• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Kecerdasan Emosional and Mo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perkembangan Kecerdasan Emosional and Mo"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

0

PERKEMBANGAN

KECERDASAN EMOSIONAL DAN MORAL

PERMASALAHAN DAN SOLUSINYA

M A K A L A H

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH Psikologi Pendidikan

Yang dibina oleh Bapak Dr. Dedi Kuswandi, M.Pd

Disusun Oleh:

Yudi Rohmad (160121801065) Y a t m i n i (160121800446) Dwi Soca Baskara (160121800879)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG PROGRAM PASCASARJANA

(2)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Tak jarang kita bertemu atau sekedar membaca berita, bahwa orang-orang tertentu yang memiliki pendidikan tinggi—yang diasumsikan taraf IQ-nya juga tinggi—tetapi kurang sukses dalam menjalani hidup. Bahkan meskipun ketika kita ukur kesuksesan sebagai perolehan materi, tak jarang orang yang berpendidikan rendah mampu meraih pendapatan materi yang jauh lebih tinggi daripada orang yang berpendidikan rendah.

Belum lagi jika kesuksesan harus kita maknai lebih tajam sebagai kebahagian hidup, tidak sedikit orang yang berpendidikan rendah mampu menjalani hidupnya dengan penuh kebahagiaan. Sedangkan orang-orang dengan pendidikan tinggi kadang bahkan tidak mampu menempatkan diri dengan seharusnya sebagai bagian dari anggota masyarakat. Kondisi ini mengisyaratkan adanya ketidakberesan dalam memandang skor IQ dan tingkat pendidikan. Dimana sampai saat ini masih banyak sekolah yang menerapkan tes IQ sebagai dasar penerimaan siswa baru, yang lalu memunculkan kebanggaan-kebanggan tersendiri bagi pihak sekolah, orang tua, dan anak-anak dengan sebutan sekolah unggul, sekolah favorit. Tetapi saat si anak menyelesaikan semua jenjang pendidikannya dan terjun ke masyarakat, ternyata banyak sarjana yang hanya menjadi karyawan sebuah perusahaan yang dimiliki oleh orang yang pendidikannya biasa-biasa saja.

Hal senada diungkapkan oleh Goleman (2015:55) bahwa konsep lama tentang IQ hanya berkisar di kecakapan linguistik dan matematika yang sempit, dan bahwa keberhasilan meraih angka tinggi pada tes IQ paling-paling hanya menjadi ramalan sukses di kelas atau sebagai profesor, tetapi semakin lama semakin melenceng seiring jalur kehidupan yang semakin berbeda dari dunia akademis.

Kondisi ini juga masih mendominasi proses pendidikan di Indonesia. Seperti yang dijelaskan oleh Toenlioe (2013:70) bahwa Ujian Nasional (UN) adalah contoh paling kongkrit dan aktual dari puncak gunung es penerapan berlebihan salah satu kutub teori atau pandangan dalam mengelola pendidikan, yakni teori empirisme yang sejalan dengan behaviorisme.

B.

RUMUSAN MASALAH

(3)

2 terus mengalami perkembangan, dan mengapa kemudian muncul teori kecerdasan emosional yang notabene lebih memengaruhi kesuksesan hidup manusia. Lalu bagaimana mengaplikasikan teori kecerdasan emosional dan moral di lingkungan pendidikan formal?

C.

BATASAN MASALAH

Dalam makalah ini penulis membatasi masalah pada tiga pembahasan, yaitu: 1. Bagaimana perkembangan teori-teori kecerdasan?

2. Bagaimana perkembangan kecerdasan emosional dan moral?

3. Bagaimana peran kecerdasan emosional dan moral dalam pendidikan?

D.

TUJUAN PEMBAHASAN

Secara umum, penulisan makalah ini bertujuan agar penulis dan pembaca mengetahui pentingnya kecerdasan emosional dan moral dalam dunia pendidikan dengan mengetahui asal-usul perkembangan teori-teori kecerdasan yang meng-awali kemunculan teori kecerdasan emosional.

Secara khusus, tujuan penulisan makalah ini adalah: 1. Untuk mengetahui perkembangan teori-teori kecerdasan.

2. Untuk mengetahui perkembangan kecerdasan emosional dan moral.

(4)

3

BAB II

PEMBAHASAN

A.

PERKEMBANGAN TEORI KECERDASAN

Pembahasan tentang inteligensi sudah terjadi sejak zaman Plato. Kebanyakan teori awal tentang sifat inteligensi melibatkan satu di antara tiga pemahaman ini: 1) kapasitas untuk belajar; 2) pengetahuan total yang telah didapatkan seseorang; 3) kemampuan untuk beradaptasi dengan sukses dalam situasi-situasi baru dan dalam lingkungan secara umum (Wolfolk, 2009:168).

Para pakar psikologi dan pendidikan tidak ada yang sama dalam mendefini-sikan makna kecerdasan. Sejak lama sudah diadakan beberapa pertemua para psikolog untuk mendiskusikan tentang kecerdasan, seperti pada tahun 1941 sebanyak 13 psikolog, tahun 1984 sebanyak 24 psikolog. Meskipun ada kemiripan dalam hal definisi, namun masing-masing psikolog berbeda dalam hal struktur kecerdasan.

1. Sekilas Sejarah Lahirnya Tes Kecerdasan

Pada tahun 1904, Departemen Pendidikan Perancis menunjuk sebuah komisi untuk meminta seorang psikolog bernama Alfred Binet agar merancang metode yang dapat mengidentifikasi anak-anak yang tidak mampu belajar di sekolah. Pihak sekolah ingin mengurangi kepadatan kelas dengan menempatkan anak-anak ter-sebut di sekolah khusus. Bersama siswanya, Theophile Simon, Binet mendesain sebuah tes yang diselesaikannya pada tahun 1905. Dalam waktu singkat, penemuan-nya terkenal dengan sebutan “Tes Kecerdasan”, ukuranpenemuan-nya “IQ” (Gardner, 2003:19; Santrock, 2014:126; Gregory, 2013:55-56; King, 2016:341; Gross, 2013:397).

Satu hal yang sangat jarang dipertanyakan oleh para akademisi pendidikan, sebenarnya dalam rangka apa para politisi Perancis sampai mengajukan permintaan yang oleh Gardner (2003:19) disebut sebagai “permintaan tidak biasa” itu, dan mengapa yang ditunjuk adalah Alfred Binet?

(5)

4

learner. Sepintas—menurut penulis—niat Binet begitu mulia karena berusaha

melindungi anak-anak dari keluarga miskin agar tetap bisa sekolah. Tetapi yang terjadi adalah agar anak-anak keluarga miskin tersebut tidak mendapatkan pen-didikan yang terbaik di tempat yang sama dengan anak-anak borjuis perancis.

Tahun 1800–1900 dunia industri di Eropa dan Amerika menganut pola yang dikenal dengan “Strategi Pola Pemetaan Eugenic dan Ras” yang dimotori oleh kaum borjuis demi melanggengkan kekuasaan dan kepentingannya dalam usaha. Oleh karena itu harus dilakukan perencanaan tracking (pemisahan antara rakyat yang boleh sekolah dan yang tidak boleh sekolah), kaum buruh harus tetap disebut ‘bodoh’. Kenikmatan hidup sebagai kaum borjuis telah membuat bangsawan-bangsawan Perancis khawatir posisi budak yang meningkat sebagai buruh dan mulai meningkat pengaruhnya di parlemen, maka dicarilah segala daya-upaya agar posisi kaum borjuis tetap “di atas”, harus tetap ada istilah ‘budak-bodoh’, inilah dasar lahirnya Tes Binet. Sebagai jawaban atas permintaan para borjuis itu Binet dan Simon menulis dua artikel yang terbit tahun 1905 berjudul “New Methods For

Diagnosing The Idiot, The Imbecile, and The Moron” dan “New Methods For the

Diagnosis of the Intellectual Level of Subnormals”.1

Karena itulah tidak mengherankan jika sejak munculnya tes Binet-Simon ini banyak psikolog dan praktisi pendidikan yang mengkritik, terutama terkait dengan materi dan tugas-tugas dalam tes yang bias terhadap budaya yang dilandasi oleh tindakan diskriminatif berdasarkan ras, status sosial dan ekonomi. Dari penelitian Provenzo, Scarr, Cathers-Shiffman, & Thompson (dalam King, 2016:342) dapat kita bagi dalam dua kritik utama bahwa tes-tes kecerdasan itu:

a)Lebih memihak pada orang-orang yang berasal dari daerah perkotaan daripada lingkungan pedesaan. Misalnya pertanyaan yang didasarkan pada kisah: ketika seseorang menemukan anak usia 3 tahun di jalanan, apa yang harus dilakukan? Jawaban yang dimaksudkan benar adalah “menelpon polisi”. Tetapi bagi anak pedesaan mungkin tidak akan menjawab itu, karena tidak ada polisi di dekat tempat tinggal mereka.

b)Lebih memihak golongan sosial ekonomi menengah daripada mereka yang ber-asal dari sosial ekonomi rendah dan lebih memihak kaum kulit putih daripada warga kulit hitam. Misalnya anak yang berasal dari kelompok minoritas mungkin tidak berbicara bahasa Inggris atau berbicara bahasa Inggris yang tidak standar. Akibatnya, mereka mungkin tidak beruntung ketika berusaha memahami per-tanyaan verbal yang ditulis dalam bahasa Inggris standar.

(6)

5 Pada tahun 1916, Lewis Terman, psikolog di Stanford University Amerika menerjemahkan dan merevisi tes Binet-Simon dan menamainya Stanford-Binet Intelligence Scale. Seperti halnya di Perancis, tes Stanford-Binet cepat mendapat respon eugenik yang kemudian digunakan sebagai pembenaran ilmiah untuk menolak para imigran berkulit hitam.

Antropolog seperti Franz Boas, Ruth Benedict dan Gene Weltfish, telah banyak mendemonstrasikan status tidak ilmiah dari banyak klaim tentang hierarki rasial kecerdasan. Tetapi gagasan eugenik tetap kuat karena didanai besar-besaran oleh raja-tekstil Wickliffe Draper, agar terus mempublikasikan riset-riset yang meng-gunakan studi kecerdasan sebagai argumen untuk mendukung eugenika, diskrimi-nasi dan undang-undang anti-imigrasi.

Parkay dan Stanford (2008:388) mengisahkan sebuah peristiwa yang terjadi pada tahun 1971 ketika anak-anak Afro-Amerika—berdasar hasil tes kecerdasan— ditempatkan di kelas-kelas istimewa untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Orang tua mereka membawa keluhannya ke pengadilan dan mempertahankannya dengan berbagai cara hingga ke pengadilan federal. Keputusan pengadilan baru dibuat pada tahun 1984 yang menetapkan bahwa Tes IQ mendiskriminasi dan bias budaya.

Tabel 1. Perkembangan Teori dan Tes Kecerdasan

Tahun Teori Kecerdasan Tokoh

1904 General Intelligence Charles Edward Spearman (1863-1945)

1905

1908 Binet-Simon Intelligence Scale Binet-Simon Intelligence Test (New Versions) Alfred Binet (1857-1911) Théodore Simon (1872-1961) 1912 (Istilah IQ pertama kali muncul di Jerman) William Stern (1871-1938)

1916 Stanford–Binet Intelligence Scale Lewis Madison Terman (1877-1956)

1936 Raven's Progressive Matrices (CPM, SPM, APM) John Carlyle Raven (1902-1970) 1937 Stanford–Binet Intelligence Scale (2nd Edition) Lewis Madison Terman (1877-1956) 1939

1949 1967

Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS) Wechsler Intelligence Scale for Children (WISC) Wechsler Preschool and Primary Scale

of Intelligence (WPPSI)

David “Wex” Wechsler (1896-1981)

1955 180 Structure of Intellect (SI) Joy Paul Guilford (1897-1987)

1971 Fluid & Crystalized Intelligence

The Culture Fair Intelligence Test (CFIT) Raymond Bernard Cattel (1905-1998) John Leonard Horn (1928-2006)

1983 Multiple Intelligence (MI) Howard Earl Gardner (Born: 1943)

1985 Triarchic Intelligence (Analitis, Kreatif, Praktis) Robert Jeffrey Stenberg (Born: 1949) 1987 (Istilah Emotional Quotient pertama muncul) Keith Beasley

1995 Emotional Intelligence (EI) Daniel Goleman (Born: 1946)

1997 Adversity Intelligence (AI) Paul G. Stoltz ()

(7)

6 2. Teori Multiple Intelligences

Teori-teori kecerdasan terus berkembang, terutama untuk mendefinisikan ulang tentang kecerdasan yang sejak lahirnya Tes Binet-Simon telah diterapkan secara berlebihan dalam dunia pendidikan, dimana ‘nasib manusia’ ditentukan oleh angka-angka statis yang disebut Skor IQ.

Salah satu usaha yang paling berpengaruh untuk mengembalikan makna kecerdasan yang memanusiakan manusia dalam proses pendidikan adalah konsep Multiple Intelligences yang dicetuskan oleh Howard Gardner pertama kali pada tahun 1983 dalam bukunya Frame of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. Atas karyanya ini pada tahun 1985 Gardner mendapat penghargaan The National

Psychology Awards for Excellence in the Media. Lalu pada tahun 1987 mendapat

penghargaan William James Award dari American Psychological Association (APA). Gardner (dalam Sousa, 2012:128; Woolfolk, 2009:172; Feldman, 2012:346; King, 2016:350) mendefiniskan kecerdasan sebagai kemampuan untuk memecah-kan masalah dan menciptamemecah-kan produk dengan cara yang dapat dihargai oleh

masyarakat dimana individu tersebut berada. Setiap individu—paling tidak—

memiliki delapan jenis inteligensi dengan tingkat yang berbeda-beda. Bisa jadi seseorang menonjol dalam satu kecerdasan, namun kurang menonjol dalam kecerdasan lainnya. Sangat jarang yang menonjol dalam semua jenis kecerdasan. Setiap inteligensi yang terpisah-pisah ini tidak bekerja sendiri-sendiri. Normalnya, aktivitas apapun meliputi beberapa jenis inteligensi yang saling bekerja sama.

Berikut ini penulis rangkum dari beberapa sumber terkait delapan jenis kecerdasan yang dimaksudkan dalam Multiple Intelligences (Gardner, 2003:36-47; Santrock, 2014:130-131; Slavin, 2008:165; Parkay & Stanford, 2008:389; Woolfolk, 2009:171; Sousa, 2012:128; Campbell, Campbell & Dickinson, 2004; Feldman, 2012:346-347; King, 2016:349-350; Chatib & Said, 2014:80-101):

Tabel 2. Delapan Jenis Multiple Intelligences

NO KECERDASAN KOMPONEN INTI KOMPETENSI

1. Linguistik Kepekaan pada bunyi, struktur, makna,

fungsi kata dan bahasa. Membaca, menulis, berdiskusi, ber-debat, berargumentasi. 2. Logikal-Matematik Kepekaan memahami pola-pola logis

atau numeris, dan mengolah alur pemikiran yang panjang.

Berhitung, menalar dan berfikir logis sistematis, memahami alur problem solving.

3. Spasial-Visual Kepekaan merasakan, membayangkan

dunia gambar dan ruang secara akurat. Menggambar, membuat patung, memotret, mendesain. 4. Musikal-Ritmik Kepekaan menciptakan dan apresiasi

irama, pola titi nada, warna nada dan bentuk-bentuk ekspresi emosi musikal.

(8)

7

NO KECERDASAN KOMPONEN INTI KOMPETENSI

5. Kinestetik Kepekaan kontrol gerak motorik dan

keseimbangan. Mengontrol gerak tubuh, kemahiran mengolah objek, respon, dan reflek. 6. Interpersonal Kepekaan mencerna dan merespon

suasana hati, emosi, motivasi, dan keinginan orang lain.

Bergaul, memimpin, kepekaan sosial yang tinggi, negosiasi, kerja sama, dan mempunyai empati yang tinggi. 7. Intrapersonal Kepekaan memahami dan

membeda-kan emosi/perasaan sendiri. Mengenali diri secara mendalam, intuitif, mampu memotivasi diri. 8. Naturalistik Kepekaan meneliti, mengklasifikasi,

identifikasi gejala alam. Membedakan jenis spesies, mengenali eksistensi spesies lain, memetakan hubungan antara beberapa spesies.

Gardner (dalam Woolfolk, 2009:171) menekankan bahwa mungkin ada lebih banyak lagi jenis kecerdasan, delapan bukanlah jumlah akhir. Ia berspekulasi bahwa mungkin ada inteligensi spiritual dan eksistensial, yaitu kemampuan untuk meng-kontemplasikan pertanyaan-pertanyaan besar tentang makna hidup.

Ditegaskan oleh Gardner (dalam Feldman, 2012:346), daripada bertanya “Seberapa pintarkah Anda?” lebih baik dan seharusnya bertanya “Bagaimana agar Anda pintar?”. Slavin (2008:165) juga menegaskan bahwa jumlah kecerdasan yang tepat tidak penting bagi pendidik. Guru harus menghindari berpikir tentang anak-anak sebagai orang yang “cerdas atau tidak cerdas”, karena ada banyak cara untuk menjadi cerdas.

B.

KECERDASAN EMOSIONAL

1. Pengertian Emosi

Kata “emosi” berasal dari bahasa Inggris “emotion”, yang diadopsi dari bahasa Latin “ēmōtus”, bentuk past participle dari kata ēmoveō(“to move out, move away,

remove, stir up”), yang berarti “bergerak, berpindah, menghapus, mem-bangkitkan,

Beberapa pengertian dan ihwal terkait emosi, diantaranya:

a) Emosi atau afeksi adalah kecenderungan yang dirasakan mengarah pada sebuah objek yang dinilai cocok atau menjauh dari sebuah objek yang dinilai tidak cocok, yang diperkuat oleh perubahan-perubahan fisik tertentu (Arnold & Gasson dalam Gross, 2012:188).

b) Emosi adalah perasaan intens yang ditujukan kepada seseorang atau sesuatu (Frieda, 1993:381).

(9)

8 2. Munculnya Paradigma Kecerdasan Emosional

Goleman (2015:54-55) menjelaskan bahwa meskipun Throndike adalah psikolog yang sangat berpengaruh dalam memopulerkan IQ pada tahun 1920-an dan 1930-an, namun Throndike menyatakan bahwa salah satu aspek kecerdasan emosional, yaitu kecerdasan “sosial” merupakan aspek IQ seseorang.

Istilah “emotional intelligence” pertama kali muncul dalam sebuah makalah tahun 1964 oleh Michael Beldoch, dan di tahun 1966 dalam karya B. Leuner berjudul

Emotional intelligence and emancipation yang muncul di jurnal psikoterapi. Pada

tahun 1983, Gardner dalam “Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences” memperkenalkan gagasan tentang kecerdasan majemuk yang di dalamnya juga termasuk kecerdasan interpersonal dan intrapersonal yang konsepnya nyaris sama dengan Emotional Intelligence.

Istilah emotional intelligence (EI) kemudian muncul dalam tesis doktoralnya Wayne Payne pada tahun 1985 dalam studi tentang emosi berjudul “Developing

Emotional Intelligence”. Sedangkan istilah “EQ” (Emotional Quotient) pertama kali

digunakan pada tahun 1987 oleh Keith Beasley dalam sebuah artikel di majalah Inggris Mensa. Lalu pada tahun 1989 Stanley Greenspan mengajukan model untuk mendeskripsikan EI, diikuti oleh Peter Salovey dan John Mayer diterbitkan pada tahun yang sama.

Atas pengaruh ide Gardner dengan Multiple Intelligence, Salovey dan Meyer dengan Emotional Intelligence, pada tahun 1995 Goleman menerbitkan bukunya

“Emotional Intelligence: Why it can matter more than IQ” yang sangat fenomenal

dan termasuk dalam daftar buku best seller menurut koran The New York Times selama satu setengah tahun, juga best seller di beberapa negara dan telah diterjemah-kan lebih dari 40 bahasa. Berkat karya Goleman inilah istilah “Emotional Intelligence” (EI) semakin dikenal di seluruh dunia bersamaan dengan meningkatnya pembela-jaran berbasis multiple intelligences.

3. Model-Model Kecerdasan Emosional

Menurut Mayer, Salovey & Caruso (dalam Feldman, 2012:351), kecerdasan emosional (emotional intelligence) adalah serangkaian kemampuan yang mendasari

pengukuran, evaluasi, ekspresi, dan regulasi emosi yang akurat.

(10)

9 Ability Model diperkenalkan oleh Salovey dan Mayer. Kecerdasan emosional terbagi dalam empat kompetensi:

1) Merasakan emosi (perceiving emotion), yaitu kemampuan untuk mendeteksi dan menguraikan emosi di wajah, gambar, suara, dan artefak budaya, termasuk kemampuan untuk mengidentifikasi emosi sendiri. Merasakan emosi merupakan aspek dasar dari kecerdasan emosional, karena membuat semua pengolahan informasi emosional lain mungkin terjadi.

2) Memahami emosi (understanding emotion), yaitu kemampuan untuk memahami bahasa emosi dan untuk menghargai hubungan yang rumit antara emosi. Misal, memahami emosi meliputi kepekaan terhadap variasi di antara emosi, dan kemampuan untuk mengenali dan menggambarkan bagaimana emosi berkem-bang dari waktu ke waktu.

3) Menggunakan emosi (using emotion), yaitu kemampuan untuk memanfaatkan emosi untuk memfasilitasi berbagai kegiatan kognitif, seperti berpikir dan pemecahan masalah. Orang yang cerdas emosi dapat memanfaatkan perubahan suasana hatinya agar sesuai dengan tugas yang dijalankan.

4) Mengelola emosi (managing emotion), yaitu kemampuan untuk mengatur emosi pada diri kita sendiri dan orang lain. Oleh karena itu, orang yang cerdas secara emosional dapat memanfaatkan emosi, bahkan yang negatif, dan menge-lolanya untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Mixed Model yang diperkenalkan oleh Goleman menguraikan empat kompe-tensi kecerdasan emosional, yaitu:

1. Kesadaran diri (self-awareness), kemampuan membaca emosi diri sendiri dan mengenali dampaknya saat menggunakan insting mengambil keputusan. Elemen dari kesadaran diri adalah konsep diri, proses menghargai diri sendiri (self

esteem), dan identitas diri kita yang berbeda beda (multiple selves).

2. Pengelolaan diri (self-management), melibatkan pengendalian emosi dan impuls seseorang dan menyesuaikan dengan perubahan kondisi.

3. Kesadaran sosial (social awareness), kemampuan merasakan, memahami, dan bereaksi terhadap emosi orang lain di samping memahami hubungan sosial. 4. Pengelolaan hubungan (relationship management), yaitu kemampuan untuk

menginspirasi, memengaruhi, dan mengembangkan orang lain melalui manaje-men konflik.

(11)

10 a) Empati, kemampuan untuk memproyeksikan diri pada kondisi dan perasaan orang lain, penderitaan orang lain adalah penderitaan diri sendiri. Martin Hoffman, seorang peneliti empati, melihat adanya proses alamiah empati sejak bayi dan masa-masa selanjutnya, yang menjadi akar dan mendasari penalaran dan tindakan moral.

b) Altruisme, yaitu memperhatikan kesejahteraan orang lain di atas kesejahteraan pribadi. Empati dan etika adalah akar dari altruisme. Memberikan sedekah kepada fakir-miskin sering dianggap sebagai tindakan altruistik dalam banyak budaya dan agama. Empati yang tinggi akan cenderung membuat seseorang memberikan bantuan—pada tingkat ekstrim—tanpa mempedulikan dirinya sendiri.

4. Pengukuran Kecerdasan Emosional

Ketika menerbitkan bukunya Emotional Intelligence: Why It Can Matter More

Than IQ pada tahun 1995, Goleman mengatakan bahwa belum ada tes tunggal yang

menghasilkan “nilai kecerdasan emosional” dan barangkali tidak pernah ada tes semacam itu (2015:58). Namun sekarang banyak berkembang alat untuk mengukur Kecerdasan Emosional yang salah satunya bahkan dibuat oleh Goleman, yaitu:

a) The Emotional Competency Inventory (ECI), yang dibuat pada tahun 1999, dan

The Emotional and Social Competency Inventory (ESCI), edisi baru ECI telah

dibuat pada tahun 2007. The Emotional and Social Competency – University

Edition (ESCI-U) juga tersedia. Alat-alat tes ini didesain oleh Goleman dan

Boyatzis untuk menyajikan pengukuran kompetensi emosional dan sosial.

b) Mayer-Salovey-Caruso Emotional Intelligence Test (MSCEIT) yang berdasarkan

item-item pemecahan masalah berbasis emosional. Alat tes ini didesain pada tahun 2003 oleh John D. Mayer, Peter Salovey, dan David R. Caruso di Yale University dan University of New Hampshire bekerja sama dengan Multi-Health Systems Inc.

c) Diagnostic Analysis of Non-verbal Accuracy, mencakup 24 foto dengan jumlah

yang sama dari ekspresi wajah senang, sedih, marah, dan takut intensitas tinggi dan rendah yang seimbang dengan gender.

d) Japanese and Caucasian Brief Affect Recognition Test, untuk mengungkapkan

tujuh emosi: kebahagiaan, penghinaan, jijik, sedih, marah, terkejut, dan takut.

e) Levels of Emotional Awareness Scale, peserta membaca 26 adegan sosial dan

menjawab perasaan mereka dalam mengantisipasi.

f) Selain itu juga ada The Emotional Intelligence Appraisal (EIA), Swinburne

Uni-versity Emotional Intelligence Test (SUEIT), dan Trait Emotional Intelligence

(12)

11

C.

PERKEMBANGAN MORAL

1. Perkembangan Moral Piaget

Teori perkembangan moral berawal dari Jean Piaget (1896-1980), psikolog klinis dan perkembangan berkebangsaan Swiss yang terkenal karena hasil risetnya tentang anak-anak dan teori perkembangan kognitifnya. Untuk memahami per-kembangan moral anak-anak, Piaget menghabiskan banyak waktu untuk mengamati anak-anak bermain gundu (kelereng) dan bertanya kepada mereka tentang aturan mainnya.

Tabel 3. Moralitas Heteronom dan Otonom

Moralitas HETERONOM (Lebih Muda) Moralitas OTONOM (Lebih Tua)

Didasarkan pada hubungan paksaan; misalnya pe-nerimaan penuh oleh anak terhadap aturan-aturan orang dewasa.

Didasarkan pada hubungan kerja sama dan peng-akuan bersama terhadap kesetaraan di antara individu-individu yang otonom, seperti hubungan orang yang sejajar.

Tercermin dalam sikap realisme moral; aturan di-pandang sebagai ketentuan yang tidak fleksibel, asal dan wewenangnya dari luar, tidak ada negosiasi; dan benar hanya berarti ketaatan harfiah terhadap orang dewasa dan aturan.

Tercermin dalam sikap moral irasional; aturan dilihat sebagai produk kesepakatan bersama, terbuka pada negosiasi ulang, diterima secara pribadi dan bersama-sama; dan benar berarti bertindak sesuai ketentuan kerjasama dan saling menghormati. Kejahatan dinilai dari sudut bentuk dan konsekuensi

tindakan yang objektif; keadilan disamakan dengan isi keputusan orang dewasa; hukuman sewenang-wenang dan kejam dilihat sebagai sesuatu yang adil.

Kejahatan dipandang sebagai sesuatu yang terkait dengan maksud perilakunya; keadilan adalah per-lakuan yang sama atau kesediaan mempertimbang-kan kebutuhan pribadi; hukuman sesuai pelang-garannya.

Hukuman dilihat sebagai konsekuensi otomatis pelanggaran, dan keadilan dilihat sebagai sesuatu yang melekat.

Hukuman dilihat sebagai sesuatu yang dipengaruhi maksud manusia.

Menurut Piaget (dalam Slavin, 2008:70-71), anak-anak mengalami kemajuan dari tahap moralitas heteronom ke tahap moralitas otonom dengan perkembangan struktur kognitifnya dan interaksi dengan teman-teman yang mempunyai status yang sama. Menyelesaikan konflik dengan teman-teman memperlemah sikap anak-anak mengandalkan otoritas orang dewasa dan meningkatkan kesadaran mereka bahwa aturan dapat diubah dan keberadaan aturan seharusnya sebagai hasil per-setujuan bersama.

(13)

12 Oleh karena itu, perkembangan tahap moralitas anak dapat dilihat dari tahap perkembangan kognitifnya, yang oleh Piaget dibagi dalam empat tahap (Santrock, 2014:45-51; Slavin, 2008:45-55; Schunk, 2012:332-334; Hill, 2014: 164-165; Gross, 2013:244-249; Woolfolk, 2009:52-66; Solso, Maclin & Maclin, 2008:369), yaitu:

Tabel 4. Tahap Perkembangan Kognitif Piaget

Tahap Usia Karakteristik

Sensorimotor 0–2 tahun Dunia terbatas pada saat sekarang dan di sini.

Mulai mempergunakan imitasi (peniruan), ingatan dan pikiran. Mulai menengarai bahwa objek-objek tidak hilang ketika

disembunyikan.

Membangun pemahaman dengan mengkoordinasikan peng-alaman sensoris dengan tindakan fisik.

Pra-operasional 2–7 tahun Pikiran bersifat egosentris dan didominasi oleh persepsi. Secara gradual mengembangkan penggunaan bahasa dan

kemampuan berpikir dalam bentuk simbolik.

Mampu melakukan operasi-operasi melalui logika satu arah. Mengalami kesulitan dalam melihat dari sudut pandang orang lain. Operasional-konkret 7–11 tahun Pemikiran egosentrisme mulai berkurang.

Mampu mengatasi masalah-masalah kongkret secara logis. Memahami hukum-hukum percakapan.

Mampu mengklasifikasi (dari yang besar ke kecil). Operasional-formal < 11 tahun Pikiran bersifat umum dan menyeluruh.

Mampu mengatasi masalah-masalah abstrak secara logis. Menjadi lebih berpikir ilmiah dan berpikir proposisional.

Mengembangkan kepedulian tentang isu-isu sosial dan identitas.

Menurut penelitian Piaget (dalam Schunk, 2012:332), perkembangan anak-anak berjalan melalui sebuah rangkaian tetap. Setiap tahapan ditentukan oleh bagaimana anak-anak melihat dunia mereka. Teori tahapan dari Piaget dan dari yang lainnya mengetengahkan asumsi-asumsi tertentu:

 Masing-masing tahapan itu khas, berbeda secara kualitatif, dan terpisah.

 Perpindahan dari satu tahapan ke tahapan selanjutnya bukan merupakan per-campuran yang berangsur-angsur atau penggabungan yang berkelanjutan.

 Meskipun urutan dari perkemabangan struktur tidak pernah berubah, usia di mana seseorang mungkin berada pada tahapan tertentu akan berbeda-beda. Usia yang tercantum tidak bersifat mutlak.

2. Penalaran Moral Kohlberg

(14)

13 adalah seorang profesor di bidang psikologi di University of Chicago dan Harvard University. Sama dengan Piaget, Kohlberg mempelajari bagaimana anak-anak (dan orang dewasa) bernalar tentang aturan yang mengatur perilaku mereka dalam situasi tertentu. Kohlberg menyelidiki tanggapan mereka terhadap beberapa situasi yang terstruktur dan dilema moral.

Menurut Kohlberg (dalam Slavin, 2012:73; Woolfolk, 2009:146; Cruickshank, Jenkins & Metcalf, 2014:81-82; Santrock, 2014:109-110; Parkay & Stanford, 2008: 375), setiap individu melewati rangkaian 6 tahap penilaian atau penalaran moral. Namun setiap individu mengalami tahap-tahap tersebut pada usia yang berbeda-beda dan rentang waktu yang berberbeda-beda pula. Bahkan orang yang sama mungkin saja lebih cepat pada tahap tertentu, tetapi lambat melewati tahap lainnya.

Tabel 5. Enam Tahap Penalaran Moral Kohlberg

Level I

Benar dan salah ditentukan oleh imbalan dan hukuman. Kebenaran ditentukan orang sendiri dari sudut prinsip-prinsip

etika yang telah mereka pilih untuk diikuti.

TAHAP 1

Hukuman dan Ketaatan

Anak-anak mematuhi sosok yang berwenang hanya untuk

menghindari hukuman.

TAHAP 3

“Anak-Anak Baik”

Menyenangkan atau membantu orang lain dan berusaha meraih

persetujuan mereka.

TAHAP 5

Kontrak Sosial

Kebenaran disepakati oleh seluruh masyarakat; dan aturan

dapat diubah demi kebaikan.

TAHAP 2

Apa yang benar ditentukan oleh suara hati menurut prinsip-prinsip

etika yang dipilih sendiri.

Menjelang akhir hidupnya, Kohlberg berpendapat bahwa Tahap 6 dan Tahap 5 sesungguhnya tidak terpisah dan ia menyarankan agar kedua tahap ini digabung-kan (Slavin, 2012:74).

3. Kritik Terhadap Teori Penalaran Moral

(15)

14 Kritik terhadap teori Kohlberg juga terkait dengan gender. Studi-studi mutakhir menemukan sedikit perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dalam tingkat penalaran moral yang diukur berdasarkan prosedur-prosedur moral Kohlberg (Woolfolk, 2009:147). Meskipun tidak selalu, faktor kultur dan di usia tertentu penalaran moral wanita lebih tinggi dari pria.

4. Pendidikan Moral di Sekolah

Dalam proses pembelajaran, aspek emosional sangat penting untuk dilibatkan. Menurut Smith dan Kosslyn (2014:295), dalam satu dan lain hal—dan tidak selalu berdasarkan fakta—seseorang, tempat, dan benda-benda tidak netral sama sekali, tetapi seringkali memiliki semacam nilai, baik atau buruk, menyenangkan atau menakutkan. Nilai-nilai ini menentukan reaksi emosional kita terhadapnya dan dapat digunakan sebagai media pendidikan moral di sekolah.

Menurut Kohlberg (dalam Slavin, 2008:74), dilema moral dapat digunakan untuk memajukan tingkat penalaran moral anak, tetapi hanya setahap demi setahap. Anak-anak melangkah dari satu tahap ke tahap berikutnya melalui interaksi dengan orang lain yang penalarannya berada satu atau paling tinggi dua tahap di atas mereka. Guru dapat membantu siswa melangkah ke penalaran moral berikutnya dengan memasukkan pembahasan keadilan dan masalah-masalah moral ke dalam pelajaran mereka, khususnya untuk menanggapi peristiwa-peristiwa yang terjadi di ruang kelas atau dalam masyarakat yang lebih luas.

Contoh setting cerita yang akan menimbulkan dilema moral untuk melatih penalaran moral anak-anak, misalnya:

“Ada seorang wanita yang mendekati ajal karena kanker. Mereka tidak mampu mem-beli obat yang sangat mahal. Setelah sang suami meminjam dari teman-teman yang dikenalnya, ia hanya mampu mengumpulkan separuhnya. Suami tersebut lalu men-dobrak toko obat dan mencuri obat tersebut untuk isterinya. Apakah suami itu harus melakukan hal tersebut? Mengapa?”

Santrock (2014:112-114) menjelaskan beberapa analisis awal tentang pen-didikan moral sampai ke pandangan kontemporer untuk mendidik siswa hingga mereka akan mengembangkan nilai-nilai moral yang lebih baik:

1) Kurikulum Tersembunyi

(16)

15

2) Pendidikan Karakter

Dengan pendekatan langsung yang melibatkan pengajaran bagi siswa untuk mengerti moral dasar untuk mencegah mereka terlibat dalam perilaku amoral yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Penekanan pentingnya dengan mendorong siswa untuk terlibat dalam perilaku pro-sosial, seperti mempertimbangkan perasaan dan kepekaan membantu orang lain.

3) Klarifikasi Nilai

Membantu siswa untuk menjelaskan apa makna hidup mereka dan apa yang layak untuk diperjuangkan. Siswa didorong untuk mendefinisikan nilai-nilai mereka sendiri dan memahami nilai-nilai-nilai-nilai orang lain. Sehingga dalam latihan klarifikasi nilai tidak ada jawaban benar atau salah.

4) Pendidikan Moral Kognitif

Pendekatan berdasarkan pada keyakinan bahwa siswa harus belajar menghargai cita-cita. Harapannya, siswa akan mengembangkan konsep yang lebih maju dari berbagai konsep, seperti kerja sama, kepercayaan, tanggung jawab, dan bermasyarakat.

5) Pembelajaran Layanan

Mempromosikan tanggung jawab sosial dan pelayanan kepada masya-rakat, seperti membantu orang yang lebih tua, bekerja di rumah sakit, pusat perawatan anak, atau membersihkan tanah kosong untuk membuat area bermain. Tujuannya untuk mengurangi sikap egois dan termotivasi untuk membantu orang lain.

Untuk pendidikan nilai dan karakter yang komprehensif kepada peserta didik, Parkay dan Stanford (2008:376-377) mengharapkan para guru melaksanakan tugas-tugas berikut:

1) Sebagai pemberi perhatian, model, dan mentor, guru memperlakukan murid

dengan kasih sayang dan rasa hormat, membuat sebuah teladan yang baik, men-dukung perilaku sosial yang positif, serta memperbaiki tindakan yang melukai melalui petunjuk “one-on-one” dan diskusi seluruh kelas.

2) Membentuk komunitas moral, membantu murid-murid mengenal satu sama lain

sebagai manusia, menghormati dan peduli satu sama lain, serta merasa menjadi anggota kehormatan dan bertanggung jawab kepada kelompok.

3) Mempraktikkan disiplin moral, menggunakan hasil ciptaan dan alat-alat aturan

(17)

16

4) Menciptakan lingkungan kelas yang demokratis, mengikutsertakan murid-murid

dalam pembuatan keputusan dan tanggung jawab dalam upaya menciptakan kelas sebagai tempat belajar yang baik.

5) Mengajarkan nilai-nilai melalui kurikulum, menggunakan konten yang kaya

etika dari mapel-mapel akademis (seperti literatur, sejarah, dan sains) sebagai kendaraan untuk mengajarkan nilai dan pertanyaan yang menguji moral.

6) Menggunakan pembelajaran yang kooperatif untuk pengembangan apresiasi

murid terhadap sesama, pengambilan perspektif, dan kemampuan untuk bekerja dengan orang lain menuju ke tujuan bersama.

7) Mengembangkan kesadaran akan keterampilan dengan jalan menumbuhkan

apresiasi murid terhadap pembelajaran, kapasitas untuk bekerja keras, komit-men komit-mencapai kesuksesan, serta rasa dari bekerja sebagai sesuatu yang ber-dampak bagi kehidupan orang lain.

8) Memotivasi refleksi moral melalui kegiatan membaca, penelitian, penulisan esai,

pengumpulan jurnal, diskusi, serta debat.

9) Mengajarkan resolusi konflik agar para siswa menerima kemampuan moral

utama dan penyelesaian konflik secara adil dan tanpa paksaan.

10) Menanamkan kepedulian di luar kelas, menggunakan tokoh-tokoh panutan yang

positif untuk menginspirasi perilaku altruistik dan menyediakan kesempatan di setiap tingkatan kelas untuk menyelenggarakan sekolah dan pelayanan komunitas.

11) Menciptakan budaya moral positif di sekolah, mengembangkan sebuah etos

keseluruhan sekolah yang mendukung dan menyebarkan nilai-nilai yang diajarkan di kelas.

12) Merekrut wali murid dan komunitas sebagai rekanan dalam pendidikan karakter,

agar wali murid tahu bahwa sekolah sangat menghargai anak-anak mereka dan yang terpenting menunjukkan moralitas seorang guru.

Nucci (dalam Woolfolk, 2009:149) menawarkan beberapa usulan untuk menciptakan sebuah atmosfir moral di kelas:

1. Mempromosikan dan memperkuat komunitas yang saling menghormati dan hangat dengan peraturan yang adil dan konsisten. Tanpa komunitas semacam itu, seluruh usaha untuk menciptakan iklim moral akan runtuh.

2. Respon guru terhadap siswa seharusnya sesuai dengan ranah perilakunya—

moral atau konvensional. Seperti contoh isu moral berikut:

(18)

17 b)Dorong dengan pengambilan perspektif, “Tom, bagaimana perasaanmu jika

seseorang mencuri sesuatu darimu?”. Contoh respon terhadap isu konvensional:

a)Dengan menyebutkan kembali aturannya, “Dafid, kau tidak boleh meninggal-kan tempat dudukmu selama pengumuman dibacameninggal-kan.”

(19)

18

BAB III

PENUTUP

A.

KESIMPULAN

Setelah melakukan penelusuran referensi sejauh yang dapat kami lakukan, kesimpulan yang dapat penulis ambil adalah sebagai berikut:

1) Kecerdasan seseorang tidak lagi bermanfaat jika hanya dilihat dari angka IQ yang dihasilkan oleh tes-tes inteligensi tradisional, dimana hanya mengakui kecerdasan verbal-linguistik, logikal-matematik, dan spasial visual. Setiap manusia memiliki kecerdasan di bidangnya masing-masing. Sehingga tidak ada lagi labelisasi anak bodoh dan anak pandai.

2) Kecerdasan emosional dan moral mutlak dibutuhkan di lingkungan sekolah karena setiap siswa harus mampu mengenali, memahami, dan mengelola emosi-nya selain sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial di lingkungan sekolah bersama teman-teman, guru, dan pengurus sekolah lainnya.

3) Proses pendidikan harus melibatkan kecerdasan emosional dan moral siswa misalnya dengan membentuk komunitas yang saling menghormati dan hangat dengan peraturan yang adil dan konsisten, mengasah penalaran moral siswa dengan kisah-kisah yang menimbulkan dilema moral.

4) Kecerdasan emosional dan moral yang terdidik sejak bangku sekolah akan sangat bermanfaat bagi siswa dalam menjalani kehidupan sesungguhnya di luar sekolah dengan kesuksesan dan kebahagiaan.

B.

SARAN

(20)

19

DAFTAR RUJUKAN

Campbell, L., Campbell, B. & Dickinson, D. 2004. Teaching and Learning Through

Multiple Intelligences. Boston: Pearson Education, Inc

Chatib, M. & Said, A. 2014. Sekolah Anak-Anak Juara Berbasis Kecerdasan Jamak dan

Pendidikan Berkeadilan. Bandung: Kaifa Learning

Cruickshank, D.R., Jenkins, D.B. & Metcalf, K.K. 2014. Perilaku Mengajar (Edisi 6

Buku 1). Terjemah: Gisella Tani Pratiwi. Jakarta: Salemba Humanika

Feldman, R.S. 2012. Pengantar Psikologi (Edisi 10 Buku 1). Terjemah: Petty Gina Gayatri & Putri Nurdina Sofyan. Jakarta: Salemba Humanika

Frieda, N.H. 1993. Moods, Emotion Episodes and Emotions. New York: Guilford Press Gardner, H. 2006. Five Minds For The Future. Boston: Harvard Business School Press Gardner, H. 2003. Kecerdasan Majemuk: Teori Dalam Praktek (Lyndon Saputra, Ed).

Terjemah: Alexander Sindoro. Jakarta: Interaksara

Goleman, D. 2015. Kecerdasan Emosional: Mengapa EI Lebih Penting Daripada IQ. Terjemah: T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Gregory, R.J. 2013. Tes Psikologi: Sejarah, Prinsip, dan Aplikasinya (Edisi 6 Jilid 1). Terjemah: Aditya Kumara & Mikael Seno. Jakarta: Erlangga

Gross, R. 2013. Psikologi Ilmu Jiwa dan Perilaku (Buku 2). Terjemah: Helly Prajitno Soetjipto & Sri Mulyantini Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Hill, W.F. 2014. Teori-Teori Pembelajaran: Konsepsi, Komparasi, dan Signifikansi. Terjemah: M. Khozim. Bandung: Nusa Media

King, L.A. 2016. Psikologi Umum: Sebuah Pandangan Apresiatif (Edisi 3 Buku 1). Terjemah: Petty Gina Gayatri. Jakarta: Salemba Humanika

Mayer, J.D. & Salovey, P. 1997. Emotional development and emotional intelligence:

Implications for educators. New York: Basic Books (p. 3-31)

Parkay, F.W. & Stanford, B.H. 2008. Menjadi Seorang Guru (Edisi Ketujuh). Terjemah: Dani Dharyani. Jakarta: Indeks

Piaget, J. & Inhelder, B. 2010. Psikologi Anak. Terjemah: Miftahul Jannah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Santrock, J.W. 2014. Psikologi Pendidikan (Edisi 5). Terjemah: Harya Bhimasena. Jakarta: Salemba Humanika

(21)

20 Smith, E.E. & Kosslyn, S.M. 2014. Psikologi Kognitif: Pikiran dan Otak. Terjemah: Helly

Prajitno Soetjipto & Sri Mulyantini Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Stoskepf, A. 1999. The Forgotten History of Eugenics. (Online),

(http://www.rethinkingschools.org/cmshandler.asp?archive/13_03/eugeni c.shtml), diakses 10 Oktober 2016

Solso, R.L., Maclin, O.H. & Maclin, M.K. 2008. Psikologi Kognitif (Edisi Kedelapan). Terjemah: Mikael Rahardanto & Kristianto Batuadji. Jakarta: Erlangga Sousa, D.A. 2012. Bagaimana Otak Belajar (Edisi Keempat). Terjemah: Siti Mahyuni.

Jakarta: PT Indeks

Toenlioe, A.J.E. 2013. Sosiologi-Antropologi Pendidikan. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang

Wikipedia. History of the race and intelligence controversy. (Online),

http://en.wikipedia.org/wiki/History_of_the_race_and_intelligence_controv ersy), diakses 10 Oktober 2016

Wikipedia. Race and intelligence. (Online), (http://en.wikipedia.org/wiki/Race_ and_intelligence), diakses 10 Oktober 2016

Wikipedia. Scientific racism. (Online), (http://en.wikipedia.org/wiki/Scientific_ racism), diakses 10 Oktober 2016

Wikipedia. Théodore Simon. (Online), (http://en.wikipedia.org/wiki/Théodore_ Simon), diakses 10 Oktober 2016

Gambar

Tabel 1. Perkembangan Teori dan Tes Kecerdasan
Tabel 2. Delapan Jenis Multiple Intelligences
Tabel 4. Tahap Perkembangan Kognitif Piaget
Tabel 5. Enam Tahap Penalaran Moral Kohlberg

Referensi

Dokumen terkait

Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, yang selanjutnya disebut FinTech Lending, adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan

Kita juga sering kagum dengan akurasi bacaan tarot seseorang yang sangat akurat, namun kita juga pernah terheran – heran dengan orang yang sebenarnya tidak bisa baca tarot,

No.  Inflasi terjadi terutama disebabkan karena kenaikan harga yang ditunjukkan oleh kenaikan indeks pada kelompok bahan makanan sebesar 1,37 persen, kelompok makanan

[r]

Simpulan dari penelitian ini adalah penggunaan media sandpaper numbers dapat meningkatkan kemampuan mengenal lambang bilangan pada anak kelompok A TK Qur’an Platinum Al Abidin

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan Pemohon dan saksi-saksi Pemohon tersebut, Majelis Hakim menemukan fakta-fakta bahwa antara Pemohon dan Termohon terjadi perselisihan dan

 Nyeri dada yang terjadi berkaitan dengan adanya iritasi pada pleura yang berhubungan dengan penyebab efusi pleura, di mana efusi transudat

Pemberian variasi jenis dan konsentrasi auksin memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap waktu muncul tunas, tetapi berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan