Indonesia mendapat sorotan masyarakat internasional terkait pelaksanaan hak asasi manusia dalam sidang berkala Dewan HAM PBB, 23 Mei 2012.
Dalam sidang Universal Periodic Review (UPR) itu, Pemerintah Indonesia sulit
mempertahankan citranya di mata dunia karena pada saat yang sama pelanggaran HAM terus terjadi.
Mengacu kepada rekomendasi UPR tahun 2008, Pemerintah Indonesia sebenarnya telah didorong antara lain untuk meratifikasi konvensi internasional, melindungi pembela HAM, menghapus impunitas, melindungi warga negara, dan membangun kapasitas aparat negara. Pelaksanaan rekomendasi-rekomendasi itulah yang dipertanyakan Dewan HAM PBB dan
sejumlah negara yang terlibat dalam sidang UPR 2012. Selain itu, sidang juga banyak menyoroti kondisi HAM di Indonesia dalam empat tahun terakhir, seperti kebebasan beragama dan
berkeyakinan, kebebasan berekspresi, pemenuhan hak ekonomi sosial dan budaya, termasuk buruh migran dan pengelolaan sumber daya alam.
Pencitraan dan perubahan
Sebagai salah satu pilar PBB, HAM menjadi salah satu tolok ukur kesejahteraan warga pada setiap negara. Tak terkecuali Indonesia yang juga menjadi salah satu anggota Dewan HAM sejak 2011 setelah terpilih untuk ketiga kalinya. Capaian-capaian konkret sungguh diharapkan agar dapat memanusiakan manusia melalui tangan pemerintah.
Sebuah pertanyaan kemudian mengemuka, yaitu apakah Pemerintah Indonesia masih sekadar memosisikan HAM sebagai alat pencitraan atau betul-betul telah berupaya memberikan perubahan positif di level nasional? Tentu tak mudah menjawab pertanyaan tersebut, tetapi setidaknya rekomendasi UPR 2008 di atas dapat menjadi tolok ukur implementasi HAM di Indonesia dalam empat tahun terakhir.
Pemerintah memang telah mencoba bergerak untuk berubah, misalnya berkomitmen
mengundang beberapa Pelapor Khusus HAM PBB ke Indonesia. Praktik ini tentu saja membawa pencitraan yang baik Indonesia di mata internasional, apalagi dibarengi dengan pelbagai usaha positif pemerintah mengembangkan mekanisme HAM di level ASEAN dan OKI.
Namun, perubahan tersebut belum terasa signifikansinya dalam dinamika HAM di level
nasional. Bahkan, pemerintah terlihat gagal menjamin kemerdekaan setiap orang untuk beragama dan berkeyakinan secara baik dan maksimal, seperti kasus GKI Taman Yasmin, Syiah, dan beragam kasus kekerasan lain.
kliping
ELSAM
Belum lagi permasalahan Papua dan konflik tambang dan perkebunan sawit. Komitmen
pemerintah semakin tak terasa dan absen dalam persoalan impunitas, seperti penyelesaian kasus Munir, Trisakti, dan Semanggi I dan II.
Dalam konteks ini citra Indonesia sebagai bangsa merdeka di tengah pergaulan internasional cukup baik, tetapi sayang perubahan dan capaian citra tersebut belum dibarengi oleh perubahan di tingkat nasional. Padahal, seharusnya sasaran dan tujuan utama politik internasional adalah perubahan yang dapat dinikmati langsung oleh masyarakat atau warga negara tanpa terkecuali.
Evaluasi dan kedewasaan
Mekanisme UPR merupakan sebuah mekanisme yang baru berjalan satu periode sejak 2008. Tahun ini merupakan kali kedua Indonesia dievaluasi, bersama dengan Bahrain, Aljazair, Tunisia, Maroko, Filipina, Inggris, dan India.
UPR sama sekali bukan sebuah mekanisme penghakiman atau penghukuman terhadap kondisi HAM suatu negara. Sebaliknya, mekanisme ini dibuat untuk memajukan dan mendorong pelaksanaan Deklarasi Universal HAM di level nasional.
Semua negara anggota PBB berkewajiban untuk terlibat dalam proses evaluasi dan melaporkan kondisi HAM-nya secara berkala empat tahunan, dengan menyampaikan kemajuan positif, tantangan, dan kemunduran pelaksanaan HAM.
Untuk itu, seharusnya Indonesia juga memaknai forum ini sebagai sebuah proses perbaikan dan evaluasi pemajuan HAM, bukan justru menganggap forum tersebut sebagai ancaman yang akan membuat Indonesia bercitra buruk di mata internasional. Dengan mengedepankan semangat kerja sama, obyektif dan terbuka, Indonesia hendaknya mengungkap kondisi nyata penegakan HAM, menjawab rekomendasi-rekomendasi UPR 2008 secara obyektif sembari mengemukakan kemajuan-kemajuan, hambatan, dan rencana konkret menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi.
Dengan begitu, HAM tidak hanya menjadi komoditas politik pencitraan pemerintah di mata internasional, tetapi juga lebih memberikan manfaat bagi perlindungan, penghormatan, dan kemajuan HAM di tataran nasional yang dapat dinikmati oleh setiap orang di Indonesia tanpa terkecuali.
Kedewasaan bangsa kita menerima masukan, kritikan, dan rekomendasi bersama dalam UPR mencerminkan bagaimana kita telah melangkah 14 tahun terakhir ini dalam era Reformasi.
Rafendi Djamin Direktur Eksekutif Human Rights Working Group; Koordinator Masyarakat Sipil Indonesia untuk Sidang UPR Indonesia 2012 di Geneva, Swiss
kliping
ELSAM
http://cetak.kompas.com/read/2012/05/29/02052859/indonesia.dan..hamSelasa,29 Mei 2012
Indonesia dan HAM
Wahyu SusiloPada 23 Mei 2012, melalui mekanisme internasional Dewan HAM PBB, Pemerintah Indonesia kembali menyampaikan laporan periodik kinerja penegakan hak asasi manusia dalam forum Universal Periodic Review.
Pelaporan pertama Pemerintah Indonesia dalam forum Universal Periodic Review (UPR) dilakukan pada 9 April 2008. Kita perlu memberi apresiasi terhadap keberanian Pemerintah Indonesia yang sejak 2006 menjadi anggota Dewan HAM PBB, mekanisme baru PBB menggantikan Komisi HAM PBB, yang sudah dua kali menyampaikan laporan kinerja penegakan HAM kepada masyarakat internasional.
Ini merupakan konsekuensi tak terhindarkan bagi Indonesia yang sedang bergulat menuju demokrasi. Tentu tak bisa dihindarkan ada kesan: inisiatif ini bentuk pencitraan Indonesia di mata internasional.
Dua dasawarsa lalu mekanisme HAM di PBB merupakan ladang pembantaian bagi diplomasi Indonesia, yang selalu berha- dapan dengan problem dekoloni- sasi Timor Timur. Diplomat seni- or Indonesia yang juga mantan menlu, Ali Alatas, bahkan menyebut aral diplomasi Indonesia soal Timor Timur bagaikan ”kerikil di dalam sepatu”.
Tak berarti pascadiplomasi babak belur di masa Orde Baru tak ada lagi persoalan HAM di Indo- nesia yang mendapat perhatian serius dari masyarakat internasi- onal. Seiring dengan
perkembangan politik ekonomi global, persoalan HAM di Indonesia tak lagi memusat pada persoalan kekuasaan militer dan represinya. Namun, lebih menyorot pada bagaimana negara mampu mengelola rasa aman warga negaranya, menghargai, dan memastikan ekspresi
keberagaman masyarakat serta memastikan reformasi hukum dan peradilan tetap dalam koridor penghormatan hak sipil dan politik.
Yang terlupakan
Yang kerap terlupakan dan terpinggirkan dalam upaya penegakan HAM adalah pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya yang lebih bergantung pada kemampuan pihak eksekutif dan belum punya mekanisme yudisial. Komponen ini kerap tak dianggap sebagai elemen penting HAM dibandingkan dengan hak sipil dan politik yang punya mekanisme peradilan dan penghukuman. Ada beberapa pelajaran penting dari pemantauan langsung mekanisme UPR untuk Indonesia yang dapat diakses melalui fasilitas UNTV dan membandingkannya dengan dokumen hasil UPR untuk Indonesia, April 2008.
Pertama, ihwal perlindungan hak kaum minoritas dan ancam- an intoleransi di Indonesia telah jadi perhatian masyarakat internasional lima tahun terakhir. Ini terlihat dari pertanyaan pada UPR 9 April 2008 dan UPR 23 Mei 2012. Kedua, soal pengarusutamaan HAM dalam reformasi sistem peradilan dan reformasi sektor keamanan. Pertanyaan ini mengkritik apakah ada
kliping
ELSAM
perubahan signifikan dari seluruh elemen kenegaraan dalam upaya penegakan HAM selama masa transisi politik pascaotoritarian.
Ketiga, masih terkait dengan catatan kedua: keraguan adanya komitmen serius Pemerintah Indonesia mengakhiri impunitas. Ini terlihat dari desakan kuat agar Indonesia segera meratifikasi Statuta Roma (Pengadilan Kriminal Internasional).
Keempat, ada kecenderungan, Pemerintah Indonesia menganggap elemen pokok penegakan HAM terletak pada legalitas dan kelembagaan. Ini terlihat dari isi laporan dan respons terhadap pertanyaan yang muncul. Sebagi- an besar isi laporan menyampaikan instrumen internasional apa yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia, rencana aksi nasi- onal (RAN
Anti-Trafficking), dan lembaga baru yang terbentuk.
Jawaban atas pertanyaan eskalasi kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua: pemerintah membentuk Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat. Jauh panggang dari api. Realitas yang terlihat dari proses yang berlangsung di Dewan HAM PBB itu masih menempat- kan Indonesia dalam tarikan kuat blok negara yang resisten terha- dap mekanisme pemantauan internasional untuk HAM: ASEAN, OKI, Timur Tengah, dan Afrika. Itulah pendukung utama Indonesia. Dukungan ini tentu tak cu- ma-cuma. Suatu saat Indonesia harus balas jasa sesuai dengan keinginan blok tersebut.
Pertanyaan negara lain dan ja- waban Indonesia yang relatif sa- ma dalam mekanisme UPR untuk Indonesia (2008 dan 2012) membuktikan bahwa sebenarnya Indonesia tak terlalu menganggap mekanisme ini punya pengaruh penting bagi Indonesia di mata internasional. Mekanisme internasional mengenai HAM di PBB memang tak mengikat secara hukum, kecuali terkait dengan pelanggaran HAM berat serta kejahatan terhadap kejahatan perang dan genosida. Pada masa IGGI dan dilanjut- kan CGI 1967-2006, praktis Indo- nesia tunduk dan menjalankan rekomendasi konsorsium negara dan lembaga pengutang Indone- sia itu. CGI dibubarkan pada 2007. Indonesia tetap menganggap rekomendasi dan syarat donor multilateral dan bilateral sedapat mungkin dijalankan. Reko- mendasi dari mekanisme HAM internasional cukup didengar.
kliping
ELSAM
http://www.komisikepolisianindonesia.com/secondPg.php?cat=umum&id=7241 PENEGAKKAN HAM DI INDONESIA SUDAH BAIK
Kamis, 31 Mei 2012