• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Pajanan Particulate Matter 2,5 (PM2,5) Terhadap Gejala Penyakit Paru Obstruktif (PPOK) Kronis Eksaserbasi Akut pada Pekerja di Pelabuhan Tanjung Priok, 2018

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dampak Pajanan Particulate Matter 2,5 (PM2,5) Terhadap Gejala Penyakit Paru Obstruktif (PPOK) Kronis Eksaserbasi Akut pada Pekerja di Pelabuhan Tanjung Priok, 2018"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Latar Belakang. Berdasarkan studi, salah satu tempat dengan aktivitas tinggi yang dapat melepas emisi gas buang adalah pelabuhan. Aktivitas pelabuhan seperti bongkar muat barang dan pengantaran barag menghasilkan PM2,5 yang tinggi di lepas ke udara dan dapat mempengaruhi pekerja lapangan. Salah satu risiko yang ditimbulkan adalah risiko Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) Eksaserbasi Akutm terutama pada pekerja yang bekerja lebih dari 1 tahun. Metode. Metode penelitian ini menggunakan studi desain observasional dengan pendekatan cross-sectional teradap 75 pekerja lapangan yang telah bekerja lebih dari 1 tahun. Hasil. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pajanan PM2,5 pada pelabuhan sudah melebihi kadar diberikan WHO yaitu 35 µm/m3 dan jumlah responden yang mengalami gejala PPOK Eksaserbasi Akut sudah berada di atas prevalensi PPOK DKI Jakarta, yaitu 1,6%. Simpulan. Secara statistic, data menunjukkan tidak ada kaitan antara PM2,5 dengan kejadian gejala PPOK Eksaserbasi Akut. Temuan ini menyarankan bahwa adanya perbaikan dari perilaku hidup pekerja dan pemberian APD yang tepat.

Kata Kunci: Eksaserbasi, Pelabuhan, PM2,5, Polusi, PPOK Artikel dikirim: Agustus, 2018 Artikel diterima: Desember, 2018 Artikel dipublikasi: Februari, 2020

Abstrak

DAMPAK PAJANAN PARTICULATE MATTER 2,5 (PM2,5)

TERHADAP GEJALA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF (PPOK)

KRONIS EKSASERBASI AKUT PADA PEKERJA DI PELABUHAN

TANJUNG PRIOK, 2018

Ashila D iza Rahmad ini 1, Bud i Har yanto 1 , * )

1Dep a rte me n K es eh a tan Li n g ku n g an , Fa ku lt as K es eh atan M a s yar a ka t Un i v ers it as In d o n esi a, Dep o k, 1 6 4 2 4 * )Co r re sp o n d in g Au th o r: b u to n iv7 3 @g ma il. co m

Background. According to studies, one of the places with highest activity that caused the re-lease of this emission in in ports. Port activities such as delivering goods to and from the port caused high amount of PM2,5 to be released to the air and it can affect field worker, one of them is Acute Exacerbation Chronic Obstructive Pulmonary Disease or AECOPD. Methods. The study used observational design study with cross-sectional approach to 75 field workers whom had worked more than 1 year. Results. The results of this study indicate that PM2.5 exposure at the port has exceeded WHO levels of 35 µm / m3 and the number of respondents experienc-ing symptoms of acute exacerbation of COPD is already above the prevalence of COPD in DKI Jakarta, which is 1.6%. Conclusions. The statistic showed that the PM2,5 level has exceeded WHO limit of 35 µm/m3 while showed that there is no significance between PM

2,5 and AECOPD Symtomps. The study suggested that health behavior of the workers should be changed, including using appropriate safety equipment.

Keywords: AECOPD, PM2,5. Port, Pollution

(2)

Salah satu pencemar yang berbahaya bagi pernapasan manusia adalah partikulat, atau biasa disebut sebagai Particulate Matter atau PM. Menurut WHO (2016), PM menjadi berbahaya karena uku-rannya yang kecil dan jarak berkelananya yang juga cukup jauh. Menurut WHO (2016), PM terbagi men-jadi beberapa jenis berdasarkan ukurannya, yaitu, PM-10, PM2,5, dan PM0.1. Saat ini, PM banyak men-jadi objek penelitian, terutama PM2,5 yang dapat menembus alveolus hingga masuk ke dalam pem-buluh darah. Dampak dari pajanan ini bermacam -macam, dari gejala ringan seperti batuk hingga ke-matian kardiovaskular (WHO, 2016). Menurut WHO, polusi udara merupakan penyebab dari 7 juta dari 8 juta kematian non-aksidental.

Dalam publikasi “The Harvard Six Cities Study

yang dipublikasikan pada tahun 1993, PM2,5 sering-kali dikaitkan dengan kematian non aksidental dan erat kaitannya dengan mortalitas harian terutama pada orang tua (Xing, dkk., 2016). Dalam penilitian yang dilakukan di Eropa terhadap PM2,5 selama 4 tahun menunjukkan bahwa kenaikan pada penyakit respiratori dapat naik hingga 2.07%, sedangkan jumlah pasien yang dibawa ke rumah sakit mening-kat sebanyak 8% (Zanobetti, dkk., 2009). Pada penelitian di Amerika Serikat selama 16 tahun (1982 -1998) menunjukan bahwa setiap kenaikan PM2,5 sebesar 10 µg/m3 kenaikan mortalitas sebesar 4%, kenaikan mortalitas karena penyakit kardiopulmonari sebesar 6%, dan kanker paru memiliki kenaikan sebesar 8% (Pope, dkk., 2002).

Di Indonesia, penelitian terhadap PM2,5 dan dam-paknya terhadap kesehatan sudah mulai banyak dil-akukan. Pada penelitian di Probolinggo terhadap pekerja lem menunjukkan bahwa walaupun risiko tidak besar (RQ < 1) namun gejala kerusakan paru sudah terlihat seperti sesak napas dan lainnya (Kurnia dan Keman, 2014). Pada penelitian oleh Fahmi, Yunus, dan Sutoyo (2016), pasien rumah sa-kit karena penyasa-kit paru obstruktif kronis atau PPOK bertambah dan disinyalir akibat pajanan PM2,5. Bahkan dalam penlelitian ini disebutkan bahwa dam-pak dari PPOK ini dapat berlanjut ke sistem kardio-vaskular.

Pencemaran di pelabuhan, menurut US

Environ-mental Protection Agency atau US EPA (2017)

sela-lu menjadi salah satu permasalahan pencemaran udara yang sulit diatasi. Pencemaran pada pelabuhan umumnya dihasilkan oleh aktivitas ken-daraan di pelabuhan tersebut, aktivitas pada pelabuhan, dan lingkungan sekitarnya. Penerapan

Pendahuluan

yang saat ini dilakukan kebanyakan adalah

pelengkapan APD dan pengurangan emisi yang dihasilkan oleh aktivitas di pelabuhan. Menurut Mueller, dkk (2011), pencemaran PM2,5 di pelabuhan dapat menyebabkan dampak layaknya manusia yang sudah terpajan dengan pajanan sedang kepa-da pekerjanya. Kebanyakan pekerja akan kontak langsung dengan pollutan sehingga APD menjadi salah satu kunci utama, selain rekayasa ling-kungannya (Mueller, dkk., 2011).

Menurut Profil Kesehatan Indonesia pada tahun 2016, PPOK termasuk ke dalam salah satu penyakit tidak menular yang menyebabkan 70% kematian di seluruh dunia. Di Indonesia, menurut RISKESDAS 2007 dan 2013, mengalami kenaikan terutama kare-na pola hidup dan perubahan lingkungan. Walaupun belum ada angka khusus untung PPOK eksarsebasi akut atau AECOPD, namun menurut Persatuan Dok-ter Paru Indonesia (2011), AECOPD adalah jenis PPOK yang harus diberi perhatian lebih karena dam-paknya dapat merambat hingga kerusakan alveolus yang berujung kerusakan pada pembuluh darah.

Desain penelitian ini menggunakan pendekatan cross-sectional dan pengukuran untuk mengetahui pajanan PM2,5 terhadap gejala PPOK eksaserbasi akut pada pekerja di pelabuhan. Variabel lainnya yang akan diukur adalah karakteristik fisik pekerja, karakteristik kebiasaan pekerja, karakteristik ling-kungan pekerja, dan kondisi paru-paru pekerja. Sample diambil berjumlah 75 orang pada 30 titik

Data primer yang akan diambil adalah data pa-janan PM2,5 yang akan langsung diambil menggunakan alat Haz Dust EPAM 5000 bersama dengan anggota dari KKP, dan juga data spirometri menggunakan spirometer. Data kemudian dianalisis secara univariate menggunakan chi-square, bivariat menggunakan Mann Whitney U untuk non para-metrik, dan multivariat menggunakan regresi logistik.

Pelabuhan Tanjung Priok memiliki luas + 604 ha daratan yang berguna sebagai pelabuhan barang maupun pelabuhan penumpang. Pelabuhan Tanjung Priok ditetapkan sebagai pelabuhan Internasional yang melayani baik pelayaran dalam negeri maupun pelayaran luar negeri. Pelabuhan Tanjung Priok terdiri dari pelabuhan logistik dalam negeri, pelabuhan logistik luar negeri, dan pelabuhan

Metode

(3)

perokok, yang berkisar dari perokok ringan hingga perokok berat. Beberapa pekerja juga memiliki jarak menuju ke tempat pekerjaan cukup jauh sehingga berkemungkinan terkena pajanan di luar tempat ker-ja. Tidak ada pekerja yang mengakui sebagai pero-kok pasif.

Menurut wawancara dengan pekerja, tidak ada perusahaan yang melakukan baik aktivitas fisik rin-gan secara khusus setiap minggu, atau pengecekan paru-paru. Pemberian APD Masker juga tidak semua perusahaan memberikan. Untuk beberapa perus-ahaan pemberian APD juga tidak memenuhi standar yang seharusnya ada. Menurut beberapa pekerja peggunaan APD juga tidak dirasa diperlukan asalkan pekerja tersebut dapat mengurus diri mereka sendiri.

Beberapa lokasi titik sampling berada dekat dengan lalu-lintas utama dan padat aktivitas, seperti pada Terminal Operasional 1, 2, dan 3. Adapula lo-kasi titik yang berada pada tempat yang dekat dengan area operasional namun jauh dari keramaian lalu-lintas seperti pada gerbang PT MAL dan PT Adipurusa. Pada TPK Koja, seluruh titik sample memiliki tingkat kepdatan lebih rendah dan jarak yang cukup jauh dari lalu lintas kendaraan utama. Sedangkan pada Pos 1, 8, dan 9, kondisi titik sample berdekatan dengan jalan raya, namun dengan kepadatan yang sedikit lebih rendah dibandingkan dengan Terminal Operasional.

Pada pencemaran PM2,5, dilakukan pengambilan sampel pada waktu peak dan waktu rendah dalam 1 jam, kemudian digunakan angka rata-rata sebagai penggambaran jumlah pajanan yang diterima pekerja rata-rata. Pada 30 titik, didapat angka teren-dah yaitu pada 42,59 µm/m3 dan tertinggi pada 517,80 µm/m3 dan berdasarkan statistik didapat rata -rata 181,874 µm/m3. Rata-rata suhu saat pengambi-lan cukup tinggi yaitu 34,4 derajat celcius dengan kelembaban rata-rata 55,63%. Kecepatan angin pa-da pengambilan pa-data sekitar 2,34 m/s sehingga berkemungkinan PM2,5 terbawa dengan jarak yang cukup jauh. Data PM2,5 tertinggi dimiliki oleh Terminal Operasional (TO) 3 titik 3 dan terendah pada TPK Koja titik 3.

Titik dengan PM2,5 tertinggi merupakan titik dengan kondisi berada dekat dengan jalan, maupun pada titik yang berhubungan langsung dengan sum-ber pencemar. Lalu-lalang kendaraan yang tinggi juga berkontribusi dalam perbedaan tingkat pence-maran PM2,5 pada setiap titiknya.

Menurut wawancara dengan petugas dari lapan-gan, kondisi pada saat pengambilan data sedang tergolong kering dengan keadaan tinggi lalu-lintas. penumpang. Pelabuhan beroperasi selama 24 jam

setiap harinya, dengan tingkat peak berbeda untuk setiap fungsi nya.

Fasilitas Pelabuhan Tanjung Priok, menurut por-tal informasi PT Pelindo, termasuk pelayanan pelabuhan logistik dan pelayanan pelabuhan penumpang. Pelabuhan logistik memiliki beberapa perusahaan sebagai penanggung jawab, diantara lain PT Pelabuhan Tanjung Priok (PTP), PT PELIN-DO II, PT Mustika Alam Lestari (MAL), PT Adipuru-sa, dan PT Terminal Peti Kemas (TPK) Koja. Se-bagai gerbang utama keluar-masuk kendaraan logis-tik, Pelabuhan Tanjung Priok memiliki 10 gerbang yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan tersebut.

Pada setiap gerbang terdapat beberapa karya-wan yang bertugas sebagai operator di dalam kabin, di luar sebagai checker, dan sebagai petugas ke amanan yang berada di sekitar gerbang keluar mau-pun masuk menuju dermaga tempat kegiatan ber-langsung. Para petugas memiliki tugas masing -masing, dan untuk petugas lapangan dan operator memiliki giliran untuk berjaga di luar maupun di da-lam kabin. Setiap pekerja memiliki waktu berbeda.

Untuk pekerja lapangan dan operator, mereka memiliki waktu 8 jam per harinya, dan bekerja di 3 shift berbeda dengan pola: Shift A- Shift A-Shift B

-Shift B-Shift C-Shift C-Libur, sehingga kemungkinan terkena pajanan di 3 waktu berbeda dalam 1 minggu waktu kerja. Untuk petugas keamanan, mereka memiliki waktu 12 jam perharinya, dan bekerja di 2 shift berbeda, dengan pola Shift A-Shift A-Shift B

-Shift B-Libur, dan Shift A-Shift A-Shift A-Shift B-Shift B-Shift B-Libur. Para pekerja ini berkontak langsung dengan pajanan utama yaitu pajanan emisi gas bu-ang dari kendaraan berat ybu-ang keluar-masuk area operasional logistik.

Untuk beberapa perusahaan, pekerja diberikan alat pelindung diri, termasuk untuk alat pelindung pernapasan berupa masker. Namun dari ke-banyakan masker yang diberikan tidak ada yang me-menuhi standar perlindungan masker N95, hanya sekedar sebagai pembatas antara debu dengan pekerja. Untuk beberapa perusahaan, para pekerja mengaku dalam wawancara bahwa perusahaan tid-ak memberikan mereka masker untuk beberapa la-ma tanpa alasan sehingga mereka harus menggunakan alat pelindung seperti buff milik pribadi. Beberapa petugas juga memilih untuk tidak menggunakan masker tersebut dengan alasan kare-na pakare-nas dan tidak merasa membutuhkan.

(4)

Untuk pekerjaan lain, sebanyak 55 orang menya-takan bahwa mereka tidak memiliki pekerjaan lain, dan 20 orang sisanya menyatakan bahwa mereka memiliki pekerjaan lain. Dari 20 orang, sebanyak sembilan orang menyatakan bahwa mereka bekerja sebagai supir angkutan online motor.

Untuk karakteristik pekerja (Tabel 2), ke-banyakan pekerja adalah perokok dengan total 62 (82,7%) pekerja adalah perokok aktif. Berdasarkan hasil wawancara, tidak ada pekerja yang merupakan perokok pasif. Menurut data indeks Brinkman, atau indeks yang menyatakan jumlah rokok yang sudah mereka hisap selama masa mereka merokok, yang terkategori sebagai berat atau di atas 500 batang berjumlah 5 orang (6,7%), 15 orang (20%) tergolong ke dalam perokok sedang atau 300-499 batang dan 41 orang (54,7%) berada pada perokok ringan. Keti-ka diwawancarai, beberapa pekerja menyataKeti-kan bahwa mereka merasakan adanya perubahan per-ilaku merokok ketika bekerja, seperti terbawa rekan dan lain sebagainya.

Untuk kebiasaan berolahraga, kebanyakan pekerja melakukan olah raga rutin setidaknya 1 minggu sekali selama 60 menit (CDC, 2017), yaitu sebanyak 47 orang (62,7%). Sebanyak 28 orang (37,3%) pekerja menyatakan bahwa mereka tidak melakukan olah raga dikarenakan alasan bahwa

dengan pekerjaan mereka, mereka sudah

melakukan aktivitas fisik sehingga tidak membutuh-kan adanya tambahan aktivitas fisik

Untuk penggunaan APD saat bekerja, pekerja kebanyakan menggunakan APD berupa masker saat bekerja, walaupun tidak sesuai standar, yaitu ber-jumlah 57 orang (76%). Pekerja yang memilih tidak Pada saat pengambilan sample udara, kegiatan

pelabuhan logsitik sedang pada kondisi puncak, dengan tingginya lalu lintas.

Variabel karakterstik pekerja dilihat berdasarkan karakteristik antopometri, kebiasaan merokok, kebia-saan menggunakan APD, dan kemungkinan pajanan lain seperti dari perjalanan maupun dari pekerjaan lain.

Pekerja pada Pelabuhan Tanjung Priok untuk pekerja di lapangan seluruhnya merupakan laki-laki, dengan rentang umur 21 hingga 60 tahun. Menurut statistik, rata-rata pekerja di lapangan berumur 36,65 tahun. Tinggi pekerja yang di teliti berkisar antara 1.55 meter hingga 1.82 meter dengan rata-rata 1.69 meter. Untuk berat badan pekerja, rata-rata menurut statistik yaitu 72,85kg, dengan tertinggi 100 kg, dan terendah 45 kg.

Pekerja yang diwawancarai memiliki lama kerja perjam perharinya enam hingga dua belas jam per-hari, dengan rata-rata menurut statistik yaitu 10,24 jam per harinya. Masa kerja terlama yang di dapat adalah selama 29 tahun, dan terendah yaitu 1 tahun dengan rata-rata masa bakti kerja secara satistik 10,6 tahun.

Rata-rata perjalanan pekerja dari rumah ketem-pat kerja adalah 1 hingga 110 kilometer dan secara statistik memiliki rata-rata 17,740 km, dengan lama perjalanan secara statistik 0,79. Untuk jenis ken-daraan, kebanyakan menggunakan motor dengan jumlah pekerja 62 orang (82,7%).

Karakteristik Gejala PPOK Total OR (95% CI) Ya Tidak p-value n % n % n % Umur Pekerja 4,607 0,456-46,539 0,160 > 40 Tahun 3 4 28 37,3 31 41,3 < 40 Tahun 1 1,3 43 57,3 44 58,7

Status Indeks Masa

Tubuh 0,769 0,102-5,781 0,789 Tidak Ideal 2 2,7 39 53,4 41 56,2 Ideal 2 2,7 30 41,1 32 43,8 Kebiasaan Merokok 0,183 0,023-1,1442 0,076 Ya 2 2,7 60 80 62 82,7 Tidak 2 2,7 11 14,7 13 17,3 Kebiasaan Berolah Raga 1,731 0,230-13,028 0,590 Ya 2 2,7 45 60 47 62,7 Tidak 2 2,7 26 34,7 28 37,3

(5)

ka FEV1 dibandingkan dengan pembanding angka ideal ras Asia-Tenggara milik GLI yang mengacu kepada tinggi dan umur responden, tertinggi pada angka 95% dan terendah pada angka 95% dengan rata-rata 78,11%.

Untuk menyatakan adanya obstruksi atau tidak, ang-ka FEV1/FVC harus berada di bawah 70%, menurut GLI dan PDPI. Berdasarkan acuan ini, sebanyak 29 orang terindikasi obstruksi paru, baik PPOK maupun asma. Untuk menentukan apakah penderita terma-suk PPOK atau tidak, setidaknya obstruksi, menurut KEMENKES RI (2012), tingkat obstruksi berada pa-da obstruksi ringan atau FEV1 > 70% sebagai syarat bahwa adanya obstruksi dengan gabungan adanya gejala pendukung lainnya. Untuk PPOK eksaserbasi akut dimulai pada tingkat obstruksi sedang atau pa-da FEV1 diantara 69% hingga 50%. Dari keseluruhan responden yang menderita obstruksi, 4 orang berada pada obstruksi ringan dan 25 orang berada pada ob-struksi sedang. Dengan menggabungkan hasil diag-nosa dan obstruksi sedang maka didaptkan 4 orang yang terindikasi ada gejala PPOK Eksaserbasi Akut. Untuk analisis bivariate PM2,5 dengan Gejala PPOK Eksaserbasi Akut, digunakan uji Mann Whitney U karena kondisi distribusi yang tidak normal. Dari uji statistik, dinyatakan bahwa tidak ada signifikansi an-tara PM2,5 dengan Gejala PPOK Eksaserbasi Akut (p

-value > 0.05).

Analisis bivariat pekerja dengan karakteristik dan kebiasaan pekerja dilakukan menggunakan uji chi

-square beserta uji Mann Whitney U karena jumlah distribusi yang tidak normal. Analisis uji Chi-Square dilakukan pada variable kategorik seperti kategori umur pekerja, status indeks massa tubuh (normal dan tidak), kebiasaan merokok, dan kebiasaan olahraga. Analisis uji Mann Whitney U dilakukan pa-da variable numerik karena kondisi pa-data yang tipa-dak memiliki distribusi normal sehingga hanya dilihat pa-da angka p-value-. Variabel tersebut antara lain, var-iable antopometri, varvar-iable indeks batang merokok, lama merokok, jarak ke tempat kerja, dan lama per-jalanan (Tabel 3).

Pada analisis bivariat dengan karakteristik pekerja tidak ditemukan adanya variable yang menunjukkan bahwa adanya signifikansi dengan kejadian gejala PPOK Eksaserbasi akut, baik untuk analisis menggunakan uji Chi-Square maupun uji Mann Whit-ney U (p-Value > 0.05). Dari keseluruhan data, tidak ditemukannya adanya signifikansi antara Gejala PPOK Eksaserbasi Akut, dengan variable yang seharusnya dapat memengaruhi.

menggunakan APD berupa masker menyatakan bahwa mereka merasa terlalu panas jika harus menggunakan masker dan tidak merasa ada tanda seperti serak dan lain sebagainya.

Untuk kategori gizi, pekerja di kelompokan ber-dasarkan indeks massa tubuh atau IMT (Body Mass Index atau BMI). Berdasarkan hasil wawancara, pekerja dengan IMT ideal menduduki peringkat per-tama dengan 32 orang (42,7%), dan disusul oleh pekerja dengan IMT lebih atau overweight sebesar 27 orang (36%). Sebanyak tiga pekerja (4%) terkate-gorikan sebagai IMT rendah karena kurangnya mas-sa tubuh mereka, dan 13 orang (17,3%) tergolong gemuk atau memasuki tahap obesitas I.

Para pekerja di Pelabuhan Tanjung Priok, menurut hasil wawancara, tidak ada yang pernah terdiagnosa pneunomia, sinusitis, maupun PPOK terdahulu. Namun dari seluruh pekerja dua orang pernah terdiagnosa asma dan tiga orang pernah terdiagnosa bronchitis setelah bekerja di pelabuhan. Ketika dilaksanakan wawancara, dua puluh pekerja mengakui bahwa setelah bekerja di pelabuhan, mereka merasakan perubahan pernapasan dan memburuk. Beberapa pekerja juga merasakan bah-wa perubahan tersebut dapat dipicu dengan asap kendaraan yang lalu-lalang, maupun karena interaksi dengan rekan mereka yang merupakan perokok be-rat. Beberapa pekerja juga mengakui bahwa mereka terbawa dengan kebiasaan rekan mereka sehingga mereka akhirnya merokok dan bahkan menambah rokok yang menurut mereka membuat pernapasan semakin memburuk.

Untuk mendiagnosa gejala PPOK Eksaserbasi Akut, pekerja diberikan beberapa pertanyaan yang disesuaikan dengan tes penilaian PPOK atau COPD Asessment Test. Dari hasil wawancara, karena dil-aksankan saat puasa, pekerja tidak ada yang mera-sa lemah selain pada waktu berpuamera-sa, maupun mera-sakit di dada ketika berjalan. Namun, delapan pekerja mengakui mereka telah mengalami sesak napas lebih dari dua minggu dan berulang, serta lima belas orang mengakui sudah batuk berdahak lebih dari dua minggu. Sebanyak sembilan orang menyatakan bahwa dahak yang dikeluarkan berwarna kuning pekat dan keemasan. Tes warna sputum tidak dapat dilakukan karena sedang dalam kondisi berpuasa dan tidak dianjurkan oleh dokter dari Kantor Kesehatan Pelabuhan.

Hasil tes kapasitas paru menggunakan spirometer menunjukkan bahwa tingkat persen FEV1/FVC mem-iliki angka terendah di 29% dan tertinggi 95% dengan rata-rata secara statistik 71,3%. Untuk

(6)

ang-dari DeVries, Kriebel, dan Sama (2016), PM2,5 tidak akan memiliki signifikansi dengan kejadian PPOK eksaserbasi akut pada kadar PM2,5 yang rendah, dan lebih cenderung karea adanya pencemar lain. Selain itu menurut DeVries (2016), jika pencemar lainnya ada dan dalam kadar yang lebih tinggi, kejadian eksaserbasi akut akan lebih besar dipicu oleh pence-mar lain yang berkaitan dengan PM2,5.

Kedua teori tersebut mendukung hasil penelitian yang menunjukkan bahwa p-value yang diberikan berada di atas 0.05 yaitu pada 0,275 (Tabel 1). Na-mun, ada kemungkinan juga bahwa hasil tersebut didapat karena responden yang tergolong sedikit. Kebanyakan data yang menunjukkan signifikan menggunakan data di atas setidaknya 150.000 orang dengan kategori umur di atas 40 tahun untuk membuktikan adanya obstruksi (Janssen, 2013).

Tabel 1 Hubungan PM2.5 dan Gejala PPOK Pelabuhan Tanjung Priok, 2018

Menurut GOLD (2017), karakteristik seperti jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, dan IMT bermain peran dalam tingkat obstruksi paru dan tingkat pernapasan seseorang. Pada kasus IMT, menurut GOLD (2017), pasien dengan IMT yang tidak ideal rentan terkena penyakit paru obstruksi, dan pasien dengan IMT obesitas rentan terkena paru restriksi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Marpaung (2015), IMT juga bermain peran sebagai salah satu faktor yang memengaruhi PPOK dengan p-value 0,004. Menurut Li (2015) dalam penelitian meta -analisis, pasien yang rentan terkena PPOK Eksaser-basi akut berada pada usia 40 tahun ke atas dengan nilai signifikansi 0,002. Namun pada penelitian ini, tidak ada karakteristik baik umur maupun IMT para pekerja.

Untuk jenis kelamin tidak dapat di analisis karena jenis kelamin pekerja hanya pria dan tidak ada per-empuan sama sekali yang bekerja di lapangan. Kon-disi ini juga menjadikan data perbandingan terhadap jenis kelamin tidak valid sehingga tidak dilakukan perhitungan lebih lanjut.

Untuk kondisi pre-eksisting, seperti riwayat pen-yakit, menurut Cukic (2016), Ni (2015), Li (2015), dan Marpaung (2015), memiliki tingkat signifikansi yang cukup baik sebagai pengaruh dari kejadian PPOK maupun PPOK eksaserbasi akut. Menurut Cukic (2016), ketika adanya kerusakan pada paru -Tabel 3 Hubungan faktor risiko dengan gejala AECOPD

Berdasarkan hasil pengukuran pada bab sebe-lumnya, sebanyak 29 orang telah terindikasi adanya obstruksi dengan menggunakan alat spirometry. Angka FEV1kemudian dibandingkan dengan angka FVC, yang perhitungan dalam persennya akan menunjukan apakah pekerja obstruksi atau tidak. Menurut standar GLI, tingkat obstruksi adalah ketika angka persen menunjukan <70%. Untuk menen-tukan tingkatannya, pembanding dengan angka ideal digunakan untuk menunjukan persenannya dan dinyatakan bahwa 4 orang termasuk ke dalam struksi ringan, sedangkan 25 orang termasuk ob-struksi sedang.

Menurut Riset Kesehatan Indonesia 2013 (KEMENKES RI, 2014), prevalensi PPOK DKI Jakar-ta seharusnya hanya berada pada tingkat 1,6% dari populasi, namun pada penelitian ini, jumlah obstruksi yang terjadi melebihi angka 1,6% yaitu sebanyak 29 orang atau 38,9% dari populasi. Angka ini kemung-kinan dapat juga terjadi karena kondisi sampel yang tergolong sedikit sehingga tidak menggambarkan seluruh populasi pada lokasi tersebut. Terjadinya kerusakan paru obstruktif ini bisa dipicu bermacam -macam variable, termasuk usia, kebiasaan hidup sehat, dan intensitas merokok. Selain itu PM2,5 ber-main peran sebagai salah satu faktor yang dapat memperburuk keadaan paru-paru. Walaupun pekerja mendapatkan waktu libur setelah 6 kali masuk, tetapi kondisi paru-paru yang sudah memasuki tahap ob-struksi sebaiknya diberikan perhatian lebih.

Pada analisis data bivariat, hasil statistik menun-jukan bahwa tidak ada signifikansi antara PM2,5 dengan gejala PPOK eksaserbasi akut. Jika mengacu kepada teori yang diberikan, walaupun su-dah melebihi kadar WHO dan standar milik Indone-sia, kebanyakan pencemaran masih memiliki Time Weighted Average dibawah 500 µm/m3. Menurut Wang dkk (2016), untuk terjadinya tanda-tanda ob-struksi, pada model tikus, TWA yang diberikan be-rada pada kadar 500 µm/m3. Selain itu penelitian

Variabel

Gejala PPOK Eksa-serbasi Akut

p-value

PM2,5 0,257

Variabel Gejala AECOPD

p-value Tinggi Badan 0,456

Berat Badan 0,603

Lama Kerja per Hari dalam Satuan

Jam 0,453

Tahun Lama Bekerja di Pelabuhan 0,388 Lama Merokok 0,680 Jumlah Batang Per Hari 0,219 Jarak Rumah ke Tempat Kerja 0,407 Lama di Perjalanan 0,329

(7)

long jauh dari sumber pencemaran seperti lalu-lintas, maupun kegiatan dan aktivitas logistik. Selain itu, kendaraan yang lalu-lalang, dari maupun menuju ke lokasi operasional tergolong sedikit dan tidak sepa-dat pada TO 3 sehingga menyebabkan tinggi PM2,5 sangat berbeda jauh.

Sumber dari pencemar PM2,5- -ini kebanyakan merupakan gabungan dari gas buangan kendaraan berat, serta debu alami yang berada di sekitar titik sample akibat aktivitas dari lalu-lalang kendaraan. Kondisi pelabuhan yang cukup tandus juga menjadi peran karena menurut US EPA (2015), adanya tana-man hijau berfungsi sebagai peredam pencemaran di pelabuhan. Pada beberapa lokasi seperti pada terminal operasional 3 dan juga pada PT Adipurusa, tidak terdapat tanaman hijau disekitar titik pengambi-lan sampel sehingga PM2,5 yang di dapat cukup be-sar.

Particulate Matter atau PM adalah salah satu pencemar udara yang dapat bersumber dari aktivitas manusia maupun aktivitas natural. Salah satu PM yang termasuk berbahaya adalah PM2,5 yaitu PM dengan ukuran >2,5 mikrometer. PM2,5 dapat me-nyebabkan kerusakan paru-paru diantara lain, Pen-yakit Paru-Paru Kronis atau PPOK dan Asma. Dalam kondisi ketika pasien PPOK tidak melakukan perbai-kan, maka menurut penelitian dapat berkembang dengan kondisi yang disebut sebagai PPOK Eksa-serbasi Akut.

Pelabuhan Tanjung Priok memiliki beberapa gerbang yang beroperasi sebagai gerbang operasional menuju lokasi logsitik. Para pekerja lapangan yang berada di sekitar sini sangat rawan terkena pajanan karena kondisinya yang berdekatan dengan sumber langsung yaitu kendaraan berat. Pekerja yang bekerja lebih dari 6 jam setiap harinya berpotensi untuk terkena PPOK dan PPOK Eksaser-basi Akut, terutama yang lebih dari 1 tahun masa bakti. Sehingga penelitian dilaksakan dengan re-sponden petugas lapangan tersebut. Penelitian menggunakan metode observasi dengan pendeka-tan cross-sectional.

Dari hasil wawancara dan observasi didapat bah-wa titik tertinggi PM2,5 berada pada TO 3 titik 3, se-mentara pada TPK Koja, pencemaran PM2,5 memiliki titik terendah. Dari 75 responden, 29 terindikasi ob-struksi paru, atau lebih dari prevalensi 2.6%. Dari yang terindikasi obstruksi paru, 4 orang terindikasi PPOK Eksaserbasi Akut.

paru, perkembangan kerusakan lanjutan akan mem-permudah terjadinya PPOK, dan jika sudah pernah terindikasi PPOK maka kemungkinan akan ter-jadinya PPOK eksaserbasi akut membesar.

Namun pada penelitian ini, secara statistik kondi-si pre-eksisting dan riwayat penyakit menunjukkan tidak ada signifikansi dengan p-value > 0.05. Kondisi pre-eksisting asma dan bronchitis tidak memiliki sig-nifikansi, sedangkan tidak ada responden yang memiliki kondisi pre-eksisting PPOK sebelumnya. Hal ini didukung hasil penelitian oleh Li (2015), yang menyatakan bahwa signifikansi hanya dapat terlihat pada pasien dengan PPOK pada riwayat hidupnya. Menurut Janssen (2013) dengan p=0,031, pasien PPOK yang berulang akan memiliki signifikansi, dibandingkan dengan pasien dengan asma maupun bronchitis.

Menurut penelitian oleh Marpaung (2015), tingkat merokok memiliki p =0,001 yang menjadikannya sig-nifikan dengan kejadian PPOK, dan menurut data milik Zanobetti dkk (2014), admisi rumah sakit kare-na PPOK Eksaserbasi Akut dengan riwayat merokok memiliki persentase lebih tinggi dibandingkan yang tidak. Namun, pada penelitian ini secara statistik tid-ak ditemukannya signifikansi antara konsumsi rokok dengan PPOK eksaserbasi akut. Pada analisis pada tingkat Brinkman, pekerja tidak dapat dianalisis kare-na pada tingkat Brinkman sedang tidak ada pekerja yang terdeteksi adanya gejala PPOK Eksaserbasi akut.

Besar PM2,5 menurut US EPA (2017) dan Mueller dkk (2012), yang berada di pelabuhan sangat di-pengaruhi oleh kepadatan aktivitas di pelabuhan ter-sebut. Pada titik tertinggi yaitu Terminal Operasional 3 titik 3, jumlah kepadatan menurut hasil observasi tergolong tinggi dan juga di dukung dengan letaknya yang berdekatan dengan jalan sehingga pencemar datang dari aktivitas keluar-masuk gerbang dan juga aktivitas lalu-lalang kendaraan berat di lapangan, dan juga dengan laut yang menambah kencangnya angin. Tingginya kecepatan angin ditambah kondisi temperature yang mendukung menjadikan titik terse-but dapat menghasilkan PM2,5 yang tinggi karena karakterstik PM2,5 yang memiliki berat yang ringan sehingga dapat terbawa hingga sejauh berkilo -kilometer (Marpaung, 2015).

Sementara pada titik terendah yaitu pada TPK Koja, jumlah gerbang yang cukup banyak dan lokasi yang jauh dari keramaian kendaraan menjadi faktor mengapa PM2,5 pada titik tersebut tergolong rendah, bahkan untuk kondisi puncak sekalipun. Kondisi pa-da titik tersebut apa-dalah lokasinya yang berapa-da

(8)

Cukic, V., Lovre, V., Dragisic, D. and Ustamujic, A. (2012). Asthma and Chronic Obstructive Pul-monary Disease (Copd) and #8211; Differ-ences and Similarities. Materia Socio Medica, 24(2), p.100

DeMeo, D., Zanobetti, A., Litonjua, A., Coull, B., Schwartz, J. and Gold, D. (2004). Ambient Air Pollution and Oxygen Saturation. American Journal of Respiratory and Critical Care Med-icine, 170(4), pp.383-387.

DeVries, R., Kriebel, D. and Sama, S. (2016). Low level air pollution and exacerbation of existing copd: a case crossover analysis. Environ-mental Health, 15(1).

Direktorat P2PTM. (2016). Kenali Penyakit Paru Ob-struktif Kronik (PPOK) - Direktorat P2PTM.

[online] Available at: http://

p2ptm.kemkes.go.id/bagian/subdit-penyakit -paru-kronik-dan-gangguan-imunologi/kenali -penyakit-paru-obstruktif-kronik-ppok

[Accessed 15 Apr. 2018].

Dockery, D., Pope, C., Xu, X., Spengler, J., Ware, J., Fay, M., Ferris, B. and Speizer, F. (1993). An Association between Air Pollution and Mortal-ity in Six U.S. Cities. New England Journal of Medicine, 329(24), pp.1753-1759.

Falcon-Rodriguez, C., Osornio-Vargas, A., Sada -Ovalle, I. and Segura-Medina, P. (2016). Aeroparticles, Composition, and Lung Dis-eases. Frontiers in Immunology, 7.

Fahri, I., Sutoyo, D. and Yunus, F. (2009). Efek Peradangan Sistemik Pada PPOK Terhadap Sistem Kardiovaskular. Jurnal Respilogi Indo-nesia, 29(3).

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Dis-ease (2017). Pocket Guide To Copd Diagno-sis, Management, And Prevention A Guide for Health Care Professionals. Global Initia-tive for Chronic ObstrucInitia-tive Lung Disease, p.6.

Grunig, G., Marsh, L., Esmaeil, N., Jackson, K., Gor-don, T., Reibman, J., Kwapiszewska, G. and Park, S. (2014). Perspective: Ambient Air Pollution: Inflammatory Response and Effects on the Lung's Vasculature. Pulmonary Circu-lation, 4(1), pp.25-35.

Haerul, M. (2014). Analisis Pajanan Particulate Mat-ter (PM) 2,5 pada Pekerja di Industri Pen-golahan Batu Kapur di Desa Ciampea Kabu-paten Bogor pada Tahun 2013. Undergradu-Berdasarkan hasil analisis, tidak ditemukan

adanya signifikansi untuk semua variabel secara statistik. Hal ini didukung beberapa teori, walaupun ada kemungkinan karena jumlah sample yang tergo-long sedikit. Penyakit yang jarang juga membuat kemungkinan pada akhirnya analisis statistik tidak menunjukkan adanya signifikansi. Ketidakadaan sig-nifikansi ini dapat disebabkan oleh kurangnya jumlah responden yang memadai, dan sedikitnya prevalensi untuk terkena baik PPOK maupun PPOK Eksaser-basi akut. Karena kondisi ini lah, dibutuhkan sample yang lebih luas dan lebih baik agar mendapatan nilai signifikansi yang baik.

Saran untuk perusahaan dan KKP adalah men-jadikan PM2,5 sebagai indikator pencemaran untuk seluruh titik. Lalu melakukan pemeriksaan paru berkala karena kondisi paru-paru pekerja beberapa berada pada tahap obstruksi ringan dan sedang. Melakukan penghijauan di beberapa titik agar tidak tandus dan sebagai pagar penghambar PM2,5.

Airnow.gov. (2018). AirNow. [online] Available at: https://airnow.gov/index.cfm?

ac-tion=airnow.global_summary#Indonesia$Jak arta_South [Accessed 27 Apr. 2018].

Aqicn.org. (2018). Jakarta South (US Consulate), Indonesia Air Pollution: Real-time PM2.5 Air Quality Index (AQI). [online] Available at: http://aqicn.org/city/indonesia/jakarta/us -consulate/south/m/ [Accessed 27 Apr. 2018]. Canadian Center for Occupational Health and

Safe-ty. (2017). How Do Particulates Enter the Respiratory System?. [online] Available at: https://www.ccohs.ca/oshanswers/chemicals/ how_do.html [Accessed 6 Apr. 2018].

Classification of Chronic Obstructive Pulmonary Dis-ease (COPD) according to the new Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Dis-ease (GOLD) 2017: Comparison with GOLD 2011. (2017). COPD: Journal of Chronic Ob-structive Pulmonary Disease, 15(1), pp.21 -26.

CDC. (2016). CDC - Spirometry - Spirometry Train-ing Program: NHANES III Reference Values -NIOSH Workplace Safety and Health Topic. [online] Available at: https://www.cdc.gov/ niosh/topics/spirometry/nhanes.html

[Accessed 5 Apr. 2018].

Daftar Pustaka

(9)

Mortality, and Long-term Exposure to Fine Particulate Air Pollution. JAMA, 287(9), p.1132.

Siahaan, E. (2012). Pengembangan Pelabuhan Berwawasan Lingkungan (Ecoport) Dalam Rangka Pengelolaan Pesisir Terpadu (Studi Kasus Pelabuhan Tanjung Priok). Master De-gree. Institut Pertanian Bogor.

U.S. Embassy & Consulates in Indonesia (2018). U.S. Embassy Jakarta Air Quality Monitor. [online] U.S. Embassy & Consulates in Indo-nesia. Available at: https://id.usembassy.gov/ embassy-consulates/airqualitymonitor/ [Accessed 27 Apr. 2018].

US EPA. (2016). Particulate Matter (PM) Pollution | US EPA. [online] Available at: https:// www.epa.gov/pm-pollution [Accessed 4 Apr. 2018].

US EPA (2017). National Port Strategy Assessment: Reducing Air Pollution and Greenhouse Gas-es at U.S. Ports | US EPA. [online] US EPA. Available at: https://www.epa.gov/ports -initiative/national-port-strategy-assessment -reducing-air-pollution-and-greenhouse-gases -us [Accessed 24 Mar. 2018].

Wang, H., Song, L., Ju, W., Wang, X., Dong, L., Zhang, Y., Ya, P., Yang, C. and Li, F. (2017). The acute airway inflammation induced by PM2.5 exposure and the treatment of essen-tial oils in Balb/c mice. Scientific Reports, 7, p.44256.Mueller, D., Uibel, S., Takemura, M., Klingelhoefer, D. and Groneberg, D. (2011). Ships, ports and particulate air pollution - an analysis of recent studies.Journal of Occupa-tional Medicine and Toxicology, 6(1), p.31. World Health Organization Europe Regional Office

(2013). Health Effects of Particulate Matter. Copenhagen: WHO Regional Office for Eu-rope.

World Health Organization. (2016). Ambient (outdoor) air quality and health. [online] Avail-able at: http://www.who.int/mediacentre/ factsheets/fs313/en/ [Accessed 4 Apr. 2018]. World Health Organization (2016). GHO | World

Health Statistics data visualizations dash-board | Ambient air pollution. [online] GHO. Available at: http://apps.who.int/gho/data/ node.sdg.11-6-viz?lang=en [Accessed 27 Apr. 2018].

Xing, Y., Xu, Y., Shi, M. and Lian, Y. (2016). The im-ate. Universitas Indonesia.

ICD-10-CM Codes (2018). 2018 ICD-10-CM Diagno-sis Code J44.1: Chronic obstructive pulmo-nary disease with (acute) exacerbation. [online] Icd10data.com. Available at: http:// www.icd10data.com/ICD10CM/Codes/J00 -J99/J40-J47/J44-/J44.1 [Accessed 27 Apr. 2018].

Janssen, N., Fischer, P., Marra, M., Ameling, C. and Cassee, F. (2013). Short-term effects of PM2.5, PM10 and PM2.5–10 on daily mortali-ty in the Netherlands. Science of The Total Environment, 463-464, pp.20-26.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2016). Profil Kesehatan Republik Indonesia 2013. KEMENKES RI.

Kurnia, L. and Keman, S. (2014). Analisis Risiko Pa-paran Debu PM 2,5 terhadap Kejadian Pen-yakit Paru Obstruktif Kronis pada Pekerka

Bagian Boiler Perusahaan Lem di

Probolinggo. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 7 (2), pp.118-125.

Li, J., Sun, S., Tang, R., Qiu, H., Huang, Q., Mason, T. and Tian, L. (2016). Major air pollutants and risk of COPD exacerbations: a systemat-ic review and meta-analysis. International Journal of Chronic Obstructive Pulmonary Disease, Volume 11, pp.3079-3091.

Marpaung, Y. (2015). Pengaruh Pajanan Debu Res-pirable PM2.5 Terhadap Kejadian Gangguan Fungsi Paru Pedagang Tetap di Terminal Terpadu Kota Depok Tahun 2012. Sarjana. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Mueller, D., Uibel, S., Takemura, M., Klingelhoefer, D. and Groneberg, D. (2011). Ships, ports and particulate air pollution - an analysis of recent studies. Journal of Occupational Medi-cine and Toxicology, 6(1), p.31.

Nall, R. (2017). COPD hypoxia: Causes, symptoms, and treatment. [online] Medical News Today.

Available at: https://

www.medicalnewstoday.com/

articles/316136.php [Accessed 25 Mar. 2018].

Ni, L., Chuang, C. and Zuo, L. (2015). Fine particu-late matter in acute exacerbation of COPD. Frontiers in Physiology, 6.

(10)

pact of PM2.5 on the human respiratory sys-tem. Journal of Thoracic Diseases, 8(I), pp.E69-E74.

Zanobetti, A., Franklin, M., Koutrakis, P. and Schwartz, J. (2009). Fine particulate air pollu-tion and its components in associapollu-tion with cause-specific emergency admissions. Envi-ronmental Health, 8(1).

Gambar

Tabel 2 Karakteristik Responden
Tabel 1 Hubungan PM2.5 dan Gejala PPOK Pelabuhan Tanjung   Priok, 2018

Referensi

Dokumen terkait

Seandainya produk yang dihasilkan dan dijual (diserahkan) oleh PT ABC tergolong sebagai barang dan jasa yang tidak dikenakan (tidak terutang) PPN, maka ketujuh PM yang terkait

Sehubungan dengan itu, Lembaga Penelitian Universitas Negeri Padang bekerjasama dengan Pimpinan Universitas, telah memfasilitasi peneliti untuk melaksanakan penelitian

Apa saja yang menjadi kendala penegakan hukum terhadap pelaku usaha. tambang timah yang tidak memiliki IUP, IPR, dan IUPK di

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat mengikuti pendidikan di Departemen Teknik Industri USU

Klasifikasi adalah salah satu solusi dalam data mining untuk mengurai permasalahan tersebut, dengan mengklasifikasikan jenis-jenis penyakit yang berhubungan dengan

stick dimana batas tingkat paparan panas ini perlu dibandingkan dengan SNI 16-. 7063-2004 tentang Nilai Ambang Batas iklim kerja (panas),

Menu yang ada di cermin cembung sama dengan menu yang ada di cermin cekung, yaitu: menu untuk mencari jarak fokus, menu untuk mencari jarak benda, dan menu untuk

Dari 70 sampel ini, diperoleh prevalensi dan faktor resiko penyakit ginjal kronik adalah hipertensi sebanyak 21 orang (30%) dan ini merupakan penyebab yang