri dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan dengan identitas sosial. Sebagai individu, manusia membangun identitas berdasarkan konsep atau gambaran dari citra diri yang ideal. Manusia sebagai makhluk sosial dalam membangun identitas diri tidak terlepas dari norma dan peran sosial yang berada di lingkungan sosialnya. Namun identitas diri, menurut Erikson terbagi dua, yakni identitas pribadi

)bid.

Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Sosial: Psikologi Kelompok dan

(12)

dan identitas ego. )dentitas pribadi berpusat pada pengalaman masa lalu seseorang. )dentitas pribadi dapat disebut identitas ego jika identitas tersebut disertai dengan kualitas eksistensial sebagai subyek yang otonom dan mampu menyelesaikan konflik-konflik di dalam batinnya sendiri dan masyarakat. Bagi Erikson, proses pembentukan identitas berlangsung secara perlahan dan pada awalnya terjadi secara tidak sadar dalam diri individu. Proses pembentukan identitas yang berangsur-angsur itu dimulai pada periode pertama, yakni periode kepercayaan dasar lawan kecurigaan dasar terhadap dirinya dalam berinteraksi sosial.

Menurut William James sebagaimana dikutip Sarlito, dalam hubungannya dengan identitas diri dan identitas sosial adalah konsep diri pribadi ketika berinteraksi sosial. Diri adalah segala sesuatu yang dikatakan orang tentang dirinya sendiri, tidak hanya tentang tubuh dan keadaan fisik, melainkan tentang anak, istri, rumah, pekerjaan, nenek moyang, teman-teman, uang dan lain sebagainya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semua ciri, jenis kelamin, pengalaman, sifat-sifat, latar belakang budaya, pendidikan, dan semua atribut yang melekat pada seseorang yang membentuk identitas sosial.

)bid. )bid.

(13)

)dentitas sosial berperan dalam hubungan antar kelompok, yang tergantung dari dimensi psikis yang dapat diterima aman atau tidak aman . Ketika identitas aman memiliki derajat yang tinggi, individu cenderung mengevaluasi out-group, lebih sedikit bias jika membandingkan in-group dengan out-group, dan persepsi sedikit pada homogenitas in-group. Sebaliknya, identitas tidak aman dengan derajat yang tinggi, berhubungan dengan evaluasi yang sangat negatif terhadap in-group, bias lebih besar dalam membandingkan in-group dengan out-group, dan persepsi homogenitas in-group lebih besar. Keempat dimensi identitas tersebut, muncul ketika individu berada di tengah-tengah kelompok. Jika individu secara psiko-sosial berada dalam posisi rasa percaya diri yang kuat, identitas sosialnya menguat, sebaliknya ia menilai identitas sosial lain melemah. Namun jika individu merasa tidak aman karena kurang rasa percaya diri, ia memandang negatif identitas sosialnya, sebaliknya identitas sosial lain dinilai positif.

Sebagai makhluk individu, konsepsi manusia tidak dirumuskan sebagai suatu kesatuan individu tanpa menghubungkannya dengan lingkungan sekitar. Manusia tidak dapat membungkus dirinya dalam satu kesatuan individu, yang tidak pernah bersinggungan dengan situasi sosial. Ketika manusia membicarakan konsepsi identitas di situ pula manusia membicarakan kelompok group .

(14)

Dengan demikian, gagasan tentang identitas adalah hubungan antara individu dengan lingkungannya. Adanya identitas memudahkan manusia mendeskripsikan

keberadaan dirinya dalam bertindak. )dentitas

membentuk individu terikat dengan lingkungan sosial di mana ia tumbuh memandang dunianya. Dari lingkungan sosial, individu mengidentikkan diri dalam berinteraksi sosial. )dentitas juga menyangkut usaha memahami hubungan keanggotaan dalam masyarakat, agama dan praktek-praktek sosial yang menunjukkan ekspresi dan aspek manifestasinya dalam berperilaku sebagai anggota kelompok.

Sementara itu, (.A.R. Tilaar, merumuskan konsep identitas menjadi empat, yaitu pertama, identitas berarti identik dengan yang lain. Konsep ini menunjukkan kesamaan antara individu satu dengan individu lain. Kesamaan antara individu terjadi karena ia mempunyai sisi kesamaan dalam dimesi kemanusiaannya. Kedua, identitas berarti menjadi diri sendiri sebagai individu yang dilahirkan secara merdeka dan otonom. Proses pendidikan merupakan tugas pemerdekaan seseorang untuk mengisi dan memberikan arti dan penghargaan terhadap hidupnya. Ketiga, identitas berarti menjadi identik dengan suatu ide. Konsep ide akan menghilangkan nilai individu yang terlepas dari kekuasaannya. )de

)dham Putra, Teori Identitas Sosial...

(15)

bersifat transedental yang lahir dari pilihan individu sendiri. Keempat, identitas berarti individu yang bersikap realisitis yang hidup bersama individu lain karena proses interaksi sosial. Proses menjadi diri sendiri tidak terlepas dari peran orang lain. Dalam berkelompok, individu tidak dapat dilepaskan dari lingkungan yang menghidupi diri dan membentuk kebudayaannya.

. . Agama dan Identitas

Merujuk hubungan pararel pemikiran Durkheim mengenai eksistensi sosio-psikologis dengan organisme biologis manusia, keduanya mengandung unsur pembagian kerja, integrasi dan harmonisasi dari diversifikasi internal dan fungsi yang optimal sebagai hasil dialektika yang terus-menerus antara perubahan dan stabilitas dunia sosial. )a telah menempatkan sosiologi agama dan teori pengetahuan di garda terdepan

dalam studinya. Studi sosiologi agamanya,

mengindentifikasi hakikat agama yang secara sui generis selalu ada di sepanjang zaman, dengan menganalisis bentuk-bentuk agama yang paling kuno pada masyarakat dan kebudayaannya. Sementara teori pengetahuannya mampu menghubungkan kategori-kategori dasar pikiran manusia dari asal usulnya di dunia sosial.

(.A.R. Tilaar, Mengindonesia, Etnisitas, dan Identitas Bangsa

Indonesia: Tinjauan dari Perspektif Ilmu Pendidikan Yogyakarta: Rineka

Cipta, , - .

(16)

Durkheim menemukan hakekat abadi agama dengan memisahkan yang sakral dari yang profan. Yang sakral tercipta dari ritual-ritual yang mengubah ikatan moral masyarakat menjadi simbol religius yang mengikat individu dalam kelompok. )katan moral berubah menjadi ikatan kognitif karena kategori-kategori pemahaman seperti klasifikasi, waktu, tempat dan penyebab, semua berasal dari ritual keagamaan. Penjelasan agama tersebut menekankan masyarakat menghadirkan agama dengan mendefinisikan fenomena tertentu sebagai sesuatu yang sakral, sementara yang lain di luar agama sebagai profan. Aspek realitas sosial yang didefinisikan dan dianggap sakral, yaitu sesuatu yang terpisah dari peristiwa sehari-hari yang membentuk esensi agama, sementara aspek duniawi dianggap profan. Aspek sakral ini yang membentuk esensi agama dalam realitas sosial yang lahir dari kepercayaan pada benda-benda yang disimbolisasikan dalam totem. Oleh karena itu bagi Durkheim, agama juga merupakan sistem simbol yang dengan simbol itu masyarakat menyadari dirinya. Pandangan ini menjadi satu-satunya cara yang dapat menjelaskan mengapa masyarakat memiliki kepercayaan agama yang berbeda akibat perbedaan kebudayaannya.

Sebagaimana juga diketahui, selain yang sakral dan profan, yang merupakan syarat mutlak bagi keberadaan

George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern...., .

(17)

agama di dunia sosial, ada tiga syarat lain, yaitu pertama, kepercayaan religius sebagai representasi yang mengekspresikan hakikat yang sakral dan hubungan yang mereka miliki, baik dengan yang sakral maupun profan. Kedua, ritual agama berupa aturan tingkah laku dan praktek keagamaan yang mengatur sikap manusia terhadap hal-hal yang sakral. Ketiga, komunitas moral yang mengikat seluruh anggotanya, yang memungkinkan agama diartikan sebagai kesatuan sistem kepercayaan dan praktek yang menyatu dalam persekutuan moral yang dinamai gereja atau umat.

Komunitas moral yang dibentuk agama memberikan pemahaman bahwa setiap masyarakat lahir karena perbedaan ciri religiusnya. Dalam masyarakat, setiap kelompok memiliki totem. Dari totem lahirlah sistem kepercayaan, ritual dan persekutuan kelompok. Totem-totem yang dilambangkan ke dalam benda-benda alam merupakan perwujudan yang berguna untuk memelihara isi dan pesan suci masyarakat. Dari sini totem sebagai perlambangan suci melahirkan identitas masyarakat. )ni artinya identitas maupun agama memberikan makna yang kompleks dan pararel dalam kehidupan sosial, yaitu yang pertama pada persoalan metafisika, di mana agama memberikan penjelasan tentang kehidupan yang memberi arah kepada mereka bahwa kehidupan keseharian merupakan kemisteriusan

(18)

yang bersifat metafisik karena ada kenyataan lain di belakangnya. Kedua, pandangan yang menekankan keterlibatan individu dalam kegiatan-kegiatan di dunia sekuler. Pandangan ini mendorong si penganut untuk menolak atau menerima struktur dan norma masyarakat yang berlaku, dengan agama sebagai salah satu penentu kesadaran sosial, yang disebut identitas.

(ans Mol memberikan gambaran yang paling jelas mengenai hubungan identitas dan agama dengan mengemukakan empat kategori peranan agama di masyarakat, yang pada gilirannya menentukan identitasnya, yaitu pertama, agama berperan dalam dramatisasi dialektika masyarakat, yang lazim disebut mitos dalam bentuk keyakinan primitif dan kebijaksanaan moral, teologi dalam agama-agama dunia, dan ideologi dalam bentuk sekuler. Mitos, teologi, dan ideologi menyediakan pedoman bagi individu dan masyarakat untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Mitos, teologi dan ideologi juga dapat menyatukan berbagai unsur di masyarakat dalam suatu uraian makna simbolik yang jelas, padat dan singkat.

Kedua, agama membuat keteraturan transedental di masyarakat. Semakin kompleks masyarakat,

M. Danial Balya, Tinjauan Kritis Terhadap (ubungan Antara )dentitas dan Agama , dalam (ans Mol, ed , Identity and Religion,

http://posapohlenteh.blogspot.com. Diunduh pada tanggal April . (ans Mol, Religion and )dentity: A Dialectic )nterpretation of Religious Phenomena , dalam (ayes, V.C. ed , Identity Issues and World

Religions Bedford Park, Australia: Australian Association for the Study of

(19)

diperlukan suatu nilai suci tertinggi agar keteraturan sosial terjaga. Fungsi sosial ini berkaitan dengan jaminan keadilan, keutuhan, dan kelangsungan identitas sosial. )a menjadi proyeksi suatu orde sosial yang belum mengalami kontradiksi, karena adanya pandangan dunia yang kekal ratified realms sebagai tatanan yang dipertahankan dalam menghadapi gejolak-gejolak

temporal. Ketiga, agama dapat mengembangkan

keterikatan emosional atau komitmen sosial. Komitmen berkaitan erat dengan agama, membawa kehendak bersama, seperti yang dilakukan oleh suku bangsa tertentu dalam memperkuat solidaritas sosial. )a menjadi pegangan emosional dalam pemusatan identitas yang serba banyak. Keempat, agama, terutama dalam ritual, dapat menegakkan nilai kebersamaan. Ritual memberikan rasa memiliki dan identitas bagi manusia dalam berkelompok, ia merupakan bentuk pengulangan

tindakan, pengucapan dan gerakan yang

mempertahankan obyek sakralisasi.

Berdasarkan keempat kategori itu, Mol melihat agama sebagai sakralisasi identitas , yakni keyakinan, loyalitas, dan komitmen sosial yang memperteguh ikatan dari berbagai unsur organisasi sosial, sehingga setiap unsur itu semakin kohesif. Dalam tataran fungsi, mekanisme sakralisasi berkontribusi membangun konsolidasi pada setiap unsur. Agama menjembatani

(20)

kesenjangan itu dan memadukan unsur-unsur yang bertentangan di masyarakat melalui sakralisasi identitas, yang meliputi mitos, ritual, komitmen, dan transedentalisasi dunia yang menjamin kelangsungan hidup masyarakat.

)nterpretasi sosial Mol tentang sistem-sistem kepercayaan mengajukan suatu kerangka seperangkat aturan moral yang diberi keabsahan. Kerangka-kerangka ini dikembangkan untuk menarik dan mengikat berbagai kelompok masyarakat serta bertujuan untuk meyakinkan kelompok dalam situasi-situasi tertentu, seperti juga bahasa dan peradaban manusia. Sistem kepercayaan atau agama bukan merupakan hasil pemikiran seseorang, melainkan hasil dari pemikiran bersama atau mengenai eksistensi kolektif. Agama dan identitas dengan demikian, memberikan pengertian sesuatu yang dianggap ada given yang diungkapkan dalam rupa kepentingan, cita-cita, nilai dan pengetahuan, tercakup identitas yang dipakai oleh individu dalam menginterpretasikan pengalaman-penalaman hidupnya sebagai anggota kelompok di masyarakat.

. . Etnik dan Agama Sebagai Identitas

Dalam pada itu A. Liliweri membagi identitas menjadi tiga, yaitu pertama, identitas pribadi; kedua identitas sosial, dan ketiga identitas budaya. )dentitas

)bid., - .

(21)

pribadi adalah identitas yang muncul berdasarkan keunikan dan karakteristik individu yang berbeda dengan orang lain, seperti bakat, kemampuan, minat dan pilihan pribadi dalam hidupnya. Oleh karena itu dapat dikatakan setiap individu manusia memiliki bakat, selera dan minat yang berbeda-beda yang menjadi keunikan identitasnya. Sementara identitas sosial terbentuk karena individu menjadi anggota kelompok dalam suatu kebudayaan di masyarakat, antara lain kelompok yang berdasarkan gender, kelompok usia, kelas sosial, kelompok profesi, kelompok agama yang dihubungkan dengan dengan wilayah tertentu, misalnya gereja atau masjid yang menunjukkan realasi asosiatif kelompok agama dengan tempat ibadah yang disebut jamaah. )dentitas budaya merupakan karakteristik yang muncul karena individu menjadi anggota suku bangsa atau etnik dan kebudayaan tertentu yang menjadi asal usulnya di mana ia dilahirkan dan berkoloni. )dentitas budaya meliputi proses

Etnik sebagai kelompok sosial dicirikan dari atribut-atribut yang beragam, seperti agama, sekte, kasta, daerah, bahasa, nasionalisme, keturunan, ras, warna kulit dan kebudayaan. Atribut-atribut itu dapat terwujud dalam bentuk tunggal, dapat pula merupakan kombinasi dengan yang lain untuk mendefinsikan kelompok etnik dan etnisitas. Ada enam karakteristik etnik, yaitu, nama kolektif, nenek moyang, sejarah kolektif, kebudayaan unit kolektif, keterkaitan dengan teritori, dan sentimen solidaritas. Namun dalam soal keterkaitan dengan teritori, adalah manakala etnisitas tidak dapat mengaitkan dirinya dengan teritori, melainkan hanya kesatuan kultural yang berada di luar teritori nenek moyangnya, seperti etnik Yahudi di Eropa, atau etnik Arab dan Tionghoa di )ndonesia yang lahir dari migrasi sosial. Etnik hasil migrasi sosial ini yang disebut kesatuan kultural tanpa teritori. Lih., T.K. Oomen, Kewarganeraan, Kebangsaan dan

Etnisitas: Mendamaikan Persaingan Identitas, diterjemahkan oleh Munaban

(22)

pembelajaran dan penerimaan terhadap tradisi, ciri-ciri bawaan, bahasa, agama, dan turunan dari kebudayaan tertentu. Misalnya dapat dikatakan bahwa orang Jawa memiliki identitas budaya yang ramah dan sopan santun, atau orang Batak memiliki identitas budaya tegas dan terbuka. Orang Jawa menganut berbagai macam agama, sementara orang Batak kebanyakan beragama Kristen, dan seterusnya

Dalam kaitannya dengan pergumulan agama dan etnik sebagai identitas budaya yang terjadi di tengah krisis, artikel Taufik Abdullah mengenai )dentity Maintenance and )dentity Crisis in Minangkabau dapat menjelaskan kemunculan historis dari pembentukan berbagai konfigurasi identitas antara adat istiadat

Minangkabau dan agama )slam . Abdullah

mengemukakan beberapa contoh menarik dari hubungan yang kompleks antara sistem kekerabatan, agama dan adat istiadat di tengah krisis identitas. Dalam tulisaan itu, ia mengemukakan beberapa contoh mengenai suatu gagasan yang diprakarsai oleh ulama Minangkabau, seorang imam dari mazhab Syafi i di Mekah yang hendak mengadakan perubahan menyeluruh pada struktur adat Minangkabau. Caranya dengan menolak legalitas agama terhadap adat istiadat matrilineal.

A. Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya

Yogyakarta: LKiS, , - .

M. Danial Balya, Tinjauan Kritis Terhadap....

(23)

(al itu mengakibatkan timbul penolakan keabsahan kedudukan penghulu sebagai kepala suku yang ditandai dengan tradisi kepemilikan tanah disamping mewarisi, baik hak maupun sebutan penghulu sebagai fihak dari garis keturunan ibu. Namun secara historis suatu proses sangat lambat sudah berjalan dalam usaha pemecahan konflik yang timbul antara adat istiadat dengan agama. Dasar dari konservasi legal legal conservation di Minangkabau sampai saat ini masih terletak pada kemungkinan individu memainkan pelbagai peran dalam berbagai situasi. Misalnya individu dapat berperan sebagai anak dari ayahnya dan juga berperan sebagai keponakan paman dari pihak ibu. Ketegangan yang timbul dari adat sebagai sesuatu yang mempunyai kewenangan historis dan tradisi sampai kini memberikan kesempatan munculnya proses evaluasi yang memang memenuhi tuntutan zaman.

(ubungan identitas agama dan etnik juga ditemukan dalam dunia Kekristenan Batak di Sumatera Utara, yaitu ketika konsep-konsep bahasa Kekristenan Alkitabiah mengalami proses pribumisasi ke dalam tradisi Batak Simalungun. Proses pribumisasi muncul, terutama dalam penggunaan kata Allah yang bersifat ilahiah ke dalam konsep teologi lokal Batak Simalungun, dengan kata Naibata yang berarti orang tua kita dalam memanggil Tuhan, yang menjadi bagian dari pergulatan

(24)

Gereja Protestan menemukan identitasnya dalam budaya kekerabatan suku Batak Simalungun.

Agama sebagaimana etnik yang telah dijelaskan pada pembahasan teoritis sebelumnya juga merupakan sistem simbol dari suatu komunitas yang hidup di masyarakat,yang pada akhirnya membentuk jatidiri sosial. Jika identitas sosial dari agama dan etnik dikaitkan dengan pandangan interaksionisme simbolik yang digagas oleh George (erbert Mead, maka keduanya memiliki persamaan, terutama bagaimana konsepsi diri manusia terbentuk dalam berinteraksi. Manusia dalam berinteraksi selalu saling menerjemahkan dan mendefinisikan tindakan sosialnya. Bukan hanya sekedar reaksi belaka dari tindakan seseorang terhadap orang lain namun juga pada interaksi-interaksi yang terjadi antar individu dan antar kelompok. Respon individu tidak dibuat secara langsung terhadap tindakan orang lain namun didasarkan atas makna yang diberikan terhadap tindakan orang lain. )nteraksi antar individu maupun kelompok, dengan demikian dilakukan dengan penggunaan simbol-simbol, interpretasi atau berusaha untuk saling memahami maksud isarat dari tindakan sosial masing-masing. )nteraksionisme simbolik juga dapat melahirkan identitas simbolik melalui hasil internalisasi individu terhadap nilai-nilai, makna dan

Martin Lukito Sinaga, Identitas Poskolonial Gereja Suku Dalam

Masyarakat Sipil, Yogyakarta: LKiS, , - .

George Ritzer, Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda

(25)

pandangan orang lain atau kelompok tertentu melalui proses pengambilan peran orang lain terutama yang dianggap penting significant other , yang selanjutnya membentuk pengetahuan dalam cara berpikir.

Pandangan interaksionisme simbolik cenderung mengambil model hubungan kausalitas, di mana tindakan dan interaksi manusia yang menghasilkan makna, bukan pada proses mental yang terisolasi. Manusia mempelajari simbol sekaligus makna dalam berinteraksi dengan merespon simbol melalui proses berfikir dalam memahami bahasa, baik bahasa isarat maupun kata-kata sebagai sistem simbol yang begitu luas. Kata-kata menjadi simbol karena digunakan untuk memaknai berbagai hal, baik tindakan, obyek dan kata-kata lain hadir dan memiliki makna hanya karena mereka telah dan dapat dilukiskan melalui penggambaran kata-kata.

Melalui simbol memungkinkan individu

berhubungan dengan dunia materi dan dunia sosial, karena dengan simbol individu memberi nama, membentuk kategori dan mengingat obyek yang ditemui dalam menata dunia sosial. Selain itu simbol juga meningkatkan kemampuan individu mempersepsikan lingkungan dan aktor agar mengetahui beberapa bagian lingkungan daripada yang lain. Simbol juga meningkatkan kemampuan berfikir, meskipun seperangkat simbol

Lalu Muhammad Arif, Identitas Sosial Tokoh Adat Islam ‘Watu Telu”

Di Bayan, Lombok Utara Yogyakarta: U)N Sunan Kalijaga, , ; George

(26)

memungkinkan terbatasnya kemampuan berfikir. Dalam hal ini bahasa lebih banyak berperan dalam meningkatkan kemampuan ini, yakni kemampuan berfikir yang dipahami sebagai interaksi simbolik dengan diri sendiri. Simbol dapat meningkatkan kemampuan individu dalam memecahkan masalah. Manusia dapat berfikir melalui beragam tindakan alternatif simbolik sebelum benar-benar melakukan. Kemampuan ini dapat mengurangi peluang dari kesalahan berat. Penggunaan simbol memungkinkan aktor melampaui ruang, waktu dan bahkan pribadi mereka sendiri. Melalui penggunaan simbol, individu dapat membayangkan tentang hidup di masa lalu maupun di masa depan. Selain itu individu dapat melampaui pribadi mereka dan membayangkan seperti apa dunia dari sudut pandang orang lain. Simbol juga memungkinkan individu membayangkan realitas metafisis, seperti surga dan neraka. Dan yang paling umum simbol memungkinkan individu menghindar dari perbudakan yang datang dari lingkungan.

Pokok perhatian dari interaksionisme simbolik adalah dampak makna dan simbol pada tindakan serta interaksi manusia. Manusia memiliki dua perilaku yaitu tertutup dan terbuka. Perilaku tertutup adalah proses berfikir yang melibatkan simbol dan makna. Sedangkan perilaku terbuka adalah perilaku aktual yang dilakukan oleh individu. Perilaku tertutup menjadi pokok perhatian

(27)

terpenting dari interaksionisme simbolik, sementara perilaku terbuka menjadi pokok perhatian para teoritisi pertukaran atau behavioris tradisional.

Makna dan simbol memberi karakteristik khusus pada tindakan sosial dan interaksi secara timbal balik. Dengan kata lain, ketika melakukan tindakan, individu juga mencoba memperkirakan dampaknya pada individu lain. Dalam proses interaksi, secara simbolis individu mengkomunikasikan makna dan mengarahkan pada respon tindakan berdasarkan penafsiran, sehingga terjadi proses saling mempengaruhi.

Pandangan interaksionisme simbolik tidak terlepas dari studi kebudayaan, terutama perhatiannya yang terpusat pada tiga masalah pokok kebudayaan, seperti produksi makna kultural, analisis tekstual makna dan studi kebudayaan yang dijalani, serta pengalaman yang dijalani. Pada ranah ini, studi kebudayaan diarahkan pada seluruh bentuk kebudayaan, termasuk karya seni, musik populer, sastra populer, berita televisi dan media massa.

. . Identitas dan Perubahan

)dentitas tidak hanya dibentuk namun juga mengalami perubahan melalui proses adaptasi yang bersifat dialektika. Peter L. Berger dan Thomas Luckman

(28)

menjelaskan bahwa identitas adalah unsur kunci realitas subyektif dan berada dalam hubungan dialektis dengan masyarakat. )dentitas dibentuk oleh proses sosial; identitas dibentuk, diubah, dan disesuaikan oleh hubungan-hubungan sosial . )ni artinya melalui proses sosial yang bersifat dialektis, identitas sosial dibentuk bahkan mengalami perubahan struktur ketika berinteraksi sosial dengan dunia luar atau lingkungan sosial. Oleh karena itu proses sosial sendiri dipengaruhi oleh struktur sosial yang membentuk, mengubah dan mengalami penyesuaian identitas. )dentitas individu juga secara sosial dikonstruksi oleh kondisi fisik dan karakteristik biologisnya sebagai makhluk yang hidup berkelompok. )nteraksi antara manusia dan lingkungan sosial juga merupakan suatu bentuk hubungan yang khusus, yakni melalui proses dialektika yang terus-menerus antara manusia sebagai makhluk hidup di satu sisi, dengan lingkungan situasi sosio-historisnya di sisi lain. Proses dialektika sosial dalam konstruksi dunia ini berlangsung dalam dua arah, yaitu ke luar adalah dialektika antara individu dengan lingkungan sosial, dan ke dalam adalah dialektika antara kebutuhan fisik individu dengan identitasnya yang terbangun secara sosial.

Peter L. Berger, and Thomas Luckman, The Social Construction of

Reality New York: Anchor Book. , .

(29)

Dalam konstruksi sosial, identitas lahir sebagai hasil konstruksi yang berulang-ulang oleh karena pengaruh perubahan yang terkait dengan dimensi perubahan politik, sosial dan kebudayaan yang melingkupinya. Oleh karena itu, P. J. Burke, menegaskan identitas terkait dengan entitas individu maupun lingkungan sosial. L. Donskis menambahkan identitas bersifat tidak tetap, karena dapat berubah dari sekedar pilihan umum bergeser menjadi elemen identitas majemuk, yang lahir dari keterbukaan kontinuitas dan komunikasi sosial antar individu di masyarakat. )ni artinya identitas merupakan hasil konstruksi makna, nilai dan pengetahuan yang mengalami perubahan sehingga melahirkan atribut kebudayaan yang majemuk.

. . Identitas Sebagai Studi Sosiologi Agama

Dari uraian di atas dapat diambil benang merah bahwa identitas sosial pada mulanya merupakan kajian psikologi sosial yang bermula dari pemahaman konsep diri individu yang lahir dari kesadaran psikisnya di tengah dunia sosial. Namun seiring dengan perkembangan zaman, ia juga merambah sebagai kajian sosiologi agama , terutama jika studi tentang identitas

P.J. Burke, and J.E. Stats, Identity Theory Oxford: Oxford University Press, , - .

L. Donskis, Troubled Identity and the Modern World New York: McMillan, , .

(30)

dikaitkan dengan kehidupan agama sebagai ikatan sosial yang mengintegrasikan kelompok. Secara historis teori identitas berakar pada studi identifikasi kelompok, perbandingan kelompok, perbedaan anggota di masing-masing kelompok dalam berinteraksi. Ketika identitas terkait dengan tindakan kolektif dalam kelompok, ia menjadi identitas kolektif, terutama hubungan interaksional antar kolektivitas dengan kekuatan eksternal. Kekuatan eksternal di sini dapat berupa globalisasi yang dapat menghasilkan perubahan pada identitas kelompok di masyarakat.

Pada komunitas tempat ibadah yang menjadi tema pokok studi ini, identitas komunitas tem;pat obadah itua dibentuk oleh ajaran agama yang bertemu dengan etnik Jawa. Tentu komunitas ini sebagaimana komunitas-komunitas agama pada umumnya, -jika dilihat dari pikiran Durkheim tentang hubungan pembentukan agama dan masyarakat dalam evolusi sosialnya-, selalu menghadirkan tiga ciri utama, yaitu pertama, sistem kepercayaan, pandangan dunia atau pemikiran religius yang membentuk ide awal atau nilai dasar komunitas, sehingga memiliki cita-cita dan tujuan sosialnya. Kedua, sistem kepercayaan, pandangan dunia atau pemikiran religius itu hanya dapat terpelihara dan memperoleh perwujudan sosialnya melalui tindakan yang terus

Muhammad Johan Nasrul (uda, Teori Psikologi Sosial Makro

(31)

menerus dalam rupa ritual, kebiasaan, liturgia atau tradisi yang menghasilkan corak kebudayaan komunitas. Terakhir, yaitu melalui pemeliharaan pandangan dunia atau sistem kepercayaan yang diterjemahkan ke dalam realitas sosial dalam bentuk ritus dan tradisi upacara yang dipraktekkan, komunitas agama hadir dan tumbuh dalam dunia sosialnya yang bersifat unik.

Namun yang menjadi analisi pokok dari studi komunitas agama yang berbasis pada tempat ibadah ini, ialah manakala identitas komunitas di satu sisi mempunyai ikatan religius dan kultural dengan masa lampaunya, namun di sisi lain ia menghadapi tantangan perubahan ketika berhadapan dengan lingkungan eksternal, yakni globalisasi. )ni artinya terjadi hubungan trialektika antara etnisitas dan agama di satu sisi, dan di sisi lain globalisasi yang hadir ke dalam komunitas tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

COMPARING SCIENCE VIRTUAL AND PAPER- BASED TEST TO MEASURE STUDENTS’ CRITICAL THINKING ON LIVING THING AND ENVIRONMENTAL SUSTAINABILITY.. Universitas Pendidikan Indonesia

Berdasarkan Berita Acara Penetapan Pemenang dari Pokja ULP Kegiatan Pengembangan Dan Pengelolaan Sarana Prasarana Penunjang Jalan Pekerjaan Paket 9 - Pemasangan PAL LPJU

 Cairan koloid digunakan pada pasien dengan perembesan plasma hebat, dan tidak ada respon pada minimal volume cairan kristaloid yang diberikan.  Volume cairan rumatan

Bank BNI (Persero) berdasarkan penilaian prestasi kerja dalam pengembangan karier, yang dapat dilihat dari jawaban mereka bahwa setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan, dapat

ditunjukan testee terhadap materi atau bahan yang diujikan. Pengolahan dan pengubahan skor mentah hasil tes hasil belajar menjadi nilai standar. Ada dua hal penting yang harus

Rumusan dapatan kajian menunjukkan bahawa terdapat hubungan yang signifikan antara 'burnout' dengan tahap kepuasan kerja dalam kalangan guru-guru sekolah rendah di daerah

Proses perdamaian ini harus didasarkan pada maksud dan kehendak yang baik dari masing-masing pihak yaitu pihak tersangka maupun pihak korban untuk berdamai

Further studies need to be carried out using higher quality feedstuffs as fermentation substrate to obtain fermented feeds having nutritional contents,