kliping
ELSAM
http://pik.kompas.co.id/tark/detail.cfm?item=5&startrow=26&style=advanced&session=13 53393879752Pelanggaran HAM: Presiden Isyaratkan Bersedia Minta Maaf
KOMPAS(Nasional) - Sabtu, 18 Feb 2012 Halaman: 2 Penulis: EDN; WHY Ukuran: 2685 Pelanggaran HAM
Presiden Isyaratkan Bersedia Minta Maaf
Jakarta, Kompas — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengisyaratkan akan bersedia meminta maaf atas kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masa lampau. Langkah tersebut diharapkan dapat menjadi pintu masuk bagi penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM di Tanah Air.
Demikian mengemuka saat Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (Kontras) bersama korban dan keluarga korban pelanggaran HAM bertemu anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Bidang Hukum dan HAM, Albert Hasibuan, Jumat (17/2), di kantor Wantimpres. Pertemuan itu ditujukan untuk menyampaikan harapan korban dan keluarga korban agar Presiden menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, seperti kasus pelanggaran HAM 1965/1966, kasus Semanggi I dan II, kasus Mei 1998, kasus Talangsari 1989, dan kasus Tanjung Priok 1984.
Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965, yang juga korban pelanggaran HAM, Bejo Untung, mengatakan, Albert Hasibuan dalam pertemuan itu sempat menyampaikan bahwa Presiden tahun ini akan bersedia meminta maaf atas pelanggaran HAM masa lalu.
”Negara memang harus berani minta maaf kepada korban pelanggaran HAM tahun 1965 yang ditahan semena-mena dan hingga kini mengalami diskriminasi. Kalau untuk kasus Rawagede saja Belanda mau minta maaf, kenapa untuk kasus di Tanah Air Presiden tidak (meminta maaf)?” kata Bejo yang ditahan di Rumah Tahanan Salemba tanpa proses hukum pada 1970-1979. Soal kesediaan Presiden meminta maaf, Albert tidak membantah atau mengiyakan. ”Saya cerna dulu, saya laporkan, dan bicarakan dengan Presiden,” ujarnya.
Sumarsih, orangtua korban tragedi Semanggi I, Norma Irmawan, berharap, Presiden dapat menuntaskan kasus pelanggaran HAM di masa lalu sebelum masa jabatan Presiden berakhir. Solusi yang dapat diambil Presiden meliputi meminta maaf, menuntaskan kasus melalui
penegakan hukum di pengadilan HAM ad hoc, dan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Koordinator Kontras Haris Azhar berharap, Presiden Yudhoyono tidak sekadar minta maaf. ”Jangan sampai ini tidak ada realisasinya,” kata Haris.
Dalam kesempatan silaturahim dengan wartawan, Senin (13/2), Presiden menegaskan,
kliping
ELSAM
http://cetak.kompas.com/read/2012/04/04/02171563/penyelesaian.kasus.ham
Penyelesaian Kasus HAM
HendardiDiskursus tentang upaya penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia masa lalu kembali mendapat perhatian negara. Inisiatif kajian dilakukan oleh Dewan Pertimbangan Presiden RI Bidang Hukum dan HAM. Pararel dengan inisiatif di atas, tulisan Franz Magnis-Suseno SJ, ”G30S dan Permintaan Maaf” (Kompas, 24/3), menjadi salah satu medium pembuka diskusi dengan publik.
Penyediaan instrumen hukum sebagai sebuah pilihan politik negara sebenarnya tidak mengalami kemajuan signifikan sejak 2000 setelah pemerintahan Presiden BJ Habibie membentuk UU No 39/1999 tentang HAM dan UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Setelah dua produk politik itu, tidak ada satu pun presiden Indonesia selanjutnya dengan kebijakan politik dalam
menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu.
Pada kepemimpinan Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono memang terbit sejumlah produk legislasi yang kondusif bagi pemajuan HAM. Namun, tidak ada produk legislasi yang mampu menembus kebekuan impunitas atas pelanggaran HAM berat masa lalu.
HAM hanya menjadi komoditas politik yang nyaring diucapkan tanpa eksekusi yang
memberikan keadilan. Bahkan, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjabat dua periode kepemimpinan nasional nyaris tidak mewariskan apa pun dalam pemajuan hak asasi manusia.
Di ujung hari
Masih adakah harapan di ujung masa kepemimpinan SBY untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu? Sebagai sebuah ikhtiar politik, inisiatif mengkaji (dan
mendorongnya menjadi tindakan nyata) harus diapresiasi. Meski demikian, memang sulit bagi publik dan keluarga korban untuk percaya mengingat komitmen ini sudah puluhan kali terucap. Sudah banyak tumpukan dokumen kebijakan yang disiapkan atau disusupkan ke istana agar SBY bertindak. Sudah banyak pula pialang pemajuan hukum dan HAM di lingkaran istana yang membujuk para pegiat HAM untuk terus meyakinkan sang Presiden. Namun, semua ikhtiar itu hanya berujung pada pengarsipan gagasan tanpa tindakan.
Para pialang kemudian memperoleh kredit politik premium dari Presiden karena dianggap mampu menjalin komunikasi politik dengan berbagai pihak untuk mengatasi masalah bangsa. Akan tetapi, para korban dan keluarganya tetap dalam nestapa.
kliping
ELSAM
Deret impunitasImpunitas terhadap pelaku pelanggaran HAM masih menjadi penghalang serius bagi terpenuhinya hak atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan korban pelanggaran HAM berat. Hingga saat ini, proses penegakan hukum pelanggaran HAM masa lalu berhenti sama sekali. Bahkan, Presiden mengabaikan rekomendasi Panitia Khusus (Pansus) DPR tentang Penghilangan Orang secara Paksa, 28 September 2009, yang memuat empat rekomendasi politik untuk
mendorong penyelesaian kasus penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998.
Pelanggaran HAM berat masa lalu di Aceh, Papua, peristiwa 1965 sama sekali tidak mendapat perhatian pemerintah. Pemerintah dan DPR memang pernah mengupayakan mekanisme penyelesaian melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Namun, UU No 27/2004 tentang KKR ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi tahun 2006.
Kasus Tanjung Priok 1984 secara formal telah diselesaikan di pengadilan melalui pengadilan HAM ad hoc tahun 2003. Namun, hingga kini korban pelanggaran HAM berat gagal
memperoleh kompensasi sesuai amar putusan pengadilan.
Tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, pembunuhan terhadap aktivis HAM Munir, peristiwa Wamena 4 April 2003, dan kasus Wasior 2001, menurut Komnas HAM, adalah kasus pelanggaran berat. Namun, semua itu mandek di Kejaksaan Agung.
Tak ada upaya
Sepanjang periode kepemimpinan SBY, tidak ada upaya signifikan memutus pelembagaan impunitas atas semua peristiwa di atas. Bahkan, 251 aksi Kamisan yang digelar keluarga korban belum mampu menggerakkan pemerintahan SBY untuk menyusun langkah dan bertindak memutus impunitas pelaku pelanggaran HAM.
Pemerintah SBY dengan sengaja menjalankan politik amnesia. Membuat korban putus asa, rakyat lupa, dan pegiat HAM kehilangan fokus. SBY hanya menggunakan isu pelanggaran HAM sebagai alat tawar politik dengan pelaku dan menjadikannya sebagai alat mengatasi lawan-lawan politik setiap kali perhelatan politik digelar.
Padahal, seluruh mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu sesungguhnya sudah amat jelas diatur dalam UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. UU ini memiliki
keterbatasan, tetapi cukup memadai untuk meretas jalan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu jika ditopang kemauan politik kokoh dan tidak basa-basi.
Lakukan dua hal
kliping
ELSAM
Presiden perlu diyakinkan untuk melakukan dua hal di akhir masa kepemimpinannya. Pertama, menangani pelanggaran HAM masa lalu yang secara teknis yudisial sulit dibuktikan menurut ”logika penegak hukum”. Presiden atas nama kepala negara cukup memberi pengakuan dan meminta maaf kepada keluarga korban dan publik.
Kedua, terhadap pelanggaran HAM yang terjadi secara teknis yudisial bisa diperiksa, seperti kasus penghilangan orang, dan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi setelah tahun 2000, Presiden tinggal memprakarsai pembentukan pengadilan HAM ad hoc sekaligus memerintahkan Kejaksaan Agung untuk melakukan penyidikan dan penuntutan.
Selanjutnya, untuk pemajuan akuntabilitas penegakan HAM, SBY perlu membangun kebijakan politik penegakan HAM yang akuntabel dengan menyediakan legislasi yang kondusif.
Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu adalah mandat legal perundang-undangan kita. Oleh karena itu, kewajiban ini melekat pada setiap pemimpin nasional yang berkuasa.
kliping
ELSAM
http://pik.kompas.co.id/tark/detail.cfm?item=21&startrow=26&style=advanced&session=1 353393879955G30S dan Permintaan Maaf
kliping
ELSAM
http://pik.kompas.co.id/tark/detail.cfm?item=1&startrow=51&style=advanced&session=13 53394301267Apa yang Salah dengan G30S/PKI? * Catatan untuk Franz Magnis-Suseno SJ
KOMPAS(Nasional) - Sabtu, 31 Mar 2012 Halaman: 7 Penulis: Sulastomo Ukuran: 6509 Ilustrasi: 1
Apa yang Salah dengan G30S/PKI? Catatan untuk Franz Magnis-Suseno SJ Sulastomo
Pada 17 Oktober 1965, dua minggu setelah peristiwa itu, kami berkeliling di Jawa Tengah. Di Klaten, di tepi sebuah sungai, hati kami tersayat melihat mayat bergelimpangan.
Itulah dampak peristiwa politik yang diawali dengan penculikan dan kemudian pembunuhan pemimpin teras Angkatan Darat oleh Gerakan 30 September pada 1 Oktober 1965 dini hari. G30S ternyata sebuah gerakan kudeta, terbukti dari berbagai pengumuman pemimpin gerakan itu yang membentuk Dewan Revolusi dan menyatakan kabinet demisioner. Dewan Revolusi di pusat akan ditindaklanjuti dengan pembentukan Dewan Revolusi Daerah.
Di Yogyakarta, pembentukan Dewan Revolusi juga disertai pembunuhan Komandan Korem Yogya Kolonel Katamso dan Letkol Soegiono. Di belakang G30S adalah Biro Khusus PKI yang dibentuk Ketua CC PKI DN Aidit. Pengumuman G30S/Dewan Revolusi dipersiapkan oleh Biro Khusus PKI. Wajar jika kemudian G30S diperkenalkan sebagai G30S/PKI meski kemudian dikatakan gerakan itu tak sepenuhnya menjadi kebijakan CC PKI.
CC PKI tidak pernah mengutuk gerakan itu. Begitulah sifat kepemimpinan partai komunis bahwa Ketua CC PKI DN Aidit memiliki wewenang melakukan semua itu. Kalau berhasil, mungkin akan diakui juga sebagai kebijakan semua CC PKI.
Pasca-G30S/PKI sebagaimana kita ketahui terjadi gontok- gontokan, bahkan pembunuhan terhadap saudara-saudara kita yang dianggap anggota PKI atau simpatisannya. Ribuan orang terbunuh atau dibunuh, mayat mereka dibuang ke sungai sebagaimana dikemukakan di atas. Bung Karno sebenarnya berusaha melerai, antara lain, dengan mengharapkan peran Himpunan Mahasiswa Islam. Beberapa kali Pengurus Besar HMI melakukan pertemuan dengan Menteri Dalam Negeri Dr Soemarno membicarakan upaya melerai suasana gontok-gontokan ini. HMI mengirim tim ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun, harus diakui, upaya melerai ini gagal. Masyarakat sudah telanjur terbius suasana membunuh atau dibunuh. Mengapa?
kliping
ELSAM
anti-PKI. Kekuatan anti-PKI satu demi satu dibubarkan, mulai dari Partai Masyumi/PSI, Partai Murba, Gerakan Kebudayaan Manifes Kebudayaan, hingga Badan Pendukung Soekarnoisme yang terdiri atas kalangan pers. Puncaknya tuntutan terhadap pembubaran HMI yang hendak dipaksakan DN Aidit hanya dua hari sebelum G30S/PKI pada rapat umum CGMI yang dihadiri sekitar 10.000 mahasiswa di Istora Senayan di hadapan Bung Karno dan Waperdam Leimena. Baik Bung Karno maupun Pak Leimena menolak tuntutan pembubaran HMI. Suasana politik bertumpu pada Bung Karno, PKI, dan juga Angkatan Darat. Kondisi politik pada waktu itu oleh PKI digambarkan telah ”hamil tua” yang mengindikasikan suatu kejadian luar biasa akan terjadi. Pada 4 Agustus ada berita Bung Karno sakit. Dikabarkan, Bung Karno kemungkinan tak mampu lagi melaksanakan tugas sehari-hari. Siapa yang akan menggantikan Bung Karno? Rumor politik yang beredar, wajar kalau ada spekulasi antara PKI atau Angkatan Darat. Siapa yang mendahului mengambil inisiatif, dialah yang akan memenangi pertarungan politik nasional. Dengan
timbulnya peristiwa G30S/PKI, bisa saja DN Aidit mengambil prakarsa mendahului meski justru berdampak fatal bagi PKI.
Sifat gerakan komunis, antara lain, radikal. Demikian juga di Indonesia. Korban berjatuhan dalam jumlah besar dan sering disertai kebiadaban sebagaimana peristiwa Madiun 1948. G30S/PKI juga dimulai dengan penculikan dan pembunuhan keji. Fenomena inilah yang mewarnai kejiwaan rakyat Indonesia pasca-G30S/PKI sehingga suasana membunuh atau dibunuh muncul di masyarakat.
Korbannya, ribuan anggota dan simpatisan PKI terbunuh atau termarjinalkan di masyarakat. Kalau mereka mahasiswa, kuliahnya dihentikan; kalau pekerja, bisa kehilangan pekerjaannya dan KTP-nya ditandai khusus sehingga kehilangan hak sipilnya. Hukum karma seolah-olah berlaku meski bisa juga dianggap sebagai pelanggaran HAM sehingga niat Presiden SBY meminta maaf, menurut Romo Magnis, perlu didukung.
Secara budaya
Kalau benar Presiden hendak minta maaf atas peristiwa 1965 itu, siapa yang harus meminta maaf ketika partai-partai lawan PKI dibubarkan, pemimpin Masyumi/PSI dipenjarakan tanpa diadili, pemimpin teras TNI/Angkatan Darat diculik dan dibunuh, demikian juga korban peristiwa Madiun 1948? Haruskah Presiden SBY juga minta maaf kepada mereka? Bukankah semua itu juga bisa dianggap sebagai pelanggaran HAM?
kliping
ELSAM
kita. Mas Hardoyo ternyata juga dikebumikan sesuai dengan ajaran agamanya.
Beberapa tahun lalu Presiden SBY menganugerahkan kepada Pak Syafrudin Prawiranegara pahlawan nasional. Dapat dikatakan, Pak Syafrudin bisa mereprentasikan pemimpin Masyumi yang hak-hak sipilnya pernah direnggut. Kebijakan Presiden SBY itu bisa dianggap sebagai penyelesaian dengan pendekatan budaya terhadap pelanggaran HAM yang dialami tokoh Masyumi dan anggotanya yang banyak dipenjarakan tanpa diadili.
Demikian juga langkah anak eks Darul Islam, anak pahlawan revolusi, dan juga anak-anak eks PKI yang berhimpun dalam satu organisasi merupakan pendekatan budaya
penyelesaian pelanggaran HAM yang dipelopori anak-anak kita.
Dengan pendekatan budaya seperti ini dendam di antara sesama warga bangsa dengan sendirinya terkubur. Sebaliknya, minta maaf pada salah satu golongan saja lebih politis sehingga masih meninggalkan implikasi politik. Dengan pertimbangan seperti itu, Presiden SBY tak perlu minta maaf atas kejadian 1965. Pendekatan budaya justru akan lebih memperkukuh upaya rekonsiliasi nasional.
kliping
ELSAM
G30S dan Permintaan Maaf Oleh Franz Magnis-Suseno SJ
Ada berita mengejutkan: Presiden, katanya, mau mengajukan permintaan maaf kepada para korban segala pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Tanah Air sejak Indonesia merdeka. Rencana Presiden ini menuntut sikap kita juga. Kalau di sini saya membatasi diri pada
pelanggaran-pelanggaran pasca-Gerakan 30 September (G30S), itu bukan untuk meremehkan pelanggaran-pelanggaran lain. Namun, semata-mata karena raksasanya jumlah orang yang menjadi korban, kompleksitasnya latar belakangnya, beban ketersentuhan emosional, dan kepekaan yang sampai hari ini masih tersisa dalam masyarakat.
Menghindar dari simplifikasi
Dari luar negeri, kasus pelanggaran kelihatan jelas. Penumpasan sebuah kudeta kok bermuara pada pembunuhan massal terhadap apa saja yang berbau komunis, disusul kebijakan resmi negara yang menghancurkan eksistensi serta menstigmatisasi sebagai manusia terkutuk jutaan masyarakat yang sedikit pun tidak terlibat, dengan ratusan ribu orang ditahan selama lebih dari 10 tahun. Tak dapat diragukan, kejadian-kejadian itu termasuk salah satu kejahatan terbesar terhadap umat manusia di bagian kedua abad ke-20.
Akan tetapi, masalahnya tak sesederhana itu. Kita bisa bertanya: mengapa 46 tahun sesudah peristiwa itu emosi-emosi anti-”PKI” masih begitu kuat; mengapa pengakuan mereka yang pernah ditahan, disiksa, dan dikucilkan merupakan korban begitu sulit? Apakah hanya karena indoktrinasi Orde Baru (misalnya lewat film Pengkhianatan G30S/PKI)?
Sejak 1964, saya studi teologi di Yogyakarta. Waktu itu saya semakin khawatir jangan-jangan Indonesia diambil alih oleh kaum komunis. Kesan saya, masyarakat bukan komunis buta terhadap bahaya itu. Namun, tsunami anti-PKI sesudah G30S menunjukkan bahwa saya keliru. Ternyata PKI dibenci dan ditakuti, tetapi orang tak berani mengungkapkannya karena takut dicap anti-Nasakom, ”komunisto-fobi”, atau—lebih gawat—”antek Nekolim”.
Kita ingat: 1995, Pramoedya Ananta Toer—yang selama 13 tahun ditahan, salah seorang sastrawan Indonesia paling diakui secara internasional—mendapat hadiah Magsaysay. Namun, Mochtar Lubis dan sejumlah sastrawan lain protes keras. Bukan karena mau balas dendam, melainkan karena di tahun-tahun sebelum G30S Pramoedya menjadi penghasut yang
menyerukan ”pengganyangan” terhadap ”kebudayaan Manikebu, komprador, imperialis, dan kontrarevolusi”, ”kebudayaan setan yang seyogianya sudah harus tidak lagi mengotori bumi Indonesia”.
Pramoedya hanya salah satu. Pada tahun-tahun itu semua yang tak tunduk terhadap kebijakan Soekarno yang pro- PKI dihantam dan diancam. PKI menyerukan pengganyangan ”tujuh setan desa” dan ”tiga setan kota”, para lawan politiknya dicap ”Masyumi”. Masyumi sendiri yang pada 1960 dilarang Presiden Soekarno difitnah sebagai musuh revolusi. CGMI menyerukan
kliping
ELSAM
anti-PKI itulah yang meledak sesudah G30S.
Sekarang sudah hampir pasti (baca buku John Roosa) bahwa G30S memang dirancang oleh Aidit dan bukan sekadar gerakan beberapa opsir kiri Angkatan Darat (versi PKI dan Cornell Paper tulisan kondang McVey/Anderson). Betul, ”kebijakan” Aidit ini tidak disahkan oleh Politbiro PKI. Kebijakan politik komunis umumnya memang tak ditentukan dalam politbiro, tetapi langsung oleh pimpinan/sekretaris jenderal partai. Bukankah selama September 1965 orang-orang PKI bicara tentang ”revolusi yang hamil tua”? Bukankah kader Pemuda Rakyat disuruh siap-siap?
Yogyakarta pada 1 Oktober 1965 diambil alih oleh Dewan Revolusi. Kami waktu itu belum tahu bahwa pengambilalihan itu terjadi dengan membunuh Komandan Korem Kolonel Katamso dan anggota stafnya, Letkol Sugiono. Pada 4 Oktober, kami mendengar, mereka yang diculik ternyata langsung dibunuh (suatu brutalitas yang sulit dimengerti: masak sandera dibunuh sebelum coba diadakan perundingan). Saya langsung teringat kebrutalan komunis di sekian negara di dunia. Kesan saya, orang-orang di Yogyakarta diliputi rasa waswas, seakan-akan tahu ada darah mengalir dan akan ada darah mengalir lagi. Mereka masih ingat peristiwa Madiun, 17 tahun sebelumnya, saat PKI membunuh sekitar 4.000 orang non-kombatan.
Akhir Oktober 1965, saya membaca di koran bahwa di Banyuwangi ditemukan sumur berisi 80 mayat santri. Di Yogya, RPKAD sudah sejak 20 Oktober melakukan pembersihan terhadap ”PKI”, didukung masyarakat yang antikomunis. Banyak tokoh komunis dieksekusi. Di Jawa Timur, dan sejak Desember juga di Bali dan tempat lain, para pemuda mulai membunuhi orang-orang PKI. Pembunuhan itu berlangsung sampai Februari 1966. Taksiran jumlah terbunuh setengah juta dianggap realistis.
Mengerikan? Betul! Namun, sindiran Roosa bahwa pembunuhan itu policy terencana Soeharto saya anggap naif. Pembunuhan-pembunuhan itu—di mana militer memang sangat terlibat— merupakan akibat segala ketegangan yang terakumulasi selama tahun-tahun sebelumnya yang menciptakan situasi yang oleh Mohammad Roem disebut ”mereka atau kami”.
Hal yang sepenuhnya jadi tanggung jawab Soeharto adalah kebijakan resmi negara sesudah 11 Maret 1966. Suatu kebijakan yang sama sekali tak perlu karena PKI sebagai kekuatan politik sudah hancur, sedangkan seorang pemimpin yang bertanggung jawab seharusnya mengusahakan
rekonsiliasi. Dasar kebijakan yang diambil justru sebaliknya: menciptakan rasa benci dan dendam gelap, yaitu penghancuran kehidupan serta stigmatisasi ”orang-orang terlibat/tak bersih lingkungan” itu sebagai warga-bangsa yang jahat.
Sudah tiba waktunya
Sekarang, 46 tahun kemudian, sudah tiba waktunya kita berani menghadapi kenyataan dan mengambil sikap yang bermartabat. Betul bahwa latar itu membuat kita mengerti mengapa sampai terjadi sesuatu yang sedemikian mengerikan. Kompleksitas itu membungkamkan stigmatisasi bangsa Indonesia pasca-1965 sebagai bangsa pembunuh oleh luar negeri.
kliping
ELSAM
menyebut jahat apa yang jahat. Secara sederhana: Betapa pun suasana politik waktu itu dipenuhi permusuhan dan saling mengancam karena mengganasnya wacana PKI, tetapi meluasnya reaksi anti-G30S menjadi pembunuhan liar besar-besaran—apalagi rancangan pemerintahan
Soeharto—tidak dapat dibenarkan. Kita perlu mengakui hal itu.
Oleh karena itu, kalau Presiden mau minta maaf atas segala pelanggaran hak-hak asasi manusia pada masa lampau, termasuk atas pelanggaran hak-hak asasi dalam tsunami antikomunis pasca-G30S, mari kita dukung!
Dengan minta maaf kita akan dibebaskan dari sisa kebencian dan dendam warisan pemerintahan Soeharto. Kita tahu, orang yang hatinya masih ada dendam dan benci tak dapat menghadap Pencipta dengan rasa baik. Kita pun ikut bersalah. Bersalah karena kita tidak menyebutkan jahat apa yang jahat, bersalah karena tidak mengakui para korban sebagai korban. Permintaan maaf akan membebaskan hati kita juga.
Franz Magnis-Suseno SJ
kliping
ELSAM
DESAKAN UNTUK MEMBENTUK KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASISelasa, 10 April 2012
Desakan untuk Membentuk Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi
Senin, 09 April 2012 22:14 WIB
BANDA ACEH - Gubernur terpilih Aceh nanti diminta memperhatikan korban pelanggaran HAM dan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sesuai Kesepakatan Helsinki. Sejumlah korban pelanggaran HAM menilai calon Gubernur/Wakil gubernur yang mengikuti pemilu kepala daerah pada Senin (09/04/12) tidak memperhatikan korban pelanggaran HAM di masa Daerah Operasi Militer dan masa darurat militer serta sipil di Aceh.
Korban pelanggaran HAM Zukilfli Ibrahim mengatakan dalam debat dan kampanye tidak terlalu terlihat bagaimana komitmen para calon mengenai penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masa konflik Aceh.
"Kami berharap gubernur terpilih nanti melaksanakan isi MOU Helsinki yang antara lain mengatur tentang pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, KKR," kata Zulkifli. Pada tahun 1992, Zulkifli yang merupakan Desa Blangdhod Kecamatan Tangse Kabupaten Pidie mengalami penyiksaan oleh aparat karena dituduh sebagai penyebab kekalahan Partai Golkar dalam pemilu di wilayah tersebut.
"Saya dianggap provokator yang membuat Golkar kalah, saya digantung dengan kepala di bawah selama tiga hari di Pos Kopassus di Tangse" jelas Zulkifli.
Padahal Zukifli mengaku dia tidak aktif dalam partai politik manapun. Setelah dibebaskan dia pun merantau keluar Aceh.
Zulkifli pun harus kehilangan sejumlah keluarganya selama konflik Aceh.
Sementara itu Nurmah warga Desa Raya Sanggeue Kecamatan Pidie, Kabupaten Pidie setiap malam mendapatkan ancaman pada tahun 1991, sehingga pindah ke Aceh Tamiang.
Ketika dalam pengungsian itu, Nurmah kehilangan Suami dan Anak laki-lakinya yang tewas karena ditembak aparat.
kliping
ELSAM
Nurmah juga mendapatkan serangan teror selama lebih dari sepuluh tahun dan baru berakhir setelah perjanjian damai pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka GAM, pada 2005 lalu.
"Kami hanya ingin mendapatkan pengakuan dari pemerintah bahwa memang ada pelanggaran HAM dan pembentukan KKR, apabila tidak terlaksana, mungkin kejadian yang telah berlalu itu akan berulang kembali itu mengapa harus ada KKR harus ada pngadilan HAM, " kata Nurmah.
Qanun KKR
Minggu (08/04) dua orang korban pelanggaran HAM lainnya yaitu Musliadi dan Umar Usman, keduanya dari Kabupaten Pidie juga mengungkapkan keinginan yang sama.
Keduanya pernah dipenjara karena dituduh membantu GAM, dan sempat dipenjara sampai diberikan amnesti pada 2005 lalu. Sekarang aktif di organisasi korban pelanggaran Ham SPKP HAM.
Destika Gilang dari Kontras Aceh menilai komisi rekonsiliasi ini sudah harus dibuat secepatnya. Penyelesaian pelanggaran HAM di Aceh melalui Mekanisme Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi merupakan bagian dari Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki, 15 Agustus 2005. Point 2.3. MoU menyebutkan "Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi".
Pembentukan KKR juga dimasukan dalam UU Pemerintahan Aceh kata Destika Gilang seraya mendesak DPRA untuk menyelesaikan Qanun KKR yang telah menjadi prioritas pembahasan pada tahun ini.
"Dalam UU Pemerintahan Aceh kan jelas bahwa satu tahun setelah UU PA disahkan sudah harus terbentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan sudah enam tahun perjanjian damai belum di bentuk juga," kata dia.
Gilang mengatakan meski koalisi NGO juga sudah menyusun rancangan KKR dan telah menyerahkan kepada legislatif, terakhir pada 2010 lalu.
Dalam draf RUU KKR yang disusun masyarakat sipil antara lain mendesak pengakuan negara bahwa ada pelanggaran HAM di Aceh dan reparasi terhadap para korban.
Koalisi Organisasi Non Pemerintah NGO mencatat sekitar 1.350 orang menjadi korban
kliping
ELSAM
http://www.merdeka.com/peristiwa/ketua-komnas-ham-mangkir-korban-tragedi-6566-kecewa.html Selasa, 8 Mei 2012 21:09:03Ketua Komnas HAM mangkir, korban tragedi 65/66 kecewa
Aksi KontraS tuntut penyelesaian kasus 65. merdeka.com/Mustiana KATEGORI
Reporter: Mustiana Lestari
Dipegang kuat-kuat poster tuntutannya. Napasnya tertahan dan dadanya naik turun. Bapak tua itu berteriak geram.
"Kami minta keadilan. Kita sudah tua kami tidak minta uang. Kami minta hak kami!" teriaknya. Kekecewaannya memuncak saat diberitahu pimpinan sidang mangkir dari paripurna Komnas HAM tentang penyelesaian tragedi 65/66.
Bapak tua bernama Zubaidi Hasan ini pantas kecewa karena sudah jauh-jauh datang tapi paripurna yang seyogyanya memutuskan masa depan dia dan keluarganya, harus ditunda lagi hingga 4,5,6 Juni mendatang.
Kekecewaan dan rasa marah korban tragedi 66/65 bersama Kontras segera diredam oleh beberapa petinggi komnas Ham lain. Mereka mengatakan sang ketua Ifdhal Kasim serta Ridha Saleh tidak hadir karena undangan mendadak.
"Pak Ifdal bersama Ridha Saleh tidak hadir karena ada undangan mendadak dari Dubes di Kuala Lumpur tentang TKI yang konon organnya dicuri" ujar Yosef Adi Prasetyo selaku wakil ketua Komnas HAM dan anggota tim penyidik.
kliping
ELSAM
keputusannya tidak menyeluruh.
"Ada usulan pak ketua harus tetap hadir kalau utuh jadi keputusan bersama. sehingga diusulkan kalau begitu harus ada rapat khusus, Ditetapkan 4,5,6 Juni." Imbuhnya lagi.
Yosef atau yang akrab disapa Stanley ini berjanji akan mengunci rapat tersebut sehingga
dipastikan semua pimpinan akan hadir. Jikalau memang ketua ataupun anggota lainnya mangkir maka keputusan tetap akan diambil.
kliping
ELSAM
http://www.merdeka.com/peristiwa/tragedi-6566-masih-jadi-isu-sensitif-di-indonesia.html Selasa, 8 Mei 2012 16:48:20Tragedi 65/66 masih jadi isu sensitif di Indonesia
Aksi KontraS tuntut penyelesaian kasus 65. merdeka.com/Mustiana KATEGORI
Peristiwa
TAG
Komnas ham Ham
1
Reporter: Mustiana Lestari
Belum ada keputusan dan penyelesaian resmi dari Komnas HAM terkait tragedi kemanusiaan 65/66. Padahal sudah 4 kali mereka duduk bersama di paripurna.
Sebagai pimpinan tim penyidik Komnas HAM, Nurkholis menyebut tragedi ini sebagai tragedi yang berat dan sensitif. Dalam 4 tahun penyidikannya, dia telah menanyai 350 saksi dan menerima ribuan dokumen.
"Masalah ini masih sensitif di Indonesia dan memang berat. Tim sudah menyelesaikan 850 halaman laporan pokok. Ada ribuan dokumen rata-rata ada 10 halaman tiap saksi, yang semua jumlahnya 350-an," terang Nurkholis kepada wartawan di Jakarta, Selasa (8/5).
Ketua yang memimpin 18 orang tim penyidik ini telah menjelajahi 6 tempat guna menyelidiki kebenaran tragedi tersebut. Tempat-tempat itu antara lain Medan-Jl Gandhi, Moncong Loe-Sulsel, Palembang-Pulau Kemarau, Denpasar-Penjara Gianyar, Momera-Sika, Ambon- P buru Ketika ditanya akankah ini akan menjadi pelanggaran HAM berat, pria yang sudah banyak membongkar pasang anggotanya ini setuju namun itu belum resmi menjadi keputusan Komnas HAM.
"Memang terjadi pembunuhan, pemerkosaan, Secara pribadi tidak membantah ini pelanggaran HAM berat" tegasnya lagi.
kliping
ELSAM
pelanggaran Ham berat, jika tidak minimal akan dikeluarkan rekomendasi.
kliping
ELSAM
http://cetak.kompas.com/read/2012/05/31/01555029/minta.maaf.bukan.proses.akhir
Kamis, 31 Mei 2012
KASUS PELANGGARAN HAM
Minta Maaf Bukan Proses Akhir
RZF
Albert Hasibua
Jakarta, Kompas - Dewan Pertimbangan Presiden masih mengkaji formulasi yang tepat dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Solusi diharapkan bisa bersifat komprehensif.
”Memang belum ada formulasinya, tapi kami mengharapkan dengan presiden sebagai kepala negara minta maaf akan pelanggaran HAM masa lalu, bisa memacu saling memaafkan di dalam masyarakat,” kata anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Albert Hasibuan, Rabu (30/5), seusai pertemuan dengan tokoh-tokoh agama.
Hadir dalam pertemuan itu Syaiful Bahri dari Muhammadiyah, Kacung Marijan dari Nahdlatul Ulama, Andreas Yewangoe dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), dan Yanto Jaya dari Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat. ”Dengan presiden minta maaf, jadi selesai beban sejarahnya,” kata Albert.
Ia mengatakan, setelah permintaan maaf presiden, akan dibentuk komite ad hoc. Komite itu yang akan membuat daftar para korban pelanggaran masa lalu. Setelah itu, masih ada berbagai
pendapat. Pertama, tidak ada lagi proses hukum berupa pengadilan. Kedua, tetap ada proses hukum. ”Masih dalam pembahasan,” katanya.
Kontekstual
Kacung Marijan mengatakan, kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu harus dipahami secara kontekstual.
Ia mencontohkan, peristiwa di sekitar tahun 1965 harus dipahami konteksnya dan latar
sejarahnya. Solusi yang diajukan juga tidak bisa semata-mata dengan proses hukum. Pasalnya, ada kebijakan negara dan persoalan yang disamarkan. Oleh karena itu, di atas hukum dan politik harus ada solusi dari hati ke hati dari pihak-pihak yang terlibat.
kliping
ELSAM
KonsiliasiKetua Pansus Orang Hilang DPR Effendi Simbolon mengatakan, konsiliasi adalah proses yang manusiawi. Namun, ia menegaskan konsolidasi tidak bisa dilakukan tanpa ada proses hukum. ”Minimal ada proses pengadilan,” katanya.
kliping
ELSAM
http://cetak.kompas.com/read/2012/07/18/03242443/syarat.rekonsiliasi.tinggalkan.masa.lalu TOKOH ASIA TENGGARASyarat Rekonsiliasi: Tinggalkan Masa Lalu
KOMPAS/RIZA FATHONI
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (kiri) disambut mantan Deputi Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, mantan Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta, dan mantan PM Thailand Thaksin Shinawatra (dari kanan ke kiri) pada pembukaan forum dan jurnal Strategic Review di Jakarta, Selasa (17/7). Strategic Review adalah jurnal triwulan yang berisi kumpulan tulisan mengenai masalah-masalah kepemimpinan, kebijakan, dan hubungan internasional.
JAKARTA, KOMPAS - Syarat tercapainya rekonsiliasi di suatu negara adalah saat semua pihak di negara tersebut bersedia melangkah ke depan dan meninggalkan masa lalu tanpa melupakan sejarah sebagai sebuah pelajaran.
Demikian benang merah diskusi bertema ”Perdamaian dan Rekonsiliasi di Asia Tenggara” yang menghadirkan panelis tiga tokoh Asia Tenggara, yakni mantan Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta, mantan Perdana Menteri (PM) Thailand Thaksin Shinawatra, dan mantan Deputi PM Malaysia yang juga tokoh reformasi Malaysia, Anwar Ibrahim, di Jakarta, Selasa (17/7).
Ramos Horta mengatakan, ia pernah berkata kepada rakyat Timor Leste bahwa satu-satunya cara untuk melangkah ke depan adalah dengan menutup lembaran sejarah 1974-1999 saat Timor Leste masih menjadi bagian Indonesia.
”Lihat saja hubungan antara Indonesia dan Timor Leste, bagaimana kami waktu itu, dan
bagaimana kami saat ini. Dalam 10 tahun terakhir, kami masih menghadapi masalah rumit, tetapi sudah tidak ada lagi perselisihan besar,” ujarnya.
Sementara Thaksin mengungkapkan perkembangan situasi di Thailand, yang pernah dilanda konflik politik tajam, yang membuat ia terguling dari kursi PM dan terasing di luar Thailand hingga saat ini. Menurut dia, hingga saat ini masih ada sebagian pihak di Thailand yang menolak dia kembali.
”Saya juga tidak ingin kembali jika itu hanya akan menambah masalah (di Thailand),” tutur Thaksin seusai acara diskusi.
kliping
ELSAM
Menurut Thaksin, ia hanya ingin negaranya sejahtera. Itu hanya bisa dicapai jika semua pihak tak memikirkan diri sendiri serta belajar memaafkan dan memikirkan kepentingan rakyat.
”Saya baru saja mengunjungi Hiroshima (Jepang). Ribuan orang mati di sana karena bom atom. Tetapi, rakyat di sana tahu bagaimana cara memaafkan. Mereka kini berteman dengan Amerika yang mengebom kota mereka,” ungkap Thaksin.
Sementara Anwar Ibrahim mengatakan, di Malaysia tidak ada konflik terbuka yang terjadi, seperti yang terjadi di Thailand atau Timor Leste. Namun, ada beberapa hal yang tak bisa dilakukan di Malaysia, sementara di negara lain hal itu bisa dilakukan dengan bebas, seperti mengungkapkan pendapat secara jujur dan terbuka.
kliping
ELSAM
http://pik.kompas.co.id/tark/detail.cfm?item=22&startrow=76&style=advanced&session=1 353394454455Pelanggaran HAM Berat: Presiden: Wajib Selesaikan Semua
KOMPAS(Nasional) - Kamis, 26 Jul 2012 Halaman: 4 Penulis: Fer; Ato; faj; Why Ukuran: 2454 Foto: 1
Pelanggaran HAM berat
Presiden: Wajib Selesaikan Semua
Jakarta, Kompas — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, negara punya kewajiban moral menyelesaikan semua pelanggaran HAM seadil-adilnya. Namun, solusi tersebut juga harus dapat diterima oleh semua pihak.
”Saya mempelajari solusi di Afrika Selatan, Kamboja, Bosnia, dan sebagainya yang modelnya berbeda-beda. Solusinya memang berbeda-beda, tetapi ada solusi yang bisa diterima semua pihak,” ujar Presiden di Kantor Kejaksaan Agung, Rabu (25/7).
Untuk solusi yang dapat diterima semua pihak, apa yang terjadi harus dilihat jernih, jujur, dan obyektif. ”Semangatnya tetap melihat ke depan. Selesaikan secara adil,” tuturnya.
Ia menjelaskan, rekomendasi Komisi Nasional HAM mengenai peristiwa 1965-1966 akan dipelajari Jaksa Agung Basrief Arief. ”Saya berharap bisa berkonsultasi dengan DPR, DPD, MPR, dan semua pihak,” ujarnya.
Basrief mengatakan, kejaksaan akan meneliti laporan Komnas HAM mengenai pelanggaran HAM berat 1965-1966. ”Nanti akan dilihat, apakah buktinya cukup atau tidak untuk
ditindaklanjuti,” kata Basrief. Tak ada komitmen
Sementara itu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Haris Azhar dan Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim menilai, Presiden Yudhoyono tidak memiliki perhatian dan komitmen kuat menyelesaikan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM yang berat. Jika memiliki komitmen, Presiden dapat mendorong pembentukan pengadilan HAM ad hoc atau membuat kebijakan rekonsiliasi, termasuk merehabilitasi dan memberi kompensasi kepada korban.
DPR pernah memberikan rekomendasi kepada pemerintah, yakni membentuk Pengadilan HAM ad hoc untuk memeriksa kasus terkait orang hilang. Akan tetapi, menurut Haris, rekomendasi itu tidak ditindaklanjuti pemerintah.
kliping
ELSAM
dan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat dengan cara-cara politis melalui
rekonsiliasi. (Fer/Ato/Faj/Why) Image :
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
kliping
ELSAM
http://www.harianterbit.com/2012/07/31/darmonorekonsilisasi-penyelesaian-kasus-1965/ Selasa, 31 Juli 2012 17:44 WIBDarmono: Rekonsilisasi, Penyelesaian Kasus 1965
Haris — HARIAN TERBIT
AKARTA-Temuan Komnas HAM terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam peristiwa 1965,bisa diselesaikan melalui rekonsiliasi atau penyelesaian di luar pengadilan. “Namun rekonsiliasi haruslah ada bukti-bukti pelanggaran yang dilakukan aparat pemerintah,” katanya di Jakarta, Selasa (31/7).
Sebelumnya, Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Peristiwa 1965–1966 setelah melakukan pekerjaannya selama empat tahun, menyimpulkan bahwa adanya dugaan pelanggaran tersebut benar terjadi.
Komnas HAM meminta Jaksa Agung untuk memulai penyelidikan resmi berdasarkan temuan dan untuk membentuk Pengadilan HAM “ad hoc” untuk membawa pelaku ke pengadilan sebagaimana diatur UU Pengadilan HAM.
Menurut dia, penyelesaian melalui pengadilan dengan menggunakan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), tidak bisa dilakukan atau tidak bisa retroaktif. “Kecuali pada kasus Timor Timur (Timtim) dan kasus Tanjung Priok,” katanya. Jadi, ia menambahkan untuk kasus 1965 itu, tidak bisa terjangkau dengan membentuk pengadilan ad hoc.
“Kalau 1965 itu agak sangat jauh dari landasan hukum kita, lemahlah,” atanya.Kendati demikian, pihaknya akan tetap mengevaluasi hasil temuan penyelidikan Komnas HAM tersebut.
Sebelumnya, Amnesty Internasional meminta Jaksa Agung menyelidiki temuan Komnas HAM terkait dengan dugaan pelanggaran HAM yang bisa dianggap kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan dalam konteks Kudeta 1965 yang gagal.
kliping
ELSAM
http://nasional.kompas.com/read/2012/08/02/02503424/Kejagung.Teliti.Pelanggaran.HAM.Berat .1965PELANGGARAN HAM
Kejagung Teliti Pelanggaran HAM Berat 1965 Kamis, 2 Agustus 2012 | 02:50 WIB
Jakarta, Kompas - Kejaksaan Agung masih meneliti laporan penyelidikan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengenai adanya dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi pada 1965-1966. Kejagung membentuk tim untuk meneliti laporan Komnas HAM tersebut.
”Kami masih meneliti laporan itu,” kata Jaksa Agung Basrief Arief, kemarin di Jakarta.
Hasil penelitian Kejagung akan menentukan apakah kasus pelanggaran HAM berat tahun 1965-1966 akan ditingkatkan ke tahap penyidikan atau tidak.
Jika diputuskan untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan, Kejaksaan Agung membutuhkan pengadilan HAM ad hoc mengingat kasus tersebut terjadi sebelum adanya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pengadilan HAM ad hoc diperlukan Kejaksaan Agung untuk meminta izin melakukan upaya hukum seperti penggeledahan dan penyitaan
selama proses penyidikan.
”Untuk kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000 diperlukan pengadilan HAM ad hoc,” kata Basrief.
Berdasarkan UU 26/2000, pengadilan HAM ad hoc dibentuk berdasarkan persetujuan DPR dan Presiden.
Sementara itu, Mantan Jaksa Agung Abdul Rachman Saleh mengatakan, persoalan pembentukan pengadilan HAM ad hoc merupakan masalah yang terus menjadi polemik. Seharusnya DPR dan pemerintah tidak hanya menyetujui pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk beberapa kasus, tetapi juga untuk pelanggaran HAM berat lainnya yang terjadi di masa lampau.
Pengadilan HAM ad hoc sebelumnya pernah dibentuk untuk mengadili kasus pelanggaran HAM di Timor Timur dan Tanjung Priok. (faj)
kliping
ELSAM
http://cetak.kompas.com/read/2012/08/08/02171856/ham.masa.lalu.jalan.berliku.ala.sby Rabu,08 Agustus 2012HAM Masa Lalu, Jalan Berliku ala SBY
Haris AzharDi kantor Kejaksaan Agung, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 25 Juli 2012, kembali
membuat pernyataan yang meminta Jaksa Agung mempelajari berkas hasil penyelidikan Komnas HAM atas kasus 1965 dan penembakan misterius 1982-1985.
Pernyataan ini semakin menambah daftar panjang ambiguitas sikap presiden terhadap kasus masa lalu meski di sisi lain memperpanjang harapan keadilan di Indonesia.
Empat tahun lalu, 20 Maret 2008, saat menerima para korban pelanggaran HAM, Presiden SBY juga membuat pernyataan serupa: bahwa pemerintahan akan mencari solusi terbaik untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu.
Dalam kesempatan tersebut, para perwakilan korban menyampaikan harapannya atas kasus-kasus mereka. Ibu Sumarsih, ibunda Wawan, mahasiswa Atma Jaya korban Semanggi I, meminta agar proses hukum hasil penyelidikan Komnas HAM diteruskan oleh Kejaksaan Agung.
Azwar Kaili, korban Talangsari Lampung 1989, menyampaikan bahwa masih terjadi diskriminasi terhadap para korban dan masyarakat di Dusun Talangsari. Desa mereka tidak dibangun layaknya desa-desa tetangga.
Irta Soemirta, korban Tanjung Priok 1984, juga menyatakan bahwa pengadilan HAM atas kasus Tanjung Priok justru membebaskan para pelakunya.
Zig-zag
Pernyataan presiden bisa menjadi awalan positif sejalan dengan prinsip hukum hak asasi manusia. Bahwa negara adalah penanggung jawab pemulihan dari kejahatan kemanusiaan. Pemulihan artinya penegakan hukum yang jujur dan adil, memperbaiki kondisi korban, keluarga dan masyarakat yang terkena dampak kejahatan tersebut dan memastikan bahwa kejahatan tersebut tidak berulang.
Lewat dari 2008, kemajuan justru datang dari DPR yang merekomendasikan penyelidikan atas kasus penghilangan aktivis 1997-1998. Dalam rekomendasinya, DPR meminta presiden segera mengeluarkan Keppres Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc, memperbaiki kondisi korban dan keluarga korban, mencari mereka yang masih hilang dan segera meratifikasi konvensi
kliping
ELSAM
Presiden justru meminta Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan mencari format penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu. Djoko Suyanto sebagai Menko Polhukam diminta memfasilitasi upaya perumusan penyelesaian.
Patut dipertanyakan apa motif di balik permintaan tersebut? Karena Menko Polhukam tidak memiliki mandat yudisial untuk menangani kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, dibandingkan Jaksa Agung yang secara jelas tugasnya diatur dalam UU Pengadilan HAM. Hasil lain yang masih belum kelihatan adalah penunjukan Denny Indrayana sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM pada 2011. Menurut Denny, salah satu tugasnya adalah mencari rumusan terbaik dalam penuntasan kasus masa lalu. Tugas serupa disampaikan ke Albert Hasibuan, saat diangkat jadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden, 2011.
Wajar jika kemudian Ombudsman Republik Indonesia (ORI) pada 2012 membuat kesimpulan bahwa ada mala-administrasi oleh Presiden SBY, dengan tidak meneruskan rekomendasi kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa 1997-1998.
Kesempatan terakhir?
Dalam konsep hak asasi manusia, pengakuan negara merupakan salah satu pilar penting dalam kewajiban menangani peristiwa pelanggaran HAM. Namun, hal ini tidak cukup. Negara harus menindaklanjutinya dengan perumusan aturan hukum yang menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa itu adalah kejahatan. Kejahatan tersebut kemudian diuji lewat proses hukum ataupun nonhukum dengan memenuhi prinsip-prinsip akuntabilitas sehingga hasil kerja dan
rekomendasinya memiliki integritas dan implementatif.
Dengan gambaran di atas, Presiden SBY dan pemerintahannya selama delapan tahun ini baru sampai pada tahap pengakuan verbal belaka. Berbagai berkas pelanggaran HAM berat hanya semakin menumpuk di kantor Kejaksaan Agung. Artinya, ada keberanian dari Kejaksaan Agung untuk mendiamkan kasus-kasus tersebut dan secara tidak langsung hal ini ternyata direstui oleh Presiden.
Sisa pemerintahan SBY tinggal dua tahun lagi menuju 2014. Masih ada sedikit kesempatan buat SBY untuk mengukir namanya agar bisa mendekati Vaclav Havel dan Nelson Mandela, yang berhasil membawa bangsanya keluar dari beban masa lalu.
Yang perlu dilakukan SBY adalah meminta Jaksa Agung segera membentuk tim penyidik atas berbagai berkas pelanggaran HAM. Permintaan ini bukan intervensi, melainkan sebuah tanggung jawab pimpinan terhadap Jaksa Agung untuk bekerja sesuai aturan perundang-undangan.
kliping
ELSAM
Identitas Indonesia hari ini dan hari depan diukur dari seberapa besar keberanian pemimpinnya menghadapi para penjahat. Jangan sampai para penjahatlah yang justru menjadi pemimpin bangsa kita pada masa depan.
kliping
ELSAM
http://pik.kompas.co.id/tark/detail.cfm?item=4&startrow=101&style=advanced&session=1 353394580377Papua: Amnesti Tapol Jadi Kunci
KOMPAS(Nasional) - Kamis, 09 Aug 2012 Halaman: 5 Penulis: FER Ukuran: 1764 papua
Amnesti Tapol Jadi Kunci
Jakarta, Kompas — Pengampunan atau amnesti terhadap tahanan politik di Papua menjadi kunci
rekonsiliasi dan membangun kepercayaan antara pemerintah dan masyarakat Papua dalam dialog damai Papua. Oleh karena itu, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono perlu diyakinkan untuk dapat memberikan amnesti kepada tahanan politik Papua.
Hal itu diungkapkan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Muridan, dalam diskusi bertema ”Kontroversi Tahanan Politik Papua”, di Jakarta, Rabu (8/8). Hadir sebagai pembicara antara lain Koordinator Jaringan Damai Papua Neles Tebay, peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Papang Hidayat, dan pemerhati tapol Gustav Dupe.
”Pembebasan atau amnesti terhadap tapol penting dan menjadi tanda positif untuk rekonsiliasi dan membangun dialog damai Papua,” kata Muridan.
Neles Tebay menambahkan, adanya tapol di Papua menunjukkan masalah politik masih ada di Papua. ”Kalau masalah mendasar yang menyebabkan adanya tapol tidak diselesaikan melalui dialog akan ada banyak tapol di Papua,” tuturnya.
Neles mencontohkan pengibaran bintang kejora dianggap makar. Ia mempertanyakan apakah orang yang mengibarkan bendera bintang kejora harus ditangkap. ”Itu tidak menyelesaikan masalah,” katanya.
Koordinator National Papua Solidarity (Napas) Marthen Goo mengatakan, dari catatan Napas ada 47 tapol di Papua. Suara tapol Papua selama ini tidak disuarakan. Diskusi tapol Papua merupakan salah satu upaya untuk menyuarakan suara tapol Papua.
Papang menambahkan, ekspresi politik sebenarnya tidak dapat dipidanakan sejauh aspirasi itu diungkapkan secara damai dan tidak diungkapkan dengan suatu perbuatan pidana. (FER)
http://www.harianterbit.com/2012/08/22/kosgoro-tolak-buka-lembaran-kasus-pki/ Rabu, 22 Agustus 2012 16:16 WIB
Kosgoro Tolak Buka Lembaran Kasus PKI
kliping
ELSAM
JAKARTA — Ketua DPP Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro) 1957, Leo Nababan mengatakan negeri ini akan berada diambang kehancuran jika Komisi Nasional HAM tetap ngotot membuka lembaran lama tahun 1965 yang diminta ‘keluarga PKI’.
“Kosgoro dengan tegas menolak usulan Komnas HAM dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ingin mengungkap kembali kasus pelanggaran HAM tahun 1965,” tegasnya, Leo Naababan saat dihubungi Rabu (22/8).
Menurut Leo, keinginan tersebut bertentangan dengan peraturan TAP MPRS RI
No.XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI yang masih berlaku hingga saat ini. “TAP MPRS tentang PKI itu kan belum dicabut. Jadi PKI masih dilarang di republik ini. Sudahlah Komnas HAM tidak usah terlalu jauh,” tegsnya.
Menurutnya, jika kasus itu kembali diungkap, ia khawatir akan terjadi konflik horizontal di tengah masyarakat. Jutaan rakyat Indonesia akan siap membela Pancasila, karena masih ada aturan tentang pelarangan terhadap PKI tersebut.
“Pemulihan nama, diberi kesempatan menjadi PNS, menjadi polisi, hak politiknya dikembalikan, itu kan sudah cukup bagi mantan keluarga PKI. Kenapa harus diungkap dengan dalih
pelanggaran HAM,” tegasnya.
Ia menandaskan ada 127 ormas pendukung Pancasila yang anti komunis tahun 1965 yang tergabung dalam Front Pancasila akan siap menghadang terutama generasi muda Ansor, Nahdatul Ulama bila peristiwa ini, misalnya minta diadili.
kliping
ELSAM
Politisi Golkar ini mengatakan akan mengambil sikap tegas dan mengambil posisi sebagai anti-anti komunis. Leo mengaku gerakan-gerakan di bawah masyarakat siap menghadapi hal tersebut, termasuk Kosgoro 1957.
kliping
ELSAM
http://pik.kompas.co.id/tark/detail.cfm?item=10&startrow=101&style=advanced&session= 1353394580720Kilas Politik & Hukum: Rekonsiliasi di Aceh Belum Tersentuh
KOMPAS(Nasional) - Senin, 03 Sep 2012 Halaman: 2 Penulis: HAN Ukuran: 809 Kilas Politik & Hukum: Rekonsiliasi di Aceh Belum Tersentuh
Dalam Refleksi 7 Tahun Perdamaian Aceh yang digelar Garda Pemuda Nasional Demokrat Aceh di Banda Aceh, Aceh, Minggu (2/9), Sekretaris Panglima Laot Aceh Adli Abdullah mengatakan, perdamaian tujuh tahun di Aceh baru berupa perjanjian damai antara pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh. Padahal, hal yang sangat mendasar dalam masa usai konflik saat ini adalah terciptanya rekonsiliasi antar-rakyat Aceh. "Hanya dengan rekonsiliasi akan tercipta
kliping
ELSAM
http://pik.kompas.co.id/tark/detail.cfm?item=11&startrow=1&style=advanced&session=13 49149298609Kilas Politik & Hukum: Rekonsiliasi di Aceh Belum Tersentuh
KOMPAS(Nasional) - Senin, 03 Sep 2012 Halaman: 2 Penulis: HAN Ukuran: 809 Kilas Politik & Hukum: Rekonsiliasi di Aceh Belum Tersentuh
Dalam Refleksi 7 Tahun Perdamaian Aceh yang digelar Garda Pemuda Nasional Demokrat Aceh di Banda Aceh, Aceh, Minggu (2/9), Sekretaris Panglima Laot Aceh Adli Abdullah mengatakan, perdamaian tujuh tahun di Aceh baru berupa perjanjian damai antara pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh. Padahal, hal yang sangat mendasar dalam masa usai konflik saat ini adalah terciptanya rekonsiliasi antar-rakyat Aceh. "Hanya dengan rekonsiliasi akan tercipta
kliping
ELSAM
http://pik.kompas.co.id/tark/detail.cfm?item=5&startrow=1&style=advanced&session=134 9149298296Papua: Amnesti Tapol Jadi Kunci
KOMPAS(Nasional) - Kamis, 09 Aug 2012 Halaman: 5 Penulis: FER Ukuran: 1764 papua
Amnesti Tapol Jadi Kunci
Jakarta, Kompas — Pengampunan atau amnesti terhadap tahanan politik di Papua menjadi kunci
rekonsiliasi dan membangun kepercayaan antara pemerintah dan masyarakat Papua dalam dialog damai Papua. Oleh karena itu, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono perlu diyakinkan untuk dapat memberikan amnesti kepada tahanan politik Papua.
Hal itu diungkapkan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Muridan, dalam diskusi bertema ”Kontroversi Tahanan Politik Papua”, di Jakarta, Rabu (8/8). Hadir sebagai pembicara antara lain Koordinator Jaringan Damai Papua Neles Tebay, peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Papang Hidayat, dan pemerhati tapol Gustav Dupe.
”Pembebasan atau amnesti terhadap tapol penting dan menjadi tanda positif untuk rekonsiliasi dan membangun dialog damai Papua,” kata Muridan.
Neles Tebay menambahkan, adanya tapol di Papua menunjukkan masalah politik masih ada di Papua. ”Kalau masalah mendasar yang menyebabkan adanya tapol tidak diselesaikan melalui dialog akan ada banyak tapol di Papua,” tuturnya.
Neles mencontohkan pengibaran bintang kejora dianggap makar. Ia mempertanyakan apakah orang yang mengibarkan bendera bintang kejora harus ditangkap. ”Itu tidak menyelesaikan masalah,” katanya.
Koordinator National Papua Solidarity (Napas) Marthen Goo mengatakan, dari catatan Napas ada 47 tapol di Papua. Suara tapol Papua selama ini tidak disuarakan. Diskusi tapol Papua merupakan salah satu upaya untuk menyuarakan suara tapol Papua.
kliping
ELSAM
http://pik.kompas.co.id/tark/detail.cfm?item=15&startrow=1&style=advanced&session=13 53393579158Bangun Rekonsiliasi * Tragedi 1965 Patut Dimaafkan, tetapi Tidak Dilupakan KOMPAS(Nasional) - Selasa, 02 Oct 2012 Halaman: 4 Penulis: FER; WHY; OSA; Ukuran: 3719 Foto: 1
Bangun Rekonsiliasi
Tragedi 1965 Patut Dimaafkan, tetapi Tidak Dilupakan
JAKARTA, KOMPAS — Negara seharusnya melakukan rekonsiliasi soal tragedi 1965.
Rekonsiliasi diperlukan untuk mencari kesalahan dalam perjalanan bangsa sehingga dapat diperbaiki dan tidak terjadi lagi. Rekonsiliasi dapat mewariskan sejarah bangsa yang lebih utuh kepada generasi muda.
Harapan itu disampaikan pengamat militer Agus Widjojo dalam kunjungan ke makam pahlawan revolusi di Taman Makam Pahlawan, Kalibata, Jakarta, Senin (1/10). Hadir antara lain
Sukmawati Soekarno, Amelia Yani, Sarjono Kartosuwiryo, dan Ilham Aidit.
Menurut Agus, salah satu konsep rekonsiliasi adalah pencarian kebenaran. ”Kita tidak mencari siapa benar atau siapa salah, melainkan melihat di mana kesalahan negara ini. Apa yang salah dengan bangsa ini,” katanya.
Hal sama diungkapkan Ilham Aidit. Menurut Ilham, ia kesal karena negara sampai saat ini belum dapat melakukan rekonsiliasi tragedi 1965. ”Saya kesal karena pemerintah tidak bisa
menyelesaikan kasus pelanggaran berat masa lalu,” katanya.
Sukmawati Soekarno mengatakan, pada saat-saat awal Reformasi 1998, tuntutan agar mantan Presiden Soeharto diadili begitu besar. Namun, dalam perjalanan Reformasi, Soeharto tidak pernah diadili.
Kemarin, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memimpin peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur. Hadir Ny Ani Yudhoyono, Wakil Presiden Boediono beserta Ny Herawati Boediono, pimpinan lembaga tinggi negara dan sejumlah menteri.
Dimaafkan, tak dilupakan
kliping
ELSAM
Senior CSIS Harry Tjan Silalahi, dan sastrawan Taufiq Ismail.
”Kita maafkan kesalahan mereka, tetapi kita tidak boleh melupakan peristiwa itu,” ujar Ketua MUI H Amidhan. Fahmi yang juga merupakan Angkatan 66 mengatakan, ”Mungkinkah kekuatan komunis yang telah ditinggalkan penganut setianya seperti China dan Rusia kembali lagi? Mungkin sekali, tetapi dalam format berbeda. Kerusuhan tahun 1998 itu mirip sekali manuvernya dengan komunis. Mereka memiliki sasaran tertentu.”
Menurut Harry, masyarakat pernah terluka akibat gerakan komunis. Karena itu, perlu sikap kehati-hatian dalam menuntaskan peristiwa berdarah itu.
Jaksa Agung Basrief Arief mengakui, penanganan hukum atas tragedi 1965 memiliki tingkat kesulitan tinggi. Hal itu salah satunya karena peristiwa tersebut terjadi hampir 50 tahun yang lalu. Saat ini tim dari Kejaksaan Agung masih terus meneliti berkas perkara dari hasil
penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Terkait tragedi 1965, Komnas HAM sudah menyelesaikan penyelidikan. Komnas HAM menyimpulkan terdapat cukup bukti permulaan untuk menduga telah terjadi kejahatan kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965-1966. (FER/WHY/OSA/ETA)
Image :
KOMPAS/RIZA FATHONI
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta Ny Ani Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Boediono beserta Ny Herawati Boediono meninggalkan lokasi upacara Peringatan Hari
kliping
ELSAM
http://nasional.kompas.com/read/2012/07/23/19283360/Pemerintah.Dituntut.Minta.Maaf.pada.Korba n.65Pelanggaran HAM
Pemerintah Dituntut Minta Maaf pada Korban 65
Penulis : Aditya Revianur | Senin, 23 Juli 2012 | 19:28 WIB
TRIBUN/HERUDINPuluhan aktivis HAM, korban, dan keluarga korban pelanggaran HAM berunjukrasa di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (24/3/2011). Aksi yang mereka sebut Kamisan ini menuntut pemerintah menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Indonesia dituntut oleh Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) untuk meminta maaf kepada korban 65 dan keluarganya atas dasar kejahatan HAM yang terjadi di masa lalu. Permintaan maaf tersebut harus segera dilakukan mengingat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah mengeluarkan
pernyataan, bahwa tragedi kemanusiaan yang terjadi tahun 1965 hingga sesudahnya termasuk pelanggaran HAM berat.
Pemerintah harus meminta maaf kepada para korban 65 dan keluarganya atas kejahatan HAM yang dilakukan atas komando Soeharto sebagai komandan Kopkamtib.
-- Bedjo Untung
"Pemerintah harus meminta maaf kepada para korban 65 dan keluarganya atas kejahatan HAM yang dilakukan atas komando Soeharto sebagai komandan Kopkamtib (Komando Operasi
kliping
ELSAM
Ia mengaku, dirinya turut menjelaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk tidak boleh diam saja menanggapi tuntutan YPKP. Permintaan maaf tersebut, menurut Bendjo, harus
tertuang dalam keputusan Presiden dan ditindaklanjuti ke dalam proses rehabilitasi, reparasi, dan kompensasi untuk korban.
Bedjo menambahkan, apabila kepastian hukum berjalan tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka YPKP akan membawa rekomendasi dari Komnas HAM yang menghendaki Kejaksaan Agung harus melakukan penyelidikan Pro Yustisia agar kepastian hukum berjalan baik ke saluran hukum internasional. Hal tersebut pada nantinya, jika dibawa ke ranah hukum
internasional, akan menempatkan Indonesia pada bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut.
"Jika pemerintahan SBY tidak sungguh-sungguh beritikad baik menyelesaikan permasalahan yang menyangkut tragedi 65, maka akan kami bawa persoalan ini ke dunia internasional agar publik internasional dapat menilai, bahwa betapa buruknya pemerintahan SBY dalam hal penegakan keadilan dan kemanusiaan," tambahnya.
Bedjo turut mendesak Kejaksaan Agung untuk melakukan penyelidikan Pro Yustisia terhadap institusi militer, terutama Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Kopkamtib dinilai terlibat langsung dalam pembunuhan, pemerkosaan, penghilangan secara paksa, perbudakan, dan kejahatan kemanusiaan lainnya yang ditujukan khusus kepada pihak sipil, militer, maupun polisi yang dituduhkan PKI (Partai Komunis Indonesia) maupun simpatisannya.
Tuduhan dari Kopkamtib tersebut, lanjut Bedjo, menurutnya tidak berdasar karena yang ditangkap oleh Kopkamtib pada masa 65 dan sesudahnya tidak pernah diadili ke pengadilan. "Saya dulu ditangkap oleh Kopkamtib karena tergabung dalam organisasi pemuda revolusioner yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan komunisme atau PKI. Justru organisasi pemuda saya itu Soekarnois, tapi saya tetap saja ditangkap tanpa ada pengadilan dan pembersihan nama baik, karena status saya masih Eks Tapol. Kejaksaan Agung harus secepatnya melakukan penyelidikan, karena yang senasib dengan saya banyak dan mungkin lebih buruk keadaannya sekarang karena diskriminasi masyarakat terhadap kami (korban 65) dalam berbagai bidang," tuturnya.
Bedjo menambahkan, bahwa rekokendasi dari Komnas HAM patut untuk ditindaklanjuti
pemerintah agar peristiwa 65 tidak terjadi di masa yang akan datang. Peristiwa 65 dengan korban mencapai hingga 500.000-3000.000 harus segera ditanggapi oleh pemerintah agar diskriminasi terhadap korban tidak terus berjalan.
Selain itu, pembersihan nama baik korban juga harus secepatnya ditanggapi dan menyeret para pelaku yang masih hidup atau sudah meninggal dalam peradilan in absentia secepatnya
kliping
ELSAM
pemerintahan SBY-Boediono untuk mendudukkannya pada porsi kemanusiaan dan kebenaran yang semestinya berada.
Editor :
kliping
ELSAM
http://nasional.kompas.com/read/2012/07/24/09000971/Komnas.HAM.Kopkamtib.Bertanggung.Jawab. dalam.Peristiwa.1965-1966Komnas HAM: Kopkamtib Bertanggung Jawab dalam Peristiwa 1965-1966
Penulis : Aditya Revianur | Selasa, 24 Juli 2012 | 09:00 WIB
DHONI SETIAWAN Gedung Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta Pusat.
JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan, terdapat cukup bukti permulaan untuk menduga telah terjadi sembilan kejahatan kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965-1966. Sembilan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut adalah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa.
Kami menduga bahwa pihak yang patut dimintai pertanggungjawaban atas tragedi 65 adalah Kopkamtib.
-- Nur Kholis
kliping
ELSAM
Jakarta, Senin (23/7/2012). Ia didampingi Wakil Ketua tim ad hoc Kabul Supriadi dan anggota tim, yaitu Johny Nelson Simanjuntak dan Yosep Adi Prasetyo, Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 Bedjo Untung, dan korban tragedi 1965-1966.
Kesimpulan ini diperoleh Komnas HAM setelah meminta keterangan dari 349 saksi hidup yang terdiri atas korban, pelaku, ataupun saksi yang melihat secara langsung peristiwa tersebut. Menurut Nur Kholis, para saksi dari seluruh Indonesia tersebut menyatakan, Kopkamtib melakukan aksi kejahatan atas kemanusiaan itu secara sistematis dan meluas. Jumlah korban diperkirakan 500.000 hingga 3 juta jiwa.
Kejahatan terjadi secara sistematis karena menggunakan pola yang sama. Para saksi
mengungkapkan kejadian berawal dari tempat pemeriksaan Kopkamtib. Setelah itu, korban mengalami tindak penyiksaan, perampasan harta benda, dan pembunuhan. Selain itu ada pula yang ditahan tanpa menjalani proses peradilan dan dikirimkan ke Pulau Buru untuk menjalani perbudakan.
Sementara kejahatan terjadi meluas karena tidak hanya terjadi di Pulau Jawa dan Bali, tetapi di seluruh wilayah Indonesia kecuali Papua karena belum sepenuhnya resmi bergabung dengan Indonesia. Kejahatan yang terjadi secara sistematis dan meluas merupakan syarat terjadinya pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
"Banyak korban adalah orang yang diidentifikasikan PKI dan simpatisannya. Peristiwa 65 dan setelahnya itu mengakibatkan penduduk sipil, tentara, dan polisi jadi korban. Kalau korbannya tentara menurut pengakuan saksi, ada batalion tentara tiba-tiba saja hilang atau semacam
dibersihkan dalam peristiwa itu. Ada pula korban sipil yang dipenjara melihat kelompok anggota tentara mendekam di sebuah sel. Kami menduga pelaku mengetahui secara sadar bahwa yang diakibatkannya adalah pelanggaran HAM berat dan pelaku sadar jika yang diperbuatnya sejalan dengan kebijakan penguasa," paparnya.
Kabul menjelaskan, penyelidikan Komnas HAM merupakan penyelidikan pro justicia
berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Selanjutnya, Komnas HAM merekomendasikan kepada Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti ke tingkat penyidikan.
Sekadar membuka informasi, Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban disingkat
Kopkamtib adalah organisasi yang langsung berada di bawah komando Presiden RI pada saat itu, Soeharto. Kopkamtib dibentuk pada tanggal 10 Oktober 1965 untuk melakukan pembasmian terhadap unsur PKI/Komunis di masyarakat.
Di bawah organisasi ini terdapat serangkaian organisasi militer atau nonmiliter yang melaksanakan tugas dan tujuan Kopkamtib. Berturut-turut pemegang pucuk komando Kopkamtib dari awal berdirinya hingga tahun 1988 adalah Soeharto, Maraden Panggabean, Soemitro, Sudomo, dan Benni Moerdani.
kliping
ELSAM
http://nasional.kompas.com/read/2012/07/25/16332852/Presiden.Minta.Kasus.1965-1966.DituntaskanPresiden Minta Kasus 1965-1966 Dituntaskan
Penulis : Hindra Liauw | Rabu, 25 Juli 2012 | 16:33 WIBSBY
JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan Kejaksaan Agung RI menindaklanjuti kesimpulan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia bahwa ada cukup bukti permulaan untuk menduga telah terjadi sembilan kejahatan kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965-1966. Sembilan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut adalah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa.
"Apa yang disampaikan Komnas HAM tentu akan dipelajari oleh Jaksa Agung. Dan pada
saatnya, karena ini menyangkut masa lalu, saya juga berharap bisa berkonsultasi dengan lembaga negara lain, seperti DPR, DPD, MPR, Mahkamah Agung, dan semua pihak," kata Presiden seusai menggelar Sidang Kabinet di Kejagung, Jakarta, Rabu (25/7/2012).
Presiden mengatakan, pemerintah tak ingin memiliki hutang sejarah kepada rakyat Indonesia. Negara memiliki kewajiban moral dan juga visi politik untuk menyelesaikan semua kasus yang terjadi di Indonesia dengan seadil-adilnya, dan setepat-tepatnya. Terlebih, jika kasus tersebut berkaitan dengan pelanggaran HAM berat.
kliping
ELSAM
Di antara solusi tersebut, Kepala Negara menyebut solusi sistem hukum (justice system), sistem kebenaran (truth system), dan sistem kebenaran dan rekonsiliasi (reconciliation and truth
system). "Kita harus jernih, jujur, dan objektif melihat apa yang terjadi di masa lalu, sebagaimana kita harus jujur pada saat ini dan ke depan. Kita tidak akan memutarbalikkan sejarah dan fakta," kata Presiden.
Sebelumnya, Kejaksaan mengatakan membutuhkan pengadilan HAM ad hoc untuk menyidik kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum 2000, termasuk dugaan pelanggaran HAM berat tahun 1965-1966. Pengadilan ad hoc diperlukan untuk meminta izin melakukan
penggeledahan, penyitaan, dan upaya paksa selama proses penyidikan.
"Untuk kasus yang terjadi sebelum adanya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, diperlukan adanya pengadilan HAM ad hoc," kata Jaksa Agung Basrief Arief di Jakarta, Selasa (24/7/2012).
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Albert Hasibuan, mengungkapkan, apa yang
disimpulkan Komnas HAM merupakan jalan masuk bagi Wantimpres untuk menyusun konsep penyelesaian pelanggaran HAM berat. Konsep ini nantinya akan disampaikan ke Presiden. Terkait kasus tersebut, Komnas HAM juga merekomendasikan hasil penyelidikan dapat diselesaikan melalui mekanisme nonyudisial demi terpenuhinya rasa keadilan bagi korban dan keluarga.
Editor :
kliping
ELSAM
http://www.antarajawabarat.com/lihat/berita/38949/solihin-gp-waspadai-kebangkitan-komunisme
SOLIHIN GP: WASPADAI KEBANGKITAN KOMUNISME
Sabtu, 04 Agst 2012 21:37:59| Politik | Dibaca 542 kali
ANTARAJAWABARAT.com,4/8 - Veteran pejuang '45 Letjen Purn Solihin GP menyatakan, kesenjangan lebar antara golongan kaya dan miskin dan ketiadaan supremasi hukum merupakan lahan subur bagi kebangkitan paham komunisme di Indonesia.
Dalam acara deklarasi menolak ideologi selain Pancasila yang diselenggarakan beberapa organisasi masyarakat di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Sabtu, Solihin menyampaikan pengamatannya bahwa kondisi Indonesia saat ini menyediakan momentum yang tepat bagi kembalinya paham
komunisme di Tanah Air.
"Ada empat kondisi yang bisa menyebabkan bangkit dan tumbuh subur komunisme. Yang pertama adalah tidak ada supremasi hukum sehingga menimbulkan ketidakadilan berkepanjangan di seluruh sektor kehidupan," tutur mantan Gubernur Jawa Barat itu.
Faktor kedua, menurut pria berumur 87 tahun itu, adalah korupsi yang semakin merajalela dan menggurita. Sedangkan yang ketiga adalah situasi yang mudah sekali berkembang menjadi kerusuhan akibat ketidaknyamanan hidup sehari-hari.
"Sedangkan yang keempat adalah kesenjangan lebar antara kaya dan miskin. Ini adalah liang kebangkitan komunisme," ujar Solihin.
Ideologi komunisme seperti paham lain seperti fundamentalisme dan radikalisme, lanjut dia, patut ditolak karena tidak sesuai dengan Pancasila yang digali dari budaya asli Indonesia.
Karena itu, Solihin menganjurkan penanaman kembali nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari sebagai penangkal ampuh ideologi ekstrem kiri maupun ekstrem kanan yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia.
Sementara itu, mantan Wakil KSAD Letjen Purn Kiki Syahnakri menyatakan Pancasila yang dirumuskan para pendiri bangsa merupakan pandangan hidup yang seharusnya menjadi satu-satunya pedoman untuk mewujudkan cita-cita Indonesia berkeadilan sosial.
Pancasila, menurut dia, merupakan perpaduan sempurna antara nilai-nilai lokalitas bangsa Indonesia dan nilai-nilai universal kemanusiaan yang berlaku di seluruh muka bumi.
kliping
ELSAM
http://arrahmah.com/read/2012/09/03/22900-pangdam-jaya-waspadai-bahaya-laten-komunis.html# Senin, 16 Zulqaidah 1433 H / 1 Oktober 2012PANGDAM JAYA : Waspadai bahaya laten Komunis
Bilal
Senin, 3 September 2012 22:35:47
JAKARTA (Arrahmah.com) - Pangdam Jaya Mayjen TNI E. Hudawi Lubis mengingatkan masyarakat agar tetap mewaspadai bahaya komunisme. Patut diingat kejadian pada September 1965 lalu, ketika putra terbaik bangsa gugur karena pemberontakan G 30 S/PKI/
"Paham komunisme tidak pernah mati. Bahkan tetap menjadi bahaya laten, oleh karena itu ideologi komunis perlu diwaspadai karena paham ini dapat saja berubah bentuk dan
tindakannya," jelas Hudawi dalam sambutan sebagai Inspektur Upacara Bendera pada Minggu pertama awal bulan September 2012, seperti disampaikan Kodam Jaya dalam siaran pers, Senin (3/9) seperti dilansir detikcom.
Hudawi menjelaskan, bangsa Indonesia patut bersyukur karena Pancasila tetap tegak sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. Meski demikian, segala macam bahaya laten harus
diwaspadai.
"Untuk itu, agar mewaspadai hal-hal yang berkaitan dengan bahaya laten komunis yang dapat muncul dalam bentuk organisasi baru, sehingga pengalaman pahit sejarah bangsa ini tidak sampai terulang kembali," tutur Hudawi.
Selain itu juga, menyambut Pilgub pada 20 September mendatang, TNI telah menyiapkan pengamanan terkait Pilgub DKI. Langkah antisipatif disiapkan guna menghadapi kondisi yang tidak diharapkan.
"Kodam Jaya/Jayakarta tetap mempersiapkan langkah-langkah antisipatif terhadap permasalahan yang sewaktu-waktu datang tidak terduga," terang Hudawi.
kliping
ELSAM
kliping
ELSAM
http://www.muslimat-nu.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=398:di-mesuji-khofifah-ajak-waspadai-neo-komunisme&catid=38:warta-utama&Itemid=76Di Mesuji, Khofifah Ajak Waspadai Neo Komunisme
Senin, 24 September 2012 21:30 | Ditulis oleh Ahmad MilahinShare
MESUJI-Ada yang istimewa dalam acara Halal Bihalal Muslimat Nahdlatul Ulama (Muslimat NU) Kabupaten Mesuji, di
Lapangan Simpang Selamat Datang Kampung Gedung Ram Kecamatan Tanjung Raya
Mesuji, 9 September lalu. Kegiatan itu dihadiri oleh Ketua Pimpinan Pusat Muslimat NU, Khofifah Indar Parawansa.
Kepada ribuan anggota Muslimat NU dan masyarakat yang hadir, Khofifah
mengingatkan pentingnya kewaspadaan terhadap paham-paham yang saat ini mulai merebak di masyarakat, terutama Neo Liberalisme dan Neo Komunisme. “Paham ini bertujuan memecahbelah kerukunan melalui fitnah-fitnah yang dapat menimbulkan kebencian antar umat beragama,” tegasnya.
Mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan itu juga mengajak kaum ibu untuk meningkatkan usaha pengentasan kemiskinan. Salah satu cara yang dilakukan yaitu melalui pendidikan yang baik bagi anak ,sehingga tidak terjerumus pada perilaku yang menyimpang. Dalam acara itu juga turut dilakukan pelantikan pengurus Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Puteri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Kabupaten mesuji. Khofifah juga mengajak Pengurus yang baru dilantik untuk berperan serta dalam upaya peningkatan derajat