Nyoman Trisna Aryanata2 Abstract
The extra attention to physical appearance among the metrosexual men indicates inconsistency to the gender stereotypes in Yogyakarta. Their 'unique' presence leads to indication of changes in the gender construction. However, researches on the topic of Metrosexual tend to use the perspectives taken from the marketing agents by putting metrosexual community as the central of the research. How the society of Yogyakarta constructed their knowledge of metrosexual and the positioning of the metrosexuals among them have not yet been answered. Social Representation with its anchoring and objectification helps to comprehend the existence of the metrosexual based on the point of view of the people of Yogyakarta, regarding to their existence in the city of Yogyakarta. The research was carried out by using open-questionnaires and semi-structured interview to 34 partisipants located in Yogyakarta, aged 21 to 36. Knowledge of ‘metrosexual’ was absorbed from the mass media and represented as a term for men, a phenomenon in the city, and associated with physical appearance terminologies, such as fragrant, clean, tidy, gay, fashionable, and modist. The concept of metrosexual was also associated with being gay. Their objectifications of the metrosexuals are male who pays extra attention to the physical
appearance, rich, living in the city, and tend to show immoderate behavior of male’s
idealization. The dominant attitude toward the metrosexuals is ambivalent. Extra attention to physical appearance isn’t considered as appropriate behavior to be performed by men for daily life, while acceptance is given only when it’s required by their occupations.
Keywords: metrosexuals, social representation, urban, mass media , gender
Pendahuluan
Memasuki pusat-pusat perbelanjaan dapat kita jumpai sejumlah gerai yang
menyediakan pakaian khusus pria dalam berbagai model serta produk-produk perawatan
tubuh bagi pria (yang umumnya diberi label ‘for men’). Produk-produk perawatan dan pelengkap penampilan bagi pria pun kita sudah tidak kalah lengkapnya dengan produk untuk
wanita. Ini adalah sebagian dari observasi yang dapat kita saksikan dalam keseharian kita
untuk menangkap keberadaan kalangan pria yang sangat memperhatikan penampilannya,
1 Paper ini bersumber dari skripsi (undergraduate thesis) penulis dan telah dipublikasikan dalam buku
”Representasi Sosial: Seksualitas, Kesehatan, dan Identitas (Kumpulan Penelitian Psikologi)” (ISBN: 978 -979-1088-58-9). Berikut adalah penulisan referensi artikel ini yang mengacu pada APA:
Aryanata, N.T. (2010). Representasi sosial tentang metroseksual (Studi deskriptif pada masyarakat kelas menengah usia dewasa awal di Yogyakarta). Dalam C.S. Handayani (Ed.), Representasi sosial: Seksualitas, kesehatan, dan identitas (Kumpulan penelitian psikologi) (pp. 75-114). Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma.
yang populer dengan sebutan “Pria Metroseksual” (Kartajaya, Yuswohady, Madyani,
Christynar, dan Indrio, 2004).
Pria metroseksual pun dinyatakan telah menunjukkan keberadaannya di Yogyakarta.
Harian Kompas Jogja mengulas mereka dalam tiga artikel terpisah yang berjudul “Spa Pun
Mulai Menjamur” (2005), “Fitness, Menangkap Tren Pria Metroseksual” (2007), dan “Pria Metroseksual, Dari Esensi Ke Eksistensi” (2005). Kehadiran spa yang menjamur di
Yogyakarta turut menjaring konsumen pria yang tidak sedikit. Hal yang sama berlaku pada
pusat kebugaran tubuh (fitness center) yang dipenuhi oleh anak muda yang ingin memiliki
penampilan fisik yang menarik. Kemunculan metroseksual pun tampak dalam media massa,
dimana sejak tahun 2003 bermunculan majalah-majalah pria dengan porsi iklan produk
perawatan tubuh pria dan berbagai tips memperhatikan penampilan bagi mereka yang cukup
dominan. Beberapa dari mereka yang terkenal adalah FHM, Men’s Health, dan Popular
(Kartajaya et al., 2004).
Beberapa tulisan menjelaskan bahwa istilah metroseksual selalu dilekatkan pada pria.
Pria metroseksual senantiasa dikatakan sebagai pria yang sangat memperhatikan
dandanannya. Mereka bersedia meluangkan waktu secara khusus untuk melakukan perawatan
ataupun membenahi penampilannya (Simpson, 1994; Simpson, 2002; Kartajaya et al., 2004).
Melihat pada kacamata konstruksi gender yang berlaku kini, perilaku pria yang sangat
memperhatikan penampilannya ini merupakan hal yang tidak sejalan dengan apa yang
umumnya dipandang sesuai untuk dilakukan oleh pria. Kegiatan merawat dan memperhatikan
tubuh telah menjadi stereotip gender wanita. Pria senantiasa digambarkan (atau diharapkan)
sebagai sosok yang lekat dengan aktivitas yang bernuansa kasar (misalnya berpetualang) dan
sifat-sifat yang keras (misalnya agresif dan kurang emosional), dimana perilaku
memperhatikan penampilan akan memberikan kesan feminin dengan nada negatif bagi
mereka (Brannon, 1996).
Temuan dalam keseharian tersebut menunjukkan bahwa kalangan metroseksual ini
telah tampak keberadaannya di tengah-tengah masyarakat Yogyakarta. Akan tetapi, budaya
yang dominan di Yogyakarta adalah budaya patriarki yang menempatkan nilai-nilai
kemaskulinitasan yang melekat pada laki-laki sebagai hal yang lebih superior (Handayani,
2004). Hal ini menekankan adanya ketidaksinambungan antara budaya tersebut dengan
fenomena pria metroseksual, dimana kalangan pria tersebut melakukan aktivitas bersolek
yang identik dengan wanita. Oleh karena itu, penelitian ini secara khusus ingin melihat
konstruksi gender yang mereka miliki. Dalam hal ini, hendak ditemukan konstruksi gender
seperti apa yang memberikan ruang bagi keberadaan kalangan metroseksual tersebut. Dengan
melihat hal tersebut, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pandangan yang tidak
hanya melihat kalangan metroseksual berdasarkan konstruksi gender yang hanya melihat
sosok pria sebagai sosok yang tidak sesuai untuk melakukan aktivitas feminin. Pria
metroseksual hendak dilihat melalui sudut pandang masyarakat dimana mereka berada
sehingga kalangan metroseksual ini pun dilihat sebagai bagian dari masyarakat tersebut.
Dengan representasi mereka di tengah masyarakat maka diharapkan penelitian ini memberi
pemahaman yang lebih proporsional mengenai posisi pria dalam konstruksi gender yang
berlaku di masyarakat.
Kartajaya et al. (2004) juga telah melakukan sebuah penelitian yang menemukan
karakteristik pria metroseksual di beberapa kota besar di Indonesia (Jakarta, Bogor,
Tangerang, dan Bekasi). Meskipun demikian, penelitiannya belum memberikan kita
gambaran keberadaan mereka dalam konteks sosial dimana kalangan metroseksual itu berada.
Penelitian-penelitian yang terkait dengan metroseksual masih banyak berada dalam lingkup
ekonomi, dimana metroseksual dilihat sebagai sebuah komoditas, seperti yang dilakukan oleh
Kartajaya dan Euro RSCG (Kartajaya et al., 2004). Dalam hal ini, kalangan metroseksual
dipandang sebagai kalangan pria yang gemar menggunakan produk perawatan tubuh
sehingga memberikan peluang pasar baru yang cukup besar. Selain itu, definisi pria
metroseksual pun masih menggunakan pengulasan yang dipergunakan oleh media massa di
Barat. Oleh karena itu, studi ini juga diharapkan akan menemukan sebuah pemaknaan
metroseksual dalam perspektif masyarakat umum di Indonesia, khususnya di Yogyakarta.
Tinjauan Teoritis
Metroseksual
Secara etimologis, istilah “metroseksual” merupakan sebuah istilah yang terdiri dari dua kata, yakni “metropolitan” dan “sexual”. Menurut Oxford Advanced Learner’s
Dictionary (University of Oxford, 2005) dan Encarta Webster’s College Dictionary
(Bloomsbury Publishing, 2005), kata “metropolitan” memiliki pengertian yang mengacu
pada ibukota atau kota besar. Sementara itu, kata ‘sexual’ memiliki makna yang lebih
beragam. Istilah ini mengacu pada praktik, orientasi, daya tarik, dan aspek fisik dari seks itu
sendiri. Akan tetapi, ketika digabungkan menjadi “metrosexual”, istilah tersebut kemudian
ketertarikan pada fashion dan shopping (kegiatan berbelanja) serta memperhatikan
penampilan mereka.
Penelitian pertama tentang metroseksual dilakukan pertama kali oleh MarkPlus&Co,
sebuah lembaga pemasaran, pada tahun 2003. Penelitian mereka merupakan adopsi dari
penelitian serupa yang dilakukan oleh Euro RSCG, sebuah biro periklanan yang berbasis di
New York. Meskipun demikian, ulasan pertama di Indonesia mengenai metroseksual
diangkat pertama kali oleh koran Kompas edisi 31 Agustus 2003 dalam artikel yang berjudul
“Dunia Masa Kini: Metroseksual!” (Kartajaya et al., 2004).
Pendefinisian istilah metroseksual dalam Wibowo (dalam Adlin, 2006) dan Kartajaya
et al., (2004), dalam beberapa artikel di harian Kompas, serta dalam riset yang dilakukan oleh
Euro RSCG senantiasa bermuara pada pendefinisian yang ditulis oleh Mark Simpson pada
harian Independent (1994) di Inggris dan dalam artikelnya di www.salon.com pada tahun
2002. Menurutnya, untuk menentukan apakah seseorang merupakan metroseksual adalah
cukup dengan melihatnya karena mereka sangat memperhatikan penampilannya. Dalam
artikelnya yang berjudul “Meet The Metrosexuals” (2002), Simpson mengacu istilah
‘metrosexual’ (atau ‘metroseksual’ dalam bahasa Indonesia) pada pria yang memiliki kemampuan finansial untuk mengkonsumsi berbagai produk (“...best shops”) maupun jasa (“...clubs, gyms, and hairdresser”) yang dapat menunjang kebutuhannya akan perhatian pada
penampilan. Kalangan ini juga dilihat sebagai kalangan yang berada di kota besar atau
memiliki akses yang mudah ke kota besar dan mereka pun ada dimana-mana. Jenis pekerjaan
yang mereka geluti pun cukup bervariasi, mulai dari model, resepsionis, profesional media,
musisi populer, olahragawan, serta berbagai profesi lainnya yang mendukung penampilan
cantiknya serta memiliki akses ke produk-produk mahal.
Euro RSCG memandang metroseksual sebagai sebuah bagian dari keberhasilan
feminisme, khususnya dalam dunia kerja. Dalam pandangan mereka, hal ini dikarenakan
telah masuknya wanita ke dalam berbagai sektor publik sehingga menimbulkan interaksi
yang lebih intens antara wanita dan pria, meski metroseksual bukan merupakan ide utama
dalam pergerakan perempuan. Para pria tersebut pun dipandang menjadi semakin mengenal
sisi wanita, bahkan melakukan kebiasaan perilaku yang selama ini menjadi stereotip wanita
(Kartajaya et al., 2004).
Mark Simpson memiliki pandangan yang berbeda mengenai metroseksual ketika ia
pertama kali mengulas mereka, yang diutarakannya dalam artikel berjudul “Metrosexual?
tidak terlalu serius oleh Simpson ketika ia pertama kali menuliskannya. Metrosexual adalah
terminologi yang digunakannya untuk menggambarkan dampak konsumerisme dan poliferasi
media massa terhadap ideologi maskulinitas tradisional, yang termanifestasikan dalam
berbagai majalah gaya hidup pria kontemporer. Uang yang mereka kumpulkan pun telah
berkembang dalam penggunaannya, yakni untuk memperhatikan penampilan mereka, yang
turut pula menjadikan mereka incaran agen pemasaran. Istilah ‘metrosexual’ merupakan
sebuah istilah yang digunakan oleh Simpson dalam kritiknya terhadap konsumerisme yang
dipicu oleh media massa pada kaum pria.
Penjelasan mengenai metroseksual di atas menunjukkan adanya ketidaksinambungan
dalam pemaknaan metroseksual, baik yang dilontarkan oleh Simpson maupun yang
dinyatakan oleh EuroRSCG (secara tidak langsung juga termasuk MarkPlus&Co). Dalam
satu sisi, metroseksual digambarkan sebagai sebuah sebutan satir pada pria yang
mempercantik dirinya, yang biasanya hidup di perkotaan. Di sisi lain, metroseksual juga
dilihat sebagai wujud keberhasilan feminisme Barat (Wibowo, dalam Adlin, 2006). Ketika
melihat pada asal-muasal metroseksual itu sendiri, kedua pihak tersebut juga memiliki
pandangan yang berbeda. Wibowo (dalam Adlin, 2006) memaparkan bahwa Mark Simpson
melihat metroseksual sebagai bentukan glossy magazines (majalah gaya hidup pria) dan
komodifikasi pria dalam berbagai produk perawatan tubuh. Sementara itu, Euro RSCG
melihat metroseksual sebagai hasil dari gerakan feminisme dan lingkungan pekerjaan.
Meskipun demikian, keduanya sepakat bahwa metroseksual berada dalam lingkungan
perkotaan. Dari berbagai pandangan tersebut, metroseksual kemudian disimpulkan melalui
dua tolok ukur yang utama. Pertama, pria metroseksual dapat dicirikan secara visual. Ia
berpenampilan rapi dan menarik, yang dilakukan melalui konsumsi mereka akan
produk-produk yang menjaga penampilan. Kedua, pria metroseksual bertempat tinggal di kota besar.
Kategori-kategori lainnya selain kedua hal tersebut di atas dipandang sebagai variasi dalam
menjelaskan pria metroseksual.
Gender dan Ketimpangan Gender
Istilah ‘gender’ dan ‘seks’ pada hakekatnya memiliki pemaknaan yang berbeda.
Oakley (dalam Kasiyan, 2008) menegaskan secara prinsip bahwa gender menunjuk pada
kategori sosial, sedangkan seks mengacu pada kategori biologis. Hal yang senada juga
disebutkan oleh Mosses (1996), dimana dijelaskan bahwa jenis kelamin (seks) merupakan
menjadikan kita feminin atau maskulin adalah atribut psikologis yang ditetapkan oleh kultur
kita terhadap jenis kelamin kita. Dengan kata lain, gender merupakan sebuah konstruksi
sosial.
Membahas gender akan membawa kita pada istilah stereotip gender dan peran gender.
Peran gender dapat digambarkan sebagai sebuah ketentuan yang berlaku bagi pria dan wanita
untuk memenuhi peran tertentu dalam masyarakat dan bertingkah laku sesuai dengan
gendernya. Dapat digambarkan bagaimana pria di Indonesia diharapkan untuk menjadi sosok
yang kuat, bertanggung jawab, dan dapat memenuhi nafkah keluarganya (bila telah
berkeluarga), sementara wanita diharapkan untuk menjadi sosok yang lemah lembut dan
melakukan pekerjaan rumah tangga. Stereotip gender merupakan berbagai hal yang
dipercayai sebagai atribut psikologis serta aktivitas yang dianggap sesuai bagi pria dan
wanita (Brannon, 1996; Megawangi, 1999; Handayani, 2004; Kasiyan, 2008; Nugroho,
2008). Anggapan mengenai pria sebagai sosok yang agresif, dominan, tidak memperhatikan
penampilan, berpikir logis, dan sebagainya, merupakan sebagian dari berbagai stereotip yang
melekat pada pria. Wanita pun seringkali disebut sebagai sosok yang lemah lembut, cerewet,
suka memperhatikan penampilan, dan sebagainya (Rosenkrantz, dalam Brannon, 1996).
Stereotip gender dan peran gender ini secara ideologis maupun praktek juga
menciptakan sebuah dinding yang tidak tipis antara pria dan wanita secara sosiokultural.
Batasan mengenai hal yang pantas dan tidak pantas menjadi acuan dalam menilai pria dan
wanita, yang menyangkut sikap, perilaku, dan penampilan yang diarahkan bagi pria dan
wanita dalam interaksi sosial (Brannon, 1996). Pleck (dalam Courtenay, 2000) juga
menjelaskan bahwa cara berpikir dan berperilaku pria dan wanita bukan disebabkan oleh
identitas jenis kelamin yang dimiliki tetapi karena konstruksi femininitas pada wanita dan
maskulinitas pada laki-laki. Hal ini pun menyebabkan dikotomi pria dan wanita tidak hanya
terbatas pada ciri biologis mereka, tetapi juga termasuk aspek psikososialnya. Wilayah wanita
pun menjadi tidak dapat dimasuki dengan mudah oleh pria, demikian pula sebaliknya, dengan
konsekuensi kesan abnormal apabila dilanggar
Dalam kehidupan sosial, pria memiliki tuntutan sosiokultural yang tidak ringan,
dimana mereka dituntut untuk tetap mempertahankan kemaskulinitasannya. Oleh karena
adanya serangkaian stereotip maskulinitas pria yang seringkali berkonotasi positif, maka pria
menempati posisi di wilayah publik yang sifatnya produktif dalam hierarki pembagian kerja
secara seksual, dimana kemudian pekerjaan-pekerjaan ini dipandang lebih terhormat
kepala daerah, presiden, maupun pemimpin perusahaan yang didominasi oleh pria. Secara
tradisional pun pria diharapkan untuk menjadi seorang kepala keluarga. Wujud beban yang
dimiliki oleh pria dapat dilihat pula dalam kultur Jawa dimana pria menanggung beban publik
untuk selalu bisa membawa diri sesuai dengan tata krama yang tepat (Handayani, 2004).
Tuntutan kemaskulinitasan yang dialamatkan pada pria ini bila dicermati lebih jauh akan
menunjukkan suatu ‘kesulitan’ atau ‘ketidakadilan’ bagi kaum pria. Kita dapat mengambil
contoh pada tangisan. Tangisan diketahui memiliki efek kelegaan fisik dan psikis bagi wanita
setelah menangis. Akan tetapi, fasilitas tersebut secara sosial tidak diberikan bagi pria. Pria
secara sosial dianggap tidak pantas untuk menangis sehingga agak berkurang daya tahan
emosionalnya terhadap kejadian-kejadian yang mengandung stres (Handayani, 2004).
Ketika kita membahas kesetaraan gender, asumsinya adalah terdapat kesempatan
yang sama bagi pria maupun wanita untuk merambah domain satu sama lain dan apresiasi
bagi kemampuan mereka. Spirit dasar konsep feminisme adalah menempatkan pria dan
wanita setara sebagai manusia yang lengkap dengan nilai yang dilekatkan (Kasiyan, 2008).
Dalam kenyataan yang terjadi, meski pria telah berhasil merambah sejumlah ruang yang
menjadi stereotip wanita, masih terdapat tuntutan yang kuat pada pria untuk mempertahankan
kemaskulinitasannya dalam berbagai segi. Dalam kondisi apapun, pria tetap diharapkan
untuk selalu menunjukkan ciri-ciri yang sejalan dengan stereotip gendernya.
Representasi Sosial dan “Metroseksual”
Dalam pandangan representasi sosial, kondisi psikologis seseorang merupakan produk
sosial yang akan menjadi pedoman tindakan bagi individu-individu yang ada dalam
lingkungan yang sama. Suatu dinamika psikologis individu terhadap suatu fenomena hanya
dapat dipahami apabila dilihat sebagai hal yang disatukan oleh kondisi historis, kultural dan
makrososial (Wagner, Duveen, Farr, Jovchelovitch, Lorenzi-Cioldi, Marková, dan Rose,
1999; Walmsley, 2004). Penjelasan ini turut menunjukkan bahwa representasi sosial
merupakan seperangkat konsep, pernyataan, ataupun penjelasan yang berasal dari kehidupan
sehari-hari pada masyarakat dan hanya mungkin terjadi karena adanya proses komunikasi
terus-menerus antar anggota dalam sebuah masyarakat atau kelompok. Melalui representasi
sosial, masyarakat memperoleh pengetahuan akan bagaimana perilaku mereka diarahkan
dalam menanggapi suatu obyek representasi serta bagaimana mereka menjelaskan obyek
Dalam proses representasi sosial terdapat dua konsep sentral, yakni anchoring dan
objectification. Objectification merupakan sebuah proses menerjemahkan ide-ide dan
konsep-konsep abstrak, dalam hal ini adalah metroseksual, ke dalam sebuah gambaran konkrit
(Moscovici, 1984). Dijelaskan lebih lanjut oleh Wagner,et al., (1999) bahwa suatu kelompok
sosial dalam komunikasi di dalamnya mengembangkan interpretasi mereka sendiri terhadap
suatu fenomena yang tidak dikenal atau baru. Anchoring merupakan proses dimana individu
mengaitkan suatu ide atau objek ke dalam konteks maupun makna yang familiar bagi mereka.
Anchoring kemudian dapat dipahami sebagai suatu proses sosial yang meletakkan individu ke
dalam konteks sosialnya serta ke dalam tradisi kultural kelompoknya (masyarakatnya).
Wujud representasi tersebut pun kemudian dapat dilihat, antara lain melalui pemaknaan dan
sikap sosial mereka terhadap objek representasi tersebut (Billig, Condor, Edwards, Gane,
Middleton, dan Radley, 1988; Moscovici, 2001).
Sikap dalam representasi sosial disebut sebagai ‘sikap sosial’, yakni suatu hasil
konstruksi dan evaluasi terhadap suatu objek pikiran. Sikap ini disebut ‘sosial’ karena dalam
pembentukannya, individu akan mengacu pada kumpulan pengetahuan yang diperoleh dari
lingkungan sosialnya, sekaligus juga ia akan membaginya pada anggota kelompok yang lain,
atau bahkan ia terpengaruh oleh anggota kelompoknya (Wagner et al., 1999). Oleh karena itu,
sikap masyarakat terhadap metroseksual merupakan bagian dari representasi mereka terhadap
metroseksual.
Konteks Penelitian
Dalam masyarakat Jawa dijumpai suatu filosofi yang menjelaskan pentingnya
berpakaian. Hal ini tampak dalam tradisi ngadi salira, ngadi busana (Purwadi, 2007).
Ungkapan tersebut mengungkapkan maksud bahwa jiwa dan raga perlu diberi perhatian
khusus agar mendapat penghormatan yang layak dari pihak lain. Dijelaskan pula lebih lanjut
bahwa dalam pergaulan sehari-hari penampilan seseorang ternyata sebagian ditentukan oleh
cara berpakaian. Cara berpakaian menjadi bagian dari cara seseorang menempatkan diri
dalam lingkungannya, sesuai dengan situasi dan kondisi. Pria dan wanita dipandang perlu
untuk memperhatikan penampilannya melalui cara berpakaian, dimana hal ini dapat
menunjukkan sifat tabiat seseorang, baik dalam tindak laku sehari-hari, tata krama, selera,
maupun pandangan hidupnya (Purwadi, 2007).
Di dalam masyarakat Jawa juga terdapat suatu pandangan yang melekatkan kegiatan
tampak dalam ungkapan “macak, manak, masak”. Ketiga kata tersebut mengacu pada
kewajiban yang dimiliki oleh para wanita, yaitu bisa berdandan atau merias diri (macak),
melahirkan (manak), dan memasak (masak). Kegiatan berdandan atau bersolek ini pun
menjadi bagian dari pandangan mengenai idealisasi para wanita (Primariantari, Rika, Ilsa,
Gail, 1998; Sukri dan Sofwan, 2001). Ciri-ciri tersebut tidak tampak dalam penggambaran
sosok pria yang dianggap baik atau ideal. Pria cenderung digambarkan dalam ciri-ciri yang
berkebalikan dari sosok wanita, dimana pria cenderung diharapkan untuk menjadi sosok yang
memimpin keluarga, mencari nafkah, dan penerus keturunan, tanpa ada penekanan akan
perlunya pria memperhatikan penampilannya (Handayani, 2004).
Hal yang dapat disimpulkan dari penjelasan yang diberikan di atas adalah bahwa
dalam masyarakat Jawa terdapat dua pandangan yang berbeda mengenai kegiatan
memperhatikan penampilan. Pertama, memperhatikan penampilan merupakan hal yang
sepatutnya dilakukan oleh pria dan wanita sebagai bagian dari usaha untuk menyesuaikan diri
di dalam lingkungan serta diperlukan dalam menjaga keselarasan hubungan dengan orang
lain sesuai dengan situasi dan kondisi. Pandangan yang kedua menempatkan kegiatan
memperhatikan penampilan alias berdandan sebagai hal yang wajib untuk dilakukan atau
mampu untuk dilakukan oleh para wanita. Kalangan pria tidak dipandang sesuai untuk
memiliki perhatian yang penuh pada usaha menjaga penampilan.
Dalam penelitian ini, subyek yang diperoleh adalah kalangan masyarakat yang berusia
antara 21-36 tahun, dimana subyek dalam rentang usia tersebut berada pada tahap
perkembangan dewasa awal (Santrock, 2002). Hal yang serupa berlaku pula di Indonesia,
dimana batas usia individu yang telah dinyatakan dewasa adalah 21 tahun. Dinyatakan bahwa
pada usia ini seseorang telah dapat melaksanakan kewajiban tertentu tanpa tergantung pada
orang tuanya (Monks, Knoers, dan Haditono, 2002).
Pada usia dewasa awal ini, individu dinyatakan telah mengkonstruksikan dirinya
sebagai bagian dari suatu masyarakat sekaligus juga melakukan peranannya di dalam
lingkungan sosialnya. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa ia telah mempunyai tanggung
jawab terhadap perilakunya, termasuk sanksi sosial dari perilakunya. Hal ini juga disebabkan
karena ia telah melalui suatu tahap transisi dimana ia bertemu dengan lingkungan sosial yang
lebih luas (norma, nilai, peran) dan akhirnya mencapai kestabilan acuan diri dalam
Metode
Penelitian ini mencoba menggali data yang dicari secara ‘grounded’ dan menganalisis data secara kualitatif. Akan tetapi, untuk mempermudah membaca data dan menemukan
representasi yang muncul, maka data kualitatif tersebut kemudian dianalisis dan disajikan
secara kuantitatif. Paradigma representasi sosial digunakan dalam penelitian ini karena
meletakkan individu dalam ruang sosialnya sehingga pemahaman dan sikap sosial individu
dapat dilihat sesuai dengan konteks sosial budayanya. Bahasa menjadi aspek penting dalam
penelitian ini. Bahasa sebagai unsur fundamental dari komunikasi, interpretasi, dan
pemahaman manusia dalam rangka memberi arti pada dunia sosial dengan cara
mengekspresikan pembentukan makna tersebut pada diri kita sendiri dan orang lain secara
linguistik. Melalui bahasa, suatu makna dalam perilaku manusia dapat dilihat secara kognitif,
afektif, maupun normatif (Handayani, 2002; Smith, 2009). Oleh karena itu, bahasa melalui
kata-kata yang dikumpulkan dalam penelitian ini menjadi aspek penting dalam memahami
representasi sosial masyarakat umum tentang metroseksual.
Terdapat beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Penelitian ini mengkaji representasi sosial tentang metroseksual pada
masyarakat umum yang diungkap melalui sikap dan makna yang mereka miliki
tentang metroseksual, dimana sikap dan makna ini sebagai pengetahuan yang
mereka miliki bersama.
2. Makna metroseksual bagi masyarakat adalah segala sesuatu yang dipersepsikan,
dipahami, dan dirasakan oleh masyarakat tentang mestroseksual.
3. Sikap terhadap metroseksual adalah kecenderungan berperilaku masyarakat,
baik positif maupun negatif, terhadap “metroseksual” berdasarkan pengetahuan sosial yang mereka miliki mengenai “metroseksual”.
4. Sumber informasi metroseksual adalah segala hal yang menjadi sumber bagi
masyarakat dalam mengkonstruksikan pengetahuan mengenai metroseksual.
5. Yang dimaksud dengan ‘masyarakat’ dalam penelitian ini adalah kalangan
masyarakat yang berusia 21-40 tahun dan bertempat tinggal di kota Yogyakarta.
Partisipan penelitian ini ditentukan secara purposive, yaitu pemilihan subyek
berdasarkan kriteria tertentu yang ditentukan oleh peneliti (Sulistyo, 2006). Kriteria yang
digunakan adalah individu berusia antara 21-40 tahun, bertempat tinggal di kota Yogyakarta,
Penelitian ini juga menggunakan kuesioner terbuka yang dilanjutkan dengan
wawancara semi-terstruktur. Data dalam penelitian diperoleh melalui metode asosiasi bebas
dengan menggunakan kuesioner terbuka yang dilanjutkan dengan wawancara. Pengambilan
data dilakukan secara bertahap, dimana partisipan dikumpulkan satu per satu untuk kemudian
dianalisa datanya, dan berhenti ketika tidak ditemukan lagi variasi yang berarti dalam data.
Adapun wawancara yang dilakukan untuk memastikan peneliti memiliki pemahaman yang
sama atas jawaban partisipan yang tercantum dalam kuesioner. Penelitian ini menggunakan
teknik triangulasi metode yang dilakukan dengan cara memeriksa kepada sumber yang sama
dengan teknik yang berbeda.
Hasil Penelitian
Penelitian ini berhasil mengumpulkan 34 orang partisipan, baik di kediaman
partisipan (19 orang) maupun di mall & café (15 orang), dimana terdiri dari 19 pria dan 16
perempuan. Pengambilan data dilakukan selama empat minggu, dalam periode 4 s/d 28 Mei
2009. Setelah pengisian kuesioner, partisipan kemudian diwawancarai di lokasi yang sama.
Seluruh partisipan diperoleh di kota Yogyakarta dan berkediaman di kota Yogyakarta.
Latar Belakang Partisipan
Sebagian besar partisipan berusia ≤ 26 tahun (70,6%). Selain itu, apabila
dibandingkan dengan standar upah minimum D.I.Yogyakarta tahun 2009 yang sebesar
Rp700.000 (Sumber: Media Indonesia 27 November 2008), partisipan penelitian ini
merupakan kalangan yang berada pada status ekonomi menengah. Hal ini ditunjukkan dari
jumlah pengeluaran yang didominasi pada rentang Rp500.000-Rp1.000.000 (50%) dan
berlanjut pada rentang pengeluaran berikutnya (dapat dilihat pada Tabel 1). Hanya satu
partisipan saja yang memiliki pengeluaran dibawah Rp500.000.
Tabel 1
Pengeluaran bulanan
Pengeluaran (Rp) Jumlah Prosentase (%)
A (<500.000) 1 2,9
B (500.000 – 1000.000) 17 50
C (>1000.000 – 1500.000) 7 20,6 D (>1500.000 – 2000.000) 2 5,9
E (>2000.000) 7 20,6
Representasi Istilah ‘Metroseksual’
Representasi partisipan tentang ‘metroseksual’ diperoleh dari respon kata-kata yang
diberikan dalam kuesioner. Seluruh kata ini dikumpulkan untuk kemudian dicari kategorisasi,
prioritas, sekaligus respon yang terbanyak (kata-kata yang paling banyak disebutkan).
Pengkategorian kata-kata didasarkan pada makna yang dituliskan partisipan dalam kuesioner.
Berikut ini akan ditampilkan seluruh kata yang disebutkan partisipan beserta kategorisasi dan
Keuangan yang berlebih
Kaya, esmut, bekerja, pekerja, sekunder, mewah, terlihat tajir, kasta, glamor, mahal, uang, berduit, gadget, travel, makan malam, konsumerisme, baju
U 17 20,69
Berada di kota Kota, uptown, perkembangan global, modern, kota besar, budaya kota
K 6 6,90
Jenis kelamin pria
Pria, cowok, lelaki, laki-laki S1 4 4,60
Gambaran positif
Berpendidikan, smart, mudah bergaul, pintar
GP 4 4,60
Pandangan seksual
Unisex S2 1 1,15
Jumlah 87 100
Melalui tabel 2, dapat dilihat bahwa asosiasi yang dominan adalah pada kategori
“memperhatikan penampilan & perkembangan tren penampilan” (40,23%), “ketidaklaziman” (21,84%) dan “keuangan yang berlebih” (20,69%). Hal ini menunjukkan bahwa bagi
partisipan, hal yang paling menonjol dari metroseksual adalah aspek penampilan kalangan
metroseksual. Terhadap metroseksual ini, partisipan juga memunculkan kata-kata yang
berorientasi pada hal-hal yang tidak lazim atau tidak wajar. Terdapat tiga hal yang berkaitan
dengan ketidaklaziman yang menjadi bagian dari penggambaran partisipan mengenai
metroseksual, yakni melakukan praktek seksual yang tidak lazim (10,34%), perilaku pria
yang tidak wajar (5,75%), dan memiliki gaya hidup yang tidak lazim (6,90%). Hal lain yang
menonjol adalah kesan dari kalangan metroseksual sebagai kalangan yang memiliki kondisi
keuangan yang berlebih, yang tampak dari gambaran mengenai kondisi keuangan maupun
dalam penggunaan uang.
Pada tabel 3 berikut ini akan disajikan istilah-istilah yang memiliki respon terbanyak.
Istilah-istilah yang memiliki makna yang sama digabungkan, termasuk jumlah partisipan
yang menyebutkan istilah tersebut. Dari hasil ini kemudian diambil istilah-istilah yang
Tabel 3.
• Prosentase berdasarkan total partisipan (34 orang)
• Kata/istilah di dalam tanda kurung adalah kata/istilah lain yang disebutkan partisipan, yang memiliki arti yang sama dengan kata/istilah di luar tanda kurung
• Kode Kategori
o P: memperhatikan penampilan & perkembangan tren penampilan
o S1: pria
o S3: praktek seksual
o TW: kesan tidak wajar o U: keuangan yang berlebih
o K: kota
Prosentase respon pada tabel 3 menunjukkan kemampuan istilah-istilah tersebut
dalam menggambarkan metroseksual. Artinya, semakin besar nilai prosentasenya maka
semakin banyak pula partisipan yang menganggap bahwa istilah tersebut cukup penting
untuk menggambarkan metroseksual. Pertanyaan pertama pada kuesioner merupakan
pertanyaan yang terbuka dimana partisipan diminta untuk menyebutkan berbagai kata yang
secara spontan terlintas dalam benak mereka dalam menanggapi istilah “metroseksual”.
Respon yang diberikan merupakan pemahaman partisipan yang paling tersedia, dimana
kemunculannya adalah tanpa proses refleksi. Hasil yang diperoleh adalah respon-respon
dominan yang muncul, dimana dalam hal ini adalah kata-kata yang mengacu pada
demikian, penampilan, pria, gay, dan kaya merupakan hal-hal yang paling menonjol
mengenai metroseksual.
Tahap berikutnya adalah melihat respon pada level kognitif kedua yang mengacu
pada pertanyaan kedua dalam kuesioner. Pada pertanyaan kedua ini, partisipan diberi
kesempatan untuk memilih kata-kata yang bagi mereka cukup penting untuk menggambarkan
metroseksual. Dengan memberikan kesempatan memilih, maka partisipan pun meninggalkan
level pertama (spontanitas) dalam menggambarkan metroseksual. Partisipan pun melakukan
proses refleksi dalam pemilihan prioritas kata yang dipilihnya.
Tabel 4
Prosentase prioritas kata
Keterangan: • Prosentase respon berdasarkan total respon
• Prosentase prioritas berdasarkan total partisipan (34 orang)
Tabel 4 menunjukkan adanya variasi tingkat prosentase kategori dalam jawaban
partisipan pada masing-masing tingkat prioritas (partisipan diminta untuk memilih kata dan
meletakkannya dalam skala prioritas kata yang paling menggambarkan “metroseksual”
dengan prioritas 1 sebagai yang tertinggi dan 5 terendah). Terdapat kategori-kategori yang
memiliki posisi yang cukup kuat dalam masing-masing prioritas untuk menggambarkan
metroseksual, yakni kategori yang menyatakan perhatian pada penampilan dan
perkembangan tren penampilan. Kategori-kategori lainnya relatif berubah-ubah besarnya
dalam masing-masing level prioritas.
Perhatian pada penampilan menjadi representasi utama atau representasi terkuat
dalam pandangan partisipan mengenai metroseksual (55,29%). Secara berurutan, posisi lima
besar prosentase berikutnya adalah pada kategori keuangan yang berlebih (14,12%), praktek
seksual yang tidak lazim (7,06%), gaya hidup yang tidak lazim (6,46%), dan kesan pria yang
tidak wajar (5,88%). Adapun ketika tiap-tiap subkategori yang berada pada kategori
ketidaklaziman digabungkan, akan diperoleh prosentase yang cukup besar, yaitu 19,41%.
Dengan demikian, urutan kategori yang menempati posisi tiga besar pun menjadi kategori
perhatian pada penampilan dan perkembangan tren penampilan, kategori ketidaklaziman, dan
kategori keuangan yang berlebih. Perbandingan antara tabel 2, 3 dan 4 menunjukkan adanya
konsistensi dari kekuatan tiga kategori tersebut dalam menjelaskan metroseksual.
Sumber Informasi Istilah “Metroseksual”
Sumber informasi partisipan tentang metroseksual ditelusuri melalui kuesioner.
Segala sumber yang disebutkan kemudian ditabulasi dan dikategorikan menurut jenisnya.
Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat dua sumber utama informasi partisipan akan
metroseksual, yaitu media massa dan lingkungan pergaulannya. Baik dalam kategori media
massa maupun secara keseluruhan, sumber informasi yang dominan bagi partisipan adalah
televisi.
Tabel 5
Daftar sumber informasi “metroseksual”
Sumber Jumlah Respon
Media massa: Televisi
Majalah, tabloid
25 11
Pergaulan 8
Sikap Terhadap Metroseksual
Sikap partisipan terhadap metroseksual tidak berujung pada sikap negatif (menolak
atau tidak menyetujui) dan sikap positif (menerima atau menyetujui), namun ternyata
partisipan menunjukkan sikap yang ambivalen (menerima sekaligus menolak) dan menerima.
Berikut ini adalah tabulasi keseluruhan sikap partisipan terhadap (pria) metroseksual.
Tabel 6
Sikap partisipan terhadap kalangan metroseksual
Sikap Jumlah
Partisipan
Prosentase (%) Ambivalen
(menerima & menolak)
26 76,47
Setuju/menerima 8 23,53
Total 34 100
Keterangan: Prosentase berdasarkan jumlah total partisipan
Hasil pada tabel 6 menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan memunculkan sikap
ambivalen dalam menanggapi metroseksual. Sikap ambivalen ini menunjukkan bahwa
partisipan memunculkan dua bentuk sikap yang berbeda dalam menanggapi metroseksual,
yaitu sikap menerima sekaligus menolak terhadap metroseksual.
Respon yang menunjukkan ketidaklaziman tentang metroseksual hanya terdapat pada
partisipan yang memiliki sikap menerima sekaligus menolak (ambivalen). Artinya, terdapat
kemungkinan bahwa sikap ambivalen partisipan terkait dengan penilaian mereka tentang
ketidaklaziman metroseksual. Di sisi yang berseberangan, partisipan yang menunjukkan
sikap setuju tidak memunculkan respon yang terkait dengan ketidaklaziman. Respon-respon
mereka didominasi oleh respon kata yang berada pada kategori perhatian pada penampilan
dan kategori keuangan yang berlebih. Dinamika sikap partisipan ini akan dijelaskan pada
bagian di bawah ini.
Partisipan Ambivalen
Partisipan yang bersikap ambivalen memunculkan respon ketidaklaziman dalam
menanggapi metroseksual. Dalam hal ini, mereka menggambarkan kalangan metroseksual
sebagai kalangan yang memiliki ciri-ciri perilaku yang terkait kategori ketidaklaziman
tersebut. Penilaian terhadap metroseksual ini terutamanya ditujukan pada konteks dimana
kalangan metroseksual ini berada terkait dengan perilakunya yang sangat memperhatikan
kalangan yang melakukan praktek seks bebas atau memiliki kebiasaan bergonta-ganti
pasangan. Praktek pergaulan bebas atau seks bebas yang dilakukan oleh kalangan
metroseksual dipandang partisipan sebagai suatu hal yang identik dengan perkotaan. Hal
tersebut dipandang sebagai tidak baik atau tidak wajar untuk dilakukan oleh masyarakat
karena melanggar norma yang ada.
"… contohnya itu berganti-ganti pasangan atau berhubungan seks dengan
yang bukan pasangannya… Jadi arahnya ke barat, terutama karena
mungkin kan berganti-ganti pasangan itu sudah menjadi suatu hal yang wajar." (R4, 30th, pria, wiraswasta).
"ya sebagai orang awam, paling ya… kayak seks bebas itu. Pergaulan yang seperti itu…. Biasanya identik dengan kota…" (R21, 26th, pria, pegawai swasta).
Sebagian dari partisipan juga memiliki pandangan bahwa kalangan metroseksual
merupakan kalangan yang memiliki gaya hidup yang tidak lazim. Yang dimaksud dengan
gaya hidup tidak lazim di sini adalah gaya hidup yang berkaitan dengan dunia malam, seperti
minum minuman keras, boros, dan hedonis.
"Iya dari behavior mereka misalnya mentingkan keinginan wants-nya misalnya kayak clubbing gitu. Misalnya juga beli barang-barang yang
nggak sesuai dengan kebutuhan mereka” (R19, 21th, wanita, konselor).
"Ya kebanyakan mereka mengkonsumsi sih ya. Mereka tidak produktif, tapi mereka kebanyakan memakai barang. Misalnya mereka pake baju
yang bermerk. Kalo nggak bermerk nggak mau… maksudnya merknya
high end gitu. Pokoknya merk terkenal yang dengan budget yang nggak sedikit untuk membeli barang itu. Kemudian, mereka juga membeli barang-barang elektronik juga yang mahal-mahal. Atau mungkin… mereka sangat mementingkan, opo, gengsi." (R31, 26th, pria, mahasiswa).
Kalangan metroseksual digambarkan gemar mengkonsumsi berbagai hal di luar
kebutuhan pokok. Kalangan metroseksual ini juga digambarkan sebagai kalangan yang sering
berada di tempat-tempat hiburan malam serta hal-hal yang terkait dengan dunia malam.
Seluruh hal ini pun dipandang mereka sebagai hal yang berlebihan, khususnya ketika hal
tersebut dilakukan dalam intensitas yang sangat sering. Terdapat anggapan bahwa segala hal
yang dikonsumsi kalangan metroseksual bukanlah hal pokok dalam hidup mereka, melainkan
sebagai sarana untuk meningkatkan gengsi mereka. Hal ini semakin memberi tekanan
mengenai posisi kalangan metroseksual, dimana gaya hidup mereka dilihat sebagai hal yang
Sebagian dari partisipan ini juga memberikan respon yang berkaitan dengan
pandangan mengenai perilaku spesifik pria yang tidak lazim. Perilaku ini terkait dengan apa
yang bagi mereka wajar untuk dilakukan oleh para pria. Hal ini dikaitkan dengan perhatian
yang lebih pada penampilan yang ditunjukkan oleh para pria metroseksual.
"…tapi kalau sejauh yang diliat, kalo metroseksual pasti kan feminin. Cenderung feminin. Kalo yang feminin kan pasti banyak yang bilang gay,
homo, segala macem… Dandan kayak gitu kan biasanya yang ngelakuin
cewek ya umumnya. Cuman kita kan ada juga cowok yang melakukannya juga, gitu lho." (R27, 24th, wanita, pegawai swasta).
"Aku ada temen yang setiap ada gaya rambut artis baru dia ikutin. Heran aja, spend money banyak untuk di salon buat gaya padahal belum kerja. Setiap ketemuan sama dia, ngomongin gaya rambut atau parfum ba ru."
(R7, 23th, pria, pegawai swasta).
Perilaku yang sangat memperhatikan penampilan yang ditunjukkan oleh kalangan
metroseksual memberi kesan feminin kepada mereka. Hal ini tidak lepas dari pandangan
bahwa yang umumnya memberikan perhatian lebih pada penampilan adalah wanita. Oleh
sebab itu, partisipan pun menganggap bahwa perilaku tersebut tidak wajar untuk dilakukan
oleh para pria, dimana timbul kesan terhadap mereka sebagai orang yang feminin ataupun
homoseksual.
Sikap ambivalen partisipan terhadap pria metroseksual ini lebih ditekankan pada
perilaku mereka yang memberikan perhatian lebih pada penampilan. Hal ini tidak hanya
terdapat pada partisipan yang memunculkan respon yang ada dalam kategori kesan pria yang
tidak wajar, namun juga pada partisipan-partisipan lainnya yang menunjukkan ambivalensi.
Partisipan dinyatakan memiliki sikap ambivalen karena ia tidak sepenuhnya menolak
perilaku yang mementingkan penampilan yang dilakukan oleh pria metroseksual ini. Mereka
masih memberikan permakluman akan perilaku tersebut tetapi dengan suatu batasan. Tabel
berikut akan menampilkan beberapa tanggapan yang menunjukkan ambivalensi tersebut.
Tabel 7
Tanggapan ambivalen partisipan
Partisipan Tanggapan 9 (26th, pria,
pegawai swasta)
“40 persen sih ideal kalo profesinya menuntut itu. Karena yang 60 persen ideal lainnya bukan dari penampilan fisik luar. 60 persen sifat dan kepribadiannya sesuai yang diharapkan oleh umum.”
11 (36th, pria, pengajar)
“Kalau melihat dari definisinya yang paham tentang itu
artian harus sering ke salon. Kalau memang berkaitan dengan profesi sih nggak apa -apa. Kalau nggak ya agak
lebay gitu.”
“Ee, metroseksual itu kalo dimasukkan ke ideal atau nggak ideal... ideal bagiku yang bisa menempatkan diri sesuai gendernya di masyarakat...”
14 (26th,
wanita, pegawai swasta)
“Saya nggak masalah kok dengan mereka. Sesukanya
aja kalo emang pekerjaannya butuh itu.”
“Kalo menurut saya sih agak berlebihan ya kalo cowok ampe metroseksual. Berlebihan aja, maksudnya kalo saya tu ngeliat cowok metroseksual tuh malah nggak
wajar kalo di keseharian.”
Partisipan memiliki penerimaan terhadap perilaku memperhatikan penampilan fisik
yang dimiliki oleh pria metroseksual apabila aktivitas ini dilakukan dalam konteks pekerjaan.
Mereka memandang bahwa perhatian pada penampilan fisik yang dilakukan oleh pria adalah
wajar apabila profesi yang digeluti menuntut untuk hal itu. Penolakan diberikan apabila
perilaku ini dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam keseharian, pria diharapkan untuk
tetap berperilaku seperti pria pada umumnya, yang sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Aktivitas memperhatikan penampilan dipandang mereka sebagai hal yang berlebihan untuk
dilakukan oleh pria apabila terjadi di luar lingkungan yang secara khusus menuntut
penampilan fisik yang menarik.
Partisipan Yang Menyetujui / Menerima
Partisipan yang memiliki sikap menerima adalah partisipan yang sepenuhnya
menerima perilaku memperhatikan penampilan yang ditunjukkan oleh pria metroseksual,
baik dalam lingkungan kerja maupun keseharian. Partisipan yang menunjukkan penerimaan
sepenuhnya ini memiliki alasan personal dalam latar belakang sikapnya tersebut. Mereka
memandang penampilan fisik sebagai hal yang perlu dijaga untuk membuat diri menjadi
menarik, baik bagi pria maupun wanita.
“Ya, mereka masuk ke cowok yang menurutku ideal. Ya mungkin dari fisik,
apa ya, ya bersih kayak gitu. Fashionable, kayak gitu” (R20, 23th, wanita,
pegawai swasta).
Penampilan fisik pria metroseksual dipandang sebagai hal yang menjadi daya tarik
mereka. Menjaga penampilan memang identik dengan wanita, namun kini pria pun dianggap
perlu untuk melakukannya. Terdapat pandangan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk
menjaga diri dan menunjukkan pembawaan yang pantas di muka umum melalui penampilan
mereka. Penerimaan penuh diberikan bagi kalangan ini, termasuk ke dalam lingkungan
terdekat partisipan. Penjelasan lebih lanjut diberikan partisipan mengenai alasan mereka
menyukai kalangan metroseksual.
“...Karena, menurutku kalau cowok metroseksual itu pasti lebih
menghargai dirinya sendiri ya. Dia bisa tampil lebih baik, bisa dinilai
orang mungkin lebih baik.” (R6, 24th, wanita, pegawai swasta).
“Kalo front line, orang yang dateng tu pertama yang dilihat itu adalah kitanya terlebih dulu baru barangnya. Kalo kita bersih, kita rapi, kita wangi, orang pasti akan seneng masuk ke toko kita. Nggak perlu cakep bo,
gitu aja.” (R25, 23th, pria, wiraswasta).
“Ya dia bisa bersikap sopan. Sopan dia dengan gayanya yang seperti itu. Memikat lah pokoknya. Pokoknya bagus lah dia, keren, dia bisa ngobrol,
dia pinter.” (R34, 28th, wanita, pengajar).
Dapat dilihat bahwa ketertarikan partisipan terhadap kalangan metroseksual
disebabkan oleh kesan menarik yang ditimbulkan dari penampilan pria metroseksual.
Penampilan tersebut dinilai sebagai wujud penyesuaian pria metroseksual dalam menjalin
relasi dengan orang lain dan memberikan kenyamanan bagi pihak yang berinteraksi dengan
mereka. Dengan kata lain, menjaga penampilan dipandang sebagai bagian dari usaha untuk
menjaga keselarasan dengan lingkungan. Hal ini lah yang memberi kesan positif bagi
partisipan sehingga mereka pun merasa nyaman dan bersedia untuk berinteraksi dengan pria
metroseksual.
Diskusi
“Metroseksual” merupakan sebuah fenomena yang familiar bagi masyarakat
perkotaan yang berusia 21-36 tahun, berasal dari status ekonomi menengah, serta tinggal di
Yogyakarta. Representasi sosial mereka tentang metroseksual adalah gambaran tentang pria
senantiasa mengikuti perkembangan jaman, khususnya yang berkaitan dengan tren
penampilan. Keberadaan pria metroseksual dilihat secara terlokalisir, yakni hanya pada
lingkungan perkotaan dan pekerjaan. Pria metroseksual tidak dilihat sebagai kalangan yang
ada dalam masyarakat Indonesia secara luas, maupun sebagai hal yang wajar untuk dilakukan
oleh pria pada umumnya.
“Metroseksual” merupakan istilah yang mengacu pada kalangan pria yang sangat memperhatikan penampilan fisik mereka. Perilaku memperhatikan atau menjaga penampilan
menjadi hal yang paling menonjol dalam mengenali kalangan ini. Perilaku memperhatikan
penampilan atau dandan ini terwujud dalam kesan yang ditimbulkan dari penampilan
fisiknya, yakni pada kata modis, wangi, bersih, rapi, gaul, dan fashionable, dimana hal ini
dilakukan mereka (metroseksual) dalam taraf keseharian. Wujud dari perhatian pada
penampilan tersebut juga tampak dari perilaku mereka yang menggunakan produk-produk
yang berorientasi pada usaha memberikan penampilan yang menarik, seperti pakaian dan
parfum, dan khususnya dalam hal ini adalah pakaian. Perilaku memperhatikan penampilan
yang dilakukan oleh pria metroseksual dipandang sebagai hal yang paling mudah dikenali
dari kalangan metroseksual ini serta menjadi ciri khas mereka. Artinya, memperhatikan
penampilan fisik dilihat sebagai pusat dari gaya hidup pria metroseksual.
Mengikuti perkembangan jaman turut menjadi penanda pria metroseksual. Akan
tetapi, dalam pandangan masyarakat, usaha untuk mengikuti perkembangan jaman ini tetap
menitikberatkan pada usaha untuk mengetahui gaya berpenampilan yang sedang populer.
Usaha ini pun dipandang membutuhkan pengeluaran yang tidak sedikit, sehingga turut
memberikan anggapan bahwa kalangan pria ini tergolong kaya. Kota merupakan lokasi yang
menjadi ciri khas keberadaan pria metroseksual. Pria metroseksual dipandang sebagai
kalangan yang berada di kota. Keberadaan pria metroseksual tidak dilihat sebagai sesuatu
yang terjadi pada masyarakat Indonesia secara luas. Dengan kata lain, metroseksual dilihat
sebagai sebuah fenomena yang tidak terjadi secara luas di Indonesia. Keberadaannya dilihat
secara terlokalisir dan menjadi bagian dari kehidupan perkotaan itu sendiri.
Pengetahuan masyarakat akan metroseksual merupakan sesuatu yang mereka peroleh
dalam kesehariannya. Pengetahuan mereka terbentuk dari informasi yang diperoleh melalui
pergaulan dan media massa, dimana media massa memiliki peranan yang dominan. Secara
spesifik, televisi telah menjadi media massa penyumbang pengetahuan “metroseksual” yang
dominan. Informasi dari sumber ini kemudian mereka konsepkan dan terapkan dalam
metroseksual. Televisi telah umum diketahui memiliki fungsi penyebar informasi, mampu
menjangkau pikiran, perasaan, persepsi, dan perilaku individu, sekaligus memberikan
persuasi bagi penontonnya (Giles, 2003; Shrum, 2004; Ibrahim, 2007).
Masyarakat dalam penelitian ini adalah masyarakat yang berada di kota Yogyakarta,
dimana mereka berada pada usia tahap dewasa awal (21-36 tahun) dan berada pada status
ekonomi kelas menengah. Hal yang dapat dipahami dari latar belakang mereka terkait dengan
metroseksual adalah bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mengakses informasi secara
mudah, baik karena dukungan finansial maupun karena lokasi mereka di kota (Gerke, dalam
Beng-Huat, 2000; Giles, 2003; Ibrahim, 2007). Keseluruhan hal ini mendukung pengenalan
mereka akan “metroseksual”, dimana metroseksual merupakan sebuah ide yang tidak murni
berasal dari Indonesia.
Terhadap pria metroseksual ini, masyarakat dalam penelitian ini memunculkan dua
bentuk sikap, yaitu sikap ambivalen dan sikap setuju. Masyarakat yang ambivalen
memandang pria yang memperhatikan penampilan sebagai sebuah ketidakwajaran untuk
dilakukan dalam keseharian, namun tetap dianggap wajar selama hal tersebut dilakukan
karena adanya tuntutan dalam pekerjaan. Kesan yang muncul tentang pria yang
memperhatikan penampilan fisik adalah kesan tidak wajar, dimana metroseksual memberi
kesan pria yang tidak wajar, seperti feminin, homoseksual, berlebihan, dan sebagainya.
Objectification tentang metroseksual pada kelompok yang bersikap ambivalen adalah pria
yang dandan, kaya, dan di kota tetapi cenderung memiliki ketidakwajaran perilaku yang
dianggap tidak sesuai dengan idealisasi sosok pria. Anchoring yang dimiliki masyarakat yang
ambivalen adalah ketika pemahaman mereka bahwa memperhatikan penampilan bukan
sebagai hal yang wajar untuk dilakukan oleh pria bertemu dengan pengetahuan baru yang
mereka miliki mengenai pria metroseksual. Hal ini pun terwujud dalam sikap yang mereka
miliki pada pria metroseksual, yakni kesan tidak wajar pada pria yang melakukan aktivitas
menjaga penampilan dalam keseharian, di luar tuntutan kerja.
Masyarakat yang setuju melihat perilaku memperhatikan penampilan yang dilakukan
oleh pria metroseksual sebagai suatu hal yang menjadi bagian dari daya tarik mereka.
Kalangan masyarakat ini memandang bahwa memperhatikan penampilan merupakan suatu
hal yang perlu untuk dilakukan dalam keseharian untuk menjamin kelancaran dan
keharmonisan ketika berinteraksi dengan orang lain. Objectification tentang metroseksual
pada kelompok partisipan yang menerima adalah pria yang dandan, kaya, di kota, sekaligus
betah, menarik, pintar, enak dilihat). Anchoring mereka adalah bahwa menjaga penampilan
adalah sesuatu yang perlu untuk menjaga keselarasan dan keserasian bertemu dengan
pengetahuan mengenai pria metroseksual yang tampak menarik. Hal ini pun terwujud dalam
pandangan mereka mengenai pria metroseksual sebagai pria yang sopan, menarik, dan
membuat mereka merasa betah ketika berinteraksi.
Sikap yang muncul ini menunjukkan bahwa dalam menilai keberadaan pria
metroseksual, digunakan landasan berpikir perilaku pria yang dianggap wajar dalam
konstruksi gender yang melihat perilaku berdandan sebagai hal yang hanya dilakukan oleh
wanita. Aktivitas dandan yang dilakukan oleh pria metroseksual tidak dipandang sebagai hal
yang wajar untuk dilakukan oleh pria pada umumnya. Terdapat pula tanggapan yang
menyatakan bahwa kalangan metroseksual identik dengan homoseksual. Artinya, terdapat
kesan abnormal pada sosok pria metroseksual ketika mereka melakukan aktivitas
memperhatikan penampilan mereka dalam taraf keseharian.
Sikap yang ditujukan pada pria metroseksual ini juga menunjukkan bahwa pandangan
mengenai sosok pria yang dapat diterima adalah yang sesuai dengan konstruksi gender dalam
budaya patriarki. Pria dipandang tidak sewajarnya melakukan hal yang identik dengan
wanita. Artinya, pria ‘terjebak’ dalam konstruksi gender, dimana mereka dianggap ideal apabila tidak melakukan stereotip feminin. Dalam kultur ini, pria dipasangkan dalam
stereotip maskulinitas yang seringkali berkonotasi positif yang dapat dilihat dalam tuntutan
bagi pria untuk senantiasa membawa diri dalam tata krama yang sesuai dengan stereotip
gendernya (Handayani, 2004; Kasiyan, 2008). Hal ini pun menyebabkan adanya tanggapan
yang negatif bagi pria yang memunculkan ciri sifat feminin atau hal-hal yang menjadi
wilayah wanita (Prabasmoro, 2006). Ketika para pria ini melakukan perilaku dandan (“Pria
Metroseksual”), hal ini dilihat sebagai perilaku yang hanya ‘boleh’ dilakukan dalam situasi
dan lokasi tertentu. Keberadaan pria metroseksual hanya dianggap wajar dalam situasi yang
terlokalisir, yakni di lingkungan perkotaan dan dunia kerja, dan tidak sebagai hal yang umum
untuk terjadi pada pria pada umumnya.
Penelitian ini juga turut memberikan implikasi bahwa permasalahan gender,
khususnya tentang kesetaraan gender, tidak hanya menjebak wanita. Permasalahan gender
selama ini senantiasa mempersoalkan kedudukan wanita yang terjebak dalam konstruksi
gender terkait dengan budaya partriarki. Pria juga terjebak dalam konstruksi gender tersebut,
yang mengedepankan kualitas maskulin. Dalam hal ini, sebagian besar masyarakat masih
untuk terjadi. Mereka hanya dianggap pantas apabila menjadi sosok yang sesuai dengan
konsep maskulinitas, yakni tidak melakukan hal-hal yang melekat pada wanita.
Pembahasan mengenai permasalahan gender cenderung melihat dalam kacamata
superioritas pria di budaya patriarki dan wanita sebagai sosok yang lebih inferior. Usaha yang
dijalankan pun cenderung pada usaha untuk menyamakan kedudukan wanita di ruang publik
agar sejajar dengan pria (menggerakkan wanita). Sementara itu, pria cenderung dijauhkan
dari pengenalan akan sisi feminin dalam dirinya (secara tidak langsung adalah pengenalan
akan dinamika diri wanita) atas dasar nilai kemaskulinitasan yang cenderung dipandang lebih
unggul. Oleh karena itu, permasalahan tentang kesetaraan gender pun tampaknya perlu untuk
melihat sisi lain dari posisi pria dalam budaya patriarki.
REFERENCES
Adlin, A. (Ed). (2006). Resistensi gaya hidup: Teori dan realitas. Yogyakarta: Jalasutra. Beng-Huat, C. (2000). Consumption in Asia: Lifestyles and identities. London: Routledge. Billig, M., Condor, S., Edwards, D., Gane, M., Middleton, D. & Radley, A. (1988).
Ideological dilemmas: A social psychology of everyday life. London: Sage Publishers.
Bloomsbury Publishing. (2005). Encarta webster's college dictionary (2nd ed,). New York: Bloomsbury.
Brannon, L. (1996). Gender: Psychological perspectives. Boston: Allyn & Bacon.
Carr, D. (2009). Encyclopedia of the life course and human development volume 2: Adulthood. United States of America: Macmillan Reference USA.
Courtenay W. H. (2000). Constructions of masculinity and their influence on men's well-being: A Theory of gender and health. Social Science & Medicine, 50, 1385-1401.
“Fitness”, Menangkap Tren Pria Metroseksual. (2007, Juni 23). Kompas Jogja, h2. Giles, D. (2005). Media psychology. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Handayani, C.S. (2002). Psikologi sebagai studi tentang aspek mental bahasa. Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 1, 29-38.
Handayani, C. S., & Novianto, A. (2004). Kuasa wanita Jawa. Yogyakarta: LKiS.
Ibrahim, I. S. (2007). Budaya populer sebagai komunikasi: Dinamika popscape dan mediascape di indonesia kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra.
Kartajaya, H., Yuswohady., Madyani, D., Christynar, M., & Indrio, B.D. (2004). Metrosexuals in venus: P ahami perilakunya, bidik hatinya, menangkan pasarnya. Jakarta: MarkPlus&Co.
Kasiyan. (2008). Manipulasi dan dehumanisasi perempuan dalam iklan. Yogyakarta: Ombak.
Megawangi, R. (1999). Membiarkan berbeda?: Sudut pandang baru tentang relasi gender. Bandung: Penerbit Mizan.
Monks. F.J, Knoers, A.M.P., & Haditono, S. R. (2002). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Mosses, J.C. (1996). Gender & pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Moscovici, Serge. (2001). Social representations: Explorations in social psychology, dalam Gerard Duveen (Ed.). New York: New York University Press.
Nugroho, R. (2008). Gender dan strategi pengarus-utamaannya di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Prabasmoro, A. P. (2006). Kajian budaya feminis: Tubuh, sastra, dan buda ya POP. Yogyakarta: Jalasutra.
Pria Metroseksual, Dari Esensi Ke Eksistensi. (2005, Januari 25). Kompas Jogja, h.8.
Primariantari., Rika P., Ilsa N., & Gail M. (1998). Perempuan dan politik tubuh fantastis. Yogyakarta: Kanisius.
Purwadi. (2008). Busana Jawa: Jenis-jenis pakaian adat, sejarah, nilai filosofis, dan penerapannya. Yogyakarta: Pura Pustaka Yogyakarta.
Santrock, J.W. (2002). Life-span development: Perkembangan masa hidup jilid II (Edisi ke-5). Jakarta: Erlangga.
Shrum, L.J. (2004). The Psychology of entertainment media. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Smith, J. A. (2009). Psikologi kualitatif: Panduan praktis metode riset. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sukri, S.S., Sofwan, R. (2001). Perempuan dan seksualitas dalam tradisi Jawa. Yogyakarta: Gama Media
Sulistyo, B. (2006). Metodologi penelitian. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Simpson, M. (1994). Here come the mirror men. Diakses tanggal 20 Januari 2009, dari www.marksimpson.com/pages/journalism/mirror_men.html
Simpson, M. (2002). Meet the metrosexuals. Diakses 20 Januari 2009, dari www.marksimpson.com/pages/journalism/metrosexual_beckham.html
Simpson, M. (2003). Metrosexual? That rings a bell. Diakses tanggal 20 Januari 2009, dari www.marksimpson.com/pages/journalism/ metrosexual_ios.html
Spa Pun Mulai Menjamur. (2005, Mei 4). Kompas Jogja, h8.
University of Oxford. (2005). Oxford advanced learners dictionary (7th ed.). New York: Oxford University Press.
Wagner, W., Duveen, G., Farr, R., Jovchelovitch, S., Lorenzi-Cioldi, F., Marková, I., & Rose, D. (1999). Theory and method of social representations. Asian Journal of Social Psychology, 2, 95-125.
Walmsley, C.J. (2004). Social representation and the study of professional practice.