• Tidak ada hasil yang ditemukan

Basrief: Kejagung Perlu Pengadilan Ad Hoc

Dalam dokumen 2012 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 182-188)

kliping

ELSAM

Korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat dari berbagai peristiwa beraudiensi dengan Komisi Kejaksaan di Jakarta, Senin (23/7/2012). Mereka menyampaikan evaluasi terhadap kinerja Kejaksaan Agung dalam penanganan perkara pelanggaran HAM berat yang hingga kini belum ada titik kejelasannya. Audiensi tersebut bertepatan dengan Hari Bhakti Adhyaksa ke-52.

kliping

ELSAM

http://nasional.kompas.com/read/2012/07/24/16433238/Basrief.Kejagung.Perlu.Pengadilan. Ad.Hoc

asrief: Kejagung Perlu Pengadilan Ad Hoc

Penulis : Dian Maharani | Selasa, 24 Juli 2012 | 16:43 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Agung Basrief Arief menegaskan bahwa Kejaksaan Agung perlu pengadilan Ad Hoc untuk menangani kasus pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) berat. Basrief menjelaskan hal tersebut telah diatur dalam Undang-undang nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM.

"Kalau yang sebelumnya kan tentu begitu (perlu pengadilan Ad Hoc). Sesuai Undang-undang nomor 26 Tahun 2000, artinya untuk kejadian yang sebelumnya, itu perlu," kata Basrief di Jakarta, Selasa (24/7/2012).

Menurut Basrief, tanpa pengadilan HAM, tindakan hukum tidak dapat dilakukan. Hal tersebut harus memiliki izin dan persetujuan pengadilan. "Tindakan hukum, terhadap upaya paksa, misalnya penggeledahan, penyitaan, itu kan harus ada izin atau persetujuan pengadilan," terangnya.

Sebelumnya, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) meminta Jaksa Agung segera melakukan penyidikan terhadap sejumlah pelanggaran HAM di Indonesia. Jaksa Agung dianggap tidak mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI nomor 18/PUU-V/2007 atas permohonan uji materil terhadap pasal dan penjelasan pasal 43 (2) Undang-undang nomor 26 Tahun 2006 tentang Pengadilan HAM.

Dalam hal tersebut, Jaksa Agung dapat melakukan penyidikan tanpa harus menunggu terbentuknya pengadilan HAM Ad Hoc. Diketahui beberapa pelanggaran HAM berat yang belum tuntas ditangani di Kejagung diantaranya peristiwa Trisakti, Semanggi I tahun 1998, Semanggi II tahun 1999, peristiwa Mei 1988, peristiwa Talangsari-Lampung 1989, dan peristiwa Wasior-Wamena di Papua 2001 dan 2003.

Editor :

kliping

ELSAM

http://nasional.kompas.com/read/2012/07/24/16433238/Basrief.Kejagung.Perlu.Pengadilan.Ad.Hoc

Basrief: Kejagung Perlu Pengadilan Ad Hoc

Penulis : Dian Maharani | Selasa, 24 Juli 2012 | 16:43 WIB

rban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat dari berbagai peristiwa beraudiensi dengan Komisi Kejaksaan di Jakarta, Senin (23/7/2012). Mereka menyampaikan evaluasi terhadap kinerja Kejaksaan Agung dalam penanganan perkara pelanggaran HAM berat yang hingga kini belum ada titik kejelasannya. Audiensi tersebut bertepatan dengan Hari Bhakti Adhyaksa ke-52.

JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Agung Basrief Arief menegaskan bahwa Kejaksaan Agung perlu pengadilan Ad Hoc untuk menangani kasus pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) berat. Basrief menjelaskan hal tersebut telah diatur dalam Undang-undang nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM.

"Kalau yang sebelumnya kan tentu begitu (perlu pengadilan Ad Hoc). Sesuai Undang-undang nomor 26 Tahun 2000, artinya untuk kejadian yang sebelumnya, itu perlu," kata Basrief di Jakarta, Selasa (24/7/2012).

Menurut Basrief, tanpa pengadilan HAM, tindakan hukum tidak dapat dilakukan. Hal tersebut harus memiliki izin dan persetujuan pengadilan. "Tindakan hukum, terhadap upaya paksa, misalnya penggeledahan, penyitaan, itu kan harus ada izin atau persetujuan pengadilan," terangnya.

Sebelumnya, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) meminta Jaksa Agung segera melakukan penyidikan terhadap sejumlah pelanggaran HAM di Indonesia. Jaksa Agung dianggap tidak mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI nomor 18/PUU-V/2007 atas permohonan uji materil terhadap pasal dan penjelasan pasal 43 (2) Undang-undang nomor 26 Tahun 2006 tentang Pengadilan HAM.

Dalam hal tersebut, Jaksa Agung dapat melakukan penyidikan tanpa harus menunggu terbentuknya pengadilan HAM Ad Hoc. Diketahui beberapa pelanggaran HAM berat yang belum tuntas ditangani di Kejagung diantaranya peristiwa Trisakti, Semanggi I tahun 1998, Semanggi II tahun 1999, peristiwa Mei 1988, peristiwa Talangsari-Lampung 1989, dan peristiwa Wasior-Wamena di Papua 2001 dan 2003.

kliping

ELSAM

http://cetak.kompas.com/read/2012/07/26/04252157/presiden.wajib.selesaikan.semua Kamis, 26 Juli 2012

PELANGGARAN HAM BERAT

Presiden: Wajib Selesaikan Semua

Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, negara punya kewajiban moral menyelesaikan semua pelanggaran HAM seadil-adilnya. Namun, solusi tersebut juga harus dapat diterima oleh semua pihak.

”Saya mempelajari solusi di Afrika Selatan, Kamboja, Bosnia, dan sebagainya yang modelnya berbeda-beda. Solusinya memang berbeda-beda, tetapi ada solusi yang bisa diterima semua pihak,” ujar Presiden di Kantor Kejaksaan Agung, Rabu (25/7).

Untuk solusi yang dapat diterima semua pihak, apa yang terjadi harus dilihat jernih, jujur, dan obyektif. ”Semangatnya tetap melihat ke depan. Selesaikan secara adil,” tuturnya.

Ia menjelaskan, rekomendasi Komisi Nasional HAM mengenai peristiwa 1965-1966 akan dipelajari Jaksa Agung Basrief Arief. ”Saya berharap bisa berkonsultasi dengan DPR, DPD, MPR, dan semua pihak,” ujarnya.

Basrief mengatakan, kejaksaan akan meneliti laporan Komnas HAM mengenai pelanggaran HAM berat 1965-1966. ”Nanti akan dilihat, apakah buktinya cukup atau tidak untuk

ditindaklanjuti,” kata Basrief.

Tak ada komitmen

Sementara itu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Haris Azhar dan Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim menilai, Presiden Yudhoyono tidak memiliki perhatian dan komitmen kuat menyelesaikan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM yang berat. Jika memiliki komitmen, Presiden dapat mendorong pembentukan pengadilan HAM ad hoc atau membuat kebijakan rekonsiliasi, termasuk merehabilitasi dan memberi kompensasi kepada korban.

DPR pernah memberikan rekomendasi kepada pemerintah, yakni membentuk Pengadilan HAM ad hoc untuk memeriksa kasus terkait orang hilang. Akan tetapi, menurut Haris, rekomendasi itu tidak ditindaklanjuti pemerintah.

Menurut Ifdhal, penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat tidak harus diselesaikan dengan mekanisme hukum. Kalau memiliki komitmen politis, pemerintah juga dapat menangani dan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat dengan cara-cara politis melalui rekonsiliasi.

kliping

ELSAM

http://www.indonesia.go.id/in/penjelasan-umum/11697-penyempurnaan-konsep-penyelesaian-pelanggaran-ham-berat-masa-lalu

PENYEMPURNAAN KONSEP PENYELESAIAN PELANGGARAN HAM BERAT MASA LALU

Jumat, 05 Oktober 2012

Dalam rangka menyempurnakan konsep penyelesaian pelanggaran HAM Berat masa lalu yg telah dibuat, Dr. Albert Hasibuan, S.H, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum dan HAM telah

menyelenggarakan pertemuan terbatas (28/08) yang merupakan rangkaian dari pertemuan-pertemuan sebelumnya. Pendalaman dan pengembangan konsep mengarahkan kepada hasil perumusan konsep akhir penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu yang berbasis pada prinsip-prinsip kearifan (wishdom), kemauan politik yang jujur dan teguh (commited good political will), penghormatan terhadap HAM dan penegakan hukum demi keadilan.

Pada intinya konsep penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu ini menyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas keseluruhan pelanggaran HAM berat masa lalu dengan berbagai konsekuensi kewajiban yang harus dipenuhi untuk penyelesaian secara tuntas akibat-akibat dari pelanggaran itu. Dan negara menyatakan komitmen untuk menyediakan berbagai instrumen yang memadahi untuk

mencegah terjadinya pelanggaran HAM di masa-masa mendatang.

Terdapat pemikiran bahwa batasan pelanggaran HAM berat masa lalu tidak hanya pada kasus 65/66 saja, namun beberapa peristiwa yang terjadi sebelum kasus 65/66 man di beberapa daerah lainnya yang memenuhi unsur-unsur pelanggaran HAM berat serta pembahasan mengenai wacana permintaan maaf dari Presiden atas nama negara terkait dengan pelanggaran HAM berat masa lalu. Harapannya dengan adanya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu secara tuntas dan menyeluruh akan

menghilangkan beban sejarah masyarakat bangsa Indonesia yang selama ini masih sangat mengganjal sehingga jalan maju menuju keadilan dan kesejahteraan Indonesia makin lapang di masa-masa mendatang. (Andhi)

kliping

ELSAM

Dalam dokumen 2012 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 182-188)