• Tidak ada hasil yang ditemukan

makalah komunikasi politik UNIVERSITAS K

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "makalah komunikasi politik UNIVERSITAS K"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

makalah komunikasi

politik

Disusun oleh :

Nama : Alex Chandra ( 41813156 )

Marvel ( )

Ramdhani ( )

Jurusan : Ilmu komunikasi / IK 5

(2)

SEJARAH DAN KOMUNIKASI POLITIK : SEBUAH PENGANTAR

HISTORY AND POLITICAL COMMUNICATION: INTRODUCTION

Latar Belakang Masalah

Komunikasi merupakan aktivitas yang tidak terpisahkan dari berbagai bidang aktivitas yang kita geluti sehari-hari. Termasuk dalam aktifitas politik baik dalam peran yang kecil atau besar, komunikasi memainkan peranan yang sangat penting dan dominan bahkan. Komunikasi adalah hubungan antar manusia dalam rangka mencapai saling pengertian (mutual understanding) [1]

Dengan demikian, komunikasi sebagai proses politik, dapat diartikan sebagai gejala-gejala yang menyangkut pembentukan kesepakatan. Misalnya kesepakatan menyangkut bagaimana pembagian sumberdaya kekuasaan atau bagaimana kesepakatan tersebut dibuat. Tentu saja komunikasi politik bukanlah sebuah proses yang sederhana, banyak substansi masalah yang memerlukan pembahasan yang mendalam. Salah satunya berkaitan dengan masalah infrastuktur dan suprastruktur politik yang saling mempengaruhi, dimana suprastruktur sebagai pembuat kebijakan akan mendapat tuntutan dan masukan berupa tuntutan dan aspirasi dari infrastruktur.

(3)

BAB I PENDAHULUAN

Diantara bahasan yang menonjol dalam kajian Komunikasi Politik adalah menyangkut isi pesan. Bahasan ini sama pentingnya dari bahasan komunikator, media, khalayak dan efek komunikasi politik. Dalam beberapa literatur disebutkan, inti komunikasi politik adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh. Urgensinya dalam suatu sistem politik tidak diragukan lagi, karena komunikasi politik terjadi saat keseluruhan fungsi dari sistem politik lainnya di jalankan.

Makalah ini, berupaya mengelaborasi masalah pesan politik terutama yang ada kaitannya dengan aktivitas persuasi. Fokus bahasan berkaitan dengan propaganda sebagai salah satu pendekatan persuasi yang sangat populer dan banyak dilakukan oleh komunikator politik sejak dahulu hingga saat ini. Karena dalam perkembangannya media massa banyak digunakan sebagai medium penyampaian pesan yang sangat diminati, maka bahasan ini secara spesifik mengamati propaganda politik melalui media massa. Dan juga periklanan sebagai bentuk persuasive yang dilakukan oleh komunikator politik untuk merebut citra diri sang politisi dari public.

BAB II PEMBAHASAN

1. Propaganda Dalam Komunikasi Politik

(4)

sangat dekat hubungannya dengan persuasi, sehingga propaganda sering diidentikkan dengan persuasi massa.

Awalnya kata propaganda memiliki pengertian yang netral, tidak menyangkut baik atau buruk, yang berarti menyebarkan atau penyebarluasan suatu informasi sehingga diketahui masyarakat atau khalayak umum. Tetapi, selaras dengan perjalanan waktu, penggunaan yang umum atas kata itu menjadikannya berkonotasi negatif. Pesan-pesan propaganda dipandang sebagai kebohongan, manipulatif, dan sebagai indoktrinasi.

Jenis-jenis propaganda itu sendiri adalah bersifat irasional dan akan bereaksi terhadap simbol-simbol yang disampaikan kepada mereka melalui media massa. Dengan demikian, propaganda seringkali efektif kepada masyarakat atau kelompok-kelompok masyarakat yang kurang kritis. Berdasarkan anggapan tersebut, di atas kertas dan jika melihat kondisi masyarakat Indonesia, tampaknya akan menjadi kunci sukses berhasilnya kegiatan propaganda.

Kendati demikian hal itu bukanlah jaminan, karena di lapangan banyak faktor yang juga turut membentuk sikap dan perilaku masyarakat. Bisa jadi faktor tekanan ekonomi akan lebih berperan daripada hal-hal lain yang bersifat irasional. Jenis propaganda yang kedua adalah dalam suatu propaganda dimunculkan dua hal yang berlawanan. Ada hal yang baik, ada pula yang tidak baik. Seperti misalnya pemerintah sebagai peran protagonist yang membela rakyat kecil sedangkan antagonis misalnya masyarakat yang tergolong kaya.

Kunci sukses berhasilnya propaganda sendiri dapat dilihat dari peran dan fungsi seorang komunikator yang berpengalaman dan sudah menguasai bidangnya, sehingga kegiatan propaganda dapat dijalankan dengan baik, juga peran serta media sebagai alat propaganda sehingga akan mendapatkan opini publik dan dapat menarik dukungan rakyat.

1.1 Propaganda Sebagai Pendekatan Persuasi Politik Konseptualisasi

(5)

Banyak ahli mendefinisikan persuasi, salah satunya adalah Erwin P. Bettinghaus (1973). Menurut dia, persuasi tidak lain adalah usaha yang disadari untuk mengubah sikap, kepercayaan atau prilaku orang melalui transmisi pesan. Bisa saja, banyak definisi yang dikemukakan, tapi diantara karakteristik umumnya persuasi selalu melibatkan tujuan melalui pembicaraan. Sifatnya juga dialektis dan merupakan proses timbal balik. Dalam hal ini dengan sengaja atau tidak menimbulkan perasaan responsif pada orang lain.

Dari ketiga pendekatan persuasi seperti disebut diatas, propaganda memiliki catatan konseptual dan histroris yang menarik untuk diamati. Menurut Jacques Ellul (dalam Dan Nimmo, 1993), propaganda sebagai komunikasi yang digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-individu, dipersatukan secara psikologis melalui manipulasi psikologis dan digabungkan di dalam suatu organisasi.

Istilah propaganda ini dapat ditelusuri hingga masa Paus Gregorius XV yang membentuk suatu komisi para kardinal, Cengregatio de propaganda Fide, untuk menumbuhkan keimanan kristiani diantara bangsa-bangsa lain. Namun pada perkembangannya propaganda meluas ke wilayah politik, yakni diperuntukan untuk memperoleh pengaruh dan pada akhirnya kekuasaan. Praktek propaganda misalnya pernah dilakukan Partai Nazi, Hitler. Dengan manipulasi lambang, dan oratori yang penuh emosi Hitler membangkitkan rasa identifikasi, komitmen dan kesetiaan khalayak. Kata-kata yang sangat populer waktu itu “Ein Volk, ein Reich,ein Fuhrer” (satu bangsa, satu imperium, satu pemimpin).

Ellul membuat tipologi propaganda yang menarik. Menurutnya, ada tipe propaganda politik dan tipe propaganda sosiologi. Yang pertama, beroperasi melalui imbauan-imbauan khas berjangka pendek. Biasanya melibatkan usaha-usaha pemerintah, partai atau golongan berpengaruh untuk mencapai tujuan strategis atau taktis. Sementara yang kedua, tipenya berangsur-angsur, merembes ke dalam lembaga-lembaga ekonomi, sosial dan politik. Melalui propaganda orang disuntik dengan suatu cara hidup atau ideologi. Hasilnya, suatu konsepsi umum tentang masyarakat yang dengan setia dipatuhi oleh setiap orang kecuali beberapa orang yang dianggap sebagai “penyimpang (deviants)”.

(6)

tahap-tahap yang merupakan suatu rangkaian. Sementara integrasi menggalang kesesuaian di dalam mengejar tujuan-tujuan jangka panjang. Melalui propaganda ini orang-orang mengabdikan diri kepada tujuan-tujuan yang mungkin tidak akan terwujud dalam waktu bertahun-tahun.

1.2 Propaganda Vertikal

Propaganda dalam realitasnya mengambil bentuk vertikal dan horizontal. Bentuk yang pertama adalah representasi propaganda satu-kepada-banyak (one-to-many). Sementara propaganda horizontal bekerja lebih di antara keanggotaan kelompok ketimbang dari pemimpin kepada kelompok. Artinya yang kedua lebih banyak menggunakan komunikasi interpersonal dan komunikasi organisasi, ketimbang melalui komunikasi massa.

Kalau dulu komunikasi satu-kepada-banyak mungkin diwakili oleh propagandis-propagandis lewat pidato-pidato keliling di depan kumpulan partisan mereka, tapi sekarang hal ini lebih sering dilakukan melalui media massa.

Ada beberapa hal pokok yang biasa dilakukan dalam propaganda. Dalam bukunya Dan Nimmo (1993) mengulas ada 7 teknik propaganda penting yang memanfaatkan kombinasi kata, tindakan dan logika untuk tujuan persuasif.

Pertama, name calling, memberi label buruk kepada gagasan, orang, objek atau tujuan agar orang menolak sesuatu tanpa menguji kenyataannya. Misalnya menuduh lawan pemilihan sebagai “penjahat”.

Kedua, glittering generalities, menggunakan “kata yang baik” untuk melukiskan sesuatu agar mendapat dukungan, lagi-lagi tanpa menyelidiki ketepatan asosiasi itu. Misal AS menyebut operasi mereka ke Afghanistan beberapa waktu lalu sebagai “Operasi Keadilan Tak Terhingga”, dengan misi “hukum tanpa batas” begitu juga saat merencanakan serangan ke Irak, AS menyebutnya sebagai misi kemanusiaan untuk membebaskan manusia dari teror senjata pemusnah massal.

Ketiga, transfer, yakni mengidentifikasi suatu maksud dengan lambang autoritas, misalnya “pilih kembali Mega di Pemilu 2004”.

(7)

Kelima, plain folks, imbauan yang mengatakan bahwa pembicara berpihak kepada khalayaknya dalam usaha bersama yang kolaboratif. Misalnya, “saya salah seorang dari anda, hanya rakyat biasa”.

Keenam, card stacking, memilih dengan teliti pernyataan yang akurat dan tidak akurat, logis dan tak logis dan sebagainya untuk membangun suatu kasus. Misalnya kata-kata “pembunuhan terhadap pemimpin kita, benar-benar menunjukan penghinaan terhadap partai kita !”. Ketujuh, bandwagon, usaha untuk meyakinkan khalayak akan kepopuleran dan kebenaran tujuan sehingga setiap orang akan “turut naik”.

Prinsip satu-kepada-banyak yang menjadi pegangan propaganda, semakin menemukan momentumnya seiring dengan berkembangnya media massa. Orde Baru misalnya, secara terus menerus memanfaatkan TVRI sebagai ideological state aparatus. Dengan mengusung propaganda “pembangunan”, dalam waktu yang relatif lama mampu bertahan melakukan korporasi terhadap hampir segenap lapisan masyarakat. Persuasi model ini terus dilakukan sehingga rakyat mengidentifikasikan diri menjadi bagian dari anggota Orde Baru.

1.3 Saluran Propaganda Politik

Kalau merujuk kepada pendapat Blumler dan Gurevitch (1995), ada empat komponen yang perlu diperhatikan dalam mengkaji sistem komunikasi politik. Pertama institusi politik dengan aspek-aspek komunikasi politiknya. Kedua institusi media dengan aspek-aspek komunikasi politiknya. Ketiga orientasi khalayak terhadap komunikasi politik. Keempat aspek-aspek komunikasi yang relevan dengan budaya politik.

Pendapat hampir senada dikemukakan Suryadi (1993), menurutnya sistem komunikasi politik terdiri dari elit politik, media massa dan khalayak. Dari kedua pendapat tadi dapat kita temui posisi penting media dalam propaganda politik. Setiap persuasi politik yang mencoba memanipulasi psikologis khalayak sekarang ini, sangat mempertimbangkan peranan media massa.

1) Urgensi Media Massa Sebagai Saluran Propaganda

(8)

Perkataan “dapat” menjadi sangat rasional karena seperti dikatakan Alexis S.Tan (1981), komunikator dalam media massa ini merupakan suatu organisasi sosial yang mampu memproduksi pesan dan mengirimkannya secara simultan kepada sejumlah besar masyarakat yang secara spasial terpisah.

Dengan daya jangkau yang relatif luas, dan dalam waktu yang serentak, mampu memainkan peran dalam propaganda. Relevan dengan pendapat Cassata dan Asante, seperti dikutip Jalaluddin Rakhmat (1994), bila arus komunikasi massa ini hanya dikendalikan oleh komunikator, situasi dapat menunjang persuasi yang efektif. Sebaliknya bila khalayak dapat mengatur arus informasi, siatusi komunikasi akan mendorong belajar yang efektif.

Dalam konteks era informasi sekarang ini institusi media massa seperti Televisi dan surat kabar dipercaya memiliki kemampuan dalam menyelenggarakan produksi, reproduksi dan distribusi pengetahuan secara signifikan. Serangkaian simbol yang memberikan meaning tentang realitas “ada” dan pengalaman dalam kehidupan bisa ditransformasikan media massa dalam lingkungan publik. Sehingga bisa diakses anggota masyarakat secara luas.

Tentu saja dalam perkembangnnya, banyak pihak yang terlibat dalam pemanfaatan media massa sebagai instrumen pemenuhan kepentingannya. Sebut saja negara (state), pasar (market), kelompok kepentingan (interest group), kelompok penekan (preasure group) dll.

Menurut Denis McQuail (1987), terdapat ciri-ciri khusus media massa antara lain :

pertama memproduksi dan mendistribusikan “pengetahuan” dalam wujud informasi, pandangan dan budaya. Upaya tersebut merupakan respons terhadap kebutuhan sosial kolektif dan permintaan individu. Dalam konteks propaganda, kerja produksi dan distribusi ini akan efektif untuk wujud informasi, pandangan dan budaya sesuai dengan yang diharapkan propagandis.

Kedua, menyediakan saluran untuk menghubungkan orang tertentu dengan orang lain dari pengirim ke penerima dan dari khalayak kepada anggota khalayak lainnya. Dalam konteks propaganda sangat urgen dalam proses pengidentifikasian diri khalayak sebagai anggota kelompok, entah itu partisan partai, anggota ideologi tertentu atau dalam nasionalisme sebuah negara.

(9)

Keempat partisipasi anggota khalayak dalam institusi pada hakekatnya bersifat sukarela, tanpa adanya keharusan atau kewajiban sosial. Ini relevan dengan sifat persuasi yang bukan berupa pembicaraan kekuasaan, bukan ancaman yang mengatakan “jika anda melakukan (tidak melakukan ) X, maka saya akan melakukan Y. Menurut Dan Nimmo mengutip Harold D. Lasswell (1993), pembicaraan kekuasaan lebih dekat kepada kekerasan dan ancaman ketimbang kepada persuasi.

Persuasi juga bukan pembicaraan kewenangan atau autoritas yang memerintahkan “lakukan X”. Namun, persuasi merupakan pembicaraan pengaruh yang bercirikan kemungkinan (“jika anda melakukan X, maka anda akan melakukan Y”), diidentifikasi melalui saling memberi dan menerima diantara pihak-pihak yang terlibat, meskipun dalam kenyataannya tidak sesederhana itu.

Kelima, institusi media dikaitkan dengan industri pasar karena ketergantungannya pada imbalan kerja, teknologi dan kebutuhan pembiayaan. Ini merupakan tuntutan yang seringkali mengarahkan media massa untuk lebih menonjolkan aspek komersialnya.

Keenam meskipun media itu sendiri tidak memiliki kekuasaan, namun institusi ini selalu berkaitan dengan kekuasaan negara karena adanya kesinambungan pemakaian media. Dalam konteks propaganda, media massa menjadikan dirinya sebagai medium pesan politik sehingga kenyataannya kekuasaan dan pengaruh secara terus menerus diproduksi dan didistribusikan oleh media massa.

2) Prinsip Propaganda di Media Massa

Tentu saja untuk mengefektifkan propaganda politik di media massa juga sangat perlu memperhatikan beberapa prinsip-prinsip umum yang diturunkan dari riset mengeni pengaruh komunikator dalam keberhasilan usaha persuasif (Dan Nimmo, 1993) :

(10)

Kedua kredibilitas komunikator. Sasaran propaganda mempersepsi para komunikator dengan beberapa cara. Sejauh mereka mempersepsi bahwa propagandis itu memiliki keahlian, kompetisi, keandalan, dapat dipercaya dan autoritas, mereka menganggap bahwa komunikator itu kredibel. Memang pada perkembangnnya khalayak media, dalam menerima pesan juga membedakan antara apa yang dikatakan dengan kredibiltas sumbernya.

Ketiga, daya tarik komunikator, hal ini meningkatkan daya tarik persuasif. Hal ini terutama berlaku pada homofili, yakni tingkat kesamaan usia, latarbelakang dll seperti dipersepsi orang. Persuasi itu sebagian besar berhasil bila orang mempersepsi komunikator seperti dirinya sendiri secara gamblang. Karena persuasi dalam hal ini propaganda politik merupakan upaya penyebaran informasi dan pengaruh satu-kepada-banyak maka instrumen teknologi yang dapat menyebarkan pesan kepada angota kelompok merupakan hal yang tepat dilakukan. Goebbels, dalam memikirkan strategi kampanye persuasifnya membedakan haltung yang mempengaruhi prilaku, sikap dan perbuatan orang. Sementara stimmung merupakan morel mereka, penerimaan dan retensi imbauan persuasif.

Berbagi pesan propagandis berhubungan dengan keefektifannya dalam dua hal, yaitu : a. Isi pesan, hal ini menyangkut model pilihan isi yang dikemukakan dalam propaganda di media

massa. Bisa jadi isi yang mengancam orang (isi membangkitkan rasa takut) akan mempersuasi kalayak dalam kondisi tertentu.

b. struktur pesan, bisa jadi karena ,media yang dipakai adalah media massa yang memiliki

keterbatasan waktu atau tempat menyebabkan penyusunan struktur pesan yang efektif dan efesien. Namun terlepas dari segala keterbatasan waktu dan tempat, propaganda di media massa bisa dilakukan secara terus-menerus sehingga menjadi suatu terpaan (exposure). Misalnya, propaganda AS melawan terorisme disampaikan lewat media-media yang berpengaruh secara internasional. Misalnya CNN, CBC, VOA dll. Hal itu juga dilakukan dengan membuat agenda setting di media-media seluruh dunia, mengukuhkan (reinforcement) kalau terorisme itu memang penggeraknya adalah orang-orang timur tengah.

(11)

Pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun 2009 ini diawali dengan kampanye yang sangat menarik dari masing-masing calon anggota legislatif (caleg) dan calon presiden (capres). Kampanye pemilu merupakan proses menyampaikan pesan-pesan politik yang salah satu fungsinya memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Setiap partai politik selalu berusaha menemukan cara-cara paling efektif untuk merekrut sebanyak-banyaknya massa.

Salah satu cara merekrut massa tersebut yaitu melalui pesan-pesan politik dari para kandidat. Pesan-pesan tersebut pun semakin bervariasi baik bentuknya maupun media yang digunakannya. Media iklanlah yang banyak dipilih para kandidat. Media iklan tersebut di antaranya media cetak, media elektronik, dan media luar ruang.

Yang penulis tekankan dalam makalah ini adalah media cetak dan media luar ruang, seperti billboard, baliho, selebaran, spanduk, poster yang berukuran mini sampai yang berukuran raksasa yang terpampang di pinggir jalan dan tempat-tempat umum.

Perubahan sistem pemilihan yang ditetapkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi yang berbasis pada perolehan suara telah membuat para caleg mengubah strategi. Sistem perolehan suara terbanyak, mau tidak mau membawa atmosfer kompetisi yang semakin ketat. Tidak hanya dengan partai lawan, tetapi juga dengan rekan separtai. Kekuatan figur menjadi sangat penting.

Salah satu cara memperkenal-kan figur tersebut melalui berbagai atribut kampanye yang dianggap simbol representasi caleg. Meskipun tidak memberikan pengaruh signifikan, nyatanya baliho dan spanduk masih tetap digunakan. Hal itu berguna untuk membangun nuansa psikologis.

Tujuan iklan-iklan politik melalui baliho dan spanduk itu, tentu untuk merebut hati dan simpati khalayak para calon pemilih. Melalui iklan politik para politisi yang berlomba-lomba menampil-kan citra positif dirinya. Salah satu cara yang digunakan para caleg untuk mencitrakan dirinya adalah menggunakan kata-kata atau gambar yang unik, contohnya data gambar beberapa caleg menunjukkan profil dengan kata-kata berani, jujur, amanah, peduli, profesional, muda, Islami, pengalaman, pengusaha, hingga lulusan dari mana pun disebutkan ,bahkan gelar akademis menjadi aksesoris diri yang diharapkan mampu mendongkrak citra diri mereka yang merepresentasi-kan kesuksesan pendidikan formal.

(12)

Media massa yang bekerja untuk menyampaikan informasi dapat membentuk, mempertahankan atau mendefenisikan citra. Realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang sudah diseleksi atau sering orang mengatakannya sebagai realitas tangan kedua (second hand reality). TV maupun surat kabar memilih tokoh atau berita tertentu dengan mengesampingkan tokoh dan berita lainnya. Seringkali khalayak cenderung memperoleh informasi itu semata-mata berdasarkan pada apa yang dilaporkan media massa. Akhirnya, kita membentuk citra tentang lingkungan sosial kita berdarkan realitas kedua yang ditampilkan media massa.

Lee Loevinger mengemukakan teori komunikasi yang disebut ‘reflektive-projektive theory’. Teori ini beranggapan bahwa media massa mencerminkan suatu citra yang ambigu-menimbulkan tafsiran yang bermacam-macam-sehingga pada media massa setiap orang memproyeksikan atau melihat citranya pada penyajian media massa (dalam Jalaluddin Rakhmat, 1993). Pengaruh media massa terasa lebih kuat lagi karena pada masyarakat modern orang memperoleh banyak informasi tentang dunia dari media massa.

Mengenai masalah ini Schudson (1996) menyebutkan, news (berita) merupakan bagian dari latarbelakang melalui apa masyarakat berpikir. Dia juga menegaskan Institusi berita sebagai aktor sosial ekonomi yang memiliki pengaruh sangat besar. Media merupakan suatu “sebab” terjadinya pendistribusian informasi dengan memilih konsumen yang visible dan terukur.

Saat media memberi publik suatu item berita, dengan sendirinya mereka memberikan legitimasi publik. Media massa membawa persoalan citra ini ke dalam forum publik, dimana hal ini dapat didiskusikan oleh khalayak secara umum. Citra yang dibangun tentu saja bukan sesuatu yang alami, melainkan hasil penyeleksian media melalui political framing (politik pengemasan).

Propaganda politik melalui media massa sebenarnya, merupakan upaya mengemas isu, tujuan, pengaruh, dan kekuasaan politik dengan memanipulir psikologi khalayak. Begitu urgennya media, sehingga Cater menyebutnya sebagai institusi kekuatan keempat dalam suatu pemerintahan atau The Fourth Branch of Government (dalam Sparrow, 1999).

Dalam pelaksanaannya, propaganda di media massa juga tidak bisa mengenyampingkan beberapa hal yang dikenal dalam rumusan Pamela Shoemaker dan Stephen D. Reese (dikutip Susilo, 2000) sebagai model “hierarchy of influence”.

(13)

1. Pengaruh individu-individu pekerja media seperti karakteristik pekerja media, latarbelakang

personal dan profesional.

2. Pengaruh rutinitas media seperti tengat waktu (deadline), keterbatasan tempat (space) dll.

3. Pengaruh organisasional;

4. Pengaruh dari luar organisasi media seperti dari partai politik atau pemerintah yang melakukan

propaganda.

5. Pengaruh ideologi yang merupakan sebuah pengaruh paling menyeluruh dari semua pengaruh

yang ada.

Di sini ideologi dimaknai sebagai suatu kekuatan yang mampu melakukan kohesivitas kelompok. Dengan pengaruh dari kelima faktor tadi, propaganda bisa efektif atau tidak sangat tergantung pada kemampuan untuk memanfaatkan media massa secara efektif. Tentu saja dengan pemahaman terhadap karakteristik media massa yang dipakai. Tidak semua media efektif menjadi medium propaganda dalam suatu konteks tertentu.

Kondisi Masyarakat Indonesia Masa Kini

Menurut saya kondisi kehidupan masyarakat Indonesia zaman sekarang telah banyak mengalami perubahan terutama dalam perilaku sosialnya. Hal ini salah satunya disebabkan karena modernisasi.

Negara Indonesia sekarang ini sudah mencapai tahap pemikiran yang sangat modern, Indonesia sendiri sudah mampu menciptakan alat-alat teknologi yang praktis dan efisien seperti layaknya yang ada di kehidupan sehari – hari seperti Televisi, telepon genggam, komputer, laptop, dan lainnya, sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang digunakan pun memiliki kajian – kajian penting dalam proses kemajuan dan perkembangan teknologi yang membuat Indonesia lebih modern.

Selain itu penyebab lainnya yaitu masuknya budaya asing ke Indonesia. Masuknya budaya asing ke indonesia disebabkan salah satunya karena adanya krisis globalisasi yang meracuni indonesia. Pengaruh tersebut berjalan sangat cepat dan menyangkut berbagai bidang kehidupan. Tentu saja pengaruh tersebut akan menghasilkan dampak yang sangat luas pada sistem kebudayaan masyarakat. Begitu cepatnya pengaruh budaya asing tersebut menyebabkan terjadinya goncangan budaya(culture shock), yaitu suatu keadaan dimana masyarakat tidak mampu menahan berbagai pengaruh kebudayaan yang datang dari luar sehingga terjadi ketidakseimbangan dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan.

(14)

Teknologi yang berkembang pada era globasisasi ini mempengaruhi karakter sosial dan budaya dari lingkungan sosial.

Dampak positif teknologi modernisasi adalah sebagai berikut.

 Perubahan Tata Nilai dan Sikap

Adanya modernisasi dalam zaman sekarang ini bisa dilihat dari cara berpikir masyarakat yang

irasional menjadi rasional.

 Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat menjadi lebih mudah dalam beraktivitas dan mendorong untuk berpikir lebih maju, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pula yang membentuk masa modernisasi yang terus kian berkembang dan maju di waktu sekarang ini.

 Tingkat Kehidupan yang lebih Baik

Dibukanya industri atau industrialisasi berdasarkan teknologi yang sudah maju menjadikan nilai dalam memproduksi alat-alat komunikasi dan transportasi yang canggih, dan juga merupakan salah satu usaha mengurangi pengangguran dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, hal ini juga dipengaruhi tingkat ilmu pengetahuan dan teknologi yang membantu perkembangan modernisasi.

Dampak negatif teknologi modernisasi adalah sebagai berikut.

 Pola Hidup Konsumtif

Perkembangan teknologi industri yang sudah modern dan semakin pesat membuat penyediaan barang kebutuhan masyarakat melimpah. Dengan begitu masyarakat mudah tertarik untuk menkonsumsi barang dengan banyak pilihan yang ada, sesuai dengan kebutuhan masing – masing.

 Sikap Individualistik

Masyarakat merasa dimudahkan dengan teknologi maju membuat mereka merasa tidak lagi membutuhkan orang lain dalam beraktivitas. Padahal manusia diciptakan sebagai makhluk sosial.

 Gaya Hidup Kebarat-baratan

Tidak semua budaya Barat baik dan cocok diterapkan di Indonesia. Budaya negatif yang mulai menggeser budaya asli adalah anak tidak lagi hormat kepada orang tua, kehidupan bebas remaja, dan lain-lain.

(15)

Apabila dalam suatu komunitas masyarakat hanya ada beberapa individu yang dapat mengikuti arus modernisasi dan globalisasi maka akan memperdalam jurang pemisah antara individu dengan individu lainnya. Dengan kata lain individu yang dapat terus mengikuti perkembangan jaman memiliki kesenjangan tersendiri terhadap individu yang tidak dapat mengikuti suatu proses modernisasi tersebut. Hal ini dapat menimbulkan kesenjangan sosial antara individu satu dengan lainnya, yang bisa disangkutkan sebagai sikap individualistik.

 Kriminalitas

Kriminalitas sering terjadi di kota-kota besar karena menipisnya rasa kekeluargaan, sikap yang individualisme, adanya tingkat persaingan yang tinggi dan pola hidup yang konsumtif.

 Kenakalan Remaja

Kenakalan remaja adalah penyimpangan perilaku yang dilakukan generasi muda (sekelompok remaja). Misalnya tawuran, perusakan barang milik masyarakat, penyimpangan seksual, dan penyalahgunaan narkotika serta obat-obatan terlarang. Kenakalan remaja dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor eksternal dan internal.

1. Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari remaja atau keadaan pribadi remaja itu sendiri. Misalnya, pembawaan sikap negatif dan suka dikendalikan yang juga mengarah pada perbuatan nakal. Selain itu, kenakalan remaja dapat disebabkan karena adanya pemenuhan kebutuhan pokok yang tidak seimbang dengan keinginan remaja sehingga menimbulkan konflik pada dirinya dan kurang mampunya si remaja itu menyesuaikan diri dengan lingkungan.

2. Faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar diri remaja itu artinya, berasal dari lingkungan hidup remaja tersebut. Misalnya kehidupan keluarga, pendidikan di sekolah, pergaulan, dan media massa. Seseorangyang hidup dalam keluarga yang tidak harmonis cenderung akan memepnyai perilaku yang kurang baik dan menyimpang dari norma dan nilai yang berada pada masyarakat.Misalnya seorang anak yang sering melihat orang tuanya bertengkar dapat melarikan diri pada obat-obatan karena ia tidak tahan melihat pertengkaran orang tuanya.

 Kerusakan Lingkungan Hidup

Pencemaran yang terjadi di lingkungan masyarakat menimbulkan dampak sebagai berikut: • Polusi udara, menyebabkan sesak nafas,mata pedih, dan pandangan mata kabur. • Polusi tanah, menyebabkan lahan pertanian menjadi rusak.

• Polusi air, menyebabkan air tidak bersih dan tidak sehat isi. Pengaruh global terhadap eksistensi jati diri bangsa

Adanya unsur budaya asing yang tidak sosuai dengan kepribadian bangsa indonesia sangat menghawatirkan karena dapat menyebabkan terjadinya goncangan budaya. Namun, di sisi lain masuknya unsur budaya asing de indonesia juga sangat bermanfaat bagi kehidupan bangsa indonesia.

(16)

golongan orang yang menghendaki status quo. Sebaliknya, unsur dinamika merupakan unsur yang menghendaki adanya perubahan, misalnya perubahan linkungan alam, nilai-nilai sosial, dan perubahan struktur sosial. Adanya unsur statika dan dinamika inilah sesinambungan masyarakat tetap tejadi meskipun terjadi perubahan-perubahan di dalam masyarakat.

Untuk melestarikan kesinambungan kehidupan masyarakat agar tetap eksis tentu saja kita harus menjunjung tinggi jati diri bangsa. Untuk itu, kita pun harus mampu mempertahankan diri dari derasnya arus globalisasi. Unsur-unsur budaya asing yang sesuai kepribadian bangsa dapat kita ambil, sedangkan yang tidak sesuai kita tinggalkan. Dengan demikian, keberadaan bangsa kita akan terus ada meskipun begitu derasnya pengaruh dari luar. Selain itu, bangsa kita pun akan mampu mengikuti perkembangan yang ada dengan tetap menjaga dan melestarikan budaya bangsa sendiri. Budaya bangsa kita yang harus dipertahankan misalnya budaya gotong royong, peduli terhadap lingkungan, dan adanya kerja sama yang baik.

Apa yang akan terjadi jika kita tidak mampu menghadapi tantangan global? Apabila kita tidak mampu menghadapinya, kita akan terisolasi dari bangsa lain. Keberadaan bangsa kita pun tidak diketahui di mata dunia apalagi jika kita tidak mampu menstarakan diri dari bangsa lain.

Sekuralisasi

Kita berbicara tentang sekularisme jika kita memusatkan perhatian kita pada efek negatif sekularisasi. Sekularisasi dapat mendorong pada ekstrem atau ekses, yakni suatu sikap berlebih-lebihan untuk menyingkirkan segala alasan, motif atau dimensi religius sebagai omong kosong. Pandangan-pandangan seperti ateisme, materialisme dan saintisme merupakan berbagai aspek dalam sekularisme. Sekularisme dalam arti ini bukanlah sebuah proses sosial-epistemologis, melainkan sebuah ideologi dengan kesempitan berpikir yang tidak dapat mentoleransi eksistensi agama di dalam masyarakat majemuk. Jika agama menghasilkan fundamentalisme religius, proses sekularisasi juga dapat menghasilkan suatu fundamentalisme tertentu, yakni fundamentalisme profane. Itulah sekularisme.

Jadi, di sini kita dapat mengatakan bahwa sekularisasi adalah proses yang wajar di dalam modernisasi, karena pemisahan antara agama dan Negara memang diperlukan untuk memungkinkan kebebasan dan keadilan dalam masyarakat majemuk, namun sekularisme harus diwaspadai. Untuk masyarakat kita yang cenderung religius, sekularisme bukanlah ancaman real; fundamentalisme agamalah yang merupakan ancaman real bagi kemajemukan. Yang sebaliknya juga harus dikatakan: Sekularisme bukanlah solusi untuk masalah kemajemukan, sebab sekularisme adalah bentuk intoleransi terhadap agama manaupun yang merupakan anggota masyarakat majemuk. Yang dibutuhkan masyarakat kita adalah tingkat sekularisasi tertentu (baik secara structural maupun kultural) agar dapat bersikap “fair” terhadap kemajemukan orientasi nilai di dalam masyarakat kita. Kebijakan-kebijakan politis yang berorientasi agama tertentu, misalnya, tidak dapat begitu saja dijadikan norma publik untuk mengatur keseluruhan masyarakat, karena akan bersikap tidak fair terhadap kelompok-kelompok lain bahkan dalam agama yang sama.

(17)

BAB III PENUTUP

Dari paparan diatas dapat kita simpulkan beberapa hal penting. Propaganda dan periklanan merupakan salah satu pendekatan dalam persuasi politik. Secara sederhana propaganda didefinisikan sebagai komunikasi yang digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-individu, dipersatukan secara psikologis melalui manipulasi psikologis dan digabungkan di dalam suatu organisasi.

Karena kaitannya dengan karakteristik propaganda sebagai transmisi pesan satu-kepada-banyak, maka media massa menjadi medium pesan yang sangat efektif untuk digunakan. Melalui upaya manipulasi psikologis, propaganda berupaya menyatukan khalayak kedalam suatu organisasi atau tujuan propagandis.

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga yang menjadi dasar untuk membangun konseling pastoral dalam satu budaya yakni Tiga Batu Tungku bagi masyarakat Nuruwe sendiri, berkaitan dengan strategi

Dari hasil pengolahan data memakai software SPSS 16.00 dengan menggunakan Uji Glejser diperoleh nilai t hitung setiap variabel independen (kinerja keuangan = -0.351, ukuran

penulisan Karya Tulis Ilmiah dengan judul “ Asuhan Kebidanan pada ibu nifas fisiologis di BPS Mu'arofah Surabaya tahun 2012 ” sebagai salah satu tugas akhir program

Program ini merupakan program penyuluhan untuk Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat se-Kabupaten Sukoharjo, dengan cara mendatangi setiap sekolahan untuk

Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan selama periode Juli hingga Desember 2014, jumlah kematian pasien Ruang Perawatan Intensif berdasarkan kriteria

27,28 Penelitian ini untuk mengetahui hubungan kadar protein darah khususnya albumin dengan kadar hormon tiroid darah pada penderita sindroma nefrotik, dan mengetahui perubahan

Dari uji statistik korelasi Spearman’s diperoleh bahwa ada hubungan antara kadar TSH dengan kadar FT4, korelasi yang terjadi adalah hubungan berlawanan arah yang