1 BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian
Salah satu model baru pembangunan suatu bangsa adalah Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (Iptek). Model baru pembangunan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
mendampingi model pembangunan lama yang selama ini kita kenal yakni sumber
daya alam dimana dua model pembangunan ini berjalan beriringan tanpa dapat
dipisahkan, dalam artian bahwa dalam meningkatkan nilai tambah dan daya saing
dalam mengolah sumber daya alam dibutuhkan peranan iptek. Penguasaan iptek
inilah yang dimanfaatkan oleh negara-negara maju seperti Jepang, Korea Selatan dan
negara-negara lainnya yang sedikit sumber daya alamnya untuk memperoleh devisa
negara. Banyak negara di dunia ini telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang
sangat pesat karena keberhasilannya memanfaatkan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan kemudian mampu menggelorakan industri kreatif
melalui pengembangan Hak Kekayaan Intelektual.
Hak Kekayaan Intelektual, biasa disebut HAKI atau Intelectual Property Rights
(IPR), pada dasarnya merupakan hak yang lahir berdasarkan hasil karya intelektual
seseorang. HAKI merupakan konstruksi hukum terhadap perlindungan kekayaan
intelektual sebagai cipta karsa pencipta atau penemunya. Hak eksklusif yang
diberikan oleh hukum merupakan reward yang sesuai bagi inventor dan pencipta
HAKI. Melalui reward tersebut, orang-orang yang kreatif di dorong untuk terus
mengasah kemampuan intelektualnya agar dapat dipergunakan untuk membantu
2 Dalam perkembangan selanjutnya, HAKI menjadi komoditi ekonomi yang
sangat menjanjikan terutama bagi sejumlah negara yang menjadi produsen HAKI
(negara-negara maju). Alasan ini yang mendasari dimasukkannya HAKI kedalam
sistem perdagangan internasional. Sehingga, pada saat ini Indonesia sudah
mempunyai undang-undang yang mengatur tentang HAKI, contohnya dalam bidang
paten, merek, hak cipta, rahasia dagang, desain industri, desain tata letak sirkuit
terpadu, dimana undang-undang tersebut dimaksudkan guna untuk melindungi
kepentingan hukum dari karya intelektual.
Salah satu undang-undang yang khusus memberikan perlindungan hukum
terhadap para inventor dalam bidang teknologi yaitu Undang-Undang No. 14 Tahun
2001 tentang Paten. UU No. 14 Tahun 2001 yang dibentuk bukan saja bertujuan
memberikan perlindungan terhadap para inventor Indonesia maupun luar negeri,
namun hal ini sekaligus sebagai wujud komitmen Indonesia terhadap ratifikasi
Agreement Establishing the World Trade Organization yang didalamnya juga
meliputi pada aspek Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property
Rights (TRIPs) yang khususnya juga mengatur masalah paten. Dimana dengan diratifikasinya TRIPs ini, maka Indonesia dituntut untuk membentuk sekaligus
mengharmonisasi hukum nasional tentang paten itu sendiri. 1
Sejarah awal mula kelahiran paten di Indonesia berawal pada tahun 1910 dimana
Indonesia diberikan pengaturan paten berdasarkan undang-undang kolonial Belanda
yang dinamakan Octroiiwet. Setelah kemerdekaan, pada tahun 1979 Indonesia
3
meratifikasi perjanjian dengan World Intellectual Property Organization (WIPO)
yaitu badan PBB yang menangani urusan-urusan hak kekayaan intelektual.
Selanjutnya pada tahun 1983, Indonesia masuk menjadi anggota Paris Convention.
Pada tahun 1989 DPR mengesahkan Undang-Undang No. 6 Tahun 1989 tentang
Paten. Selanjutnya mengalami perubahan menjadi Undang-Undang No. 13 Tahun
1997. Pada tahun 2001, pemerintah memperbaharui UU Paten menjadi UU No. 14
Tahun 2001. Hal tersebut dilakukan karena Indonesia harus menyesuaikan dengan
perlindungan HKI dengan standar internasional yaitu melalui TRIPs.2
Secara filosofis, adanya peraturan paten sebagai bentuk penjelmaan sila kelima
Pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dimana salah satu butir
Pancasila kelima tersebut menyebutkan untuk menghargai hasil karya orang lain
yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama. Adanya pemberian
paten yaitu untuk mendukung kegiatan inovasi dan invensi teknologi yang harus
dilindungi. Apabila tidak ada perlindungan yang memadai, mungkin lebih baik
inventor menyimpan teknologinya. Sebaliknya dengan pemberian paten, negara
meminta inventor untuk mengungkapkan penemuannya dalam spesifikasi paten yang
deskripsinya dapat diakses secara luas, sehingga masyarakat bisa belajar dari
penemuan itu dan diharapkan masyarakat akan menghasilkan penemuan-penemuan
lain yang lebih maju daripada penemuan yang sedang dimintakan paten tersebut atau
yang sudah terdaftar.
4 Adapun contoh penemuan oleh inventor domestik Indonesia salah satunya yaitu
dekomposer bahan organik yang ditemukan oleh Ahmad Musofie, Niniek Kusuma
Wardhani dan Rahadi Setiawan. Dekomposer bahan organik untuk mengganti
kebiasaan petani Indonesia yang selalu menggunakan pupuk pabrik dalam
membudidayakan tanaman dengan dosis yang melebihi ketentuan. Akibatnya
produktivitas tanaman berkurang. Oleh karena itu, para peneliti dekomposer tersebut
menemukan dekomposer yang dibuat dengan bahan baku limbah kandang ternak
ruminansia atau limbah kandang ayam pedaging atau limbah kandang ayam petelur
yang kemudian di uraikan dengan bantuan probiotik yang akhirnya menjadi pupuk
organik yang bermutu baik. Selain itu, peneliti Ir. INW Mahayasa, Mp juga
mendaftarkan penemuannya tentang teknologi pengolahan buah lontar menjadi dodol
yang terinspirasi dari usaha pemanfaatan limbah hasil pengolahan sirup buah lontar
di daerah NTT, dan masih banyak lagi temuan-temuan yang didaftarkan oleh
inventor domestik Indonesia.
Dari banyaknya paten yang didaftarkan oleh inventor domestik Indonesia,
ternyata pertumbuhan inventor paten Indonesia masih tertinggal jauh apabila
dibandingkan dengan pertumbuhan inventor di beberapa negara berkembang seperti
seperti Malaysia, Singapura, China, India dan Thailand. Berikut adalah data dari
5 Tabel 1: Pertumbuhan Inventor Domestik di Beberapa Negara3
No Negara
Berkembang
Jumlah Inventor Domestik
2010 2011 2012 2013 2014
01 Indonesia 508 533 - 663 702
02 Malaysia 1.231 1.076 1.114 1.199 1.353
03 Singapore 895 1.056 1.081 1.143 1.303
04 China 293.066 415.829 535.313 704.936 801.135
05 India 8.853 8.841 9.553 10.669 12.040
06 Thailand 1.214 927 1.020 1.572 1.006
Angka statistik paten sering digunakan sebagai indikator perkembangan
teknologi, indikator tingkat inovasi suatu negara atau indikasi tingkat keseriusan
pengembangan teknologi oleh suatu negara.4 Tabel tersebut menunjukkan, pada
tahun 2014 Indonesia memiliki jumlah inventor sebanyak 702 inventor domestik.
Berbeda dengan negara berkembang lainnya seperti Thailand dengan 1006 inventor
domestik, Singapura dengan 1303 inventor domestik, Malaysia dengan 1353
inventor domestik dan China dengan inventor terbanyak sebanyak 801135 inventor
domestik. Berdasarkan tabel tersebut mengindikasikan bahwa Indonesia masih
kurang memanfaatkan sistem paten nasional untuk melindungi invensi inventor
domestik dibanding dengan negara lain yang lebih memanfaatkan sistem paten
nasionalnya.
3 Data di olah dari http://www.wipo.int/ipstats/en/statistics/country_profile/
4Togi Edward Sihaloho, “Pemanfaatan Sistem Paten Oleh Perguruan Tinggi Untuk Pengembangan
6 Adapun faktor yang menyebabkan minimnya jumlah inventor domestik di
Indonesia adalah mengenai subtansi dari UU No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten itu
sendiri yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum masyarakat baik secara
nasional dan internasional. Ada beberapa substansi pasal yang terdapat dalam UU
Paten yang perlu dirubah akibat ketidakjelasan dan butuh penambahan substansi
pengaturan.5 Selain itu, dari sisi prosedural seperti kesadaran dan pemahaman
masyarakat sangat rendah, pemerintah yang belum memberikan kemudahan untuk
memperoleh hak paten, dan proses pendaftaran hak paten bisa mencapai 48 bulan
serta tidak ada timbal balik atau reward bagi inventor, sementara pemegang paten
sudah dibebani biaya pemeliharaan dan perlindungan. Itulah yang mendorong
lemahnya pendaftaran hak paten di Indonesia.6
Dari faktor-faktor tersebut diketahui bahwa keberadaan UU Nomor 14 Tahun
2001 tentang Paten selama rentang waktu 15 tahun ini belum mampu meningkatkan
pertumbuhan teknologi di Indonesia dalam menciptakan inovasi disektor teknologi
kompetitif. Dimana dalam perkembangan teknologi tersebut harus ada sistem yang
memberikan perlindungan kepada paten para inventor. Namun, sistem yang ada
dinilai masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu, UU Nomor 14 tahun 2001
Tentang Paten perlu direvisi agar Inventor dilindungi dan agar ada pembaharuan baik
dalam mekanisme pendaftaran dan pemohonan hak paten bagi masyarakat.
Rencana merevisi UU Paten telah digaungkan dalam satu tahun terakhir ini yang
dilaksanakan oleh Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang (Pansus RUU Paten)
5 Draft Naskah Akademik Tentang RUU Paten, h. 70.
7 yang diketuai oleh H. John Kenedy Azis, SH. Setelah melalui sidang selama satu
tahun, pada 28 Juli 2016, UU Paten terbaru telah disahkan oleh DPR dan kemudian
di setujui oleh Presiden Joko Widodo satu bulan setelahnya. Adanya
Undang-Undang Paten Nomor 13 Tahun 20167 ini, membuat peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang “Urgensi Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2001 Sebagai Upaya Meningkatkan Inventor Domestik di Indonesia”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan penelitian ini maka peneliti ingin
mengetahui :
1. Bagaimana urgensi perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001
tentang Paten?
2. Bagaimana perubahan-perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016
tentang Paten sebagai upaya meningkatkan inventor domestik?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk
1. mendeskripsikan urgensi-urgensi perubahan dari Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2001 tentang Paten menjadi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016
tentang Paten.
8
2. untuk menganalisis perubahan-perubahan daripada produk terbaru
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten yang dapat meningkatkan
inventor domestik di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini, peneliti berharap bahwa hasil penelitian ini dapat
memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat terhadap perkembangan khazanah
keilmuan hukum. Selain itu, dari hasil penelitian ini juga dapat dikembangkan
sebagai acuan penelitian selanjutnya yang terkait dengan tema ini.
2. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat
menumbuhkan kepercayaan masyarakat dan inventor untuk mendaftarkan ide
nya ke Dirjen Kekayaan Intelektual agar dapat dipatenkan. Disamping itu agar
sebuah invensi dari inventor bisa dinikmati oleh masyarakat luas sesuai dengan
kebutuhan. Tentunya jug akan menambah nilai komoditi bagi negara Indonesia
khususnya.
E. Definisi Konseptual
1. Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas
9 melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada
pihak lain untuk melaksanakannya.
2. Inventor adalah seorang atau beberapa orang yang secara bersama-sama
melaksanakan ide yang dituangkan kedalam kegiatan yang menghasilkan
invensi.
3. Inventor Domestik adalah seseorang yang berasal dari Indonesia yang secara
mandiri atau bersama sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam
10 BAB II
KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu
Setelah tim penulis mengadakan penelusuran terhadap beberapa literatur dari
berbagai sumber, karya ilmiah berupa jurnal, skripsi dan tesis, ada tiga karya ilmiah
yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui
bangunan keilmuan yan sudah diletakkan oleh orang lain, sehingga penelitian ini
adalah penelitian yang benar-benar baru dan belum diteliti oleh orang lain, serta
terhindar dari unsur plagiasi. Adapun penelitian yang dimaksud yaitu:
1. Yoyon M Darusman menulis jurnal yang berjudul “Kedudukan Serta
Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Paten Dalam Kerangka Hukum Nasional Indonesia Dan Hukum International” (2016)
Peneliti Yoyon meneliti bagaimana kedudukan serta perlindungan hukum bagi
pemegang hak paten dalam kerangka hukum nasional dan internasional. Hasil
penelitiannya adalah bahwa pemegang hak paten (inventor) diberikan
perlindungan atas dasar hukum nasional (UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten)
ataupun hukum internasional (World Intellectual Property Organization: WIPO)
sebagai hak prioritas untuk melaksanakan sendiri atau secara bersama-sama
invensinya atau memberikan kuasa kepada orang lain unuk melaksanakannya.
Kedepan sudah sepantasnya negara serius dalam mengatasi permasalahan paten
ini, hal ini bertujuan agar para pemegang paten tidak merasa diselepekan atas
karya-karyanya. Peneliti menyarankan agar perlindungan paten betul-betul dapat
11 untuk sungguh-sungguh menghasilkan paten dan menjadikannya sebagai
pemenuhan kesejahteraan.
2. Enrico Endy Siagian menulis jurnal dengan judul “Implmentasi Prinsip Alter Ego Peneliti sebagai Hak Ekonomi Paten Aparatur Negara (ASN) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten”.
Penelitian dengan metode analisis yuridis normatif ini berkesimpulan bahwa
implementasi prinsip alter ego yang terkait hak ekonomi bagi ASN peneliti belum
sesuai dengan hakikatnya karena pemiliki paten adalah pihak yang memberi
kerja, kecuali diperjanjikan lain. Hal tersebut belum menempatan inventor
sebagai pihak yag tinggi kedudukannya dan tidak diganggu gugat
kepemilikannya terhadap suatu invensi yang diciptakannya. Hak ekonomi
inventor pada oraktiknya berbenturan dengan mekanisme keuangan negara yaitu
UU No. 20 Tahun 1997 tetntang PNPB. Hal ini disebabkan institusi pemerintah
secara operasional belum secara seragam menetapkan pengaturan mekanisme
pemberian royalti kepada inventor ASN Peneliti.
3. Nina Nuraini menulis jurnal dengan judul “Paten Sebagai Alternatif
Perlindungan Hukum Bagi Inventor Teknologi Varietas Tanaman Meningktatkan Daya Saing Agribisnis Mendukung Pembangunan Ekonomi” (2013).
Dari hasil penelitiannya, Nina berkesimpulan bahwa perlindungan hukum berupa
hak ekslusifbagi inventor teknologi tanaman melalui UU Paten belum efektif
dilaksanakan oleh para inventor teknologi varietas tanaman Indonesia.
Kelemahan UU Paten menyebabkan tidak dapat mengakomodasi harapan
12 Hambatan lain para inventor adalah belum difahami dan disadari sepenuhnya
tentang eksistensi varietas tanaman sebagai hak milik, hak eksklusif memberikan
hak ekonomi bila didaftarkan, dapat meningkatkan daya saing agribisnis sarana
bagi pembangunan ekonomi.
Tabel 2: Perbandingan Penelitian Terdahulu
No Nama Judul Persamaan Perbedaan
02 Enrico Endy Implementasi Prinsip Alter
13
03 Nina Nuraini Paten Sebagai Alternatif
14 B. Pembahasan Paten
1. Konsep Paten
Didalam pasal 1 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten
merumuskan bahwa paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada
Inventor atas hasil invensinya dibidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu
melaksanakan invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak
lain untuk melaksanakannya. 8
Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara
bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang
menghasilkan invensi. Pemegang paten adalah inventor sebagai pemilik paten atau
pihak yang menerima hak tersebut dari pemilik paten atau pihak lain yang menerima
lebih lanjut hak tersebut, yang terdaftar dalam daftar umum paten.9
Domestik adalah sesuatu yang berhubungan atau masalah yang berada di dalam
negeri.10 Jadi pengertian inventor domestik adalah seseorang yang berasal dari
Indonesia yang secara mandiri atau bersama sama melaksanakan ide yang dituangkan
ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi.
Ide Inventor yang dituangkan kedalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang
spesifik dibidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan
dan pengembangan produk atau proses itu dinamakan dengan invensi. Invensi terkait
dengan solusi teknik terhadap sebuah masalah teknis. Invensi dapat dalam bentuk ide
yang inovatif maupun dalam bentuk model kerja atau prototype.11
8 Lembaran Negara No 109 Tahun 2001 9 Lembaran Negara No. 176 Tahun 2016 10 Kamus Besar Bahasa Indonesia
15 Beberapa persyaratan suatu invensi yang dapat diberikan hak paten. Beberapa
syarat yang dimaksud adalah :
1. Ada unsur kebaruan (novelty), artinya suatu invensi dianggap baru jika tanggal
penetrimaan inveni tersebut tidak sama dengan tegnologi yang diungkapkan
sebelumnya. Tegnologi yang diungkapkan sebeleumnya adalah tegnologi
yang telah diumumkan di Indonesia atau luar negeri dalam suatu tulisan,
uraian lisan atau melalui peragaan, atau dengan cara lain yang memungkinkan
seorang ahli untuk melaksanakan invensi tersebut sebelum tanggal
penerimaan atau tanggal prioritas.
Syarat kebaruan dapat ditentukan berdasarkan pembatasan-pembatasan
tertentu, misalnya daerah (territorial), kapan penemuan itu diketahui, dan cara
pengumuman penemuan itu kepada masyarakat. Syarat kebaruan, yaitu bahwa
penemuan yang dimintakan paten tidak boleh lebih dahulu diungkapkan
dimanapun dan cara apapun. 12
Mengenai syarat kebaruan, bisa bersifat mutlak atau relatif, bersifat
mutlak atau dikenal world wide novelty. Sifat mutlak ini bisa hilang apabila
ada publikasi dengan cara bagaimanapun, dan dinegara manapun, atau pernah
diketahui dengan cara bagaimanapun. Di Indonesia dalam hal syarat kebaruan
menganut sistem kebaruan yang luas world wide novelty. Syarat kebaruan luas
ini bersifat relatif, yaitu: suatu penemuan tidak dianggap telah diumumkan
jika dalam waktu paling lama 6 bulan sebelum tanggal penerimaan :
a. Invensi tersebut telah ditunjukkan dalam suatu pameran internasional di
Indonesia atau diluar negeri yang resmi atau diakui sebagai resmi.
b. Invensi tersebut telah digunakan di Indonesia oleh penemunya dalam
rangka percobaan dengan tujuan penelitian dan pengembangan.13
2. Mengandung langkah inventif (inventif step). Suatu invensi mengandung
langkah infentif jika invensi tersebut bagi seseorang yang mempunyai
12 Endang purwanigsih, Hak Kekayaan Intelektual dan Lisensi,(Bandung: CV Mandar Maju, 2012), hal. 222
16 keahlian tertentu dibidang teknik merupakan hal yang tidak dapat diiduga
sebelumnya.
3. Dapat diterapkan didalam industri (industrial aplication). Suatu invensi dapat
diterapkan dalam industri jika invensi tersebut dapat dilaksanakan dalam
industri.14
Menurut pasal 56 PP No. 34 tahun 1991 tentang Tata Cara Permintaan
Paten, penentuan bahwa suatu penemuan yang dimintakan paten dapat diberi
atau tidak dapat diberi paten dilakukan antara lain dengan mempertimbangkan
(1) kebaruan penemuan, (2) langkah inventif yang terkandung dalam
penemuan, (3) dapat atau tidaknya penemuan diterapkan dalam industry; (4)
penemuan yang bersangkutan tidak termasuk dalam kelompok penemuan
yang tidak dapat diberikan paten; (5) penemu atau orang yang menerima lebih
lanjut hak penemu berhak atas paten bagi penemu tersebut; (6) penemu
tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban
umum serta kesusilaan.15
Pasal 7 UU No. 14 Tahun 2001 merumuskan ada beberapa ketentuan
behwa paten tidak dapat diberikan pada invensi tentang :
1. Proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau pelaksanaannya
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas
agama, ketertiban umum, atau kesusilaan.
2. Metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan atau pembedahan yang
diterapkan terhadap manusia atau hewan
3. Teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika, atau
4. Semua makhluk hidup kecuali jasad renik
Proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan,
kecuali proses non-biologis atau proses mikrobiologis.
14 Budi Agus Riswandi, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, (cetakan ke-1 , Jakarta: PT Grafindo Persada, 2004), h. 126
17 Jenis-jenis paten yang dikenal saat ini :
Pada dasarnya jenis Paten yang berkembang saat ini adalah :
a. Paten yang berdiri sendiri tidak bergantung pada paten lain (independent
patent).
b. Paten yang terkait dengan paten lainnya (dependent patent)
c. Paten tambahan (patent of addition)
d. Paten Impor (patent of revalidation)
Indonesia dalam ketentuan perundang-undangan Patennya hanya membagi
paten kedalam dua bentuk, yaitu16 :
a. Paten biasa
b. Paten sederhana
Suatu penemuan dikelompokkan kedalam paten sederhana karena cirinya,
paten sederhana yaitu penemuan tersebut tidak melalui penelitian dan pengembangan
(Research and Development) yang mendalam. Meskipun bentuk, konfigurasi,
kontruksi, atau komposisi sederhana, dan sering dikenal dengan “utility model”, tetapi mempunyai nilai kegunaan praktis sehingga memiliki nilai ekonomis, jadi
tetap memperoleh lindungan hukum. Paten sederhana hanya memiliki satu klaim,
pemeriksaan subtantif langsung dilakukan tanpa permintaan dari pihak penemu. Bila
terjadi penolakan terhadap permintaan Paten sederhana ini, tidak dapat dimintakan
lisensi wajib dan tidak dikenakan biaya tahunan.17
2. Sejarah Undang-Undang Paten
Perkembangan hukum Paten Indonesia dapat dibagi kedalam 3 periode, yaitu: 1)
kepentingan umum vs tekanan internasional (1989-1996); 2) periode tunduk terhadap
16 Endang Purwanigsih, Hak Kekayaan..., h.77
18 standar internasional perjanjian TRIPS (1997-2000); 3) periode meningkatkan
kualitas penegakan hukum (2001-2005).18
Kepentingan umum versus tekanan Internasional (1998-1996)
Periode tahun 1989 sampai dengan 1996 merupakan fase yang sulit bagi
pemerintah Indonesia. Dalam merespon keadaan sulit tersebut, pemerintah
memutuskan untuk mencari keseimbangan antara dua hal yang bertolak belakang
yaitu kepentinga umum dengan tekanan internasional, terutama berasal dari
Amerika Serikat yang mengharapkan pemerintah Indonesia untuk mengadopsi
standar perlindungan paten AS. 19
Dibandingkan dengan cabang-cabang HAKI lainnya yang telah ada sejak
awal kemerdekaan Indonesia, UU Paten tidak dianggap sebagai sebua UU yang
penting sampai akhir tahun 1980-an. Ada beberapa alasan terhadap penundaan
delegasi paten di Indonesia. Pertama, sebelum tahun 1945, pemerintah kolonial
Belanda telah memberlakukan sebuah UU Paten Belanda. Salah satu pasal
menetapkan bahwa pemeriksaan paten akan dilaksanakan di Belanda. Setelah
Indonesia mencapaikemerdekaan, ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan
karena bertentangan dengan kedaulatan di Indonesia. Akibatnya, UU tersebut
tidak digunakan lagi di Indonesia dan Indonesia tidak memiliki UU Paten selama
sepuluh tahun.
Kedua, indonesia menganggap bahwa HAKI, terutama hukum Paten
bukanlah sebuah kebutuhan yang mendesak untuk pembangunan ekonomi diawal
kemerdekaan yang baru memperoleh kemerdekaan. Ketiga, meskipun tidak ada
UU Paten di Indonesia sampai dengan tahun 1989, permohonan paten tetap
dilakukan oleh pemerintah sejaktanggal 1 November 1953. Namun fungsi dari
pendaftaran tersebut semata-mata hanya untuk kepentingan administratif dan
bukan untuk memberikan perlindungan Paten.
19 Selama tahun 1980-an, pemerintah telah melakukan pembaruan dibidang
legislasi. Dimulai dengan UU Hak Cipta tahun 1982, reformasi hukum tersebut
kemudian dilanjutkan dengan pengajuan RUU Paten pada thun 1984. Pemerintah
juga mempertimbangkan bahwa hukum paten dapat menarik para investor asing
untuk menanamkan modalnya di Indonesia dan menajadi sarana terjadinya alih
teknologi. Adanya alasan lain pemerintah Indonesia membuat UU Paten 1989
adalah karena adanya tekanan internasional dari negara-negara maju. Bentuk
tekanan internasional dari negara-negara maju, terutama Amerika Serikat adalah
tekanan Ekonomi. Carlos Primo Braga berpendapat bahwa pengaruh
ketergantungan Ekonomi dan kebutuhan akan teknologi adalah alasan utama
untuk memperkuat sistem HKI di negara-negara berkembang selama tahun
1980-an.
Periode tunduk dengan perjanjian TRIPS (1997-2000)
Periode tahun 1997-2000 merupakan periode yang sangat penting bagi
pemerintah Indonesia. Dalam kurun waktu tersebut pemerintah telah memutuskan
untuk merivisi UU Paten tahun 1998 sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk
tunduk dengan perjanjian TRIPS. Revisi UU paten itu sendiri telah dimulai pada
akhir tahun 1995 sebgagai salah satu konsekuensi dari keikutsertaan Indonesia
dalam Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO.
Pada tahun 1997, usaha untuk merivisi UU Paten tahun 1989 berhasil
direalisasikan. Bebeerap perubahanpenting telah dimasukkan dalam UU Paten
tahun 1997, diantaranya adalah perpanjangan perlindungan paten dari 14 tahun
menjadi 20 tahun, perubahan ruang lingkup invensi yang dapat dipatenkan,
permasalahan importasi produk yang dipatenkan dan mekanisme pelaksanaan
lisensi wajib.20
20 Periode Peningkatan Penegakan Hukum (2001-2005)
Periode tahun 2001-2005 berbeda dengan periode pada tahun-tahun
sebelumnya yang lebih menekankan pada masalah subtansi (biaya dan akses
terhadap obat esensial, dan pengembangan industri farmasi lokal)/. Sedangkan
periode tahun 2001-2005 lebih memmfokuskan pada masalah penegakan hukum.
Pada periode ini, pemerintah sudah menyadari sepeuhnya bahwa penegakan
hukum terhadap pelanggaran perjanjian TRIPs merupakan kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh semua anggota WTO. Dalam UU Paten tahun 2001, pemerintah
memperkenalkan penetapan sementara pengadilan di dalam sistem hukum
Indonesia. Melalui penetapan sementara pengadilan yang diatur dalam pasal 125,
pemerintah bertekad untuk meningkatkan penegakan hukum dibidang paten.
Latar belakang pembentukan UU Paten nomor 14 tahun 2001, pemerintah
menganggap bahwa di negara Indonesia yang memiliki sumber daya alam yang
melimpah, dan teknologi yang semakin maju namun penegmbangan teknologi
belum dimanfaatkan secara berarti dalam kegiatan ekonomi, sosial dan budaya
sehingga dipandang perlu untuk melakukan perubahan terhadap Undang-undang
Paten nomor 6 tahun 1989 tentang Paten dan UU Nomor 1997 tentang paten. Ada
beberapa poin penting yang diubah dalam UU lama 21:
1. Penyempurnaan dalam :
a) Terminologi
b) Paten sederhana
c) Peraturan pemerintah dan Keputusan presiden
2. Penambahan dalam :
a) Penegasan mengenai istilah hari
b) Invensi yang tidak dapat diberi paten
c) Penetapan sementara Pengadian
d) Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak
e) Penyelesaian sengketa di Luar Pengadilan
21
f) Pengecualian dari Ketentuan Pidana
3. Penghapusan dalam :
Ketentuan yang berkaitan dengan penundaan pemberian Paten dan lingkup
hak eksklusif pemegang paten. Ini dihapuskan karena tidak sejalan dengan
persetujuan TRIPS. 22
3. Perkembangan Undang-Undang Paten Tahun 1989-2001 a. Revisi Undang-Undang Paten
Undang-undang No.6 tahun 1989 adalah undang-undang Paten pertama yang
dibuat sejak Indonesia merdeka. Hal penting yang diatur dalam UU ini adalah
keberadaan dari komisi banding. Berdasarkan ketentuan pasal 68 sampai 72,
komisi banding adalah badan khusus yang berada di lingkungan Direktorat
jenderal HaKI dengan tugas memeriksa permintaan banding dari pemohon yang
ditolak permohonan patennya berdasarkan alasan-alasan dan dasar pertimbangan
yang bersifat subtantif.23
Selanjutnya UU No.6 tahun 1989 ini direvisi pada tahun 1997, ada 3 hal
penting yang dimuat dalam UU Paten tahun 1997, yaitu Penyempurnaan,
penambahan serta penghapusan beberapa ketentuan dari UU 1989.
Penyempurnaan dilakukan terhadap ketentuan mengenai persyaratan penentuan
kebaruan (novelty) invensi. Berbeda dengan UU Paten 1989 yang menggunakan
penilaian “belum diumumkannya sebuah invensi” sebagai syarat kebaruan, UU Paten 1997 menentukan sifat kebaruan dengan menggunakan indicator “invensi
yang diajukan bukan bagian dari invensi terdahulu atau invensi yang telah ada
sebelumnya”.
Selain penyempurnaan juga dilakukan penambahan terhadap isi UU Paten
tahun 1997, yaitu menyangkut importasi atas produk yang dilindungi paten serta
digunakannya beban pembuktian terbalik, khususnya terhadap kasus pelanggaran
22 Adrian Sutedi, Hak Atas..., h. 77
22 paten proses. Pasal 119 ayat 1 dan ayat 2 menyatakan, bahwa pembuktian terbalik
diterapkan mengingat sulitnya penanganan sengketa paten untuk proses.
Sekalipun demikian, untuk menjaga keseimbangan kepentingan yang wajar
diantara para pihak, hakim tetap diberi kewenangan memerintahkan kepada
pemilik paten untuk terlebih dahulu menyampaikan bukti salinan sertifikat paten
bagi proses yang bersangkutan serta bukti awal yang memperkuat dugaan itu. 24
Penghapusan juga dilakukan berkenaan dengan ketentuan pasal 7 tentang
pengecualian invensi yang dapat diberikan paten. Penghapusan masing-masing
ditujukan terhadap ketentuan pasal 7 huruf a yang sebelumnya mengatur bahwa
invensi dibidang makanan dan minuman tidak dapat diberikan paten serta
ketentuan pasal 7 huruf c berkaitan dengan invensi variates baru tanaman dan
hewan. Penghapusan lainnya adalah mengenai badan hukum dalam pengertian
inventor. 25
Perkembangan teknologi yang semakin pesat di era global serta keinginan
pemerintah untuk menyesuaikan keseluruhan peraturan dibidang hak milik
intelektual dengan ketentuannya yang terdapat dalam perjanjian TRIPs
merupakan factor pendorong diamandemennya UU Paten Indonesia tahun 1997
dengan UU No 14 tahun 2001. Dalam UU Paten yang baru ini banyak sekali
penyempurnaan, penambahan dan penghapusan yang dilakukan dengan tujuan
memberikan perlindungan yang memadai terhadap pemegang paten.
Penyempurnaan yang dilakukan dalam UU Paten 2001 meliputi perubahan
istilah, seperti halnya invensi (invention) dipergunakan untuk mengganti istilah
penemuan (discovery) dan inventor untuk mengganti istilah penemu (discoverer).
Penggantian tersebut dimaksudkan untuk memperjelas makna kata “invensi”
dibidang teknologi serta membedakan istilah tersebut dengan istilah sehari-hari.
Selain masalah terminology, cakupan paten diperjelas dengan menetapkan bahwa
invensi yang dilindungi adalah invensi di dibidang teknologi yang tidak mencakup
kreasi estetika, skema, aturan atau metode yang melibatkan kegiatan mental,
23 permainan dan bisnis aturan atau metode mengenai program computer serta
presentasi ,mengenai suatu informasi. Nama isntitusi yang menerima dan
memeriksa permohonan paten, yaitu Kantor Paten juga diganti menjadi Direktorat
Jenderal Paten untuk memperjelas pemahaman bahwa kantor HKI adalah satu
kesatuan system.26
Dalam pasal 2 Undang-undang Paten No 14 tahun 2001 menyatakan bahwa
(1) paten diberikan untuk invensi yang baru dan mengandung langkah inventif
serta dapat diterapkan dalam industry, (2) suatu invensi yang mengandung
langkah inventif jika invensi tersebut bagi seseorang yang mempunyai keahlian
tertentu di bidang teknik merupakan hal yang tidak dapat di duga sebelumnya, (3)
penilaian bahwa suatu invensi merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya
harus dilakukan dengan memperhatikan keahlian yang ada pada saat permohonan
diajukan atau yang telah ada pada saat diajukan permohonan pertama dalam hal
permohonan itu diajukan dengan hak prioritas. 27
Penambahan yang dilakukan dalam UU Paten tahun 2001 mencakup
penegasan istilah “hari” yang diganti dengan istilah hari kerja, invensi yang tidak
dapat diberikan paten, penetapan sementara pengadilan, penggunaan penerimaan
negara bukan oajak, penyelesaian sengketa diluar pengadilan dan pengecualian
dari ketentuan pidana. Penghapusan juga dilaukan dalam UU No 14 tahun 2001
dengan tujuan untuk menghilangkan ketentuan yang tidak sejalan dengan
perjanjian TRIPs, contohnya mengenai penundaan pemberian paten sebagai delik
aduan.
Ketentuan pasal 3 UUP No 14 tahun 2001 menunjukkan syarat kebaruan yang
luas, yaitu bahwa suatu penemuan tidak dianggap baru jika pada saat pengajuan
permintaan paten, penemuan tersebut telah diumumkan di Indonesia atau diluar
Indonesia dalam suatu tulisan, uraian tulisan atau melalui peragaan atau dengan
24 cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan (invensi) tersebut
sebelum tanggal penerimaan atau tanggal prioritas.
Syarat kebaruan luas ini bersifat relative, ini bisa kita lihat dari pasal UUP,
yaitu suatu penemuan tidak dianggap telah diumumkan jika dalam jangka waktu
paling lama 6 bulan sebelum tanggal penerimaan :
(1) Invensi tersebut telah dipertunjukkan dalam suatu pameran internasional
di Indonesia atau diluar negeri yang resmi atau diakui sebagai resmi atau
dalam suatu pameran nasional di Indonesia yang resmi atau diakui sebagai
resmi
(2) Invensi tersebut telah digunakan di Indonesia oleh penemunya dalam
rangka percobaan dengan tujuan penelitian dan pengembangan. Invensi
juga telah dianggap diumumkan apabila dalam jangka waktu 12 bulan
sebelum penerimaan ternyata ada pihak lain yang mengumumkan dengan
cara melanggar kewajiban untuk menjaga kerahasiaan invensi tersebut. 28
Setelah melakukan amandemen beberapakali, kenyataannya
undang-undang paten di Indonesia di mulai undang-undang pertama tahun
1989, undang-undang paten tahun 1997, dan undang-undang paten tahun
2001 masih belum bisa memenuhi kebutuhan masyarakat dan mengcover
ruang gerak para inventor dalam mendaftarkan penemuannya untuk
mendapatkan hak paten. Baik dari segi perlindungan hukumnya, inovasi
dalam subtansial undang-undangnya belum bisa menyeimbangkan dengan
kemajuan teknologi saat ini.
Oleh karennya, pemerintah mengamandemenkan undang-undang
paten tahun 2001, yang pada akhirnya pada rapat paripurna Rancangan
Undang-undang 2001 di sahkan pada tanggal 28 juli 2016 lalu oleh Dewan
Perwakilan Rakyat. Setelah sebelumnya melalui proses pembahasan di
Komisi III DPR RI selama enam bulan.
25 BAB III
METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian
Dalam suatu penelitian, jenis penelitian dapat dilihat dari tujuan, sifat, bentuk dan
sudut penerapannya. Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian hukum normatif
atau penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder pustaka. Penelitian ini merupakan penelitian sistematik
hukum yang dilakukan terhadap perundangan-perundangan tertentu. Tujuan
pokoknya adalah untuk mengadakan identifikasi terhadap pengertian-pengertian
pokok/dasar dalam hukum.29 Adapun perundangan-perundangan yang diteliti dalam
penelitian ini adalah UU Paten terbaru.
B. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan (Statute Aprroach) yaitu pendekatan dengan menggunakan
perundang-undangan.30 Penelitian ini menganalisis Undang-Undang Paten terbaru. Selain
pendekatan perundang-undangan, peneliti juga memakai pendekatan konseptual
(conceptual approach) yaitu konsep mengenai paten.
Penelitian ini termasuk dalam penelitian yang perskriptif31– evaluative32. Penulis
mendeskripsikan tentang beberapa ketentuan-ketentuan baru dalam Undang-Undang
29 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif: Sebuah Tinjuan Singkat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), h. 13-15.
30 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 97.
31 Penelitian perskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran atau merumuskan masalah sesuai dengan keadaan/fakta yang ada. Sebagai contoh misalnya penelitian tentang “Peranan tokoh masyarakat dalam penyuluhan hukum melalui program Jaksa Masuk Desa (JDM). Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 9.
26 Paten terbaru dan mengevaluasinya apakah ketentuan yang baru itu dapat
meningkatkan invensi para inventor domestik di Indonesia atau tidak.
C. Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang diperoleh langsung dari sumber
pertama. Adapun dalam penelitian ini bahan hukum primer menggunakan
Undang-undang No 14 tahun 2001 tentang Paten dan undang-undang baru paten
tahun 2016.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang bersifat sebagai pendukung atau
bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer.
Dalam hal ini penulis menngunakan buku-buku yang menjelaskan tentang
konsep hukum kekayaan intelektual yang memuat tentang sejarah paten dan
perlindungan paten.
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang bersifat memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus
hukum.
D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini meggunakan study dokumen
(pengumpulan bahan kepustakaan terkait dengan obyek yang diteliti). Peneliti
mengumpulkan bahan-bahan hukum primer dan sekunder berupa dokumen-dokumen
27 tertulis seperti perundang-undangan, hasil penelitian, jurnal ilmiah, artikel ilmia,
yang berkaitan dengan paten. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan
perundang-undangan, oleh sebab itu peneliti mengumpulkan peraturan peraturan
perundang-perundangan mengenai atau yang berkaitan dengan isu penelitian ini.33
Peraturan yang digunakan dalam penelitian ini adalah UU N0. 14 Tahun 2001 tentang
Paten, UU Paten Tahun 2016.
E. Teknik Analisis Bahan Hukum
Tahap pertama yang dilakukan untuk mngolah bahan hukum yang telah diperoleh
adalah mengklarifikasikan bahan hukum hasil kerja awal pada penelitian. Bahan
hukum yang terkumpul diklarifikasikan berdasarkan fokus masalah yang diteliti
terkait urgensi perubahan undang-undang no 14 no 2001 tentang Paten demi
meningkatkan jumlah inventor domestik di Indonesia.
Tahap selanjutnya adalah menganalisis bahan hukum mentah yang sudah
diklarifikasikan agar mudah dipahami, setelah bahan hukum dianalisis,maka tahap
terakhir adalah melakukan penarikan kesimpulan.
Dalam pengolahan bahan hukum ini penulis menggunakan metode Deskriptif
Kualitatif yaitu metode yang digunakan terhadap suatu data yang telah dikumpulkan,
kemudian diklarifikasi, disusun, dijelaskan yakni digambarkan dengan kalimat
tujuannya untuk memperoleh kesimpulan.34 Sehingga jelas dan mudah dipahami oleh
pembaca.
28 F. Sistematika
Hasil penelitian ini terdiri dari 5 (lima) bab, dengan sistematika penulisan sebagai
berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab pendahuluan berisi mengenai alasan atau latar belakang diadakannya
penelitian ini, juga memuat tentang perumusan masalah, tujuan penelitian dan
manfaat penelitian.
BAB II : KAJIAN PUSTAKA
Pada bab ini menguraikan tentang konsep paten, sejarah pembentukan
undang-undang, yang berkaitan dengan perubahan undang-undang no 14 tahun 2001
menjadi undang-undang paten baru tahun 2016, serta apa saja yang menjadi
subtansi yang tercantum dalam masing masing perundang-undangan. Bab ini juga
memuat tentang penelitian terdahulu.
BAB III : METODE PENELITIAN
Memuat mengenai metode penelitian yang berisi penggambaran atau deskripsi
yang lebih rinci mengenai jenis penelitian, pendekatan penelitian,bahan hukum,
teknik pengumpulan bahan hukum, teknik analisis data, teknik uji kesahihan data
dan sistematika penulisan.
BAB IV : HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN
Pada bab ini menjawab rumusan masalah mengenai bagaimana urgensi adanya
pembaruan UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten dan menganalisis secara yuridis
normatif mengenai apa saja pembaruan-pembaruan yang bisa meningkatkan
29 BAB V : PENUTUP
Bab ini merupakan akhir dari laporan penelitian yang berisi kesimpulan dan saran
berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya.
30 BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Urgensi Perubahan UU No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten
Selama 15 (lima belas) tahun berlakunya UU No. 14 Tahun 2001 di Indonesia,
pertumbuhan inovasi-inovasi yang diciptakan oleh bangsa Indonesia masih sangat
minim sekali dan kalah saing dengan inovasi dari inventor asing. Selain data statistik
paten domestik yang menunjukkan hal tersebut, juga didukung oleh peneliti-peneliti
yang meneliti keefektifan pelaksanaan UU Paten di Indonesia dimana masih banyak
norma-norma hukum (pasal) yang harus dibenahi sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan teknologi masa kini. Data statistik dan berbagai penelitian tersebut
menunjukkan bahwa UU No. 14 Tahun 2001 belum mampu meningkatkan invensi
inventor domestik.
Pada dasarnya ada 3 (tiga) landasan yang mendasari adanya perubahan UU No.
14 Tahun 2001, yaitu:
1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan
serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.35 Tujuannya
yaitu untuk membentuk undang-undang yang mengandung norma-norma ideal
bagi masyarakat menuju cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
31 Urgensi pembentukan UU Paten dari segi filosofis yaitu untuk
mengejawantahkan alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang diuraikan dalam Pasal 28C ayat (1) UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang
berhak mengembangkan diri melalui kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Ketentuan tersebut juga sebagai pelengkap dari Pasal 5 ayat (1)36,
Pasal 20 ayat (2)37, dan pasal 33 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,38
serta Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement
Estabilishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia).39
Paten diberikan oleh negara terhadap setiap invensi yang memenuh syarat
kebaruan, langkah inventif, dan dapat diterapkan dibidang industri. Persyaratan
ini berlaku secara universal meski dengan gaya bahasa masing-masing negara.
Selain itu, paten -yang merupakan hak ekslusif atau hak monopoli terbatas-
diberikan Negara sebagai penghargaan atau insentif kepada inventor terhadap
36“Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undnag kepada Dewan Perwakilan Rakyat.” 37“Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama.”
38 (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi neara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(4) Pereknonomian nasional diselenggaraka berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjuta n, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseibanan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
32 invensinya sekaligus perlindungan hukum agar inventor bermotivasi
terus-menerus melakukan penelitian, mencari solusi atas masalah yang dihadapi
masyarakat dibidang teknologi, dan memperoleh invensi yang dapat dipatenkan.
Tujuan dari itu semua agar inventor mampu meningkatkan kesejahteraannya,
dan secara makro dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Dengan adanya kejelasan pengaturan paten terhadap setiap invensi yang
memenuhi syarat kebaruan, akan sangat mendorong pertumbuhan ekonomi
bahkan ekonomi kreatif. Inventor akan termotivasi terus-menerus melakukan
penelitian, mencari solusi atas masalah yang dihadapi masyarakat di bidang
teknologi, dan memperoleh penemuan yang dapat dipatenkan.
2. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan
hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan
yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin
kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut
persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur
sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa
persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan
yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari
Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada
33 UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, sudah tidak dapat mengakomodasi
perkembangan kebutuhan, sehingga menjadi kuat landasan yuridis untuk
mengganti UU yang lama dengan yang baru. Perubahan juga diperlukan agar
ketentuan dalam UU Paten yang baru sinergis dengan pengaturan
pemanfaatannya, dan instrument hukum Internasional.
Walaupun Indonesia telah memiliki UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten
dan pelaksanaan paten telah berjalan, namun masih dipandang perlu
menyesuaikan dan melakukan perubahan terhadap UU Paten lama tersebut.
Masih ada beberapa aspek dalam Agreement on Trade Reated Aspecte of
Intellectual Property Rights (TRIPs) yang belum ditampung dalam
Undang-Undang Paten tersebut. Seperti ketentuan Article 31 bis TRIPs Agreement yang
berbunyi:
Where the law of a Member allows for other use7 of the subject matter of a patent without the authorization of the right holder, including use by the government or third parties authorized by the government, the following provisions shall be respected:
34 public noncommercial use. In situations of national emergency or other circumstances of extreme urgency, the right holder shall, nevertheless, be notified as soon as reasonably practicable. In the case of public non-commercial use, where the government or contractor, without making a patent search, knows or has demonstrable grounds to know that a valid patent is or will be used by or for the government, the right holder shall be informed promptly; ...
Maksud dari Article 31 TRIPs tersebut yaitu perlunya pengadaan obat atau
produk farmasi untuk kepentingan kesehatan masyarakat dalam ketentuan lisensi
wajib, bahwa jika ada wabah penyakit disuatu negara yang sifatnya sudah
emergensi maka dapat dimungkinkan menerapkan lisensi wajib, artinya paten
tersebut dapat di industrikan dengen menerapkan lisensi wajib.
Kemudian yang disepakati dalam deklarasi Doha yang isinya:40
“The 2003 Paragraph 6 Decision requires the exporting country to
provide "adequate" remuneration to right owners, consistent with Article 31(h) of the TRIPS Agreement, "taking into account the economic value to the importing Member". In these cases, the importing country obligation to remunerate right owners is waived. In short, the right owner must receive remuneration, but the amount is set in the exporting country, which must consider the "economic value" of the product in the importing country.”
35 Setiap negara yang sedang mengalami emergensi karena mendapat wabah
penyakit, maka negara tersebut dapat memperbanyak dan memproduksi
langsung obat untuk mengantisipasi penyakit yang mengakibatkan wabah
tersebut, tanpa sepengatahuan pemegang paten, namun tetap memperhitungkan
kepentingan yang layak terhadap inventor.41
3. Landasan Politis
Landasan politis merupakan pertimbangan atas kepentingan pemerintah
yang mana bertujuan dalam peningkatan di sektor ekonomi, pembangunan dan
kerjasama dengan negara lain. Faktanya bahwa dengan adanya perubahan
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2001 tentang Paten menjadi Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2016 tetang Paten, pemerintah ingin melindungi kesejahteraan
dan keselamatan rakyatnya melalui pemanfaatan paten, misalnya di bidang
kesehatan, keselamatan lingkungan, dan pertahanan keamanan negara serta
perlindungan sumber daya genetik. Dengan demikian, penggantian
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten merupakan salah satu bentuk
kehadiran pemerintah untuk menstimulasi peningkatan inovasi nasional,
pendayagunaan teknologi guna peningkatan perekonomian nasional, dan
perlindungan kesejahteraan umum serta penghargaan terhadap inventor dalam
negeri.
Alasan lain adanya perubahan UU Paten sebagai konsekuensi Indonesia
sebagai negara anggota World Trade Organization (WTO) yang mewajibkan
seluruh anggota WTO untuk meratifikasi TRIPs (Trade Related of Intelectual
36 Property Rights) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994 tentang
Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).42 Dimana masih ada salah satu
pasal dalam TRIPs yang belum di implementasikan dalam UU Paten lama yaitu
Act 31 TRIPs tentang pelaksanaan paten oleh pemerintah. Oleh karena itu,
betapa pentingnya dilakukan perubahan UU Paten selain untuk menyesuaikan
pengaturan TRIPs juga untuk melindungi paten dan meningkatkan
perekonomian nasional melalui teknologi.
4. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya
menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan
masyarakat dan negara.43
UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten belum sepenuhnya dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat yang terus berkembang, apalagi dengan adanya tuntutan
dalam era globalisasi. Para peneliti baik dari perguruan tinggi maupun lembaga
penelitian dan pengembangan kurang berminat untuk mematenkan hasil
temuannya karena kurangnya jaminan perlindungan. Seperti penelitian yang
dilakukan oleh Vivit Wardah Rufaidah, peneliti tersebut melakukan penelitian
di Badan Litbang Pertanian yang hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa
42 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57
37 rendahnya hasil riset dari peneliti pertanian Indonesia yang dipatenkan
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu (1) banyaknya produk riset yang belum
menyentuh kebutuhan publik; (2) pola pikir masyarakat yang belum berkembang
ke arah yang lebih suka mencipta daripada memakai, lebih suka membuat
daripada membeli, serta lebih suka belajar dan berkreasi daripada menggunakan
teknologi yang ada; (3) lemahnya daya saing; dan (4) kecilnya anggaran iptek
yang berakibat pada terbatasnya fasilitas riset, kurangnya biaya operasional dan
pemeliharaan, serta rendahnya insentif untuk peneliti.44
Peneliti Enrico menambahkan bahwa kurangnya penghargaan (reward)
dari pemerintah yang menjadi penyebab para peneliti memilih melakukan riset
di luar negeri dan hengkang ke manca negara karena mereka lebih dihargai
daripada di dalam negeri yang malaupun UU Paten lama telah mengaturnya dan
menjamin namun mekanisme pencairan royalti yang berbelit-belit membuat
peneliti enggan untuk meneliti dan menciptakan paten-paten domestik.45
Oleh karena itu bagi Indonesia masih sulit untuk mewujudkan harapan
World Class University akibat rendahnya hasil temuan yang dipatenkan. Selain itu masyarakat juga merasakan kurang adanya proses kecepatan dalam
pengajuan permohonan paten karena UU No. 14 Tahun 2001 belum menerapkan
model permohonan secara e-filing yang sudah berkembang di banyak negara.
Jika kondisi yang berkembang ini tidak segera diakomodasi maka upaya
pemanfaatan paten untuk komersialisasi paten dengan terhantarnya invensi ke
44Vivit Wardah Rufaidah, “Produktivitas Publikasi Peneliti Badan Litbang Pertanian”, Jurnal Perpustakaan Pertanian, 1 (Februari, 2001), h. 7.
38 industri, sulit diwujudkan. Oleh karena itu perlu ada pengaturan baru tentang
paten. Hal ini berkaitan erat antara pemanfaatan paten dengan investasi dan
perkembangan teknologi sebagai salah satu pilar yang memacu perkembangan
perekonomian nasional.
B. Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Paten Sebagai Faktor Meningkatkan Inventor Domestik
1. Perubahan Substansi UU No 14 Tahun 2001
Tujuan utama perubahan UU Paten No 14 Tahun 2001 menjadi UU Paten
No. 13 Tahun 2016 yang disebut dalam Naskah Akademik Perubahan UU No 14
Tahun 2001 Tentang Paten adalah untuk meningkatkan jumlah permohonan
paten khususnya permohonan paten yang berasal dari dalam negeri. Upaya untuk
meningkatkan jumlah pemohon paten tersebut diantara: pendaftaran melalui
e-filling, pemberian insentif, proses pemeriksaan yang efisien dan cara pembayaran
biaya pemeliharaan paten yang lebih mudah.46 Adapun materi muatan peraturan
baru dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (selanjutnya
disebut UU Paten 2016) yang dapat meningkatkan inventor domestik sebagai
berikut:
a. Pendaftaran secara Elektronik
Dalam UU Paten teranyar disebutkan bahwa dalam pengajuan
permohonan paten dapat diajukan secara elektronik atau e-filling dengan
39
menggunakan sistem Industrial Property Automation System (IPAS).47
Pemohon tidak disusahkan lagi dengan sistem lama sebab telah diakomodir
Pasal 24 ayat (4) UU Paten 2016. Dengan sistem e-filling pengajuan
permohonan menjadi lebih mudah, sederhana, cepat dan biaya yang
dikeluarkan pemohon (selain biaya pendaftaran paten) menjadi lebih murah.
Adapun sistem pengajuan non-elekronik masih tetap diterapkan. Dengan
adanya sistem e-filling, penulis mengindikasikan, pertumbuhan inventor
domestik di Indonesia semakin meningkat karena memudahkan
inventor-inventor dalam mendaftar lebih khusus inventor-inventor yang jauh dari Dirjen HAKI
mengingat daerah wilayah Indonesia merupakan kepulauan. Inventor cukup
mengandalkan sistem internet dimasing-masing daerah asal inventor.
b. Pemanfaatan Paten Oleh Pemerintah
Pengaturan pemanfaatan paten oleh pemerintah diatur secara rinci
dalam UU Paten terbaru, berbeda dengan UU Paten lama yang hanya
dijelaskan secara umum. Dalam pasal 109 UU Paten 2016 menyebutkan
bahwa pemerintah dapat melaksanakan sendiri paten di Indonesia
berdasarkan pertimbangan yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan
negara atau kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat,
dimana paten oleh pemerintah dilakukan secara tebatas untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri dan bersifat non-komersial.
40 Berdasarkan landasan yuridis pembentukan UU Paten, ketentuan dalam
Article 31 TRIPs telah di implementasikan dalam Pasal 111 UU Paten 2016.
Pasal tersebut menyebutkan bahwa pemerintah dalam hal melaksanakan
paten untuk kebutuhan mendesak bagi kepentingan masyarakat dapat
dilakukan pada produk farmasi dan/atau bioteknologi yang harganya mahal
dan/atau diperlukan untuk menanggulangi penyakit yang dapat
mengakibatkan terjadinya kematian mendadak dalam jumlah yang banyak,
menimbulkan kecacatan yang signifikan, dan merupakan Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKMMD) (Pasal 111 ayat
a UU Paten 2016). Selain produk farmasi, juga dapat dilaksanakan terhadap
produk kimia dan/atau bioteknologi yang berkaitan dengan pertanian untuk
ketahanan pangan, obat hewan untuk menanggulangi hama dan/atau
penyakit hewan yang berjangkit secara luas, serta proses dan/atau produk
untuk menanggulangi bencana alam dan/atau bencana lingkungan hidup
(Pasal 111 ayat b, c, dan d UU Paten 2016).
c. Imbalan Bagi Peneliti Pegawai Negeri Sipil Yang Merupakan Bagian Dari
Aparatur Sipil Negara Untuk Mendongkrak Jumlah Paten Domestik
Inventor dalam hubungan dinas tetap mempunyai hak moral meskipun
paten yang didaftarkan dimiliki oleh instansi tempatnya bekerja. Dalam
Pasal 13 UU Paten 2016 menyebutkan bahwa setelah paten dikomersialkan,
inventor dalam hubungan dinas dengan instansi pemerintah berhak
41 negara bukan pajak. Selain itu, inventor juga berhak untuk dicantumkan
namanya dalam sertifikat paten. Hal ini dapat meningkatkan antusias
peneliti Pegawai Negeri Sipil untuk lebih berinovasi lagi di bidang
teknologi.
d. New Invention dan Inventiv Step Untuk Publikasi Di Perguruan Tinggi Atau Lembaga Ilmiah Nasional
Selama ini diketahui bahwa invensi dapat dikatakan baru apabila tidak
sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya (Pasal 5 ayat (1) UU
Paten 2016). Hal ini merugikan inventor terutama yang bekerja di Perguruan
Tinggi yang biasanya invensinya disampaikan dalam sidang ilmiah karena
sudah tidak memenuhi syarat kebaruan. Untuk mengatasi itu, UU Paten
2016 dalam Pasal 6 ayat (1) huruh c menyatakan bahwa hal tersebut tidak
dianggap telah diumumkan jika dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan
sebelum Tanggal Penerimaan Invensi telah diumukan dalam sidang ilmiah
dalam bentuk ujian dan/atau tahap ujian skripsi, tesis, disertasi, atau karya
ilmiah lain, atau disampaikan dalam forum ilmiah lain di lembaga
pendidikan atau lembaga penelitian.
e. Invensi Tidak Mencakup Second Use Atas Paten Yang Sudah Kadaluarsa
Paten tidak diberikan pada penggunaan kedua atas suatu paten yang sudah
kadaluarsa karena bukan merupakan invensi, hanya merupakan discovery
42 Paten Tahun 2016 berupa penggunaan baru untuk produk yang sudah ada
dan/atau dikenal, dan/atau bentuk dari senyawa yang sudah ada yang tidak
menghasilkan peningkatan khasiat bermakna dan terdapat perbedaan
43 Tabel 3: Perubahan UU Paten No. 13 Tahun 2016 Yang Dapat Meningkatkan
Inventor Domestik di Indonesia secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktorat Jenderal.”
Pasal 24 ayat (4)
“Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan baik secara elektronik maupun non-berpendapat bahwa suatu Paten di Indonesia sangat penting artinya bagi pertahanan keamanan Negara dan kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat, suatu Paten ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah Presiden mendengarkan
pertimbangan Menteri dan menteri atau pimpinan instansi yang bertanggung (2) Pelaksanaan Paten oleh
45 Paten sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan Paten serupa itu hanya dapat dilakukan tahunan sampai dengan Paten tersebut dapat dilaksanakan.
dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan Paten hanya dapat dilakukan oleh Pemegang Paten dengan persetujuan Pemerintah. (3) Pemegang Paten yang
Patennya dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari kewajiban untuk membayar biaya tahunan. tahunan sampai dengan Paten dapat dilaksanakan.
3 Pasal 111
46 hewan yang berjangkit secara luas; dan/ atau d. proses dan/atau produk
untuk menanggulangi bencana alam dan/atau bencana lingkungan hidup.
4 Pasal 12
(1) Pihak yang berhak memperoleh Paten atas suatu Invensi yang dihasilkan dalam suatu
Pasal 13
(1) Pemegang Paten atas Invensi yang dihasilkan oleh Inventor dalam hubungan dinas dengan
Pada Pasal 12 UU
Paten lama, yang
berhak atas invensi
dalam hubungan
47 hubungan kerja adalah
pihak yang memberikan pekerjaan tersebut, kecuali diperjanjikan lain.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku terhadap Invensi yang dihasilkan baik oleh karyawan perjanjian tersebut tidak mengharuskannya untuk ekonomi yang diperoleh dari Invensi tersebut.
instansi pemerintah adalah instansi pemerintah dimaksud dan Inventor, kecuali Paten yang dihasilkannya dari sumber penerimaan negara bukan pajak. (3) Dalam hal instansi
48 (5) Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan hak Inventor untuk tetap dicantumkan namanya dalam sertifikat Paten.
5 Pasal 4
(1) Suatu Invensi tidak dianggap telah diumumkan jika dalam jangka waktu paling lama diumumkan jika dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum Tanggal Penerimaan, Invensi telah:
a. dipertunjukkan dalam suatu pameran resmi
49
Paten tidak diberikan untuk Invensi tentang: undangan yang berlaku,
50 moralitas agama, ketertiban
umum, atau kesusilaan; b. metode pemeriksaan,
perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan; c. teori dan metode di bidang
ilmu pengetahuan dan matematika; atau kecuali proses non-biologis atau proses mikrobiologis.
51 2. Prosedur Permohonan Paten Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2016 Tentang Paten
Pada UU Paten lama tidak diatur prosedur pengajuan permohonan paten
secara rinci, melainkan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun
1991 tentang Tata Cara Permintaan Paten. Dengan adanya UU Paten Tahun 2016
maka peraturan pemerintah tersebut sudah tidak berlaku lagi. Dalam UU Paten
Tahun 2016, inventor diberi kemudahan dalam mengajukan permohonan yaitu
dapat dilaksanakan secara elektronik (e-filling) maupun non-elektronik untuk
permohonan satu invensi (Pasal 24 UU Paten 2016). Program e-filling ini mampu
untuk meningkatkan inventor domestik dikarenakan banyak masyarakat yang
merasa kesulitan bahkan membutuhkan biaya dalam mendaftarkan patennya
yang mewajibkan inventor untuk datang langsung ke Ditjen HKI, apalagi
inventor yang berada di pulau-pulau lain hal ini menjadi hambatan besar bagi
mereka. Dengan adanya e-filling, bisa memudahkan pemohon yang ingin
mendaftarkan invensinya untuk dapat dilindungi paten.
Setiap permohonan paten diajukan untuk satu invensi atau beberapa
invensi yang merupakan invensi yang saling berkaitan (Pasal 24 ayat (3) UU Paten
2016). Pasal 25 ayat (1) UU Paten 2016 merumuskan Permohonan paten paling
sedikit memuat:
a. Tanggal, bulan dan tahun surat permohonan;
b. nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Inventor;
c. nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Pemohon dalam hal
52
d. nama dan alamat lengkap Pemohon dalam hal Pemohon adalah badan
hukum;
e. nama, dan alamat lengkap Kuasa dalam hal Permohonan diajukan
melalui Kuasa; dan
f. nama negara dan Tanggal Penerimaan Permohonan yang pertama kali
dalam hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas.
Lebih lanjut Pasal 25 ayat (2) UU Paten 2016 merumuskan bahwa pemohon
harus melampiri persyaratan:
a. judul invensi;
b. deskripsi tentang Invensi;
c. klaim atau beberapa klaim Invensi;
d. abstrak Invensi;
e. gambar yang disebutkan dalam deskripsi yang diperlukan untuk
memperjelas Invensi, jika Permohonan dilampiri dengan gambar;
f. surat kuasa dalam hal Permohonan diajukan melalui Kuasa;
g. surat pernyataan kepemilikan Invensi oleh Inventor;
h. surat pengalihan hak kepemilikan Invensi dalam hal Permohonan
diajukan oleh Pemohon yang bukan Inventor; dan
i. surat bukti penyimpanan jasad renik dalam hal Permohonan terkait
dengan jasad renik.
Dalam UU Paten 2016 Pasal 26 menyebutkan bahwa jika invensi berkaitan