BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengetahuan
2.1.1 Definisi Pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku seseorang (Notoatmodjo 2003).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengetahuan berarti segala sesuatu yg diketahui; kepandaian: atau segala sesuatu yg diketahui berkenaan dengan sesuatu hal (mata pelajaran).
2.1.2 Manfaat Pengetahuan
Menurut Notoatmojo (2007), pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Sebelum orang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri seseorang terjadi proses yang berurutan yakni:
a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam diri mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).
c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
d. Trial (percobaan), sikap dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.
e. Adaption (penyesuaian), dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus. Apabila penerimaan perilaku baru atau diadopsi perilaku melalui proses seperti ini, dimana didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng.
2.2 Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmojo (2003), pengetahuan yang cukup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu :
1. Tahu (Know)
Kemampuan untuk mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau dirangsang yang telah diterima. Cara kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasikan dan mengatakan.
2. Memahami (Comprehension)
Kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Seseorang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan dan menyebutkan.
3. Aplikasi (Application)
4. Analisis (Analysis)
Kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen–komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja seperti dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainnya.
5. Sintesis (Synthesis)
Kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru, dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi –formulasi yang ada. 6. Evaluasi (Evaluation)
Kemampuan untuk melakukan penelitian terhadap suatu materi atau objek. Penelitian –penelitian tersebut didasarkan pada suatu kriteria yang sudah ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria –kriteria yang telah ada.
2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan (Notoatmodjo, 2007):
1. Sosial ekonomi
Lingkungan sosial akan mendukung tingginya pengetahuan seseorang, sedangkan ekonomi dikaitkan dengan pendidikan, ekonomi baik tingkat pendidikan akan tinggi sehingga tingkat pengetahuan akan tinggi juga. Tingkat sosial ekonomi terlalu rendah sehingga tidak begitu memperhatikan pesan-pesan yang disampaikan karena lebih memikirkan kebutuhan-kebutuhan lain yang lebih mendesak.
2. Kultur (budaya, agama)
3. Pendidikan
Semakin tinggi pendidikan maka ia akan mudah menerima hal-hal baru dan mudah menyesuaikan dengan hal yang baru tersebut. Pendidikan itu menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupannya untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan.
4. Pengalaman
Berkaitan dengan umur dan pendidikan individu, bahwa pendidikan yang tinggi maka pengalaman semakin luas, sedangkan semakin tua umur seseorang maka pengalaman akan semakin banyak.
2.4 Kegawatdaruratan
2.4.1 Definisi Kegawatdaruratan
Kegawatdaruratan merupakan keadaan yang bermanifestasikan gejala-gejala akut akan adanya suatu keparahan pada tingkatan tertentu, dimana apabila pada keadaan tersebut tidak diberikan perhatian medis yang memadai, dapat membahayakan keselamatan individu bersangkutan, menyebabkan timbulnya gangguan serius fungsi tubuh ataupun terjadinya disfungsi organ atau kecacatan.(ACEP, 2013).
diagnostic problems and may or may not require admission after work-up and observation.
2.4.2 Keadaan-keadaan kegawatdaruratan
Kegawatdaruratan dalam bidang medis dapat bermanifestasikan berbagai gejala dan tampilan yang beragam. Keadaan-keadaan gawat darurat yang dapat kita temukan sehari-hari adalah seperti (American College of Emergency Physicians, 2004) :
a. Nyeri dada
b. Sindroma Koroner Akut c. Diseksi Aorta
d. Nyeri Abdomen e. Aneurisma Aorta Akut f. Apendisitis Akut
g. Perdarahan subarahnoid h. Demam pediatrik i. Meningitis j. Masalah airway
k. Trauma
l. Cedera Kepala m. Cedera Spinal n. Luka
o. Fraktur
2.5 Penanganan Awal Kegawatdaruratan
2.5.1 Pengertian Penanganan Awal Kegawatdaruratan
Penanganan awal ataupun sering disebut pertolongan pertama merupakan pertolongan secara cepat dan bersifat sementara waktu yang diberikan pada seseorang yang menderita luka atau terserang penyakit mendadak. Pertolongan ini menggunakan fasilitas dan peralatan yang tersedia pada saat itu di tempat kejadian. (Nasution, 2009)
2.5.2 Tujuan Penanganan Awal Kegawatdaruratan
Tujuan yang penting dari penanganan awal kegawatdaruratan adalah memberikan perawatan yang akan menguntungkan pada orang-orang tersebut sebagai persiapan terhadap penanganan lebih lanjut. Dalam penanganan pasien-pasien trauma, waktu menjadi hal yang sangat penting, maka diperlukan suatu cara penilaian yang cepat untuk menentukan tindakan perawatan yang harus diberikan sesegera mungkin dalam rangka menyelamatkan nyawa seseorang. Terdapat suatu pendekatan yang dikenal dengan Initial Assesment (Penilaian Awal)yang meliputi (ATLS, 2009) :
1. Persiapan 2. Triase
3. Primary survey (ABCDE) 4. Resusitasi
5. Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi
6. Secondary survey, pemeriksaan head to toe dan anamnesis
7. Tambahan terhadap secondary survey
8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan
Tahapan-tahapan penilaian awal ini merupakan suatu urutan kejadian progresif yang berjalan secara linier ataupun longitudinal. Dalam situasi klinis sesungguhnya, pelaksanaannya dapat berjalan secara paralel ataupun bersamaan. Prinsip dasar dalam ATLS adalah membantu dalam penilaian dan pemberian resusitasi pasien-pasien gawat darurat. Penilaian dibutuhkan untuk mengetahui prosedur mana saja yang perlu dilakukan, karena tidak semua pasien membutuhkan seluruh prosedur ini.
Primary Survey yang meliputi ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, dan Exposure/Environmental) adalah bagian awal dari penanganan suatu kegawatdaruratan. Dalam proses ini, fungsi vital pasien gawat harus dinilai secara cepat dan segera diberikan perawatan untuk pertolongannya.
2.5.2.1 Primary Survey
Penanganan awal dalam Primary Survey membantu mengidentifikasi keadaan-keadaan yang mengancam nyawa, yang terdiri dari tahapan-tahapan sebagai berikut :
A : Airway, pemeliharaan airway dengan proteksi servikal B : Breathing, pernapasan dengan ventilasi
C : Circulation, kontrol perdarahan D : Disability, status neurologis
E : Exposure/Environmental control, membuka seluruh baju penderita, tetapi cegah hipotermia
2.5.2.1.1 Airway
Keadaan kurangnya darah yang teroksigenasi ke otak dan organ vital lainnya merupakan pembunuh pasien-pasien trauma yang paling cepat. Obstruksi
yang lebih lama lagi. Maka dari itu, penilaian airway harus dilakukan dengan cepat begitu memulai penilaian awal. (Greaves, 2006)
Menurut ATLS 2009, kematian-kematian dini yang disebabkan masalah
airway, dan yang masih dapat dicegah, sering disebabkan oleh : 1. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway
2. Ketidakmampuan untuk membuka airway
3. Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru 4. Perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang
5. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi
6. Aspirasi isi lambung
Tecapainya patensi airway merupakan hal yang sangat esensial dalam penanganan awal pasien-pasien gawat darurat. Penilaian tentang mampu atau tidaknya seseorang bernapas secara spontan harus dilakukan secara cepat. Menurut Bersten dan Soni (2009) dalam Higginson dan Parry (2013), untuk menilai patensi airway secara cepat dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan kepada pasien. Respon verbal yang normal menandakan dengan cepat kepada penolong bahwa pasien memiliki airway yang paten, sudah bernapas, dan otaknya sudah dalam keadaan diperfusi. Namun begitu, penilaian airway tetap penting untuk dilakukan. Apabila pasien hanya dapat berbicara sepatah dua patah kata ataupun tidak respon, pasien kemungkinan dalam keadaan distress nafas dan membutuhkan pertolongan bantuan napas secara cepat.
Dalam mengatasi obstruksi airway, terlebih dahulu dilakukan suctioning
untuk mengeluarkan cairan saliva berlebih yang mungkin timbul akibat pangkal lidah yang terjatuh. (American College of Surgeons, 2009) Tindakan suctioning
yang tepat dalam pemeliharaan airway dapat secara signifikan menurunkan kejadian aspirasi dan lebih banyak lagi hasil positif yang didapatkan. (Walter, 2002) Pada keadaan tidak sadarkan diri, penyebab tersering terhambatnya airway
inspeksi tentang ada tidaknya benda-benda asing yang menghambat airway
ataupun kemungkinan terjadinya fraktur fasial, mandibular ataupun trakeal/laringeal yang juga dapat menghambat bebasnya airway. Pasien-pasien dalam keadaan penurunan kesadaran ataupun GCS (Glasgow Coma Score) yang nilainya 8 ke bawah perlu diberikan pemasangan airway definitif. Adanya gerakan-gerakan motorik tidak bertujuan juga biasanya mengindikasikan perlunya pemasangan airway definitif. (American College of Surgeons, 2009)
Tanda obstruksi jalan nafas antara lain :
• Suara berkumur
• Suara nafas abnormal (stridor, dsb) • Pasien gelisah karena hipoksia
• Bernafas menggunakan otot nafas tambahan / gerak dada paradoks • Sianosis
Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus dikerjakan dengan cepat dan tepat. Berbagai bentuk sumbatan pada airway dapat dengan segera diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin lift maneuver) dan memiringkan kepala (head tilt) maneuver), atau dengan mendorong rahang bawah ke arah depan (jaw thrust maneuver). Airway selanjutnya dapat dipertahankan dengan orofaringeal (oropharyngeal airway) atau nasofaringeal (nasopharingeal airway). Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat menyebabkan atau memperburuk cedera spinal. Adanya suspek cedera pada spinal mengindikasikan dilakukannya tindakan imobilisasi spinal (in-line immobilization) (Haskell, 2006).
A. Teknik-teknik mempertahankan airway : 1. Head-tilt
pasien dengan sedikit mengangkat leher ke atas. Tangan lain diletakkan pada dahi depan pasien sambil mendorong / menekan ke belakang. Posisi ini dipertahankan sambil berusaha dengan memberikan inflasi bertekanan positif secara intermitten. (Alkatri, 2007)
2. Chin-lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian secara hati – hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir bawah untuk membuka mulut, ibu jari dapat juga diletakkan di belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara bersamaan, dagu dengan hati – hati diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher. Manuver ini berguna pada korban trauma karena tidak membahayakan penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang leher atau mengubah patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera spinal. (Nasution, 2009)
Gambar 2.1. Head-tilt, chin-lift maneuver (sumber : European Resusciation Council Guidelines for Resuscitation 2010). 3. Jaw-thrust
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada
mandibula, jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada
pada ramus mandibula sedangkan ibu jari kanan dan kiri berada pada
mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas melewati molar pada maxila (Arifin, 2012).
Gambar 2.2 Jaw-thrust maneuver dengan in-line immobilization (sumber :
Advance Trauma Life Support – Student Course Manual, 2009)
4. Oropharyngeal Airway
Indikasi : Membebaskan sumbatan airway atas, mencegah pangkal lidah menyumbat airway, dan berfungsi sebagai bite-block pada penanganan jalan nafas yang lebih advance yakni proteksi pipa endotrakeal dan memfasilitasi suctioning oral dan faringeal. (Gausche-Hill, 2007)
terakhir lakukan fiksasi pipa orofaring. Periksa dan pastikan jalan nafas bebas (Lihat, rasa, dengar). Fiksasi pipa oro-faring dengan cara memplester pinggir atas dan bawah pangkal pipa, rekatkan plester sampai ke pipi pasien (Arifin, 2012)
Gambar 2.3 : Oropharyngeal Airway (Sumber : Advance Trauma Life Support –Students Course Manual, 2009)
5. Nasopharyngeal Airway
oropharyngeal airway dan tepat digunakan pada pasien yang giginya menggertak ataupun tidak mau membuka mulutunya. (Wilson, 2013) Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Pilihlah ukuran pipa nasofaring yang sesuai dengan cara menyesuaikan ukuran pipa naso-faring dari lubang hidung sampai tragus (anak telinga). Pipa nasofaring diberi pelicin dengan KY jelly (gunakan kasa yang sudah diberi KY jelly). Masukkan pipa naso-faring dengan cara memegang pangkal pipa naso-faring dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke arah mulut (ke bawah). Masukkan ke dalam rongga hidung dengan perlahan sampai batas pangkal pipa. Patikan jalan nafas sudah bebas (lihat, dengar, rasa) ( Arifin, 2012).
Gambar 2.4 : Nasopharyngeal Airway (Sumber : The McGraw-Hill Companies, Inc. 2006)
B. Airway definitif
Terdapat tiga macam airway definitif, yaitu : pipa orotrakeal, pipa nasotrakeal, dan airway surgikal (krikotiroidotomi atau trakeostomi). Penentuan pemasangan airway definitif didasarkan pada penemuan-penemuan klinis antara lain (Americann College of Surgeons, 2009) :
bahaya yang potensial terjadi pada airway (mis : setelah cedera inhalasi, fraktur fasial, atau hematoma retrofaringeal).
■Masalah-masalah Pernapasan –Ketidakmampuan untuk
memperthanakan oksigenasi yang adekuat dengan dukungan sungkup oksigen, dan adanya apnea.
■ Masalah-masalah Disabilitas – Adanya cedera kepala tertutup yang membutuhkan ventilasi bantuan (Skala Koma Glasgow bernilai 8 atau kurang), perlu melindungi bagian bawah airway
dari terjadinya aspirasi darah ataupun muntahan, atau adanya aktivitas kejang yang menetap.
Penilaian dari status klinis pasien dan penggunaan pulse oxymeter dapat membantu menentukan perlu atau tidaknya tindakan airway definitif. Dalam memberi tindakan orotrakeal ataupun nasotrakeal, harus selalu diperkirakan adanya cedera pada c-spine maka in-line mobilisation harus tetap dikerjakan saat memberikan tindakan. Ketidakmampuan melakukan intubasi trakea merupakan indikator jelas untuk melakukan airway surgical.
2.5.2.1.2 Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang baik terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. (American College of Surgeons, 2009) Ventilasi adalah pergerakan dari udara yang dihirup kedalam dengan yang dihembuskan ke luar dari paru. Pada awalnya, dalam keadaan gawat darurat, apabila teknik-teknik sederhana seperti head-tilt maneuver dan chin-lift maneuver
tidak berhasil mengembalikan ventilasi yang spontan, maka penggunaan bag-valve mask adalah yang paling efektif untuk membantu ventilasi (Higginson dan Parry, 2013).
(American College of Surgeons, 2009). Berikut adalah cara melakukan pemasangan bag-valve mask (Arifin, 2012) :
1. Posisikan kepala lurus dengan tubuh
2.Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila sungkup muka dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada kebocoran)
3.Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut)
4.Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus mandibula, jari manis dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari dan telunjuk memegang dan memfiksasi sungkup muka.
5.Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala pasien
6.Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah dipasangkan
7.Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan kanan dan kiri memegang mandibula dan sungkup muka bersama-sama) 8.Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)
9.Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi sungkup muka, sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang bag
(kantong) reservoir sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag).
Penilaian ventilasi yang adekuat atau tidak dapat dilakukan dengan melakukan metode berikut (American College of Surgeons, 2009) :
- Look : Lihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding dada yang adekuat. Asimeteri menunjukkan pembelatan (splinting) atau flail chest dan tiap pernapasan yang dilakukan dengan susah
(labored breathing) sebaiknya harus dianggap sebagai ancaman terhadap oksigenasi penderita.
hemitoraks merupakan tanda akan adanya cedera dada. Hati-hati terhadap adanya laju pernafasan yang cepat – takipnea mungkin menunjukkan kekurangan oksigen.
- Gunakan pulse oxymeter. Alat ini mampu memberikan informasi tentang saturasi oksigen dan perfusi perifer penderita, tetapi tidak memastikan adanya ventilasi yang adekuat.
Pada saat penilaian sebelumnya dilakukan, penolong harus mengetahui dan mengenal ciri-ciri gejala dari keadaan-keadaan yang sering muncul dalam masalah ventilasi pasien gawat darurat seperti tension pneumothorax, massive hemothorax, dan open pneumothorax (Arifin, 2012).
Tabel 2.1. Ciri-ciri Gejala yang sering muncul pada Pemeriksaan Masalah Ventilasi Pasien
Penanganan yang dapat dilakukan adalah :
a. Memberi oksigen dengan kecepatan 10-12 liter/menit
b. Tension pneumothorax : Needle Insertion (IV Cath No.14) di ICR II-Linea midclavicularis
c. Massive haemothorax : Pemasangan Chest Tube
d. Open pneumothorax : Luka ditutup dengan kain kasa yang diplester pada tiga sisi (flutter-type voice effect)
2.5.2.1.3 Circulation
Masalah sirkulasi pada pasien-pasien trauma dapat diakibatkan oleh banyak jenis perlukaan. Volume darah, cardiac outptut, dan perdarahan adalah masalah sirkulasi utama yang perlu dipertimbangkan. (American College of Surgeons, 2009)
Dalam menilai status hemodinamik, ada 3 penemuan klinis yang dalam hitungan detik dapat memberikan informasi tentang ini :
a. Tingkat Kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang akan mengakibatkan penurunan kesadaran (jangan dibalik, penderita yang sadar belum tentu normovolemik).
b. Warna Kulit
c. Nadi
Periksalah pada nadi yang besar seperti a. Femoralis atau a. Karotis (kiri-kanan) untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur biasanya merupakan tanda normovolemia (bila penderita tidak minum obat beta-blocker). Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, walaupun dapat disebabkan keadaan yang lain. Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan bahwa normovolemia. Nadi yang tidak teratur biasanya merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan tanda diperlukannya resusitasi segera.
Perdarahan eksternal harus cepat dinilai, dan segera dihentikan bila ditemukan dengan cara menekan pada sumber perdarahan baik secara manual maupun dengan menggunakan perban elastis. Bila terdapat gangguan sirkulasi harus dipasang sedikitnya dua IV line, yang berukuran besar. Kemudian lakukan pemberian larutan Ringer laktat sebanyak 2 L sesegera mungkin (American College of Surgeons, 2009).
Tabel 2.2. Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah Berdasarkan Presentase Penderita Semula
Tekanan Darah Normal Normal Menurun Menurun
Tekanan Nadi (mmHg)
Normal atau Naik Menurun Menurun Menurun
Frekuensi
CNS/Status Mental Sedikit cemas Agak cemas Cemas, bingung Bingung, lesu
(lethargic)
Penggantian Cairan Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan
darah
2.5.2.1.4 Disability
Menjelang akhir dari primary survey, dilakukan suatu pemeriksaan neurologis yang cepat. Pemeriksaan neurologis ini terdiri dari pemeriksaan tingkat kesadaran pasien, ukuran dan respon pupil, tanda-tanda lateralisasi, dan tingkat cedera korda spinalis. (American College of Surgeons, 2009)
Tingkat kesadaran yang abnormal dapat menggambarkan suatau spektrum keadaan yang luas mulai dari letargi sampai status koma. Perubahan apapun yang mengganggu jaras asending sistem aktivasi retikular dan sambungannya yang sangat banyak dapat menyebabkan gangguan tingkat kesadaran. (Smith, 2010)
Cara cepat dalam mengevaluasi status neurologis yaitu dengan menggunakan AVPU, sedangkan GSC (Glasgow Coma Scale) merupakan metode yang lebih rinci dalam mengevaluasi status neurologis, dan dapat dilakukan pada saat survey sekunder.
AVPU, yaitu: A : Alert
V : Respon to verbal P : Respon to pain U : Unrespon
GSC (Glasgow Coma Scale) adalah sistem skoring yang sederhana untuk menilai tingkat kesadaran pasien.
1. Menilai “eye opening” penderita (skor 4-1) Perhatikan apakah penderita :
a. Membuka mata spontan
b. Membuka mata jika dipanggil, diperintah atau dibangunkan
d. Tidak memberikan respon
2. Menilai “best verbal response” penderita (skor 5-1) Perhatikan apakah penderita :
a. Orientasi baik dan mampu berkomunikasi b. Disorientasi atau bingung
c. Mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk kalimat
d. Mengerang (mengucapkan kata -kata yang tidak jelas artinya) e. Tidak memberikan respon
3. Menilai “best motor respon” penderita (skor 6-1) Perhatikan apakah penderita :
a. Melakukan gerakan sesuai perintah b. Dapat melokalisasi rangsangan nyeri
c. Menghindar terhadap rangsangan nyeri d. Fleksi abnormal (decorticated)
e. Ektensi abnormal (decerebrate) f. Tidak memberikan respon
Range skor : 3-15 (semakin rendah skor yang diperoleh, semakin jelek kesadaran)
2.5.2.1.5 Exposure
diberikan cairan intra-vena yang sudah dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak hipotermi. (Nasution, 2009)
2.6 Peran Perawat dan Bidan dalam Penanganan Awal Kegawatdaruratan
2.6.1 Peran Perawat
Berdasarkan data dalam daftar dan unit kodifikasi mengenai standar kompetensi seorang perawat di dalam Standar Kompetensi Perawat Indonesia, dikatakan bahwa seorang perawat baik perawat vokasional, ners, ners spesialis, maupun ners konsultan, semuanya harus mampu mengidentifikasi dan melaporkan situasi perubahan ayng tidak diharapkan, meminta bantuan cepat dan tepat dalam situasi gawat darurat/bencana dan menerapkan keterampilan bantuan hidup dasar sampai bantuan tiba. Tambahan lain bagi seorang ners spesialis adalah berkemampuan mengambil peran kepemimpinan dalam triage dan koordinasi asuhan klien sesuai kebutuhan asuhan khusus. Sedangkan untuk sseorang ners konsultan harus juga mampu memobilisasi dan mengkoordinasikan sumber daya dan mengambil peran kepemimpinan dalam situasi gawat darurat dan/atau bencana.
2.6.2 Peran Bidan
2.7 Aspek Hukum dan Medikolegal dalam Penanganan Awal Kegawatdaruratan
Pelayanan gawat darurat mempunyai aspek khusus karena mempertaruhkan kelangsungan hidup seseorang. Dipandang dari segi hukum dan medikolegal, pelayanan gawat darurat berbeda dengan pelayanan non-gawat darurat karena memiliki karakteristik khusus. Pada keadaan gawat darurat medik didapati beberapa masalah utama yaitu:
- Periode waktu pengamatan/pelayanan relatif singkat - Perubahan klinis yang mendadak
- Mobilitas petugas yang tinggi
Hal-hal di atas menyebabkan tindakan dalam keadaan gawat darurat memiliki risiko tinggi bagi pasien berupa kecacatan bahkan kematian. Situasi emosional dari pihak pasien karena tertimpa risiko dan pekerjaan tenaga kesehatan yang di bawah tekanan mudah menyulut konflik antara pihak pasien dengan pihak pemberi pelayanan kesehatan. (Herkutanto, 2007)
Pengaturan tindakan medis secara umum dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan dapat dilihat dalam pasal 32 ayat (4) yang menyatakan bahwa
“pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu”. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari tindakan seseorang yang tidak mempunyai keahlian dan kewenangan untuk melakukan pengobatan/perawatan, sehingga akibat yang dapat merugikan atau membahayakan terhadap kesehatan pasien dapat dihindari, khususnya tindakan medis yang mengandung risiko. Pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan medik diatur dalam pasal 50 UU No.23/1992 tentang Kesehatan yang merumuskan bahwa “tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan”.