• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekuasaan Militer and HAM Studi Kasus Ar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kekuasaan Militer and HAM Studi Kasus Ar"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Kekuasaan, Militer dan Hak Asasi Manusia: Studi Kasus Argentina || Page 1 of 5

Kekuasaan, Militer dan Hak Asasi Manusia

Studi Kasus Argentina

1

oleh Aulia Djatnika

Penulis adalah Mahasiswa Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia

Salah satu tugas negara adalah untuk mempertahankan kedaulatan negara. Yang

akan berperan sangat dominan dalam proses pertahanan negara tersebut adalah Militer.

Dengan kemampuan dan kesigapan yang dimiliki, Militer kemudian menjadi semacam

Pretorian, dimana Militer akan tampil sebagai aktor politik utama (alat politik) yang

berfungsi melakukan itervensi dengan menggunakan ancaman dan kekerasan. Tuntutan

stabilitas politik biasanya adalah salah satu aspek yang kemudian menyebabkan Militer

dapat mengintervensi ranah sipil, karena menurut Militer, ketidak stabilan politik dapat

membahayakan negara (Nordlinger, 1994, p. 10).

Kekerasan yang digunakan militer bukannya tanpa alasan. Menurut kalangan

Militer, kekerasan diperlukan untuk membuat atau melindungi nilai, dengan

menghancurkan nilai lain yang membahayakan nilai tersebut. Fokus pemberlakuan

kekerasan sebetulnya adalah hanya sampai tahap ancaman saja. Artinya, pada dasarnya

Militer lebih suka jika tidak sampai menggunakan kekerasan fisik sebagai alat, tapi hanya

sampai tahap ancaman (Schelling, 1966, pp. 2-10).

Hal inilah yang kemudian terjadi di Argentina. Keadaan perkembangan negara

yang terus memburuk akibat pergesekan faksi dan ketidakmampuan Negara menciptakan

stabilitas ekonomi serta usaha intervensi Amerika Serikat yang bersinggungan dengan

kepentingan Uni Soviet, merupakan awal dari bangkitnya kekuatan militer di Argentina.

Berangkat dari doktrin keamanan nasional yang menempatkan militer sebagai garda

terdepan dalam menjamin keamanan seluruh wilayah negara, militer Argentina kemudian

(2)

Kekuasaan, Militer dan Hak Asasi Manusia: Studi Kasus Argentina || Page 2 of 5 menerjemahkan situasi politik global pada masa perang dingin sebagai sesuatu yang dapat

mengancam keamanan nasional (Varas, 1985, pp. 18-20).

Sebetulnya, sejak tahun 1930 militer di Argentina mulai terlibat aktif dalam

pemerintahan. Sejak tahun itu, berbagai Kudeta Militer yang didukung oleh rakyat mulai

dilancarkan. Militer pada masa itu awalnya hanya berperan sebagai alat kekuatan bagi

rezim sipil, namun, perpecahan militer kedalam faksi tertentu membuat Militer tidak dapat

menguasai pemerintahan (Desch, 2002, p. 167). barulah sekitar awal 1955 Militer di

Argentina kemudian terlibat jauh dalam pemerintahan sipil (Barry, p. 2). Pada Maret 1976,

ketika akhirnya Militer memegang kuasa atas pemerintahan, Militer di Argentina mulai

melakukan aksi penculikan dan penghilangan.

Amerika Serikat merupakan negara yang mensponsori Argentina dan beberapa

negara lain di Amerika Latin untuk melakukan intervensi terhadap masyarakat sipil di

Argentina. Untuk tujuan menghilangkan orang-orang yang terlibat, berorganisasi dan

berideologi kiri (sebagai bentuk pemerangan terhadap kepentingan Uni Soviet),

dibentuklah Condor Operation. Mereka yang menjadi sasaran kemudian diculik, disiksa,

dibunuh, bahkan dihilangkan. Pada perkembangannya, Condor Operation di Argetina

tidak hanya digunakan untuk menghilangkan orang-orang yang beridiologi kiri, melainkan

juga untuk orang lain yang dianggap menentang kekuasaan Militer. Kekhawatiran Rezim

Militer Argentina terhadap Komunisme dan invasi Uni Soviet serta ketidaksukaan mereka

terhadap kaum Yahudi membuat korban penculikan di Argentina bukan saja datang dari

kalangan kiri namun juga dari kalangan kanan peronis anti-komunis Montoneros dan Kaum

Yahudi (CONADEP, 2007, pp. 46-51).

Penculikan yang terjadi di Argentina biasanya dilakukan dengan menyeret korban

langsung ke dalam kendaraan yang disediakan atau tidak jarang juga dilakukan dengan

menyiksa korban terlebih dahulu di rumahnya, kemudian diberi tudung untuk

menghilangkan daya penglihatan. Tujuan dilaksanakannya penculikan dan penyiksaan

korban di rumahnya sendiri adalah untuk menciptakan iklim ketakutan dan membuat

anggota keluarganya yang lain tidak mencontoh perbuatan yang dilakukan korban (seperti

berideologi komunis atau melawan rezim pemerintah). Setelah diculik, korban kemudian

(3)

Kekuasaan, Militer dan Hak Asasi Manusia: Studi Kasus Argentina || Page 3 of 5 banyak tempat di Argentina. Di dalam SDC tersebutlah kekejian sesungguhnya terjadi.

Korban yang ditampung di SDC kemudian ditahan dan disiksa. Untuk mengantisipasi

kaburnya korban, mereka biasanya diletakkan di SDC yang jauh dari tempat asal mereka

diculik.Ruangan yang digunakan sebagai SDC biasanya merupakan Instalasi Militer atau

Gedung Pemerintahan Sipil (CONADEP, 2007, p. 30).

Di dalam SDC, terdapat personil yang sudah terlatih dan dipersiapkan untuk

mengintrogasi korban. Para korban diupayakan berada dalam titik terendah dalam keadaan

-baik fisik maupun mentalnya, agar mereka tidak melakukan perlawanan dan

mempermudah proses introgasi. Dalam upaya tersebut, SDC biasanya jorok, kotor dan

makanan yang disediakan untuk para korban pun merupakan makanan dari kualitas

terendah. Terdapat banyak hal yang dilakukan Rezim Militer terhadap korbannya dalam

SDC. penyiksaan biasanya dilakukan juga dengan berbagai alat seperti pengejut listrik

(korban di setrum di aliran listrik), menggunakan obat-obatan agar korban lemah secara

psikologis, penyiksaan keras yang akhirnya berdampak pada hilangnya sensor syaraf dan

kesakitan yang amat sangat, sampai akhirnya korban mati atau dibuat menjadi mati dengan

metode tertentu yang direncanakan.

Setelah Pemerintah Militer tidak lagi membutuhkan informasi apapun dari korban

atau korban tetap tidak memberikan informasi apapun kepada pemerintah, maka korban

akan dibuatkan sebuah sekenario pembunuhan. Jenis pembunuhan biasanya merupakan

penyiksaan sampai mati, dieksekusi secara bersamaan dengan ditembak, dijatuhkan dari

pesawat atau ditenggelamkan ke dasar laut dengan memasangkan pemberat pada kaki

korban. Setelah proses tersebut berjalan, biasanya Pemerintahan Militer Argentina

kemudian membuat informasi palsu atau rekayasa cerita kematian korban. Rekayasa

tersebut misalnya adalah, korban mati ditembak karena korban melakukan usaha melarikan

diri.

Intinya, begitu ia menjadi korban penankapan rezim militer di Argentina, maka ia

tidak akan selamat dalam keadaan hidup. Penghilangan nyawa dalam proses penculikan

dan penyiksaan tersebut adalah hal yang paling penting agar dikemudian hari korban tidak

menuntut pemerintah atau bercerita kepada orang lain dan membuat orang lain tersebut

(4)

Kekuasaan, Militer dan Hak Asasi Manusia: Studi Kasus Argentina || Page 4 of 5 keluarganya yang lain yang telah merasa putus asa karena tidak kunjung menemukan

saudaranya. Teror tersebut menurut pemerintahan militer, kemudian dapat melumpuhkan

gelombang protes masyarakat karena kemudian masyarakat takut menjadi korban

berikutnya. Dengan tidak adanya korban yang selamat dan dihilangkan secara rekayasa,

proses investigasi dari protes juga akan berjalan lamban karena data dan bukti tindakan

penyiksaan tidak ditemukan.

Dari keterangan dan cerita yang terdapat diatas, dapat disimpulkan bahwa kekuatan

militer merupakan alat utama untuk melakukan intervensi terhadap kekuasaan sipil atas

dasar kedaulatan negara. Kedaulatan, kemudian merupakan satu hal yang menjadi

pembenaran ketika sebuah Rezim Militer melakukan tindakan yang melangkahi

batas-batas kemanusiaan seseorang. Dalam era modern saat ini, dimana perjanjian dan deklarasi

tentang HAM telah menggaung di antero dunia, tindakan penculikan, penyiksaan dan

penghilangan nyawa adalah termasuk kedalam pelanggaran HAM. Pelanggaran yang

dilakukan oleh Rezim di Argentina tersebut telah melanggar empat instrumen HAM

sekaligus (Nababan, 1999, p. 7). Istrumen penting tersebut adalah: ICCPR atau The

International Covenant on Civil and political Rights yang mengatur tentang hak Sipil dan

Politik dengan melakukan penangkapan yang membuat korban tidak dapat melakukan

kegiatan politiknya sebagai masyarakat sipil; ICESCR atau The International Covenant on

Economic, Social and Cultural Rights yang mengatur tentang Hak Ekonomi, Sosial dan

Budaya dengan membatasi lingkup sosial para korban hanya di dalam SDC saja; CERD

atau Convention on Elimination of All Forms of Race Discrimination yang mengatur

tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi Ras dengan melakukan penangkapan

bukan hanya terhadap mereka yang beridiologi kiri, melainkan juga terhadap kaum

Yahudi; dan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading

Treatment or Punisment yang mengatur tentang larangan terhadap penyiksaan dan

perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan derajat manusia

dengan menyiksa mereka sampai mati.

Tindakan penculikan yang terjadi di Argentina juga merupakan pelanggaran HAM

Berat. Tindakan pelanggaran HAM Berat yang telah terjadi di Argentina kala itu adalah

(5)

Kekuasaan, Militer dan Hak Asasi Manusia: Studi Kasus Argentina || Page 5 of 5 pesawat; Penyiksaan yang dilakukan dengan berbagai cara dan alat seperti menggunakan

alat kejut listrik dan pemukukan; Penghilangan Orang Secara Paksa dengan melakukan

penculikan dan diskriminasi Sistemis dengan mengklasifikasikan korban yang berupa

masyarakat beridiologi kiri, masyarakat yang menentang pemerintahan dan masyarakat

yang tergolong kaum Yahudi.

Bahan Bacaan

Barry, A. J. (n.d.). Argentina: the Dirty War, the Disappeared, the Mothers and the Grandmothers. CONADEP, (. N. (2007). Nunca Mas - The Report of Argentine National Commission on the Dissapeared

(Terj. Suma Muhardja, Ken B. Kusumandaru, Michael D.Oambrastho dan Lilik H.S). Jakarta: PEC.

Desch, M. C. (2002). Civil Control of the Military the Changing Security Environment. Jakarta: PT Raja Grafindo.

Nababan, A. d. (1999). Hak Asasi Manusia: Tanggung Jawab Negara, Peran Institusi Nasional dan

Masyarakat. Jakarta: Komnas HAM.

Nordlinger, E. A. (1994). Soldier in Politics (Terj. Sahat Simamora). Jakarta: PT Rineka Cipta. Schelling, T. C. (1966). Arms and Influence. New Haven: Yale University Press.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penjelasan yang telah dijelaskan sebelumnya dan sesuai dengan survey awal yang dilakukan pada pasien hipertensi usia produktif di Puskesmas Pacar Keling Surabaya saat

Dari penjelasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kecemasan berbicara di depan umum adalah suatu keadaan tidak nyaman yang sifatnya tidak menetap pada diri individu

1) Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan selaku pemimpin yang memiliki kewenaan untuk memajukan pendidikan sehingga dapat menentukan kemajuan belajar mahasiswa dengan cara

Hasil akhir dari analisis multivariat menunjuk- kan bahwa komponen motivasi yang paling berhubungan dengan kinerja perawat dalam pendokumentasian asuhan keperawatan adalah

Ada pengaruh bermakna penyuluhan kesehat- an langsung dan melalui media massa dengan perawatan hipertensi pada usia dewasa di sebuah kelurahan di kota Depok dan

Hasil dari peelitian penulis mengenai nilai-nilai pendidikan akhlak kepada kaum dhuafa perspektif al-Qur’an surat An- Nisa ayat 36 Tafsir Al-Maraghi ini adalah bahwa

Untuk menghindari agar tidak meluasnya pembahasan, maka penelitian ini di batasi dengan judul “Pengaruh Metode Latihan Interval 1:1 dan Metode Latihan Interval

Lama pengukuran daya selama 2 jam didapatkan tegangan listrik 204,8 V dan arus listrik sebesar 0,08 A. Lama proses pemompaan 10 menit sebanyak 48 kali dalam