• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB V Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Menguak Identitas Lesbian di Salatiga dalam Perspektif Erving Goffman T1 BAB V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB V Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Menguak Identitas Lesbian di Salatiga dalam Perspektif Erving Goffman T1 BAB V"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

25 BAB V

PEMBAHASAN

Setelah peneliti menjabarkan temuan di lapangan serta penjabaran yang relevan pada bab

sebelumnya, pada bab ini penulis akan menggambarkan identitas yang dibawa atau ditunjukan

oleh lesbian di kota Salatiga dengan melihat identitas tersebut dari sudut pandang teori

dramaturgi oleh Erving Goffman. Teori dramaturgi sendiri melihat bahwa terdapat 2 (dua) sisi

yang ada dalam pribadi seseorang dan dibedakan menjadi bagian depan (front) dan bagian belakang (back) (Goffman,1959). Pada bab pembahasan ini peneliti akan mengkaitkan bagian

depan teori dramaturgi dengan teori komunikasi yaitu Teori Muka oleh Sandra Metts dan

William Cupach dalam teori komunikasi interpersonal dan mengkaitkan bagian belakang dengan

teori komunikasi intrapersonal.

5.1 Bagian Depan (front) Identitas Lesbian di Salatiga

Dalam Presentation of Self in Everyday Life yang ditulis oleh Erving Goffman (1959), bagian depan dalam teori dramaturgi merupakan bagian yang dapat dilihat secara langsung

oleh “penonton” atau dapat juga dikatakan bahwa bagian ini merupakan bagian yang

memang dengan sengaja ingin diperlihatkan oleh sang aktor. Bagaimana pun uniknya sifat

seseorang dalam identitas psikologisnya, pasti ia memiliki diri sosial atau identitas sosial

dan dapat pula disebut sebagai “penampilan” yang berusaha untuk ditampilkan selama

berinteraksi di publik. Setiap individu akan menyadari bahwa identitas sosial sebagai “penampilan” tersebut dibangun pula secara sosial yang juga merupakan dampak dari kepedulian sosial (Budyatna,2015:211-212).

Pada bagian depan ini terdiri dari 3 (tiga) hal pendukungnya, yaitu setting, peralatan untuk mengkespresikan diri dan penampilan diri. Setting dalam teori ini mengacu pada hal-hal atau benda mati, perabotan, dekorasi atau tata letak sebagai penunjang bagi sang aktor

dalam berperan. Selain itu, setting juga dapat digambarkan sebagai letak seperti ruangan kelas, restoran, rumah, dan lain-lain (Budyatna,2011:215).

Dalam menguak identitas lesbian di kota Salatiga ini, setiap lesbian yang menjadi

(2)

26 depannya ketika mereka berada di lingkungan rumahnya. Lingkungan rumah yang

dimaksudkan adalah ketika mereka berada di tengah-tengah keluarga terdekatnya atau pun

dengan para tetangga di sekitar rumahnya tersebut. Hal ini berbeda dengan Alin. Alin tidak

menggunakan setting tertentu dalam menampilkan identitasnya. Hal ini disebabkan karena orangtuanya sudah mengetahui perbedaan orientasi seksual Alin dan tidak berusaha untuk

membatasi atau melarangnya.

“Ya tau aja sendiri. Kan kalo sama pacarku kan ya sering tak ajak main ke rumah. Terus ibuku lama-lama mungkin menyimpulkan sendiri. Terus ya taunya dari situ. ... Ya cuma tanya, iya apa nggak. Terus aku bilang iya. Tapi ibuku ya nggak marah, nggak piye-piye. Cuma bilang ya udah. Gitu tok.”1

Di samping itu, teman-temannya pun mengetahui perbedaan orientasi seksualnya sehingga

ia tidak perlu menutupi diri tentang hal tersebut. Setiap individu memiliki keunikan dalam

identitas psikologisnya. Dalam identitas tersebut, manusia pun memiliki diri sosial, gambaran umum atau yang dapat disebut pula sebagai “penampilan” yang akan ditunjukan atau ditampilkan selama melakukan interaksi (Budyatna,2015:211-212). Seperti halnya

Ambar dan Rika. Ketika berada di setting mereka yaitu di lingkungan rumahnya, Ambar dan Rika akan menampilkan diri mereka dengan sewajar mungkin selayaknya anak perempuan

pada umumnya. Seperti misalnya Ambar. Ia berusaha untuk tidak merokok di rumahnya.

Sedangkan Rika menghindari topik-topik pembicaraan yang berkaitan dengan orientasi

seksualnya di rumah. Hal ini disebabkan karena penampilan mereka tersebut telah dibangun

secara sosial oleh lingkungan sosial disekitarnya.

Ambar berusaha untuk menutupi perbedaan orientasi seksualnya di lingkungan rumahnya

karena ia menyadari bahwa lingkungan rumahnya tersebut tidak dapat menerima adanya

perbedaan orientasi seksual seperti yang dimilikinya. Hal ini terbukti dari penggambaran

ibunya tentang Fita, salah seorang warga yang secara tidak sengaja diketahui adalah seorang

lesbian. Secara langsung ibunya mengatakan bahwa lebih baik ibunya meninggal apabila

Ambar adalah seorang lesbian karena Ambar berpenampilan hampir sama dengan Fita

(memiliki potongan rambut cepak dan berpenampilan tomboy).

(3)

27 Hal yang sama juga terjadi pada Rika. Rika yang awalnya sangat terbuka terhadap

perbedaan orientasi seksualnya baik di rumah maupun di luar rumah, mulai menutupi hal

tersebut ketika ia ketahuan berpacaran dengan teman kampusnya sehingga ia dituntun untuk

hidup normal oleh kedua orangtuanya.

“Dulu, mamaku tahunya dari itu, apa.. temennya dia di sekolah. Kan dia guru, nah tahunya ya dari temen sesama guru itu. ... dimarahin blablablaa.. Diomongin

„kamu tu harus hidup yang normal‟. Lha aku nggak tahu, hidup yang normal tu yang kaya‟gimana. ...”2

Selain setting, pada bagian depan yang digambarkan Erving Goffman pun memiliki peralatan untuk mengekspresikan diri. Peralatan yang dimaksudkan untuk mengekspresikan

diri ini merupakan hal-hal yang melekat pada sang aktor seperti halnya cara berpakaian,

postur tubuh, usia, jenis kelamin, gaya rambut, gestur, hingga ras. Pada lesbian yang

menyebut diri mereka sebagai butchy dapat dilihat secara langsung bahwa mereka akan

berpakaian layaknya seorang laki-laki. Model pakaian yang dipilih adalah kaos atau baju

atasan dengan model pakaian laki-laki atau pakaian uni-sex sehingga tidak menonjolkan lekukan tubuhnya. Umumnya pakaian yang digunakan sedikit longgar sehingga bagian dada

atau payudara tidak akan menonjol. Model celana yang dipilih pun adalah celana gombrang

baik celana panjang maupun celana pendek. Untuk gaya rambut, seorang butchy akan

memilih gaya rambut cepak seperti model rambut laki-laki3. Hal ini akan bertolak belakang

dengan peralatan yang digunakan oleh femme dalam mengekspresikan dirinya. Femme akan

cenderung berpenampilan feminine dengan pakaian yang dapat menunjukan bentuk atau

lekukan tubuhnya. Seperti misalnya kaos ketat dan juga celana jeans model pensil. Pilihan

pakaian yang digunakan adalah pakaian yang sesuai dengan ukuran badan dan body-fit. Sedangkan dari model atau tatanan rambutnya, sebagian besar femme memiliki rambut yang

panjang4.

Pada bagian depan ini, Erving Goffman pun juga berusaha melihat dari sisi penampilan

diri. Penampilan diri yang dimaksudkan lebih mengarah pada penampilan dan sikap.

2 Hasil wawancara dengan informan 3 di Food Court Kampoeng Kemiri pada tanggal 9 Juni 2017 3 Hasil observasi pada penampilan butchy

(4)

28 Penampilan mengacu kepada rangsangan yang memiliki fungsi untuk membuat para

penonton menyadari status sosial dari sang aktor. Di lain pihak, sikap mengacu kepada

rangsangan yang dapat berfungsi sebagai peringatan terhadap apa yang diharapkan sang

aktor akan terjadi dalam sebuah interaksi (Goffman,1959). Sikap yang ditunjukan aktor

dapat berupa kelembutan, agresifitas, sikap ramah dan lain sebagainya. Hal ini akan nampak

pada saat sang aktor melakukan interaksi dan dapat ditunjukan melalui ekspresi wajah atau

parasnya, postur atau pun gerak isyarat tubuhnya (Budyatna,2015:215). Seperti halnya

dengan Rika yang memiliki setting di rumahnya. Di lingkungan rumahnya yang notabene

kedua orangtuanya hanya mengetahui bahwa Rika sedang dalam proses untuk berubah,

maka ketika di rumah ia menjadi sedikit lebih pendiam dan lebih manja. Selain ia anak

perempuan, ia juga anak bungsu dan hanya tinggal ia satu-satunya anak yang tinggal di

rumah. Sehingga ia akan menjadi lebih manja ketika berada di rumah. Di samping itu, ia

mulai jarang mengajak pasangannya untuk berkunjung ke rumahnya sejak kedua

orangtuanya mengetahui perbedaan orientasi yang dimilikinya dan menuntutnya untuk

menjadi „normal‟5

. Berbeda halnya dengan sikap yang ditunjukan oleh Ambar. Seperti yang

kita ketahui bahwa keluarga Ambar tidak mengetahui perihal perbedaan orientasi seksual

yang dimilikinya. Di lingkungan rumahnya, Ambar berusaha untuk berperilaku sewajar

mungkin layaknya seorang perempuan heteroseksual di kampungnya. Seperti halnya ketika

diadakan perayaan tujuhbelasan di kampungnya dan ia pun menjadi pembawa acaranya.

“Ya nggak masalah sih. Nek di kampung kadang kan aku juga nge-MC. Kayak acara-acara tujuhbelasan gitu gitu. Kalau pas suruh pake rok ya aku pake rok. Pokoknya pake baju yang lebih feminine, ya pantes-pantese aja gimana. Dandan juga, ning yo tipis-tipis aja6.

Pada perayaan tersebut ia tampil dengan dress dan menambahkan makeup tipis di wajahnya. Selain itu, Ambar berusaha untuk bersikap manis dan lebih santun ketika berada di

lingkungan rumah. Hal ini bertolak belakang dengan penampilannya sehari-hari7, serta

bertolak belakang dengan keinginan pribadinya karena ketika salah seorang rekan kerjanya

meminta Ambar untuk sesekali berpenampilan feminine pun ia menolak.

5 Hasil wawancara dengan informan 3 : Rika tanggal 9 Juni 2017

(5)

29 “...Wong kalotak bilangin „mbok kowe ki rodok feminin sithik‟ malah bilang „hiihh

geli‟...”8

Dalam setiap interaksinya, masing-masing informan akan melakukan interaksi yang

terkoordinasi. Seperti halnya interaksi yang dapat kita jumpai dalam institusi-institusi di

sekitar kita. Ada pun Sandra Metts dan William Cupach dalam Teori-Teori Mengenai Komunikasi Antar Pribadi yang ditulis oleh Prof. Dr. Muhammad Mudyatna, M.A memberikan contoh institusi-institusi yang dimaksudkan tersebut misalnya adalah rumah

sakit, tempat kerja hingga restoran. Masing-masing personil dalam isntitusi tersebut mampu

mengatur kegiatan-kegiatan mereka hingga sedemikian rupa untuk melaksanakan peran

mereka. Seperti misalnya staf restoran (pelayan, pemilik, juru masak) yang dengan

sedemikian rupa dapat melaksanakan peran-peran mereka secara terkoordinir. Hal serupa

juga terjadi ketika sang aktor yang mempersiapkan diri mereka untuk tampil di atas

panggung. Setiap tindakan atau perbuatan telah direncanakan baik secara sadar maupun

tidak sadar sehingga mampu menciptakan kesan tertentu kepada penonton atau orang lain

mengenai siapa diri kita agar dapat diterima di lingkungan sosial tersebut.

Ketika seseorang “berpenampilan”, tidak selamanya penampilan tersebut diterima secara baik di tengah masyarakat. Terkadang seseorang bisa berada pada situasi “mendapat malu” atau losing face ketika penonton atau orang lain tidak sepakat dengan apa yang kita tampilkan. Seperti misalnya ketika seseorang sedang berkencan dan gagal karena terlalu

banyak berceloteh dan membuat lelucon, hingga mungkin berbuat bodoh9. Peristiwa losing face tersebut pula yang dialami oleh Rika hingga akhirnya ia ketahuan oleh kedua orangtuanya bahwa ia memiliki perbedaan orientasi seksual dan dituntut untuk menjadi „normal‟ oleh kedua orangtuanya. Hal tersebutlah yang dihindari oleh Ambar agar jangan sampai orangtuanya mengetahui perbedaan orientasi seksualnya.

“Ya pokoknya jangan sampe pada tahu. Apalagi ibuku. Eh, tapi ibuku pernah diomongi orang-orang gitu sih. Terus tanya mbek aku. Ya aku mestinjawab endak lah. Ibuku ki juga pernah bilang nek aku sampe‟ kaya‟ Fita (bukan nama

8 Hasil wawancara dengan informan 4 : Imanuel di Bulu, Tegalrejo pada tanggal 30 Mei 2017

9 Budyatna, Muhammad.2015.Teori-teori Mengenai Komunikasi Antarpribadi. Prenadamedia Gorup: Jakarta

(6)

30 sebenarnya), mending ibuku mati aja. Jangan sampe lah pokoknya. Fita ki ya sama,

lesbian juga. Di kampung udah pada tahu. Terus kan aku penampilane ya kaya‟

gini. Rambut pendek banget kaya‟ cowok. Terus ibuku ngomong gitu. Untunge ibuku ki orange kalau belum lihat sendiri ya belum percaya.”10

5.2 Bagian Belakang (back) Identitas Lesbian di Salatiga

Bagian belakang (back) menurut Goffman (1959) merupakan bagian di mana seorang individu atau sang aktor mempersiapkan dan menyimpan segala hal untuk penyelenggaraan

pertunjukannya di panggung. Dalam kehidupan sehari-hari, beberapa orang menjadikan

rumah atau kantornya sebagai bagian belakang kehidupannya. Rumah dan kantornya tersebut merupakan tempat di mana mereka mempersiapkan diri untuk tampil „di atas pentas‟ ketika nantinya hadir orang lain yang bekerja, atau pada peristiwa-peristiwa sosial lainnya

(Budyatna,2015:215). Namun bagian belakang yang ditunjukan oleh Ambar adalah ketika ia

berada di luar rumahnya 11. Begitu pula dengan Rika. Ambar menunjukan bagian

belakangnya ketika ia berada di kontrakan dan juga di tempat kerjanya. Sedangkan Rika

benar-benar menunjukan bagian belakangnya ketika ia berada di kampus atau ketika ia

berkumpul dengan teman-temannya12.

Ketika sebuah pesan komunikasi tentang “konsep diri atau identitas seorang lesbian” menjadi stimulus bagi pelakunya, maka setiap individu atau sang aktor mampu melahirkan

tanggapan yang beragam. Adanya perbedaan dalam memberikan tanggapan tersebut

disebabkan karena setiap individu memiliki keadaan diri yang berbeda-beda. Sehingga

sebuah pesan pun akan dimaknai berbeda oleh penerimanya bergantung pada karakteristik

penerimanya. Proses pengolahan informasi tersebut dalam komunikasi intrapersonal

meliputi sensasi, persepsi, memori dan berpikir (Rakhmat,2011).

1. Sensasi

Setiap individu memiliki perbedaan dalam mendapatkan atau menerima sensasi.

Perbedaan sensasi tersebut dipengaruhi oleh adanya perbedaan pengalaman atau

lingkungan budaya yang dilalui seseorang. Di samping itu ada pula pengaruh dari

perbedaan kapasitas alat indera yang berbeda. Perbedaan kapasitas alat indera pun

10 Hasil wawancara dengan informan 1 : Ambar di Depot Es Dhaw‟t pada tanggal 23 April 2017 11 Hasil observasi pada informan 1 di lingkungan ketja, kontrakan dan tempat-tempat umum

(7)

31 dapat memengaruhi perbedaan dalam memilih pekerjaan atau jodoh, jenis musik

yang didengarkan, atau hingga pada pilihan kita untuk mendengarkan saluran radio

tertentu.

Proses pengolahan informasi pada tahap sensasi ini mampu membangun konsep

diri atau identitas seseorang. Konsep diri muncul dalam proses komunikasi kita

dengan orang lain. Orang tua Rika merupakan sumber rangsangan yang dapat

membentuk konsep diri Rika ketika kedua orangtuanya menginginkan untuk

memiliki anak laki-laki. Ketika lahir seorang bayi perempuan, yaitu Rika, orang tua

Rika mendidik, mengajarkan serta memfasilitasi Rika layaknya seorang anak

laki-laki dengan bermain bola, mobil-mobilan, layang-layang dan mengajarkan beberapa

hal tentang otomotif. Meskipun berpenampilan layaknya anak perempuan pada

umumnya, namun konsep diri yang terbangun dalam dirinya adalah konsep diri

seorang anak laki-laki.

“...dulu tu kan papaku sebenernya pengen punya anak cowok to. Cuma ya keluarnya aku. Ya karena papaku pengen banget anak cowok, terus aku ya diajari sama papaku kayak anak cowok. Mainan-mainan yang dikasih ke aku juga maianan yang biasanebuat anak cowok.” 13

George Herbert Mead dalam Julia T. Wood (2013) menjelaskan bahwa terdapat

dua perspektif dalam kita mengembangkan konsep diri, yaitu perspektif dari orang

terdekat dan perspektif dari orang lain pada umumnya. Orang terdekat pada

umumnya adalah orang yang mampu memberikan makna tersendiri dan memiliki arti

khusus dalam kehidupan seseorang. Bagi bayi dan atau anak-anak, orang terdekatnya

dapat berasal dari keluarga dan atau pengasuh anak. Awal terbentuknya konsep diri

pada bayi atau anak diawali saat bayi atau anak tersebut mulai berinteraksi dengan

orang terdekatnya sehingga ia dapat belajar tentang bagaimana orang lain

memandang terhadapnya. Umumnya, anggota keluarga merupakan orang pertama

yang dapat memberikanpengaruh pada pembentukan konsep dri seseorang. Seperti

misalnya ayah, ibu, saudara kandung, atau dapat pula pengasuh anak. Berdasarkan

hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap Ambar, peneliti melihat bahwa

keluarga menjadi salah satu pengaruh yang penting dalam pembentukan konsep

(8)

32 dirinya sebagai lesbian. Hal ini dapat dilihat dari kepergian ayahnya, yang kemudian

dilanjutkan dengan kehamilan diluar pernikahan yang dialami kakak perempuannya,

serta keponakannya yang menghamili seorang gadis sebelum menikah.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada awal perjalanan hidupnya pun menjadi faktor pendorong

sebuah sensasi bagi dirinya dalam memilih pasangan.

“Ya karena aku lebih tertarik sama cewek. ... Soalnya juga pacaran sama cewek kan nggak beresiko”.14

2. Persepsi

Sensasi dan persepsi memiliki hubungan yang saling memengaruhi karena sensasi

merupakan bagian dari persepsi. Persepsi sendiri merupakan bagian dari pengalaman

seseorang berkaitan dengan suatu objek, peristiwa atau hubungan-hubungan tertentu

yang diperoleh melalui penyimpulan terhadap sebuah informasi dan penafsiran pesan.

Namun dalam penafsiran pesan tersebut juga diperlukan adanya atensi (perhatian),

ekspektasi, motivasi dan memori (Desiderato dalam Rakhmat,2011:50). Selain itu,

dalam persepsi juga terdapat dua faktor yang berperan dalam memengaruhi persepsi

itu sendiri, yaitu faktor fungsional dan faktor struktural.

2.1 Faktor fungsional

Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc dalam bukunya yang berjudul Psikologi Komunikasi menjelaskan bahwa faktor fungsional merupakan salah satu faktor yang bersifat personal. Dalam hal ini yang dimaksudkan sebagai faktor personal

yaitu dapat berasal dari kebutuhan atau pun pengalaman masa lalu. Secara

fungsional persepsi bersifat selektif. Seperti misalnya kesiapan mental yang

dimiliki satu inividu terhadap sebuah situasi akan berbeda dengan individu yang

lain. Dalam penelitian ini peneliti melihat bahwa kesiapan mental yang

digambarkan oleh Ambar, Alin dan Rika memiliki kesamaan, namun juga

terdapat perbedaan pada sisi tertentu berkaitan dengan identitas yang mereka

bawa dan tunjukan di tengah masyarakat. Hal yang menjadi kesamaan bagi

ketiga informan penelitian ini terletak pada kesiapan mereka dalam menghadapi

komentar yang muncul di tengah masyarakat tentang perbedaan orientasi yang

(9)

33 mereka miliki. Ketiga informan tersebut mengaku bahwa dalam berinteraksi di

tengah masyakat mereka cenderung cuek15.

“Ya nggak tahu pada piye. Nek aku kan santai. Sing penting aku koyo’ ngene. Meh konconan monggo, ora yo ra masalah. Aku sih santai orange.”16

“Nggak gimana-gimana mbak. Ya pada biasa aja. Aku juga biasa aja, kan juga pada tahu mbak kalo aku sukanya yang tomboy-tomboy gitu.”17

“..Yo .... mbuh ya.. Aku sih luweh. Singpenting kan aku emang kaya‟ gini. Meh piye?”18

2.2Faktor Struktural

Faktor struktural merupakan faktor yang berasal dari sifat stimulus tersebut

serta efek-efek yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Seorang individu

mampu mengorganisasikan stimulus berdasarkan konteksnya. Sehingga meskipun

stimulus yang diterimanya tidak lengkap, namun seorang individu tetap mampu

memberikan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimulus yang

dipersepsikan (Rohim,2009). Seperti halnya stimulus yang diterima oleh Ambar,

yaitu berupa peristiwa-peristiwa pada masa awal hidupnya tentang laki-laki yang

kemudian mengubah daya tariknya secara seksual. Begitu pun hal yang terjadi

dengan Rika ketika sejak sebelum lahir kedua orang tuanya menginginka bayi

laki-laki namun yang lahir adalah bayi perempuan dan kemudian dididik layaknya

anak laki-laki. Stimulus-stimulus ini menjadi pendorong munculnya perbedaan

orientasi seksual bagi informan dalam penelitian ini.

Penolakan terhadap perbedaan orientasi seksual yang diterima sebagai

feedback orang lain terhadap para informan dalam penelitian ini pun menjadi stimulus bagi informan dalam membentuk persepsi mereka. Rika yang pernah

ketahuan oleh kedua orangtuanya saat memiliki hubungan dengan sesama

perempuan akhirnya dituntut kedua orangtuanya untuk menjadi normal, menjalani

hidup yang normal. Namun di sisi lain, kehidupan normal yang diketahui oleh

15

Cuek = bersikap acuh atau tidak mempedulikan

16Hasil wawancara dengan informan 1 : Ambar di Depot Es Dhaw‟t pada tanggal 23 April 2017 17Hasil wawancara dengan informan 2 : Alin di Depot Es Dhaw‟t pada tanggal 23 April 2017

(10)

34 Rika adalah kehidupan sebagai lesbian yang memang selama ini ia jalani.

Sehingga pada akhirnya ia melakukan penyimpulan untuk mengurangi

keterbukaan identitasnya sebagai lesbian di rumahnya.

“...Di sidang gitu, dimarahin blablablaa.. Diomongin „kamu tu

harus hidup yang normal‟. Lha aku nggak tahu, hidup yang normal tu yang kayak gimana. Maksudnya dari kecil pun aku tahunya aku suka sama cewek gitu lho. ...”19

3. Memori

Memori memiliki peranan penting dalam memengaruhi persepsi maupun berpikir.

Memori sendiri merupakan sistem yang sangat terstruktur dan berperan dalam

merekam fakta-fakta yang ada. Fakta-fakta yang terekam ini mampu menjadi

pengetahuan dalam membimbing perilaku seseorang. Pada saat duduk di bangku

SMP, Ambar mengetahui bahwa saat ia melihat seorang perempuan dan perempuan

tersebut tersenyum padanya, ia merasa sangat gembira. Pengetahuan akan perasaan

tersebut membimbingnya untuk semakin tertarik dengan perempuan.

“Sejak SMP kayaknya. Dulu tu aku suka lihat cewek-cewek yang menurutku cantik gitu. Lha terus kalau pas pada tahu kalau takliatin pada senyum. Pas disenyumin tu rasane gimana ,,,,, gitu. Langsung seneng banget pokoke.”20

Rika pun mengetahui sejak ia kecil atau balita, ia memiliki ketertarikan dengan

perempuan dan bermula saat ia tertarik pada babysitter-nya. Hingga saat ini pun ia masih mengingat dengan jelas sosok babysitter-nya tersebut. Alin yang sejak duduk di bangku SD juga lebih sering bermain dengan teman laki-laki. Saat Alin ikut

menggoda anak-anak perempuan yang melintas di depan mereka, ia mengetahui

bahwa ia lebih tertarik untukmenggoda anak-anak perempuan yang terlihat tomboy.

Hal tersebut membentuk perilakunya dalam memilih pasangan (di samping

faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi perbedaan orientasi seksual yang dimilikinya).

Otak manusia dianalogikan sama dengan sebuah komputer. Dalam teori

pengolahan informasi (Information theory), informasi mula-mula disimpan di sensory storage (gudang penyimpanan inderawi), kemudian masuk ke memori jangka pendek (STM/short-term memory). Apanlia informasi tersebut dapat

(11)

35 dipertahankan di STM, maka informasi akan disimpan dan masuk sebagai memori

jangka panjang (Long-term memory). Memori jangka panjang inilah yang umumnya kita kenal sebagai ingatan.

4. Berpikir

Berpikir merupakan proses keempat atau terakhir yang berperan dalam

memengaruhi penafsiran kita terhadap stimulus. Berpikir yang kita lakukan

merupakan suatu proses yang melibatkan sensasi, persepsi dan memori kita. Di

samping itu, berpikir juga melibatkan penggunaan lambang, visual atau pun grafis.

Tujuan dari berpikir itu sendiri sebenarnya dilakukan agar kita dapat memahami

realitas dalam pengambilan keputusan, pemecahan masalah, dan menghasilkan

sesuatu yang baru.

Menentukan sebuah keputusan dapat memengaruhi atau menentukan masa depan

seseorang. Seperti halnya ketika seorang perempuan memutuskan bahwa memang ia

memiliki ketertarikan dengan sesama perempuan, maka keputusan yang dibuatnya

tersebut pun menjadikannya sebagai seorang lesbian. Ketika Rika menyatakan bahwa

ia tidak dapat percaya dengan siapa pun, hal tersebut memengaruhi hal yang berkaitan

dengan hubungan yang lebih intim yaitu dengan pasangannya.

“...aku membayangkannya jangka panjang. Misalnya temen masuk ke kamarku ya nggak apa-apa, main. Nah kalau nikah kan setiap waktu, tiap hari. Jadi aku harus cari orang yang nggak bakalan nyentuh barang-barangku ... dan aku juga bilang mbek pacarku sekarang kalau misalnya nikah besok aku bakal bangun rumah yang kamarnya sendiri-sendiri. Kamu nggak boleh masuk kamarku, tapi kalau aku masuk kamarmu boleh. Aku nggak tau sih perasaannya dia kayak apa pas aku ngomong gitu. Jadi mungkin orang susah nerima aku kayak gitu.”21

Pun ketika Ambar ditanyai tentang menikah oleh ibunya yang notabene tidak

mengetahui bahwa ia adalah seorang lesbian, maka ia memutuskan untuk mengatakan

bahwa ia akan menikah ketika semua keinginannya sudah tercapai.

“Yo aku bilang we, nek kepengenku wes kabeh, wes terlaksana, gek aku mikirkenikah. ...”22

(12)

36 Namun sejatinya ia sendiri pun sebenarnya hanya tidak ingin ibunya mengetahui

keadaan bahwa ia adalah seorang lesbian. Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc pun

menyebutkan beberapa poin bahwa:

Setiap keputusan selalu memiliki tanda-tanda umum seperti misalnya (1) keputusan tersebut merupakan hasil dari berpikir dan hasil usaha intelektual, (2) keputusan yang dibuat melibatkan pilihan-pilihan dari

berbagai alternatif, (3) keputusan selalu melibatkan sebuah tindakan nyata,meskipun pelaksanaannya dapat ditangguhkan atau dilupakan.

Setiap informan memiliki permasalahan yang berbeda-beda berkaitan dengan

perbedaan orientasi seksual yang mereka miliki. Pada kasus yang dialami Ambar,

keluarganya tidak mengetahui adanya perbedaan orientasi seksual yang dimilikinya.

Sehingga keluarganya beranggapan bahwa Ambar adalah perempuan heteroseksual. Di

sisi lain, Ambar pun sangat tidak menginginkan keluarganya untuk mengetahui

perbedaan orientasi seksualnya sehingga ia merasa perlu berusaha untuk menikah

dengan laki-laki sesuai keinginan ibunya.

“...Aku sih cuma pengen menuhi kepengene ibuku. Cuma sampe saiki yo angel sih. Nek aku mikire ya aku nggak bisa selamanya „menggok‟ gini terus. Suk mben yo kudu „lurus‟ meneh.”23

Pada kasus yang dialami Rika pun berbeda. Ketika orangtuanya terpaksa

mengetahui bahwa Rika adalah seorang lesbian, maka kedua orangtuanya menuntut

Rika untuk berubah dan hidup „normal‟. Sedangkan Rika sendiri tidak dapat

memahami dengan pasti kehidupan normal seperti apa yang memang diinginkan oleh

kedua orangtuanya. Setelah adanya permasalahan tersebut, Rika pun berusaha

berubah walaupun pada akhirnya ia tidak bisa. Sedangkan kedua orangtuanya hanya

mengetahui bahwa sejauh ini Rika masih dalam proses untuk berubah.

Sedangkan bagi Alin, yang menjadi permasalahan baginya bukan karena

keluarganya yang menolak perbedaan orientasi seksual yang dimilikinya. Namun

lebih kepada melanjutkan silsilah keluarganya karena ia adalah anak tunggal.

Dari hasil proses yang terjadi secara intrapersonal tersebut, setiap informan dalam

penelitian ini memiliki cara masing-masing dalam menunjukan dan menjaga

identitasnya. Adanya panggung belakang atau bagian belakang (back) dalam teori

dramaturgi yang dikemukakan oleh Erving Goffman (1959) menunjukan bahwa

(13)

37 Ambar dan Rika sebagai butchy akan lebih nyaman menunjukan identitasnya sebagai

lesbian ketika mereka berada di lingkungan kerja dan lingkungan kampus atau

dengan kata lain di depan teman-temannya. Mereka lebih percaya diri untuk

mengungkapkan identitasnya sebagai seorang lesbian dengan penampilan tomboy

mereka. Berbeda dengan Alin yang baik keluarga maupun lingkungan sosialnya

sudah mengetahui perbedaan orientasi yang dimilikinya. Sehingga Alin tidak perlu

Referensi

Dokumen terkait

Memperhatikan latar belakang yang telah diuraikan, terjadi kesenjangan antara ancaman pidana dalam Pasal 368 ayat (2) KUHP dengan putusan hakim dalam menjatuhkan

Sebagai daya tarik wisata pemerintah Kota Kediri telah mengelompokkan UMKM yang berbasis ekonomi kreatif, dimana UMKM ini menjadi produk unggulan Kota Kediriyang terdiri dari

Distribusi frekuensi merupakan salah satu cara untuk meringkas serta menyusun sekelompok data mentah (raw data) yang diperoleh dari penelitian dengan didasarkan pada

Dalam majlis pelancaran antologi cerpen Mahua V, Impian di Pelabuhan pada tahun 2005, Dato' Ong Tee Keat telah menyarankan kepada pihak Kementerian Pelajaran Malaysia dan Dewan

[r]

[r]

Skripsi yang berjudul : Pengaruh Frekuensi dan Awal Pemberian Pakan terhadap Efisiensi Penggunaan Protein pada Puyuh Betina (Coturnix coturnix japonica), dan

A Systemic Functional Linguistics (Sfl) Analysis Of Exposition Text As Teaching Material Written By Pre- Service Teacher. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |