• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konflik Agraria di Perkotaan dalam Perspektif HAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konflik Agraria di Perkotaan dalam Perspektif HAM"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Al Marsudi, Subandi. 2003, Pancasila dan UUD 1945 dalam Paradigma

Reformasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

A. Hansen, Stephen. 2000. Thesaurus of Economic, Social and Cultral

Rights: Terminology and Potential Violation, Washington: American

Association for Advancement of Science.

Azra, Azyumardi. 2003. Demokrasi, Hak Azasi Manusia dan Masyarakat

Madani, Jakarta: Penerbit Tim ICCE UIN.

Bambang Prasetyo dkk. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan

Aplikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Brewer, Anthony. 1999. Kajian Kritis: DAS KAPITAL KARL MARX,

Jakarta: Teplok Press.

Campbell, Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian,

Perbandingan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

E. Shobirin Nadj & Naning Mardiniah. 2000. Disemasi Hak Asasi

Manusia.Jakarta, CESDA-LP3ES.

Faisal, Sanafiah. 1995. Format Penulisan Sosial Dasa-Dasar Aplikasi,

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Fauzi, Noer dalam M. Mas’oed, 1997. Tanah dan pembangunan, Jakarta:

Penerbit Pustaka Sinar Harapan.

Idrus, Muhammad. 2005. Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan

(2)

Johnson, Doyle Paul. 1994. Teori Sosiologi Klasik dan Modern jilid 1, edisi

terjemahan, Jakarta: Gramedia.

Koalisi Untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK). 2014.

Menemukan Kembali Indonesia : Memahami Empat Puluh Tahun

Kekerasan Demi Memutus Rantai Impunitas. KKPK.

Kusumandaru, Ken Budha, 2006, Karl Marx, Revolusi, dan Sosialisme:

Sanggahan Terhadap Franz Magnis-Suseno, Yogyakarta: Resist Book.

Mandel, Ernest. 2005. Tesis-Tesis Pokok Marxisme, Yogyakarta: Resist

Book.

Nawawi, Hadari. 1987. Metodologi Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta:

Gajah Mada University Press.

Salam, Burhanuddin. 1996. Filsafat Pancasilaisme, Jakarta: PT Rineka

Cipta.

Salim, Arkal. 2000. Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, HAM, dan

Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Press.

Sumber Lain :

“Dampak Abaikan Pertanian. Perlu Sikap Revolusioner untuk Ciptakan

(3)

BAB III

PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab II tentang profil lokasi

penelitian, maka pada bab III ini peneliti akan mencoba menjelaskan

jawaban dari rumusan pertanyaan yang ada pada bab I yaitu menegenai

sebab-sebab terjadinya konflik dan bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang

dialami oleh masyarakat Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia,

Kota Medan. Peneliti akan membagi bab III ke dalam tiga sub-bab. Sub-bab

pertama akan membahas tentang pendeskripsian kronologi konflik yang

terjadi di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan

sesuai berdasarkan data yang diperoleh oleh peneliti. Sub-bab kedua, akan

mencoba memaparkan bagaimana bentuk okupasi lahan yang dilakukan oleh

Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) dan pada sub-bab

ketiga, peneliti akan menganalisis kasus ini dengan menggunakan teori

konflik oleh Karl Marx dan menganalisis Pelanggaran HAM yang terjadi di

konflik tersebut.

3.1. Asal Muasal Konflik Agraria Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia

Sengketa kepemilikan tanah antara masyarakat Kelurahan Sari Rejo

dan TNI-AU diawali oleh klaim TNI-AU terhadap 260 Ha tanah yang

(4)

TNI-AU adalah surat keterangan hak pakai nomer 1 tanggal 13 Juni 1997

seluas 35,35 Ha dan surat keterangan hak pakai nomer 4 tanggal 25 Juni

1997 seluas 267,53 Ha atas nama Departemen Pertahanan dan Keamanan

Republik Indonesia.

Masyarakat menilai bahwa tanah yang mereka duduki tidak pernah

diterbitkan surat keputusan hak pakai atas nama Departemen Pertahanan dan

Keamanan. Hal senada juga diungkapkan bapak Riwayat Pakpahan:

“Surat keputusan Mendagri saat itu yang berisi tentang pemberian HPL (Hak Pengelolaan Lahan) kepada Komando Wilayah Udara I Pangkalan Udara Medan kan sudah pernah dicabut. Tetapi mereka (TNI-AU) diberikan hak untuk mengajukan HPL lagi tetapi dengan syarat tanah yang mereka ajukan bebas dari pihak ketiga. Nah masalahnya masyarakat kan sudah lebih dulu ada di area ini yang artinya tanah ini tidak bebas dari pihak ketiga”.28

28

Wawancara dilakukan dengan Bapak Riwayat Pakpahan pada 22 April 2015 di Kelurahan Sari Rejo

Menurut penuturan informan di atas menunjukkan bahwa seharusnya

TNI-AU tidak lagi berhak mengklaim bahwa tanah di register 50506001

merupakan hak TNI-AU. Dengan landasan ini masyarakat mulai berusaha

untuk mempertahankan apa yang dianggap menjadi hak mereka. Masyarakat

menganggap bahwa keberadaan mereka sejak 1948 sampai dengan sekarang

menunjukkan bahwa tanah ini merupakan hak mereka yang diperoleh turun

menurun maupun pemindahtanganan dari pemilik sebelumnya yang juga

(5)

Masyarakat yang berdomisili di Kelurahan Sari Rejo saat ini

berjumlah sekitar 26.083 kepala keluarga, tersebar di sembilan lingkungan

dan sebagian telah menetap sejak tahun 1948 hingga sekarang dan terus

berkembang. Bukti masyarakat telah berada di tanah Sari Rejo juga

dikuatkan oleh pernyataan oleh Bapak Supadi :

“Saya masih ingat, saya dulu pindah bersama orang tua sekitar tahun 1946. Saat itu Belanda bersama sekutunya kembali ke Indonesia, dulu tempat ini semuanya tembakau dan sebagian rambung (pohon karet). Saya masih mengingat ada orang India di tanah ini (yang sekarang menjadi wilayah administratif Kelurahan Sari Rejo) banyak yang berternak sapi perah, bahkan sampai sekarang ada walaupun tidak sebanyak dulu”29

Konflik yang melibatkan masyarakat dan TNI-AU ini memuncak

yang diawali gugatan dari 87 warga (penggarap) terhadap Tentara Nasional

Indonesia – Angkatan Udara (TNI-AU) sebagai tergugat pada register IKN

No 50506001 yang terdapat di Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan .

Awal masuknya penduduk ke tanah Sari Rejo memang terjadi

setelah masa kemerdekaan. Masyarakat pendatang mulai berdatangan ke

tanah Sari Rejo akibat adanya pemilik tanah yang dulu banyak ditempati

oleh suku bangsa India yang mayoritas bermatapencaharian peternak sapi

perah mengalihkan kepemilikan tanah mereka ke masyarakat pendatang

mengingat saat itu Sari Rejo tidak lagi memungkinkan digunakan sebagai

lahan peternakan karena semakin padatnya penduduk yang bermukim di

area ini.

29

(6)

Polonia. Putusan Pengadilan Negeri Medan No 310/Pdt G/1989/PN-Mdn

tanggal 8 Mei 1990. Putusan tersebut memenangkan masyarakat penggarap

tanah di register 50506001. Tidak hanya itu saja, TNI-AU juga dinilai telah

melanggar hukum oleh pengadilan dengan melakukan pelarangan kegiatan

pembangunan oleh masyarakat di area yang mereka klaim menjadi bagian

dari tanah mereka.

Di sisi lain, keputusan Pengadilan Negeri Medan tidak serta merta

menyurutkan semangat TNI-AU untuk memperjuangkan tanah Sari Rejo

menjadi bagian dari otoritas mereka. TNI-AU yang saat itu kalah di

tingkatan Pengadilan Negeri banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Medan.

Melalui putusan PT Medan No 294/PDT/1990/PT-MDN tanggal 26

September 1990, menguatkan putusan PN Medan 310/Pdt G/1989/PN-Mdn

tanggal 8 Mei 1990. Pihak TNI-AU melakukan kasasi atas keputusan

Pengadilan Tinggi Medan ke Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung

(MA) RI No 229 K/Pdt/1991 tanggal 18 Mei 1995 menolak permohonan

kasasi dari pemohon kasasi yaitu TNI-AU. Hal senada juga diungkapkan

oleh bapak Tampilen:

”Di tahun 90an memang masyarakat menggugat TNI-AU di Pengadilan Negeri Medan. Tetapi saat itu TNI-AU kalah sampai tingkatan kasasi. Ini kan jelas bukti TNI-AU memang tidak memiliki hak atas tanah yang mereka klaim sebagai tanah meraka”.30

30

(7)

Keputusan Mahkamah Agung yang menyebutkan tindakan

pelarangan mendirikan bangunan yang dilakukan TNI-AU kepada 56 persil

(nomor pokok wajib pajak) milik masyarakat Kelurahan Sari Rejo

merupakan bentuk pelanggaran hukum dan secara otomatis menganulir

batas-batas wilayah yang tercantum pada keputusan KSAP No

023/P/KSAP/50 tanggal 25 Mei 1950. Tetapi, keputusan Mahkamah Agung

tidak serta merta memberikan sedikit kejelasan atas penyelesaian konflik di

Kelurahan Sari Rejo pada register IKN No 50506001. Keputusan

Mahkamah Agung yang hanya memenangkan 56 persil (nomor pokok wajib

pajak) juga tidak serta merta membuat masyarakat puas, dari 260 Ha yang di

gugat. Hanya sebagian kecil yang bisa dimenangkan tetapi, masyarakat tetap

menganggap bahwa klaim TNI-AU terhadap 260 Ha tanah di wilayah

kelurahan Sari Rejo merupakan tindakan ilegal.

Kondisi obyektif masyarakat Kelurahan Sari Rejo saat ini memang

merupakan masyarakat yang meduduki wilayah Sari Rejo lebih dari 20

tahun. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomer 24

tahun 1997 pasal 24 ayat 2 yang mengungkapkan bahwa “penguasaan secara

fisik atas sebidang tanah selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut

oleh warga masyarakat, dapat didaftarkan hak atas tanahnya. Hal ini juga

ditegaskan oleh pernyataan bapak Supadi:

(8)

terjadi di negeri ini. Jelas-jelas masyarakat di sini lebih duluan bermukin dibanding pendirian pangkalan mereka”.31

31

Wawancara dilakukan dengan Bapak Supadi pada 24 April 2015 di Kelurahan Sari Rejo Menurut penuturan informan di atas bahwa penerbitan setifikat

kepemilikan hak atas tanah yang ditempatinya sampai sekarang belum

mendapat realisasi dari pemerintah.Pemerintah seakan mengabaikan hak

masyarakat yang harusnya telah mendapatkan sertifikat hak atas tanah

mereka.Dalam hal ini jelas pemerintah telah melakukan pelanggaran dengan

tidak diterbitkannya sertifikat masyarakat atas tanah yang mereka tempati

selama lebih dari 20 tahun.

Di sisi lain pada tanggal 26 April 2011 Badan Pertanahan Nasional

(BPN) mengeluarkan surat yang merujuk pada pemberian legalitas atas

kawasan CBD (Central Business District). Surat Keputusan (SK) Kepala

BPN Kota Medan nomor 541/HGB/BPN/.12.71.2011. Badan Pertanahan

Nasional (BPN) Kota Medan telah mengeluarkan Sertifikat Hak Guna

Bangunan (HGB) untuk pusat bisnis CBD Polonia. Namun dari total

341.586 meter areal CBD, baru 79.028 meter yang dikeluarkan

sertifikatnya. BPN Kota Medan mengeluarkan setifikat tanah di area CBD

menyusul dibayarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB) oleh PT Mestika Mandala Perdana (MMP) selaku pemilik areal

CBD kepada Pemko Medan. Hal ini juga ditegaskan juga oleh pernyataan

(9)

“Saya sudah mendengar hal itu sejak tahun 2011.Memang itu ada dan saya menilai ini permainan orang berkuasa. Kami selama ini kan demonstrasi untuk memberikan kesadaran pemerintah kalau kami itu masyarakat Sari Rejo. Kalau begini ceritanya kan memang masyarakat tidak dianggap, apa lagi kami masyarakat yang memenangkan perkara di Mahkamah Agung, bukan mereka (CBD)”.32

Realisasi dari rekomendasi DPRD tersebut juga belum menunjukkan

dampak bagi penyelesaian konflik antara masyarakat dangan TNI-AU. Hal

ini ditunjukkan dengan penerbitan surat oleh Komandan Lanud Soewondo

kepada pemerintahan Kelurahan Sari Rejo untuk tidak menerbitkan surat

keterangan tanah di atas tanah TNI-AU. Hal ini di nilai sebagai pelanggaran Ketidak jelasan posisi pemerintah lagi-lagi menciptakan kondisi

semakin memanas.Negara kembali tidak menempatkan posisinya sebagai

wadah emansipasional terhadap warganya. Hal ini jelas akan menimbulkan

rasa tidak percaya warga negara terhadap negara yang akhirnya berujung

munculnya potensi konflik di tengah-tengah masyarakat.

Di pihak lain, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kota

Medan pada tanggal 30 Juli 2008 sebenarnya telah memberikan

rekomendasi kepada Mentri Keuangan, Mentri Pertahanan, dan Kepala BPN

RI untuk meralat batas-batas tanah yang ada di register 50506001 karena

dianggap tanah tersebut tidak pernah dikuasai TNI-AU. DPRD Kota Medan

juga merekomendasikan penerbitan sertifikat tanah yang telah ditempati

masyarakat Sari Rejo sejak 1948.

32

(10)

dan tidak lebih dari interfensi militer kepada masyarakat sipil. Hal ini juga

ditegaskan oleh bapak Rinto Pasaribu:

“Hal yang paling menunjukkan bahwa tentara itu suka ngasih intervensi ya ini. Masak tentara ngasih surat yang isinya melarang lurah mengeluarkan surat keterangan atas tanah yang di klaim milik mereka. Jelas itu bukan bagian dari pekerjaannya, tetapi tetap saja dilakukan”33

Pertemuan di tanggal 30 April 2012 sebenarnya merupakan bentuk

mediasi masyarakat Sari Rejo dengan pemerintah Kota Medan karena isu

penutupan Bandara Polonia Medan dalam rangka aksi bersama Dewan Intervensi militer sangat kental dalam usaha penyelesaian konflik

ini. Walau saat itu pihak kelurahan tidak menggubris surat Komandan

Pangkalan Lanud Soewondo karena dianggap itu bukan merupakan hak

mereka.

Sebelumnya Walikota Medan juga telah mengeluarkan surat yang

sama yaitu pelarangan pengeluarkan surat dalam bentuk apapun di area 260

Ha yang menjadi sengketa dengan masyarakat. Akan tetapi, surat tersebut

telah dicabut pada tanggal 30 April 2012. Rahudman Harahap yang saat itu

menjabat sebagai Wali Kota Medan beranggapan jika surat pelarangan

penerbitan surat dalam bentuk apapun di lahan seluas 260 Ha yang menjadi

wilayah sengketa merupakan upaya pemerintah untuk mencari jalan keluar

terhadap sengketa yang melibatkan masyarakatnya.

33

(11)

Buruh Sumatera Utara. Saat itu juga Wali Kota Medan mencabut surat

pelarangan dengan diterbitkannya surat nomor 593/6939 tentang

“Pencabutan Surat Tentang Tidak Menerbitkan Surat Berkaitan dengan

Tanah Sari Rejo” yang disaksikan masyarakat, perwakilan dari kepolisian,

camat Medan Polonia dan pimpinan aliansi yang tergabung dalam DBSU.

3.2. Gambaran Konflik Agraria Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan.

3.2.1. Konflik Masyarakat dengan Tentara Nasional Indonesia

Angkatan Udara

Pada masa awal sengketa kepemilikan tanah ini terjadi, masyarakat

Sari Rejo mendapatkan intimidasi dari beberapa oknum AURI (TNI-AU)

saat mereka hendak melakukan pembangunan tempat tinggal. Kondisi ini

menciptakan suasana Sari Rejo semakin memanas dimana kedua belah

pihak (TNI-AU dan masyarakat) merasa mempunyai hak atas tanah yang

mereka duduki saat itu. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan ibu Boru Bondar:

”Saya dulu pernah mau ganti atap, dulu kan masih yang apa adanya saya bangun rumah ini, namanya baru berumahtangga, terus datang tentara menyuruh saya untuk tidak membongkar atap lama yang saya punya karena mengganggu penerbangan dan gak Cuma itu aja yang pernah kualami, pernah lupa tahunnya kapan kami tidak boleh masang air dan listrik, padahal itu yang paling penting sama kami yang berkeluarga inikan”34.

34

(12)

Hal ini juga dibenarkan oleh bapak Supadi:

”Dulu mau ganti seng aja udah gak boleh, paling banter kalo boleh diganti sengnya harus di cat hijau, katanya biar gak ganggu penerbangan. Tapi dari atas kan nanti kalo di cat hijau semua jadi kayak perumahan AURI. Jadinya kayak AURI mau klaim tanah ini”.

Kejadian ini sempat menimbulkan kepanikan ditengah masyarakat

mengingat posisi mereka sebagai masyarakat sipil di era Orde Baru yang

kental dengan nuansa militerismenya. Tidak jarang mereka melakukan

ronda malam untuk mengantisipasi tentara yang masuk ke pemukiman

mereka untuk melakukan hal yang serupa yang telah mereka lakukan.

Masyarakat saat itu mulai terorganisir walau dalam tahap ronda malam dan

aksi-aksi gotong royong lainnya.

Simbolisasi militer di era orde baru tidak bisa dipungkiri dapat

mendeskripsikan dominasi, kekuasaan dan kekuatan politik yang besar.

Penggunaan otoritas dalam rangka melarang masyarakat melakukan

pembangunan tempat tinggal jelas menunjukkan bagaimana dominasi,

kekuasaan dan kekuatan politik itu digunakan. Permasalahan yang timbul

adalah masyarakat dihadapkan dengan pilihan mempertahankan

dominasinya terhadap tanah yang mereka anggap bagian dari miliknya dan

kekuatan militer saat itu.

Tanah tidak hanya memiliki segi ekonomis, tanah juga memiliki

(13)

yang ditinggalkan turun menurun oleh pendahulunya yang akhirnya tanah

tersimbolkan menjadi sesuatu yang sakral bagi masyarakat.

Kebijakan pemberlakuan jam malan, pembongkaran bangunan

drainase dan pelarangan melakukan pembangunan membuat warga dari

Kelurahan Sari Rejo mendatangi pintu masuk kawasan militer angkatan

udara. Warga membakar ban bekas di dekat portal yang dijaga oleh

sejumlah tentara secara bergantian. Tidak sampai disitu saja, masyarakat

yang belum puas dengan membakar ban kemudian menyulut api di dalam

pos jaga. Setelah kejadian itu masyarakat beramai-ramai mendatangi markas

TNI-AU di Pangkalan Udara Medan. Di pangkalan udara masyarakat

mendesak dipertemukan langsung dengan komandan pangkalan udara. Hal

ini ditegaskan oleh pernyataan bapak Rinto Pasaribu:

”Jujur kami merasa tertekan sejak dilakukannya sistem portal oleh TNI-AU. Kami sering mendiskusikannya dengan warga lainnya karena itu jelas mengganggu aktivitas kami. ditambah lagi dengan penghancuran pembangunan irigasi, ini kan proyek pemerintah kok dirusak?. Saat itu masyarakat melihat pihak AURI semakin arogan saja kepada masyarakat Sari Rejo makanya secara spontan masyarakat membakar pos tersebut”.35

Aksi-aksi sporadis menjadi ciri masyarakat Kelurahan Sari Rejo

untuk menunjukkan reaksi terhadap penolakan atas kebijakan yang

dilakukan TNI-AU terhadap masyarakat seperti pemberian portal di setiap

pintu masuk bandara polonia yang juga menjadi pintu masuk ke wilayah

35

(14)

kelurahan Sari Rejo dan pemberlakukan jam malam terhadap setiap warga

kelurahan Sari Rejo. Hal ini menyulut reaksi masyarakat dengan menutup

akses pintu masuk bandara Polonia dari arah jalan Avros dengan aksi bakar

ban.

Saling mengklaim antara TNI-AU dan masyarakat seakan tidak

mendapatkan perhatian pemerintah Kota Medan selaku pemangku

kekuasaan. Pemerintah hanya memposisikan dirinya saat konflik berubah

menjadi sebuah gerakan perlawanan namun belum ada usaha signifikan

untuk menyelesaiakannya sampai ke akarnya.

Pemerintah Kota Medan selaku pemangku kekuasaan selayaknya

dapat menjadi penengah dalam kasus ini.Mediator diantara kedua belah

pihak yang berkonflik sangat diperlukan. Tetapi faktanya proses pembiaran

masih dilakukan pemerintah Kota Medan dengan tidak memberikan

kepastian hukum terhadap tanah yang menjadi pokok masalah dalam

terjadinya konflik di Kelurahan Sari Rejo. Salah satu bentuk proses

pembiaran yang dilakukan adalah dimana pemerintah Kota Medan

menerbitkan suratpelarangan pihak kelurahan mengeluarkan surat dalam

bentuk apapun (termasuk jual beli) di wilayah konflik seluas 260Ha yang

berlokasi di kelurahan Sari Rejo di tahun 2011.

FORMAS meluapkan kekecewaanya terhadap pemerintah Kota

Medan dan Badan Pertanahan Nasional. FORMAS meminta kepala BPN

(15)

masyarakat di Kelurahan Sari Rejo sesuai Putusan Mahkamah Agung RI,

Nomor 229 K/Pdt/1991, tanggal 18 Mei 1995, sekaligus realisasi dari Surat

Pernyataan Kepala Badan Pertahanan Kota Medan, bertanggal 07 Januari

2008. FORMASSari Rejo juga meminta kepada Kepala BPN Kota Medan

untuk segera mencabut/membatalkan Sertifikasi Hak Pakai No.1 Tahun

1997 karena jelas secara fakta bahwa proses penerbitannya mengandung

Cacat Hukum dan batal demi hukum dengan adanya Putusan Mahkamah

Agung RI No.229 K/Pdt/1991,tanggal 18 Mei 1995.

Gambar 2

Aksi yang Dilakukan FORMAS Bersama DBSU Menutup Bandara Polonia Medan

Bersama dengan aliansi Dewan Buruh Sumatera Utara (DBSU),

(16)

2012 sebelum melakukan aksi yang bertepatan dengan peringatan hari buruh

saat itu. Walikota Medan yang saat itu dijabat Rahudman Harahap langsung

bertindak mencabut surat perintah itu di tanggal yang sama dengan kegiatan

mediasi di saksikan oleh perwakilan Polda Sumatera Utara, pimpinan aksi

DBSU, dan masyarakat Sari Rejo.

Melihat bahwa tujuan utama adalah pengakuan atas tanah yang

mereka duduki, FORMAS bersama DBSU tetap melakukan aksi dengan

menutup bandara Polonia Medan di tanggal 1 Mei 2012. Hal ini dilakukan

untuk memberikan tekanan kepada pemerintah pusat dan daerah agar

memperhatikan apa yang menjadi tuntutan mereka.

Masyarakat yang semakin tertekan semakin solid mengingat ini

adalah konflik vertikal yang melibatkan masyarakat dan TNI-AU.

Gerakan-gerakan ini akan terus mencari klimaks untuk memenuhi eksistensi

kepentingan kelompoknya. Dalam hal ini gerakan sosial baru melihat

fenomena gerakan masyarakat Sari Rejo dengan wadah FORMAS sebagai

gerakan insidental yang tidak bertujuan untuk merubah supra-strukturnya.

Gerakan ini hanya mencoba memperjuangkan kepentingan yang

dianggapnya sebagai sesuatu yang hakiki bagi kelompoknya. Hal ini berarti

gerakan dengan tipe ini akan meledak kapanpun saat mendapatkan tekanan

(17)

3.2.2. Konflik Horizontal Organisasi Forum Masyarakat Sari Rejo

Berdirinya FORMAS tanggal 24 Februari 2011 tidak serta memerta

memberikan kepuasan terhadap pemenuhan kepentingan masyarakat

terhadap penuntutan legalitas atas hak tanah mereka. Proses berjalannya

perjuangan masyarakat menemui banyak halangan. Muncul faksi-faksi baru

dalam tubuh FORMAS yang mencoba memberikan pandangan baru

terhadap gaya gerak FORMAS yang mereka anggap belum dapat

memberikan perubahan yang signifikan.

Proses pencapaian tujuan yang tidak kunjung terealisasi menjadi isu

utama dalam internal FORMAS. Masyarakat mulai mempertanyakan visi

kepengurusan. Anggota Formas pada saat itu mulai membentuk opini pro

dan kontra terhadap kepengurusan FORMAS pimpinan bapak Riwayat

Pakpahan. Hal ini dikemukakan oleh bapak Rinto Pasaribu:

“Ada penilaian saat itu tentang adanya oknum yang bermain di kepengurusan, kayak yang ku bialang tadi, seperti ada ibu-ibu dulu yang coba untuk jadi makelar tanah, saya rasa itu yang dirasakan masyarakat saat itu.Ini kan akibat pemerintah gak mau ngasih kepastian tanah kami, kalo kami gak legal kenapa SK camat ada dan kepengurusan saat itu kami nilai banyak diduduki oleh orang baru”.36

Ketidak jelasan targetan gerakan yang dilakukan masyarakat Sari

Rejo dengan wadahnya FORMAS menjadi awal bagaimana konflik internal

organisasi terbentuk. Faksi-faksi mulai bermunculan dalam tubuh organisasi

36

(18)

sebagai simbol ketidakpercayaan terhadap organisasi. Organisasi dinilai

tidak dapat menjadi wadah kepentingan bersama oleh beberapa anggota.

Faksi-faksi mulai bermunculan dengan lebel orang lama dan orang

baru sebagai akibat perbedaan misi dalam cara pandang konflik dalam

menjalankan aktifitas organisasi saat tersebut.

“Kami melihat ini ada pilih kasih dalam kepengurusan dalam hal penyelesaian, oke, ku akui di masa kepemimpinan pak Riwayat memang bukti keberhasilan ada contohnya ya keputusan Mahkamah Agung itu.Tapi setelah itu tidak ada”.37

Karena itu warga masyarakat Kelurahan Sari Rejo yang berada di

lokasi yang sama dengan pihak kelurahan telah berupaya dalam

memperjuangkan sertifikasi hak atas tanah dengan berusaha mengajukan Perbandingan mencolok memang timbul di tengah masyarakat yang

menjadi anggota FORMAS dengan warga masyarakat yang tinggal di

Perumahan Taman Malibu Indah, Villa Polonia, Villa Grand Polonia,warga

masyarakat yang ada di Kelurahan Polonia, dan Pangkalan Mashyur yang

berbatasan langsung dengan Kelurahan Sari Rejo yang telah memiliki

sertifikasi atas tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan

Nasional.Yang paling menyedihkan kenyataan bahwa warga masyarakat

yang berada di Jalan Antariksa yang lokasinya masih berada di Kelurahan

Sari Rejo dapat memperoleh sertifikasi hak atas tanah No. 4 tanggal 5 juli

2002, namun lingkungan lainnya di Kelurahan Sari Rejo belum

mendapatkan sertifikat tanahnya.

37

(19)

permohonan kepada instansi yang berwenang, dalam hal ini Badan

Pertanahan Nasional (BPN) dan warga masyarakat telah melengkapi segala

persyaratan yang diperlukan terutama surat keterangan dari pihak kelurahan

dan kecamatan yang menerangkan bahwa warga masyarakat merupakan

penduduk tetap dan pemilik terhadap tanah yang ada di Kelurahan Sari

Rejo, Kecamatan Medan Polonia.

Konflik internal semakin menemukan klimaksnya pada tahun 2012

kelompok Pahala Napitupulu menciptakan FORMAS tandingan dengan cara

melakukan musyawarah luar biasa yang dilakukan di kantor kelurahan Sari

Rejo. Hal ini ditegaskan oleh bapak Pahala Napitupulu:

“Kami merasa banyak dari kami yang tidak diakomodir di FORMAS yang terdahulu, makanya kami memilih untuk melakukan regenerasi FORMAS dengan cara musyawarah luarbiasa di kantor lurah”.38

Kondisi ini memperlihatkan kaum intelektual dalam organisasi

belum dapat menginternalisasikan idiologi yang mereka gunakan dalam

perjuangan. Hal ini juga menyulut tingkatan kepercayaan masyarakat

terhadap organisasi semakin rendah. Internalisasi idiologi yang tidak Jelas terlihat bagaimana kondisi organisasi saat itu yang dianggap

tidak lagi dapat menampung seluruh kepentingan yang ada dalam struktur

organisasi. Munculnya paradigma orang lama dan orang baru menjadi isu

hangat dalam organisasi selain realisasi visi organisasi yang tidak kunjung

memperoleh hasil yang maksimal.

38

(20)

berjalan dengan baik juga memicu ketidaksepahaman anggota organisasi

yang berujung pada perbedaan pandangan terhadap cara gerakan sosial yang

dilakukan.

Ketidak percayaan sebagian masyarakat terhadap kelompok yang

mereka bentuk menunjang faksi baru dalam organisasi terbentuk.

Ketidakpercayaan terhadap kelompok menjadi salah satu potensi yang

menimbulkan perpecahan dalam organisasi. Dalam perjalannya,

terbentuknya kelompok baru dalam FORMAS Sari Rejo tidak dapat

dielakkan lagi sebagai reaksi dari tidak diakomodirnya berbagai kepentingan

yang ada.

Analisis teori Gramsci, yaitu ketika terjadi suatu perlawanan atas

kondisi tatanan hegemoni baik terstruktur atau tidak maka hal yang mutlak

yang mesti dilakukan adalah membangkitkan semangat perlawanan atas

eksploitasi dan hegemoni tersebut. Supremasi dari sebuah kelompok sosial

ditunjukkan ada dua cara, yaitu dalam bentuk dominasi dan kepemimpinan

moral dan intelektual. Hal ini juga diungkapkan oleh bapak Rinto Pasaribu:

“Kami merasa hanya sebagian orang yang diuntungkan dengan pembentukan Formas, sampai sekarang bukti nyatanya kami belum dapat apa yang menjadi tujuan kami yaitu sertifikat tanah. Saya juga melihat pandangan kami jarang yang jadi perhatian oleh organisasi. Daripada kami selalu menjadi orang yang tidak dianggap di FORMAS yang lama”.39

39

(21)

Dari pernyataan informan di atas dan berangkat dari pemahaman

yang ada, suatu gerakan sosial dalam historisnya ataupun secara dialektika

memiliki determinasi bagi perubahan sosial itu sendiri. Suatu gerakan yang

dilatarbelakangi suatu kondisi secara kualitas maupun kuantitas yang tidak

sesuai dengan keinginan atau cita-cita (idea) yang dimiliki oleh

individu-individu atau masyarakat. dimana suatu gerakan itu diharapkan dapat

terorganisir secara sadar ataupun dalam bentuk reaksi, agar dapat mencapai

titik yang dicita-citakan atau yang dibutuhkan oleh manusia-manusia itu

sendiri. Oleh karena itu agar gerakan itu dapat terorganisir, maka

masyarakat atau agen perubahan itu juga harus sadar apa yang menjadi arah

atau cita-cita dari gerakan dan kondisi objektif yang mereka alami. Dengan

kata lain, munculnya FORMAS yang diketuai oleh Pahala Napitupulu

merupakan hal logis yang terjadi dalam kelompok masyarakat yang

diakibatkan perbedaan pandangan dalam cara gerak dalam mencapai tujuan.

Pandangan lain diungkapkan oleh ibu Sri kunarsih:

“Sebenarnya saya tidak melihat adanya kekuatan organisasi untuk memberikan legalitas dalam konflik agraria di kelurahan Sari Rejo ini dan hal ini harus kita akui bersama.Saya melihat sebenarnya peran pemerintah dalam menetapkan status tanah adalah penentu utama dalam penyelesaian konflik. Malah saya melihat adanya proses pembiaran, masyarakat dituntut untuk melawan sebuah institusi besar dalam Negara yang terstigma memiliki kekuatan besar. Dalam hal ini organisasi bertindak sebagai bentuk konsolidasi masyarakat dalam mengawal penyelesaian konflik dan bukan memberikan legalisasi terhadap tanah yang kami tempati”.40

40

(22)

Kenyataan yang terjadi adalah perbedaan cara Pandang konflik yang

terjadi membuat kelompok baru terbentuk di dalam tubuh masyarakat

dengan satu institusi yang sama. Kondisi ini menunjukkan bagaimana tokoh

intelektual dalam organisasi belum dapat memainkan perannya sebagai

penggerak dan belum mampu memberikan hegemoni secara idiologis

terhadap kelompok.

Dahrendorf melihat di dalam setiap asosiasi yang ditandai oleh

pertentangan terdapat ketegangan diantara mereka yang ikut dalam struktur

kekuasaan dan yang tunduk pada struktur itu.

Kelompok-kelompok itu ditetapkan sebagai kelompok kepentingan

yang akan terlibat dalam pertentangan dan akan menimbulkan perubahan

struktur sosial.

3.3. Analisis Konflik Agraria terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia.

Berangkat dari kasus konflik agraria yang terjadi di Kelurahan Sari

Rejo, Kecamatan Medan Polonia dimana pihak-pihak yang berkonflik yaitu

kelompok masyarakat dengan pihak TNI-AU bahwa dengan penjelasan dari

kronologi yang jelas peneliti paparkan di atas bahwa kita dapat melihat

dimana adanya praktek-praktek pembiaran yang dilakukan pemerintah

terhadap keberlangsungan hidup masyarakatnya terutama keberlangsungan

hidup masyarakat Kelurahan Sari Rejo.

Sebelum masuk kepada konflik agraria di Kelurahan Sari Rejo,

Kecamatan Medan Polonia, maka peneliti akan mencoba menjabarkan

bagaimana konflik agraria menurut beberapa responden yang telah peneliti

(23)

Seperti yang diungkapkan oleh Saudara Suwardi selaku ketua Ikatan

Keluarga Orang Hilang (IKOHI) mengenai konflik agraria, yaitu :

“Konflik agraria dilihat dari sisi perjalanannya, seperti secara historis dari pra kolonial sebelum Belanda, Jepang, dll sudah muncul konflik agraria tetapi ruang lingkupnya ada di tataran desa, jadi masyarakat desa kemudian berkonflik dengan elit desa terutama kaum-kaum feodal yang memiliki/menguasai tanah. Tetapi pada masa kolonial dan paska kolonial, semenjak adanya Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) tahun 1870 yang dibuat oleh Belanda pada saat itu maka konflik agraria tidak lagi menjadi konflik internal desa yaitu terjadi antara masyarakat desa dengan komunitas desa itu. Tetapi sudah menjadi konflik antara desa dengan komunitas luar, seperti Belanda yang memberikan konsesi yang begitu mudah kepada pengusaha untuk mengakses tanah, dari sini secara mau tidak mau menegasika hak petani atas tanah karena dalam Agrarische Wet 1870 ini menyatakan bahwa “setiap tanah yang hak kepemilikan nya tidak ada, maka tanah tersebut akan menjadi milik negara.” Inilah celah yang digunakan Belanda untuk memberikan tanah secara de jure kepada para pengusaha-pengusaha, oleh karena pada masa itu, Jawa dan Sumatera merupakan daerah penghasil devisa terbesar bagi Belanda karena ada begitu banyak perkebunan yang muncul, seperti perkebunan tembakau, dll. Dan ternyata Agrarische Wet ini diubah oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960, inilah yang dikenal dengan nama Undang-undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960, dan sangat disayangkan Undang-undang ini “tidak berlaku lama”, UU ini hanya berlaku pada 1960-1965 ini dikarenakan adanya pergantian regim kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, dimana regim Orde Lama pro kepada rakyat dan regim Orde Baru pro kepada investasi. Seperti pada tahun 1967 muncul Undang-Undang tentang Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri, dimana inilah yang menjadi cikal bakal dari penegasian UUPA No. 5 tahun 1960, ketika adanya UU Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri ini keluar maka secara otomatis UUPA tidak berlaku di Orde Baru, pada UU Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri ini bertentangan dengan UUD 1945. Dari sinilah konflik agraria mulai mengemuka secara massif.”41

41

(24)

Jika dilihat konflik agraria yang terjadi di Kelurahan Sari Rejo,

Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan dalam perspektif HAM, melihat

konflik yang terjadi ini sebenarnya sangat bertentangan dengan nilai-nilai

hak manusia, Saudara Suwardi menjelaskan bagaimana konflik agraria

dilihat dalam perspektif HAM yang seharusnya:

(1) Setiap individu berhak untuk mendapatkan kepastian hukum,

(2) Setiap individu berhak untuk mendapatkan kesetaraan di depan hukum

(3) Setiap individu berhak untuk mendapatkan pekerjaan. (4) Setiap individu berhak hak atas hidup,

(5) Setiap individu berhak untuk mendapatkan kehidupan yang layak,42

Kedua, soal kesetaraan di depan hukum dimana HAM itu berazaskan

equal (setara). Tetapi dalam permasalahan konflik agraria di kelurahan ini

azas ini tak berlaku, selalu saja ketika masyarakat melakukan aksi-aksi

tuntutan, polisi menanyakan alas hak mereka dalam mempertahankan tanah

sehingga selalu saja masyarakat yang disalahkan, tetapi ketika TNI-AU

menyatakan hak atas kepemilikan, polisi tidak pernah menanyakan

keberadaan Hak kepemilikan milik TNI-AU sehingga equal dihadapan

hukum ini tidak ada. Inilah yang menyebabkan tidak adanya kesetaraan

antara masyarakat dan pihak TNI-AU di depan hukum. Masyarakat selalu Jika peneliti melihat yang terjadi dalam konflik agraria pada kasus di

Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia menciderai hak itu semua

terhadap masyarakat tak terkecuali hak atas hidup. Pertama, dalam hal

kepastian hukum, di Indonesia hanya ada dua model penyelesaian yang

dilakukan dalam konflik agraria, yaitu model mediasi yang dilakukan oleh

BPN. Ini dikarenakan kebanyakan apa yang dialami dalam konflik agraria

ini kebanyakan besar oleh kesalahan BPN, ini dikarenakan BPN tidak dapat

menjelaskan secara jelas mana wilayah kepemilikan masyarakat dan

TNI-AU.

42

(25)

dipandang sebelah mata dan tidak mempunyai legitimasi dalam hukum dan

kerap dijadikan korban dari atas konflik yang terjadi,

Ketiga, Hak atas pekerjaan. Pada kenyataannya bahwa pasal 27 ayat

2 yang terdapat dalam UUD 1945 “Tiap-tiap warganegara berhak atas

pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” dan juga pada

pasal 38 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Keempat, Hak untuk mendapat kehidupan yang layak dalam pasal 40

UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu “Setiap orang

berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak” seperti

yang diungkapkan

Melihat ini juga cukup menjelaskan bahwa masyarakat di Kelurahan

Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia secara otomatis tidak mendapatkan

hidup yang layak jika tanah mereka tidak memiliki kepastian hukum dan

mereka sendiri tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari

dikarenakan tidak dapat memanfaatkan potensi-potensi ekonomis dari tanah

tersebut.

Kelima, Hak atas hidup seperti yang terdapat dalam pasal 9 dalam

UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Jelas bahwa ketika

negara melalui TNI-AU mengambil alih tanah sebagai alat produksi untuk

pemenuhan kebutuhan pasar membuat masyarakat Kelurahan Sari Rejo,

Kecamatan Medan Polonia tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan

subsistensi mereka. Mereka tidak lagi dapat dikategorikan mendapatkan hak

atas hidup ketika hak mereka, yaitu tanah sebagai alat utama produksi

dirampas dan masyarakat tidak lagi diberi akses untuk mengelola tanah yang

sudah mereka miliki.

Masyarakat di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia juga

berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin oleh

karena itu upaya-upaya penguasaan tanah yang dilakukan oleh pihak

TNI-AU sudah mengganggu masyarakat mendapatkan hidup yang tentram,

aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin. Akibat dari konflik

(26)

akan situasi yang terus mereka alami. Para tentara yang selalu berpakaian

dan bersenjata lengkap dan lambatnya upaya pemerintah dalam

mengupayakan penyelesaian konflik serta ketidakpastian hukum membuat

posisi dari rakyat sangat jauh dari rasa aman itu sendiri, seperti juga yang

terdapat dalam pasal 30 UU No. 39 tahun 1999 “Setiap orang berhak atas

rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan

untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu” dimana yang seharusnya polisi

membantu menegakkan keamanan tetapi pada kenyataannya polisi

membantu pihak TNI AU dalam konflik yang terjadi di Kelurahan Sari

Rejo, Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan.

Saudara Suwardi mengatakan Undang-undang yang mengatur

tentang pelanggaran HAM terkait konflik agraria ini adalah:

1.UUD 1945

2.UUPA No 5 tahun1960

3.UU No 39 tahun 1999 soal Hak Asasi Manusia

4.UU No 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya

5.UU No 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Politik43

Dengan adanya tuntutan rakyat ini negara justru mengeluarkan Hak

Guna Usaha (HGU) sehingga ujung dari konflik ini negara lebih memilih Adanya undang-undang yang menjamin Hak Asasi Manusia di

Indonesia seperti UUD 1945, UUPA No. 5 tahun 1960, UU No. 39 tahun

1999, maupun itu Ratifikasi Kovenan Internasional yang terdapat dalam UU

No. 12 tahun 2005 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan

Undang-undang No. 11 tahun 2005 Ratifikasi Kovenan Internasional

tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya. Jika melihat ketimpangan

struktur agraria yang terjadi di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan

Polonia, yaitu bagaimana TNI-AU melakukan klaim atas tanah di tempat

tersebut, tetapi dengan jelas bahwa masyarakat di Kelurahan Sari Rejo,

Kecamatan Medan Polonia mempunyai alas hak dalam perjuangan mereka.

43

(27)

jalan-jalan kekerasan yang merupakan bentuk pelanggaran terhadap petani

seperti hak atas hidup, hak atas pekerjaan, hak untuk mendapatkan hidup

yang layak dan hak untuk mendapatkan kepastian hukum dan setara

dihadapan hukum.

Saudara Suwardi dari lembaga yang salah satunya mengusung Hak

Asasi Manusia, yaitu IKOHI mengatakan bahwa konflik agraria itu muncul

akibat dari kesalahanan pemerintah, yaitu:

1. Kesalahan pemerintah dalam mengatur administrasi pertanahan Indonesia

2. Pemerintah tidak sesegera mungkin mencari alternatif dalam penyelesaian konflik agraria, oleh karena itu konflik agraria akan terus muncul dengan eskalasi yang terus meningkat. Pemerintah tidak memberikan solusi yang berarti kepada petani, sehingga pelanggaran HAM ini ada muncul menjadi 2 level, yaitu pemerintah yang melakukan dan pemerintah yang membiarkan. Dalam konflik agraria pemerintah melakukan dua hal ini, mereka secara langsung melakukan tindak pelanggaran HAM, dan pemerintah membiarkan hak mereka diciderai oleh adanya pihak ketiga, yaitu pengusaha.44

Jelas bahwa kesalahan pemerintah dalam mengatur administrasi

pertanahan disini sangat semrawut dan membiarkan masyarakat tidak

terinformasi dengan baik dan adanya perampasan yang dilakukan dan ganti

rugi yang tidak terselesaikan dengan baik ini akan terus menjadi

permasalahan antara masyarakat dan pihak TNI-AU tanpa adanya

penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah tidak berusaha

untuk membantu dan mencari alternatif lain dalam meminimalisir konflik

agraria terutama konflik agraria Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan

Polonia, sehingga masyarakat yang menjadi korban atas segala hal-hal yang

tidak diinginkan atas konflik yang terjadi dan pihak masyarakatlah yang

selalu disalahkan juga, tidak diberikannya alat produksi kepada masyarakat

dan tindak kekerasan merupakan bentuk pelanggaran HAM kepada

masyarakat yang sangat merugikan masyarakat itu sendiri karena kita tahu

sendiri bahwa Indonesia merupakan negara agraris dan mayoritas penduduk

44

(28)

bekerja memanfaatkan tanah, terlebih lagi tindak kekerasan yang dialami

oleh masyarakat selama konflik yang dilakukan oleh pihak TNI-AU kepada

masyarakat di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia namun tidak

ada itikad baik dari pemerintah sendiri untuk menyelesaikan ini meskipun

sudah ada Undang-undang yang mengatur dalam tindak pelanggaran Hak

Asasi Manusia tetapi tetap saja masyarakat diabaikan baik itu dalam

memperoleh hak di bidang ekonomi, sosial, budaya maupun sipil dan politik

seperti yang terdapat dalam Undang-undang No. 11 tahun 2005 Ratifikasi

Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya dan

Undang-undang No. 12 tahun 2005 Ratifikasi Kovenan Internasional

tentang Hak Sipil dan Politik sebagai salah satu instrument HAM

Internasional yang paling penting dan merupakan induk dari seluruh

instrument lainnya. Dimana jelas bahwa Undang-undang ini tidak

dijalankan dengan baik oleh pemerintah sendiri sebab jika UU ini dijalankan

dengan baik oleh pemerintah sendiri maka pemerintah harus melakukan

yang bertentangan dengan UU ini yaitu: (a) Mencabut UU yang

bertentangan dengan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi,

Sosial, Budaya, seperti UU No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal baik

itu Penanaman Modal Asing maupun Penanaman Modal Dalam Negeri yang

kini telah diubah menjadi UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman

Modal, UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan. Karena jelas bahwa jika

masih adanya UU seperti itu merupakan awal dari bentuk kapitalistik yang

masuk sehingga UUPA sebagai UU yang memerdekakan petani tidaklah

lagi berlaku di Indonesia seiring perubahan regim kekuasaan pemerintahan

dan undang-undang turunan dari UUPA No. 5 tahun 1960 pun tidak ada,

(b) Pemerintah seharusnya selain mencabut UU yang bertentangan terhadap

hak ekonomi, sosial, budaya maupun sipil dan politik tersebut pemerintah

juga seharusnya melakukan kajian secara komprehensif tentang bagaimana

melakukan penyelesaian konflik agraria. Dalam lingkup pelanggaran HAM

yang dilakukan oleh pemerintah soal konflik agraria, HAM dalam

(29)

Politik maka jelas masyarakat tidak dianggap sama di depan hukum,

masyarakat sering dihukum tidak sesuai dengan apa yang mereka lakukan

dan dalam dalam Undang-undang No. 11 tahun 2005 Ratifikasi Kovenan

Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya membuktikan

bahwa akses terhadap tanah yang nota bene sebagai alat produksi itu

(30)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

1. Awal sengketa agraria kelurahan Sari Rejo adalah keadaan

saling klaim tanah antara masyarakat Sari Rejo dengan

Tentara Nasional Indonesia- Angkatan Udara yang berujung

gugatan 87 masyarakat terhadap TNI-AU dengan hasil

kalahnya TNI-AU sampai tingkatan kasasi.

2. Konflik agraria kelurahan Sari Rejo dengan areal seluas

260Ha yang terletak di register 50506001 sebenarnya adalah

kasus agraria yang belum memiliki titik temu akibat

ketidaktegasan pemerintah daerah terhadap pemberian status

tanah.

3. Akibat adanya berbagai tekanan yang diterima. Masyarakat

kemudian membentuk FORMAS (Forum Masyarakat Sari

Rejo) sebagai wadah gerakan sosial yang mereka lakukan

untuk menuntut hak atas.

4. Salah strategi yang dilakukan FORMAS untuk menuntut hak

atas tanah mereka adalah dengan cara aksi. Salah satu aksi

yang mereka lakukan adalah aksi penutupan Bandara Polonia

Medan.

5. Munculnya perbedaan fokus dan kepentingan terhadap

(31)

masing-masing di pimpin oleh Riwayat Pakpahan dan Pahala

Napitupulu.

6. Ketidakmampuan tokoh intelektual dalam menjalankan

proses hegemoni idiologi dan mengakomodir kepentingan

menciptakan potensi munculnya kelompok baru dalam

internal mereka.

4.2. Saran

1. Pemerintah juga ditutut selalu hadir di tengah-tengah konflik sebagai

penengah. Mengingat konflik ini melibatkan masyarakat dan

lembaga militer yang menimbulkan gesekan-gesekan dengan potensi

memunculkan konflik yang besar.

2. Pemerintah Kota Medan harus segera memberikan kejelasan

terhadap status hukum tanah yang obyek konflik antara masyarakat

dan TNI-AU. Hal ini harus segera dilakukan untuk mencegah

munculnya potensi-potesi konflik baru yang terjadi antara

masyarakat dan TNI-AU mengingat berbagai kemungkinan berbagai

kepentingan yang akan terus berkembang di tengah-tengah konflik.

3. FORMAS selaku organisasi masyarakat sipil harus dapat

mengoptimalkan fungsi kaum intelektualnya guna mempertegas

sudut pandang FORMAS dalam melihat konflik yang sedang mereka

(32)

BAB II

PROFIL LOKASI PENELITIAN

2.1. Gambaran Umum Kelurahan Sari Rejo 2.1.1 Letak Geografis

Kelurahan Sari Rejo merupakan Kelurahan yang terdapat di wilayah

administratif Kecamatan Medan Polonia. Luas wilayah Kelurahan Sari Rejo

adalah 2,46 Km2 atau 27,58% dari total keseluruhan luas wilayah

Kecamatan Medan Polonia. Kelurahan Sari Rejo terdiri dari 9 lingkungan

yaitu : lingkungan I sampai lingkungan IX. Kelurahan Sari Rejo mempunyai

jumlah penduduk mencapai 26.083 jiwa. Kelurahan Sari Rejo mempunyai

batas-batas dengan daerah lain sebagai berikut:

Gambar 1 Peta Kelurahan Sari Rejo

(33)

Sebelah Utara: berbatasan dengan kelurahan Suka Damai yaitu kecamatan

Medan Polonia.

Sebelah Selatan: berbatasan dengan Pangkalan Mansyur yaitu kecamatan

Medan Johor.

Sebelah Timur: berbatasan dengan kelurahan Suka Damai yaitu kecamatan

Medan Polonia.

Sebelah Barat: berbatasan dengan kelurahan Binjai yaitu kecamatan Medan

Selayang.

2.1.2. Keadaan Alam

Secara umum kondisi iklim di wilayah penelitian dikategorikan pada

iklim tropis dengan suhu minimum menurut Stasiun Polonia berkisar antara

23,2° C - 24,3° C dan suhu maksimum berkisar antara 30,8° C – 33,2° C

serta menurut Stasiun Sampali suhu minimumnya 23,3° C - 24,1° C dan

suhu maksimum berkisar antara 31,0° C – 33,1° C. Berdasarkan pengukuran

stasiun klimatologi Polonia, curah hujan di Kota Medan mencapai rata-rata

3.594 mm dengan hari hujan sebanyak 230 hari serta menurut Stasiun

Sampali mencapai rata-rata 2.712 mm dengan hari hujan sebanyak 224 hari.

Selanjutnya mengenai kelembapan udara di wilayah Kota Medan

rata-rata berkisar antara 84 – 85%. Dan kecepatan angin rata-rata sebesar

0,48 m/sec sedangkan rata-rata total laju penguapan tiap bulannya 104,3

(34)

curah hujan menurut Stasiun Sampali per bulannya 226,0 mm dan pada

Stasiun Polonia per bulannya 299,5 mm.

2.1.3. Sejarah Tanah Sari Rejo

Kedatangan suku bangsa Punjabi ke Sumatera Utara dimulai pada

akhir abad ke 19, untuk bekerja sebagai buruhkontrak pada perkebunan

tembakau raya milik Belanda.Suku bangsa Punjabi yang datang ke

Indonesia khususnya ke Sumatera Utara adalah para pria yang belum

menikah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan bekerja di

perkebunan milik Belanda.24

Di Sari Rejo, suku bangsa Punjabi dapat tinggal dan menetap. Hal ini

disebabkan, karena adanya bantuan Belanda pada tahun 1940-an. Suku

bangsa Punjabi diberi tanah atau lahan oleh Belanda untuk memelihara

sapi. Dengan keahliannya inilah suku bangsa Punjabi dapat tinggal di

daerah tersebut. Dari kebersamaan dan kekompakan suku bangsa Punjabi

yang tinggal di Sumatera Utara membuat mereka bertambah banyak, yang

mana jumlah suku bangsa Punjabi saat ini kurang lebih 1000 kepala

keluarga.25

Kelurahan Sari Rejo terdiri dari 9 (sembilan) lingkungan.Setiap

lingkungan terdiri dari berbagai suku, salah satunya adalah suku bangsa

Punjabi.Diantara kesembilan lingkungan ini, suku bangsa Punjabi lebih

24

(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18482/4/Chapter%20II.pdf pada: 1 Mei 2015 pukul 16:20)

25

(35)

dominan berada di lingkungan 4, 5 dan 6. Hal ini disebabkan, pada zaman

dahulu para nenek moyang mereka sudah tinggal diwilayah tersebut.

Belanda yang saat itu bertindak sebagai pemerintah kolonial

memberi tanah kepada suku bangsa Punjabi khususnya yang memelihara

sapi. Dengan persyaratan yaitu suku bangsa Punjabi yang memelihara sapi

harus memberi susu sapi ke orang Belanda dan ke rumah sakit Elisabet.

Rumah sakit Elisabet merupakan rumah sakit yang pertama didirikan oleh

Belanda di Kota Meda. Tanah yang diberikan Belanda itu juga dekat dengan

lokasi rumah sakit tersebut yakni Sari Rejo Belanda memberi tanah kepada

suku bangsa Punjabi khususnya yang memelihara sapi. Dengan persyaratan

yaitu suku bangsa Punjabi yang memelihara sapi harus memberi susu sapi

ke orang Belanda dan ke rumah sakit Elisabet.

Dahulu Sari Rejo merupakan lahan kosong dan masih ditumbuhi

tanaman-tanaman liar. Oleh karena itu, Belanda memberikan lahan kosong

ini untuk ditempati suku bangsa Punjabi dan juga memelihara sapi. Dari

kemampuan berternak sapi inilah yang membuat kalangan suku bangsa

Punjabi dapat tinggal di daerah dekat dengan perkotaan seperti Sari Rejo.

Hal ini dikarenakan pada masa penjajahan Belanda, suku bangsa Punjabi

yang berternak sapi dengan mudah mengantarkan susu sapi tersebut kepada

orang Belanda yang umumnya tinggal di dekat daerah perkotaan.

Beternak sapi perah merupakan sistem mata pencaharian yang

pertama ditekuni oleh suku bangsa Punjabi, setelah mereka tidak bekerja

(36)

mereka sebagaimana kebiasaan di daerah asalnya dan untuk memenuhi

kebutuhan hidup akan susu dan minyak sapi. Peternak sapi perah ini

menjual susu sapi tersebut ke rumah sakit negeri, swasta, pabrik, sesama

suku bangsa Punjabi dan suku bangsa lain juga yang membutuhkan dan

minyak sapi tersebut berguna untuk campuran dalam makanan yang dibuat

dalam Gurdwaradan untuk minyak membakar jenazah suku bangsa Punjabi

yang meninggal dunia.

Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat dua gelombang

migrasi besar ke Kota Medan. Gelombang pertama berupa kedatangan suku

bangsa, sampai saat sekarang ini usia Kota Medan telah tercapai 419tahun.

Tionghoadan Jawasebagai kuli kontrak perkebunan.Setelah tahun

1880perusahaan perkebunan berhenti mendatangkan suku bangsaTionghoa,

karena sebagian besar dari mereka lari meninggalkan kebun dan sering

melakukan kerusuhan.Perusahaan kemudian sepenuhnya mendatangkan

suku bangsaJawa sebagai kuli perkebunan.Suku bangsaTionghoa bekas

buruh perkebunan kemudian didorong untuk mengembangkan sektor

perdagangan.

Gelombang kedua ialah kedatangan suku bangsa Minangkabau,

Mandailing, dan Aceh. Mereka datang ke Kota Medan bukan untuk bekerja

sebagai buruh perkebunan, tetapi untuk berdagang, menjadi guru, dan

ulama.Begitu juga yang terjadi di wilayah Sari Rejo, peternak sapi tidak lagi

mendominasi, tanah garapan mereka sudah banyak berpindah tangan kepada

(37)

memungkinkannya lagi adanya peternakan di Sari Rejo yang saat itu

mengalami kemajuan yang ditandai dengan intensitas kepadatan penduduk

yang semakin meningkat.26

No

Saat ini kelurahan Sari Rejo merupakan hasil dari pemekaran

Kelurahan Polonia. Pada awalnya masih termasuk dalam wilayah

Kecamatan Medan Baru yang kemudian dimekarkan sesuai dengan S.K.

Gubsu No. 821:4/1991 pada tanggal 31 Oktober 1991. Kecamatan Medan

Baru kemudian dimekarkan menjadi Kecamatan Medan Polonia dan

Kecamatan Medan Maimoon Kota Medan.

2.1.4. Jumlah dan Susunan Penduduk

2.1.4.1 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 2. Gambaran Jumlah Penduduk Kelurahan Sari Rejo

Berdasarkan Jenis Kelamin

(38)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa Kelurahan Sari Rejo

didominasi oleh masyarakat dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 13.122

jiwa yang terbagi dalam 5.824 rumah tangga.

2.1.4.2 Komposisi Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan

Tabel 3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan

No Jenis Pekerjaan Jumlah

1 Pegawai Negeri Sipil 414

2 Karyawan Swasta 9.934

3 TNI 375

4 Petani 55

5 Pedagang 2.250

6 Pensiunan 356

7 Lainnya 1.001

(Sumber: Data BPS 2013)

Dari tabel di atas dapat dilihat bagaimana jenis pekerjaan karyawan

swasta mendominasi jenis pekerjaan yang di lakukan masyarakat kelurahan

Sari Rejo sebanyak 9.934 jiwa disusul berikutnya pedagang dengan 2.250

jiwa, jenis pekerjaan lainnya sebesar 1.001 jiwa, PNS sebesar 414, TNI

(39)

2.1.4.3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama

Tabel 4. Pembagian Penduduk Berdasarkan Agama

No Agama Jumlah

1 Islam 20.379

2 Kristen dan Katolik 3.782

3 Hindu 235

(Sumber: Data BPS 2013)

2.2. Asal Mula Pangkalan Udara Soewondo

2.2.1. Sejarah Lanud Soewondo

Kekalahan bala tentara Jepang terhadap kedahsyatan pasukan Sekutu

di seluruh Republik pada tahun 1945 telah membuat kocar-kacir unit-unit

pasukannya. Begitu juga dengan unit tentara udaranya di Polonia Medan

yang juga tak luput dari bombardir pesawat-pesawat sekutu. Kesempatan ini

dimanfaatkan oleh Letnan Khasmir untuk membentuk Bala Tentara Udara

Republik di Polonia. Bala Tentara Udara ini bertugas untuk merampas

senjata-senjata dan suku cadang pesawat milik Jepang yang tersimpan di

gudang-gudang Polonia untuk dimanfaatkan Tentara Keamanan Rakyat

(TKR) udara. Selanjutnya Khasmir membentuk TKR Udara Berastagi.

Sementara di bekas lapangan udara milik Jepang di desa Padang Cermin

(40)

Padang Cermin dibawah pimpinan Kapten Abdul Karim Saleh, yang

kemudian lapangan terbang ini sempat menjadi pusat (Angkatan Udara

Republik Indonesia) AURI di Sumatera Timur pada tahun 1946 diawal

terbentuknya AURI.

Seperti semua Pangkalan Udara lain pada saat setelah Belanda

takluk kepada pemerintah Republik Indonesia belum sepenuhnya mereka

serahkan kepada Tentara Republik, demikian juga dengan Pangkalan Udara

Polonia Medan. Baru pada tanggal 18 April 1950 “Militaire Luuchtvaart”

Kerajaan Belanda dengan diwakili tiga perwiranya, dua diantaranya adalah

Kapten Benjamin dan Kapten Sthud menyerahkan kepada pemerintah RI

yang diwakili oleh Kapten Udara Mulyono sebagai Komandan Lanud

Medan yang pertama. Penyerahan dilaksanakan dengan upacara militer yang

dihadiri oleh seluruh anggota AURI yang ada di Sumatera Utara dan Aceh

bertempat di depan Markas Lanud Medan.

Setelah serah terima Lanud Medan dari Kerajaan Belanda ke AURI

maka dimulailah pengoperasian Lanud Medan yaitu dengan datangnya

deploy pesawat-pesawat AURI seperti Mustang, Harvard dan lain-lain.

Komandan Lanud Medan Kapten Udara Mulyono sendiri ikut

menerbangkan pesawat-pesawat Mustang yang standby du Lanud Medan.

Tidak berapa lama kemudian pada tahun 1951 untuk melengkapi

struktur organisasi Pangkalan Udara Medan, sekaligus antisipasi

(41)

PGT pertama di Medan yaitu Batalyon Tempur C PGT Medan, dan yang

menjabat sebagai Komandan Batalyon adalah LU I Yatiman.

Masa pemberontakan PRRI di Sumatera khususnya di kota Medan

pada tahun 1957 juga tidak terlepas dari perjalanan sejarah keberadaan

Lanud Medan, hal itu terbukti dengan dijadikannya Lanud Medan sebagai

sasaran tembakan senjata lengkung pemberontak. Tidak kurang tiga lubang

bekas jatuhnya peluru hampir melubangi landasan dan satunya jatuh di

sebelah kanan pegawai sipil persenjataan atau lebih kurang sepuluh meter

dari gudang senjata namun peluru tidak meledak. Untungnya lagi saat

sebelum terjadinya serangan, para penerbang telah terlebih dahulu

menerbangkan pesawat-pesawatnya meninggalkan Medan.

Serangan yang dilakukan pemberontak hanya dengan penembakan

senjata lengkung tanpa ada upaya dari mereka untuk mencoba masuk ke

areal Lanud, hal ini dikarenakan sebelumnya pemberontak sudah

mengetahui bahwa areal Lanud dijaga oleh Pasukan Pertahanan Pangkalan

yang sangat militan dan akan sulit menembusnya. “Silakan pemberontak

masuk pangkalan...!!! akan saya habisi mereka.” Demikian teriakan yang

dilontarkan oleh Letnan Harizt perwira Belanda yang tidak mau kembali ke

tanah airnya dan lebih memilih bergabung dengan AURI sebagai Pasukan

Pertahanan Pangkalan, sekarang jejaknya diteruskan oleh putrinya Hendrica

menjadi penerbang TNI AU. Teriakan itu dilakukan sambil menenteng 12,7

ditangannya (dituturkan kembali oleh Bapak Rajha Gobhal mantan pegawai

(42)

Sehari setelah terjadinya serangan pemberontak ke Lanud Medan

keesokan paginya dilaksanakan serangan balasan oleh AURI dengan

membombardir tempat pengunduran pasukan pemberontak di jalan Binjai

Stasion pemancar RRI dengan tiga pesawat Mustang yang salah satu

penerbangnya adalah Letnan Udara II Soewondo. Pasukan pemberontak

dibawah pimpinan Letkol Nainggolan akhirnya lari menuju daerah Tapanuli

bergabung dengan pemberontak lainnya di Sumatera Barat dibawah

pimpinan Ahmad Husein. Siangnya, Soewondo pada periode kedua terbang

melakukan pengejaran. Namun naas karena terbang terlalu rendah

pesawatnya tertembak oleh anak buah Nainggolan di desa Tangga Batu

Tapanuli, Soewondo gugur. Untuk mengenang jasa Almarhum Letnan

Udara II Soewondo namanya diabadikan menjadi nama komplek perumahan

TNI Angkatan Udara Soewondo yang ada di Polonia Medan.

Setelah likuidasi organisasi, Pangkalan TNI Angkatan Udara Medan

dijadikan Pangkalan Operasi dibawah jajaran Komando Operasi TNI

Angkatan Udara I yang berkedudukan di Jakarta. Pada era ini Lanud Medan

telah dijadikan sebagai Pangkalan tempat pelaksanaan latihan bersama

dengan negara-negara tetangga sekawasan dan pada era ini juga Pangkalan

TNI Angkatan Udara Medan diresmikan oleh Menhankam Pangab yang saat

itu dijabat oleh Jenderal TNI M. Yusuf sebagai tempat dislokasi satuan

tempur udara pesawat “A-4 Skyhawk”.

Kemudian kedatangan pesawat-pesawat tempur baru menyusun

(43)

Skadron udara 12 Lanud Pekanbaru dan Skadron Udara 1 Lanud Supadio

Pontianak, Lanud Soewondo tidak lagi dijadikan Pangkalan Udara tempat

pelaksanaan Latihan Bersama.

2.2.2. Sejarah Perkembangan Bandar Udara Polonia

Nama Polonia berasal dari nama negara asal para pembangunnya,

Polandia (Polonia merupakan nama "Polandia" dalam Bahasa Latin).

Sebelum menjadi bandar udara, kawasan tersebut merupakan lahan

perkebunan milik orang Polandia bernama Michalski. Tahun 1872 dia

mendapat konsesi dari Pemerintah Belanda untuk membuka perkebunan

tembakau di Pesisir Timur Sumatera tepatnya daerah Medan. Kemudian dia

menamakan daerah itu dengan nama Polonia, yang saat itu belum merdeka.

Tahun 1879 karena suatu hal, konsesi atas tanah perkebunan itu

berpindah tangan kepada Deli Maatschappij (Deli MIJ) atau NV Deli

Maskapai. Tahun itu terdapat kabar pionir penerbang bangsa Belanda van

der Hoop akan menerbangkan pesawat kecilnya Fokker dari Eropa ke

wilayah Hindia Belanda dalam waktu 20 jam terbang. Maka Deli MIJ yang

memegang konsesi atas tanah itu, menyediakan sebidang lahan untuk

(44)

setelah berita pertama tentang kedatangan pesawat udara itu tidak terdengar,

maka rencana kedatangan pesawat udara kembali terdengar.27

Pada tahun 1936 lapangan terbang Polonia untuk pertama kalinya

melakukan perbaikan yaitu pembuatan landasan pacu (runway) sepanjang

600 meter. Pada tahun 1975, berdasarkan keputusan bersama Departemen

Pertahanan dan Keamanan, Departemen Perhubungan dan Departemen

Keuangan, pengelolaan pelabuhan udara Polonia menjadi hak pengelolaan Mengingat waktu itu sangat pendek, persiapan untuk lapangan

terbang tidak dapat dikejar, akhirnya pesawat kecil yang diawaki van der

Hoop yang menumpangi pesawat Fokker, bersama VN Poelman dan van der

Broeke mendarat di lapangan pacuan kuda yakni Deli Renvereeniging,

disambut Sultan Deli, Sulaiman Syariful Alamsyah.

Setelah pesawat pertama mendarat di Medan, maka Asisten Residen

Sumatera Timur Mr. CS Van Kempen mendesak pemerintah Hindia

Belanda di Batavia, agar mempercepat dropping dana untuk menyelesaikan

pembangunan lapangan terbang Polonia. Pada 1928 lapangan terbang

Polonia dibuka secara resmi, ditandai dengan mendaratnya enam pesawat

udara milik KNILM, anak perusahaan KLM, pada landasan yang masih

darurat, berupa tanah yang dikeraskan. Mulai tahun 1930, perusahaan

penerbangan Belanda KLM serta anak perusahaannya KNILM membuka

jaringan penerbangan ke Medan secara berkala

27

(45)

bersama antara Pangkalan Udara AURI dan Pelabuhan Udara Sipil. Dan

mulai 1985 berdasarkan Peraturan Pemerintah No 30 Tahun 1985,

pengelolaan pelabuhan udara Polonia diserahkan kepada Perum Angkasa

Pura yang selanjutnya mulai 1 Januari 1994 menjadi PT. Angkasa Pura II

(Persero).

Panjang landasan pacu saat ini adalah 2.900 meter, sementara yang dapat

digunakan sepanjang 2.625 meter (sehingga terdapat displaced threshold

sebesar 275 meter). Hal ini terjadi karena banyaknya benda yang

menghalang di sekitar tempat lepas landas dan mendarat. Polonia juga

memiliki 4 taxiway dan apron seluas 81.455 meter. Polonia dirancang untuk

dapat memuat maksimum sekitar 900.000 penumpang. Dari tahun ke tahun

arus penumpang Polonia cenderung mengalami peningkatan antara 15

hingga 20 persen. Pada tahun 2003, arus penumpang mencapai sebesar

2.736.332 orang, naik dari 2.090.519 orang pada tahun sebelumnya. Jumlah

pergerakan pesawat adalah 36.359 pada tahun 2003, naik dari 29.894 pada

tahun 2002. Tercatat ada 13.713 penerbangan domestik dan 4.387

penerbangan internasional dari Polonia pada 1998. Pada 2004 jumlahnya

telah mencapai 35.100 penerbangan domestik dan 8.266 penerbangan

internasional.

Dari segi jumlah penerbangan, pada 1998 terdapat 56 penerbangan

(46)

melebihi 150 penerbangan perhari, dengan penumpang lebih kurang 3,8 juta

orang pertahun, baik domestik dan internasional.

Terdapat dua terminal penumpang di

terminal keberangkatan dan satu untuk kedatangan, dan jika ditotal luasnya

mencapai 13.811 meter². Keduanya juga masing-masing dibagi untuk

penerbangan domestik dan internasional. Terminal domestik Polonia

mempunyai luas 7.941 meter² dan saat ini (laporan Januari 2006)

menampung 1.810 orang yang datang bersamaan, sehingga setiap

penumpang mempunyai luas 4m², kurang dari standar sebesar 14m² yang

ditetapkan pemerintah. Mulai 1 Oktober 2006, menyusul peristiwa

penyimpangan muatan barang di

2006, dioperasikan pula sebuah terminal kargo satu pintu yang diharapkan

dapat menertibkan pergerakan kargo dan mencegah terjadinya manipulasi

muatan barang.

Bandara Kualanamu menjadi penggati bandara Polonia Medan

setelah tahun 1994 sejumlah pejabat Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara

yang saat itu dipimpin Raja Inal Siregar mengeluarkan wacana pemindahan

bandara Polonia mengingat pertumbuhan kota Medan menjadi kota yang

cukup padat saat itu. Setahun kemudian, pemerintah pusat memberikan

dukungan lewat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 41 Tahun

(47)

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara lalu menentukan daerah

pinggiran sebagai pengganti lokasi Bandara Polonia yang saat ini bernama

Bandara Kualanamu Medan. Awalnya, pada 1994, sejumlah pejabat

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mengeluarkan wacana pembangunan

bandara baru untuk menggantikan Polonia yang berada di tengah kota

Medan yang saat itu mengalami pertumbuhan penduduk yang pesat.

Setahun kemudian, pemerintah pusat memberikan dukungan lewat

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 41 Tahun 1995.Sedianya,

pembangunan bandara akan dilakukan pada 1997. Pembangunan harus

tertunda lama lantaran badai krisis ekonomi menerpa Indonesia.Di awal

2000, ide pembangunan bandara di Kuala Namu yang mengendap cukup

lama, kembali diangkat dalam rencana pembangunan nasional. Pengerjaan

kontruksi perdana baru dilakukan pada 2006 oleh Wakil Presiden Jusuf

Kalla.Pengerjaan konstruksi yang lambat karena berbagai hal, membuat

target pengoperasian Kuala Namu dimundurkan beberapa kali.Hingga

akhirnya pemerintah menyatakan bandara yang diproyeksi menjadi hub

Internasional di Asia Tenggara itu siap dioperasikan pada Kamis, 25 Juli

(48)

2.3. Forum Masyarakat Sari Rejo (FORMAS)

Masalah pertanahan ini masih disadari sebagai faktor yang sangat

rentan.Hal itu disebabkan tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok

manusia.Karena itubanyak yang berkepentingan dengan tanah.Tanah bisa

dijadikan tempat tinggal, tempat usaha, atau tempat berbagai lokasi kegiatan

ekonomi, sosial, dan budaya manusia.Adanya keinginan untuk memiliki

atau mendapatkan tanah, maka bisa menyebabkan munculnya konflik.

Konflik yang berkelanjutan antara masyarakat Kelurahan Sari Rejo

dan Tentara Nasional Indonesia- Angkatan Udara (TNI-AU) sampai saat ini

belum menemui titik temu. Kondisi ini diperparah dengan tidak seriusnya

pemerintah dalam upaya penyelesaian konflik yang sampai saat ini masih

berlangsung.

Masyarakat menganggap tanah yang dihuni sejak tahun 1948 seluas

260 Ha tidak termasuk dalam area yang tertuang dalam seritifikat hak pakai

nomer 1 tanggal 13 Juni 1997 dan sertifikat hak pakai nomer 4 tanggal 25

juni 1997 yang dikeluarkan oleh Departemen Pertahanan dan Keamanan

Repubilk Indonesia.

Dengan adanya kasus tersebut, tuntutan terhadap legalitas tanah

yang mereka duduki sekarang ini dirasa perlu.Masyarakat menilai legalitas

diperlukan guna memberikan kepastian hukum dalam pengembangan

perekonomian masyarakat.Dengan adanya legalisasi hak atas tanah tersebut,

warga masyarakat dapat menjadi kekuatan untuk meningkatkan

(49)

dapat dijadikan sebagai agunan di bank dan dapat menambah uang

pemasukan bagi negara.

Masyarakat merasa terancam dengan status tanah sengketa di tanah

yang mereka duduki. Proses sengketa yang berjalan lama dan belum

menunjukkan jalan keluar atas penyelesaian konflik mengakibatkan

masyarakat sulit untuk melakukan pembangunan. Proses ini dianggap

masyarakat berpotensi pada matinya roda ekonomi masyarakat yang berada

di area sengketa.

Masyarakat yang merasa terdesak oleh TNI-AU mulai

mengasosiasikan dirinya menjadi satu kesatuan. Mereka merasa tanah yang

mereka tempati merupakan hak mereka.Konflik vertikal ini yang

selanjutnya menumbuhkan kesadaran perlunya sebuah organisasi yang dapat

menjadi wadah perjuangan masyarakat Sari Rejo dalam memperjuangkan

haknya.

Berdasarkan akta pendirian Formas tanggal 24 Februari 2011 No.30

dihadapan notaris Muhammad Dodi Budiantoro yang berkantor di Jalan

Jenderal Ahmad Yani No 70 lantai dua, masyarakat kelurahan Sari Rejo

memiliki organisasi kemasyarakatan yang mempunyai tujuan pembelaan

hak-hak masyarakat Sari Rejo.

Konsep gerakan yang lebih terlihat insidental akibat adanya tekanan

Gambar

Gambar 1  Peta Kelurahan Sari Rejo
Tabel 2. Gambaran Jumlah Penduduk Kelurahan Sari Rejo
Tabel 3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Tabel 4. Pembagian Penduduk Berdasarkan Agama
+2

Referensi

Dokumen terkait

Masyarakat pedesaan dicitrakan komunitas yang tenang, jauh dari sikap kritis, dan hidup guyub rukun mendadak berubah dengan pecahnya konflik tanah bengkok.. Tanah bengkok

Organisasi yang didirikan oleh komunitas pemulung yakni Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) Jawa Timur berperan sebagai katup penyelamat dalam konflik yang terjadi antara

konflik agraria yang terjadi di Desa Padang halaban dalam. perspektif HAM, dimana para petani yang lahannya

Judul :Analisis Implementasi Nawa Cita Jokowi Terhadap Pembangunan Agraria (Studi Deskriptif: Konflik Tanah Di Desa Padang

Begitu pula dalam novel ditemukan empat macam penyebab konflik yakni penyebab konflik dalam hubungan intim atau akrab yang terjadi pada beberapa tokoh yaitu:

Namun dari sinilah konflik akan muncul ketika Kepala Desa Setrojenar waktu itu dipimpin oleh Pak Nur Hidayat mengklaim bahwa tanah TNI tersebut dalah tanah desa sehingga

Jadi jelas di sini bahwa dalam perspektif konflik, program perhutanan sosial yang berada di dalam kawasan hutan mengandung lebih banyak unsur bagi terciptanya konflik, yaitu antara

Faktor – faktor penyebab konflik pelaksanaan tora Dari berbagai faktor penyebab terjadinya konflik pelaksanaan tanah objek reforma agraria Tora dalam kawasan hutan di Desa Sambabo