• Tidak ada hasil yang ditemukan

URGENSI ASA HUKUM DAN AKAD PERBANKAN SYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "URGENSI ASA HUKUM DAN AKAD PERBANKAN SYA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1

Oleh : Asep Rozali

A. Pendahuluan.

Pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peranan bank sebagai lembaga keuangan yang berfungsi sebagai agent of development. Disamping itu dalam hubungannya dengan masyarakat, bank berperan sebagai perantara bagi masyarakat yang kekurangan/membutuhkan dana dengan masyarakat yang mempunyai/kelebihan dana. Mengingat perannya seperti ini maka bank dikenal juga dengan intermediary institution atau perantara keuangan masyarakat (financial intermediary).1

Terkait dengan hal tersebut di Indonesia fungsi dan peran dimaksud dijalankan oleh dua sistem perbankan, yaitu perbankan konvensional sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998, Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (selanjutnya disingkat UUP 1998), dan perbankan syariah sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah (selanjutnya disingkat UUPS 2008).

Berlakunya dua peraturan perundang undangan perbankan ini menunjukan bahwa Indonesia menganut dual banking system, yakni dipraktikannya dua sistem perbankan yang berbeda dalam satu negara, dalam hal ini perbankan konvensional dan perbankan syariah. Keduanya secara yuridis formal mempunyai kedudukan yang sama sebagai agent of development dan sebagai intermediary financial.

(2)

Mencermati kegiatan usaha dua jenis perbankan di atas proses dan produknya merupakan perbuatan hukum yang dituangkan dalam suatu format tertulis. Dalam perbankan konvensional perbuatan hukum tersebut dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis, sedangkan dalam perbankan syariah perbuatan hukum dimaksud dituangkan dalam bentuk akad.

Dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata Buku III Bab II Perikatan yang Lahir dari Kontrak atau Perjanjian Bagian 1 Ketentuan umum Pasal 1319 disebutkan bahwa Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu.

Demikian pula terkait keabsahan perjanjiannya sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang harus memenuhi 4 (empat) syarat, meliputi :

a) Kesepakatan; b) Kecakapan; c) Hal tertentu;dan

d) Kausa atau sebab yang halal.

Ketentuan ini berlaku bagi semua perjanjian tertulis maupun tidak tertulis, termasuk perbuatan hukum yang melahirkan perjanjian dari kegiatan usaha perbankan konvensional. Hal ini sejalan pula dengan asas yang dianut oleh Kitab Undang Undang Hukum Perdata dalam Pasal 1338 yang dikenal dengan asas kebebasan berkontrak. Disamping ketentuan ketentuan tersebut, kegiatan usaha bank konvensional diatur pula oleh peraturan Bank Indonesia.

Akan tetapi apakah ketentuan ketentuan tersebut berlaku pula bagi kegiatan usaha perbankan syariah, khususnya berkaitan dengan perjanjian dan asas hukum yang menjiwainya ?. Hal ini mengingat karena kedua lembaga tersebut berasal dari sistem hukum yang berbeda ?

B. Usaha Perbankan Konvensional dan Perbankan Syariah.

(3)

Usaha bank umum sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUP 1998 meliputi : a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro,

deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;

b. memberikan kredit;

c. menerbitkan surat pengakuan hutang;

d. membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya:

1. surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;

2. surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud; 3. kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah;

4. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ; 5. obligasi;

6. surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;

7. instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;

e. memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah;

f. menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya;

g. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga;

h. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga;

i. melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak;

(4)

k. dihapus

l. melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat;

m. menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;

n. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak o. bertentangan dengan undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Selain kegiatan usaha di atas, bank umum dapat melakukan kegiatan lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 7 yang meliputi :

a. melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;

b. melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan lain di bidang keuangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;

c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat d. kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,

dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan

e. bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dana pensiun yang berlaku.

Berdasarkan ketentuan Pasal 18 UUPS 2008 disebutkan bahwa Bank Syariah terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Adapun usaha yang dapat dilakukan diatur dalam Pasal 19 yang meliputi :

(5)

a. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

b. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

c. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah , Akad musyarakah , atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; d. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah , Akad salam , Akad

istishna’,atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; e. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak

bertentangan dengan Prinsip Syariah;

f. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

g. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;

i. membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah, musyarakah , mudharabah , murabahah , kafalah , atau hawalah

j. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;

k. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;

(6)

m. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah;

n. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;

o. melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan Akad wakalah;

p. memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan

q. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Kegiatan usaha UUS meliputi:

a. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

b. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

c. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah , Akad musyarakah , atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; d. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah , Akad salam , Akad

istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; e. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak

bertentangan dengan Prinsip Syariah;

f. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

(7)

h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;

i. membeli dan menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah, musyarakah , mudharabah , murabahah , kafalah , atau hawalah ;

j. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;

k. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;

l. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah;

m. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;

n. memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan

o. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain kegiatan usaha di atas dalam Pasal 20 disebutkan :

(1) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), Bank Umum Syariah dapat pula:

a. melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah;

b. melakukan kegiatan penyertaan modal pada Bank Umum Syariah atau lembaga keuangan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah;

(8)

d. bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun berdasarkan Prinsip Syariah;

e. melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal;

f. menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan Prinsip Syariah dengan menggunakan sarana elektronik;

g. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar uang;

h. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka panjang berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar modal; dan

i. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum Syariah lainnya yang berdasarkan Prinsip Syariah.

(2) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), UUS dapat pula:

a. melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah;

b. melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal;

c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya;

d. menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan Prinsip Syariah dengan menggunakan sarana elektronik;

(9)

f. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum Syariah lainnya yang berdasarkan Prinsip Syariah.

(3) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kegiatan usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dalam Pasal 21 meliputi:

a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk:

1. Simpanan berupa Tabungan atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; dan

2. Investasi berupa Deposito atau Tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

b. menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk:

1. Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah atau musyarakah ; 2. Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah , salam , atau istishna’; 3. Pembiayaan berdasarkan Akad qardh;

4. Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik ; dan

5. Pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah;

(10)

d. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang ada di Bank Umum Syariah, Bank Umum Konvensional, dan UUS; dan e. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Syariah lainnya yang sesuai dengan Prinsip Syariah berdasarkan persetujuan Bank Indonesia.

C. Asas Asas Hukum Perbankan dan Akad Syariah. 1. Asas asas Hukum Perbankan.

Penting untuk dipahami bahwa asas hukum merupakan nilai nilai yang kedudukannya lebih tinggi dari peraturan perundang undangan2, merupakan sumber pokok dan jiwa dari norma norma yang berlaku serta menjadi landasan penerapan norma dan sekaligus sebagai leading motive dari norma norma tersebut3.Ernest J Weintreib sebagaimana dikutip dan diterjemahkan oleh Ahmad Ali, bahwa Jantung hukum adalah pembuatan putusan pengadilan dan penalaran yang didasarkan asas asas hukum dan pengaplikasiannya pada kasus kasus tertentu.4 Gambaran ini menunjukan bahwa sangat naif berkecimpung dalam dunia hukum tanpa mempelajari asas asas hukum yang melandasinya dalam kehidupan nyata5.

Pengertian asas asas hukum dikemukakan secara berbeda oleh beberapa ahli hukum sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang yang berbeda sebagaimana dikutip oleh Khudzaifah Dimyati 6sebagai berikut :

Roeslan Saleh, mengartikan Asas asas hukum sebagai pikiran pikiran dasar sebagai aturan bersifat umum menjadi fundamen dari sistem hukum.

Sri Soemantri M, Asas mempunyai padanan dengan beginsel atau principle

sebagai suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuam berpikir.Asas hukum adalah dasar normatif untuk membedakan antara daya ikat normatif dengan keniscayaan yang memaksa.

2 Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Cetakan keempat, Aumni, Bandung,1986

3 Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Edisi kedua, CetakanPertama, Prenada

Media Jakarta, 2003.

4 Ahmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum,Cetakan Pertama, Yarsif

Watampone,Jakarta, 1998,

5 Muhamad Djumhana, Asas Asas Hukum Perbankan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Cetakan I,Bandung,

2008, hlm vi.

6 Khudaifah Dimyati, Teorisasi Hukum Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia

(11)

Moh.Koesnoe, Asas hukum sebagai suatu pokok ketentuan atau ajaran yang berdaya cakup menyeluruh terhadap segala persoalan hukum di dalam masyarakat yang bersangkutan dan berlaku sebagai dasar dan sumber materil ketentuan hukum yamg diperlukan.

A A Oka Mahendra, Asas asas hukum adalah dasar dasar umum yang terkandung dalam peraturan hukum yang mengandung nilai nilai moral dan etis merupakan petunnjuk arah bagi pembentukan hukum yang memenuhi nilai nilai filosofis yang berintikan rasa keadilan dan kebenaran, nilai nilai sosiologis yang sesuia dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat dan nilai yuridis yang sesuai dengan ketentuan perundang undangan yang berlaku.

Solly Lubis, Asas asas hukum adalah dasar kehidupan yang merupakan pengembangan nilai nilai yang dimasyarkatkan menjadi landasan hubungan sesama anggot masyarakat.

Asas asas hukum tersebut dibedakan antara asas asas hukum umum dengan asas asas hukum khusus atau antara asas asas hukum regulatif dengan asas asas hukum konstitutif. Pembedaan ini sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji7, bahwa Asas asas hukum konstitutif merupakan asas asas yang harus ada bagi kehidupan suatu sistem hukum, sedangkan asas asas hukum regulatif perlu bagi berprosesnya sistem hukum tersebut.Asas asas hukum tersebut ada yang berlaku umum; artinya harus ada pada setiap sistem hukum, Asas asas hukum khusus merupakanperwujudan dari kekhususan masyarakat dan kebudayaan yang tercermin dalam sistem hukumnya.Asas asas hukum khusus tersebut baik yang konstitutif maupun regulatif dapat dibahas menurut bidang bidang tata hukum, misalnya hukum tata negara, dan seterusnya. Pembentukan kaidah kaidah hukum yang tidak dilandaskan pada asas asas hukum konstitutif menghasilkan kaidah kaidah yang secara material bukan merupakan kaidah hukum.Kalau asas asas hukum regulatif tidak diperhatikan maka yang dihasilkan adalah kaidah hukum yang tidak adil.

Sejalan dengan pemikiran diatas, Sudikno Mertokusumo8 mengemukakan

(12)

bahwa Asas hukum umum ialah asas hukum yang berhubungan dengan seluruh bidang hukum, seperti asas restitutio in integrum, lex posteriori derogat legi priori, asas bahwa sps ysng lshirnya tampak benar, untuk sementara harus dianggap demikian sampai diputus (lain) oleh pengadilan. Asas hukum khusus berfungsi dalam bidang yang lebih sempit seperti dalam bidang hukum perdata, hukum pidana dan sebagainya yang sering merupakan penjabaran dari asas hukum umum seperti pacta sunt servandha, asas konsensualisme, asas praduga tak bersalah.

Dalam hubungannya dengan kegiatan usaha perbankan, asas hukum perbankan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU Perbankan 1992 didasarkan pada demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Penjelasan Pasal 2 menyebutkan bahwa demokrasi ekonomi adalah demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Adapun demokrasi ekonomi ini sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat 1 UUD 1945, yaitu perekonomian disusun sebagi usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.

Disamping asas sebagaimana disebutkan di atas, dalam menjalankan kegiatan usaha perbankan dikenal pula beberapa prinsip yang erat kaitannya dengan perbuatan hukum. Prinsip dimaksud adalah prinsip kehati-hatian sebagaimana diatur Pasal 29 ayat (2), prinsip Kepercayaan, sebagaimana diatur Pasal 29 ayat (4), prinsip kerahasiaan, sebagaimana diatur mulai dari Pasal 40 sampai dengan Pasal 47 A, dan prinsip mengenal nasabah yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No.3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (sekarang menjadi Costumer Due Dilligence, PBI No.12/20/PBI/2010).

Dalam UUP 1998 disebutkan pula perihal prinsip syariah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 13 : “Prinsip syariah adalah perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dengan pihak lain...”.

(13)

Perbankan Syariah sebagaimana disebutkan dalam UUPS 2008 Pasal 1 angka 7 adalah Bank yang menjalankan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri dari Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.

Prinsip syariah itu sendiri dijelaskan dalam Pasal 1 angka 12 adalah prinsip hukum islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.

Tim Pengkajian Hukum Islam BPHN dalam laporannya tahun 1983/1984 sebagaimana dikutip oleh Mohamad Daud Ali9 menyebutkan beberapa asas hukum islam yaitu asas hukum islam yang bersifat umum, asas hukum islam dalam lapangan hukum pidana, dan asas hukum islam dalam lapangan hukum perdata.

1. Asas asas umum meliputi semua bidang dan segala lapangan hukum islam meliputi :

a. Asas keadilan (QS Shad (38) : 26), (QS An Nisa (4) : 135), (QS Al Maidah (5) : 8) ;

b. Asas kepastian hukum (QS Bani Israil (17) : 15), (QS Al Maidah (5) : 95) ;dan

c. Asas kemanfaatan (QS Al Baqarah (2) :178).

2. Asas asas dalam lapangan hukum pidana, antara lain :

a. Asas legalitas (QS Al Isra (17) : 15), (QS Al An’am (6) : 19);

b. Asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain (QS Al Muddatstsir (74) : 38), (QS Al An’am (6) : 164 ;dan

c. Asas praduga tak bersalah .

3. Asas asas dalam lapangan hukum perdata meliputi : a. Asas kebolehan (QS Al Baqarah (2) : 185, 286); b. Asas kemaslahatan hidup ;

c. Asas kebebasan dan kesukarelaan (QS An Nisa (4) : 29); d. Asas menolak mudarat, mengambil manfaat;

9 Mohamad Daud Ali, Hukum islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam Indonesia,

(14)

e. Asas kebajikan (QS Al Maidah (5) : 90); f. Asas kekeluargaan;

g. Asas adil dan berimbang;

h. Asas mendahulukan kewajiban daripada hak; i. Asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain; j. Asas kemampuan berbuat;

k. Asas kebebasan berusaha;

l. Asas mendapatkan hak karena usaha dan jasa; m. Asas perlindungan hak;

n. Asas hak milik berfungsi sosial (QS At Taubah (9) : 60), Al Hasyr (59) :7; o. Asas yang beritikad baik harus dilindungi;

p. Asas risiko dibebankan pada benda atau harta, tidak pada tenaga/pekerja. q. Asas mengatur sebagai petunjuk; dan

r. Asas perjanjian tertulis atau diucapkan di depan saksi (QS Al Baqarah (2) : 282).

Fathurrahman Djamil10 menyampaikan pula asas asas akad syariah yang disebutkannya berasal dari berbagai sumber yang dimodifikasi yaitu sebagai berikut :

1. Kebebasan (Hurriyah) (QS :Al Baqarah (2) : 256, Al Maidah (5) : 1, Al Hijr (15) : 29, Ar Rum (30):30, At Tin (95) :4, Al Ahzab (33):72, dan HR Tirmidzi dari ‘Amir bin ‘Auf : Perdamaian dapat dilakukan kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan syarat syarat mereka kecuali syarat syarat yang mengharmkan yang halal atau menghalalkan yang haram.

2. Persamaan atau Kesetaraan (Al Musawah) (QS Al Hujurat (49) : 3. Asas ini sering dinamakan asas keseimbangan para pihak, walaupun faktanya terdapat keadaan seperti standard contract. Terkait ini hukum islam menganggap bahwa standard contract sifatnya tetap hanya merupakan usulan atau penyajian, dan bukan bersifat final.

10 Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjaanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah,

(15)

3. Keadilan (Al Adalah) (QS Al Araf (7) : 29, An Nahl (16) : 90, Asy Syura (42) : 15, Al Maidah (5) : 1, 8-9, Al Baqarah (2) : 177, Al Mu’minun (23) : 8. 4. Kerelaan/Konsensualisme (Al Ridhaiyyah) (QS An Nisa (4) : 29. Namun

adakalanya ketentuan perundang undangan menetapkan suatu formalitas seperti akta notaril.

5. Kejujuran dan Kebenaran (Ash Shidq) (QS Ali Imran (3) : 95, Al Ahzab (33) : 70.

6. Kemanfaatan (Al Manfaat) (QS Al Baqarah (2) : 168, An Nahl (16) : 114. 7. Tertulis (Al Kitabah) (QS Al Baqarah (2) : 282-283.

Dalam UUPS 2008, asas hukum perbankan diamanatkan dalam Pasal 2 yang menyatakan bahwa Perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan prinsip syariah, demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian.

Begitu pentingnya asas asas ini sehingga asas asas tersebut harus dilindungi serta dijamin Undang undang perbankan syariah. Hal ini sebagaimana dikemukakan Muhammad Amin Suma sebagaimana dikutip Neni Sri Imaniyati11.Asas asas yang dimaksud adalah Asas Ridhaiyyah, Asas Manfaat, Asas Keadilan, dan Asas Saling Menguntungkan. Asas asas dimaksud merupakan pula asas asas yang tertuang dalam al uqud atau akad sebagai hasil dari proses transaksi yang terjadi dalam rangka perbankan syariah menjalankan kegiatan usahanya. Pengabaian terhadap hal tersebut berakibat batal demi hukum setiap akad perbankan syariah dan berarti pula melestarikan sistem ekonomi konvensional yang berifat ribawi dalam arti luas.

Oleh karen itu, maka disamping harus dipahami asas asas hukumnya, perlu dipahami pula tentang akad, aqd, al uqud sebagai realisasi adanya transaksi yang terjadi dalam kegiatan usaha perbankan syariah.

2. Akad Syariah

Fathurrahman Djamil dalam karyanya Penerapan Hukum Perjanjian

11 Muhammad Amin Suma dalam Neni Sri Imaniyati, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, Refika

(16)

dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah mengutip beberapa pendapat pakar hukum islam berkenaan dengan aqad. Menurut Wahbah al Zuhaili, secara bahasa akad adalah ikatan antara dua hal, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi. Sedangkan menurut al Jurzani, bertolak dari kata aqd atau uqdah yang berarti simpul atau buhul seperti yang terdapat pada benag atau tali, maka terjadilah perluasan paemakaian kata

aqd pada semua yang dapat diikat dan ikatan itu dapat dikukuhkan. Oleh karena itu menamakan ikatan syar’i antara suami isteri disebut dengan uqdatu al nikah

sedangkan melakukan ikatan antara satu dengan lain dalam rangka kegiatan usaha seperti dalam jual beli dinamakan aqdu al buyu dengan menggunakan kata aqad

atau uqdah. Pengertian akad dibedakan pula dalam arti umum dan arti khusus. Dalam pengertian umu menurut Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanafiyah, yaitu segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan dua orang seperti jual beli, perwakilan, dan gadai. Sedangkan dalam artian khusus diartikan sebagai perikatan yang ditetapkan dengan ijab qobul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya atau menghubungkan ucapan salah seorang yang berakad dengan yang lainnya sesuai syara’ dan berdampak pada objeknya. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, Wahbah al Zuhaili mendefinisikan aqad sebahai hubungan antara ijab qobul

sesuai dengan kehendak syariat yang menetapkan adanya pengaruh (akibat) hukum pada objeknya.12

Lebih lanjut Fathurrahman mengemukakan bahwa perangkat hukum perjanjian dalam syariah Islam adalah terpenuhinya rukun dan syarat dari suatu akad. Rukun adalah unsur esensial yang mutlak harus ada dalam akad atau transaksi, sedangkan syarat adalah unsur yang harus ada untuk melengkapi rukun. Rukun Akad menurut para ulama adalah :

a. Kesepakatan untuk mengikatkan diri (shigat al ‘aqd); b. Pihak pihak yang berakad (al muta’aqidain/al ‘aqdain); c. Objek akad (al ma’qud alaih/mahal al ‘aqd);

(17)

d. Tujuan akad (maudhu’ al ‘aqd).

Berkenan dengan syarat akad, para fuqaha menjelaskan bahwa ada beberapa syarat akad yaitu :

a. Syarat terjadinya akad (syuruth al in’iqad). b. Syarat sah (syuruth al shihhah).

c. Syarat pelaksanaan (syuruth an nafadz). d. Syarat keharusan (syuruth al luzum).

Suatu akad yang telah memenuhi rukun dan syarat dikatakan sebagai akad yang shahih yang mengikat para pihak, sedangkan bila tidak memenuhi rukun atau syarat dikatakan akad yang tidak shahih, sehingga tidak berlaku dan tidak mengikat para pihak. Akad yang secara jelas telah disebutkan dalam Al Qur’an dan Hadis disebut dengan akad bernama (Al Uqud Al Musamma).

Terkait akad bernama ini terdapat sekitar 25 bentuk akad sebagaimana dirinci oleh Hasbi al Shiddiqie yaitu, Bai, Kafalah, Hawalah, Rahn,Ba’I al wafa, Wadi’ah, Al ‘iarah, Hibah, Aqd al qisamah, Syirkah, Mudharabah, Muzaarah, Musaqah, Wakalah, Shulh, Tahkim, Mukharajah, Qardh, Aqdul umari, Aqdul muqalah/wala’, Aqdul iqalah, Zawaj, Aqdul washiyyah, Aqdul isha.13

Akad tidak bernama, merupakan akad yang tidak dinamai oleh hukum syara akan tetapi dalam perjalanan sejarah umat Islam terjadi dalam masyarakat berdasarkan dalil urf, istihsan, qiyas,dan masalih mursalah, demikian dikemukakan Fathurrahman Djamil dalam karyanya di atas.

Berdasarkan zatnya, terdapat akad terhadap benda berwujud (‘Ainiyyah), dan akad terhadap benda tidak berwujud (ghair al ‘aniyyah). Berdasarkan sifatnya, terdapat akad pokok (Al ‘Aqd Al Ashli), dan akad tambahan (Al Aqd Al Tabi’i). Berdasarkan terjadinya atau berlakunya, akad dibedakan menjadi akad konsensual (al Aqd Al Radh’i), akad formalistic (Al Aqd Al Syakili), akad riil (Al Aqd Al ‘Aini). Berdasarkan watak/sifat/pengaruhnya terdapat akad Munjaz,yaitu akad yang terjadi seketika setelah ada ijab qabul, akad mundhaf ‘ila Al Mustaqbal, yaitu akad yang disandarkan pada waktu yang akan dating, dan akad Mu’allaq, yaitu akad yang digantungkan atas adanya syarat tertentu yang harus dipenuhi

(18)

terlebih dahulu.

Pembahasan mengenai produk-produk bank syariah tidak terlepas dari jenis akad yang digunakan sehingga pembahasan produk tidak terlepas dari pembahasan akadnya.Jenis akad biasanya melekat pada nama produk. Sebagai contoh, tabungan wadi’ah berarti produk tabungan yang menggunakan akad

wadi’ah. Akad-akad yang melandasi operasi bank syariah berasal dari akad

tijarah dalam perniagaan (bai’) yang dimaksudkan untuk mencari keuntungan yang berupa kontrakpertukaran dan kontrak bagi hasil dan akad tabarru’ yang bukan dimaksudkan untuk mencari keuntungan, tetapi bersifat fee based.

Berbagai jenis akad yang diterapkan oleh bank syariah dapat dibagi ke dalam enam kelompok pola, yaitu:

1. Pola Titipan, seperti wadi’ah yad amanah dan wadi’ah yad dhamanah; 2. Pola Pinjaman, seperti qardh dan qardhul hasan;

3. Pola Bagi Hasil, seperti mudharabah dan musharakah; 4. Pola Jual Beli, seperti murabahah, salam, dan istishna; 5. Pola Sewa, seperti ijarah dan ijarah wa iqtina; dan

6. Pola Lainnya, seperti wakalah, kafalah, hiwalah, ujr, sharf, dan rahn.

Satu-satunya akad yang bersifat sosial adalah akad pinjaman tanpa bunga (qardh) sebagai fasilitas untuk nasabah atau untuk penyaluran ZIS (zakat, infaq, dan sadaqah) dalam bentuk pinjaman kebajikan.

Produk-produk bank syariah dapat dikelompokkan ke dalam produk pendanaan, produk pembiayaan, dan produk jasa perbankan:

1. Pendanaan: Giro, Tabungan, Investasi, dan Obligasi; 2. Pembiayaan: Investment Financing dan Trade Financing;

3. Jasa Perbankan: Jasa Keuangan, Jasa Nonkeuangan, dan Jasa Keagenan; 4. Instrumen Keuangan Syariah.

Produk-produk bank syariah mempunyai kemiripan tetapi tidak sama dengan produk bank konvensional karena adanya pelarangan riba (bunga), gharar

(19)

Malaysia cukup banyak dan beragam yang kadang-kadang tidak dapat diterima (secara Syariah) oleh Negara lain. Sementara itu, Indonesia dan negara-negara Timur Tengah dan Teluk, seperti Sudan, menggunakan akad dengan lebih berhati-hati dalam ketentuan Syariah.

Pengembangan produk dan akad perbankan syariah seharusnya selalu memperhatikan dan mengaitkannya dengan kebutuhan untuk pengembangan kegiatan produktif di sektor riil dengan tetap mengacu pada ketentuan Syariah yang disepakati oleh sebagian besar (jumhur) ulama Fiqih (fuqaha). Penggunaan akad yang controversial atau belum/tidak disetujui oleh jumhur fuqaha pada akhirnya akan menyulitkan perkembangan perbankan syariah di negara tersebut karena produk-produk yang didasarkan pada akad tersebut tidak akan diterima oleh lembaga keuangan syariah negara lain dan dunia internasional.

Penggunaan akad-akad modifikasi sebaiknya segera dihentikan dan digantikan dengan akad-akad yang telah disepakati oleh jumhur fuqaha. Selain itu, penggunaan akad-akad berpola nonbagi hasil, apabila memungkinkan, sebaiknya sedikit demi sedikit digantikan dengan akad-akad berpola bagi hasil. Sebagai contoh, pembiayaan aneka barang (consumer goods) yang menggunakan akad murabahah dan turunannya dapat diganti dengan akad musyarakah mutanaqisah atau musyarakah menurun.

Syarat utama pengembangan sistem keuangan/perbankan syariah dan produk produknya yang terarah sesuai visi dan misinya adalah dengan mempersiapkan sumber daya insani (SDI) yang cukup dan berkualitas dalam pemahaman esensi ekonomi dan keuangan Islam sebagai praktisi, regulator, dan akademisi.14

D. Penutup.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan beberapa hal penting dalam kegiatan usaha perbankan syariah di Indonesia, yaitu sebagai berikut :

1. Perbankan syariah Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional.

14 Acaya, Buku Akad dan Produk Perbankan Syariah, Konsep dan Praktek di beberapa Negara, Bank

(20)

2. Berdasarkan UUPS 2008, maka praktik perbankan syariah di Indonesia khususnya yang menyangkut kegiatan usaha harus berasaskan demokrasi ekonomi, kehati-hatian, dan prinsip hukum Islam.

3. Akad dan Produk Perbankan syariah harus diselaraskan dengan visi dan misi yang sejalan dengan prinsip syariah sehingga tidak lagi bersifat modifikasi.

(21)

21

Acaya, Buku Akad dan Produk Perbankan Syariah, Konsep dan Praktek di beberapa Negara, Bank Indonesia, Jakarta, 2006.

Ahmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum,Cetakan Pertama, Yarsif Watampone,Jakarta, 1998.

Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjaanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2012

Hasbi al Shiddiqie, Pengantar Fiqih Muamalah, Bulan Bintang, Jakarta, 1990.

Khudaifah Dimyati, Teorisasi Hukum Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Muhammadyah University Press, Surakarta, 2004.

Mohamad Daud Ali, Hukum islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam Indonesia, RadjaGrafindo Persada, Cetakan 17, Jakarta, 2012.

Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,2000.

Muhamad Djumhana, Asas Asas Hukum Perbankan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Cetakan I,Bandung, 2008.

Neni Sri Imaniyati, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2010

Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Edisi kedua, CetakanPertama, Prenada Media Jakarta, 2003.

Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Cetakan keempat, Aumni, Bandung,1986

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo, Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

(3) Sub Bagian-sub bagian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, dipimpin oleh seorang Kepala Sub Bagian yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada

Sujud syukur adalah sujud yang dilakukan sebagai tanda terima kasih seorang hamba Sujud syukur adalah sujud yang dilakukan sebagai tanda terima kasih seorang

Data kuantitatif yang diperoleh berupa data dokumentasi dari Stasiun Purwokerto yang berisi data jumlah penumpang kereta api yang melakukan pembelian melalui loket,

Tahun 1934: Arsip Nasional Amerika Serikat didirikan oleh Kongres Amerika Serikat sesuai amanat Undang-undang Arsip Nasional sebagai lembaga federal independen yang

Pembiayaan ( financing ) adalah seluruh transaksi keuangan pemerintah, baik penerimaan maupun pengeluaran, yang perlu dibayar atau akan diterima kembali, yang

Dari mengetahui faktor penyebab rendahnya minat baca, upaya peningkatannya, kurikulum sekolah dan keunggulan membaca serta dengan mengatur pola dan strategi dalam pembelajaran

Fitur – fitur yang ada pada komik meliputi gambar yang menarik untuk menolong pelajar remaja untuk mengembangkan ide dan imajinasi dalam bahasa Inggris, material bacaan dalam

Untuk mengetahui seberapa jauh masyarakat tahu dan mengerti tentang akibat dan dampak dari kerusakan yang dihasilkan oleh gempa bumi perlu dilakukan survei untuk mengetahui