• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Profil Kabupaten Tapanuli Selatan - Hubungan Produktivitas Salak (Salacca sumatrana) dan Status Hara Tanah Menurut Kemiringan Lereng di Tapanuli Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Profil Kabupaten Tapanuli Selatan - Hubungan Produktivitas Salak (Salacca sumatrana) dan Status Hara Tanah Menurut Kemiringan Lereng di Tapanuli Selatan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Profil Kabupaten Tapanuli Selatan

Pada zaman penjajahan Belanda, Kabupaten Tapanuli Selatan disebut

Afdeeling Padangsidimpuan yang dikepalai oleh seorang Residen yang

berkedudukan di Padangsidimpuan. Dengan keluarnya Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 37 dan 38 Tahun 2007 dan disyahkan pada tanggal 10 Agustus

2007 tentang Pembentukan Kabupaten Padang Lawas Utara dan Padang Lawas

(BPS Tapanuli Selatan, 2010) maka Kabupaten Tapanuli Selatan telah

dimekarkan menjadi empat Kabupaten dan satu Kotamadya, sehingga luas

wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan secara otomatis semakin berkurang.

Kabupaten Tapanuli Selatan terletak pada garis 0058’35”- 2007’33”

Lintang Utara dan 98042’50” – 99034’16” Bujur Timur. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Tapanuli Utara. Sebelah

Timur berbatasan dengan Kabupaten Padang Lawas dan Kabupaten Padang

Lawas Utara, sedangkan sebelas Selatan berbatasan dengan Kabupaten

Mandailing Natal. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Mandailing Natal

dan juga Samudera Indonesia. Luas Kabupaten Tapanuli Selatan adalah 4.367.05

km2, sedangkan ketinggiannya berkisan antara 0 – 1.925.3 di atas permukaan laut.

Curah hujan di Kabupaten Tapanuli Selatan cenderung tidak merata

disepanjang tahunnya. Pada bulan Maret terjadi curah hujan tertinggi (1.508 mm).

Sedangkan hari hujan terbanyak terjadi Bulan November yaitu 22 hari.

Dari luasan daerah Kabupaten Tapanuli Selatan tersebut tersebar pada

(2)

Menurut fungsinya hutan dibagi menjadi hutan lindung, hutan konservasi, hutan

produksi, hutan produksi terbatas, dan area penggunaan lain (Apl). Luas Wilayah

hutan Tapanuli Selatan mencapai 451.225 ha dimana persentase terbesar luas

hutan adalah areal penggunaan lain yaitu 32.17 persen dari keseluruhan luas

hutan. Setelah areal penggunaan lain, persentase kedua adalah hutan lindung

dengan 28.99 persen, hutan produksi 19.71 persen, hutan produksi terbatas 16.11

persen dan hutan konservasi sebesar 3.0 persen. Jumlah penduduk Kabupaten

Tapanuli Selatan berdasarkan angka agregat hasil Sensus Penduduk 2010 (SP

2010) sebesar 264.10 jiwa yang terdiri dari 131.43 jiwa penduduk laki-laki dan

132.67 jiwa penduduk perempuan, sedangkan jumlah rumah tangganya sebanyak

60.79 rumah tangga.

Berdasarkan lapangan usaha utama dapat dilihat bahwa penduduk yang

bekerja di sektor pertanian menempati urutan teratas yaitu 78.28 persen, kemudian

sektor perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel yaitu 8.76 persen dan

sektor jasa kemasyarakatan yaitu 5.27 persen (BPS Tapanuli Selatan, 2010).

Areal produksi salak di Tapanuli Sealatan terdapat di Kecamatan Angkola

Barat, Kecamatan Angkola Selatan dan Keecamatan Angkola Timur. Luas

pertanaman salak 13.928 ha dengan produksi 236.793 ton/tahun. Areal

pengembangan salak masih tersedia 15.000 ha. Demikian pula pertambahan luas

tanam dan produksi masih positif yang berarti bahwa potensi dan kecendrungan

terus meningkat (Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, 2011).

B. Tanaman Salak dan Pengembangannya

Tanaman Salak termasuk dalam suku Palmae (araceae) yang tumbuh

(3)

tersusun rapat dan berduri. Pada tanaman yang sudah tua, batangnya akan melata

atau menjulur kesamping dan dapat bertunas. Pada umumnya tunas ini dibiarkan

hidup menjadi pokok baru (Santosa et.al., 1996).

Daun majemuk menyirip, helaian daunnya panjang, pelepah dan

tangkainya berduri. Bentuk daun seperti pedang, pangkal daun menyempit,

cembung, bersegmen banyak dan tidak sama. Panjang daun 4 – 7 m (Tjahjadi,

1988)

Kebanyakan berumah dua (dioseus), karangan bunga terletak dalam

tongkol majemuk yang muncul diketiak daun, bertangkai, mula-mula tertutup oleh

seludang, yang belakangan mengering dan mengurai menjadi serupa serabut.

Tongkol bunga jantan 50 – 100 cm panjangnya, terdiri atas 4-12 bulir silindris

yang masing-masing panjangnya antara 7-15 cm dengan banyak bunga kemerahan

terletak diketiak sisik-sisik yang tersusun rapat. Tongkol bunga betina 20-30 cm,

bertangkai panjang terdiri atas 1-3 bulir yang panjangnya mencapai 10 cm

(Purwantoro, 2005)

Buah tipe buah batu berbentuk segitiga agak bulat atau bulat telur

terbalik, runcing dipangkalnya dan membulat diujungnya, panjangnya 2.5-10 cm

terbungkus oleh sisik-sisik berwarna kuning kecoklatan sampai coklat merah

mengkilap yang tersusun seperti genting, dengan banyak duri kecil yang mudah

putus di ujung masing-masing sisik. Dinding buah tengah tebal berdaging, kuning

krem sampai keputihan, berasa manis, masam atau sepat. Biji 1-3 butir, coklat

sampai kehitaman, keras, 2-3 cm panjangnya (Verheij dan Coronel, 1997).

Tanaman salak sesuai bila ditanam didaerah berzona iklim Aa, bcd, Babc

(4)

bulan/tahun dan C 5-7 bulan/tahun. Curah hujan rata-rata bulanan lebih dari 100

mm sudah tergolong dalam bulan basah, serta membutuhkan tingkat

kebasahan/kelembaban tinggi. Tanaman salak tidak tahan terhadap sinar matahari

penuh (100%), tetapi cukup 50%-70% karena itu diperlukan adanya tanaman

peneduh. Suhu yang paling baik antara 20-300C. Salak membutuhkan kelembaban tinggi tetapi tidak tahan terhadap genangan air (BPP Iptek, 2010).

Tanaman salak menyukai tanah yang subur, gembur dan lembab. Derajat

keasaman tanah (pH) yang cocok untuk budidaya salak adalah 4.5-7.5. Kebun

salak tidak tahan terhadap genangan air. Untuk pertumbuhannya membutuhkan

kelembaban tinggi. Tanaman salak tumbuh pada ketinggian tempat 100 – 500 m

dpl (BPP Iptek, 2010).

Buah salak dipanen pada saat umur buah mencapai 6 bulan sejak hari

penyerbukan. Saat yang tepat untuk memanen adalah menjelang buah matang

pohon, buah memiliki rasa enak dan aroma yang khas.

Ciri-ciri visual buah salak yang layak dipanen pada stadium matang di

pohon adalah warna kulit buah bersih dan mengkilat, bila dipegang atau dipijat

terasa empuk dan dan kulitnya tidak kasar, serta beraroma khas, bahkan

kadang-kadang kelihatan retak. Disamping itu, bila sudah dikupas warna bijinya coklat

kehitam-hitaman, daging buahnya kenyal atau empuk dan duri-duri kecil buah

sudah tumpul, sisik kulit luarnya sudah melebar, dan bila dipetik mudah terlepas

dari tangkai buah (Rahmat, 2003).

Dalam budidaya tanaman salak, hasil yang dapat dicapai dalam satu

musim tanam adalah 15 ton per hektar, sedang masa panennya terdapat empat

(5)

sedang pada bulan Mei, Juni dan Juli (3) panen kecil pada bulan Pebruari, Maret,

dan April (4) masa kosong/istirahat pada bulan-bulan Agustus, September dan

Oktober (BPP Iptek, 2010).

Sebagai tanaman asli Indonesia, salak mempunyai masa depan yang cerah

untuk dikembangkan baik untuk memenuhi pasaran lokal ataupun pasar luar

negeri. Di Indonesia produksi buah ini mengalami peningkatan yang tajam dari

tahun 1983-1987. Bila ditahun 1983 produksinya hanya 52.014 ton dan menurun

sedikit ditahun 1984 menjadi 46.456, maka pada tahun-tahun berikutnya produksi

buah salak melonjak dengan pesat. Produksi tahun 1987 tiga kali lipat lebih

banyak dari produksi tahun 1983. Akan tetapi, produksi pada tahun 1988 dan

1989 mengalami penurunan (BPP Iptek, 2010).

Areal produksi salak di Tapanuli Selatan terdapat di Kecamatan Angkola

Barat, Kecamatan Angkola Selatan dan Kecamatan Angkola Timur. Luas

pertanaman salak 13.928 Ha dengan produksi 236.793 ton/tahun. Areal

pengembangan salak masih tersedia 15.000 ha. Demikian pula pertambahan luas

tanam dan produksi masih positif yang berarti bahwa potensi dan

kecendrungan terus meningkat (Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, 2011).

C. Kemiringan Lereng dan Produksi

Degradasi lahan mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas sifat fisika

tanah,kemudian sifat-sifat fisik tanah tercermin antara lain menurunnya kapasitas

infiltrasi dan kemampuan tanah menahan air, meningkatnya kepadatan dan

ketahanan penetrasi tanah dan berkurangnya kemantapan struktur tanah sehingga

dapat menyebabkan terjadinya erosi (Arsyad, 2000). Berkaitan dengan hal

(6)

berkaitan dengan proses erosi adalah jenis penggunaan lahan dan kemiringan

lereng.

Lereng mempengaruhi erosi dalam hubungannya dengan kecuraman dan

panjang lereng. Lahan dengan kemiringan lereng yang curam (30%-45%)

memiliki pengaruh gaya berat (grafity) yang lebih besar dibandingkan lahan

dengan kemiringan lereng agak curam (15%-30%) dan landai (8%-15%). Hal ini

disebabkan gaya berat semakin besar sejalan dengan semakin miringnya

permukaan tanah dari bidang horizontal. Gaya berat ini merupakan persyaratan

mutlak terjadinya proses pengikisan (detachment), pengangkutan (transportation)

dan pengendapan (sedimentation) (Wiradisastra, 1999).

Kondisi lereng yang semakin curam mengakibatkan pengaruh gaya berat

dalam memindahkan bahan – bahan yang terlepas meninggalkan lereng semakin

besar pula.Jika proses tersebut terjadi pada kemiringan lereng lebih dari 8%,

maka aliran permukaan akan semakin meningkat dalam jumlah dan kecepatan

seiring dengan semakin curamnya lereng. Berdasarkan hal tersebut, diduga

penurunan sifat fisik tanah akan akan lebih besar terjadi pada lereng 30%-45%.

Hal ini disebabkan pada daerah yang berlereng curam (30%-45%) terjadi erosi

terus menerus sehingga tanah-tanahnya bersolum dangkal, kandungan bahan

organik rendah, tingkat kepadatan tanah yang tinggi, serta porositas tanah yang

rendah dibandingkan dengan tanah-tanah didaerah datar yang air tanahnya dalam.

Perbedaan lereng juga menyebabkan perbedaan banyaknya air tersedia bagi

tumbuh-tumbuhan sehingga mempengaruhi pertumbuhan vegetasi ditempat

(7)

Vegetasi berperan penting dalam melindungi tanah dari erosi. Menurut

Morgan (1979), keefektifan vegetasi dalam menekan aliran permukaan dan erosi

di pengaruhi oleh tinggi tajuk, luas tajuk, kerapatan vegetasi dan kerapatan

perakaran. Sedangkan menurut Arsyad (2000), faktor–faktor yang berpengaruh

terhadap besarnya aliran permukaan maupun erosi adalah kondisi fisik lingkungan

yang meliputi iklim, topografi, dan pola penggunaan lahan.

Sifat –sifat tanah yang umumnya berhubungan dengan relief tanah adalah

tebal solum, tebal dan kandungan bahan organik horizon A, kandungan air tanah

warna tanah, tingkat perkembangan horizon, pH tanah, kandungan garam mudah

larut, jenis tingkat dan perkembangan padas, suhu dan sifat dari bahan induk tanah

(Hardjowigeno, 1993).

Pada daerah yang berlereng curam akan terjadi erosi yang terus menerus,

sehingga tanah - tanah di tempat ini bersolum dangkal. Kandungan bahan organik

rendah dan perkembangan horizon lambat di bandingkan dengan tanah - tanah

di daerah datar yang air tanahnya dalam. Sebagai akibat adanya keragaman sifat

fisik dan kimia tanah tersebut maka terdapat perbedaan dalam pertumbuhan dan

produksi tanaman yang diperolehnya.

D. Potensi Lahan

Secara umum suatu keberhasilan pengembangan pertanaman ditentukan

oleh status hara dan lingkungan dimana komoditas itu dikembangkan. Agro

ekosiostem atau faktor biofisik seperti tanah dan iklim menjadi peluang atau

kendala dalam pembangunan komoditas tersebut (Efendi, 2011).

Kesuburan tanah sebagai status tanah yang menunjukkan kapasitas untuk

(8)

tanaman tanpa adanya konsentrasi meracun dari unsur manapun. Pengertian

tersebut menunjukkan bahwa tanah yang subur mempunyai kemampuan memasok

unsur hara dalam jumlah yang cukup dan berimbang kepada tanaman, sehingga

tanaman tumbuh dan berkembang dengan sehat dan berproduksi dengan

potensinya (Munawar, 2011).

1. Nitrogen

Nitrogen adalah unsur yang diperlukan untuk membentuk senyawa

penting di dalam sel, termasuk protein, DNA dan RNA. Tanaman harus

mengekstraksi kebutuhan nitrogennya dari dalam tanah. Sumber nitrogen yang

terdapat dalam tanah, makin lama makin tidak mencukupi kebutuhan tanaman,

sehingga perlu diberikan pupuk sintetik yang merupakan sumber nitrogen untuk

mempertinggi produksi.

Nitrogen (N) merupakan bagian dari semua sel hidup. Di dalam tanaman

N berfungsi sebagai komponen utama protein, hormon. Klorofil, vitamin dan

enzim-enzim esensial untuk kehidupan tanaman. Ia menyusun 40% - 50% bobot

kering protoplasma, bahan sel hidup tanaman. Oleh karena itu, N diperlukan

dalam jumlah besar untuk seluruh proses pertumbuhan di dalam tanaman.

Metabolisme N merupakan faktor utama pertumbuhan vegetatif, batang dan daun.

Tanaman yang mendapat pasokan N cukup, pertumbuhan vegetatifnya baik

dengan ciri warna hijau tua, tetapi pasokan yang terlalu banyak dapat menunda

pembungaan dan pembentukan buah. Sebaliknya, kekurangan pasokan N

menyebabkan daun menguning, pertumbuhan kerdil dan gagal panen (Munawar,

(9)

Keberadaan unsur nitrogen juga sangat penting terutama kaitannya

dengan pembentukan klorofil. Klorofil dinilai sebagai “mesin” tumbuhan karena

mampu mensistesis karbohidrat yang akan menunjang pertumbuhan tanaman.

Keberadaan nitrogen dalam struktur tumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor

terutama ketersediaan air, unsur hara dalam tanah terutama nitrogen. Intensitas

cahaya berpengaruh terhadap aktivitas fotosintesis. Untuk membentuk klorofil,

dibutuhkan ATP (energi) yang cukup tinggi dan untuk asimilasi CO2 juga

diperlukan enzim yang sebagian besar berupa protein (Suharno dkk, 2007).

2. Fosfor

Fosfor (P) adalah unsur hara esensial penyusun beberapa senyawa kunci

dan sebagai katalis reaksi-reaksi biokimia penting di dalam tanaman. Ia berperan

dalam menangkap dan mengubah energi matahari menjadi senyawa-senyawa yang

sangat berguna bagi tanaman. Itulah peran vital P di dalam nutrisi tanaman agar

tanaman dapat tumbuh, berkembang dan berproduksi dengan normal.

Meskipun perannya begitu penting untuk tanaman, jumlah yang dapat

dipasok oleh tanah pada umumnya terbatas. Kandungan P dalam tanah sendiri

sangat beragam, yaitu antara 0.02% sampai 0.5%, dengan rata-rata 0.05%. Jumlah

P pada tanah atasan rata-rata 1000 kg P/ha, tidak begitu besar dibandingkan

dengan jumlah yang diangkut tanaman sejumlah 4 sampai 40 kg P/ha setiap

tahun. Hal ini karena sebagian besar fraksi P di dalam berada dalam bentuk

mineral atau senyawa yang tidak mudah dimanfaatkan oleh tanaman (Munawar,

2011).

Di dalam tanah, fosfat dapat berbentuk organik dan anorganik yang

(10)

organik, sedangkan fosfat anorganik berasal dari mineral-mineral yang

mengandung fosfat. Pelarutan senyawa fosfat oleh mikroorganisme pelarut fosfat

berlangsung secara kimia dan biologis, baik untuk bentuk fosfat organik maupun

anorganik. Mikroorganisme pelarut fosfat membutuhkan adanya fosfat dalam

bentuk tersedia dalam tanah untuk pertumbuhannya.

Mekanisme pelarutan fosfat secara kimia merupakan mekanisme

pelarutan fosfat utama yang dilakukan oleh mikroorganisme. Mikroorganisme

tersebut mengekskresikan sejumlah asam organik berbobot molekul rendah seperti

oksalat, propionat, glikolat, glutamat, glioksilat, malat dan fumarat. Meningkatnya

asam-asam organik tersebut diikuti dengan penurunan pH.

Pelarutan fosfat secara biologis terjadi karena mikroorganisme tersebut

menghasilkan enzim antara lain enzim fosfatase dan enzim fitase. Fosfatase

merupakan enzim yang akan dihasilkan apabila ketersediaan fosfat rendah.

Fosfatase diekskresikan oleh akar tanaman dan mikroorganisme dan di dalam

tanah yang lebih dominan adalah fosfatase yang dihasilkan oleh mikroorganisme.

Pada proses mineralisasi bahan organik, senyawa fosfat organik diuraikan menjadi

bentuk fosfat anorganik yang tersedia bagi tanaman dengan bantuan enzim

fosfatase. Enzim fosfatase dapat memutuskan fosfat yang terikat oleh

senyawa-senyawa organik menjadi bentuk yang tersedia.

3. Kalium

Di dalam tanaman unsur hara K dan P ada saling ketergantungan. Unsur

K berfungsi sebagai media transportasi yang membawa hara-hara dari akar

termasuk hara P ke daun dan mentranslokasi asimilat dari daun ke seluruh

(11)

transportasi dalam tanaman. Oleh karena itu, agar proses transportasi unsur hara

maupun asimilat dalam tanaman dapat berlangsung optimal maka unsur K dalam

tanaman harus optimal (Taufiq, 2002).

Bersama-sama dengan unsur N dan P, Kalium (K) adalah unsur hara

esensial primer bagi tanaman yang diserasp oleh tanaman dalam jumlah yang

lebih besar dibandingkan dengan unsur-unsur hara lainnya, kecuali N. Meskipun

kandungan total K di dalam tanah biasanya beberapa kali lebih tinggi daripada

yang diserap oleh tanaman selama musim tanam, seringkali hanya sebagian kecil

K tanah yang tersedia bagi tanaman. Kandungan K di dalam tanah beragam, mulai

dari 0,1% - 3%, dengan rata-rata 1% K. Tetapi, sebagian besar (sampai 98%) K

tanah terikat dalam bentuk mineral, sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Bahkan,

banyak tanah yang mengandung sejumlah K total besar masih tanggap terhadap

pemberian pupuk. Di dalam tanah, interaksi antara K dan mineral tanah sangat

menentukan ketersediaan K bagi tanaman (Munawar, 2011).

Bentuk kalium tersedia dalam tanah untuk diserap tanaman adalah K

dapat ditukar (Kdd) dan K larutan (K+), serta sebagian kecil K tidak dapat

ditukar. Tanaman menyerap K dari tanah dalam bentuk ion K+ (Silahooy, 2008).

4. Magnesium

Hara makro Magnesium (Mg) merupakan unsur hara esensial yang

sangat dibutuhkan tanaman dalam pembentukan hijau daun (chlorofil) dan sebagai

co-faktor hampir pada seluruh enzim dalam proses metabolisme seperti proses

fotosintesa, pembentukan sel, pembentukan protein, pembentukan pati, transfer

energi serta mengatur pembagian dan distribusi karbohidrat keseluruh jaringan

(12)

Menurut Munawar (2011), Magnesium tanah berasal dari komposisi

batuan yang mengandung mineral biotir, dolimit, hornblende, serpentin, epsomit,

dan olivin. Kandungan Mg di dalam tanah beragam, tergantung kepada jenis

tanahnya. Pada umumnya kandungan Mg berkisar 0.05 % di tanah-tanah berpasir

atau telah mengalami pelindian dan pelapukan lanjut, dan 0.5% pada tanah-tanah

bertekstur liat pada daerah cekungan/depresi. Seperti halnya Ca, bentuk Mg di

dalam tanah dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk, yaitu Mg larut air, Mg

dapat ditukar (K-tukar), dan Mg tidak dapat ditukar. Ketiga bentuk Mg tersebut

saling berkeseimbangan.

5. C_ Organik

Pupuk organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan organik

asal tanaman dan hewan yang dapat dirombak menjadi hara tersedia bagi

tanaman. Dalam Permentan No.2/Pert/Hk.060/2/2006, dalam Simanungkalit 2

(pupuk organik dan pembenah tanah), dikemukakan bahwa pupuk organik adalah

pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang

berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat

berbentuk padat atau cair yang digunakan mensuplai bahan organik untuk

memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Definisi tersebut menunjukkan

bahwa pupuk organik lebih ditujukan kepada kandungan c-organik atau bahan

organik daripada kadar haranya; nilai c-organik itulah yang menjadi pembeda

dengan pupuk anorganik. Bila c-organik rendah dan tidak masuk dalam ketentuan

pupuk organik maka diklasifikasikan sebagai pembenah tanah organik. Pembenah

tanah atau soil ameliorant menurut SK Mentan adalah bahan-bahan sintesis atau

(13)

Bahan organik yang berasal dari sisa tanaman mengandung bermacam-

macam unsur hara yang dapat dimanfaatkan kembali oleh tanaman jika telah

mengalami dekomposisi dan mineralisasi. Sisa tanaman ini memiliki kandungan

unsur hara yang berbeda kualitasnya tergantung pada tingkat kemudahan

dekomposisi serta mineralisasinya. Unsur hara yang terkandung dalam sisa bahan

tanaman baru bisa dimanfaatkan kembali oleh tanaman apabila telah mengalami

dekomposisi dan mineralisasi.

6. pH

pH di definisikan sebagai kemasaman atau kebasaan relatif suatu bahan.

Skala pH mencakup dari nilai nol (0) hingga 14. Nilai pH 7 dikatakan netral. Di

bawah pH 7 dikatakan asam, sedangkan di atas 7 dikatakan basa. Asam menurut

teori adalah suatu bahan yang cenderung untuk memberi proton (H+) ke beberapa

senyawa lain, demikian sebaliknya apabila basa adalah suatu bahan yang

cenderung menerimanya.

Pengaruh utama pH di dalam tanah adalah pada ketersediaan dan sifat

meracun unsur seperti Fe (besi), Al (Alumunium), Mn (Mangan), B (Boron), Cu

(seng). Di dalam tanah pH sangat penting dalam menentukan aktifitas dan

dominasi mikroorganisme, dalam hubungannya dengan peoses proses yang sangat

erat hubungannya dengan mikroorganisme seperti siklus hara (nitrifikasi,

denitrifikasi), penyakit tanaman, dekomposisi dan sintesis senyawa kimia organik

dan transport gas ke atmosfer.

Di bidang pertanian pengukuran pH tanah juga digunakan untuk

memonitor pengaruh praktek pengolahan pertanian terhadap efisiensi penggunaan

(14)

pH Tanah menunjukkan derajat keasaman tanah atau keseimbangan

antara konsentrasi H+ dan OH- dalam larutan tanah, dimana dapat dijabarkan

sebagai berikut :

- Apabila konsentrasi H+ dalam larutan tanah lebih banyak dari OH- maka

suasana larutan tanah menjadi asam

- Apabila konsentrasi OH- lebih banyak dari pada konsentrasi H+ maka

suasana tanah menjadi basa. pH tanah sangat menentukan pertumbuhan

tanaman, pH tanah yang optimal bagi pertumbuhan tanaman adalah antara

5.6-6.0. Jika pH tanah lebih rendah dari 5.6 pada umumnya pertumbuhan

tanaman menjadi terhambat akibat rendahnya ketersediaan unsur hara

penting seperti posfor dan nitrogen. Bila pH lebih rendah dari 4.0 pada

umumnya terjadi kenaikan Al3+ dalam larutan tanah yang berdampak secara fisik merusak sistem perakaran, terutama akar-akar muda, sehingga

pertumbuhan tanaman menjadia terhambat.

Menurut Munawar (2011), banyak unsur didalam tanah mengalami

perubahan bentuk akibat perubahan reaksi di dalam tanah. Hal ini terkait dengan

perubahan tingkat kelarutan senyawa dari unsur-unsur tersebut di dalam tanah

dengan pH lingkungan di dalam tanah. Oleh karena itu, pH tanah

bertanggungjawab terhadap ketersediaan hari bagi tanaman.

Menurut Hardjowigeno (19950 kriteria sifat kimia tanah secara umum

(15)

Tabel 1. Kriteria Sifat Kimia Tanah Secara Umum

Sifat Tanah Sangat

rendah Rendah Sedang Tinggi

Gambar

Tabel 1. Kriteria Sifat Kimia Tanah Secara Umum

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu program pemberantasan demam berdarah oleh Puskesmas adalah pemantauan jentik berkala (PJB) yang dilakukan 4 kali dalam setahun.. Selain itu juga ada program lain

Namun hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Hutagulung, Djumahir dan Ratnawati (2013) dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat disimpulkan permasalahan dalam penelitian ini yaitu “ Apakah ada hubungan tingkat pengetahuan

transformasi Backlund yang telah diperoleh dari penerapan invariant Galileo pada. persamaan

Apakah dengan adanya strategi pemecahan masalah logika terstruktur menggunakan Lernbaran Tugas Terpadu dapat menambah pernahaman anda terhadap materi yang

System harus bisa mengatur jumlah konsumen yang menggunakan sistem ini dalam melakukan pengiriman barang baik perhari, minggu, bulan dan tahunan guna mengetahui persentase

Tri Jaya Abadi, maka dibuatlah suatu sistem informasi kontrol stok retail yang sistematis sehingga perusahaan dapat melakukan transaksi dan menyajikan laporan transaksi secara

Dimana Safety Talk pengendalian kecelakaan kerja yang dilakukan dengan pendekatan manusia secara manusia dikarenakan 85% kecelakaaan disebabkan oleh faktor manusia dengan