• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konflik Suku Anak Dalam Dengan Warga Jam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Konflik Suku Anak Dalam Dengan Warga Jam"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Tugas Mata Kuliah Perubahan Sosial dan Analisis Konflik Dibawah asuhan

Prof. Dr. Ronny Rahman Nitibaskara

Judul Tugas

KONFLIK PERSPEKTIF THORSTEN SELLIN: KONFLIK SUKU ANAK DALAM DENGAN WARGA JAMBI

Nama : Edison Guntur Aritonang

NIM : 1506783703

Kajian Stratejik Ketahanan Nasional

Program Pascasarjana

(2)

Hal 1

KONFLIK PERSPEKTIF THORSTEN SELLIN:

Konflik Suku Anak Dalam Dengan Warga Jambi

Edison Guntur Aritonang Mahasiswa PKN 35

NPM 1506783703 edison_guntur@yahoo.com

Abstraksi

Keberagaman budaya dalam suatu konstruksi sosial pada kehidupan bermasyarakat sering menjadi suatu sumber konflik yang berujung pada kisah-kisah anarkis yang mengharu pilu. Akibat dan dampak yang ditimbulkan terkadang tidak dapat terselesaikan dengan baik, bahkan meninggalkan rasa dendam pada penerus-penerus dari kelompok yang bertikai. Seorang kriminolog kawakan dunia, Thorsten Sellin mengemukakan tiga premis yang umum sebagai sumber dari konflik tersebut. Perspektif Sellin tersebut melalui premis yang dikemukakannya dapat dilihat pada konflik yang terjadi antara Suku Anak Dalam atau yang dikenal dengan Orang Rimbah dengan Warga Jambi di Desa Kungkai, Kecamatan Bangko, Kabupaten Merangin.

Konflik tersebut sudah lama terjadi, sejak 1999 sudah terdapat 14 orang yang meninggal, 13 dari Orang Rimbah dan 1 dari warga Desa Kungkai. Pada tahun 2000, terjadi kembali konflik yang sangat besar di Desa Kungkai tersebut, tindakan anarkis baik dari Suku Anak Dalam maupun warga Desa Kungkai mengakibatkan TNI/Polri turun untuk melakukan pengamanan secara khusus. Banyak senapan rakitan yang dimiliki oleh Suku Anak Dalam yang turut disita, pelaku yang ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Langkah pemerintah pusat yang langsung dipimpin oleh Presiden dengan melakukan kunjungan pasca konflik tersebut diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan secara tuntas.

Kata Kunci : konflik, konflik antar budaya, suku anak dalam, orang rimbah, orang kubu, orang

jambi.

A. Pendahuluan

Thorsten Sellin mengatakan ada tiga hal

yang dapat menjadi penyebab dari suatu konflik

antar budaya yang berbeda, yaitu sebagai

berikut:

1. ketika aturan-aturan ini berbenturan di

perbatasan wilayah budaya yang

bersebelahan;

2. ketika, sebagaimana kasusnya dengan norma

(3)

Hal 2

diperluas untuk mencakup wilayah

kelompok budaya lain, atau

3. ketika anggota salah satu kelompok budaya

bermigrasi ke kelompok budaya lain.

Konflik antar budaya tersebut terjadi di

Propinsi Jambi, tepatnya di Kecamatan Banko,

Kabupaten Merangin, warga Desa Kungkai

dengan Suku Anak Dalam (SAD) atau dikenal

dengan Orang Rimbah yang cenderung hidup

berpindah-pindah dan sering menggantungkan

kebutuhan hidupnya dari hasil hutan.

Berdasarkan catatan Komunitas

Konservasi Indonesia Warsi, konflik yang

terjadi antara warga Suku Anak Dalam (SAD)

dan warga desa di kawasan Provinsi Jambi

tersebut sudah memakan korban sedikitnya 14

orang meninggal sejak 1999. Terdapat 13 orang

meninggal dari pihak Orang Rimbah dan satu

orang warga Desa Kungkai (Tempo, 2015).

Kejadian yang paling menghebohkan

adalah pada tahun 2000, terjadi perampokan dan

pemerkosaan terhadap Orang Rimbah yang

bermukim di kawasan Nalo Tantan. Dalam

kasus tersebut, tujuh Orang Rimbah meninggal.

Sedangkan tiga pelaku sudah divonis hukuman

mati dan tinggal menunggu eksekusi. Kasus ini

merupakah kasus pertama yang diselesaikan

secara hukum pidana, selebihnya hanya

diselesaikan melalui hukum adat.

Rudi Syaf, Direktur Komunikasi KKI

Warsi, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat di

Jambi yang telah lama melakukan kajian

terhadap Orang Rimbah tersebut, mengatakan

bahwa konflik yang terjadi telah lama dan

sampai menyimpan rasa dendam di antara kedua

belah pihak, hanya tinggal menunggu pecahnya

saja.

Permasalahan tersebut terjadi karena

adanya migrasi dari kelompok dari dua latar

belakang budaya yang berbeda dan hidup

berdampingan. Orang Rimbah menganggap

Sungai Kungkai merupakan jalur lintasan

mereka sejak jaman nenek moyangnya sehingga

mereka tetap merasa berhak untuk mendapatkan

penghidupan dari kawasan tersebut ketika hutan

tidak memberikan hasil yang baik. Orang

Rimbah yang hidup berpindah-pindah antara

kawasan Desa Kungkai dan hutan sekitarnya,

mengalami desakan akibat banyaknya kawasan

hutan yang berubah menjadi kawasan

perkebunan, khususnya perkebunan kelapa

sawit.

Ada beberapa upaya yang telah

dilakukan untuk meminimalisir konflik tersebut

(4)

Hal 3

dari Desa Kungkai melalui pembangunan

kawasan pemukiman dan pemberian lahan

pertanian bagi mereka untuk dikelola, namun hal

tersebut berjalan sesuai harapan.

Pemerintah Kabupaten Merangin dan

kepolisian dibantu aparat TNI memutuskan

untuk merelokasi warga Suku Anak Dalam di

Desa Kungkai ke lokasi yang baru di Desa

Gading Jaya, Kecamatan Tabir Barat, Merangin.

Hal tersebut sampai mengundang perhatian

Presiden Joko Widodo yang langsung datang

untuk melakukan pengecekan secara langsung,

melakukan dialog dengan beberapa perwakilan

masyarakat Suku Anak Dalam pada 17

Desember 2015 yang lalu.

Gambar 1. Presiden Jokowi saat mengunjungi Suku Anak Dalam di Jambi

(Sumber: http://news.liputan6.com)

Gambar 2. Presiden Jokowi saat berdialog dengan Suku Anak Dalam di Jambi

(Sumber: http://news.liputan6.com)

Warga Orang Rimbah yang bermukim di

wilayah Provinsi Jambi sekitar 3.900 jiwa.

Mereka hidup menyebar di kawasan Taman

Nasional Bukit Duabelas, Taman Nasional Bukit

Tigapuluh, dan sepanjang jalan jalur lintas

Sumatera, mulai Kecamatan Singkut, Kabupaten

Sarolangun Jambi hingga ke Kabupaten

Dharmasraya, Sumatera Barat.

B. Sekilas Suku Anak Dalam

Suku Anak Dalam atau Orang Rimbah

atau Suku Kubu merupakan kelompok suku

yang ada di sekitar wilayah Propinsi Jambi,

Propinsi Riau dan Sumatera Barat. Mereka

cenderung berpindah-pindah dengan mengitari

(5)

Hal 4

Nasional Bukit Tigapuluh dan Taman Nasional

Bukit Duabelas.

Kebiasaan dari Orang Rimbah yang

memiliki kepercayaan bahwa alam telah

menyediakan semua yang mereka butuhkan

menjadikan mereka sebagai kelompok

masyarakat yang hidup sebagai pemburu, baik di

hutan maupun pinggiran sungai untuk

memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Hal

tersebut pula yang menjadikan mereka

cenderung untuk tinggal di atas pohon yang

mereka jadikan sebagai rumah-rumah

persinggahan dan tidak mengenal pakaian,

walaupun melalui program pembinaan saat ini

sudah mengenal dan mau mengenakannya.

Suatu kepercayaan bagi Orang Rimbah

yang memperlakukan wanita dengan hormat

adalah bentuk nilai-nilai yang diturunkan sampai

saat ini. Ketika seseorang menistakan dan

menghina kaum perempuan dari suku mereka

adalah penistaan adat.

Orang Rimbah akan keluar dari hutan

(rimba) ketika mereka mulai mengetahui musim

telah berganti ke arah musim panas (kering) dan

memilih tinggal di sekitar pinggiran sungai dan

kembali ke hutan jika musim kering tersebut

sudah selesai, pola hidup seperti itu telah

dijalankan secara turun temurun sehingga Orang

Rimba ini tidak pernah mendiami satu rumah

secara tetap, namun rumah yang pernah mereka

tempati sebagai tempat tinggal mereka klaim

sebagai rumahnya.

C. Insiden Konflik Berujung Anarkis

Kondisi kawasan hutan yang banyak

mengalami alih fungsi menjadi perkebunan,

khususnya kebun kelapa sawit, seolah-olah

mempersempit ruang gerak mereka untuk

berburu, ditambah lagi dengan adanya pembangunan “paret gajah” dan perubahan ekosistem lainnya, membuat rute-rute yang

menjadi lintasan mereka terganggu.

Hasil perburuan yang mereka dapatkan

semakin lama semakin buruk dan

mengakibatkan adanya kecenderungan untuk

tinggal di suatu kawasan sungai dalam waktu

yang cukup panjang. Kawasan yang sudah mulai

bertambah ramai mengakibatkan mereka mulai

hidup berdampingan dengan masyarakat dengan

peradaban kota.

Upaya pemerintah kabupaten untuk

memberikan lahan pertanian untuk dikelola oleh

Orang Rimba ternyata tidak mampu menjadikan

mereka sebagai masyarakat yang menetap,

banyak lahan pertanian yang telah diberikan

mereka tinggalkan untuk pergi berburu ke hutan

(6)

Hal 5

mulai ada yang betah untuk tinggal dalam waktu

yang cukup lama.

Interaksi sosial yang terjadi dengan

masyarakat Desa Kungkai dengan Orang

Rimbah di sekitar sungai Kungkai ini, dengan

latar belakang budaya yang berbeda, sering

menghasilkan komunikasi yang tidak baik,

mulai dari komunikasi verbal maupun non

verbal. Cara berpakaian Orang Rimbah,

khususnya perempuan Rimbah suka tidak terlalu

diperhatikan, perut yang kelihatan dan terkadang

bagian dada yang tidak tertutup sehingga

cenderung menghasilkan bentuk komunikasi

non verbal yang tidak baik, padahal kepercayaan

Orang Rimbah dalam memperlakukan wanita

dengan sangat terhormat.

C.1. Akar Masalah Komunikasi Non Verbal Komunikasi yang sempat terjadi secara

non verbal tersebut sering menimbulkan rasa

ketidaksenangan atau salah paham antara warga

dengan Suku Anak Dalam. Beberapa

permasalahan yang timbul dengan Suku Anak

Dalam dari warga Desa Kungkai, oknum warga,

sehingga terjadi pemukulan oleh Suku Anak

Dalam membuat konflik yang terus terjadi dan

sering diikuti dengan tindakan balasan dari

warga lainnya.

Komunikasi verbal tidak dapat dilakukan

secara baik antara warga dengan Orang Rimbah

sehingga sulit menjalin komunikasi untuk

mengatasi rasa dendam yang sudah sempat

terbentuk.

C.2. Adanya Tindakan Oknum yang Memanfaatkan Kondisi

Permasalahan yang berlarut tersebut

dalam waktu bertahun-tahun, diperparah oleh

adanya tindakan pemerkosaan oleh oknum

kepada perempuan Suku Anak Dalam sehingga

menimbulkan perlawanan dari mereka. Secara

adat mereka seperti dinistakan sehingga banyak

dari mereka yang ingin membalas dengan

membawa peralatan berburu yang dimiliki oleh

Orang Rimbah.

Sikap anarkis yang dibalas juga dengan

tindakan anarkis tersebut membuat kehidupan di

sekitar Desa Kungkai tersebut tidak dapat lagi

berjalan dengan baik. Sebagian warga desa

merasa takut karena tiba-tiba Suku Anak Dalam

datang secara tiba-tiba, sedangkan rumah-rumah

dan sepeda motor serta barang lainnya dari Suku

Anak Dalam sudah dibakar oleh warga desa

sehingga sebagian besar Suku Anak Dalam lari

(7)

Hal 6

C.3. Habitus Suku Anak Dalam

Suku Anak Dalam yang sempat bertikai

akhirnya dilakukan relokasi oleh Pemerintah

Kabupaten Merangin, keluar dari Desa Kungkai.

Namun habitus mereka masih cenderung untuk

berburu ke hutan pada musimnya dan berladang

pada musimnya berdasarkan perhitungan musim

oleh Suku Anak Dalam. Tentu untuk mengubah

hal tersebut tidaklah mudah, apalagi jika

program yang dicanangkan hanya bersifat

jangka pendek.

Habitus yang sudah melekat lama pada

Suku Anak Dalam ini akan tetap berpotensi

menimbulkan konflik dengan warga-warga desa

yang menjadi perlintasan mereka. Perlu waktu

yang cukup lama untuk melakukan edukasi pada

Suku Anak Dalam mulai dari cara bertahan

hidup menetap dan berpakaian sehingga

pergeseran peradaban dapat dilakukan dengan

baik.

D. Kesimpulan dan Saran

Dua kelompok masyarakat yang hidup

berdampingan tetapi tidak dapat menjalin

komunikasi secara verbal, berpotensi

menimbulkan konflik. Perspektif dari Thorsten

Sellin melalui premis yang dikemukakanya

memperkuat kejadian konflik yang terjadi pada

Suku Anak Dalam dengan warga Desa Kungkai,

karena migrasi anggota suatu kelompok budaya

ke kelompok budaya lain sebagai salah satu

sumber terjadinya konflik.

Pemerintah mengambil langkah untuk

merelokasi Suku Anak Dalam dari Desa

Kungkai ke tempat lain dengan pertimbangan

bahwa dua kelompok budaya yang berbeda

tersebut memang tidak bisa hidup

berdampingan.

Daftar Pustaka

[1] Asgart, Sofian Munawar. 2003. Politisasi

SARA: Dari Masa ORBA ke Masa Transisi

Demokrasi. Jakarta: ISAI, 2003.

[2] Manurung, Butet. 2007. Sekolah Rimba.

Yogyakarta: Insist Press.

[3] Sellin, Thorsten. 1938. Culture Conflict and

Crime. New Jersey: Social Science Research

Council.

[4] Tempo. Tempo Online,

https://m.tempo.co/read/news/2015/12/16/05

8728195/konflik-suku-anak-dalam-vs-warga-jambi-punya-riwayat-panjang

Gambar

Gambar 2. Presiden Jokowi saat berdialog dengan Suku Anak Dalam di Jambi

Referensi

Dokumen terkait

Konflik yang pernah terjadi tersebut diantaranya konflik antarsuku yang melibatkan antara suku Semendo (Desa Palas Pasemah) dengan suku Bali (Desa Bali Agung),

Sementara itu resolusi konflik yang dicapai dalam konflik sumber daya alam di Kabupaten Batanghari khususnya mengenai konflik Suku Anak Dalam dengan PT Asiatic Persada

Tujuan penelitian tesis ini untuk menganalisis konflik lahan yang terjadi antara PT Kereta Api Indonesia (Persero) dengan Warga RW 12 Kelurahan Manggarai karena

Lebih sering terjadi perang antar etnis atau lebih dikenal dengan istilah perang suku atau perang adat sangat bervariasi tidak hanya salah satu suku, misalnya perang suku antara

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan konflik lahan yang terjadi antara masyarakat adat Suku Melayu dengan pemerintah dan proses terjadinya pelepasan tanah ulayat Suku

Warga desa Medali identik dengan warga pertanian yang me miliki pendidikan rendah hingga sedang dan juga skill yang rendah, warga desa Medali hanya mela kukan konflik yang

Boleh jadi, tidak terangkatnya kasus konflik tanah antara suku Rendu dan suku Raja dalam daftar masalah penting terjadi karena ‘tertutupi’—atau dianggap telah tercakup—oleh

Konflik yang sama dasarnya, tetapi lebih fanatik dalam wujudnya, bisa terjadi kalau warga dari satu suku bangsa mencoba memaksakan konsep- konsep agamanya