• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH Aspek Hukum dalam Ekonomi Hukum (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH Aspek Hukum dalam Ekonomi Hukum (1)"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

Aspek Hukum dalam Ekonomi

‘’Hukum Perjanjian’’

Dosen Pengampu :Dr. Rosdalina, M.Hum

Disusun Oleh:

1. Ibrahim A. Dai

(15.4.1.043)

2. Isroul Khusna

(15.4.1.037)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MANADO

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

(2)

1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Suatu kontrak ataau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan dipenuhinya 4 syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanian menjadi sah dan mengikat secara hkum bagi para pihak yang membuatnya.

Permasalahan hukum akan timbul jika sebelum perjanjian tersebut sah dan mengikat pada pihak,yaitu dalam proses perundingan atau preliminiary negotiation, salah satu pihak telah melakukan perbuatan hukum seperti meminjamkan uang,membeli tanah, padahal belum tercapai kesepakatan final antara mereka mengenai kontrak bisnis yang dirundingkan. Hal ni dapat terjadi karena salah satu pihak begitu percaya dan menaruh pengharapan terhadap janji-janji yang diberikan oleh rekan bisnisnya. Jika pada akhirnya perundingan mengalami jalan buntuh dan tidk tercapai kesepakatan,misalnya tidak tercapai kesepakatan mengenai fees,royalities atau jangka waktu lisensi, maka tidak dapat dituntut ganti rugi atas segala biaya, investasi yang telah dikeluarkan kepada rekan bisnisnya. Karena menurut teori kontrak yang klasik,belum terjadi kontrak, mengingat besarnya fees,royalities dan jangka waktu perjanjian merupakan hal yang essential dalam suatu perjanjian lisensi dan franchising1

B. Rumusan Masalah

(3)

1. Apakah Pengertian Perjanjian ? 2. Apa saja macam-macam Perjanjian ? 3. Bagaimana syarat Sahnya Perjanjian ? 4. Bagaimana Saat Lahirnya Perjanjian ?

5. Bagaimana Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian ? 6.Apa saja Pihak-pihak dalam perjanjian?

(4)

1.Pengertian perjanjian

Menurut ketentuan pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,” Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.2

Jika diperhatikan,rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Pedata tersebut ternyata menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya kepada orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirnya kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas prestasi tersebut merupakan perikatan yang harus dipenuhi oleh orang atau subjek hukum tersebut.3 Dengan demikian,rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak,dimana satu pihak merupakan pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya merupakan pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih orang. Bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum,pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum. 4 definisi perjanjian dalam pasal 1313 ini adalah : (1) tidak jelas,karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian, (2) tidak tampak asas konsensualisme,dan (3) bersifat dualisme. Tidak jelasnya definisi ini disebabkan didalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja,sehingga yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian. Untuk memperjelas pengertian itu, maka harus dicari dalam doktrin. Menurut doktrin (teori lama),yang disebut

2 Gunawan Widjaja,Memahami prinsip keterbukaan dalam Hukum perdata,PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm 248

3 Gunawan Widjaja,Memahami prinsip keterbukaan dalam Hukum perdata,PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm 249

(5)

perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dari definisi diatas,telah tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (tumbuh/lenyapnya hak dan kewajiban).

Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne,yang diartikan dengan perjanjian,adalah :

“Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.5

2. Bentuk-bentuk perjanjian

Bentuk perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam,yaitu : tertulis dan lisan. Perjanjian tertulis adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan,sedangkan perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat oelh para pihak dala wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak). Ada tiga bentuk perjanjian tertulis,sebagaimana dikemukakan berikut ini.

a. Perjanjian dibawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan saja. Perjanjian semacam itu hanya mengikat para pihak dalam perjanjian,tetapi tidak mempunyai kekuatan mengikat pihak ketiga. Dengan kata lain,jika perjanjian tersebut disangkal pihak ketiga, maka para pihak atau salah satu pihak dari perjanjian tersebut berkewajiban untuk mengajukan bukti-bukti yang diperlukan untuk membuktikan bahwa keberatan pihak ketiga dimaksud adalah tidak berdasar dan tidak dapat dibenarkan.6

b. Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak. Fungsi kesaksian notaris atau suatu dokumen semata-mata hanya untuk melegalisir kebenaran tanda tangan para pihak. Akan tetapi kesaksian

5 Salim HS,,Pengantar hukum perdata tertulis (BW), Sinar Grafika , Jakarta, 2005, hlm 160-161

(6)

tersebut tidaklah mempengaruhi kekuatan hukum dari isi perjanjian. Salah satu pihak mungkin saja menyangkal isi perjanjian. Namun,pihak yang menyangkal tersebut adalah pihak yang harus membuktikan penyangkalannya.7

c. Perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta notariel. Akta notariel adalah akta yang dibuat dihadapan dan dimuka pejabat yang berwenang untuk itu. Pejabat yang berwenang untuk itu adalah notaris,camat PPAT, dan lain-lain. Jenis dokumen ini merupakan alat bukti yang sempurna bagi para pihak yang bersangkutan maupun pihak ketiga.8

Ada tiga fungsi akata notariel (akta autentik), yaitu:

a. Sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah mengadakan perjanjian tertentu.

b. Sebagai bukti bagi para pihak bahwa apa yang tertulis dalam perjanjian adalah menjadi tujuan dan keinginan para pihak.

c. Sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu,kecuali jika ditentukan sebaliknya, para pihak telah mengadakan perjajian dan bahwa isi perjanjian adalah sesuai dengan kehendak para pihak.

Akta notariel merupakan bukti prima facie mengenai fakta, yaitu pernyataan atau perjanjian yang termuat dalam akta notaris,mengingat notaris diindonesia adalah pejabat umum yang mempunyai kewenangan untuk memberikan kesaksian atau melegalisir suatu fakta. Jika isi dari fakta semacam itu disangkal disuatu pengadilan,maka pengadilan harus menghormati dan mengakui isi akta notariel,kecuali jika pihak yang menyangkal dapat membuktikan bahwa

7 Salim HS,,Pengantar hukum perdata tertulis (BW), Sinar Grafika , Jakarta, 2005, hlm 166-167

(7)

bagian tertentu dari akata telah diganti atau bahwa hal tersebut bukanlah yang disetujui oleh para pihak,pembuktian mana sangat berat.9

3. Syarat Sahnya Perjanjian

Seperti telah dikemukakan bahwa sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian, sebab dengan melalui perjanjian pihak-pihak dapat membuat segala macam perikatan, sesuai degan asas kebebasan berkontrak yang terkandung dalam buku III BW. Tetapi seperti juga telah dikemukakan kebebasan berkontrak tersebut bukan bearti boleh membuat kontrak/perjanjian secara bebas, melainkan harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk sahnya suatu kontrak/perjanjian. Maksud kebebasan berkontrak adalah bebas untuk menetukan atau menetapkan isi dan macamnya kontrak / perjanjian, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum (pasal 1335 dan 1337 BW). Dengan kata lain pihak pembuat kontrak/perjanjian tersebut dalam keadaan bebas, tetapi bebas dalam arti tetap selalu berada dalam ruang gerak yang dibenarkan atau sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.10

Syarat-syarat untuk sahnaya suatu perjanjian disebutkan dalam pasal 1320 BW yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemuan atau saling menyetujui kehendak masing-masing,yang dilahirkan oleh para pihak dengan tiada paksaan11,kekeliruan dan penipuan. Persetujuan mana dapat dinyatakan secara tegas maupun secara diam-diam.12

9 Salim ,Pengantar hukum perdata tertulis (BW), Sinar Grafika , Jakarta, 2005,hal 166-167

10 Riduwan Syahrani, seluk beluk dan asas-asas hukum perdata, Alumni, Bandung, 1992 hal 213

11 Salim ,Pengantar hukum perdata tertulis (BW), Sinar Grafika , Jakarta, 2005,hal 205

(8)

Prof. Subekti SH dalam bukunya Hukum perjanjian menyatakan bahwa menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap dilahirkan pada saat dimana pihak yang melakukan penawaran (efferte) menerima yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Bahwasanya mungkin ia tidak membaca surat itu maka hal itu menjadi tsnggung jawabnya sendiri. Ia dianggap sepantasnya membaca surat-surat yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.13

Menurut Prof. Dr.Wirjono Prodjodikoro SH, Ontvangs theorie dan Vernemings theorie dapat dikawinkan sedemikian rupa,yaitu dalam keadaan biasa perjanjian harus dianggap terjadi pada saat surat peneriman sampai pada alamat penawar (Ontvangs theorie), tetapi dalam keadaan biasa kepada sipenawar diberikan kesempatan untuk membuktikan bahwa itu mungkin dapat mengetahui isi surat penerimaan pada saat surat itu sampai di alamatnya, melainkan baru beberapa hari kemudian atau beberapa bulan kemudian,misalnya karena berpergian atau sakit keras.14

Menurut wils-theorie (teori kemauan),tidak terjadi perjanjian,tetapi pihak yang mengeluarkan pernyataan tersebut tidak lepas begitu saja dari tanggung jawab atas akibat-akibat yang timbul karena pernyataan yang dikeluarkan tapi keliru itu. Sehingga dalam hal ini ia diwajibkan untuk membayr ganti kerugian kepada siapa yang menderita kerugian akibat tindakannya mengeluarkan pernyataan meskipun tidak sesuai dengn keinginanya. Sedangkan menurut vertrouwens-theorie (teori kepercayaan),telah terjadi erjanjian. Sebab kemauan yang masih disimpan dalam hati sanubari artinya belum dinyatakan belum diatur oleh hukum. Hukum hanya mengatur apa-apa yang lahir dan dilahirkan yakni

13 Riduwan Syahrani, seluk beluk dan asas-asas hukum perdata, Alumni, Bandung, 1992 hal 216

(9)

segala yang tampak dari tingkah laku orang seorang dalam pergaulan hidup ditengah-tengah masyarakat.15

2. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi objek suatu perjanjian. Menurut pasal 1333 BW barang yang menjadi obyek suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan,asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan.16

Selanjutanya,dalam pasal 1334 ayat (1) BW ditentukan bahwa barang-barang yang baru akan ada kemudian hari juga dapat menjadi obyek suatu perjanjian.17

Menurut Prof.Dr.Wirjono Prodjodikoro,S.H. Barang yang belum ada yang dijadikan obyek perjanjian tersebut bisa dalam pengertian mutlak (absolut) dan bisa dalam pengertian relatif (nisbi). Belum ada dalam tanamannya baru sedang berbunga. Sedangkan belum ada dalam pengertian relatif misalnya perjanjian jual-beli beras, beras yang diperjual-jual-belikan sudah berwujud beras,pada saat perjanjian diadakan masih milik orang lain, tetapi akan menjadi milik penjual.18

Namun, menurut pasal 1334 ayat (2) BW barang-barang yang akan masuk hak warisan seseorang karena yang lain akan meninggalkan dunia dilarang dijadikan obyek suatu perjanjian, kendati pun hal itu dengan kesepakatan orang yang meninggalkan barang-barang warisan itu. Adanya larangan ini karena menjadikan barang yang akan diwarisi sebagai obyek perjanjian bertentangan denga kesusilaan. Lain halnya jika barang yang akan diwarisi itu dihibahkan oleh

15 Riduwan Syahrani, seluk beluk dan asas-asas hukum perdata, Alumni, Bandung, 1992 hal 217

16 Riduwan Syahrani, seluk beluk dan asas-asas hukum perdata, Alumni, Bandung, 1992 hal 210

17 Riduwan Syahrani, seluk beluk dan asas-asas hukum perdata, Alumni, Bandung, 1992 hal 210

(10)

calon suami kepada calon istri dalam perjanjian kawin atau leh pihak ketiga kepada calon suami atau calon istri, ini diperkenakan.19

Kemudian dalam pasal 1332 BW ditentukan bahwa barang-barang yang dpat dijadkan obyek perjanjian hanyalah barang-barang yang dapat diperdagangkan. Lazimnya barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum danggap sebagai barang-barang di luar perdagangan, sehingga tidak bisa dijadikan obyek perjanjian (selanjutnya lihat pasal 521,522 dan 523 BW).20

3. Suatu sebab yang halal

Suatu sebab yang halal merupakan syarat yang keempat untuk sahnya perjanjian. Mengenai syarat ini pasal 1335 BW menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.21

Ternyata pembentukan undang-undang membayangkan 3 macam perjanjian mungkin terjadi yakni (1) perjanjian yang tanpa sebab, (2) perjanjian dengan suatu sebab ang alsu atau terlarang, dan (3) perjanjian dengan suatu sebab yang halal.22

Akhirnya,Pasal 1337 BW menentukan bahwa sesuatu sebab dalam perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.23

Demikianlah syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian pada umumnya sebagaimana dikehendaki Pasal 1320 BW. Untuk perjanjian-perjanjian tertentu adakalanya ditentukan syarat lain berupa

formalitas-19 Riduwan Syahrani, seluk beluk dan asas-asas hukum perdata, Alumni, Bandung, 1992 hal 210

20 Riduwan Syahrani, seluk beluk dan asas-asas hukum perdata, Alumni, Bandung, 1992 hal 210

21 Riduwan Syahrani, seluk beluk dan asas-asas hukum perdata, Alumni, Bandung, 1992 hal 211

22 Riduwan Syahrani, seluk beluk dan asas-asas hukum perdata, Alumni, Bandung, 1992 hal 211

(11)

formalitas tertentu misalnya perjanjan perdamaian (Pasal 1851 ayat (2) BW), perjanjian tentang besarnya bunga (Pasal 1767 ayat (3) BW, perjanjian yang dimaksud mengalihkan hak atas tanah (Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997.24

Syarat 1 dan 2 dinamakan syarat-syarat subyektif karena mengenai subyek yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat ke-2 dan 3 dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai obyek perjanjian.25

Kalau syarat-syarat subyektif tidak dipenuhi, perjanjiannya dapat dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang tidak cakap atau yang memberikan kesepakatan secara tidak bebas. Hak untuk meminta pembatalan perjanjian ini dibatasi dalam waktu 5 tahun (1454 BW). Selama tidak dibatalkan perjanjian tersebut tetap mengikat. Sedangkan syarat-syart obyektif yang tidak dipenuhi, perjanjiannya batal demi hukum. Artinya,dri semula tidak pernah dilahirkkan suatu perjanjian dan tidak perna ada perikatan. Sehingga tiada dasar untuk saling menuntut dimuka hakin(pengadilan).26

4. Saat dan tempat lahirnya perjanjian

Menurut asas konsensualisme, suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang lain, meskipun tidak sejurusan tetapi secara timbal balik, kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.27

24 Riduwan Syahrani, seluk beluk dan asas-asas hukum perdata, Alumni, Bandung, 1992 hal 212

25 Riduwan Syahrani, seluk beluk dan asas-asas hukum perdata, Alumni, Bandung, 1992 hal 213

26 Riduwan Syahrani, seluk beluk dan asas-asas hukum perdata, Alumni, Bandung, 1992 hal 213

(12)

Dengan demikian, untuk mengetahui apakah telah lahirnya suatu perjanjian dan bila perjanjian itu dilahirkan, harus dipastikan apakah telah tercapai kesepakatan dan bila kesepakatan itu tercapai?28

Menurut ajaran yang paling tua, haruslah dipegang teguh tentang adanya suatu persesuaian kehendak antara kedua belah pihak. Apabila kedua kehendak itu berselisih, tak dapatlah lahirnya suatu perjanjian. Dalam suatu masyarakat kecil dan sederhana, dimana kedua belah pihak berjumpa atau hadir sendiri dan pembicaraan diadakan secara lisan, ukuran tersebut masih dapat dipakai, tetapi dalam suatu masyarakat yang sudah ramai dan modern, ukuran tersebut tak dapat dipertahankan lagi. Sejak orang memakai surat-menyurat dan tilgram (kawat) dalam menyelenggarakan urusan-urusannya, maka ukuran dan syarat untuk tercapainya suatu perjanjian diharuskan adanya persesuaian kehendak, terpaksa ditinggalkan. Sebab, sudah sering terjadi, apa yang ditulis dalam surat, atau yang diberitahukan lewat tilgram, karena sesuatu kesalahan, berlainan atau berbeda dari apa yang dikehendaki oleh orang yang menggunakan surat-menyurat atau tilgram tadi. Berhubung dengan kesulitan-kesulitan yang timbul itu, orang mulai mengalihkan perhatiannya pada apa yang dinyatakan. Yang terpenting bukan lagi kehendak tetapi apa yang dinyatakan oleh seorang, sebab pernyataan inilah yang dapat dipakai sebagai pegangan untuk orang lain. Jadi, apabila ada suatu perselisihan antara apa yang dikehendaki dan apa yang dinyatakan oleh sesuatu pihak, maka pernyataan itulah yang menentukan. Sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjannjian dianggap telah tercapai, apabila pernyataan yang dikeluarkan oleh suatu pihak diterima oleh pihak lain. Dalam menerima atau menagkap suatu peryataan diperlukan suatu pengetahuan tentang istilah-istilah yang lazim dipakai dalam suatu kalangan, disuatu tempat dan pada suatu waktu

(13)

tertentu. Suatu contoh: kalau sekrang (dalam tahun 1963)29 seorang menawarkan mobilnya dengan menyebut harga satu setengah, maka tiap orang harus mengerti bahwa yang dimaksudkan itu adalah satu setengah juta dan bukannya satu setengah ribu.30

Suatu pernyataan yang diucapkan secara bersendagurau tidak boleh dipegang untuk dijadikan dasar bagi suatu perjanjian. Lagi pula, apabila suatu pernyataan yang nyata-nyata atau mungkin sekali keliru, tidak boleh dianggap sudah terbentuknya suatu kesepakatan dan dijadikan dasar bagi suatu perjanjian yang mengikat. Misalnya pemilik mobil tersebut diatas, memasan suatu iklan dan di situ secara keliru dituliskan harga satu setengah ribu (yang dimaksudkan satu setengah juta). Setiap orang yang berpikiran sehat harus mengerti, bahwa dalam iklan tersebut tentu ada suatu kekeliruan atau orang yang memasang iklan itu orang tidak sehat pikirannya. Bagaimanapun, pernyataan yang dipasang dalam iklan tadi menimbulkan kesangsian tentang kebeanarnya. Teranglah, kita tidak boleh menerima penawaran tersebut dan tidak boleh mendasarkan jual beli itu telah tercipta, serta menuntut penyerahan mobil tersebut dengan pembayaran harga yang ditulis dalam iklan itu. Tetapi, seandainya ditulis satu perempat juta, maka iklan tidak akan menimbulkan kesangsian. Mungkin para pembaca iklan menganggap harga itu agak murah, tetapi belum termasuk hal yang aneh.31

5. Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu perjanjian

1. Pembatalan suatu perjanjian

a. Macam-macam Kebatalan

29 Subekti , Hukum Perjanjian ,pt intermasa ,Jakarta, 2004 hal 27

30 Subekti , Hukum Perjanjian ,pt intermasa ,Jakarta, 2004 hal 27

(14)

Dengan berdasarkan pada alasan kebatalannya, nulitas dibedakan dalam perjanjian yang dapat dibatalkan dari perjanjian yang dinyatakan batal demi hukum dengan pengertian tidak dapat dilaksanakan, sedangkan berdasarkan sifat kebatalannya, nulitas dibedakan dalam kebatalan relatif dan kebatalan mutlak.32

1. Perjanjian yang Dapat Dibatalkan

Secara prinsip suatu perjanjian yang telah dibuat secara sah dapat dibatalkan jika perjanjian terserbut dalam pelaksanaannya akan merugikan pihak-pihak tertentu. Pihak-pihak ini, yang berhak untuk memintakan pembatalan, tidak hanya pihak dalam perjanjian tersebut, tetapi meliputi juga setiap individu yang merupakan pihak ketiga di luar para pihak yang mengadakan perjanjian. Dalam hal ini pembatalan atas perjanjian tersebut dapat terjadi, baik sebelum perikatan yang lahir dari perjanjian itu dilaksanakan maupun setelah presentasi yang wajib dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang dibuat tertentu dilaksanakan. Bagi keadaan yang terakhir ini, ketentuan Pasal 1451 dan Pasal 1452 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa setiap kebatalan membawa akibat bahwa semua kebendaan dan orang-orangnya dipulihkan sama seperti keadaan sebelum perjanjian dibuat. Secara lengkapnya rumusan Pasal 1451 dan Pasal 1452 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi sebagai berikut.33

Pasal 1451

Pernyataan batalnya perikatan-perikatan berdasarkan ketidakcakapan orang yang disebutkan dalam Pasal 1330, berakibat bahwa barang dan orang-orangnya dipulihkan dalam keadaan sebelum perikatan dibuat, dengan pengertian bahwa segala apa yang telah diberikan atau dibayarkan kepada orang-orang yang tidak berkuasa, sebagai akibat perikatan itu, hanya dapat

32 Salim ,Pengantar hukum perdata tertulis (BW), Sinar Grafika , Jakarta, 2005,hal 288

(15)

dituntut kembali sekadar barang yang bersangkutan masih berada di tangan orang tak berkuasa tersebut, atau sekadar ternyata bahwa orang ini telah mendapatkan manfaat dari apa yang telah diberikan atau dibayar itu atau bahwa apa yang dinikmati telah dipakai atau berguna bagi kepentingannya.34

Pasal 1452

Pernyataan batal yang berdasarkan paksaan, kekhilafan atau penipuan, juga berakibat bahwa barang dan orang-orangnya dipulihkan dalamkeadaan sewaktu sebelum perikatan dibuat.35

2. Perjanjian yang Batal Demi Hukum

Suatu perjanjian dikatakan batal demi hukum jika terjadi Pelanggaran terhadap syarat objektif dari sahnya suatu perikatan. Keharusan akan adanya suatu hal tertentu yang menjadi objek dalam perjanjian ini dirumuskan dalam Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai hak tertentu dalam perjanjian yang diikuti dengan Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1336 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur mengenai rumusan sebab yang halal, yaitu sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.36

Dengan adanya suatu hal tertentu yang berwujud dalam kebendaan yang telah ditentukan yang merupakan objek dalam suatu perjanjian, maka jelas perjanjian tidak pernah ada sehingga tidak pernah pula menerbitkan perikatan di antara para pihak (yang bermaksud membuat perjanjian tersebut). Perjanjian demikian adalah kosong adanya.37

34 Salim ,Pengantar hukum perdata tertulis (BW), Sinar Grafika , Jakarta, 2005,hal 289

35 Riduwan Syahrani, seluk beluk dan asas-asas hukum perdata, Alumni, Bandung, 1992 hal 289

36 Salim ,Pengantar hukum perdata tertulis (BW), Sinar Grafika , Jakarta, 2005,hal 298

(16)

3. Kebatalan Relatif dan Kebatalan Mutlak

Di samping pembedaan tersebut di atas, nulitas juga dapat dibedakan ke dalam nulitas atau kebatalan relatif dan nulitas atau kebatalan mutlak. Suatu kebatalan disebut dengan relatif jika kebatalan tersebut hanya berlaku terhadap individu orang-perorangan tertentu saja dan disebut dengan mutlak jika kebatalan tersebut berlaku umum terhadap seluruh anggota masyarakat tanpa kecuali. Di sini perlu diperhatikan bahwa alasan pembatalan tidak memiliki hubungan apa pun dengan jenis kebatalan ini. Suatu perjanjian yang dapat dibatalkan dapat saja berlaku relatif atau mutlak, meskipun tiap-tiap perjanjian yang batal demi hukum pasti berlaku mutlak.38

2. Pelaksanaan suatu perjanjian

Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.

Memilik macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian-perjanjian itu dibagi dalam tiga macam, yaitu:

1. Perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang. 2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu.

3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.39

38 Riduwan Syahrani, seluk beluk dan asas-asas hukum perdata, Alumni, Bandung, 1992 hal 300

(17)

Hal yang harus dilaksanakan itu dinamakan: prestasi.

Perjanjian macam pertama, misalnya: jual beli, tukar menukar, penghibahan (pemberian), sewa menyewa, pinjam pakai.40

Perjanjian macam kedua : perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan, perjanjian untuk membikin sebuah garasi, dan lain sebagainya.

Perjanjian macam ketiga, misalnya: perjanjian untuk tidak mendirikan tembok, perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan seorang lain, dan lain sebagainya.41

Mengenai perjanjian macam pertama, yaitu perjanjian untuk memberikan (menyerahkan) suatu barang, tidak terdapat sesuatu petunjuk dalam undang-undang.42

Mengenai barang yang tak tertentu,(artinya barang yang sudah disetujui atau dipilih) dapat dikatakan bahwa para ahli hukum dan yurisprudensi sependapat bahwa eksekusi riil itu dapat dilakukan, misalnya jual beli suatu barang bergerak yang tertentu. Jika mengenai barang yang tak tertentu, eksekusi riil tak mungkin dilakukan.43

Mengenai barang takbergerak ada dua pendapat. Yurisprudensi pada waktu sekarang dapat dikatakan masih menganut pendirian bahwa eksekusi riil tidak mungkin dilakukan. Pendirian itu didasarkan pada dua alasan.44

Pertama: untuk menyerahkan hak milik atau suatu benda tak bergerak, diperlukan suatu akta transport yang merupakan suatu akta bilateral, yang

40 Subekti , Hukum Perjanjian ,pt intermasa ,Jakarta, 2004 hal 36

41 Subekti , Hukum Perjanjian ,pt intermasa ,Jakarta, 2004 hal 36

42 Subekti , Hukum Perjanjian ,pt intermasa ,Jakarta, 2004 hal 38

43 Subekti , Hukum Perjanjian ,pt intermasa ,Jakarta, 2004 hal 38

(18)

harus diselenggarakan oleh dua pihak dan karena itu tidak mungkin diganti dengan suatu ponis atau putusan hakim.45

Kedua: Alasan a contrario, yaitu dalam pasal 1171 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum perdata, ditetapkan (mengenai hipotik), bahwa barang siapa yang berdasarkan undang-undang atau perjanjian, diwajibkan memberikan hipotik, dapat dipaksa untuk itu dengan putusan hakim yang mempunyai kekuatan yang sama, seolah-olah ia telah memberikan persetujuannya untuk hipotik itu, dan yang dengan terang akan menunjuk benda-benda diatas mana akan dilakukan pembukuan. Dikatakan, bahwa oleh karena untuk hipotik ada peraturan yang memungkinkan eksekusi riil terhadap seorang yang wajib memberikan hipotik tetapi bercidra janji, sedangkan dalam hal seseorang yang wajib menyerahkan hak milik atas suatu benda tidak bergerak tidak ada aturannya, bahwa untuk yang terkahir ini tiada suatu kemungkinan untuk melaksanakan suatu eksekusi riil. Seperti sudah dikatakan, ada juga sarjana-sarjana yang berpendapat lain, yaitu menganggap bahwa dalam hal perjanjian untuk menyerahkan suatu benda tak bergerak itu dapat dilakukakn eksekusi riil terhadap pihak yang tidak menetapi janjinya untuk menyerahkan benda tersebut. Mereka ini menganut pendirian, bahwa bila oleh Undang-Undang tidak ditetapkan sebaliknya, maka suatu hak yang diperoleh dari sesuatu perjanjian pada asasnya dapat direalisasikan, asal tidak bertantangan dengan sifat perjanjian. Kamis sendiri condong pada pendirian yang terakhir ini, karena lebih memenuhi rasa keadilan. Orang yang mengadakan suatu perjanjian juga merasa lebih terjamin sebab ia akan mendapat apa yang dijanjikan kepadanya, dengan tak usah menerima pengarem-arem yang berupa pembayaran ganti rugi!46

45 Subekti , Hukum Perjanjian ,pt intermasa ,Jakarta, 2004 hal 38

(19)

Untuk melaksanakan suatu perjanjian lebih dahulu harus ditetapkan secara tegas dan cermat apa saja isi perjanjian tersebut, atau dengan kata lain, apa saja hak dan kewajiban masing-masing pihak. Biasanya orang mengadakan suatu perjanjian dengan tidak mengatur atau menetapkan secara teliti hak dan kewajiban mereka. Mereka itu hanya menetapkan hal-hal yang pokok dan penting saja . dalam jual beli, misalnnya hanya ditetapkan tentang barang mana yang dibeli, jenisnya, jumlahnya, harganya. Tidak ditetapkan tentang penyerahan barang, biaya pengantaran, tempat dan waktu pembayaran, bagaimana kalau barang musnah diperjalanan dan lain sebagainya.

Menurut pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh kepatuan, kebiaasan dan undang-undang”. Dengan demikian, setiap perjanjian dilengkapi dengan atura-aturan yang terdapat dalam undang-undang, dalam adat kebiasaan (disuatu tempat dan disuatu kalangan tertentu), sedangkan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh kepatuan (norma-norma kepatuan) harus juga diindahkan. 47

Lain halnya, dengan apa yag lazim dinamakan standard clausa. Ini, oleh pasal 1347 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimasukan dalam hal-hal yang selalu diperjanjikan. Menurut pasal tersebut, hal-hal-hal-hal yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan dianggap secara diam-diam dimasukan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. Oleh karena dianggap sebagai diperjanjikan atau sebagai bagian dari perjanjian sendiri, maka hal yang menurut kebiasaan selalu diperjanjijikan itu dapat menyingkirkan suatu pasal undang-undang yang merupakan hukum pelengkap.48

47 Subekti , Hukum Perjanjian ,pt intermasa ,Jakarta, 2004 hal 39

(20)

Menurut pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum perdata, semua perjanjian itu harus dilaksanakan dengan itikad baik (dalam bahasa belanda tegoeder trouw; dalam bahasa inggris in goog faith, dalam bahas perancis de bonne fot). Norma yang dituliskan diatas ini merupakan salah satu sendi yang terpenting dari hukum perjanjian. Apakah artinya, bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik itu?

(21)

Dalam pasal 1338 (3) itu hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan atau keadilan. Ini berarti, hakim itu berkuasa untuk menyimpang dari isi perjanjian menurut hurufnya, manakala pelaksanaan menurut huruf itu bertantangan dengan itikad baik. Kalau ayat kesatu pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat kita pandang sebagai suatu syarat atau tuntutan kepastian hukum (janji itu mengikat), maka ayat ketiga ini harus kita pandang sebagai seuat tuntutan keadilan. Memang hukum itu selalu mengejsr dua tujuan : Menjamin kepastian (ketertiban) dan memenuhi tuntutan keadilan. Kepastian hukum menghendaki supaya apa yang dijanjikan harus dipenuhi (ditepati). Namun, dalam menuntut dipenuhinya janjit itu, janganlah orang meninggalkan norma –norma keadilan atau kepatutan. “Berlaku adil dalam menuntut pemenuhan janji itu”! demikian maksudnya pasal 1338 ayat 3 itu.49

6. Pihak-pihak dalam perjanjian (Subjek)

Pihak-pihak dalam perjanjian diatur secara sporadis dalam KUH Perdata,yaitu Pasal 1315, pasal 1340, pasal 1317, pasal 1318. Mengingat bahwa hukum harus dipelajari sebagai satu sistem, maka adalah penting untuk mencari kaitan-kaitan diantara pasal-pasal tersebut.50

Yang dimaksud dengan subjek perjanjian ialah pihak-pihak yang terikat dengan diadakannya suatu perjanjian. KUHPerdata membedakan tiga golongan yang tersangkut pada perjanjian yaitu:

1. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri

2. Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak dari padanya.

3. Pihak ketiga.51

49 Subekti , Hukum Perjanjian ,pt intermasa ,Jakarta, 2004 hal 41-42

50 Taryana Soenandar, Kompilasi hukum perikatan, pt citra aditya bakti, Bandung 2001 hal 70

(22)

Pasal 1315:

“Pada umumnya tak dapat mengikatkan perjanjian diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkan suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri”52

Pasal 1340:

“Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.”53

Persetujuan-persetujuanitu tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga. Selain itu, tidak dapat pula pihak-pihak-pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenya, selain dalam hal yang diatur dalam pasal 1317.54

Pasal 1317:

“Lagipun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain, memuat suatu janji yang seperti itu.”55

Pasal 1318:

“Jika seorang minta diperjanjikan suatu hal, maka dianggap bahwa itu adalah untuk ahli waris-ahli warisnya dan jika dengan tegas ditetapkan atau dapat disimpulkan dari sifat persetujuan tidak sedemikian maksudnya”56

52 Taryana Soenandar, Kompilasi hukum perikatan, pt citra aditya bakti, Bandung 2001 hal 70

53 Taryana Soenandar, Kompilasi hukum perikatan, pt citra aditya bakti, Bandung 2001 hal 70

54 Taryana Soenandar, Kompilasi hukum perikatan, pt citra aditya bakti, Bandung 2001 hal 70

55 Taryana Soenandar, Kompilasi hukum perikatan, pt citra aditya bakti, Bandung 2001 hal 70

(23)

3. KESIMPULAN

Menurut ketentuan pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,” Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Macam-macam perjanjian yaitu :

1. Perjanjian dibawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan saja

2. Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak 3. Perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta

notariel

Syarat-syarat untuk sahnaya suatu perjanjian disebutkan dalam pasal 1320 BW yaitu:

(24)

3. Suatu sebab yang halal

Dalam perjanjian,perjanjian dapat dibatalkan dari perjanjian yang dinyatakan batal demi hukum dengan pengertian tidak dapat dilaksanakan, sedangkan berdasarkan sifat kebatalannya, nulitas dibedakan dalam kebatalan relatif dan kebatalan mutlak. Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.

Memiliki macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian-perjanjian itu dibagi dalam tiga macam, yaitu:

1. Perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang. 2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu.

3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu

4. Daftar Pustaka

HS Salim, 2005. Pengantar hukum perdata tertulis (BW), Jakarta,; Sinar Grafika

Soenandar Taryaba, 2001. Kompilasi hukum perikatan, Bandung: pt.citra aditya bakti

Subekti Prof, 2004. Hukum Perjanjian , Jakarta :pt intermasa

Syahrani Riduwan, 1992.Seluk beluk dan asas-asas hukum perdata, Bandung;Alumni

Widjaja Gunawan,2006. Memahami prinsip keterbukaan dalam Hukum perdata,

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dapat disimpulkan: 1.Tugas dan wewenang jaksa dalam pemeriksaan suatu perkara pidana adalah melakukan penuntutan,

Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut: 1 Pelaksanaan Bimbingan belajar dilakukan setelah menghadapi UTS, pelaksnaanya di lakukan di luar jam pelajaran setelah pulang sekolah

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar dukungan keluarga yang diterima oleh responden di TK ABA Mlangi, Gamping, Sleman, Yogyakarta dari

tahap pra lapangan, tahap pekerjaan lapangan, tahap pelaksanaan, tahap analisis data, dan tahap pelaporan. Hasil penelitian: 1) Jenis kesulitan belajar pada mata

Berdasarkan simpulan tersebut di atas, maka saran yang dapat disampaikan sebagai berikut. 1) Kepada praktisi pendidikan khususnya guru matematika di SDN 9 Sesetan

Dari semua ordo dalam kelas Polypodiophyta, ordo Polypodiales mempunyai bentuk dan susunan sori yang sangat beragam seperti berbentuk garis pada tepi daun,

Terjadinya perbedaan pendapat antara hakim Pengadilan Agama Buntok dan Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya dalam menilai saksi anak kandung pada perkara yang diteliti

Dalam penelitian ini, pengkategorian otomatis artikel ilmiah dilakukan dengan menggunakan kernel graph yang diterapkan pada graph bipartite antara dokumen artikel