commit to user
EFEKTIVITAS PEDITINJAU DAR
SIS
(Studi Kasus M
FAKULTAS
UN
PEMBELAJARAN PENDIDIKAN BUDI PEK
ARI TINGKAT PENYIMPANGAN PERILAK
SWA TAHUN AJARAN 2009 / 2010
s Minuman Keras Di SMP Negeri 14 Surakarta
SKRIPSI
OLEH
ARY KUSMAWATI
NIM : K6406002
AS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
KERTI
AKU
commit to user
ii
EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
DITINJAU DARI TINGKAT PENYIMPANGAN PERILAKU
SISWA TAHUN AJARAN 2009/2010
(Studi Kasus Minuman Keras Di SMP Negeri 14 Surakarta)
Oleh
ARY KUSMAWATI
NIM : K6406002
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana
Pendidikan Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
commit to user
ABSTRAKAry Kusmawati. EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DITINJAU DARI TINGKAT PENYIMPANGAN PERILAKU SISWA TAHUN AJARAN 2009/2010 (Studi Kasus Minuman Keras Di SMP Negeri 14 Surakarta). Skripsi. Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret. Desember. 2010.
Tujuan penelitian ini adalah (1) Mengetahui faktor-faktor yang mendorong siswa melakukan minuman keras di SMP Negeri 14 Surakarta tahun ajaran 2009/2010. (2) Mengetahui perbedaan tingkat penyimpangan perilaku minuman keras sebelum dan setelah SMP Negeri 14 Surakarta menerapkan pendidikan budi pekerti. (3) Mengetahui tingkat efektivitas pembelajaran pendidikan budi pekerti ditinjau dari tingkat penyimpangan perilaku minuman keras.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan strategi penelitian studi kasus tunggal terpancang. Sumber data yang digunakan adalah informan, peristiwa dan dokumen. Teknik sampling yang digunakan adalah
purposive sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Validitas data yang diperoleh dengan teknik trianggulasi data. Analisis data menggunakan analisis interaktif yaitu pengumpulan data, reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan. Prosedur penelitian menggunakan langkah-langkah yaitu tahap persiapan, tahap pengumpulan data, tahap analisis data, dan tahap penyusunan laporan penelitian.
commit to user
vi
ABSTRACT
Ary Kusmawati. MORAL PHYLOSOPHY EDUCATION EFFECTIVENESS
OBSERVED FROM STUDENTS’ BEHAVIORAL DEVIATION LEVEL IN ACADEMIC YEAR 2009/2010 (Alcoholic Drink Case Study at State Junior High School 14 Surakarta). Thesis. Surakarta: Faculty of Teaching and Education Training. University of Sebelas Maret. December. 2010.
This reserach was aimed (1) To know factors that encourage students of State Junior High School 14 Surakarta in academic year 2009/2010 consume alcoholic drink. (2) To know the difference level of alcoholic behavior before and after State Junior High School 14 Surakarta applying moral phylosophy education to its students. (3) To know moral phylosophy education effectiveness level observed from alcoholic deviation behavior level.
This research used descriptive-qualitative method with strategy of a case study reserach. Sources of data in this reserach were informant, happening and document. The sampling technique was purposive sampling. The technique of collecting data were by interview, observation and document analysis. Data validity was gained by data trianggulation. The data analysis used interactive analysis i.e data collection, data reduction, data presentation and drawing conclusion. The research procedure used steps as follow: phase of preparation, phase of collecting data, phase of analyzing data and phase of arranging report.
commit to user
MOTTO“Keluaran pendidikan seharusnya dapat menghasilkan orang pintar,
tetapi juga orang baik”
(M. Furqon Hidayatullah)
”Sesungguhnya orang yang paling mulia pada sisi Allah, ialah orang yang paling
taqwa ”.
( Surat Al-Hujarat ayat 13 )
“Ilmu menata pengetahuan, kearifan menata kehidupan”
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Karya ini dipersembahkan kepada:
• Bapak dan Ibu tercinta yang telah
memberikan doa dan motivasi
• Adik-adik tersayang, Budi, Lina dan Ferdy
• Mas Umar yang selalu mendukung
• Teman-teman PKn angkatan 2006
khususnya teman-teman Ra_Mbaong
commit to user
KATA PENGANTARPuji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat serta karunia- Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini yang berjudul ”Efektivitas Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti
Ditinjau Dari Tingkat Penyimpangan Perilaku Siswa Tahun Ajaran 2009/2010
(Studi Kasus Minuman Keras Di SMP Negeri 14 Surakarta)”.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian dari prasyarat guna
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada program Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian
penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya
kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu atas segala bentuk
bantuannya, disampaikan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan
ijin penelitian guna menyusun skripsi ini.
2. Drs. Saiful Bachri, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FKIP UNS Surakarta, yang telah menyetujui penyusunan skripsi ini.
3. Dr. Sri Haryati, M.Pd., Ketua Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan
FKIP UNS Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.
4. Drs. Machmud, AR, SH, Msi selaku Pembimbing I yang dengan sabar telah
memberikan pengarahan, bimbingan dan motivasi sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
5. Drs. Suyatno, M.Pd selaku Pembimbing II yang dengan sabar telah
memberikan bimbingan, pengarahan dan dorongan selama penulis
menyelesaikan skripsi ini
6. Wijianto S. Pd selaku pembimbing akademik yang telah memberikan
commit to user
x
7. Bapak/Ibu dosen Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan, sehingga penulis mampu
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
8. Drs. Y. Himawan Samudra selaku Kepala SMP Negeri 14 Surakarta yang
telah memberikan ijin penelitian
9. Gatot Katmanto, S. Pd, Drs. Wardoyo, Mastyasto, S. Pd selaku guru
Pendidikan Budi Pekerti SMP Negeri 14 Surakarta yang dengan senang hati
membantu penulis dalam pengumpulan data yang penulis perlukan dalam
penyusunan skripsi ini
10. Siswa SMP Negeri 14 Surakarta yang telah membantu penulis dalam
pengumpulan data yang penulis perlukan dalam penyusunan skripsi ini.
11. Semua pihak yang membantu penulis demi lancarnya penulisan skripsi ini.
Penulis berharap, semoga Allah SWT selalu memberikan barokah dan
anugerah yang terbaik atas jasa yang mereka berikan.
Penyusunan skripsi ini penulis telah berusaha semaksimal mungkin,
namun penulis menyadari bahwa skripsi ini masih ada kekurangan karena
keterbatasan penulis. Dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan skripsi ini.
Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya
dan bagi pembaca pada umumnya.
Surakarta, Desember 2010
commit to user
DAFTAR ISIHALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGAJUAN ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN………... .. iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN ABSTRAK ... v
ABSTRACT ... vi
MOTTO ... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 9
1. Teori Sikap dan Perilaku ... 9
2. Efektivitas Pembelajaran ... 12
3. Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti ... 15
4. Penyimpangan Perilaku Minuman Keras ... 26
B. Kerangka Berpikir ... 33
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 35
B. Bentuk dan Strategi Penelitian ... 35
commit to user
xii
D. Teknik Sampling ... 38
E. Teknik Pengumpulan Data ... 39
F. Validitas Data ... 40
G. Analisis Data ... 42
H. Prosedur Penelitian ... 43
BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 45
1. Letak Geografis SMP Negeri 14 Surakarta ... 45
2. Profil SMP Negeri 14 Surakarta ... 45
3. Visi dan Misi Sekolah ... 46
4. Sejarah Singkat Berdirinya SMP Negeri 14 Surakarta ... 46
5. Keadaan Guru, Siswa, dan Karyawan di SMP Negeri 14 Surakarta ... 47
6. Waktu Pelaksanaan Pembelajaran di SMP Negeri 14 Surakarta ... 49
B. Deskripsi Permasalahan Penelitian ... 50
1. Faktor-Faktor yang Mendorong Siswa Melakukan Minuman Keras di SMP Negeri 14 Surakarta Tahun Ajaran 2009/2010 ... 50
2. Perbedaan Tingkat Penyimpangan Perilaku Minuman Keras Sebelum dan Setelah SMP Negeri 14 Surakarta Menerapkan Pendidikan Budi Pekerti... 62
3. Efektivitas Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti Ditinjau dari Tingkat Penyimpangan Perilaku Siswa Tahun Ajaran 2009/2010 (Studi Kasus Minuman Keras Di SMP Negeri 14 Surakarta) ... 65
C. Temuan Studi ... 75
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan ... 79
B. Implikasi ... 81
commit to user
DAFTAR PUSTAKA ... 83
commit to user
xiv DAFTAR TABEL Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel1. Jadual Kegiatan Penelitian ………...
2. Informan yang Melakukan Penyimpangan Perilaku
Minuman Keras...
3. Daftar Nama Kepala Sekolah SMP Negeri 14
Surakarta...
4. Daftar Kelas dan Jumlah Seluruh Siswa Tahun Ajaran
2009/2010...
5. Waktu Pelaksanaan KBM di SMP Negeri 14
Surakarta…...
6. Faktor Pendorong Penyimpangan Perilaku Minuman
Keras...
7. Jumlah Faktor Pendorong Siswa Melakukan
Penyimpangan Perilaku Minuman
Keras...
8. Jumlah Faktor dari Dalam Individu (Instrinsik)...
9. Jumlah Faktor dari Luar Individu (Ekstrinsik)...
10.Jumlah Seluruh Siswa SMP Negeri 14 Surakarta Tahun
2004/2005...
11.Jumlah Seluruh Siswa SMP Negeri 14 Surakarta Tahun
2009/2010...
12.Jumlah Siswa yang Melakukan Minuman keras dan
commit to user
DAFTAR GAMBARGambar
Gambar
1. Skema Kerangka Pemikiran ………
2. Analisis Data Model Interaktif ...
Halaman
34
commit to user
xvi DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran1. Daftar Informan ...
2. Silabus, RPP dan Jurnal Kegiatan Pendidikan Budi
Pekerti...
3. Panduan Wawancara...
4. Catatan Lapangan Wawancara dengan Koordinator
Bidang Kurikulum...
5. Catatan Lapangan Wawancara dengan Guru Pendidikan
Budi Pekerti...
6. Catatan Lapangan Wawancara dengan Siswa yang
Melakukan Minuman Keras ...
7. Gambar Kegiatan Penelitian...
8. Trianggulasi Data...
9. Trianggulasi Metode...
10. Penanganan Siswa Yang Melanggar Tata
Tertib...
11. Data Jumlah Pelanggaran Siswa...
12. Pembagian Tugas Tenaga Edukatif dan Non
Edukatif...
13. Raport Siswa...
14. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi Kepada
Dekan FKIP UNS ...
15. Surat Keputusan Dekan FKIP UNS Tentang Ijin
Penyusunan Skripsi ...
16. Surat Permohonan Ijin Survey Kepada Kepala SMP
Negeri 14 Surakarta...
17. Surat Permohonan Ijin Research/ Penelitian Kepada
Rektor UNS ...
18. Surat Permohonan Ijin Research Kepada Kepala SMP
commit to user
LampiranLampiran
Lampiran
Negeri 14 Surakarta ...
19. Surat Permohonan Surat Pengantar Ijin Survey Kepada
Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga kota
Surakarta...
20. Surat Keterangan Telah Melakukan Survey dari Ketua
MGMP Pendidikan Budi Pekerti dan Kasi Kurikulum
Diknas SMP...
21. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian dari
SMP Negeri 14 Surakarta...
260
261
262
commit to user
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia Indonesia menempati posisi sentral dan strategis dalam
pelaksanaan pembangunan nasional, sehingga diperlukan adanya pengembangan
sumber daya manusia (SDM) secara optimal. Pengembangan SDM dapat
dilakukan melalui pendidikan, mulai dari dalam keluarga, hingga lingkungan
sekolah dan masyarakat. Salah satu SDM yang dimaksud dapat berupa generasi
muda (young generation) sebagai estafet pembaharu merupakan kader
pembangunan yang sifatnya masih potensial, perlu dibina dan dikembangkan
secara terarah dan berkelanjutan melalui lembaga pendidikan sekolah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Bab 1 Pasal 1,
tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa:
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (Mendiknas, 2003: 6)
Menurut Yahudi (2006, http://en wikipedia.teacher.com/) menyatakan
bahwa:
Hal itu berarti bahwa pendidikan yang diberikan kepada peserta didik merupakan perpaduan dari keseluruhan aspek kehidupan. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat ditempuh melalui perbaikan sistem pendidikan yang mengarah pada pembentukan karakter siswa sejak tingkat pra sekolah sampai perguruan tinggi. Beberapa fungsi pentingnya pendidikan sekolah antara lain untuk: perkembangan pribadi dan pembentukan kepribadian, transmisi cultural, integrasi sosial, inovasi, dan pra seleksi serta pra alokasi tenaga kerja.
Tugas pendidikan sekolah dalam hal ini adalah untuk mengembangkan
segi-segi kognitif, afektif dan psikomotorik yang dapat dikembangkan melalui
pendidikan sekolah. Perbaikan sistem pendidikan harus mengarah pada
dengan hasil belajar dan afektif yang ditunjukkan dengan perilaku siswa yang
baik. Proses pendidikan terarah pada peningkatan penguasaan pengetahuan,
kemampuan, keterampilan, pengembangan sikap dan nilai-nilai dalam rangka
pembentukan dan pengembangan diri peserta didik.
Kegiatan belajar yang berlangsung di sekolah bersifat formal, disengaja,
direncanakan, dengan bimbingan guru serta pendidik lainnya. Kegiatan belajar
tersebut sangat diperlukan, karena semakin banyaknya dan semakin tingginya
tuntutan kehidupan masyarakat. Siswa di sekolah memperoleh pelajaran dan
pengetahuan, diharapkan nanti bukan hanya aspek kognitifnya yang diperoleh
melainkan aspek afektif dan psikomotorik yaitu siswa mampu menilai perbuatan
itu baik atau buruk serta mampu mengimplementasikan perbuatan yang baik itu
dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu mata pelajaran yang dibutuhkan siswa
untuk mengembangkan kepribadiannya agar memiliki hati nurani yang baik yaitu
pendidikan budi pekerti.
Menurut Sjarkawi (2006: 32) mengungkapkan bahwa “Pendidikan
budi pekerti memiliki esensi yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan
akhlak”, sedangkan menurut Jarolimek (dalam Nurul Zuriah, 2007: 19-20)
dijelaskan bahwa:
Pendidikan budi pekerti merupakan program pengajaran di sekolah yang bertujuan mengembangkan watak atau tabiat siswa dengan cara menghayati nilai-nilai dan keyakinan masyarakat sebagai kekuatan moral dalam hidupnya melalui kejujuran, dapat dipercaya, disiplin dan kerjasama yang menekankan ranah afektif (perasaan dan sikap) tanpa meninggalkan ranah kognitif (berpikir rasional) dan ranah skill/psikomotorik (keterampilan, terampil mengolah data, mengemukakan pendapat, dan kerjasama).
commit to user
3
pendidikan etika melainkan istilah yang digunakan adalah pendidikan budi pekerti. (Sjarkawi, 2006: 32).
Pembelajaran pendidikan budi pekerti pada dasarnya tidak hanya
mempelajari tentang konsep, teori dan fakta tetapi juga aplikasi dalam kehidupan
sehari-hari. Oleh karena itu, materi pembelajaran pendidikan budi pekerti tidak
hanya tersusun atas hal-hal yang bersifat hafalan tetapi juga tersusun atas materi
yang memerlukan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Pelaksanaan
program-program pendidikan budi pekerti perlu disertai dengan keteladanan guru, orang
tua, dan orang dewasa pada umumnya.
Usia remaja adalah usia dimana anak atau individu berada pada
masa-masa labil, sehingga kondisi penekanan-penekanan atau masa-masalah yang muncul
membuat remaja kehilangan kontrol diri, akhirnya mereka mencari pelarian.
Tempat pelarian inilah yang mereka salahgunakan untuk melepaskan semua
masalah yang dihadapi, dan kemudian munculah penyimpangan perilaku. Salah
satunya adalah pelarian kepada minum-minuman keras. Tersedianya
tempat-tempat untuk membeli minuman keras menyebabkan mereka dengan mudah
mendapatkan minuman keras. Kondisi keluarga yang buruk atau tidak harmonis,
biasanya akan membuat anak mencari sesuatu yang tidak ia dapat di dalam
keluarganya yaitu dengan jalan pelarian ke arah tindakan yang menyimpang.
Selain itu pengaruh lingkungan pergaulan terutama dari teman sebaya sangat
dominan membentuk tingkah laku anak, dan tidak sedikit pengaruh tersebut
membawa pada tingkah laku yang menyimpang. Faktor dari dalam individu
sendiri juga mempengaruhi tingkah laku anak dalam melakukan tindakan
minuman keras.
Pembelajaran pendidikan budi pekerti di sekolah menjadi alternatif
membantu siswa berkembang menjadi pribadi yang berbudi pekerti baik, oleh
karena itu pembelajaran pendidikan budi pekerti sangat diharapkan dapat
mengatasi penyimpangan perilaku khususnya minuman keras sehingga efektif
tidaknya pendidikan budi pekerti sangat berpengaruh terhadap perkembangan
diharapkan akan mencapai tujuan yang semaksimal mungkin sehingga dapat
mengurangi bahkan menghilangkan penyimpangan perilaku yang terjadi.
Berdasarkan wawancara dengan kepala sub bidang kurikulum SMP
Dikpora di Surakarta mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti mulai
diterapkan di SMP Surakarta, untuk tahun 2003/2004 hanya 4 sekolah yang sudah
menerapkan pendidikan budi pekerti, sedangkan tahun 2004/2005 meningkat
menjadi 10 sekolah baik negeri maupun swasta, dan untuk tahun berikutnya
penerapan pendidikan budi pekerti dinilai berhasil maka pada tahun 2005 seluruh
SMP baik negeri maupun swasta sudah menerapkan pendidikan budi pekerti,
Dikpora kota Surakarta bekerja sama dengan UNICEF dan BAPPEDA. Oleh
karena itu, Dikpora kota Surakarta menghimbau kepada SMP Negeri maupun
Swasta untuk menerapkan kembali pendidikan budi pekerti. Pendidikan budi
pekerti diberikan di SMP karena usia anak SMP dinilai pola berpikir anak sudah
mampu untuk diajak memahami dan melihat nilai-nilai hidup berdasar
pertanggungjawabannya serta dasar pemikirannya.
SMP Negeri 14 Surakarta merupakan salah satu sekolah yang
menerapkan pendidikan budi pekerti. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah
satu guru pendidikan budi pekerti mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti ini
bukan suatu mata pelajaran yang diujikan dalam semesteran atau kenaikan kelas,
melainkan hanya suatu pendidikan nilai yang diberikan kepada siswa untuk
membentuk dan mengembangkan unsur karakter atau watak yang mengandung
hati nurani sebagai kesadaran diri untuk berbuat kebajikan dengan cara
menanamkan nilai-nilai budi pekerti dalam diri siswa. Paul Suparna, Moerti
Yoedho, Detty Titisari dan Kartono (2002: 45-52) mengungkapkan bahwa
“Berbagai metode pendidikan dan pengajaran yang digunakan seperti metode
demokrasi, pencarian bersama, siswa aktif, keteladanan, live in dan metode
penjernihan nilai dalam berbagai pendekatan dapat digunakan juga dalam proses
pengajaran pendidikan budi pekerti”. Oleh karena itu, diterimanya nilai-nilai budi
pekerti oleh siswa sejalan dengan berubahnya nilai-nilai siswa yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai yang diinginkan.
commit to user
5
efektivitas, salah satu indikator efektivitas adalah indikator output, yaitu
mencakup hasil-hasil yang berhubungan dengan perubahan sikap atau tujuan
pembelajaran dapat tercapai semaksimal mungkin. Tujuan pendidikan budi
pekerti di SMP Negeri 14 Surakarta belum mencapai hasil atau tujuan yang
maksimal, hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya siswa yang melakukan
penyimpangan minuman keras. Adanya penyimpangan perilaku minuman keras di
SMP Negeri 14 Surakarta, dengan jumlah siswa yang tidak sedikit, maka hal
tersebut perlu adanya penilaian keberhasilan dari pendidikan budi pekerti. Selain
tujuan pembelajaran pendidikan budi pekerti yang belum mencapai hasil yang
maksimal, keteladanan guru, metode pembelajaran dan alokasi waktu
pembelajaran pendidikan budi pekerti juga sangat mempengaruhi keberhasilan
pendidikan budi pekerti. Guru pendidikan budi pekerti harus memiliki pribadi
yang baik yang dapat memberikan contoh, menjadi motivator, dalam penanaman
budi pekerti serta mampu menyampaikan materi agar siswa lebih mudah dalam
memahaminya. Metode pembelajaran pendidikan budi pekerti yang digunakan
kurang bervariasi, hal ini disebabkan karena alokasi waktu yang diberikan SMP
Negeri 14 Surakarta hanya 40 menit setiap minggunya, hal tersebut dirasakan oleh
guru sangat kurang untuk memberikan pemahaman tentang pendidikan budi
pekerti.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu guru bimbingan
konseling di SMP Negeri 14 Surakarta, terungkap bahwa di sekolah tersebut ada
sebagian siswa yang tidak mencerminkan nilai-nilai budi pekerti misalkan dari
data yang diperoleh menunjukan bahwa siswa yang melakukan pesta minuman
keras sebanyak 31 siswa terdiri dari kelas VII sampai kelas IX, perkelahian,
membolos dan melakukan perbuatan yang kurang sopan seperti memecahkan kaca
di ruangan kelas, tetapi pada waktu sekolah belum menerapkan pendidikan budi
pekerti, penyimpangan perilaku yang terjadi menurut data yang peneliti peroleh
hampir sama yaitu, minuman keras, perkelahian, pencurian, dan membolos
sekolah dengan angka yang berbeda dibandingkan dengan yang terjadi sekarang.
Sebelum sekolah menerapkan pendidikan budi pekerti, penyimpangan yang
menerapkan pendidikan budi pekerti, khususnya untuk penyimpangan perilaku
dalam kasus minuman keras.
Siswa yang masih duduk di bangku SMP sudah berani melakukan
minuman keras yang sangat membahayakan bagi dirinya. Siswa tersebut
melakukan pesta minuman keras secara bersama-sama. Pesta minuman keras
tersebut dilakukan oleh para siswa pada waktu jam sekolah, kemudian dari
masyarakat mengetahui keadaan tersebut, sehingga melaporkan ke pihak sekolah.
Setelah kejadian itu siswa kemudian diberi teguran dan peringatan oleh pihak
sekolah sampai diberikan penyuluhan dari kepolisian setempat. Masalah minuman
beralkohol telah menimbulkan masalah yang mengganggu kondisi ketertiban dan
keamanan sekolah maupun masyarakat. Menyadari akan pengaruh bahaya minuman
beralkohol bagi tubuh manusia khususnya bagi pelajar, maka tatanan pengaturan
pengawasan dan pengendalian dari berbagai pihak, misalnya keluarga, sekolah dan
masyarakat memang sangat diperlukan. Hal tersebut membuktikan bahwa faktor
yang mempengaruhi siswa melakukan penyimpangan perilaku minuman keras
bukan karena ada tidaknya pendidikan budi pekerti tetapi ada faktor lain yang
mendorongnya.
Tingginya penyimpangan perilaku yang terjadi di SMP Negeri 14
Surakarta membuat para pendidik khususnya guru pendidikan budi pekerti harus
memberikan pendidikan yang mampu membuat siswa menjadi lebih paham dalam
mengimplementasikan budi pekerti yang baik di masyarakat. Pola pembelajaran
budi pekerti yang diajarkan sehari-hari di sekolah tersebut perlu diadakan
penataan ulang agar penyimpangan perilaku di kalangan pelajar bisa dikurangi
bahkan dihilangkan sama sekali.
Bertitik tolak dari uraian di atas maka penulis mengambil judul skripsi
”Efektivitas Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti Ditinjau Dari Tingkat
Penyimpangan Perilaku Siswa Tahun Ajaran 2009/2010 (Studi Kasus
commit to user
7
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat
dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut ini :
1. Faktor-faktor apa yang mendorong siswa melakukan minuman keras di SMP
Negeri 14 Surakarta tahun ajaran 2009/2010 ?
2. Bagaimana perbedaan tingkat penyimpangan perilaku minuman keras sebelum
dan setelah SMP Negeri 14 Surakarta menerapkan pendidikan budi pekerti ?
3. Bagaimana tingkat efektivitas pembelajaran pendidikan budi pekerti ditinjau
dari tingkat penyimpangan perilaku minuman keras siswa di SMP Negeri 14
Surakarta tahun ajaran 2009/2010 ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki suatu tujuan yang ingin dicapai, antara lain :
1. Mengetahui faktor-faktor yang mendorong siswa melakukan minuman keras
di SMP Negeri 14 Surakarta tahun ajaran 2009/2010.
2. Untuk mengetahui perbedaan tingkat penyimpangan perilaku minuman keras
sebelum dan setelah SMP Negeri 14 Surakarta menerapkan pendidikan budi
pekerti.
3. Untuk mengetahui tingkat efektivitas pembelajaran pendidikan budi pekerti
ditinjau dari tingkat penyimpangan perilaku minuman keras.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan
pembaca pada umumnya baik secara teoritis maupun secara praktis, antara lain :
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini memberikan sumbangan bagi bidang studi PPKn
dalam mengimplementasikan mata kuliah yang berhubungan dengan pendidikan
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai masukan yang bermanfaat bagi pihak sekolah dalam upaya
mengatasi penyimpangan perilaku siswa.
b. Diharapkan dapat memberikan masukan bagi guru pendidikan budi pekerti
dalam meningkatkan pembelajaran pendidikan budi pekerti agar lebih efektif.
c. Memberikan motivasi bagi siswa agar tidak melakukan penyimpangan
commit to user
9 BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Teori Tentang Sikap dan Perilaku
a. Teori Rosenberg (Teori Affective-Cognitive Consistency)
Teori ini disebut juga teori dua faktor. Teori ini memusatkan
perhatiannya pada hubungan komponen kognitif dan komponen afektif.
Pengertian kognitif dalam sikap tidak hanya mencakup tentang
pengetahuan-pengetahuan yang berhubungan dengan objek sikap, melainkan juga mencakup
kepercayaan atau beliefs tentang hubungan antara objek sikap itu dengan
sistem nilai yang ada dalam diri individu. Rosenberg (dalam Bimo Walgito
2008: 136) menyatakan bahwa “Komponen afektif akan selalu berhubungan
dengan komponen kognitif, dan hubungan tersebut dalam keadaan konsisten”.
Rosenberg menciptakan skala sikap dan berpendapat bahwa adanya
hubungan yang konsisten antara komponen afektif dengan komponen kognitif.
Hal tersebut berarti apabila seseorang mempunyai sikap yang positif terhadap
sesuatu objek, maka indeks kognitifnya juga akan tinggi, demikian sebaliknya.
Suatu hal yang penting penerapan teori Rosenberg ini ialah dalam kaitannya
dengan pengubahan sikap, karena hubungan komponen afektif dengan
komponen kognitif konsisten, maka apabila komponen afektifnya berubah
maka komponen kognitifnya juga akan berubah, demikian pula sebaliknya.
Pada umumnya dalam rangka pengubahan sikap, orang akan mengubah dahulu
komponen kognitifnya, hingga akhirnya komponen afektifnya akan berubah.
Rosenberg mencoba mengubah komponen afektif terlebih dahulu, dengan
berubahnya komponen afektif akan berubah pula komponen kognitifnya, yang
pada akhirnya akan berubah pula sikapnya.
Jadi kesimpulan dari teori ini adalah dengan komponen kognitif yaitu
siswa memperoleh pendidikan budi pekerti, maka dengan adanya pembelajaran
pendidikan budi pekerti yang efektif, komponen afektif pun akan berubah
efektif akan membawa perubahan sikap yang positif bagi siswa, sebaliknya
dengan pembelajaran pendidikan budi pekerti yang dinilai kurang efektif akan
membawa perubahan yang negatif bagi siswa yang dapat melakukan
penyimpangan-penyimpangan perilaku. Agar proses pembelajaran semakin
efektif maka metode pembelajaran dalam penyampaian materi yang digunakan
harus tepat sampai ke pemahaman siswa. Komponen afektif berhubungan
dengan bagaimana perasaan yang timbul pada siswa, dapat positif tetapi juga
dapat negatif.
b. Teori Belajar Sosial dan Tiruan dari Millers dan Dollard
Teori belajar sosial dan tiruan dari Miller dan Dollard menegaskan
bahwa tingkah laku manusia merupakan hasil belajar. Oleh karena itu untuk
memahami tingkah laku sosial dan proses belajar sosial, kita harus mengetahui
prinsip-prinsip psikologi belajar. Prinsip belajar itu terdiri dari 4, yakni
dorongan (drive), isyarat (cue), tingkah laku-balas (respons), dan ganjaran
(reward). Dorongan adalah rangsangan yang sangat kuat terhadap organisme
(manusia) untuk bertingkah laku. Menurut Miller dan Dollard (dalam Sarlito,
2008: 24) menyatakan bahwa ”Semua tingkah laku (termasuk tingkah laku
tiruan) didasari oleh dorongan”. Isyarat merupakan rangsangan yang
menentukan bila dan dimana suatu tingkah laku-balas akan timbul dan tingkah
laku-balas apa yang akan terjadi.
Mengenai tingkah laku balas (respons), Menurut Miller dan Dollard
(dalam Sarlito, 2008: 24-25) berpendapat bahwa:
Manusia mempunyai hierarki bawaan tingkah laku-tingkah laku. Pada saat manusia dihadapkan untuk pertama kali kepada suatu rangsangan tertentu maka respons (tingkah laku balas) yang timbul didasarkan pada hierarki bawaan tersebut. Setelah beberapa kali terjadi ganjaran dan hukuman maka tingkah laku balas yang sesuai dengan faktor-faktor penguat tersebut disusun menjadi hierarki resultan (resultant
hierarchy of respons). Disinilah pentingnya belajar dengan coba-coba
commit to user
11
Ganjaran merupakan rangsang yang menetapkan apakah tingkah laku
balas diulang atau tidak dalam kesempatan yang lain. Selanjutnya, Miller dan
Dollard (dalam Sarlito, 2008: 25) menyatatakan bahwa ”Ada tiga macam
mekanisme tingkah laku tiruan, yakni: tingkah laku sama (same behavior),
tingkah laku tergantung (matched dependent behavior), tingkah laku salinan
(copying behavior)”. Pada tingkah laku salinan, peniru bertingkah laku atas
dasar isyarat yang berupa tingkah laku pula yang diberikan oleh model.
Demikian juga dalam tingkah laku salinan ini, pengaruh ganjaran dan hukuman
sangat besar terhadap kuat atau lemahnya tingkah laku tiruan.
Perbedaannya dengan tingkah laku tergantung adalah dalam tingkah
laku tergantung ini si peniru hanya bertingkah laku terhadap isyarat yang
diberikan oleh model pada saat itu saja. Sedangkan pada tingkah laku salinan,
si peniru memperhatikan juga tingkah laku model di masa yang lalu maupun
yang akan dilakukan diwaktu mendatang. Hal ini berarti perkiraan tentang
tingkah laku model dalam kurun waktu yang relatif panjang ini akan dijadikan
patokan oleh di peniru untuk memperbaiki tingkah lakunya sendiri dimasa
yang akan datang sehingga lebih mendekati tingkah laku model.
Sesuai dengan teori tersebut, tujuan atau hasil dari pembelajaran
pendidikan budi pekerti di sekolah adalah siswa berperilaku sesuai dengan budi
pekerti. Penyimpangan perilaku minuman keras yang dilakukan siswa di
sekolah bukan merupakan tujuan dari pendidikan budi pekerti melainkan
masalah yang harus dihadapi dengan bekerja sama antara pihak sekolah,
keluarga dan masyarakat. Perilaku siswa didasarkan pada dorongan tertentu,
siswa yang melakukan penyimpangan perilaku minuman keras didorong oleh
faktor-faktor tertentu. Apabila yang dipelajari pada bidang ilmu budi pekerti di
sekolah tersebut mampu diterapkan oleh siswa dengan baik maka siswa akan
mampu memilah dan memilih mana perilaku yang patut dan mana perilaku
yang semestinya dihindari sehingga penyimpangan perilaku yang dilakukan
oleh siswa tidak akan terjadi. Oleh karena itu, tujuan dari pendidikan budi
pekerti dalam membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur dapat tercapai.
pelanggaran peraturan yang dibuat oleh sekolah. Oleh karena itu siswa
mendapat hukuman dari pihak sekolah agar siswa tidak mengulanginya lagi.
Selain itu Pengaruh peranan guru terhadap pendidikan budi pekerti sangatlah
besar, karena guru merupakan salah satu tokoh identifikasi yang ditiru oleh
siswa, pengaruh peranan orang tua dalam pelaksanaan pendidikan budi pekerti
juga besar, karena orang tua yang utama dan pertama mendidik anak-anaknya.
Peran guru dalam implementasi atau pelaksanaan pendidikan budi pekerti tidak
mudah. Guru dituntut menjadi figur yang harus mampu memberi teladan
kepada murid-muridnya. Guru juga harus mampu memberi motivasi kepada
murid untuk belajar keras. Sebagai guru pendidikan budi pekerti, harus bisa
memberikan pemahaman yang jelas kepada siswa.
2. Efektivitas Pembelajaran
a. Pengertian Efektivitas
Menurut Chester I Barnad (dalam Suyadi Prawiro Sentono, 1994: 14)
menyatakan bahwa “Bila suatu tujuan yang akhirnya dapat dicapai, kita boleh
mengatakan bahwa kegiatan tersebut adalah efektif ”. Ia juga mengatakan
bahwa “Efektivitas dari kelompok adalah bila tujuan kelompok tersebut dapat
dicapai sesuai dengan yang direncanakan”. (Suyadi Prawiro Sentono, 1994:
14).
E. Mulyasa (2005: 82) menyatakan bahwa:
Efektivitas adalah adanya kesesuaian antara orang yang melaksanakan tugas dengan sasaran yang dituju. Efektivitas adalah bagaimana suatu organisasi berhasil mendapatkan dan memanfaatkan sumber daya dalam usaha mewujudkan tujuan operasional. Hasil yang semakin mendekati tujuan yang telah ditetapkan menunjukkan semakin tinggi tingkat efektivitasnya.
William N Dunn (2000: 498) “Efektivitas (effectiveness) adalah suatu
kriteria untuk menseleksi berbagai alternatif untuk dijadikan rekomendasi
didasarkan pertimbangan apakah alternatif yang direkomendasikan tersebut
commit to user
13
E. Mulyasa (2005: 82-83) kembali menegaskan bahwa “Efektivitas
berhubungan dengan terlaksananya tugas pokok, tujuan, ketepatan waktu, dan
partisipasi aktif dari anggota, dimana dapat dijadikan barometer untuk
mengukur keberhasilan pendidikan”.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa efektivitas merupakan suatu keadaan yang dikehendaki yang merupakan
akibat dari yang dikerjakannya dan merupakan suatu pengukuran terhadap
tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
b. Indikator Efektivitas
Adapun indikator efektivitas menurut E. Mulyasa (2005: 84-85)
adalah “Indikator input, indikator process, indikator output, dan indikator
outcome”.
Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1) Indikator input; indikator input ini meliputi karakteristik guru, fasilitas,
perlengkapan, dan materi pendidikan serta kapasitas manajemen.
2) Indikator process; indikator proses meliputi perilaku administratif, alokasi
waktu guru, dan alokasi waktu peserta didik.
3) Indikator output; indikator dari output ini berupa hasil-hasil dalam bentuk
perolehan peserta didik dan dinamikanya sistem sekolah, hasil-hasil yang
berhubungan dengan prestasi belajar, dan hasil-hasil yang berhubungan
dengan perubahan sikap, serta hasil-hasil yang berhubungan dengan
keadilan, dan kesamaan.
4) Indikator outcome; indikator ini meliputi jumlah lulusan ke tingkat
pendidikan berikutnya, pretasi belajar di sekolah yang lebih tinggi dan
pekerjaan, serta pendapatan.
c. Efektivitas Pembelajaran
Bill Cope menyatakan bahwa “ Learning is how a person or group
comes to know, and knowing consist of varety of types action, in learning, a
knower positions themselves in relation to the knowable, and engages”. (2007,
http://ijl.cgpubluiher.com/about.html). Sesuai dengan jurnal internasional di
datang untuk mengetahui dan akhirnya mengetahui bermacam-macam tindakan
dalam pembelajaran, dalam pembelajaran siswa menempatkan dirinya dalam
hubungan saling mengetahui (yang dipengaruhi oleh pengalaman, konsep,
analisis atau penerapan).
Slameto (1995: 92) berpendapat bahwa:
Pengajaran yang efektif adalah pembelajaran yang dapat membawa belajar siswa yang efektif. Belajar di sini adalah suatu aktivitas mencari, menemukan dan melihat pokok masalah. Siswa berusaha memecahkan masalah termasuk pendapat bahwa bila seseorang memiliki motor skill maka dia telah menghasilkan masalah dan menemukan kesimpulan.
Medley (dalam Soekartawi, 1995: 38), mendefinisikan efektivitas
pembelajaran sebagai berikut:
Pertama, efektivitas dirasakan sebagai kemuliaan karakteristik atau sifat pribadi tertentu yang dimiliki oleh seorang guru... . Kemudian, efektivitas tidak terlalu terlihat sebagai suatu fungsi karakteristik guru tetapi sebagai metode mengajar yang digunakan... . Maka, efektivitas sangat bergantung pada suasana kreatif dan penegakan disiplin seorang guru di dalam kelas... .
Medley (dalam Soekartawi, 1995: 38), kembali berpendapat bahwa
ada empat karakteristik dari mengajar yang efektif, yakni: “1) Penampilan
pengajar (penguasaan baha ajar), persiapan mengajar, dsb. 2) Cara mengajar
(pemilihan model instruksi, alat bantu mengajar dan evaluasi yang dipakai), 3)
Kompetensi dalam mengajar, 4) Pengambilan keputusan yang bijaksana”.
Selanjutnya menurut Medley (dalam Soekartawi, 1995: 38), jika
diperhatikan pengajaran akan menjadi efektif bila pengajar menguasai “1) Apa
yang diajarkan, 2) Teori pengajaran (pemilihan instructional design) yang
relevan, 3) Hal-hal baru (penelitian untuk memperkaya isi bahan ajar yang
diberikan), 4) Karakteristik siswa”.
Jadi kesimpulannya adalah keefektifan pembelajaran merupakan
pembelajaran yang di dalamnya terdapat pemanfaatan potensi yang mampu
sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan
perubahan-commit to user
15
perubahan yang terjadi setelah siswa mempelajari suatu bahan pelajaran (dalam
hal ini mengenai keberhasilan belajar siswa).
3. Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti
a. Pengertian Pendidikan Budi Pekerti
Menurut Sjarkawi (2006: 32) berpendapat bahwa:
Istilah budi pekerti yang pada dasarnya tidak berbeda dengan akhlak adalah kata yamg berasal dari bahasa Sansekerta yang memiliki kedekatan dengan istilah tata krama. Inti ajaran tata krama ini sama dengan inti ajaran budi pekerti. Pendidikan budi pekerti adalah proses pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan nilai, sikap, dan perilaku yang memancarkan akhlak mulia atau budi pekerti luhur.
Menurut Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga kota Surakarta
(2009: VIII) mengungkapkan bahwa “Pengertian pendidikan budi pekerti dapat
ditinjau secara konsepsional dan secara oprasional”. Secara konsepsional
pengertian pendidikan budi pekerti mencakup hal-hal sebagai berikut:
1) Usaha secara sadar untuk menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur dalam segenap peranannya sekarang dan masa yang akan datang.
2) Upaya pembentukan, pengembangan, peningkatan, pemeliharaan dan perbaikan perilaku peserta didik agar mereka mau dan mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya secara selaras, serasi, seimbang (lahir batin, materiil, spiritual dan individu sosial).
3) Upaya pendidikan untuk membentuk peserta didik menjadi pribadi seutuhnya yang berbudi pekerti luhur melalui kegiatan bimbingan, pembiasan, pengajaran, dan pelatihan serta keteladanan.
(Dispora kota Surakarta, 2009: VIII)
Adapun pengertian pendidikan budi pekerti secara operasional, yakni:
Pendidikan budi pekerti melalui kegiatan, bimbingan, pengajaran dan pelatihan selama pertumbuhan dan perkembangan dirinya sebagai bekal bagi masa depannya, agar memiliki hati nurani yang bersih, berperangai baik serta menjaga kesusilaan dalam melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan dan menjaga terhadap sesama mahluk, sehingga terbentuk pribadi seutuhnya yang tercermin pada perilaku berupa ucapan, perbuatan, sikap, pikiran, dan kerja hasil karya berdasarkan nilai-nilai agama serta norma dan moral luhur bangsa.
Menurut Nurul Zuriah (2007: 17) dijelaskan bahwa:
Pengertian budi pekerti mengacu pada pengertian dalam bahasa Inggris, yang diterjemahkan sebagai moralitas. Moralitas mengandung beberapa pengertian antara lain: adat istiadat, sopan santun, dan perilaku. Namun, pengertian budi pekerti secara hakiki adalah perilaku. Budi pekerti akan mengidentifikasi perilaku positif yang diharapkan dapat terwujud dalam perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaan, dan kepribadian peserta didik. Budi pekerti berinduk pada etika atau filsafat moral. Secara etimologis kata etika sangat dekat dengan moral. Etika berasal dari bahasa Yunani ethos (jamak: ta etha) yang berarti adat kebiasaan. Adapun moral berasal dari bahasa latin mos (jamak: mores) yang juga mengandung arti adat kebiasaan.
Menurut Emile Durkheim (1990: X) menyatakan bahwa “Moralitas
meliputi konsistensi, keteraturan tingkah laku: apa yang menjadi moral hari ini
akan menjadi moral esok hari”.
Menurut Hamid Darmadi (2007: 56-57) menjelaskan bahwa
“Pendidikan moral adalah konsep kebaikan yang diberikan kepada siswa
untuk membentuk budi pekerti luhur, berakhlak mulia dan berperilaku terpuji
terdapat dalam Pancasila dan UUD 1945, dimana guru diharapkan membantu
siswa mengembangkan dirinya, secara keilmuan maupun keagamaan”.
Sedangkan menurut Bertens (dalam Nurul Zuriah, 2007: 17)
dijelaskan bahwa:
Etika merupakan ilmu yang mempelajari adat kebiasaan, termasuk di dalamnya moral yang mengandung nilai dan norma yang menjadi pegangan hidup seseorang atau sekelompok orang bagi pengaturan tingkah lakunya. Dalam kaitannya dengan budi pekerti, etika membahasnya sebagai kesadaran seseorang untuk membuat pertimbangan moral yang rasional mengenai kewajiban memutuskan pilihan yang terbaik dalam menghadapi masalah nyata. Keputusan yang diambil seseorang wajib dapat dipertanggungjawabkan secara moral terhadap diri dan lingkungannya.
Menurut Sjarkawi (2006: 27-28) menjelaskan bahwa “Pendidikan
etika adalah cabang filsafat tentang nilai dan norma yang menentukan perilaku
commit to user
17
Menurut Nurul Zuriah (2007: 17) berpendapat bahwa “Budi pekerti
berinduk pada etika atau filsafat moral. Secara etimologis kata etika sangat
dekat dengan moral yang artinya adat kebiasaan”.
Sjarkawi (2006: 28) menyatakan bahwa “Akhlak berasal kata khalaqa
dengan akar kata khuluqan (bahasa arab) yang artinya perangai, tabiat, dan
adat; atau dari kata khalqun (bahasa arab) yang berarti: kejadian, buatan, atau
ciptaan”. Jadi secara epistimologis akhlak merupakan perangai, adat, tabi’at,
atau sistem perilaku yang dibuat. Di samping istilah akhlak juga dikenal etika
dan moral. Ketiga istilah ini sama-sama menentukan nilai baik dan buruk
terhadap sikap dan perbuatan manusia. Perbedaannya terletak pada standar
masing-masing istilah. Bagi akhlak standarnya adalah Al-Qur’an dan As-sunah
(Hadits), bagi etika standarnya adalah akal pikiran, sedangkan moral
standarnya adalah adat kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat. Jadi
pendidikan akhlak adalah pendidikan yang diberikan kepada peserta didik
sebagai sistem nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan manusia di muka
bumi.
Pendidikan akhlak di dalam keluarga dilaksanakan dengan contoh dan
teladan dari orang tua. Perilaku dan sopan santun orang tua dalam pergaulan
antara ibu dan bapak, perlakuan orang tua terhadap anak-anak dan perlakuan
orang tua terhadap orang lain di dalam lingkungan keluarga akan menjadi
teladan bagi anak. Adapun ruang lingkup akhlak menurut Muslim Nurdin dkk,
(1993: 205-209) adalah “Pola hubungan manusia dengan Allah, manusia
dengan Rasulullah SAW, manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan
keluarga, dan manusia dengan masyarakat”.
Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1) Pola hubungan manusia dengan Allah, seperti mentauhidkan Allah dan
menghindari syirik, bertaqwa Nya, memohon pertolongan
kepada-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya melalui berdo’a, berdzikir di waktu
siang ataupun malam, baik dalam keadaan berdiri, duduk, ataupun
2) Pola hubungan manusia dengan Rasullulah SAW. yaitu: menegakkan sunah
Rasul, menziarahi kuburnya di Madinah, dan membacakan shalawat.
3) Pola hubungan manusia dengan dirinya sendiri, seperti: menjaga kesucian
diri dari sifat rakus dan mengumbar nafsu, mengembangkan keberanian
dalam menyampaikan yang hak, menyampaikan kebenaran, dan
memberantas kedzaliman, mengembangkan kebijaksanaan dengan
memberantas kebodohan dan jumud, bersabar ketika mendapat musibah dan
dalam kesulitan, bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah, rendah hati
dan tawadhu’ dan tidak sombong, menahan diri dari melakukan
larangan-larangan Allah atau iffah, menahan diri dari marah walaupun hati tetap
dalam keadaan marah atau hilmun, memaafkan orang, jujur atau amanah,
dan merasa cukup dengan apa-apa yang telah diperoleh dengan susah payah
atau qona’ah.
4) Pola hubungan dengan keluarga, seperti: berbakti kepada kedua orang tua
atau birrul walidaini, baik dengan perkataan, pemberian nafkah, ataupun
do’a, memberikan bantuan material ataupun moral kepada karib kerabat atau
aati dzal qurba.
5) Pola hubungan dengan masyarakat. Dalam konteks kepemimpinan,
pola-pola hubungan yang perlu dikembangkan adalah: menegakkan keadilan,
berbuat ihsan, menjunjung tinggi musyawarah, memandang kesederajatan
manusia, dan membela orang-orang lemah (seperti orang miskin, orang yang
tersiksa, dan orang yang tidak berpendidikan), mentaati pemimpin, dan
berperan serta dalam kegiatan-kegiatan kepemimpinan. Sementara sebagai
anggota kemanusiaan, saling tolong menolong, pemurah dan penyantun,
menepati janji, saling wasiat dalam kebenaran dan ketaqwaan.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan budi pekerti adalah
proses pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan nilai, sikap, dan
perilaku yang memancarkan akhlak mulia atau budi pekerti luhur. Jadi
pendidikan budi pekerti pada dasarnya tidak berbeda dengan pendidikan akhlak
yaitu sama-sama mengatur dan mengembangkan nilai, sikap dan perilaku
commit to user
19
b. Sejarah Dikpora Surakarta dalam Menerapkan Pendidikan Budi Pekerti
Sejarah Dikpora Surakarta dalam menerapkan pendidikan budi pekerti
di SMP pada mulanya menurut Kurikulum Pendidikan Budi Pekerti Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olah Raga tahun 2009 Kota Surakarta adalah sebagai
berikut:
Tiga ranah dalam proses pembelajaran yakni kognitif, afektif, dan
psikomotorik dirasakan belum seimbang saat ini, suka atau tidak, kurang lebih
dekade dunia pendidikan khususnya jajaran Disdasmen lebih banyak
terkonsentrasi pada aspek kognitif. Hal ini ditandai dengan diutamakannya
perolehan nilai ujian nasional.
Mengamati perilaku masyarakat termasuk generasi muda akhir-akhir
ini yang cukup memprihatinkan dan munculnya tindakan anarkhis di berbagai
tempat termasuk kasus kerusuhan yang terjadi di kota Surakarta belakangan ini
menyadarkan kita akan arti penting keseimbangan ketiga ranah tersebut,
dengan demikian diperlukan perubahan strategi proses pembelajaran selama ini
yang cenderung mengutamakan aspek kognitif, termasuk di dalamnya
pendidikan budi pekerti yang sebenarnya termasuk komponen penting di dalam
tujuan pendidikan nasional kita yakni membentuk siswa yang berakhalak
mulia.
Akhlak mulia dapat terwujud jika di dukung budi pekerti yang baik.
Proses pembelajaran budi pekerti di sekolah diperlukan perubahan pendekatan
yang variatif mulai dari andragogi, permainan, simulasi, portofolio,
konstekstual dan sejenisnya, yang diharapkan budi pekerti dihayati sejak
proses pembelajarannya. Oleh karena itu mengacu pelaksanaan tujuan
pendidikan nasional, proses pembelajaran yang variatif diharapkan menguatkan
kompetensi perilaku dalam kehidupan sosial yang toleren, menghargai
perbedaan dan dapat menjalani hidup damai dalam keberagaman di masyarakat
luas.
Berangkat dari perihal tersebut di atas, Dinas Dikpora Kota Surakarta
bekerjasama dengan UNICEF dan Pemerintah Kota Surakarta mencoba
dalam konsep materi pendidikan budi pekerti berikut ini, dan pada tahun 2005
sudah mulai diberlakukan untuk semua SMP di kota Surakarta, di mana pada
awalnya sudah diuji cobakan di sepuluh sekolah SMP uji coba, dimulai dari
kelas VII, VIII, dan IX.
c. Kegunaan Pendidikan Budi Pekerti
Cahyoto (dalam Nurul Zuriah, 2007: 104) menyatakan kegunaan
pendidikan budi pekerti antara lain sebagai berikut:
1) Siswa memahami susunan pendidikan budi pekerti dalam lingkup etika bagi pengembangan dirinya dalam bidang ilmu pengetahuan. 2) Siswa memiliki landasan budi pekerti luhur bagi pola perilaku
sehari-hari yang didasari hak dan kewajiban sebagai warga negara. 3) Siswa dapat mencari dan memperoleh informasi tentang budi
pekerti mengolahnya dan mengambil keputusan dalam menghadapi masalah nyata di masyarakat.
4) Siswa dapat berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain untuk mengembangkan nilai moral.
d. Pentingnya Pendidikan Budi Pekerti
Pentingnya pendidikan budi pekerti diselenggarakan baik di sekolah,
keluarga, maupun masyarakat diantaranya dalam rangka:
1) Membantu meningkatkan kemampuan kita supaya berbudi pekerti baik dan mengembangkan lingkungan yang berbudi pekerti agar dalam kehidupan sehari-hari kepribadian kita dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
2) Mengajak kita dan keluarga serta masyarakat mengembangkan pola hidup dengan perilaku yang baik yang bermanfaat bagi diri kita sendiri dan lingkungan.
3) Berusaha membantu kita, keluarga, dan masyarakat beradaptasi yang efektif dengan pola hidup sesuai dengan norma, kaidah, dan aturan masyarakat.
4) Membantu kita, keluarga dan masyarakat untuk hidup secara teratur, bertatakrama, dan menjauhi segala perbuatan tercela serta melakukan perbuatan terpuji.
(Tabrani Rusyan M. Sutisna WD dan AS. Hidayat, 2004: 6).
e. Tujuan Pendidikan Budi Pekerti
Tujuan pendidikan budi pekerti dibagi menjadi 2 (dua), yaitu secara
umum dan secara khusus. Dikpora (2009: IX-X) menyatakan bahwa:
commit to user
21
menggunakan pengetahuan, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai, mengembangkan ketrampilan sosial yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya akhlak mulia dalam diri peserta didik serta mewujudkan dalam perilaku sehari-hari dalam berbagai konteks sosial budaya yang berbhinneka. Sedangkan tujuan khusus adalah sebagai berikut:
1) Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai penerus bnagsa
2) Memupuk ketegaran dan kepekaan mental peserta didik terhadap situasi sekitarnya tidak terjerumus ke dalam perilaku yang menyimpang baik secara individual maupun sosial.
3) Meningkatkan kemampuan untuk menghindari sifat-sifat tercela yang dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
f. Pendekatan Pendidikan Budi Pekerti
Peningkatkan keberhasilan peserta didik untuk membentuk mental,
moral, spiritual, personal dan sosial, maka penerapan pendidikan budi pekerti
dapat menggunakan berbagai pendekatan dengan memilih pendekatan yang
terbaik (eklektif) dan saling mengaitkannya satu sama lain agar menimbulkan
hasil yang optimal (sinergis). Nurul Zuriah (2007: 75-76) membagi pendekatan
pendidikan budi pekerti menjadi “Pendekatan penanaman nilai, pendekatan
perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, pendekatan klarifikasi
nilai, dan pendekatan pembelajaran berbuat”.
Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1) Pendekatan Penanaman Nilai (Inculcation Approach).
Pendekatan ini mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima
nilai sebagai milik mereka dan bertanggungjawab atas keputusan yang
diambilnya melalui tahapan: mengenal pilihan, menilai pilihan,
menentukan pendirian, menerapkan nilai sesuai dengan keyakinan diri.
Cara yang digunakan dalam pendekatan ini antara lain keteladanan,
penguatan positif, dan negatif, simulasi dan bermain peran.
2) Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif (Cognitive Moral Development
Appoarch).
Pendekatan ini menekankan pada berbagai tingkatan dari pemikiran moral.
Guru dapat mengarahkan anak dalam menerapkan proses pemikiran moral
keputusan tentang pendapat moralnya. Mereka akan menggambarkan
tingkat yang lebih tinggi dalam pemikiran moral, yaitu takut hukuman,
melayani kehendak sendiri, menuruti peranan yang diharapkan, menuruti
dan menaati otoritas, berbuat untuk kebaikan orang banyak, bertindak
sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang universal. Cara yang dapat
digunakan dalam penerapan budi pekerti dengan pendekatan ini antara lain
melakukan diskusi kelompok dengan topik dilema moral, baik yang faktual
maupun yang abstrak (hipotetikal).
3) Pendekatan Analisis Nilai (Values Analysis Approach)
Pendekatan ini menekankan agar peserta didik dapat menggunakan
kemampuan berpikir logis dan ilmiah dalam menganalisis masalah sosial
yang berhubungan dengan nilai tertentu. Selain itu, peserta didik dalam
menggunakan proses berpikir rasional dan analitik dapat
menghubung-hubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai mereka sendiri. Cara
yang dapat digunakan dalam pendekatan ini, antara lain diskusi terarah
yang menuntut argumentasi, penegasan bukti, penegasan prinsip, analisis
terhadap kasus, debat dan penelitian.
4) Pendekatan Klarifikasi Nilai (Values Clarification Approach)
Pendekatan ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan
mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mengidentifikasi
nilai-nilai mereka sendiri dan nilai-nilai-nilai-nilai orang lain. Selain itu, pendekatan ini
juga membantu peserta didik untuk mampu mengkomunikasikan secara
jujur dan terbuka tentang nilai-nilai mereka sendiri kepada orang lain dan
membantu peserta didik dalam menggunakan kemampuan berpikir rasional
dan emosional dalam menilai perasaan, nilai, dan tingkah laku mereka
sendiri. Cara yang dapat dimanfaatkan dalam pendekatan ini, antara lain
bermain peran, simulasi, analisis mendalam tentang nilai sendiri, aktivitas
yang mengembangkan sensitivitas, kegiatan di luar kelas, dan diskusi
commit to user
23
5) Pendekatan Pembelajaran Berbuat (Action Learning Approach)
Pendekatan ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik
seperti pada pendekatan analisis dan klarifikasi nilai. Selain itu, pendekatan
ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam
melakukan kegiatan sosial serta mendorong peserta didik untuk melihat diri
sendiri sebagai mahluk yang senantiasa berinteraksi dalam kehidupan
bermasyarakat. Cara yang dapat digunakan dalam pendekatan ini, selain
cara-cara pada pendekatan analisis dan klarifikasi nilai, adalah metode
proyek atau kegiatan di sekolah, hubungan antar pribadi, praktik hidup
bermasyarakat dan berorganisasi.
Menurut Maman Rachman (2002: 238) menyatakan bahwa:
Perlu disadari dan disikapi benar bahwa pembentukan watak dan budi pekerti anak tidak cukup hanya diberikan di sekolah melainkan harus ditunjang oleh pendidikan luar sekolah. Pendidikan luar sekolah seperti dalam keluarga oleh orang tua, dalam kelompok belajar oleh para instruktur atau tutor, dalam kursus-kursus oleh para pelatih atau pembina dan dalam lingkungan masyarakat oleh teman sebaya, masyarakat, tokoh masyarakat, elit politik dan sejenisnya. Mereka itu semua, secara proporsional harus dapat memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan ketrampilan. Keterpaduan, kesinambungan, dan keberlanjutan pendidikan budi pekerti yang dikembangkan di sekolah dengan pendidikan budi pekerti di luar sekolah diharapkan akan mengahasilkan generasi bangsa yang memiliki watak dan budi pekerti luhur seperti yang diharapkan.
g. Metode Pendidikan Budi Pekerti
Yahudi (2006, http// en wikipedia.teacher com/):
Arti dari kutipan jurnal internasional di atas yaitu: dalam pendidikan,
seorang guru adalah seseorang yang menyediakan pendidikan bagi orang lain.
Seorang guru memfasilitasi pendidikan bagi seorang individu siswa juga dapat
digambarkan sebagai pribadi guru. Peran guru sering formal dan berkelanjutan,
dilakukan dengan cara dari pekerjaan atau profesi di sekolah atau tempat
formal pendidikan. Guru dapat menggunakan rencana pelajaran untuk
memfaslitasi siswa belajar, menyediakan suatu program studi yang mencakup
standar kurikulum. Peran guru mungkin beragam diantar budaya. Guru
mengajar melek huruf dan menghitung, atau sebagian yang lain mata pelajaran
sekolah. Guru-guru lain dapat memberikan intruksi dalam pengerjaan atau
pelatihan kejuruan, seni, agama atau spiritualitas, kewarganegaraan, peran
masyaarkat, atau keterampilan hidup.
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa peranan guru
adalah terciptanya serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan yang
dijalankan secara profesional dalam rangka meningkatkan sumber daya
manusia melalui pendidikan yang berhubungan dengan kemajuan perubahan
tingkah laku dan perkembangan siswa yang menjadi tujuannya.
Menurut Paul Suparna (2002: 45) mengungkapkan bahwa “Secara
teoritis keberhasilan proses pendidikan budi pekerti antara lain dipengaruhi
oleh ketepatan seorang guru dalam memilih metode-metode penanaman
nilai-nilai budi pekerti”. Metode pendidikan budi pekerti sangatlah penting, karena
apabila tidak tepat maka tujuan yang akan dicapai juga sulit untuk diperoleh.
Metode menyangkut cara pendekatan dan penyampaian nilai-nilai hidup yang
akan ditawarkan dalam diri anak. Ada beberapa metode yang dapat digunakan
untuk pendidikan budi pekereti, antara lain: “1) Metode Demokrasi, 2) Metode
Pencarian Bersama, 3) Metode Siswa Aktif, 4) Metode Keteladanan, 5) Metode
Live In, 6) Metode Penjernihan Nilai”. (Paul Suparna, 2002: 45-52).
Metode-metode tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Metode Demokrasi
Metode demokrasi menekankan pencarian secara bebas dan
commit to user
25
guru. Anak diberi kesempatan untuk menanamkan nilai-nilai diantaranya
keterbukaan, kejujuran, penghargaan dan penilaian terhadap nilai-nilai yang
ditemukan. Metode ini digunakan untuk menanamkan nilai-nilai diantaranya
keterbukaan, kejujuran, penghargaan pendapat orang lain, sportivitas,
kerendahan hati, dan toleransi. Melalui metode pendekatan ini anak diajak
mulai dengan berani mengungkapkan gagasan, pendapat maupun
perasaannya.
2) Metode Pencarian Bersama
Metode ini menekankan pencarian bersama yang melibatkan siswa
dan guru. Melalui pendidikan ini siswa diajak aktif untuk mencari dan
menemukan tema yang sedang berkembang dan menjadi perhatian bersama.
Selain menemukan nilai-nilai dari permasalahan yang diolah, anak juga
diajak untuk secara kritis analitis mengolah sebab dari permasalahan yang
muncul tersebut.
3) Metode Siswa Aktif
Metode ini menekankan pada proses yang melibatkan anak sejak
awal pembelajaran. Guru memberikan pokok bahasan dan anak dalam
kelompok mencari dan mengembangkan proses selanjutnya. Anak membuat
pengamatan, pembahasan analisis sampai pada penyimpulan atas kegiatan
mereka. Metode ini mendorong anak mempunyai kreatifitas, ketelitian,
kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, kerjasama, kejujuran dan daya juang.
4) Metode Keteladanan
Proses pembentukan pekerti pada anak diawali dengan melihat
orang yang akan diteladani. Guru dapat menjadi tokoh idola dan panutan
bagi anak. Dengan keteladanan guru dapat membimbing anak untuk
membentuk sikap yang kokoh. Untuk itu dituntut ketulusan, keteguhan,
kekonsistanan hidup seorang guru.
5) Metode Live In
Metode ini memberi pengalaman kepada anak untuk mempunyai
pengalaman hidup bersama orang lain secara langsung dalam situasi yang
langsung ini anak dapat mengenal lingkungan hidup yang berbeda dalam
cara berfikir, tantangan, permasalahan dan dapat tentang nilai-nilai
hidupnya.
6) Metode Penjernihan Nilai
Metode penjernihan nilai ini, anak diajak untuk secara kritis
melihat nilai-nilai hidup yang ada dalam masyarakat. Anak diajak untuk
melihat bahwa tindakan salah dan benar tidak tergantung pada banyak dan
sedikitnya pelaku namun pada nilai tindakan itu sendiri. Pada akhirnya anak
diajak melihat duduk permasalahannya dan berani mengambil sikap dan
pilihan dalam hidupnya. Oleh sebab itu penjernihan nilai dalam kehidupan
anak sangat penting.
4. Penyimpangan Perilaku Minuman Keras
a. Pengertian Minuman Keras
Menurut Dadang Hawari (1999: 161) mengemukakan bahwa “Miras
atau minuman keras adalah jenis minuman yang mengandung alkohol, tidak
peduli berapa kadar alkoholnya”.
Menurut Edy Karsono (2004: 12) menjelaskan bahwa “Alkohol adalah
jenis minuman yang mengandung alkohol, disesuaiakan dengan kadar
etil-alkoholnya”, sedangkan menurut Soedjono (1995: 108) menyatakan bahwa
“Sering-sering minum alkohol (minuman keras) menyebabkan orang menjadi
kecanduan alkohol tidaklah cukup tepat, keseringan minum membawa
ketagihan psikologis karena sudah terbiasa minum”.
Dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian
dari minuman keras adalah bahan kimia yang mempunyai daya pengaruh
terhadap tubuh dengan memberi rangsangan-rangsangan tertentu dan
mengakibatkan ketidaksadaran diri seseorang.
b. Penggolongan Minuman Beralkohol
Menurut Soedjono (1995: 137) menjelaskan bahwa:
commit to user
27
obat. Alkohol mempunya daya pengaruh pada manusia, pengaruh yang ditimbulkan oleh alkohol yaitu memberi istirahat pada otot-otot sehingga perasaan yang tegang akan menjadi longgar atau bahkan hilang. Di pihak lain, bagi penderita penyakit jantung alkohol dapat digunakan untuk membantu memperbesar pembuluh darah, dalam hal ini alkohol bekarja sebagai sistem yang menekan susunan saraf pusat sehingga dapat menghilangkan perasaan tidak enak, bingung dan lain sebagainya. Efek yang ditimbulkan adalah badan akan terasa lebih baik dan lebih sehat karena darah dapat mengalir lancar. Adapun jenis minuman keras (minuman beralkohol) yang dapat digunakan sebagai obat atau bahan baku obat adalah minuman beralkohol yang mengandung ethanol, jenis amilenhidrat, trikoretol, klarobutanol, dan etinilkarbonal.
Pemakaian alkohol yang wajar adalah sebagai bahan obat. Alkohol
setelah bekerja akan diuraikan oleh hati sehingga menjadi zat sisa yang
dikeluarkan melalui buang air kecil. Selain fungsi tersebut alkohol juga dapat
digunakan sebagai penghilang rasa sakit dan juga sebagai pengering luka lecet
akibat kecelakaan kecil dimana alkohol disini berfungsi menghentikan
pendarahan dan membuat luka cepat kering.
Menurut Moch. Sulchan (1999: 4) menjelaska bahwa:
Minuman keras adalah semua minuman beralkohol tetapi bukan obat, minuman keras terbagi dalam tiga golongan yaitu:
1) Golongan A kadar alkohol 01%-5% yaitu golongan rendah, contoh: Bir
2) Golongan B kadar alkohol 05%-20% yaitu golongan sedang, contoh: Anggur
3) Golongan C kadar alkohol 20%-50% yaitu golongan tinggi, di mana jenis ini jarang sekali ada dipasaran mengingat terlalu tingginya kadar alkohol yang dikandungnya, contoh: Brandy.
Dengan melihat kualifikasi minuman keras di atas dapat dikatakan
bahwa tidak semua minuman beralkohol merupakan minuman keras, sebab ada
beberapa minuman beralkohol dapat digunakan atau bahkan cenderung
digunakan obat. Berdasarkan penggolongan di atas, bisa ditarik dua
kesimpulan bahwa pemakaian yang wajar akan sangat bermanfaat bagi
kesehatan sedangkan pemakaian yang berlebihan akan sangat berpengaruh
buruk pada kesehatan bahkan akan berakibat pada kematian seseorang.
alkohol cenderung merusak dan merugikan manusia. Hal ini dikarenakan
alkohol merupakan zat adiktif yaitu zat yang dapat menimbulkan ketagihan dan
ketergantungan bagi pemakainya. Pemakaian minuman keras dapat
menimbulkan gangguan mental organik (GMO) yaitu gangguan fungsi berfikir,
perasaan dan perilaku. GMO ini disebabkan adanya reaksi langsung alkohol
pada syaraf pusat (otak)
Menurut Kartini Kartono (1986: 138) mengemukakan bahwa:
Perubahan stemming dasar juga bisa disebabkan oleh penggunaan alkohol yang menyebabkan hilangnya beberapa rem psikis. Sebagai akibatnya beberapa tabu dan larangan, baik yang sosial sifatnya maupun yang ditetapkannya sendiri oleh individu menjadi longgar dan mudah dilanggar. Jadi pengaruh alkohol adalah mempertinggi tingkat suasana hati.
Akibat buruk di atas juga diperkuat lagi oleh Moch. Sulchan (1999:
21) yang menyatakan bahwa “Miras atau minuman keras adalah jenis minuman
yang mengandung alkohol, tidak peduli berapa kadar alkoholnya”.
c. Dampak Minuman Keras
Semua jenis minuman yang mengandung alkohol berbahaya karena
akan berakibat buruk pada manusia. Adapun akibat buruk yang ditimbulkan
dari minuman keras (minuman beralkohol) adalah “Farmologi, gangguan
kesehatan fisik, gangguan kesehatan jiwa, gangguan terhadap kamtibnas”.
(Moch Sulchan, 1999: 21-22).
Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1) Farmologi
Bahwa alkohol larut dalam air sebagai molekul kecil, sehingga cepat
menyebar yang kemudian mengakibatkan ketergantungan.
2) Gangguan Kesehatan Fisik
Mengkonsumsi minuman keras dalam jumlah banyak dan dilakukan secara
terus menerus akan menimbulkan kerusakan hati, jantung, pankreas,
lambung dan otak. Pada pemakaian kronis minuman keras akan
mengakibatkan terjadinya pengerasan hati, peradangan pankreas dan
commit to user
29
3) Gangguan Kesehatan Jiwa
Minum-minuman keras secara kronis dalam jumlah berlebihan dapat
mengakibatkan kerusakan permanen jaringan otak sehingga menimbulkan
gangguan daya ingatan, kemampuan penilaian, kemampuan belajar dan
gangguan jiwa yang lain seperti, perasaan berubah, mudah tersinggung
dan lain sebagainya.
4) Gangguan Terhadap Kamtibnas
Akibat dari minuman-minuman keras akan menekan pusat pengendalian
diri seseorang, sehingga yang bersangkutan menjadi berani dan agresif.
Karena keberanian dan keagresifannya serta tertekan pengendalian diri
tersebut, seseorang melakukan gangguan kamtibmas baik dalam bentuk
pelanggaran norma dan sikap moral bahkan tidak sedikit yang melakukan
tindak pidana atau kriminal.
d. Faktor Penyebab Penyimpangan Perilaku Minuman Keras
Soedjono (1995: 108) menyatakan bahwa “Faktor umum penyebab
penyimpangan perilaku minuman keras adalah lingkungan sosial dan
kepribadian”. Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1) Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial, yang terdiri dari
a) Motif ingin tahu
Faktor ini biasanya menghinggapi para remaja yang mempunyai sifat
selalu ingin tahu dan ingin mencoba sesuatu yang belum atau kurang
diketahui dampak negatifnya.
b) Kesempatan
Hal ini dikarenakan kesibukan orang tua, broken home, kurang kasih
sayang yang kemudian terpengaruh lingkungan teman sepermaian ynag
selalu dekat dan dianggap menengrti akan dirinya yang sama-sama
mencari pelarian dengan cara penyalahg