• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi parasit soil-transmitted helminth 2.1.1. Definisi - Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi parasit soil-transmitted helminth 2.1.1. Definisi - Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infeksi parasit soil-transmitted helminth 2.1.1. Definisi

Infeksi STH banyak ditemukan pada masyarakat yang tinggal di negara

berkembang, terutama di daerah pedesaan. Soil-transmitted helminth (STH)

adalah golongan cacing usus (Nematoda Usus) yang dalam

perkembangannya membutuhkan tanah untuk menjadi bentuk infektif.1 Terdapat 3 jenis infeksi STH dengan habitat pada usus manusia yang paling

sering ditemukan, yaitu:12

1) Cacing gelang (roundworm/ A. lumbricoides)

2) Cacing cambuk (whipworm/ T. trichiura)

3) Cacing tambang (hookworm/ Necator americanus dan Ancylostoma

duodenale)

2.1.2. Epidemiologi

Berdasarkan laporan terakhir oleh de Silva et al. pada tahun 2003

diperkirakan infeksi A. lumbricoides sebesar 1,221 miliar, T. trichiura 795 juta,

dan cacing tambang 740 juta terjadi di seluruh dunia.1 Infeksi STH yang paling banyak terdapat di negara Cina dan Asia Timur, Sub-Sahara Afrika,

(2)

pada tahun 1987 sebesar 78,6%. Data prevalensi penyakit kecacingan di

Indonesia pada tahun 2002 sampai 2006 secara berurutan adalah sebesar

33,3%, 33,0%, 46,8%, 28,4%, dan 32,6%.13

Berdasarkan data UNICEF tahun 2002 dengan penggunaan GIS

didapatkan prevalensi tinggi kejadian infeksi STH di Indonesia terdapat di

wilayah Irian Jaya (50 sampai 79.9%) dan Sumatera Utara (57% sampai

100%) serta prevalensi rendah di wilayah Jawa Timur (0.1 sampai 19.9%).

Berdasarkan spesiesnya maka prevalensi di Sumatera Utara 50% sampai

79.9% untuk ascariasis, 80% sampai 100% untuk trichuriasis, dan 50%

sampai 79.9% untuk infeksi cacing tambang.5 Data terbaru mengenai prevalensi kecacingan di beberapa wilayah Sumatera Utara juga

menunjukkan prevalensi tinggi infeksi STH, dimana di Kelurahan Tembung

tahun 2007 sebesar 73%;14 Sibolga tahun 2008 dijumpai sebesar 55.8%;15 Samosir tahun 2008 sebesar 56.4%;16 bahkan pada tahun 2011 terjadi peningkatan di Kabupaten Deli Serdang sebesar 84.4%.17

Kejadian ascariasis dan trihuriasis terbesar ditemukan pada anak yang

berusia 5 sampai 15 tahun dan akan menurun pada usia dewasa. Sebaliknya

infeksi cacing tambang mulai meningkat pada usia 20 tahun dan terus

mengalami peningkatan pada usia dewasa.4

Infeksi STH lebih berakibat pada tingkat kesakitan (disability)

(3)

menggunakan disability-adjusted life years (DALY). Infeksi A. lumbricoides

dan T. trichiura masing-masing menyebabkan hilangnya DALY sebesar 10.5

juta dan 6.4 juta DALY setiap tahunnya.18

2.1.3. Faktor risiko

Baik faktor lingkungan maupun penjamu mempengaruhi berat

ringannya infeksi STH.4 Terdapat beberapa faktor risiko kejadian infeksi STH sebagai berikut:

a) Perilaku, rumah tangga, dan pekerjaan

Intensitas infeksi cacing tambang tertinggi ditemukan pada orang dewasa.

Pekerjaan yang berhubungan dengan pertanian merupakan denominator

infeksi cacing tambang.6

b) Kemiskinan, sanitasi, dan urbanisasi

Transmisi infeksi STH bergantung pada lingkungan yang telah tercemar

tinja dan mengandung telur. Akibatnya, infeksi STH sangat erat kaitannya

dengan kemiskinan, sanitasi yang buruk, dan kurangnya akses

penyediaan air bersih. Pencemaran tanah terutama oleh telur cacing A.

lumbricoides banyak terjadi di daerah pedesaan, pemukiman penduduk di

(4)

Penggunaan GIS dan remote sensing akhir-akhir ini dapat

mengidentifikasi batasan distribusi infeksi STH berdasarkan pola suhu

dan curah hujan.20 d) Etnis dan budaya

Ditemukan prevalensi infeksi A. lumbricoides yang tinggi pada suku Bantu

dibandingkan suku Baka (Pygmy) di Republik Afrika Tengah, sama seperti

pada suku Melayu atau suku India di Malaysia dibandingkan suku Cina. Di

India, Nawalinski et al. menemukan prevalensi tinggi infeksi cacing

tambang pada kalangan Muslim dibandingkan orang Hindu meskipun

kedua kalangan tersebut tinggal berdekatan dan memiliki pola perilaku

yang berhubungan dengan faktor risiko tidak jauh berbeda.21 e) Pola makan

Meskipun STH bukan merupakan infeksi yang ditularkan melalui

makanan, namun telur A. lumbricoides dan larva cacing tambang akan

melekat pada sayur-sayuran, dimana sayur-sayuran tersebut akan

disebarkan ke pasar tanpa proses seleksi terlebih dahulu. Suatu survei di

Jepang menemukan bahwa telur A. lumbricoides ditemukan pada 1 178

dari 2 750 item sayur-sayuran yang dijual di 40 toko di Tokyo.21 f) Genetik

Hingga saat ini belum diidentifikasi adanya gen yang dapat

(5)

mengenai genom akhir-akhir ini menemukan adanya kromosom 1 dan 13

sebagai pengendali infeksi A. lumbricoides.22

2.1.4. Gejala klinis

Gejala klinis infeksi STH dapat dibagi dalam manifestasi akut yang berkaitan

dengan migrasi larva melalui kulit dan visera, dan manifestasi akut serta

kronik sebagai akibat dari cacing dewasa masuk ke saluran gastrointestinal.

Manusia merupakan hospes definitif dari cacing tersebut. Di dalam tubuh,

infeksi STH akan mempengaruhi pemasukan, pencernaan, penyerapan, dan

metabolisme makanan.23

Manifestasi dari infeksi STH bervariasi dari gejala ringan sampai berat.

Gejala intestinal ringan yang timbul berupa nausea, muntah, diare, nyeri

perut, konstipasi, dan kehilangan nafsu makan. Sedangkan gejala yang lebih

berat antara lain obstruksi usus, malnutrisi, perdarahan kronis, anemia, serta

kolitis dengan tinja berlendir dan darah.23

2.1.4.1. Migrasi larva

Migrasi larva STH menimbulkan reaksi pada jaringan yang dilaluinya.

Misalnya, larva A. lumbricoides yang meninggal saat migrasi melalui hepar

dapat menimbulkan eosinophilic granuloma. Gangguan karena larva

(6)

perdarahan kecil pada dinding alveolus berakibat timbulnya gangguan pada

paru yang disertai dengan batuk, demam, dan eosinofilia. Pada foto toraks

tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini disebut

sindrom Löffler. Pada keadaan tertentu cacing dewasa mengembara ke

saluran empedu dan pankreas, sehingga menyebabkan kolesistitis atau

pankreatitis. Gejala lain yang dapat ditimbulkan akibat migrasi larva A.

lumbricoides adalah gejala alergi seperti demam, urtikaria, dan penyakit

granulomatosa.23,24

2.1.4.2. Parasit di saluran gastrointestinal

Umumnya manifestasi klinis akibat infeksi STH di saluran gastrointestinal

terjadi bila intensitasnya sedang dan tinggi.

2.1.4.2.1. Ascariasis

Gejala yang timbul dapat disebabkan oleh cacing dewasa. Gangguan yang

disebabkan cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita

mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan

berkurang, diare atau konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anak

dapat terjadi malabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Efek

yang serius terjadi bila cacing ini menggumpal dalam usus sehingga terjadi

(7)

distensi abdomen, dan rasa kram pada perut. Bahkan jika cacing bermigrasi

ke dinding usus maka akan bermanifestasi sebagai peritonitis.23,24

2.1.4.2.2. Trichuriasis

Cacing T. trichiura pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat

juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak,

cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di

mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat penderita mengejan saat

defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga

terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada

tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu cacing ini

menghisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia. Cacing

dewasa T. trichiura diperkirakan menghisap darah sekitar 0.005 mL darah/

cacing/ hari. Infeksi ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas

atau sama sekali tanpa gejala. Terkadang penderita memiliki riwayat rasa

nyeri tersamar yang dirasakan pada regio abdomen kuadran kanan bawah.

Penderita terutama anak-anak dengan infeksi T. trichiura yang berat dan

menahun, menunjukkan gejala-gejala seperti diare yang sering disertai

dengan sindrom disentri, anemia, berat badan turun, dan kadang-kadang

disertai prolapsus rektum. Infeksi kronis dapat menyebabkan terhambatnya

(8)

Infeksi berat T. trichiura sering disertai dengan infeksi cacing lainnya atau

protozoa.23,25

2.1.5. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur atau cacing dewasa dalam

tinja segar. Metode yang direkomendasikan adalah pemeriksaan sampel tinja

dengan teknik hapusan tebal kuantitatif Kato-Katz dan McMaster. Metode ini

dapat mengukur intensitas infeksi dengan memperkirakan jumlah telur per

gram tinja (egg per gram feces/ epg).26-28

2.1.6. Pengobatan

Terdapat 4 intervensi utama dalam pengobatan infeksi STH mencakup:

1. Pemberian obat antihelmintik

Pemberian obat antihelmintik (deworming) bertujuan untuk mengurangi

morbiditas dengan mengurangi angka kesakitan akibat infeksi STH.

Pemberian obat antihelmintik secara periodik terhadap kelompok yang

berisiko tinggi dapat menurunkan angka kesakitan dan memperbaiki

kesehatan serta pertumbuhan anak. Selain itu untuk ascariasis dan

(9)

dikurangi kejadian transmisinya dari waktu ke waktu. Obat yang

direkomendasikan untuk kontrol infeksi STH adalah benzimidazole

antihelmintik (BZAs), albendazole (dosis tunggal: 400 mg, kecuali dosis

200 mg untuk anak usia 12-24 bulan), mebendazole (dosis tunggal: 500

mg), levamisole, atau pirantel pamoat.18,29,30 2. Perbaikan sanitasi

Bertujuan untuk mengendalikan transmisi dengan mengurangi

kontaminasi pada tanah dan air. Hal ini merupakan intervensi utama untuk

mengurangi angka kejadian infeksi STH, namun strategi ini hanya efektif

jika dapat menjangkau populasi yang luas. Jangkauan populasi yang luas

ini yang menjadi kendala karena membutuhkan biaya yang besar. Lebih

lanjut lagi, intervensi tersebut membutuhkan waktu bertahun-tahun

bahkan hingga puluhan tahun agar dapat menjadi efektif.6,31 3. Edukasi kesehatan

Bertujuan untuk mengurangi kejadian transmisi dan reinfeksi dengan

mempromosikan perilaku sehat. Cara sederhana dengan mengajarkan

penggunaan jamban dan perilaku bersih. Tanpa adanya perubahan

kebiasaan buang air besar, pemberian obat antihelmintik secara periodik

diketahui tidak dapat mengurangi transmisi infeksi STH. Edukasi

kesehatan merupakan cara yang sederhana namun dapat menurunkan

(10)

4. Cara pengendalian baru

Tingginya kejadian reinfeksi setelah pemberian terapi antihelmintik pada

daerah endemis tinggi serta berkurangnya efikasi pengobatan

antihelmintik secara periodik diperkirakan karena adanya resistensi

terhadap obat-obat antihelmintik tersebut. Penelitian terbaru sedang

mengembangkan cara baru untuk mengendalikan infeksi STH melalui

program pengembangan vaksin untuk infeksi cacing tambang yang

mengandung antigen larva Ancylostoma–secreted protein (ASP) 2. Vaksin

ini terbukti efektif dalam pencegahan pada model hewan. Hal ini

diharapkan dapat memutuskan penyebaran infeksi STH. Akan tetapi

vaksin tersebut masih dalam proses pengembangan agar dapat

digunakan pada manusia.4,29

2.2. Eosinofil

2.2.1. Fungsi eosinofil

Eosinofil merupakan leukosit yang berasal dari sumsum tulang dimana

perkembangan dan diferensiasi akhirnya berada dibawah kontrol beberapa

sitokin seperti interleukin 3 (IL-3), granulocyte-macrophage colony-

stimulating factor (GM-CSF), dan interleukin 5 (IL-5). Granulocyte

macrophage-colony stimulating factor (GM-CSF) dan IL-3 menstimulasi

(11)

berperan lebih spesifik pada eosinofil dimana bertanggung jawab dalam

eosinofilopoiesis.7,32

Eosinofil memiliki diameter 8 µm dengan nukleus yang biasanya

bilobus, terkadang bisa memiliki 3 atau lebih lobus. Ciri khas eosinofil adalah

memiliki granul kristaloid yang besar, biasanya disebut granul spesifik atau

sekunder. Granul kristaloid dikelilingi oleh membran dan mengandung protein

dasar yang sangat kationik, dengan berat polipeptida 18 000 sampai 21 000

dalton. Protein dasar kationik tersebut diketahui memiliki aktivitas bakterisidal

dan helmintotoksik. Selain itu eosinofil memiliki 4 tipe granul lainnya yaitu

granul primer, granul kecil, badan lemak, dan vesikel sekretori kecil.32,33

Eosinofil membahayakan karena efek proinflamasi, namun dapat

menguntungkan karena efek antiparasitik.34 Meskipun salah satu fungsi eosinofil adalah untuk memfagosit dan membunuh bakteri, namun eosinofil

tidak dapat menghilangkan infeksi bakteri tanpa adanya bantuan neutrofil.32 Hipotesis mengenai fungsi utama eosinofil untuk melindungi pejamu dari

infeksi organisme seperti STH berdasarkan beberapa penemuan sebagai

berikut:35

a) Eosinofil berdegranulasi dan dapat membunuh cacing secara in vitro

dengan adanya antibodi dan/atau komplemen

(12)

c) Sejumlah besar eosinofil seringkali terlihat berhubungan erat dengan

cacing yang masih utuh bahkan telah mati secara in vivo

d) Eosinofil secara jelas berdegranulasi di sekitar atau pada permukaan

cacing secara in vivo

Disamping berfungsi sebagai efektor perifer, eosinofil juga mengatur

respon imun dengan meningkatkan pelepasan sitokin dan kemokin. Eosinofil

berperan dalam beragam reseptor permukaan sel untuk memberi sinyal pada

sel sehubungan dengan proses kemotaksis, adhesi, respiratory burst,

degranulasi, produksi sitokin dan kemokin, apoptosis maupun bertahan

hidup, dimana semuanya berhubungan dengan eosinophil-mediated tissue

inflammatory responses ketika terjadi infeksi cacing.36

2.2.2. Kondisi yang berhubungan dengan peningkatan nilai eosinofil

Istilah eosinofilia (dahulu dikenal dengan istilah granulosit eosinofilik) adalah

peningkatan eosinofil > 450 eosinofil/µl yang diukur dari darah perifer.33 Peningkatan nilai eosinofil dalam darah perifer dapat muncul pada beragam

penyakit (lihat Tabel 2.1.), maka untuk menegakkan penyebab dibutuhkan

anamnesis yang lengkap. Penyebab peningkatan nilai eosinofil yang paling

(13)

obat myelosupresif, interferon alfa, antihistamin, kromolin, siklosporin,

inhibitor dan antagonis leukotrien, serta inhibitor fosfodiesterase.34

Nilai eosinofil dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan apusan

darah tepi dan pemeriksaan darah vena di laboratorium.8 Nilai eosinofil mengikuti variasi diurnal dengan nilai terendah pada jam 10 pagi hingga

siang hari dan mencapai 2 kali dari nilai terendah antara tengah malam

hingga pukul 4 subuh.7,37

Kejadian eosinofilia merupakan kelainan darah yang umum terjadi di

daerah tropis. Prevalensi kejadian eosinofilia di Kisaran sebesar 7.7%

dibandingkan dengan negara di Eropa 2.8%. Prevalensi yang tinggi juga

ditemukan di India (W. Bengal) sebesar 26.7% dibandingkan dengan negara

di Eropa sebesar 2.1%. Diperkirakan bahwa kejadian eosinofilia pada

masyarakat pedesaan tersebut berhubungan dengan tingginya insidensi

(14)

Tabel 2.1. Beberapa keadaan penyebab eosinofilia8 Alergi

Rinitis alergi Asma

Urtikaria akut dan kronik

Pemphigoid

Reaksi hipersensitivitas obat Infeksi

Infeksi cacing yang berinvasi ke jaringan Trichinosis

Penyakit Hodgkin dan limfoma sel T Leukemia myelogenik akut Graft vs host reaction Omenn syndrome

Trombocytopenia with absent radii

Vaskulitis

Post-iradiasi abdomen

(15)

2.3. Hubungan antara nilai eosinofil dan infeksi soil-transmitted helminth

Pada awal tahun 1939, eosinofil dianggap berperan sebagai respon imun

pada infeksi cacing. Kejadian eosinofilia pada infeksi selain sebagai reaksi

patologi juga merupakan reaksi imunitas protektif.38 Banyak ilmuwan menganggap bahwa fungsi utama eosinofil adalah perlindungan terhadap

parasit, meskipun hanya sedikit bukti studi in vivo yang membuktikan hal

tersebut. Eosinofil juga muncul dalam jumlah besar pada mamalia jika terjadi

lesi inflamasi terkait dengan infeksi cacing atau kondisi alergi.39

Eosinofil timbul dalam sumsum tulang dari sel prekursor

haematopoietik CD34. Pada tahap awal diferensiasi, eosinofil dikendalikan

oleh sitokin GM-CSF dan IL-3, yang juga mengendalikan perkembangan

granulosit lain seperti neutrofil, basofil, dan sel mast. Tahap selanjutnya dari

diferensiasi dan pematangan, sebagian besar eosinofil dikendalikan oleh

sitokin IL-5, yang diproduksi oleh sel T aktif dan sel mast.39,40 Respon T-helper 2 (Th2) jelas terlibat dalam infeksi STH, dimana memberikan

kemungkinan adanya kelangsungan hidup pada penderita infeksi STH

sekaligus melindungi terhadap superinfeksi.41,42

Pada individu yang normal, eosinofil ditemukan dalam jaringan,

terutama yang berinteraksi dengan dunia luar, seperti di kulit, permukaan

(16)

Eosinofil merupakan sel yang berdiferensiasi akhir setelah meninggalkan

sumsum tulang dengan umur paruh waktu sekitar 18 jam.32

Masa hidup eosinofil pada jaringan normal tidak diketahui pasti,

namun diperkirakan dapat bertahan selama beberapa hari bahkan minggu.

Eosinofil hanya bertahan hidup beberapa jam dalam sirkulasi darah. Pada

infeksi STH, eosinofil dikeluarkan lebih cepat dari sumsum tulang dengan

terstimulasi kurang lebih dalam 1 jam. Kelangsungan hidup eosinofil dalam

jaringan juga meningkat dan laju eosinofilopoiesis dalam sumsum tulang

meningkat secara dramatis.32,43-45 Diketahui bahwa IL-3, IL-5, dan GM-CSF dapat menghambat proses apoptosis eosinofil selama kurang lebih 12

sampai 14 hari secara in vitro dan pada penderita sinusitis. Sebaliknya tanpa

adanya sitokin tersebut, eosinofil hanya dapat bertahan kurang dari 48 jam.34 Eosinofil sangat cepat mengalami pergantian pada lesi inflamasi

dimana hanya bertahan hidup 4 sampai 5 hari.39 Diketahui bahwa apoptosis pada eosinofil yang dipicu oleh helminth-derived excretory-secretory products

(ESP) dapat menyebabkan inflamasi jaringan berat yang turut berperan

dalam melawan infeksi kecacingan.46

Studi di Jepang membuktikan adanya hubungan signifikan ascariasis

dengan derajat eosinofilia.47 Namun tidak terdapat perubahan signifikan nilai eosinofilia pada trichuriasis, bahkan jika terjadi migrasi cacing ke mukosa

(17)

cacing tambang, T. trichiura, dan koinfeksi adalah 10%, 15.1%, 13%, dan

(18)

2.4. Kerangka Konseptual

Keterangan: yang diamati dalam penelitian

Gambar 2.1. Kerangka konseptual Lymphoblast

- Kemiskinan, sanitasi, dan urbanisasi - Kemampuan verbal - Kemampuan motorik - Kemampuan aritmetik - Kehadiran di sekolah

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka konseptual

Referensi

Dokumen terkait

Dimensi Kognitif dan Dimensi Kognitif dan Bentuk Pengetahuan Bentuk Pengetahuan semua KD-3 dalam semua KD-3 dalam Mata Pelajaran Mata Pelajaran     Ketercapaian  

A. Dalam rangka pemeliharaan dan layanan informasi Arsip Dinamis, Unit Pengolah dan Unit Kearsipan di Kemenpora dapat melakukan alih media terhadap Arsip yang dikelolanya.

Achmad Wardi - Badan Wakaf Indonesia bekerjasama dengan Yayasan Dompet Dhuafa Republika sebagai pengelola RS - Masyarakat dhuafa (gratis disubsidi dana zakat).

Berdasarkan tabel diatas, menunjukkan bahwa program PkM telah mencapai luaran yang diharapkan yaitu pemahaman dan keahlian dalam perdagangan online khususnya mengenai

Pada pagelaran angklung badud ini selain menampilkan kemampuan para permainan musik terdapat pula atraksi peran yang diperankan oleh penari yang menggunakan dengan kostum

Dari hasil penelitian didapatkan hasil bahwa pendapatan asli daerah (PAD) mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap peningkatan alokasi anggaran belanja

Namun dalam pembahasannya, pada dasarnya semua buku menjelaskan hanya sebatas gambaran umum saja tentang pengkodifikasian hadis, belum ada buku yang secara khusus

Sementara untuk tujuan makalah ini adalah merancang Sinkronisasi dan CS pada audio watermarking, menganalisis kualitas audio yang sudah disisipkan watermark dibandingkan