PENDAHULUAN
Latar Belakang
Usaha ternak unggas khususnya peternakan broiler merupakan salah satu sektor usaha yang memiliki peranan penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan protein hewani. Kebutuhan protein hewani semakin lama semakin meningkat, seiring dengan pertambahan dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya zat gizi. Ayam broiler dapat dipilih sebagai salah satu alternatif dalam upaya pemenuhan protein asal hewani karena ayam broiler memiliki pertumbuhan bobot badan yang sangat cepat. Dengan masa pemeliharaan yang singkat ini, kebutuhan masyarakat akan daging dapat selalu tersedia. Ayam broiler dapat memenuhi selera konsumen atau masyarakat karena daging ayam broiler sangat empuk dan enak selain itu harganya terjangkau oleh masyarakat karena relatif murah. Beternak ayam broiler dapat dilakukan dengan modal yang kecil atau dengan modal yang besar, sebagai usaha sambilan ataupun sebagai usaha pokok. Siklus hidup ayam broiler relatif pendek, sangat efisien dalam menggunakan ransum maka akan cepat pula mengatasi tingginya permintaan daging (Murtidjo, 1987).
Namun dalam menjalankan usaha peternakan broiler ini, banyak peternak yang mengalami kesulitan atau hambatan dalam mengembangkan usahanya. Baik
itu dari harga ransum yang semakin mahal, faktor lingkungan (cuaca, penyakit dsb) serta kurangnya pengetahuan peternak akan teknik
pemeliharaan yang tepat.
memberikan dampak negatif terhadap hasil produksi yang tidak maksimal yang mana tingkat pendapatan peternak tidak sesuai dengan yang diharapkan. Keberhasilan peternakan broiler ditentukan oleh tiga hal yaitu : breeding, feeding dan manajemen.
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar memproduksi kelapa sawit. Luas areal perkebunan dan pertumbuhan kelapa sawit di setiap provinsi di Indonesian dapat di lihat pada tabel 1.
Tabel 1. Luas perkebunan (Ha) dan pertumbuhan kelapa sawit di Indonesia tahun 2010-2012.
No Provinsi Tahun Pertumbuhan
Menurut dinas perkebunan Sumatera Utara tahun 2012 luas tanaman sawit dan produksi buah segar di Sumatera Utara dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Luas areal tanaman dan produksi kelapa sawit Provinsi Sumatera Utara bedasarka pengeloaan tahun 2008-2012.
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara, 2013
Bungkil inti sawit (BIS) merupakan hasil samping dari pemerasan daging buah inti sawit atau ‘palm kernel’. Proses mekanik (pemerasan) yang dilakukan dalam proses pengambilan minyak menyebabkan jumlah minyak yang tertinggal masih cukup banyak (sekitar 9,6%). Hal ini menyebabkan bungkil inti sawit cepat tengik akibat oksidasi lemak yang masih cukup tinggi tersebut. Bungkil inti sawit dapat digunakan untuk pakan ternak, sebagai sumber energi dan protein (Devendra, 1978).
Kendala yang timbul bagi peternak adalah pada ransum selama pemeliharaan dimana ransum unggas di Indonesia umumnya memakai ransum komersil yang biayanya sangat besar yaitu dapat mencapai 60 – 70% dari total biaya produksi (Murtidjo, 1987).
Untuk mengurangi biaya produksi yang cukup tinggi peternak biasanya menggunakan ransum yang dibuat sendiri menjadi susunan ransum atau bahan Tahun Rincian Perk.
(Ton) 5.070.760 4.422.338 3.064.211 1.527.575 14.084.884 2009 Luas (Ha) 392.721 299.604 244.283 109.105 1.045.713
Produksi
(Ton) 5.088.579 4.668.827 3.075.401 1.529.848 14.362.655 2010 Luas (Ha) 396.564 305.435 251.489 112.323 1.054.849
Produksi
(Ton) 5.221.132 4.823.524 3.107.385 1.545.758 14.697.799 2011 Luas (Ha) 405.799 306.302 248.426 115.168 1.175.078
Produksi
(Ton) 5.428.535 4.972.107 3.190.120 1.592.849 15.183.610 2012 Luas (Ha) 405.921 306.394 248.500 115.203 1.192.446
Produksi
pakan konvensional. Bahan pakan konvensional yaitu bahan yang biasa digunakan oleh peternak yang bisa diramu sendiri menjadi ransum. Mahalnya ransum ternak unggas disebabkan karena selama ini Indonesia masih mengimport sebagian kebutuhan bahan ransum ternak unggas seperti bungkil kedelai, tepung ikan dan sebagian jagung belum bisa seluruhnya disuplai oleh produksi dalam negeri yang mengakibatkan naik turunnya harga ransum ternak unggas lebih banyak tergantung pada bahan baku yang diimpor.
Penggunaan bungkil inti sawit sebagai ransum ternak memberikan keuntungan ganda yaitu menambah keragaman dan persediaan ransum dan mengurangi pencemaran lingkungan. Bungkil Inti Sawit mudah didapat, tersedia dalam jumlah besar, berkesinambungan dan sebagai pakan ayam harganya murah, namun sampai saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Kenyataan ini disebabkan karena adanya beberapa faktor pembatas yang terdapat dalam Bungkil Inti Sawit tersebut, diantaranya kandungan serat kasar tinggi, daya guna protein
dan energi serta palatabilitasnya rendah (Aritonang, 1986). Menurut Sembiring (2006) penggunaan bungkil inti sawit (BIS) bisa diberikan
sampai 25%-30%.
Bungkil inti sawit dapat digunakan untuk pakan ternak (Devendra, 1978) sebagai sumber energi dan protein. Namun, penggunaannya
untuk pakan unggas terbatas karena tingginya kadar serat kasar (21,7%) termasuk hemiselulosa (mannan dan galaktomanan) serta rendahnya kadar dan kecernaan asam amino.
konsumsi ransum. Bungkil inti sawit sebagai salah satu bahan penyusun ransum diharapkan bisa menaikkan pertambahan bobot badan. Dengan meningkatnya bobot badan maka karkas juga akan mengalami kenaikan.
Sebelum bungkil inti sawit diberikan pada ternak perlu dilakukan penambahan enzim dan mikroorganisme yang bersifat sellulotik. Maka dengan itu peneliti menggunakan endopower β® untuk meningkatkan nilai nutrisi terutama serat kasar yang masih tinggi yang belum bisa dicerna dengan baik oleh ternak unggas terutama ayam broiler. Endopower β® merupakan produk dari proses fermentasi dua jenis organism yaitu Aspergillus niger dan Aspergillus oryzae.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pengaruh pemberian bungkil inti sawit yang
disuplementasi Endopower β® dalam ransum terhadap karkas dan organ
dalam ayam broiler.
Hipotesis Penelitian
Pemberian bungkil inti sawit yang disuplementasi Endopower β® dalam ransum komersil dapat meningkatkan bobot karkas dan organ dalam ayam broiler.
Kegunaan Penelitian