KOMPAS/AUFRIDA WISMI WARASTRI
Para korban Tragedi 1965 beraksi damai di halaman Kantor Gubernur Sumatera Utara, 14 Mei 2012. Mereka meminta pemerintah mengungkap kebenaran di balik peristiwa pembunuhan massal tahun 1965 sehingga mereka menjadi korban.
Stigma ”PKI” masih menghantui Wardik (64), pria asal Padang Halaban, Labuhan Batu, Sumatera Utara. ”PKI” adalah kata yang membangkitkan trauma luar biasa dalam sejarah hidupnya.
”Pahit sekali rasanya, mau kawin tidak jadi, menjadi kepala lingkungan tidak bisa. Sebagai warga negara, kami mau berkarya, tetapi tidak ada saluran bagi kami,” kata Wardik, Kamis (14/6). Ia bahkan harus berganti nama untuk hidup normal dan tidak berani mengungkapkan identitas aslinya ke publik.
”Jangan ini terulang lagi, cukup kami saja yang mengalaminya,” tutur penata taman dan pematung itu.
Pria paruh baya itu pernah 11 tahun mendekam di penjara tanpa pengadilan. Hampir semua penjara di Sumut pernah ia rasakan.
kliping
ELSAM
Wardik baru berusia 17 tahun saat Tragedi 1965 terjadi. Ia ditangkap tahun 1967. Ia ditangkap setelah pulang kampung begitu menyelesaikan SMA-nya di Kisaran. ”Saya dipaksa mengaku sebagai PKI, tetapi saya tidak mau,” kata Wardik.
Berbagai penyiksaan seperti gebuk dan listrik pernah ia rasakan. ”Saya hitung 49 kali saya di setrum. Saya dimasukkan ke bak berair, airnya disetrum,” katanya. Efek setrum itu ternyata membuat ia temperamental.
Kuku-kukunya pernah dicabuti. Kerja paksa di perkebunan tanpa diberi makan juga pernah ia rasakan.
Beberapa kali suaranya tercekat saat menceritakan kisah hidupnya. Salah satu sisa penyiksaan yang terlihat adalah kaki kanannya yang belang-belang.
Ayahnya, Langkir, dan tiga abangnya, Salam, Kosim, dan Sumarno, hilang. Sementara dua kakaknya, Yusniati dan Asnah, ditahan seperti dirinya. ”Yang saya tahu bapak saya petani, itu saja,” kata Wardik.
Enam adik Wardik tidak ditahan karena masih kecil. Ibunyalah yang menghidupi adik-adiknya. ”Mau makan ubi saja mereka tidak mampu, enam bulan mereka pernah makan umbi-umbi sembarangan, bahkan batang pisang,” kata Wardik kelu.
Ibu Wardik pernah berjualan pecel di Padang Halaban awal 1965, tetapi anak-anak melempari sang ibu sambil teriak, ”Gerwani-gerwani.”
Menurut Wardik, akibat peristiwa 1965, sebanyak 119 warga Padang Halaban hilang. Kini perkampungan di Padang Halaban pun sudah hilang karena digusur kebun sawit. ”Akan tetapi, makam-makam masih berserakan di tengah kebun,” tutur Wardik.
”Kalau kami saat ini masih hidup, itu benar-benar karena semata-mata Allah mengasihi kami,” ungkapnya sambil menelan ludah. Ekspresi di matanya tak terlihat karena ia mengenakan kacamata hitam.
”Anak-anak saya tidak terstigma PKI, namun mereka saya beri pengetahuan tentang sejarah bangsa ini,” tambah Wardik.
Wardik meminta pemerintah merehabilitasi namanya sehingga ia pun berani menggunakan nama dirinya sendiri. ”Apa salah kami sehingga stigma ini menetap pada kami,” tanyanya.
Cari di sungai
Lain halnya dengan Wina Sitompul (52). Ia menghabiskan masa kecilnya di penjara bersama ibunya, S br Pane, yang ditahan di penjara milik Kodam di Jalan Binjai, Medan. Adiknya bahkan masih berumur 40 hari saat ibunya ditahan.
kliping
ELSAM
”Saya sekolah dari penjara. Kalau ada yang nampung saya, baru saya keluar, kalau tidak ada yang menampung, saya masuk penjara lagi,” kata Wina. Seluruh sekolah tahu Wina tinggal di penjara. Ia menutup kuping dengan segala cemooh kawan-kawannya meskipun hatinya sakit. Ayah Wina, HMA Arifin Sitompul, adalah Bendahara Wali Kota Pematang Siantar yang diciduk aparat saat tengah di kantor. Arifin dibawa ke penjara Pematang Siantar. Namun, saat kakaknya menengok di penjara Pematang Siantar pada 28 April 1966, ayahnya sudah hilang.
”Kakak saya cuma mendapat sajadah dan kacamata Bapak yang dititipkan Bapak ke kawan Bapak. Bapak berpesan untuk mencarinya di sungai,” kata Wina. Namun, nama sungainya tidak tahu. Maka, kini untuk menziarahi bapaknya, Wina dan keluarga selalu pergi ke sungai, segala macam sungai di Sumut.
Sesaat setelah ayahnya ditahan, ibunya juga ditahan di penjara Medan. Wina yang adalah anak ke-11 dari 12 bersaudara pun ikut ibunya. Saudara-saudaranya tercerai-berai.
”Tak ada yang mengurusi kami. Tak ada yang peduli apa yang kami makan. Kami sering tidak makan seharian,” kata Wina kelu. ”Saya bukan saja anak korban, tetapi saya sendiri korban,” tutur Wina.
Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (Ikohi) Sumut menyatakan, peristiwa pembunuhan massal tahun 1965/1966 membuat 500.000 hingga 3 juta jiwa terbunuh. Sebanyak 20 juta orang terstigma buruk. ”Pasca-Orde Baru, tidak ada yang berani secara konkret mengungkap kebenaran tragedi kemanusiaan 65/66, termasuk dua periode masa jabatan SBY,” tutur Ketua Ikohi Sumut Suwardi.
Para korban meminta pemerintah memaparkan kebenaran di balik peristiwa 1965. ”Korban masih berada dalam stigma. Bahkan, banyak yang belum berani mengungkapkan diri bahwa mereka adalah keturunan orang yang dihilangkan,” kata Suwardi.
Suwardi berharap Komnas HAM segera mengeluarkan rekomendasinya terkait korban 1965. Rekomendasi itu telah tertunda berkali-kali.
”Kami berharap pemerintah berani mengungkapkan kebenaran dan memberikan hak kepada korban sesuai UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan PP Nomor 44 Tahun 2008 tentang Hak Korban,” ujar Suwardi. (WSI)
kliping
ELSAM
http://nasional.kompas.com/read/2012/07/24/17483637/Priyo.Jangan.Berkutat.pada.Peristiwa.HAM.M asa.LaluPriyo: Jangan Berkutat pada Peristiwa HAM Masa Lalu Penulis : Sandro Gatra | Selasa, 24 Juli 2012 | 17:48 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Priyo Budi Santoso mengatakan, sebaiknya semua pihak tak lagi membuka sejarah kelam pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Menurut Priyo, membuka suatu peristiwa masa lalu akan membuat berbagai peristiwa lainnya ikut dibuka.
"Itu tidak produktif. Membuka sejarah lama tak akan selesai. Kita lihat saja ke depan. Saya khawatir kalau dibuka kembali akan menimbulkan reaksi yang tak enak," kata Priyo di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (24/7/2012).
Hal itu dikatakan Priyo ketika dimintai tanggapan kesimpulan Komisi Nasional HAM bahwa terdapat cukup bukti permulaan untuk menduga telah terjadi sembilan kejahatan kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965-1966.
Sembilan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut adalah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa. Priyo mengatakan, dirinya bukan ingin agar sejarah kelam dikubur. Menurut dia, sebaiknya peristiwa itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah bahwa pernah terjadi peristiwa memilukan di Indonesia.
Priyo menambahkan, Komnas HAM sebaiknya fokus menjaga agar tidak terjadi lagi hal serupa di masa depan. "Jangan berkutat pada persoalan yang lama," pungkas politisi Partai Golkar itu.
Editor :
I Made Asdhiana
Komentar pernyataan Priyo;
a 7 Komentar Untuk Artikel Ini.
santhinaga
Senin, 30 Juli 2012 | 08:58 WIB
Halah, politisi ini bener bener bobrok mentalnya. Contoh tuh Afrika Selatan. Bisa menyelesaikan kejahatan masa lalu dengan elegan. Kita memang harus menatap ke depan. Tapi jangan
melupakan yang di belakang. Both....and....
Rustam Pangkahila
kliping
ELSAM
Priyo bodoh, tidak pantas jadi wakil rakyat. Dosa Golkar harus diungkap, dan sebaiknya Golkar segera dibubarkan saja.Muhamad Wahyu Eka Sakti
Minggu, 29 Juli 2012 | 17:17 WIB
Korban fitnah yang dituduh antek PKI atau ORLA karena mengidolakan Ir. Soekarno itu banyak sekali...Oom Priyo. Banyak yang kehilangan pekerjaan dan harga diri serta dikucilkan karena dituduh tanpa bukti sebagai antek PKI hingga anak cucunya. Jadi setidaknya nama baik korban harus dipulihkan dan dibersihkan sehingga beban derita fitnah tidak berkelanjutan. Mengungkap masa lalu untuk perbaikan masa kini dan demi masa depan yang lebih baik. Jangan asal bunyi Oom Priyo.
David Lee Hutabarat
Minggu, 29 Juli 2012 | 17:17 WIB
Priyo bagudung ! karena gak kau dan keluargamu nya yang jadi korban.membuka lembaran hitam masa lalu adalah sebagai pengingat bahwa negara kita pernah melakukan kesalahan.dan kesalahan itu diharapkan tidak terjadi lagi di masa depan.ingat kata Bung Karno : JAS MERAH( Jangan Sekali-Kali Melupakan Sejarah )
Timur Sinar Suprabana
Rabu, 25 Juli 2012 | 20:29 WIB
KALAU NGOMONG ITU MBO YA TULUNG DIPIKIR DULU TO, MAS • MIkoyan Gurevich
Selasa, 24 Juli 2012 | 19:53 WIB
jika (banyak) kerabatnya priyo (atau bahkan jika dia sendiri yg kena) pasti ngomongnya lain!
Selasa, 24 Juli 2012 | 18:11 WIB
untuk bisa mencegah agar peristiwa itu tak terjadi lagi, perlu kesepakatan rujukan: peristiwa yang tidak perlu terjadi itu apa. itu lah perlunya pelanggaran itu dibuka, agar setiap orang tahu dan belajar dari kesalahan masa lalu. ingatan sosial bangsa indonesial yang pendek memang sudah pendek itu tidak akan terbantu dengan pembiaran kesalahan masa lalu....
kliping
ELSAM
http://nasional.kompas.com/read/2012/07/25/19150782/Korban.1965.Kecam.Pernyataan.PriyoKorban 1965 Kecam Pernyataan Priyo
Penulis : Aditya Revianur | Rabu, 25 Juli 2012 | 19:15 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Korban tragedi kemanusiaan 1965 menilai bahwa pernyataan Priyo Budi Santoso, Wakil Ketua DPR dan Ketua DPP Partai Golkar, yang mengungkapkan bahwa peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu agar tidak diangkat ke permukaan karena dapat membuka peristiwa serupa adalah bentuk dari kegagalan dalam memahami sejarah.
Priyo sebagai pimpinan Partai Golkar yang memiliki keterkaitan dengan pelanggaran HAM berat di masa Orde Baru terkesan cuci tangan dengan pernyataan tersebut.
"Pernyataan Priyo adalah pernyataan yang tidak bisa melihat dan memahami pelajaran sejarah dengan baik. Priyo tidak bisa melihat dengan jujur keterkaitan antara Golkar dan pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa Orba. Golkar harus bertanggung jawab atas perlakuannya pada kami (korban 65) di masa lampau. Priyo ngomong seperti itu karena ingin membersihkan diri dan Golkar lari dari tanggung jawab," ujar Putu Oka Sukanta, Korban 65 dan Sastawan Lekra di masa Orde Lama di Kantor Kontras, Jakarta, Rabu (25/7/2012).
Peristiwa yang terjadi di masa lampau, menurut dia, seharusnya dibongkar pemerintah yang bertujuan untuk menciptakan pemerintahan demokratis dan tidak ada lagi bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan melalui kebijakan pemerintah terhadap rakyatnya.
Selain itu, pengungkapan peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu dapat menjadi koreksi pengambilan kebijakan pemerintah. Korban 65 lainnya, Bedjo Untung, mengungkapkan, hak dari korban sejak tahun 1965 sengaja dilanggar oleh Soeharto dan kroninya.
Korban peristiwa pelanggaran HAM berat 1965 mengalami ketidakjelasan kepastian hukum karena ditangkap, diperkosa, dibunuh, dihilangkan, diperbudak, dan dilecehkan haknya tanpa melalui peradilan yang adil.
Korban dituduhkan oleh pemerintahan Orba sebagai komunis dan simpatisan PKI tanpa
dilakukan pembuktian terlebih dahulu yang diatur jelas dalam kerangka asas HAM dan Hukum. Negara dalam hal ini atas wewenang Soeharto telah menghilangkan nyawa sekitar 500.000 sampai 3 juta orang. Hingga sekarang, pemerintah belum memberikan upaya pemulihan nama baik atas korban dan penyelesaian kasus tragedi 1965 secara adil.
"Kasus pelanggaran HAM terhadap kami belum diselesaikan. Pernyataan Priyo tidak layak karena status kami tidak jelas dalam kerangka kepastian hukum. Kami menuntut kejelasan atas perlakuan negara terhadap kami. Priyo bisa bicara seperti itu karena dia belum pernah merasakan bagaimana ditangkap dan disiksa tanpa melalui pengadilan terlebih dahulu. Kalau Priyo
kliping
ELSAM
Dirinya mengungkapkan, hasil penyelidikan Komnas HAM yang menerangkan bahwa tragedi 65 adalah kasus pelanggaran HAM berat merupakan momentum yang bagus bagi pemerintah untuk membongkar peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Hal yang terpenting adalah kemauan politik dari pemerintah untuk memulihkan nama baik korban. Ganti rugi atas korban dapat terjadi kapan saja, yang terpenting untuk saat ini adalah pemulihan nama baik korban dan pelurusan sejarah hingga ke akar rumput agar masyarakat dapat mengetahui yang sesungguhnya terjadi.
Selain itu, presiden diimbau tidak terpengaruh dengan pernyataan Priyo agar pemulihan nama baik korban dan penegakan HAM di Indonesia dapat berjalan dengan tegak.
"Presiden jangan sampai terpengaruh dengan ucapan Priyo yang tidak menghendaki kebenaran, keadilan, kepastian hukum, dan pelurusan sejarah ditegakkan di Indonesia," imbaunya.
Seperti yang telah diberitakan, Priyo Budi Santoso, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), mengatakan, sebaiknya semua pihak tak lagi membuka sejarah kelam pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Menurut Priyo, membuka suatu peristiwa masa lalu akan membuat berbagai peristiwa lainnya ikut dibuka.
Editor :
kliping
ELSAM
http://nasional.kompas.com/read/2012/07/25/09182452/Dibutuhkan.Pengadilan.HAM.Ad.Hoc.u ntuk.Kasus.65-66Dibutuhkan Pengadilan HAM 'Ad Hoc' untuk Kasus 65-66 Rabu, 25 Juli 2012 | 09:18 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Kejaksaan membutuhkan pengadilan HAM ad hoc untuk menyidik kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000, termasuk dugaan pelanggaran HAM berat tahun 1965-1966. Pengadilan ad hoc diperlukan untuk meminta izin melakukan penggeledahan, penyitaan, dan upaya paksa selama proses penyidikan.
”Untuk kasus yang terjadi sebelum adanya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, diperlukan adanya pengadilan HAM ad hoc,” kata Jaksa Agung Basrief Arief di Jakarta, Selasa (24/7/2012). Pengadilan ad hoc dapat dibentuk jika DPR dan Presiden
menyatakan kasus bersangkutan merupakan pelanggaran HAM berat.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman mengatakan, Kejagung tengah menelaah laporan Komnas HAM tentang pelanggaran HAM berat yang terjadi tahun 1965-1966. Komnas HAM menyimpulkan, terdapat cukup bukti permulaan untuk menduga terjadi sembilan kejahatan kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa itu (Kompas, 24/7).
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Albert Hasibuan, mengungkapkan, apa yang
disimpulkan Komnas HAM merupakan jalan masuk bagi Wantimpres untuk menyusun konsep penyelesaian pelanggaran HAM berat. Konsep ini nantinya akan disampaikan ke Presiden. Kemarin, tim Komnas HAM meminta pemerintah menindaklanjuti kasus pelanggaran HAM berat peristiwa penembakan misterius periode 1982-1985. (faj/ato/nwo/fer)
kliping
ELSAM
http://nasional.kompas.com/read/2012/07/25/2026171/Kejagung.Harus.Menindaklanjuti.Rekomendasi.Komnas.HA M