• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN PENDIDIKAN BUDI PEKKERTI DITINJAU DAR TINGKAT PENYIMPANGAN PERILAK SISSWA TAHUN AJARAN 2009 2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN PENDIDIKAN BUDI PEKKERTI DITINJAU DAR TINGKAT PENYIMPANGAN PERILAK SISSWA TAHUN AJARAN 2009 2010"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

EFEKTIVITAS PE

DITINJAU DAR

SIS

(Studi Kasus M

FAKULTAS

UN

PEMBELAJARAN PENDIDIKAN BUDI PEK

ARI TINGKAT PENYIMPANGAN PERILAK

SWA TAHUN AJARAN 2009 / 2010

s Minuman Keras Di SMP Negeri 14 Surakarta

SKRIPSI

OLEH

ARY KUSMAWATI

NIM : K6406002

AS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

KERTI

AKU

(2)

commit to user

ii

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

DITINJAU DARI TINGKAT PENYIMPANGAN PERILAKU

SISWA TAHUN AJARAN 2009/2010

(Studi Kasus Minuman Keras Di SMP Negeri 14 Surakarta)

Oleh

ARY KUSMAWATI

NIM : K6406002

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana

Pendidikan Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(3)
(4)

commit to user

(5)

commit to user

ABSTRAK

Ary Kusmawati. EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DITINJAU DARI TINGKAT PENYIMPANGAN PERILAKU SISWA TAHUN AJARAN 2009/2010 (Studi Kasus Minuman Keras Di SMP Negeri 14 Surakarta). Skripsi. Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret. Desember. 2010.

Tujuan penelitian ini adalah (1) Mengetahui faktor-faktor yang mendorong siswa melakukan minuman keras di SMP Negeri 14 Surakarta tahun ajaran 2009/2010. (2) Mengetahui perbedaan tingkat penyimpangan perilaku minuman keras sebelum dan setelah SMP Negeri 14 Surakarta menerapkan pendidikan budi pekerti. (3) Mengetahui tingkat efektivitas pembelajaran pendidikan budi pekerti ditinjau dari tingkat penyimpangan perilaku minuman keras.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan strategi penelitian studi kasus tunggal terpancang. Sumber data yang digunakan adalah informan, peristiwa dan dokumen. Teknik sampling yang digunakan adalah

purposive sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah

wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Validitas data yang diperoleh dengan teknik trianggulasi data. Analisis data menggunakan analisis interaktif yaitu pengumpulan data, reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan. Prosedur penelitian menggunakan langkah-langkah yaitu tahap persiapan, tahap pengumpulan data, tahap analisis data, dan tahap penyusunan laporan penelitian.

(6)

commit to user

vi

ABSTRACT

Ary Kusmawati. MORAL PHYLOSOPHY EDUCATION EFFECTIVENESS

OBSERVED FROM STUDENTS’ BEHAVIORAL DEVIATION LEVEL IN ACADEMIC YEAR 2009/2010 (Alcoholic Drink Case Study at State Junior High School 14 Surakarta). Thesis. Surakarta: Faculty of Teaching and Education Training. University of Sebelas Maret. December. 2010.

This reserach was aimed (1) To know factors that encourage students of State Junior High School 14 Surakarta in academic year 2009/2010 consume alcoholic drink. (2) To know the difference level of alcoholic behavior before and after State Junior High School 14 Surakarta applying moral phylosophy education to its students. (3) To know moral phylosophy education effectiveness level observed from alcoholic deviation behavior level.

This research used descriptive-qualitative method with strategy of a case study reserach. Sources of data in this reserach were informant, happening and document. The sampling technique was purposive sampling. The technique of collecting data were by interview, observation and document analysis. Data validity was gained by data trianggulation. The data analysis used interactive analysis i.e data collection, data reduction, data presentation and drawing conclusion. The research procedure used steps as follow: phase of preparation, phase of collecting data, phase of analyzing data and phase of arranging report.

(7)

commit to user

MOTTO

“Keluaran pendidikan seharusnya dapat menghasilkan orang pintar,

tetapi juga orang baik”

(M. Furqon Hidayatullah)

”Sesungguhnya orang yang paling mulia pada sisi Allah, ialah orang yang paling

taqwa ”.

( Surat Al-Hujarat ayat 13 )

“Ilmu menata pengetahuan, kearifan menata kehidupan”

(8)

commit to user

viii

PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan kepada:

• Bapak dan Ibu tercinta yang telah

memberikan doa dan motivasi

• Adik-adik tersayang, Budi, Lina dan Ferdy

• Mas Umar yang selalu mendukung

• Teman-teman PKn angkatan 2006

khususnya teman-teman Ra_Mbaong

(9)

commit to user

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat serta karunia- Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini yang berjudul ”Efektivitas Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti

Ditinjau Dari Tingkat Penyimpangan Perilaku Siswa Tahun Ajaran 2009/2010

(Studi Kasus Minuman Keras Di SMP Negeri 14 Surakarta)”.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian dari prasyarat guna

memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada program Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian

penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya

kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu atas segala bentuk

bantuannya, disampaikan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan

ijin penelitian guna menyusun skripsi ini.

2. Drs. Saiful Bachri, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FKIP UNS Surakarta, yang telah menyetujui penyusunan skripsi ini.

3. Dr. Sri Haryati, M.Pd., Ketua Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan

FKIP UNS Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.

4. Drs. Machmud, AR, SH, Msi selaku Pembimbing I yang dengan sabar telah

memberikan pengarahan, bimbingan dan motivasi sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan.

5. Drs. Suyatno, M.Pd selaku Pembimbing II yang dengan sabar telah

memberikan bimbingan, pengarahan dan dorongan selama penulis

menyelesaikan skripsi ini

6. Wijianto S. Pd selaku pembimbing akademik yang telah memberikan

(10)

commit to user

x

7. Bapak/Ibu dosen Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan, sehingga penulis mampu

menyelesaikan penulisan skripsi ini.

8. Drs. Y. Himawan Samudra selaku Kepala SMP Negeri 14 Surakarta yang

telah memberikan ijin penelitian

9. Gatot Katmanto, S. Pd, Drs. Wardoyo, Mastyasto, S. Pd selaku guru

Pendidikan Budi Pekerti SMP Negeri 14 Surakarta yang dengan senang hati

membantu penulis dalam pengumpulan data yang penulis perlukan dalam

penyusunan skripsi ini

10. Siswa SMP Negeri 14 Surakarta yang telah membantu penulis dalam

pengumpulan data yang penulis perlukan dalam penyusunan skripsi ini.

11. Semua pihak yang membantu penulis demi lancarnya penulisan skripsi ini.

Penulis berharap, semoga Allah SWT selalu memberikan barokah dan

anugerah yang terbaik atas jasa yang mereka berikan.

Penyusunan skripsi ini penulis telah berusaha semaksimal mungkin,

namun penulis menyadari bahwa skripsi ini masih ada kekurangan karena

keterbatasan penulis. Dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik

dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan skripsi ini.

Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya

dan bagi pembaca pada umumnya.

Surakarta, Desember 2010

(11)

commit to user

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGAJUAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN………... .. iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

MOTTO ... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 9

1. Teori Sikap dan Perilaku ... 9

2. Efektivitas Pembelajaran ... 12

3. Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti ... 15

4. Penyimpangan Perilaku Minuman Keras ... 26

B. Kerangka Berpikir ... 33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 35

B. Bentuk dan Strategi Penelitian ... 35

(12)

commit to user

xii

D. Teknik Sampling ... 38

E. Teknik Pengumpulan Data ... 39

F. Validitas Data ... 40

G. Analisis Data ... 42

H. Prosedur Penelitian ... 43

BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 45

1. Letak Geografis SMP Negeri 14 Surakarta ... 45

2. Profil SMP Negeri 14 Surakarta ... 45

3. Visi dan Misi Sekolah ... 46

4. Sejarah Singkat Berdirinya SMP Negeri 14 Surakarta ... 46

5. Keadaan Guru, Siswa, dan Karyawan di SMP Negeri 14 Surakarta ... 47

6. Waktu Pelaksanaan Pembelajaran di SMP Negeri 14 Surakarta ... 49

B. Deskripsi Permasalahan Penelitian ... 50

1. Faktor-Faktor yang Mendorong Siswa Melakukan Minuman Keras di SMP Negeri 14 Surakarta Tahun Ajaran 2009/2010 ... 50

2. Perbedaan Tingkat Penyimpangan Perilaku Minuman Keras Sebelum dan Setelah SMP Negeri 14 Surakarta Menerapkan Pendidikan Budi Pekerti... 62

3. Efektivitas Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti Ditinjau dari Tingkat Penyimpangan Perilaku Siswa Tahun Ajaran 2009/2010 (Studi Kasus Minuman Keras Di SMP Negeri 14 Surakarta) ... 65

C. Temuan Studi ... 75

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan ... 79

B. Implikasi ... 81

(13)

commit to user

DAFTAR PUSTAKA ... 83

(14)

commit to user

xiv DAFTAR TABEL Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel

1. Jadual Kegiatan Penelitian ………...

2. Informan yang Melakukan Penyimpangan Perilaku

Minuman Keras...

3. Daftar Nama Kepala Sekolah SMP Negeri 14

Surakarta...

4. Daftar Kelas dan Jumlah Seluruh Siswa Tahun Ajaran

2009/2010...

5. Waktu Pelaksanaan KBM di SMP Negeri 14

Surakarta…...

6. Faktor Pendorong Penyimpangan Perilaku Minuman

Keras...

7. Jumlah Faktor Pendorong Siswa Melakukan

Penyimpangan Perilaku Minuman

Keras...

8. Jumlah Faktor dari Dalam Individu (Instrinsik)...

9. Jumlah Faktor dari Luar Individu (Ekstrinsik)...

10.Jumlah Seluruh Siswa SMP Negeri 14 Surakarta Tahun

2004/2005...

11.Jumlah Seluruh Siswa SMP Negeri 14 Surakarta Tahun

2009/2010...

12.Jumlah Siswa yang Melakukan Minuman keras dan

(15)

commit to user

DAFTAR GAMBAR

Gambar

Gambar

1. Skema Kerangka Pemikiran ………

2. Analisis Data Model Interaktif ...

Halaman

34

(16)

commit to user

xvi DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran

1. Daftar Informan ...

2. Silabus, RPP dan Jurnal Kegiatan Pendidikan Budi

Pekerti...

3. Panduan Wawancara...

4. Catatan Lapangan Wawancara dengan Koordinator

Bidang Kurikulum...

5. Catatan Lapangan Wawancara dengan Guru Pendidikan

Budi Pekerti...

6. Catatan Lapangan Wawancara dengan Siswa yang

Melakukan Minuman Keras ...

7. Gambar Kegiatan Penelitian...

8. Trianggulasi Data...

9. Trianggulasi Metode...

10. Penanganan Siswa Yang Melanggar Tata

Tertib...

11. Data Jumlah Pelanggaran Siswa...

12. Pembagian Tugas Tenaga Edukatif dan Non

Edukatif...

13. Raport Siswa...

14. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi Kepada

Dekan FKIP UNS ...

15. Surat Keputusan Dekan FKIP UNS Tentang Ijin

Penyusunan Skripsi ...

16. Surat Permohonan Ijin Survey Kepada Kepala SMP

Negeri 14 Surakarta...

17. Surat Permohonan Ijin Research/ Penelitian Kepada

Rektor UNS ...

18. Surat Permohonan Ijin Research Kepada Kepala SMP

(17)

commit to user

Lampiran

Lampiran

Lampiran

Negeri 14 Surakarta ...

19. Surat Permohonan Surat Pengantar Ijin Survey Kepada

Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga kota

Surakarta...

20. Surat Keterangan Telah Melakukan Survey dari Ketua

MGMP Pendidikan Budi Pekerti dan Kasi Kurikulum

Diknas SMP...

21. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian dari

SMP Negeri 14 Surakarta...

260

261

262

(18)

commit to user

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia Indonesia menempati posisi sentral dan strategis dalam

pelaksanaan pembangunan nasional, sehingga diperlukan adanya pengembangan

sumber daya manusia (SDM) secara optimal. Pengembangan SDM dapat

dilakukan melalui pendidikan, mulai dari dalam keluarga, hingga lingkungan

sekolah dan masyarakat. Salah satu SDM yang dimaksud dapat berupa generasi

muda (young generation) sebagai estafet pembaharu merupakan kader

pembangunan yang sifatnya masih potensial, perlu dibina dan dikembangkan

secara terarah dan berkelanjutan melalui lembaga pendidikan sekolah.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Bab 1 Pasal 1,

tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa:

Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (Mendiknas, 2003: 6)

Menurut Yahudi (2006, http://en wikipedia.teacher.com/) menyatakan

bahwa:

Hal itu berarti bahwa pendidikan yang diberikan kepada peserta didik merupakan perpaduan dari keseluruhan aspek kehidupan. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat ditempuh melalui perbaikan sistem pendidikan yang mengarah pada pembentukan karakter siswa sejak tingkat pra sekolah sampai perguruan tinggi. Beberapa fungsi pentingnya pendidikan sekolah antara lain untuk: perkembangan pribadi dan pembentukan kepribadian, transmisi cultural, integrasi sosial, inovasi, dan pra seleksi serta pra alokasi tenaga kerja.

Tugas pendidikan sekolah dalam hal ini adalah untuk mengembangkan

segi-segi kognitif, afektif dan psikomotorik yang dapat dikembangkan melalui

pendidikan sekolah. Perbaikan sistem pendidikan harus mengarah pada

(19)

dengan hasil belajar dan afektif yang ditunjukkan dengan perilaku siswa yang

baik. Proses pendidikan terarah pada peningkatan penguasaan pengetahuan,

kemampuan, keterampilan, pengembangan sikap dan nilai-nilai dalam rangka

pembentukan dan pengembangan diri peserta didik.

Kegiatan belajar yang berlangsung di sekolah bersifat formal, disengaja,

direncanakan, dengan bimbingan guru serta pendidik lainnya. Kegiatan belajar

tersebut sangat diperlukan, karena semakin banyaknya dan semakin tingginya

tuntutan kehidupan masyarakat. Siswa di sekolah memperoleh pelajaran dan

pengetahuan, diharapkan nanti bukan hanya aspek kognitifnya yang diperoleh

melainkan aspek afektif dan psikomotorik yaitu siswa mampu menilai perbuatan

itu baik atau buruk serta mampu mengimplementasikan perbuatan yang baik itu

dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu mata pelajaran yang dibutuhkan siswa

untuk mengembangkan kepribadiannya agar memiliki hati nurani yang baik yaitu

pendidikan budi pekerti.

Menurut Sjarkawi (2006: 32) mengungkapkan bahwa “Pendidikan

budi pekerti memiliki esensi yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan

akhlak”, sedangkan menurut Jarolimek (dalam Nurul Zuriah, 2007: 19-20)

dijelaskan bahwa:

Pendidikan budi pekerti merupakan program pengajaran di sekolah yang bertujuan mengembangkan watak atau tabiat siswa dengan cara menghayati nilai-nilai dan keyakinan masyarakat sebagai kekuatan moral dalam hidupnya melalui kejujuran, dapat dipercaya, disiplin dan kerjasama yang menekankan ranah afektif (perasaan dan sikap) tanpa meninggalkan ranah kognitif (berpikir rasional) dan ranah skill/psikomotorik (keterampilan, terampil mengolah data, mengemukakan pendapat, dan kerjasama).

(20)

commit to user

3

pendidikan etika melainkan istilah yang digunakan adalah pendidikan budi pekerti. (Sjarkawi, 2006: 32).

Pembelajaran pendidikan budi pekerti pada dasarnya tidak hanya

mempelajari tentang konsep, teori dan fakta tetapi juga aplikasi dalam kehidupan

sehari-hari. Oleh karena itu, materi pembelajaran pendidikan budi pekerti tidak

hanya tersusun atas hal-hal yang bersifat hafalan tetapi juga tersusun atas materi

yang memerlukan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Pelaksanaan

program-program pendidikan budi pekerti perlu disertai dengan keteladanan guru, orang

tua, dan orang dewasa pada umumnya.

Usia remaja adalah usia dimana anak atau individu berada pada

masa-masa labil, sehingga kondisi penekanan-penekanan atau masa-masalah yang muncul

membuat remaja kehilangan kontrol diri, akhirnya mereka mencari pelarian.

Tempat pelarian inilah yang mereka salahgunakan untuk melepaskan semua

masalah yang dihadapi, dan kemudian munculah penyimpangan perilaku. Salah

satunya adalah pelarian kepada minum-minuman keras. Tersedianya

tempat-tempat untuk membeli minuman keras menyebabkan mereka dengan mudah

mendapatkan minuman keras. Kondisi keluarga yang buruk atau tidak harmonis,

biasanya akan membuat anak mencari sesuatu yang tidak ia dapat di dalam

keluarganya yaitu dengan jalan pelarian ke arah tindakan yang menyimpang.

Selain itu pengaruh lingkungan pergaulan terutama dari teman sebaya sangat

dominan membentuk tingkah laku anak, dan tidak sedikit pengaruh tersebut

membawa pada tingkah laku yang menyimpang. Faktor dari dalam individu

sendiri juga mempengaruhi tingkah laku anak dalam melakukan tindakan

minuman keras.

Pembelajaran pendidikan budi pekerti di sekolah menjadi alternatif

membantu siswa berkembang menjadi pribadi yang berbudi pekerti baik, oleh

karena itu pembelajaran pendidikan budi pekerti sangat diharapkan dapat

mengatasi penyimpangan perilaku khususnya minuman keras sehingga efektif

tidaknya pendidikan budi pekerti sangat berpengaruh terhadap perkembangan

(21)

diharapkan akan mencapai tujuan yang semaksimal mungkin sehingga dapat

mengurangi bahkan menghilangkan penyimpangan perilaku yang terjadi.

Berdasarkan wawancara dengan kepala sub bidang kurikulum SMP

Dikpora di Surakarta mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti mulai

diterapkan di SMP Surakarta, untuk tahun 2003/2004 hanya 4 sekolah yang sudah

menerapkan pendidikan budi pekerti, sedangkan tahun 2004/2005 meningkat

menjadi 10 sekolah baik negeri maupun swasta, dan untuk tahun berikutnya

penerapan pendidikan budi pekerti dinilai berhasil maka pada tahun 2005 seluruh

SMP baik negeri maupun swasta sudah menerapkan pendidikan budi pekerti,

Dikpora kota Surakarta bekerja sama dengan UNICEF dan BAPPEDA. Oleh

karena itu, Dikpora kota Surakarta menghimbau kepada SMP Negeri maupun

Swasta untuk menerapkan kembali pendidikan budi pekerti. Pendidikan budi

pekerti diberikan di SMP karena usia anak SMP dinilai pola berpikir anak sudah

mampu untuk diajak memahami dan melihat nilai-nilai hidup berdasar

pertanggungjawabannya serta dasar pemikirannya.

SMP Negeri 14 Surakarta merupakan salah satu sekolah yang

menerapkan pendidikan budi pekerti. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah

satu guru pendidikan budi pekerti mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti ini

bukan suatu mata pelajaran yang diujikan dalam semesteran atau kenaikan kelas,

melainkan hanya suatu pendidikan nilai yang diberikan kepada siswa untuk

membentuk dan mengembangkan unsur karakter atau watak yang mengandung

hati nurani sebagai kesadaran diri untuk berbuat kebajikan dengan cara

menanamkan nilai-nilai budi pekerti dalam diri siswa. Paul Suparna, Moerti

Yoedho, Detty Titisari dan Kartono (2002: 45-52) mengungkapkan bahwa

“Berbagai metode pendidikan dan pengajaran yang digunakan seperti metode

demokrasi, pencarian bersama, siswa aktif, keteladanan, live in dan metode

penjernihan nilai dalam berbagai pendekatan dapat digunakan juga dalam proses

pengajaran pendidikan budi pekerti”. Oleh karena itu, diterimanya nilai-nilai budi

pekerti oleh siswa sejalan dengan berubahnya nilai-nilai siswa yang tidak sesuai

dengan nilai-nilai yang diinginkan.

(22)

commit to user

5

efektivitas, salah satu indikator efektivitas adalah indikator output, yaitu

mencakup hasil-hasil yang berhubungan dengan perubahan sikap atau tujuan

pembelajaran dapat tercapai semaksimal mungkin. Tujuan pendidikan budi

pekerti di SMP Negeri 14 Surakarta belum mencapai hasil atau tujuan yang

maksimal, hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya siswa yang melakukan

penyimpangan minuman keras. Adanya penyimpangan perilaku minuman keras di

SMP Negeri 14 Surakarta, dengan jumlah siswa yang tidak sedikit, maka hal

tersebut perlu adanya penilaian keberhasilan dari pendidikan budi pekerti. Selain

tujuan pembelajaran pendidikan budi pekerti yang belum mencapai hasil yang

maksimal, keteladanan guru, metode pembelajaran dan alokasi waktu

pembelajaran pendidikan budi pekerti juga sangat mempengaruhi keberhasilan

pendidikan budi pekerti. Guru pendidikan budi pekerti harus memiliki pribadi

yang baik yang dapat memberikan contoh, menjadi motivator, dalam penanaman

budi pekerti serta mampu menyampaikan materi agar siswa lebih mudah dalam

memahaminya. Metode pembelajaran pendidikan budi pekerti yang digunakan

kurang bervariasi, hal ini disebabkan karena alokasi waktu yang diberikan SMP

Negeri 14 Surakarta hanya 40 menit setiap minggunya, hal tersebut dirasakan oleh

guru sangat kurang untuk memberikan pemahaman tentang pendidikan budi

pekerti.

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu guru bimbingan

konseling di SMP Negeri 14 Surakarta, terungkap bahwa di sekolah tersebut ada

sebagian siswa yang tidak mencerminkan nilai-nilai budi pekerti misalkan dari

data yang diperoleh menunjukan bahwa siswa yang melakukan pesta minuman

keras sebanyak 31 siswa terdiri dari kelas VII sampai kelas IX, perkelahian,

membolos dan melakukan perbuatan yang kurang sopan seperti memecahkan kaca

di ruangan kelas, tetapi pada waktu sekolah belum menerapkan pendidikan budi

pekerti, penyimpangan perilaku yang terjadi menurut data yang peneliti peroleh

hampir sama yaitu, minuman keras, perkelahian, pencurian, dan membolos

sekolah dengan angka yang berbeda dibandingkan dengan yang terjadi sekarang.

Sebelum sekolah menerapkan pendidikan budi pekerti, penyimpangan yang

(23)

menerapkan pendidikan budi pekerti, khususnya untuk penyimpangan perilaku

dalam kasus minuman keras.

Siswa yang masih duduk di bangku SMP sudah berani melakukan

minuman keras yang sangat membahayakan bagi dirinya. Siswa tersebut

melakukan pesta minuman keras secara bersama-sama. Pesta minuman keras

tersebut dilakukan oleh para siswa pada waktu jam sekolah, kemudian dari

masyarakat mengetahui keadaan tersebut, sehingga melaporkan ke pihak sekolah.

Setelah kejadian itu siswa kemudian diberi teguran dan peringatan oleh pihak

sekolah sampai diberikan penyuluhan dari kepolisian setempat. Masalah minuman

beralkohol telah menimbulkan masalah yang mengganggu kondisi ketertiban dan

keamanan sekolah maupun masyarakat. Menyadari akan pengaruh bahaya minuman

beralkohol bagi tubuh manusia khususnya bagi pelajar, maka tatanan pengaturan

pengawasan dan pengendalian dari berbagai pihak, misalnya keluarga, sekolah dan

masyarakat memang sangat diperlukan. Hal tersebut membuktikan bahwa faktor

yang mempengaruhi siswa melakukan penyimpangan perilaku minuman keras

bukan karena ada tidaknya pendidikan budi pekerti tetapi ada faktor lain yang

mendorongnya.

Tingginya penyimpangan perilaku yang terjadi di SMP Negeri 14

Surakarta membuat para pendidik khususnya guru pendidikan budi pekerti harus

memberikan pendidikan yang mampu membuat siswa menjadi lebih paham dalam

mengimplementasikan budi pekerti yang baik di masyarakat. Pola pembelajaran

budi pekerti yang diajarkan sehari-hari di sekolah tersebut perlu diadakan

penataan ulang agar penyimpangan perilaku di kalangan pelajar bisa dikurangi

bahkan dihilangkan sama sekali.

Bertitik tolak dari uraian di atas maka penulis mengambil judul skripsi

”Efektivitas Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti Ditinjau Dari Tingkat

Penyimpangan Perilaku Siswa Tahun Ajaran 2009/2010 (Studi Kasus

(24)

commit to user

7

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat

dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut ini :

1. Faktor-faktor apa yang mendorong siswa melakukan minuman keras di SMP

Negeri 14 Surakarta tahun ajaran 2009/2010 ?

2. Bagaimana perbedaan tingkat penyimpangan perilaku minuman keras sebelum

dan setelah SMP Negeri 14 Surakarta menerapkan pendidikan budi pekerti ?

3. Bagaimana tingkat efektivitas pembelajaran pendidikan budi pekerti ditinjau

dari tingkat penyimpangan perilaku minuman keras siswa di SMP Negeri 14

Surakarta tahun ajaran 2009/2010 ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki suatu tujuan yang ingin dicapai, antara lain :

1. Mengetahui faktor-faktor yang mendorong siswa melakukan minuman keras

di SMP Negeri 14 Surakarta tahun ajaran 2009/2010.

2. Untuk mengetahui perbedaan tingkat penyimpangan perilaku minuman keras

sebelum dan setelah SMP Negeri 14 Surakarta menerapkan pendidikan budi

pekerti.

3. Untuk mengetahui tingkat efektivitas pembelajaran pendidikan budi pekerti

ditinjau dari tingkat penyimpangan perilaku minuman keras.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan

pembaca pada umumnya baik secara teoritis maupun secara praktis, antara lain :

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini memberikan sumbangan bagi bidang studi PPKn

dalam mengimplementasikan mata kuliah yang berhubungan dengan pendidikan

(25)

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai masukan yang bermanfaat bagi pihak sekolah dalam upaya

mengatasi penyimpangan perilaku siswa.

b. Diharapkan dapat memberikan masukan bagi guru pendidikan budi pekerti

dalam meningkatkan pembelajaran pendidikan budi pekerti agar lebih efektif.

c. Memberikan motivasi bagi siswa agar tidak melakukan penyimpangan

(26)

commit to user

9 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Teori Tentang Sikap dan Perilaku

a. Teori Rosenberg (Teori Affective-Cognitive Consistency)

Teori ini disebut juga teori dua faktor. Teori ini memusatkan

perhatiannya pada hubungan komponen kognitif dan komponen afektif.

Pengertian kognitif dalam sikap tidak hanya mencakup tentang

pengetahuan-pengetahuan yang berhubungan dengan objek sikap, melainkan juga mencakup

kepercayaan atau beliefs tentang hubungan antara objek sikap itu dengan

sistem nilai yang ada dalam diri individu. Rosenberg (dalam Bimo Walgito

2008: 136) menyatakan bahwa “Komponen afektif akan selalu berhubungan

dengan komponen kognitif, dan hubungan tersebut dalam keadaan konsisten”.

Rosenberg menciptakan skala sikap dan berpendapat bahwa adanya

hubungan yang konsisten antara komponen afektif dengan komponen kognitif.

Hal tersebut berarti apabila seseorang mempunyai sikap yang positif terhadap

sesuatu objek, maka indeks kognitifnya juga akan tinggi, demikian sebaliknya.

Suatu hal yang penting penerapan teori Rosenberg ini ialah dalam kaitannya

dengan pengubahan sikap, karena hubungan komponen afektif dengan

komponen kognitif konsisten, maka apabila komponen afektifnya berubah

maka komponen kognitifnya juga akan berubah, demikian pula sebaliknya.

Pada umumnya dalam rangka pengubahan sikap, orang akan mengubah dahulu

komponen kognitifnya, hingga akhirnya komponen afektifnya akan berubah.

Rosenberg mencoba mengubah komponen afektif terlebih dahulu, dengan

berubahnya komponen afektif akan berubah pula komponen kognitifnya, yang

pada akhirnya akan berubah pula sikapnya.

Jadi kesimpulan dari teori ini adalah dengan komponen kognitif yaitu

siswa memperoleh pendidikan budi pekerti, maka dengan adanya pembelajaran

pendidikan budi pekerti yang efektif, komponen afektif pun akan berubah

(27)

efektif akan membawa perubahan sikap yang positif bagi siswa, sebaliknya

dengan pembelajaran pendidikan budi pekerti yang dinilai kurang efektif akan

membawa perubahan yang negatif bagi siswa yang dapat melakukan

penyimpangan-penyimpangan perilaku. Agar proses pembelajaran semakin

efektif maka metode pembelajaran dalam penyampaian materi yang digunakan

harus tepat sampai ke pemahaman siswa. Komponen afektif berhubungan

dengan bagaimana perasaan yang timbul pada siswa, dapat positif tetapi juga

dapat negatif.

b. Teori Belajar Sosial dan Tiruan dari Millers dan Dollard

Teori belajar sosial dan tiruan dari Miller dan Dollard menegaskan

bahwa tingkah laku manusia merupakan hasil belajar. Oleh karena itu untuk

memahami tingkah laku sosial dan proses belajar sosial, kita harus mengetahui

prinsip-prinsip psikologi belajar. Prinsip belajar itu terdiri dari 4, yakni

dorongan (drive), isyarat (cue), tingkah laku-balas (respons), dan ganjaran

(reward). Dorongan adalah rangsangan yang sangat kuat terhadap organisme

(manusia) untuk bertingkah laku. Menurut Miller dan Dollard (dalam Sarlito,

2008: 24) menyatakan bahwa ”Semua tingkah laku (termasuk tingkah laku

tiruan) didasari oleh dorongan”. Isyarat merupakan rangsangan yang

menentukan bila dan dimana suatu tingkah laku-balas akan timbul dan tingkah

laku-balas apa yang akan terjadi.

Mengenai tingkah laku balas (respons), Menurut Miller dan Dollard

(dalam Sarlito, 2008: 24-25) berpendapat bahwa:

Manusia mempunyai hierarki bawaan tingkah laku-tingkah laku. Pada saat manusia dihadapkan untuk pertama kali kepada suatu rangsangan tertentu maka respons (tingkah laku balas) yang timbul didasarkan pada hierarki bawaan tersebut. Setelah beberapa kali terjadi ganjaran dan hukuman maka tingkah laku balas yang sesuai dengan faktor-faktor penguat tersebut disusun menjadi hierarki resultan (resultant

hierarchy of respons). Disinilah pentingnya belajar dengan coba-coba

(28)

commit to user

11

Ganjaran merupakan rangsang yang menetapkan apakah tingkah laku

balas diulang atau tidak dalam kesempatan yang lain. Selanjutnya, Miller dan

Dollard (dalam Sarlito, 2008: 25) menyatatakan bahwa ”Ada tiga macam

mekanisme tingkah laku tiruan, yakni: tingkah laku sama (same behavior),

tingkah laku tergantung (matched dependent behavior), tingkah laku salinan

(copying behavior)”. Pada tingkah laku salinan, peniru bertingkah laku atas

dasar isyarat yang berupa tingkah laku pula yang diberikan oleh model.

Demikian juga dalam tingkah laku salinan ini, pengaruh ganjaran dan hukuman

sangat besar terhadap kuat atau lemahnya tingkah laku tiruan.

Perbedaannya dengan tingkah laku tergantung adalah dalam tingkah

laku tergantung ini si peniru hanya bertingkah laku terhadap isyarat yang

diberikan oleh model pada saat itu saja. Sedangkan pada tingkah laku salinan,

si peniru memperhatikan juga tingkah laku model di masa yang lalu maupun

yang akan dilakukan diwaktu mendatang. Hal ini berarti perkiraan tentang

tingkah laku model dalam kurun waktu yang relatif panjang ini akan dijadikan

patokan oleh di peniru untuk memperbaiki tingkah lakunya sendiri dimasa

yang akan datang sehingga lebih mendekati tingkah laku model.

Sesuai dengan teori tersebut, tujuan atau hasil dari pembelajaran

pendidikan budi pekerti di sekolah adalah siswa berperilaku sesuai dengan budi

pekerti. Penyimpangan perilaku minuman keras yang dilakukan siswa di

sekolah bukan merupakan tujuan dari pendidikan budi pekerti melainkan

masalah yang harus dihadapi dengan bekerja sama antara pihak sekolah,

keluarga dan masyarakat. Perilaku siswa didasarkan pada dorongan tertentu,

siswa yang melakukan penyimpangan perilaku minuman keras didorong oleh

faktor-faktor tertentu. Apabila yang dipelajari pada bidang ilmu budi pekerti di

sekolah tersebut mampu diterapkan oleh siswa dengan baik maka siswa akan

mampu memilah dan memilih mana perilaku yang patut dan mana perilaku

yang semestinya dihindari sehingga penyimpangan perilaku yang dilakukan

oleh siswa tidak akan terjadi. Oleh karena itu, tujuan dari pendidikan budi

pekerti dalam membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur dapat tercapai.

(29)

pelanggaran peraturan yang dibuat oleh sekolah. Oleh karena itu siswa

mendapat hukuman dari pihak sekolah agar siswa tidak mengulanginya lagi.

Selain itu Pengaruh peranan guru terhadap pendidikan budi pekerti sangatlah

besar, karena guru merupakan salah satu tokoh identifikasi yang ditiru oleh

siswa, pengaruh peranan orang tua dalam pelaksanaan pendidikan budi pekerti

juga besar, karena orang tua yang utama dan pertama mendidik anak-anaknya.

Peran guru dalam implementasi atau pelaksanaan pendidikan budi pekerti tidak

mudah. Guru dituntut menjadi figur yang harus mampu memberi teladan

kepada murid-muridnya. Guru juga harus mampu memberi motivasi kepada

murid untuk belajar keras. Sebagai guru pendidikan budi pekerti, harus bisa

memberikan pemahaman yang jelas kepada siswa.

2. Efektivitas Pembelajaran

a. Pengertian Efektivitas

Menurut Chester I Barnad (dalam Suyadi Prawiro Sentono, 1994: 14)

menyatakan bahwa “Bila suatu tujuan yang akhirnya dapat dicapai, kita boleh

mengatakan bahwa kegiatan tersebut adalah efektif ”. Ia juga mengatakan

bahwa “Efektivitas dari kelompok adalah bila tujuan kelompok tersebut dapat

dicapai sesuai dengan yang direncanakan”. (Suyadi Prawiro Sentono, 1994:

14).

E. Mulyasa (2005: 82) menyatakan bahwa:

Efektivitas adalah adanya kesesuaian antara orang yang melaksanakan tugas dengan sasaran yang dituju. Efektivitas adalah bagaimana suatu organisasi berhasil mendapatkan dan memanfaatkan sumber daya dalam usaha mewujudkan tujuan operasional. Hasil yang semakin mendekati tujuan yang telah ditetapkan menunjukkan semakin tinggi tingkat efektivitasnya.

William N Dunn (2000: 498) “Efektivitas (effectiveness) adalah suatu

kriteria untuk menseleksi berbagai alternatif untuk dijadikan rekomendasi

didasarkan pertimbangan apakah alternatif yang direkomendasikan tersebut

(30)

commit to user

13

E. Mulyasa (2005: 82-83) kembali menegaskan bahwa “Efektivitas

berhubungan dengan terlaksananya tugas pokok, tujuan, ketepatan waktu, dan

partisipasi aktif dari anggota, dimana dapat dijadikan barometer untuk

mengukur keberhasilan pendidikan”.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan

bahwa efektivitas merupakan suatu keadaan yang dikehendaki yang merupakan

akibat dari yang dikerjakannya dan merupakan suatu pengukuran terhadap

tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

b. Indikator Efektivitas

Adapun indikator efektivitas menurut E. Mulyasa (2005: 84-85)

adalah “Indikator input, indikator process, indikator output, dan indikator

outcome”.

Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1) Indikator input; indikator input ini meliputi karakteristik guru, fasilitas,

perlengkapan, dan materi pendidikan serta kapasitas manajemen.

2) Indikator process; indikator proses meliputi perilaku administratif, alokasi

waktu guru, dan alokasi waktu peserta didik.

3) Indikator output; indikator dari output ini berupa hasil-hasil dalam bentuk

perolehan peserta didik dan dinamikanya sistem sekolah, hasil-hasil yang

berhubungan dengan prestasi belajar, dan hasil-hasil yang berhubungan

dengan perubahan sikap, serta hasil-hasil yang berhubungan dengan

keadilan, dan kesamaan.

4) Indikator outcome; indikator ini meliputi jumlah lulusan ke tingkat

pendidikan berikutnya, pretasi belajar di sekolah yang lebih tinggi dan

pekerjaan, serta pendapatan.

c. Efektivitas Pembelajaran

Bill Cope menyatakan bahwa “ Learning is how a person or group

comes to know, and knowing consist of varety of types action, in learning, a

knower positions themselves in relation to the knowable, and engages”. (2007,

http://ijl.cgpubluiher.com/about.html). Sesuai dengan jurnal internasional di

(31)

datang untuk mengetahui dan akhirnya mengetahui bermacam-macam tindakan

dalam pembelajaran, dalam pembelajaran siswa menempatkan dirinya dalam

hubungan saling mengetahui (yang dipengaruhi oleh pengalaman, konsep,

analisis atau penerapan).

Slameto (1995: 92) berpendapat bahwa:

Pengajaran yang efektif adalah pembelajaran yang dapat membawa belajar siswa yang efektif. Belajar di sini adalah suatu aktivitas mencari, menemukan dan melihat pokok masalah. Siswa berusaha memecahkan masalah termasuk pendapat bahwa bila seseorang memiliki motor skill maka dia telah menghasilkan masalah dan menemukan kesimpulan.

Medley (dalam Soekartawi, 1995: 38), mendefinisikan efektivitas

pembelajaran sebagai berikut:

Pertama, efektivitas dirasakan sebagai kemuliaan karakteristik atau sifat pribadi tertentu yang dimiliki oleh seorang guru... . Kemudian, efektivitas tidak terlalu terlihat sebagai suatu fungsi karakteristik guru tetapi sebagai metode mengajar yang digunakan... . Maka, efektivitas sangat bergantung pada suasana kreatif dan penegakan disiplin seorang guru di dalam kelas... .

Medley (dalam Soekartawi, 1995: 38), kembali berpendapat bahwa

ada empat karakteristik dari mengajar yang efektif, yakni: “1) Penampilan

pengajar (penguasaan baha ajar), persiapan mengajar, dsb. 2) Cara mengajar

(pemilihan model instruksi, alat bantu mengajar dan evaluasi yang dipakai), 3)

Kompetensi dalam mengajar, 4) Pengambilan keputusan yang bijaksana”.

Selanjutnya menurut Medley (dalam Soekartawi, 1995: 38), jika

diperhatikan pengajaran akan menjadi efektif bila pengajar menguasai “1) Apa

yang diajarkan, 2) Teori pengajaran (pemilihan instructional design) yang

relevan, 3) Hal-hal baru (penelitian untuk memperkaya isi bahan ajar yang

diberikan), 4) Karakteristik siswa”.

Jadi kesimpulannya adalah keefektifan pembelajaran merupakan

pembelajaran yang di dalamnya terdapat pemanfaatan potensi yang mampu

sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan

(32)

perubahan-commit to user

15

perubahan yang terjadi setelah siswa mempelajari suatu bahan pelajaran (dalam

hal ini mengenai keberhasilan belajar siswa).

3. Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti

a. Pengertian Pendidikan Budi Pekerti

Menurut Sjarkawi (2006: 32) berpendapat bahwa:

Istilah budi pekerti yang pada dasarnya tidak berbeda dengan akhlak adalah kata yamg berasal dari bahasa Sansekerta yang memiliki kedekatan dengan istilah tata krama. Inti ajaran tata krama ini sama dengan inti ajaran budi pekerti. Pendidikan budi pekerti adalah proses pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan nilai, sikap, dan perilaku yang memancarkan akhlak mulia atau budi pekerti luhur.

Menurut Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga kota Surakarta

(2009: VIII) mengungkapkan bahwa “Pengertian pendidikan budi pekerti dapat

ditinjau secara konsepsional dan secara oprasional”. Secara konsepsional

pengertian pendidikan budi pekerti mencakup hal-hal sebagai berikut:

1) Usaha secara sadar untuk menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur dalam segenap peranannya sekarang dan masa yang akan datang.

2) Upaya pembentukan, pengembangan, peningkatan, pemeliharaan dan perbaikan perilaku peserta didik agar mereka mau dan mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya secara selaras, serasi, seimbang (lahir batin, materiil, spiritual dan individu sosial).

3) Upaya pendidikan untuk membentuk peserta didik menjadi pribadi seutuhnya yang berbudi pekerti luhur melalui kegiatan bimbingan, pembiasan, pengajaran, dan pelatihan serta keteladanan.

(Dispora kota Surakarta, 2009: VIII)

Adapun pengertian pendidikan budi pekerti secara operasional, yakni:

Pendidikan budi pekerti melalui kegiatan, bimbingan, pengajaran dan pelatihan selama pertumbuhan dan perkembangan dirinya sebagai bekal bagi masa depannya, agar memiliki hati nurani yang bersih, berperangai baik serta menjaga kesusilaan dalam melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan dan menjaga terhadap sesama mahluk, sehingga terbentuk pribadi seutuhnya yang tercermin pada perilaku berupa ucapan, perbuatan, sikap, pikiran, dan kerja hasil karya berdasarkan nilai-nilai agama serta norma dan moral luhur bangsa.

(33)

Menurut Nurul Zuriah (2007: 17) dijelaskan bahwa:

Pengertian budi pekerti mengacu pada pengertian dalam bahasa Inggris, yang diterjemahkan sebagai moralitas. Moralitas mengandung beberapa pengertian antara lain: adat istiadat, sopan santun, dan perilaku. Namun, pengertian budi pekerti secara hakiki adalah perilaku. Budi pekerti akan mengidentifikasi perilaku positif yang diharapkan dapat terwujud dalam perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaan, dan kepribadian peserta didik. Budi pekerti berinduk pada etika atau filsafat moral. Secara etimologis kata etika sangat dekat dengan moral. Etika berasal dari bahasa Yunani ethos (jamak: ta etha) yang berarti adat kebiasaan. Adapun moral berasal dari bahasa latin mos (jamak: mores) yang juga mengandung arti adat kebiasaan.

Menurut Emile Durkheim (1990: X) menyatakan bahwa “Moralitas

meliputi konsistensi, keteraturan tingkah laku: apa yang menjadi moral hari ini

akan menjadi moral esok hari”.

Menurut Hamid Darmadi (2007: 56-57) menjelaskan bahwa

“Pendidikan moral adalah konsep kebaikan yang diberikan kepada siswa

untuk membentuk budi pekerti luhur, berakhlak mulia dan berperilaku terpuji

terdapat dalam Pancasila dan UUD 1945, dimana guru diharapkan membantu

siswa mengembangkan dirinya, secara keilmuan maupun keagamaan”.

Sedangkan menurut Bertens (dalam Nurul Zuriah, 2007: 17)

dijelaskan bahwa:

Etika merupakan ilmu yang mempelajari adat kebiasaan, termasuk di dalamnya moral yang mengandung nilai dan norma yang menjadi pegangan hidup seseorang atau sekelompok orang bagi pengaturan tingkah lakunya. Dalam kaitannya dengan budi pekerti, etika membahasnya sebagai kesadaran seseorang untuk membuat pertimbangan moral yang rasional mengenai kewajiban memutuskan pilihan yang terbaik dalam menghadapi masalah nyata. Keputusan yang diambil seseorang wajib dapat dipertanggungjawabkan secara moral terhadap diri dan lingkungannya.

Menurut Sjarkawi (2006: 27-28) menjelaskan bahwa “Pendidikan

etika adalah cabang filsafat tentang nilai dan norma yang menentukan perilaku

(34)

commit to user

17

Menurut Nurul Zuriah (2007: 17) berpendapat bahwa “Budi pekerti

berinduk pada etika atau filsafat moral. Secara etimologis kata etika sangat

dekat dengan moral yang artinya adat kebiasaan”.

Sjarkawi (2006: 28) menyatakan bahwa “Akhlak berasal kata khalaqa

dengan akar kata khuluqan (bahasa arab) yang artinya perangai, tabiat, dan

adat; atau dari kata khalqun (bahasa arab) yang berarti: kejadian, buatan, atau

ciptaan”. Jadi secara epistimologis akhlak merupakan perangai, adat, tabi’at,

atau sistem perilaku yang dibuat. Di samping istilah akhlak juga dikenal etika

dan moral. Ketiga istilah ini sama-sama menentukan nilai baik dan buruk

terhadap sikap dan perbuatan manusia. Perbedaannya terletak pada standar

masing-masing istilah. Bagi akhlak standarnya adalah Al-Qur’an dan As-sunah

(Hadits), bagi etika standarnya adalah akal pikiran, sedangkan moral

standarnya adalah adat kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat. Jadi

pendidikan akhlak adalah pendidikan yang diberikan kepada peserta didik

sebagai sistem nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan manusia di muka

bumi.

Pendidikan akhlak di dalam keluarga dilaksanakan dengan contoh dan

teladan dari orang tua. Perilaku dan sopan santun orang tua dalam pergaulan

antara ibu dan bapak, perlakuan orang tua terhadap anak-anak dan perlakuan

orang tua terhadap orang lain di dalam lingkungan keluarga akan menjadi

teladan bagi anak. Adapun ruang lingkup akhlak menurut Muslim Nurdin dkk,

(1993: 205-209) adalah “Pola hubungan manusia dengan Allah, manusia

dengan Rasulullah SAW, manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan

keluarga, dan manusia dengan masyarakat”.

Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1) Pola hubungan manusia dengan Allah, seperti mentauhidkan Allah dan

menghindari syirik, bertaqwa Nya, memohon pertolongan

kepada-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya melalui berdo’a, berdzikir di waktu

siang ataupun malam, baik dalam keadaan berdiri, duduk, ataupun

(35)

2) Pola hubungan manusia dengan Rasullulah SAW. yaitu: menegakkan sunah

Rasul, menziarahi kuburnya di Madinah, dan membacakan shalawat.

3) Pola hubungan manusia dengan dirinya sendiri, seperti: menjaga kesucian

diri dari sifat rakus dan mengumbar nafsu, mengembangkan keberanian

dalam menyampaikan yang hak, menyampaikan kebenaran, dan

memberantas kedzaliman, mengembangkan kebijaksanaan dengan

memberantas kebodohan dan jumud, bersabar ketika mendapat musibah dan

dalam kesulitan, bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah, rendah hati

dan tawadhu’ dan tidak sombong, menahan diri dari melakukan

larangan-larangan Allah atau iffah, menahan diri dari marah walaupun hati tetap

dalam keadaan marah atau hilmun, memaafkan orang, jujur atau amanah,

dan merasa cukup dengan apa-apa yang telah diperoleh dengan susah payah

atau qona’ah.

4) Pola hubungan dengan keluarga, seperti: berbakti kepada kedua orang tua

atau birrul walidaini, baik dengan perkataan, pemberian nafkah, ataupun

do’a, memberikan bantuan material ataupun moral kepada karib kerabat atau

aati dzal qurba.

5) Pola hubungan dengan masyarakat. Dalam konteks kepemimpinan,

pola-pola hubungan yang perlu dikembangkan adalah: menegakkan keadilan,

berbuat ihsan, menjunjung tinggi musyawarah, memandang kesederajatan

manusia, dan membela orang-orang lemah (seperti orang miskin, orang yang

tersiksa, dan orang yang tidak berpendidikan), mentaati pemimpin, dan

berperan serta dalam kegiatan-kegiatan kepemimpinan. Sementara sebagai

anggota kemanusiaan, saling tolong menolong, pemurah dan penyantun,

menepati janji, saling wasiat dalam kebenaran dan ketaqwaan.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan budi pekerti adalah

proses pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan nilai, sikap, dan

perilaku yang memancarkan akhlak mulia atau budi pekerti luhur. Jadi

pendidikan budi pekerti pada dasarnya tidak berbeda dengan pendidikan akhlak

yaitu sama-sama mengatur dan mengembangkan nilai, sikap dan perilaku

(36)

commit to user

19

b. Sejarah Dikpora Surakarta dalam Menerapkan Pendidikan Budi Pekerti

Sejarah Dikpora Surakarta dalam menerapkan pendidikan budi pekerti

di SMP pada mulanya menurut Kurikulum Pendidikan Budi Pekerti Dinas

Pendidikan Pemuda dan Olah Raga tahun 2009 Kota Surakarta adalah sebagai

berikut:

Tiga ranah dalam proses pembelajaran yakni kognitif, afektif, dan

psikomotorik dirasakan belum seimbang saat ini, suka atau tidak, kurang lebih

dekade dunia pendidikan khususnya jajaran Disdasmen lebih banyak

terkonsentrasi pada aspek kognitif. Hal ini ditandai dengan diutamakannya

perolehan nilai ujian nasional.

Mengamati perilaku masyarakat termasuk generasi muda akhir-akhir

ini yang cukup memprihatinkan dan munculnya tindakan anarkhis di berbagai

tempat termasuk kasus kerusuhan yang terjadi di kota Surakarta belakangan ini

menyadarkan kita akan arti penting keseimbangan ketiga ranah tersebut,

dengan demikian diperlukan perubahan strategi proses pembelajaran selama ini

yang cenderung mengutamakan aspek kognitif, termasuk di dalamnya

pendidikan budi pekerti yang sebenarnya termasuk komponen penting di dalam

tujuan pendidikan nasional kita yakni membentuk siswa yang berakhalak

mulia.

Akhlak mulia dapat terwujud jika di dukung budi pekerti yang baik.

Proses pembelajaran budi pekerti di sekolah diperlukan perubahan pendekatan

yang variatif mulai dari andragogi, permainan, simulasi, portofolio,

konstekstual dan sejenisnya, yang diharapkan budi pekerti dihayati sejak

proses pembelajarannya. Oleh karena itu mengacu pelaksanaan tujuan

pendidikan nasional, proses pembelajaran yang variatif diharapkan menguatkan

kompetensi perilaku dalam kehidupan sosial yang toleren, menghargai

perbedaan dan dapat menjalani hidup damai dalam keberagaman di masyarakat

luas.

Berangkat dari perihal tersebut di atas, Dinas Dikpora Kota Surakarta

bekerjasama dengan UNICEF dan Pemerintah Kota Surakarta mencoba

(37)

dalam konsep materi pendidikan budi pekerti berikut ini, dan pada tahun 2005

sudah mulai diberlakukan untuk semua SMP di kota Surakarta, di mana pada

awalnya sudah diuji cobakan di sepuluh sekolah SMP uji coba, dimulai dari

kelas VII, VIII, dan IX.

c. Kegunaan Pendidikan Budi Pekerti

Cahyoto (dalam Nurul Zuriah, 2007: 104) menyatakan kegunaan

pendidikan budi pekerti antara lain sebagai berikut:

1) Siswa memahami susunan pendidikan budi pekerti dalam lingkup etika bagi pengembangan dirinya dalam bidang ilmu pengetahuan. 2) Siswa memiliki landasan budi pekerti luhur bagi pola perilaku

sehari-hari yang didasari hak dan kewajiban sebagai warga negara. 3) Siswa dapat mencari dan memperoleh informasi tentang budi

pekerti mengolahnya dan mengambil keputusan dalam menghadapi masalah nyata di masyarakat.

4) Siswa dapat berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain untuk mengembangkan nilai moral.

d. Pentingnya Pendidikan Budi Pekerti

Pentingnya pendidikan budi pekerti diselenggarakan baik di sekolah,

keluarga, maupun masyarakat diantaranya dalam rangka:

1) Membantu meningkatkan kemampuan kita supaya berbudi pekerti baik dan mengembangkan lingkungan yang berbudi pekerti agar dalam kehidupan sehari-hari kepribadian kita dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.

2) Mengajak kita dan keluarga serta masyarakat mengembangkan pola hidup dengan perilaku yang baik yang bermanfaat bagi diri kita sendiri dan lingkungan.

3) Berusaha membantu kita, keluarga, dan masyarakat beradaptasi yang efektif dengan pola hidup sesuai dengan norma, kaidah, dan aturan masyarakat.

4) Membantu kita, keluarga dan masyarakat untuk hidup secara teratur, bertatakrama, dan menjauhi segala perbuatan tercela serta melakukan perbuatan terpuji.

(Tabrani Rusyan M. Sutisna WD dan AS. Hidayat, 2004: 6).

e. Tujuan Pendidikan Budi Pekerti

Tujuan pendidikan budi pekerti dibagi menjadi 2 (dua), yaitu secara

umum dan secara khusus. Dikpora (2009: IX-X) menyatakan bahwa:

(38)

commit to user

21

menggunakan pengetahuan, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai, mengembangkan ketrampilan sosial yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya akhlak mulia dalam diri peserta didik serta mewujudkan dalam perilaku sehari-hari dalam berbagai konteks sosial budaya yang berbhinneka. Sedangkan tujuan khusus adalah sebagai berikut:

1) Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai penerus bnagsa

2) Memupuk ketegaran dan kepekaan mental peserta didik terhadap situasi sekitarnya tidak terjerumus ke dalam perilaku yang menyimpang baik secara individual maupun sosial.

3) Meningkatkan kemampuan untuk menghindari sifat-sifat tercela yang dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan.

f. Pendekatan Pendidikan Budi Pekerti

Peningkatkan keberhasilan peserta didik untuk membentuk mental,

moral, spiritual, personal dan sosial, maka penerapan pendidikan budi pekerti

dapat menggunakan berbagai pendekatan dengan memilih pendekatan yang

terbaik (eklektif) dan saling mengaitkannya satu sama lain agar menimbulkan

hasil yang optimal (sinergis). Nurul Zuriah (2007: 75-76) membagi pendekatan

pendidikan budi pekerti menjadi “Pendekatan penanaman nilai, pendekatan

perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, pendekatan klarifikasi

nilai, dan pendekatan pembelajaran berbuat”.

Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1) Pendekatan Penanaman Nilai (Inculcation Approach).

Pendekatan ini mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima

nilai sebagai milik mereka dan bertanggungjawab atas keputusan yang

diambilnya melalui tahapan: mengenal pilihan, menilai pilihan,

menentukan pendirian, menerapkan nilai sesuai dengan keyakinan diri.

Cara yang digunakan dalam pendekatan ini antara lain keteladanan,

penguatan positif, dan negatif, simulasi dan bermain peran.

2) Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif (Cognitive Moral Development

Appoarch).

Pendekatan ini menekankan pada berbagai tingkatan dari pemikiran moral.

Guru dapat mengarahkan anak dalam menerapkan proses pemikiran moral

(39)

keputusan tentang pendapat moralnya. Mereka akan menggambarkan

tingkat yang lebih tinggi dalam pemikiran moral, yaitu takut hukuman,

melayani kehendak sendiri, menuruti peranan yang diharapkan, menuruti

dan menaati otoritas, berbuat untuk kebaikan orang banyak, bertindak

sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang universal. Cara yang dapat

digunakan dalam penerapan budi pekerti dengan pendekatan ini antara lain

melakukan diskusi kelompok dengan topik dilema moral, baik yang faktual

maupun yang abstrak (hipotetikal).

3) Pendekatan Analisis Nilai (Values Analysis Approach)

Pendekatan ini menekankan agar peserta didik dapat menggunakan

kemampuan berpikir logis dan ilmiah dalam menganalisis masalah sosial

yang berhubungan dengan nilai tertentu. Selain itu, peserta didik dalam

menggunakan proses berpikir rasional dan analitik dapat

menghubung-hubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai mereka sendiri. Cara

yang dapat digunakan dalam pendekatan ini, antara lain diskusi terarah

yang menuntut argumentasi, penegasan bukti, penegasan prinsip, analisis

terhadap kasus, debat dan penelitian.

4) Pendekatan Klarifikasi Nilai (Values Clarification Approach)

Pendekatan ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan

mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mengidentifikasi

nilai-nilai mereka sendiri dan nilai-nilai-nilai-nilai orang lain. Selain itu, pendekatan ini

juga membantu peserta didik untuk mampu mengkomunikasikan secara

jujur dan terbuka tentang nilai-nilai mereka sendiri kepada orang lain dan

membantu peserta didik dalam menggunakan kemampuan berpikir rasional

dan emosional dalam menilai perasaan, nilai, dan tingkah laku mereka

sendiri. Cara yang dapat dimanfaatkan dalam pendekatan ini, antara lain

bermain peran, simulasi, analisis mendalam tentang nilai sendiri, aktivitas

yang mengembangkan sensitivitas, kegiatan di luar kelas, dan diskusi

(40)

commit to user

23

5) Pendekatan Pembelajaran Berbuat (Action Learning Approach)

Pendekatan ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik

seperti pada pendekatan analisis dan klarifikasi nilai. Selain itu, pendekatan

ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam

melakukan kegiatan sosial serta mendorong peserta didik untuk melihat diri

sendiri sebagai mahluk yang senantiasa berinteraksi dalam kehidupan

bermasyarakat. Cara yang dapat digunakan dalam pendekatan ini, selain

cara-cara pada pendekatan analisis dan klarifikasi nilai, adalah metode

proyek atau kegiatan di sekolah, hubungan antar pribadi, praktik hidup

bermasyarakat dan berorganisasi.

Menurut Maman Rachman (2002: 238) menyatakan bahwa:

Perlu disadari dan disikapi benar bahwa pembentukan watak dan budi pekerti anak tidak cukup hanya diberikan di sekolah melainkan harus ditunjang oleh pendidikan luar sekolah. Pendidikan luar sekolah seperti dalam keluarga oleh orang tua, dalam kelompok belajar oleh para instruktur atau tutor, dalam kursus-kursus oleh para pelatih atau pembina dan dalam lingkungan masyarakat oleh teman sebaya, masyarakat, tokoh masyarakat, elit politik dan sejenisnya. Mereka itu semua, secara proporsional harus dapat memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan ketrampilan. Keterpaduan, kesinambungan, dan keberlanjutan pendidikan budi pekerti yang dikembangkan di sekolah dengan pendidikan budi pekerti di luar sekolah diharapkan akan mengahasilkan generasi bangsa yang memiliki watak dan budi pekerti luhur seperti yang diharapkan.

g. Metode Pendidikan Budi Pekerti

Yahudi (2006, http// en wikipedia.teacher com/):

(41)

Arti dari kutipan jurnal internasional di atas yaitu: dalam pendidikan,

seorang guru adalah seseorang yang menyediakan pendidikan bagi orang lain.

Seorang guru memfasilitasi pendidikan bagi seorang individu siswa juga dapat

digambarkan sebagai pribadi guru. Peran guru sering formal dan berkelanjutan,

dilakukan dengan cara dari pekerjaan atau profesi di sekolah atau tempat

formal pendidikan. Guru dapat menggunakan rencana pelajaran untuk

memfaslitasi siswa belajar, menyediakan suatu program studi yang mencakup

standar kurikulum. Peran guru mungkin beragam diantar budaya. Guru

mengajar melek huruf dan menghitung, atau sebagian yang lain mata pelajaran

sekolah. Guru-guru lain dapat memberikan intruksi dalam pengerjaan atau

pelatihan kejuruan, seni, agama atau spiritualitas, kewarganegaraan, peran

masyaarkat, atau keterampilan hidup.

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa peranan guru

adalah terciptanya serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan yang

dijalankan secara profesional dalam rangka meningkatkan sumber daya

manusia melalui pendidikan yang berhubungan dengan kemajuan perubahan

tingkah laku dan perkembangan siswa yang menjadi tujuannya.

Menurut Paul Suparna (2002: 45) mengungkapkan bahwa “Secara

teoritis keberhasilan proses pendidikan budi pekerti antara lain dipengaruhi

oleh ketepatan seorang guru dalam memilih metode-metode penanaman

nilai-nilai budi pekerti”. Metode pendidikan budi pekerti sangatlah penting, karena

apabila tidak tepat maka tujuan yang akan dicapai juga sulit untuk diperoleh.

Metode menyangkut cara pendekatan dan penyampaian nilai-nilai hidup yang

akan ditawarkan dalam diri anak. Ada beberapa metode yang dapat digunakan

untuk pendidikan budi pekereti, antara lain: “1) Metode Demokrasi, 2) Metode

Pencarian Bersama, 3) Metode Siswa Aktif, 4) Metode Keteladanan, 5) Metode

Live In, 6) Metode Penjernihan Nilai”. (Paul Suparna, 2002: 45-52).

Metode-metode tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Metode Demokrasi

Metode demokrasi menekankan pencarian secara bebas dan

(42)

commit to user

25

guru. Anak diberi kesempatan untuk menanamkan nilai-nilai diantaranya

keterbukaan, kejujuran, penghargaan dan penilaian terhadap nilai-nilai yang

ditemukan. Metode ini digunakan untuk menanamkan nilai-nilai diantaranya

keterbukaan, kejujuran, penghargaan pendapat orang lain, sportivitas,

kerendahan hati, dan toleransi. Melalui metode pendekatan ini anak diajak

mulai dengan berani mengungkapkan gagasan, pendapat maupun

perasaannya.

2) Metode Pencarian Bersama

Metode ini menekankan pencarian bersama yang melibatkan siswa

dan guru. Melalui pendidikan ini siswa diajak aktif untuk mencari dan

menemukan tema yang sedang berkembang dan menjadi perhatian bersama.

Selain menemukan nilai-nilai dari permasalahan yang diolah, anak juga

diajak untuk secara kritis analitis mengolah sebab dari permasalahan yang

muncul tersebut.

3) Metode Siswa Aktif

Metode ini menekankan pada proses yang melibatkan anak sejak

awal pembelajaran. Guru memberikan pokok bahasan dan anak dalam

kelompok mencari dan mengembangkan proses selanjutnya. Anak membuat

pengamatan, pembahasan analisis sampai pada penyimpulan atas kegiatan

mereka. Metode ini mendorong anak mempunyai kreatifitas, ketelitian,

kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, kerjasama, kejujuran dan daya juang.

4) Metode Keteladanan

Proses pembentukan pekerti pada anak diawali dengan melihat

orang yang akan diteladani. Guru dapat menjadi tokoh idola dan panutan

bagi anak. Dengan keteladanan guru dapat membimbing anak untuk

membentuk sikap yang kokoh. Untuk itu dituntut ketulusan, keteguhan,

kekonsistanan hidup seorang guru.

5) Metode Live In

Metode ini memberi pengalaman kepada anak untuk mempunyai

pengalaman hidup bersama orang lain secara langsung dalam situasi yang

(43)

langsung ini anak dapat mengenal lingkungan hidup yang berbeda dalam

cara berfikir, tantangan, permasalahan dan dapat tentang nilai-nilai

hidupnya.

6) Metode Penjernihan Nilai

Metode penjernihan nilai ini, anak diajak untuk secara kritis

melihat nilai-nilai hidup yang ada dalam masyarakat. Anak diajak untuk

melihat bahwa tindakan salah dan benar tidak tergantung pada banyak dan

sedikitnya pelaku namun pada nilai tindakan itu sendiri. Pada akhirnya anak

diajak melihat duduk permasalahannya dan berani mengambil sikap dan

pilihan dalam hidupnya. Oleh sebab itu penjernihan nilai dalam kehidupan

anak sangat penting.

4. Penyimpangan Perilaku Minuman Keras

a. Pengertian Minuman Keras

Menurut Dadang Hawari (1999: 161) mengemukakan bahwa “Miras

atau minuman keras adalah jenis minuman yang mengandung alkohol, tidak

peduli berapa kadar alkoholnya”.

Menurut Edy Karsono (2004: 12) menjelaskan bahwa “Alkohol adalah

jenis minuman yang mengandung alkohol, disesuaiakan dengan kadar

etil-alkoholnya”, sedangkan menurut Soedjono (1995: 108) menyatakan bahwa

“Sering-sering minum alkohol (minuman keras) menyebabkan orang menjadi

kecanduan alkohol tidaklah cukup tepat, keseringan minum membawa

ketagihan psikologis karena sudah terbiasa minum”.

Dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian

dari minuman keras adalah bahan kimia yang mempunyai daya pengaruh

terhadap tubuh dengan memberi rangsangan-rangsangan tertentu dan

mengakibatkan ketidaksadaran diri seseorang.

b. Penggolongan Minuman Beralkohol

Menurut Soedjono (1995: 137) menjelaskan bahwa:

(44)

commit to user

27

obat. Alkohol mempunya daya pengaruh pada manusia, pengaruh yang ditimbulkan oleh alkohol yaitu memberi istirahat pada otot-otot sehingga perasaan yang tegang akan menjadi longgar atau bahkan hilang. Di pihak lain, bagi penderita penyakit jantung alkohol dapat digunakan untuk membantu memperbesar pembuluh darah, dalam hal ini alkohol bekarja sebagai sistem yang menekan susunan saraf pusat sehingga dapat menghilangkan perasaan tidak enak, bingung dan lain sebagainya. Efek yang ditimbulkan adalah badan akan terasa lebih baik dan lebih sehat karena darah dapat mengalir lancar. Adapun jenis minuman keras (minuman beralkohol) yang dapat digunakan sebagai obat atau bahan baku obat adalah minuman beralkohol yang mengandung ethanol, jenis amilenhidrat, trikoretol, klarobutanol, dan etinilkarbonal.

Pemakaian alkohol yang wajar adalah sebagai bahan obat. Alkohol

setelah bekerja akan diuraikan oleh hati sehingga menjadi zat sisa yang

dikeluarkan melalui buang air kecil. Selain fungsi tersebut alkohol juga dapat

digunakan sebagai penghilang rasa sakit dan juga sebagai pengering luka lecet

akibat kecelakaan kecil dimana alkohol disini berfungsi menghentikan

pendarahan dan membuat luka cepat kering.

Menurut Moch. Sulchan (1999: 4) menjelaska bahwa:

Minuman keras adalah semua minuman beralkohol tetapi bukan obat, minuman keras terbagi dalam tiga golongan yaitu:

1) Golongan A kadar alkohol 01%-5% yaitu golongan rendah, contoh: Bir

2) Golongan B kadar alkohol 05%-20% yaitu golongan sedang, contoh: Anggur

3) Golongan C kadar alkohol 20%-50% yaitu golongan tinggi, di mana jenis ini jarang sekali ada dipasaran mengingat terlalu tingginya kadar alkohol yang dikandungnya, contoh: Brandy.

Dengan melihat kualifikasi minuman keras di atas dapat dikatakan

bahwa tidak semua minuman beralkohol merupakan minuman keras, sebab ada

beberapa minuman beralkohol dapat digunakan atau bahkan cenderung

digunakan obat. Berdasarkan penggolongan di atas, bisa ditarik dua

kesimpulan bahwa pemakaian yang wajar akan sangat bermanfaat bagi

kesehatan sedangkan pemakaian yang berlebihan akan sangat berpengaruh

buruk pada kesehatan bahkan akan berakibat pada kematian seseorang.

(45)

alkohol cenderung merusak dan merugikan manusia. Hal ini dikarenakan

alkohol merupakan zat adiktif yaitu zat yang dapat menimbulkan ketagihan dan

ketergantungan bagi pemakainya. Pemakaian minuman keras dapat

menimbulkan gangguan mental organik (GMO) yaitu gangguan fungsi berfikir,

perasaan dan perilaku. GMO ini disebabkan adanya reaksi langsung alkohol

pada syaraf pusat (otak)

Menurut Kartini Kartono (1986: 138) mengemukakan bahwa:

Perubahan stemming dasar juga bisa disebabkan oleh penggunaan alkohol yang menyebabkan hilangnya beberapa rem psikis. Sebagai akibatnya beberapa tabu dan larangan, baik yang sosial sifatnya maupun yang ditetapkannya sendiri oleh individu menjadi longgar dan mudah dilanggar. Jadi pengaruh alkohol adalah mempertinggi tingkat suasana hati.

Akibat buruk di atas juga diperkuat lagi oleh Moch. Sulchan (1999:

21) yang menyatakan bahwa “Miras atau minuman keras adalah jenis minuman

yang mengandung alkohol, tidak peduli berapa kadar alkoholnya”.

c. Dampak Minuman Keras

Semua jenis minuman yang mengandung alkohol berbahaya karena

akan berakibat buruk pada manusia. Adapun akibat buruk yang ditimbulkan

dari minuman keras (minuman beralkohol) adalah “Farmologi, gangguan

kesehatan fisik, gangguan kesehatan jiwa, gangguan terhadap kamtibnas”.

(Moch Sulchan, 1999: 21-22).

Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1) Farmologi

Bahwa alkohol larut dalam air sebagai molekul kecil, sehingga cepat

menyebar yang kemudian mengakibatkan ketergantungan.

2) Gangguan Kesehatan Fisik

Mengkonsumsi minuman keras dalam jumlah banyak dan dilakukan secara

terus menerus akan menimbulkan kerusakan hati, jantung, pankreas,

lambung dan otak. Pada pemakaian kronis minuman keras akan

mengakibatkan terjadinya pengerasan hati, peradangan pankreas dan

(46)

commit to user

29

3) Gangguan Kesehatan Jiwa

Minum-minuman keras secara kronis dalam jumlah berlebihan dapat

mengakibatkan kerusakan permanen jaringan otak sehingga menimbulkan

gangguan daya ingatan, kemampuan penilaian, kemampuan belajar dan

gangguan jiwa yang lain seperti, perasaan berubah, mudah tersinggung

dan lain sebagainya.

4) Gangguan Terhadap Kamtibnas

Akibat dari minuman-minuman keras akan menekan pusat pengendalian

diri seseorang, sehingga yang bersangkutan menjadi berani dan agresif.

Karena keberanian dan keagresifannya serta tertekan pengendalian diri

tersebut, seseorang melakukan gangguan kamtibmas baik dalam bentuk

pelanggaran norma dan sikap moral bahkan tidak sedikit yang melakukan

tindak pidana atau kriminal.

d. Faktor Penyebab Penyimpangan Perilaku Minuman Keras

Soedjono (1995: 108) menyatakan bahwa “Faktor umum penyebab

penyimpangan perilaku minuman keras adalah lingkungan sosial dan

kepribadian”. Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1) Lingkungan Sosial

Lingkungan sosial, yang terdiri dari

a) Motif ingin tahu

Faktor ini biasanya menghinggapi para remaja yang mempunyai sifat

selalu ingin tahu dan ingin mencoba sesuatu yang belum atau kurang

diketahui dampak negatifnya.

b) Kesempatan

Hal ini dikarenakan kesibukan orang tua, broken home, kurang kasih

sayang yang kemudian terpengaruh lingkungan teman sepermaian ynag

selalu dekat dan dianggap menengrti akan dirinya yang sama-sama

mencari pelarian dengan cara penyalahg

Gambar

Gambar 2. Analisis Data Model Interaktif .......................................
Gambar 1: Skema Kerangka Pemikiran
Tabel 1 . Jadual Kegiatan Penelitian
Tabel 2. Informan yang Melakukan Penyimpangan Perilaku Minuman Keras
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II efektif untuk meningkatkan kemampuan pemahaman konsep matematis siswa kelas VII

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa Penggunaan Metode Pancingan Kata Kunci Efektif Terhadap Kemampuan Menulis Teks Pidato Oleh Siswa Kelas X SMA Swasta Parulian II Medan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran menggunakan pendekatan SETS dapat meningkatkan hasil belajar biologi pada materi pokok Virus siswa kelas

Tujuan dari strategi pembelajaran index card match adalah menciptakan suasana belajar yang menyenangkan sekaligus aktif, mendorong siswa berpikir kritis dan memunculkan berbagai

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: penerapan metode pembelajaran GI yang dimodifikasi dengan penerapan media VBL dalam pembelajaran Kimia pada pokok

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Faktor penyebab ketidakmampuan siswa kelas II dalam membaca lancar adalah karena kurangnya latihan membaca dan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan model pembelajaran terprogram tipe linier dapat meningkatkan keaktivan dan hasil belajar siswa kelas VII

Ibu hamil yang mempunyai tingkat pengetahuan yang baik tentang faktor risiko kehamilan merupakan dasar yang diharapkan dapat mendorong ibu untuk melakukan ANC sesuai dengan standar