• Tidak ada hasil yang ditemukan

Impact of Wetland Conversion in Java and Outside Java on National Food Availability and Accessibility

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Impact of Wetland Conversion in Java and Outside Java on National Food Availability and Accessibility"

Copied!
485
0
0

Teks penuh

(1)

AKSES PANGAN NASIONAL

ERNI PURBIYANTI

(2)
(3)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul :

DAMPAK KONVERSI LAHAN SAWAH DI JAWA DAN LUAR JAWA TERHADAP KETERSEDIAAN DAN AKSES PANGAN NASIONAL

merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan pembimbingan para komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan oleh sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Februari 2013

Erni Purbiyanti

(4)
(5)

ERNI PURBIYANTI. Impact of Wetland Conversion in Java and Outside Java on National Food Availability and Accessibility (ANNA FARIYANTI as Chairman, I KETUT KARIYASA as a Member of the Advisory Commitee)

To ensure sustainable food availability and accessibility in Indonesia, it is needed the policy that could reduce the persistent wetland conversion in Java that tends to incerase, since Java has been contribution of 60 percent of national rice. This study disaggregated into Jawa and outside Java. The purposes of this study are at: (1) analyzing the factors affecting wetland conversion in Java and outside Java, (2) analyzing the impacts of wetland conversion in Java and outside Java on national food availability and accessibility, (3) analyzing the impact of economic policies implementation in agricultural sector on national food availability and accessibility, as well as on changing of welfare indicators. The model specification was done that included dynamic simultaneous equations which consisted of 19 behavioral equations and 22 identities, model identification performed by using the order condition criteria, while model estimation conducted by employing 2-SLS method. The results of study indicated that wetland conversion has had been compensated by import. Therefore, decreased food availability and accessibility per capita were under-estimated. Price policy became ineffective if at the same time the government also ran import rice policy. The mix policies implementation through instruments: increased the real price of unhusked rice of by 15 percent, decreased the real price of Urea fertilizer of by 10 percent and decreased import quotas of by 37.5 percent were considered as the best policy when wetland conversion increased by 1 percent. This mix policy has positive impact both on producers (farmers) and government; except for consumer. Development of economic region that still focused in Java should be directed to the outside Java in order to reduce the persistent wetland conversion by implementing locally specific policies.

(6)
(7)

ERNI PURBIYANTI. Dampak Konversi Lahan Sawah di Jawa dan Luar Jawa terhadap Ketersediaan dan Akses Pangan Nasional (ANNA FARIYANTI, sebagai Ketua dan I KETUT KARIYASA, sebagai Anggota Komisi Pembimbing)

Konversi lahan sawah dinilai sangat dilematis. Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi membutuhkan lahan untuk penggunaan nonpertanian sebagai konsekuensi logis dari perkembangan wilayah. Sementara di sisi lain, lahan sawah juga merupakan faktor produksi penting yang fungsinya tidak dapat digantikan oleh yang lain, dimana konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian akan mengurangi kapasitas produksi pangan nasional. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis dampak konversi lahan sawah di Indonesia terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional dalam kaitannya dengan implementasi kebijakan ekonomi di sektor Pertanian. Tujuan khusus penelitian ini, yaitu: (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa; (2) menganalisis dampak konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional; (3) menganalisis dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional; dan (4) menganalisis dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian terhadap perubahan surplus produsen, surplus konsumen, dan penerimaan pemerintah, sebagai indikator tingkat kesejahteraan.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data deret waktu dari tahun 1990 – 2010, yang bersifat dinamik. Khusus konversi lahan sawah, data yang digunakan adalah data konversi lahan sawah netto. Model ketersediaan dan akses pangan di Indonesia yang diformulasikan merupakan model persamaan simultan yang terdiri dari 41 persamaan, yaitu 41 peubah endogen, dan 74 peubah

predetermined yang terdiri dari 41 peubah eksogen dan 33 lag peubah endogen, sehingga total peubah dalam model adalah 115 peubah. Metode estimasi yang digunakan adalah metode 2-SLS, adapun simulasi yang dilakukan menggunakan solusi dari nilai-nilai lag variabel (simulasi dinamik). Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program komputer SAS/ETS for windows versi 9.1.

(8)

(62 peubah) berpengaruh nyata pada taraf probabilitas 15 persen. Arah peubah ekspektasi (lag endogen) setiap persamaan sesuai dengan harapan, sedangkan besarannya sebanyak 93.333 persen (1 peubah dari 15 peubah lag endogen) sesuai dengan harapan yaitu 0 < γ < 1. Sementara itu, berdasarkan kriteria ekonometrika hasil uji statistik Durbin-h menunjukkan sebanyak 68.42 persen persamaan perilaku tidak mengalami serial korelasi, yang ditandai oleh nilai Dh berkisar antara -1.96 dan 1.96 pada taraf probabilitas 0.05 persen. Sementara itu, berdasarkan hasil pengujian multikolinieritas diketahui bahwa semua persamaan perilaku dalam model tidak mengalami multikolinieritas secara serius.

Hasil simulasi menunjukkan bahwa (1) pertumbuhan ekonomi yang disertai peningkatan pendapatan regional riil memberi konsekuensi meningkatnya persaingan lahan sawah ke penggunaan lain yang memberi nilai rente lahan yang lebih tinggi; (2) konversi lahan sawah mengakibatkan penurunan ketersediaan dan akses pangan per kapita, namun dampak negatif ini under-estimate karena konversi lahan sawah yang terjadi selama ini dikompensasi oleh impor; (3) kon-versi lahan sawah yang terjadi di wilayah Jawa memberikan dampak negatif yang lebih besar terhadap akses pangan per kapita dibandingkan dengan di luar Jawa; (4) kebijakan harga yang bertujuan untuk mendorong petani meningkatkan produktivitas dan luas areal pertanaman padinya dinilai tidak efektif jika pemerintah masih melakukan impor; dan (5) alternatif kombinasi kebijakan melalui instrumen peningkatan harga riil gabah tingkat petani sebesar 15 persen, penurunan harga pupuk Urea sebesar 10 persen dan penurunan kuota impor sebesar 37.5 persen, dapat meningkatkan ketersediaan dan akses pangan per kapita masing-masing sebesar 1.658 persen dan 0.019 persen, serta memberikan surplus terbesar kepada petani dan pemerintah, sekalipun konsumen menanggung kerugian sebesar Rp3.142 miliar. Surplus produsen yang diperoleh dari implementasi alternatif kebijakan ini adalah sebesar Rp17.944 miliar. Sementara itu, pemerintah memperoleh penerimaan dari tarif impor sebesar Rp109.11 juta, dengan net surplus sebesar Rp14.911 miliar. Oleh karena itu, kombinasi kebijakan ini dinilai sebagai kombinasi kebijakan terbaik.

Implikasi kebijakan yang perlu dilakukan, antara lain: (1) perkembangan wilayah selama ini yang terpusat di Jawa harus segera diarahkan ke luar Jawa untuk mengurangi konversi lahan sawah di Jawa, selain untuk mewujudkan pembangunan yang merata dan berkeadilan; (2) pemerintah harus prioritas melindungi lahan pangan agar tetap dimanfaatkan untuk memproduksi pangan; (3) pemerintah harus memberlakuan sanksi yang tegas bagi siapapun yang melanggar peraturan/perundangan terkait dengan konversi lahan sawah; (4) pemerintah harus menghitung ulang neraca sumberdaya lahan sawah di Indonesia sehingga keterbatasan data tersebut dapat teratasi, mengingat pentingnya data tersebut untuk mengevaluasi pengelolaan sumberdaya lahan sawah dan implementasi kebijakan; dan (5) pemerintah harus mengurangi impor dalam jangka panjang dengan meningkatkan produksi dalam negeri, melalui kebijakan pemerintah yang menstimulasi petani untuk terus berusaha tani, seperti menaikkan harga gabah petani dan meningkatkan subsidi input.

(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(10)
(11)

AKSES PANGAN NASIONAL

ERNI PURBIYANTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian

(12)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:

Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, M.S.

Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor

Pimpinan Ujian Tesis/Wakil Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian:

Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S.

(13)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, yang atas izin-Nya pula penulis diberi kemudahan dan kelancaran dalam menyelesaikan tesis ini. Tesis ini merupakan hasil penelitian mengenai dampak konversi lahan sawah yang terjadi di Jawa dan luar Jawa terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para pengambil kebijakan dalam memetakan dan menentukan arah pembangunan pertanian kedepan.

Penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Ir. Anna Fariyanti, MSi. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. I Ketut Kariyasa, M.S. selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah

memberikan bimbingan, saran, masukan, dan motivasi bagi perbaikan dan penyelesaian penulisan tesis ini.

2. Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S. sebagai Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah memberikan pengarahan selama proses belajar dan masukan dalam penyelesaian penulisan tesis ini.

3. Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, M.S. selaku Penguji Luar Komisi, yang telah memberikan kritik dan masukan dalam penajaman tesis ini.

4. Rektor, Dekan Fakultas Pertanian dan Ketua Jurusan Agribisnis Universitas Sriwijaya yang telah memberikan izin untuk melanjutkan studi dan bantuan dana penelitian dalam penulisan tesis ini.

5. Prof. Ir. H. Fachrurrozie Sjarkowi, M.Sc., Ph.D., yang telah memberikan rekomendasi, pengarahan, bimbingan, motivasi, serta kesempatan untuk banyak belajar sejak penulis menjadi mahasiswa bimbingan skripsi hingga saat ini.

(14)

8. Rekan-rekan seperjuangan S2 EPN 2010: Pak Ujang, Ardhiyan, Danil, Kanti, Fanny, dan Rena, beserta rekan-rekan di Sekolah Pascasarjana IPB atas diskusi, dukungan dan motivasinya; tak-terkecuali rekan dan kolega di Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya.

9. Keluarga besar mertua Bapak Abu Haris Fabila (Alm.) dan Ibu Robi’ah (almh.), beserta kakak-kakak dan adik-adik tersayang, atas dukungan dan doa yang selalu dipanjatkan.

Secara khusus, dengan penuh rasa hormat dan kasih sayang, penulis menghaturkan terima kasih yang tak-terhingga kepada kedua orang tua tercinta, ibu dan bapak, yang tidak pernah lelah mendoakan, mendukung dan memberikan yang terbaik bagi keberhasilan penulis hingga saat ini, termasuk menjaga kedua ananda tersayang (Mahira & Faaza) selama penulis melanjutkan studi di Bogor. Terima kasih yang tulus penulis haturkan kepada suami terkasih, Budianto, S.T., dan ananda tersayang (Mahira Fathiyyah Annasywa, Faaza Fathan Akbar, dan Almira Fathiyyah Annamiyah), yang selalu mendukung dan memahami dengan penuh kesabaran dan kasih sayang, serta tidak pernah putus mendoakan penulis.

Penulis menyadari tesis ini tidak luput dari kekurangan, namun demikian besar harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2013

(15)

Penulis dilahirkan di Palembang, Sumatera Selatan, pada 10 Pebruari 1978 dari Bapak Slamet Riyanto, B.A. dan Ibu Sri Hartati, A.Md. Penulis merupakan puteri pertama dari tiga bersaudara.

Tahun 1996 penulis lulus dari SMAN 3 Palembang dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Ogan Ilir, dan lulus pada tahun 2001. Selama tahun 2001 – 2003, penulis pernah bekerja magang di beberapa instansi pemerintahan di Provinsi Sumatera Selatan (Badan Pengelolaan Dampak Lingkungan; Dinas Koperasi, Pengusaha Kecil & Menengah dan Penanaman Modal; serta Badan Perencanaan Pembangunan Daerah). Selanjutnya pada tahun 2004 – 2005, penulis tergabung dalam Proyek Pemantapan Citra Pariwisata pada Kementerian Budaya dan Pariwisata, Jakarta.

(16)
(17)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxi

DAFTAR GAMBAR ... xxv

DAFTAR LAMPIRAN ... xxvii

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12

1.4 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 13

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah ... 15

2.2 Dampak Konversi Lahan Sawah terhadap Ketersediaan dan Akses Pangan ………... 17

2.3 Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian terhadap Ketersediaan dan Akses Pangan ……… 21

2.4 Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian terhadap Tingkat Kesejahteraan ... 24

III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teoritis ... 25

3.1.1 Teori Rente Lahan ... 25

3.1.2 Teori Produksi ... 27

3.1.3 Dampak Konversi Lahan Sawah terhadap Ketersediaan dan Akses Pangan ... 29

3.1.4 Teori Permintaan ... 30

3.1.5 Elastisitas ... 33

3.1.6 Konsep Surplus Produsen dan Surplus Konsumen ... 34

3.1.7 Dampak Konversi Lahan Sawah terhadap Perubahan Tingkat Kesejahteraan ... 36

3.1.8 Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian terhadap Perubahan Tingkat Kesejahteraan ... 37

3.1.8.1 Kebijakan Harga ... 37

3.1.8.2 Kebijakan Impor ... 39

(18)

IV PERUMUSAN MODEL DAN PROSEDUR ANALISIS

4.1 Spesifikasi Model 47

4.1.1 Blok Konversi Lahan Sawah 49

4.1.1.1 Luas baku Sawah ... 49

4.1.1.2 Konversi Lahan Sawah ... 50

4.1.2 Blok Ketersediaan Pangan 51 4.1.2.1 Luas Areal Panen Padi ... 51

4.1.2.2 Produktivitas Padi ... 53

4.1.2.3 Produksi Padi ... 54

4.1.2.4 Impor Beras Indonesia ... 56

4.1.2.5 Penawaran Beras Indonesia ... 57

4.1.2.6 Jumlah Beras Susut Indonesia ... 58

4.1.2.7 Ketersediaan Beras Indonesia ... 58

4.1.3 Blok Akses Pangan 59 4.1.3.1 Permintaan Beras Indonesia ... 59

4.1.3.2 Marjin Pemasaran Beras ... 60

4.1.3.3 Harga Riil (Gabah) Pembelian Pemerintah ... 61

4.1.3.4 Harga Riil Gabah di Tingkat Petani ... 62

4.1.3.5 Harga Riil Beras Eceran Indonesia .... 62

4.1.3.6 Inflasi Bahan Makanan ... 63

4.1.3.7 Akses Pangan per Kapita ... 64

4.1.3.8 Penerimaan Pemerintah dan Devisa Negara ... 64

4.2 Prosedur Analisis 65 4.2.1 Identifikasi Model ... 65

4.2.2 Metode Pendugaan Model ... 67

4.2.3 Validasi Model ... 72

4.2.4 Simulasi Model ... 73

4.2.5 Respon Bedakala Produksi Komoditas Pertanian ... 77

4.2.6 Elastisitas ... 78

4.2.7 Perubahan Tingkat Kesejahteraan ... 78

4.2.8 Jenis dan Sumber Data ... 79

V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Keragaan Umum Hasil Pendugaan Model ... 81

5.2 Keragaan Hasil Pendugaan Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia ... 83

5.2.1 Konversi Lahan Sawah ... 83

5.2.2 Luas Areal Panen Padi ... 87

5.2.3 Produktivitas Padi ... 92

5.2.4 Impor Beras Indonesia ... 98

5.2.5 Ketersediaan Beras per Kapita ... 101

5.2.6 Permintaan Beras Indonesia ... 103

5.2.7 Harga Riil (Gabah) Pembelian Pemerintah ... 104

5.2.8 Harga Riil Gabah Tingkat Petani ... 106

(19)

5.2.10 Inflasi Bahan Makanan ... 111

5.2.11 Akses Pangan per Kapita ... 112

VI ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN 6.1 Validasi Model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia ... 115

6.2 Evaluasi Dampak Alternatif kebijakan Ekonomi terhadap Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia Periode 1990 – 2010 ... 117

6.2.1 Konversi Lahan Sawah di Jawa, Luar Jawa, dan Indonesia dalam Kondisi dengan dan tanpa Impor ... 118

6.2.1.1 Konversi Lahan Sawah di Jawa ... 118

6.2.1.2 Konversi Lahan Sawah di Luar Jawa .... 125

6.2.1.3 Konversi Lahan Sawah di Indonesia ... 130

6.2.2 Peningkatan Konversi Lahan Sawah di Indonesia Sebesar 1 Persen dengan Alternatif Kebijakan Harga ... 135

6.2.3 Peningkatan Konversi Lahan Sawah di Indonesia Sebesar 1 Persen dengan Alternatif Kombinasi Kebijakan Harga dan Impor ... 138

6.3 Evaluasi Dampak Alternatif kebijakan Ekonomi terhadap Tingkat Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Beras di Indonesia Periode 1990 – 2010 ... 141

6.3.1 Konversi Lahan Sawah di Jawa, Luar Jawa, dan Indonesia dalam Kondisi dengan dan tanpa Impor ... 142

6.3.1.1 Konversi Lahan Sawah di Jawa ... 142

6.3.1.2 Konversi Lahan Sawah di Luar Jawa .... 144

6.3.1.3 Konversi Lahan Sawah di Indonesia ... 146

6.3.2 Peningkatan Konversi Lahan Sawah di Indonesia Sebesar 1 Persen dengan Alternatif Kebijakan Harga ... 148

6.3.3 Peningkatan Konversi Lahan Sawah di Indonesia Sebesar 1 Persen dengan Alternatif Kombinasi Kebijakan Harga dan Impor ... 150

VII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1 Kesimpulan ... 153

7.2 Implikasi Kebijakan ... 155

DAFTAR PUSTAKA ... 157

(20)
(21)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Laju pertumbuhan lahan sawah di Jawa dan luar Jawa, 2005 – 2009 ...

1

2. Laju pertumbuhan ketersediaan beras per kapita, 2006 – 2010 5

3. Peraturan/perundangan terkait dengan konversi lahan

pertanian ……… 10

4. Perbedaan antara HDG dan HPP ... 23

5. Dampak konversi lahan sawah terhadap perubahan indikator

kesejahteraan ... 37

6. Dampak kebijakan Harga Dasar Gabah (HDG) terhadap

perubahan indikator kesejahteraan ... 38

7. Dampak kebijakan tarif impor terhadap indikator

kesejahteraan ... 40

8. Dampak kebijakan kuota impor terhadap indikator

kesejahteraan ... 42

9. Hasil pendugaan parameter konversi lahan sawah di Jawa

(KLSJ) ... 84

10. Hasil pendugaan parameter konversi lahan sawah di luar Jawa (KLSLJ) ...

85

11. Hasil pendugaan parameter luas areal panen padi di Jawa

(LAPJ) ... 88

12. Hasil pendugaan parameter luas areal panen padi di Luar Jawa

(LAPLJ) ... 89

13. Hasil pendugaan parameter luas areal panen padi di Indonesia

(LAPI) ... 91

14. Hasil pendugaan parameter produktivitas padi di Jawa (YPPJ) 93

15. Hasil pendugaan parameter produktivitas padi di luar Jawa

(22)

16. Hasil pendugaan parameter produktivitas padi di Indonesia

(YPPI) ... 98

17. Hasil pendugaan parameter jumlah impor beras di Indonesia

(JMBI) ... 99

18. Hasil pendugaan parameter harga riil impor beras di Indonesia

(HMBIR) ... 101

19. Hasil pendugaan parameter ketersediaan beras per kapita

(TSBKPK) ... 102

20. Hasil pendugaan parameter permintaan beras Indonesia

(QDBI) ... 104

21. Hasil pendugaan parameter harga riil (gabah) pembelian

pemerintah (HPPGR) ... 105

22. Hasil pendugaan parameter harga riil gabah di tingkat petani

di Jawa (HGTTJR) ... 106

23. Hasil pendugaan parameter harga riil gabah di tingkat petani

di luar Jawa (HGTTLJR) ... 108

24. Hasil pendugaan parameter harga riil gabah di tingkat petani

di Indonesia (HGTTIR) ... 109

25. Hasil pendugaan parameter harga riil beras eceran di

Indonesia (HBEIR) ... 110

26. Hasil pendugaan parameter inflasi bahan makanan (IBM) ... 111

27. Hasil pendugaan parameter akses pangan per kapita (PPPKIR) 112

28. Hasil pengujian validasi Model Ketersediaan dan Akses

Pangan di Indonesia ... 116

29. Rekapitulasi dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap

perubahan nilai rata-rata peubah endogen periode 1990 – 2010 125

30. Rekapitulasi dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap perubahan nilai rata-rata peubah endogen periode 1990 – 2010

130

31. Rekapitulasi dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap perubahan nilai rata-rata peubah endogen periode 1990 – 2010

135

32. Rekapitulasi dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap perubahan nilai rata-rata peubah endogen periode 1990 – 2010

(23)

33. Rekapitulasi dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap

perubahan nilai rata-rata peubah endogen periode 1990 – 2010 141

34. Dampak alternatif kebijakan terhadap perubahan indikator kesejahteraan ekonomi tahun 1990 – 2010 ………...

144

35. Dampak alternatif kebijakan terhadap perubahan indikator

kesejahteraan ekonomi tahun 1990 – 2010 ………... 146

36. Dampak alternatif kebijakan terhadap perubahan indikator

kesejahteraan ekonomi tahun 1990 – 2010 ………... 148

37. Dampak alternatif kebijakan terhadap perubahan indikator

kesejahteraan ekonomi tahun 1990 – 2010 ...……… 149

38. Dampak alternatif kebijakan terhadap perubahan indikator

(24)
(25)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Laju pertumbuhan produktivitas padi sawah di Jawa dan luar

Jawa, 2001 – 2010 ... 4

2. Peta residu beras di Indonesia, 2008 ... 6

3. Ilustrasi rente lahan pada berbagai kualitas lahan ... 25

4. Penentuan locational rent function menurut model Von Thunen ...

26

5. Dampak konversi lahan sawah terhadap ketersediaan dan

akses pangan nasional ... 30

6. Kurva permintaan ... 31

7. Surplus produsen dan surplus konsumen ... 35

8. Dampak konversi lahan sawah terhadap perubahan surplus produsen dan surplus konsumen ………

36

9. Kurva harga dasar yang efektif ………... 38

10. Dampak tarif impor terhadap perubahan tingkat kesejahteraan ...

40

11. Dampak kuota impor terhadap perubahan tingkat

kesejahteraan ... 41

12. Kerangka konseptual model Ketersediaan dan Akses Pangan

di Indonesia ... 43

13. Kerangka pemikiran operasional penelitian ... 44

(26)
(27)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data peubah ketersediaan dan akses pangan di Indonesia ... 163

2. Data Peubah ketersediaan dan akses pangan di Indonesia

(lanjutan) ... 164

3. Data peubah ketersediaan dan akses pangan di Indonesia

(lanjutan) ... 165

4. Data peubah ketersediaan dan akses pangan di Indonesia

(lanjutan) ... 166

5. Data peubah ketersediaan dan akses pangan di Indonesia

(lanjutan) ... 167

6. Data peubah ketersediaan dan akses Pangan di Indonesia

(lanjutan) ... 168

7. Data peubah ketersediaan dan akses pangan di Indonesia

(lanjutan) ... 169

8. Data peubah ketersediaan dan akses pangan di Indonesia

(lanjutan) ... 170

9. Data peubah ketersediaan dan akses pangan di Indonesia

(lanjutan) ... 171

10. Data peubah ketersediaan dan akses pangan di Indonesia

(lanjutan) ... 172

11. Nilai elastisitas jangka pendek dan jangka panjang pada setiap

peubah dalam bentuk rasio dan perkalian ... 173

12. Program Model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia.. 174

13. Hasil pendugaan Model Ketersediaan dan Akses Pangan di

Indonesia dengan Metode 2-SLS ... 181

14. Program multikolinieritas Model Ketersediaan dan Akses

Pangan di Indonesia ……….. 194

15. Hasil multikolinieritas Model Ketersediaan dan Akses Pangan

(28)

16. Program validasi model dan simulasi dasar ... 206

17. Hasil validasi model dan simulasi dasar ... 209

18. Program dan contoh hasil simulasi peningkatan konversi

lahan di Indonesia sebesar 1 persen dan tanpa impor ……... 213

19. Dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap perubahan

nilai rata-rata peubah endogen periode 1990 – 2010 ……... 220

20. Dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap perubahan

nilai rata-rata peubah endogen periode 1990 – 2010 ……... 221

21. Dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap perubahan

nilai rata-rata peubah endogen periode 1990 – 2010 ……... 222

22. Dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap perubahan

nilai rata-rata peubah endogen periode 1990 – 2010 ……... 223

23. Dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap perubahan

(29)

1.1 Latar Belakang

Lahan sawah memiliki fungsi strategis karena merupakan penyedia bahan pangan utama bagi penduduk Indonesia, disamping sebagai lingkungan biofisik paling optimal bagi tanaman padi. Data statistik menunjukkan luas baku sawah di Indonesia (tidak termasuk di Maluku dan Papua), pada tahun 1980 tercatat seluas 7.7 juta hektar. Pada tahun 1990 luas baku sawah tersebut bertambah menjadi 8.3 juta hektar. Selama tahun 1980 – 1990 luas baku tersebut cenderung meningkat sebesar 7.86 persen, sebaliknya tahun 1990 – 2000 menurun sebesar 9.41 persen. Hal ini disebabkan terjadinya konversi lahan sawah, sehingga terjadi pengurangan lahan baku sawah seluas 0.8 juta ha dalam satu dekade. Luas baku sawah tahun 2009 tercatat seluas 8.1 juta hektar yang berarti terjadi peningkatan sebesar 7.08 persen selama tahun 2000 – 2009. Pertambahan luasan tersebut dimungkinkan karena belum memperhitungkan adanya konversi lahan sebagai dampak pesatnya pembangunan (Wahyunto, 2009). Jika didisagregasi berdasarkan wilayah, maka luas baku lahan sawah yang ada berada di Jawa sekitar 40.33 persen, dan sisanya sekitar 59.67 persen terdapat di luar Jawa (BPS, 1981 – 2011). Laju pertumbuhan luas baku sawah di Jawa dan luar Jawa selama beberapa tahun terakhir disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Laju pertumbuhan lahan sawah di Jawa dan luar Jawa, 2005-2009 (%)

Jenis Lahan Sawah Laju Pertumbuhan per Tahun (%)

2005 – 2006 2006 – 2007 2007 – 2008 2008 – 2009 a. Sawah Irigasi

- Jawa -0.410 0.320 0.590 0.160

- Luar Jawa 0.420 2.140 3.790 2.840 - Indonesia -0.020 1.180 2.120 1.460 b. Sawah Non-Irigasi

(30)

Berdasarkan data statistik diketahui bahwa luas baku lahan sawah di Jawa cenderung menurun, sementara luas lahan sawah di luar Jawa meningkat dalam tiga dekade tahun terakhir ini. Fenomena ini menunjukkan bahwa telah terjadi konversi lahan sawah ke penggunaan lain non-pertanian di Jawa. Namun demikian, sampai saat ini data konversi belum tersedia secara akurat. Sumaryanto

et al. (2006) menyebutkan bahwa ketidak-akuratan data konversi diakibatkan lemahnya sistem pemantauan dan dokumentasi konversi lahan sawah. Sementara itu, di luar Jawa konversi lahan masih bisa diimbangi dengan pencetakan sawah baru, walaupun upaya pencetakan sawah baru ini juga memiliki keterbatasan.

Secara umum, terdapat dua sumber data yang dapat dimanfaatkan untuk mengkaji luas konversi lahan sawah, yaitu: (a) kompilasi data konversi lahan yang dilakukan oleh Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil), Dinas Pertanian, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN), atau (b) data tahunan luas lahan sawah yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan konversi lahan sawah ditunjukkan oleh perubahan luas sawah antartahun yang bertanda negatif (Irawan, 2011). Berdasarkan data yang disepakati, rata-rata lahan sawah yang terkonversi ke penggunaan lain dalam beberapa tahun terakhir ini sekitar 110 ribu hektar per tahun, yang mencakup konversi ke penggunaan non-pertanian dan ke penggunaan lahan untuk usahatani non-sawah (Bappenas, 2010). Sedangkan berdasarkan data luas baku lahan sawah dalam tiga dekade terakhir, rata-rata konversi lahan sawah yang terjadi di Jawa sebesar 8 346.65 hektar per tahun dan di luar Jawa sebesar 2 269.75 hektar per tahun, sehingga luas baku lahan sawah terkonversi rata-rata setiap tahunnya mencapai luasan 10 616.4 hektar per tahun (BPS, 1990-2011).

(31)

berkisar tiga juta jiwa per tahun. Peningkatan laju pertambahan penduduk yang masih tinggi menuntut adanya penyediaan pangan yang semakin banyak setiap tahun, selain juga tuntutan kualitas, keamanan, dan keragaan pangan.

Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terus meningkat. Per-tumbuhan ekonomi membutuhkan lahan untuk penggunaan non-pertanian sebagai konsekuensi logis dari perkembangan wilayah, dimana lahan akan dimanfaatkan sesuai kaidah pemanfaatan terbaik dengan hasil tertinggi (thebest and the highest use of land). Hal ini menyebabkan pergeseran penggunaan lahan pada aktivitas ekonomi yang memberikan keuntungan per satuan lahan yang jauh lebih tinggi (Bappenas, 2006). Dari sudut pandang ekonomi, konversi lahan pertanian di-sebabkan oleh dua faktor, yaitu: 1) tarikan permintaan lahan untuk kegiatan non-pertanian; dan 2) dorongan penawaran lahan pertanian oleh petani pemilik lahan. Kedua prilaku permintaan dan penawaran lahan pertanian tersebut tidak terlepas dari kebijakan pembangunan ekonomi, sosial, dan pengembangan wilayah (Irawan, 2008). Kondisi ini tentu saja tidak menguntungkan, terutama bagi sektor pertanian, yang sampai saat ini masih merupakan penyedia lapangan kerja terbesar di Indonesia.

(32)

Selain berdampak terhadap hilangnya kesempatan kerja, baik petani penggarap maupun buruh tani, sangat disayangkan pula bahwa konversi lahan sawah justru terjadi pada lahan-lahan yang mempunyai produktivitas tinggi di Jawa dan di sekitar kota-kota besar yang merupakan pusat pembangunan di luar Jawa (Simatupang & Rusastra, 2004). Tampak bahwa Jawa dengan sebaran luas lahan sawah sekitar 40 persen dari total luas lahan sawah di Indonesia mempunyai produktivitas tertinggi. Dengan demikian, lahan sawah di Jawa sesungguhnya merupakan andalan pemasok utama beras nasional (sebesar 60 persen). Namun dalam jangka menengah, peningkatan produksi pangan melalui peningkatan produktivitas semata tidaklah memadai. Hal ini dikarenakan produktivitas padi mengalami leveling-off. Laju pertumbuhan produktivitas padi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa terus berfluktuatif dan cenderung mengalami penurunan sebagaimana disajikan pada Gambar 1.

[image:32.595.70.484.61.822.2]

Sumber: BPS (2001-2011), diolah.

Gambar 1 Laju pertumbuhan produktivitas padi sawah di Jawa dan luar Jawa, 2001 – 2010.

(33)

kondisi dimana setiap individu dan rumah tangga memiliki akses secara fisik, ekonomi, dan ketersediaan pangan yang cukup, aman, serta bergizi untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat, harus dipenuhi sebagaimana diatur dalam UU No. 7/1996 tentang Pangan dan PP No. 68/2002 tentang Ketahanan Pangan (Kementan, 2011). Berdasarkan definisi tersebut, ketahanan pangan terdiri atas tiga subsistem1, yaitu: (1) keter-sediaan pangan; (2) akses pangan; dan (3) penyerapan pangan.

Konversi lahan sawah dapat menimbulkan dampak negatif terhadap dua subsistem ketahanan pangan yang pertama, yaitu: ketersediaan pangan dan akses pangan. Ketersediaan pangan domestik diperoleh dari produksi ditambah impor dikurangi kebutuhan untuk konsumsi pakan, benih, dan tercecer, serta ekspor. Laju pertumbuhan ketersediaan beras pada tahun 2005-2009 adalah sebesar 3.5 persen, dengan laju yang sangat signifikan pada tahun 2008 – 2009 sebesar 2.95 persen (DKP, 2011). Namun tidak demikian dengan ketersediaan beras per kapita yang cenderung mengalami penurunan akibat laju pertumbuhan penduduk yang masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan ketersediaan beras. Laju pertumbuhan ketersediaan beras per kapita disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Laju pertumbuhan ketersediaan beras per kapita, 2006-2010

Uraian Tahun

2006 2007 2008 2009 2010

ƒ Ketersediaan beras

(000 ton) 30 841.000 32 312.000 34 166.000 35 174.000 35 420.200

ƒ Penduduk (000 jiwa) 223 791.320 227 176.250 230 612.370 234 100.470 237 641.330

ƒ Laju pertumbuhan ketersediaan per kapita

(%) -0.010 0.030 0.040 0.010 -0.010

Sumber: DKP (2011), diolah.

Selanjutnya, aspek aksesibilitas pangan yang dapat diartikan sebagai kemampuan akses, baik secara fisik maupun ekonomik, terhadap sumber pangan

      

1 http://www.lecture.brawijaya.ac.id/nuhfil.

(34)

secara sosial dan demografis sepanjang waktu dan di mana saja. Akses secara fisik terkait dengan distribusi pangan. Beragamnya kondisi sumber daya alam dan iklim menyebabkan perbedaan kemampuan daerah dalam memproduksi bahan pangan, utamanya beras (Gambar 2). Gambar tersebut menunjukkan bahwa mayoritas daerah di Jawa merupakan surplus beras, sedangkan di luar Jawa hanya beberapa daerah saja yang mengalami surplus beras. Sebaran wilayah sentra produksi beras yang tidak sejalan dengan sebaran wilayah pasar dan sentra konsumen tersebut menyebabkan terjadinya kesenjangan dalam hal distribusi pangan. Sementara itu, indikator keberhasilan dalam distribusi pangan adalah pada saat pangan telah sampai ke tangan konsumen (DKP, 2011). Sementara itu, akses secara ekonomi terkait dengan harga pangan dan tingkat pendapatan atau daya beli masyarakat. Harga beras medium di tingkat eceran mengalami

peningkatan yang cukup signifikan selama tahun 2005 – 2010, yaitu: Rp3 475.00/kg; Rp4 463.00/kg; Rp5 158.00/kg; Rp5 485.00/kg; Rp5 978.00/kg;

dan Rp7 227.00/kg2. Hal ini mengakibatkan tingginya inflasi bahan makanan, yang kemudian akan berdampak pada penurunan pendapatan masyarakat.

Sumber: Nuryartono & Prasetyo (2009)

Gambar 2 Peta residu beras di Indonesia, 2008.

      

2

(35)

Ketahanan pangan nasional membutuhkan lahan pertanian dengan kuantitas dan kualitas yang memadai secara berkelanjutan. Ketersediaan pangan yang menurun akan mengakibatkan penurunan akses terhadap pangan tersebut. Sebagai salah satu faktor kunci dalam sistem produksi pertanian, ketersediaan lahan masih menjadi tantangan berat dalam pembangunan pertanian hingga saat ini karena sifatnya yang terbatas. Oleh karena itu, konversi lahan sawah merupakan ancaman yang serius dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan yang mengarah pada kemandirian pangan. Untuk itu, penelitian ini penting dilakukan untuk menganalisis dampak konversi lahan sawah yang terjadi terhadap ketersediaan dan aksesibilitas pangan nasional, mengingat saat ini Indonesia menempati urutan ke-4 dunia dalam banyaknya jumlah penduduk, yang memberi konsekuensi terhadap tingginya permintaan konsumsi pangan.

1.2 Perumusan Masalah

Sampai dengan pertengahan dasawarsa 80-an, masalah konversi lahan sawah belum menjadi isu kebijakan yang penting. Isu kebijakan mengenai perlunya pengendalian konversi lahan sawah baru mengemuka sejak akhir dasawarsa 80-an ketika defisit beras mulai terasa, yang hanya berselang sekitar tiga tahun setelah swasembada beras tercapai pada tahun 1984. Konversi lahan sawah dinilai sangat dilematis. Satu sisi, pertumbuhan ekonomi membutuhkan lahan untuk penggunaan non-pertanian sebagai konsekuensi logis dari perkembangan wilayah, dimana alokasi lahan akan mengarah pada penggunaan yang menghasilkan surplus ekonomi (land rent) yang lebih tinggi (Barlowe, 1978). Namun di sisi lain, lahan sawah merupakan faktor produksi penting yang fungsinya tidak dapat digantikan oleh yang lain, dimana konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian akan mengurangi kapasitas produksi pangan nasional.

(36)

pembangunan perumahan sangat dominan di Jawa sebesar 74.96 persen, sedangkan di luar Jawa konversi lahan sawah tersebut sebagian besar ditujukan untuk pembangunan sarana publik sebesar 43.59 persen dan pembangunan pe-rumahan sebesar 31.92 persen (Irawan, 2005). Laju pertumbuhan penduduk yang masih mencapai 1.49 persen per tahun juga menyebabkan permintaan terhadap lahan sawah semakin tinggi, baik lahan sawah sebagai salah satu fungsi produksi padi maupun lahan sawah sebagai komoditas untuk perumahan, pariwisata, dan sebagainya.

Jika didekomposisi, pertumbuhan produksi bersumber dari dua faktor, yaitu: 1) pertambahan areal panen melalui pencetakan sawah baru; dan 2) pening-katan produktivitas (Sumaryanto et al., 2006). Berdasarkan data empiris, lahan yang baru dibuka mempunyai produktivitas yang rendah, karena mempunyai ber-bagai kendala yaitu: fisik (Dariah & Agus, 2007), kimia (Setyorini et al., 2007), dan biologi (Saraswati et al., 2007), serta berbagai kendala sosial, kelembagaan, infrastruktur, dan rendahnya tingkat keuntungan. Selain itu, pencetakan sawah baru dalam rangka pemulihan produksi pangan pada kondisi semula membutuh-kan jangka waktu yang lama, yaitu sekitar 5 – 10 tahun dan biaya investasi yang sangat besar. Dengan demikian, lahan sawah yang baru dibuka tidak dapat digunakan secara optimal (Swastika et al., 2007). Sementara itu, penelitian Adimiharja et al. (2004) juga menyebutkan bahwa penurunan produksi padi secara nasional akibat konversi lahan sawah masih sulit diimbangi dengan upaya peningkatan perluasan areal sawah di luar Jawa. Menurut perhitungan kasar, untuk mensubstitusi hilangnya produksi padi dari satu hektar lahan sawah beririgasi di Jawa diperlukan sekitar 4 – 5 hektar lahan sawah baru di luar Jawa.

(37)

persen. Data empiris membuktikan bahwa semakin tinggi produktivitas lahan sawah yang terkonversi, semakin tinggi pula kerugian yang terjadi. Kerugian itu berupa hilangnya kesempatan kapasitas untuk memproduksi padi antara 4.5 – 12.5 ton per hektar per tahun, tergantung pada kualitas lahan sawah yang bersangkutan (Soemaryanto et al., 2006). Perhitungan kerugian ini hanya berdasarkan kesempatan produksi padi yang hilang, belum memperhitungkan kerugian sosial, budaya dan lingkungan. Konversi lahan sawah di Jawa yang hampir tiga kali lipat lebih besar dengan produktivitas padi yang juga lebih tinggi dibandingkan di luar Jawa, merupakan ancaman serius bagi ketersediaan produksi pangan dalam negeri. Terlebih Jawa merupakan penghasil sekitar 60 persen produksi padi nasional. Kondisi ini semakin memperparah dampak konversi lahan sawah, disamping dampaknya yang bersifat permanen, kumulatif dan progresif (Irawan, 2005).

(38)
[image:38.595.59.482.80.828.2]

Tabel 3 Peraturan/perundangan terkait dengan konversi lahan pertanian

No. Peraturan/Perundangan Garis Besar Isi (khususnya yang terkait dengan konversi lahan

pertanian)

1 UU No.24/1992 Penyusunan RTRW harus memper-timbangkan budidaya pangan/SIT (sawah irigasi teknis)

2 Kepres No.53/1989 Pelarangan konversi SIT/tanah pertanian subur untuk pembangunan kawasan industri

3 Kepres No.33/1990 Pelarangan pemberian izin perubahan fungsi lahan basah dan pengairan beririgasi bagi pembangunan kawasan industri

4 SE-MNA/KBPN 410-1851/1994 Pencegahan penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan non-pertanian melalui penyusunan RTRW

5 SE-MNA/KBPN 410-2261/1994 Pemberian izin lokasi tidak boleh mengkonversi sawah irigasi teknis (SIT)

6 SE/KBAPPENAS 5334/MK/9/1994

Pelarangan konversi lahan sawah irigasi teknis untuk non-pertanian

7 SE-MNA/KBPN 5335/MK/1994 Penyusunan RTRW Dati II melarang konversi lahan sawah irigasi teknis untuk non-pertanian

8 SE-MNA/KBPN 5417/MK/10/1994

Efisiensi pemanfaatan lahan bagi pembangunan perumahan

9 SE-MENDAGRI 474/4263/SJ/1994

Perlindungan sawah irigasi teknis untuk mendukung swasembada pangan 10 SE-MNA/KBPN 460-1594/1996 Pencegahan konversi tanah sawah dan

irigasi teknis menjadi tanah kering 11 UU No. 41/ 20093 Perlindungan Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan (LP2B)

12 PP No. 12/20124 Insentif perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B)

Sumber: Bappenas (2006)

      

3

Http://www.perundangan.deptan.go.id

4

(39)

Selain konversi lahan sawah dan produktivitas padi, permasalahan dis-tribusi pangan juga menjadi hambatan dalam ketahanan pangan. Kementan (2011) mengidentifikasi penyebab utama kurangnya bahan pangan di suatu wilayah, yaitu terkait dengan permasalahan: 1) dukungan infrastruktur yang minim; 2) sarana transportasi yang terbatas; 3) sistem transportasi yang kurang efektif dan efisien; dan 4) masalah keamanan dan pungutan liar. Distribusi pangan yang tidak merata menyebabkan tingginya harga dan inflasi bahan pangan. Data inflasi bahan makanan selama tahun 2005 – 2010 masing-masing adalah sebagai berikut: 13.91, 12.94, 11.26, 16.35, 3.88, dan 15.64 persen. Inflasi bahan makanan di Indonesia yang mencapai di atas 10 persen ini dinilai masih tinggi.

Sementara itu, tidak hanya permasalahan di atas yang menjadi perhatian pemerintah di dalam pembangunan pertanian. Untuk mencapai suatu tujuan dalam pembangunan pertanian, pemerintah menerapkan beberapa kebijakan sekaligus, seperti kebijakan ekonomi dan perdagangan. Sejak meratifikasi perjanjian GATT-WTO pada tahun 1995, Indonesia dihadapkan pada konsekuensi logis untuk melakukan liberalisasi perdagangan melalui komitmen penghapusan segala bentuk proteksi dalam perdagangan. Kebijakan ekonomi di sektor pertanian yang terkait bidang produksi dan perdagangan, antara lain: kebijakan subsidi dan kebijakan impor. Kebijakan subsidi terdiri dari: a) subsidi harga input, seperti: pupuk dan benih; b) subsidi modal kerja; dan c) subsidi harga output, seperti: harga dasar dan harga atap. Sementara itu, kebijakan impor meliputi: kebijakan tarif impor dan kebijakan kuota impor. Kebijakan-kebijakan ini sedikit demi sedikit dihapuskan dengan alasan telah mengakibatkan terjadinya distorsi pasar yang merugikan produsen dan konsumen.

(40)

ini belum berhasil secara optimal, maka penelitian ini penting dilakukan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan berikut ini:

1 Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa?

2 Bagaimanakah dampak konversi lahan sawah yang terjadi terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional?

3 Bagaimanakah dampak implementasi berbagai alternatif kebijakan ekonomi di sektor pertanian terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional?

4 Bagaimanakah dampak implementasi berbagai alternatif kebijakan ekonomi di sektor pertanian terhadap tingkat kesejahteraan pelaku ekonomi beras di Indonesia?

1.3 Tujuan Dan Manfaat

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis dampak konversi lahan sawah di Indonesia terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional dalam kaitannya dengan implementasi kebijakan ekonomi di sektor pertanian. Untuk menjawab tujuan umum tersebut, maka didahului dengan pencapaian tujuan khusus dari penelitian ini, yaitu:

1 Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa.

2 Menganalisis dampak konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional.

3 Menganalisis dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional.

4 Menganalisis dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian terhadap perubahan surplus produsen, surplus konsumen, dan penerimaan pemerintah, sebagai indikator tingkat kesejahteraan.

Manfaat penelitian ini mencakup dua hal pokok, yaitu:

(41)

2 Manfaat operasional; sebagai masukan bagi pemerintah dalam penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya lahan sawah dalam jangka panjang, sehingga pembangunan pertanian lebih komprehensif dan berkelanjutan.

1.4 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini mencakup:

1 Penelitian ini difokuskan untuk melihat dampak konversi lahan yang terjadi terhadap ketersediaan dan akses pangan yang merupakan dua aspek ketahanan pangan nasional.

2 Sehubungan diberlakukannya liberalisasi perdagangan komoditas beras, penelitian ini mempelajari juga bagaimana dampak implementasi kebijakan ekonomi di sektor pertanian, terutama bidang perdagangan produk-produk pertanian, terhadap perubahan kesejahteraan pelaku ekonomi.

Karena keterbatasan data, maka untuk mencapai tujuan penelitian ini dibangun suatu model yang merefleksikan fenomena ekonomi beras dengan membatasi hal-hal berikut:

1 Pangan hanya dibatasi pada komoditas beras saja, mengingat jenis pangan ini masih menjadi makanan pokok bagi 98 persen penduduk Indonesia.

2 Data konversi lahan sawah yang digunakan adalah data konversi lahan netto, dimana luas lahan sawah tahun t adalah luas lahan sawah tahun sebelumnya ditambah pencetakan sawah baru dikurangi konversi lahan sawah. Karena data pencetakan sawah baru dan konversi lahan sawah tidak diketahui, maka data konversi lahan sawah netto ditunjukkan oleh perubahan luas sawah antartahun yang bertanda negatif.

3 Penelitian ini menganalisis dampak konversi lahan sawah terhadap dua subsistem ketahanan pangan saja, yaitu: a) ketersediaan pangan, dan b) akses pangan, tidak termasuk subsistem penyerapan pangan. Konversi lahan sawah yang didorong oleh berbagai faktor dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kedua subsistem tersebut.

4 Indikator ketersediaan dan akses pangan dihitung per kapita agar lebih riil menggambarkan kemampuan masing-masing individu.

(42)

Penelitian ini difokuskan pada analisis kuantitas pangan, yang merupakan syarat keharusan untuk menciptakan ketahanan pangan. Kuantitas pangan dalam penelitian ini diproksi dari ketersediaan beras per kapita. Keterbatasan data terkait stabilitas pangan, yang menggambarkan ketersediaan pangan yang merata menurut tempat dan waktu, tidak dibahas dalam penelitian ini.

6 Akses pangan dibagi dua, yaitu: a) secara ekonomik, dan b) secara fisik.

Akses pangan secara ekonomik, diproksi dari pendapatan penduduk Indonesia per kapita. Sementara itu, akses fisik hanya diwakili oleh ketersediaan infrastruktur jalan yang diproksi dari panjang jalan nasional di Indonesia. 7 Harga beras dunia menggunakan harga beras Thailand 25 persen FOB (freight

on board) Bangkok, sedangkan harga beras domestik yang digunakan adalah harga beras dengan kualitas medium karena merupakan beras yang paling banyak dikonsumsi masyarakat.

8 Permintaan lahan sawah untuk output non-sawah diwakili oleh permintaan perumahan/bangunan. Hal ini terkait dengan keterbatasan data yang dimiliki serta merujuk pada penelitian Irawan (2005) yang menyebutkan bahwa alokasi konversi lahan sawah untuk penggunaan perumahan di Jawa memiliki persentase alokasi yang besar (74.960 persen). Selanjutnya permintaan perumahan/bangunan ini diproksi dari kontribusi sektor perumahan (data BPS tahun 1980-an), yang kemudian berganti nama menjadi sektor bangunan (data BPS tahun 1990 hingga sekarang), terhadap Produk Domestik Regional Bruto (%).

(43)

II TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian mengenai beras di Indonesia telah banyak dilakukan. Namun demikian, berikut disarikan beberapa temuan hasil penelitian yang terkait dengan konversi lahan sawah, ketersediaan dan akses pangan, serta impor dan tingkat kesejahteraan dalam penelitian ini.

2.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah

(44)

Selanjutnya, penelitian Chengli et al. (2003) mengenai alih fungsi penggunaan lahan pertanian pangan di China selama tahun 1961 – 1998, dapat dijadikan sebagai acuan komparasi. Hasil penelitian menyebutkan bahwa pembangunan ekonomi secara nasional telah mendorong terjadinya alih fungsi lahan padi di China. Selama periode tersebut luas total lahan pertanian berfluktuasi. Namun, sejak tahun 1976 luas lahan padi di China terus menurun, hingga tercatat seluas 31 juta hektar pada tahun 1998. Alih-fungsi penggunaan lahan ini dipengaruhi oleh faktor ekonomi (misal: urbanisasi, daya beli petani, dan harga), sosial (misal: pemilikan lahan dan kebijakan lahan nasional), dan ekologi (misal: perubahan iklim, degradasi lahan, dsb). Selain itu, alih-fungsi penggunaan lahan di China juga dipengaruhi adanya perubahan kebijakan dari kontrol pemerintah menjadi kontrol pasar, perdagangan dunia serta pasar domestik.

Hualou et al. (2007) menganalisis karakteristik, faktor pendorong dan kebijakan untuk menekan perubahan penggunaan lahan di Kunshan, Provinsi Jiangsu, China. Penelitian ini menggunakan peta remote sensing (RS) dan data sosial ekonomi. Berdasarkan peta remote sensing (RS) diketahui bahwa lahan sawah, lahan kering dan hutan mengalami penurunan masing-masing sebesar 8.2 persen, 29 persen dan 2.6 persen selama tahun 1987 – 1994; 4.1 persen, 7.6 persen dan 8 persen selama tahun 1994 – 2000. Sementara itu, dalam waktu yang ber-samaan selama tahun 1987 – 1994 terjadi peningkatan untuk penggunaan kolam sebesar 48 persen, perumahan di perkotaan sebesar 87.6 persen, perumahan di perdesaan sebesar 41.1 persen, dan konstruksi sebesar 511.8 persen. Sedangkan selama tahun 1994 – 2000 masing-masing mengalami peningkatan sebesar 3.6, 28.1, 23.4 dan 47.1 persen. Fragmentasi di semua wilayah terjadi secara signi-fikan. Empat faktor pendorong dalam perubahan penggunaan lahan di Kunshan adalah industrialisasi, urbanisasi, pertumbuhan ekonomi, dan reformasi ekonomi China. Kebijakan yang disarankan adalah pembatasan pertumbuhan perkotaan dan kebijakan berbasis insentif.

(45)

sebagainya; dan (b) sebagai faktor produksi bagi berbagai sektor seperti: per-tanian, industri, dan infrastruktur. Jika dilihat dari elastisitas harganya, permintaan lahan non-pertanian lebih elastis karena banyaknya alternatif penggunaan lahan, tingginya produktivitas, tingginya distribusi pendapatan di perkotaan, dan dekatnya hubungan dengan pasar modal. Sedangkan elastisitas harga permintaan lahan pertanian tidak elastis karena rendahnya produktivitas, kurangnya alternatif penggunaan lahan, identik dengan kemiskinan petani, serta sulitnya kegiatan usaha tani.

Berdasarkan beberapa temuan empiris tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa konversi lahan sawah terjadi sebagai akibat tingginya persaingan lahan untuk penggunaan sawah maupun non-sawah. Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah adalah: faktor ekonomi (pertumbuhan ekonomi yang mengakibatkan industrialisasi dan urbanisasi, daya beli petani, dan harga), sosial (seperti: pertambahan penduduk, pemilikan lahan, dan sebagainya), dan ekologi (seperti: perubahan iklim, degradasi lahan). Lahan sawah yang dikonversi biasa-nya dialokasikan penggunaanbiasa-nya untuk perumahan, ublic y, pembangunan sarana ublic, pariwisata, dan sebagainya.

2.2 Dampak Konversi Lahan Sawah terhadap Ketersediaan dan Akses Pangan

(46)

kerja dan pendapatan komunitas setempat yang akhirnya dapat menyebabkan perubahan budaya dari masyarakat agraris ke masyarakat urban.

Sudaryanto (2005) juga menitik-beratkan penelitiannya pada dampak konversi lahan sawah terhadap produksi pangan nasional. Berdasarkan hasil penelitiannya diketahui bahwa selama tahun 1981 – 1999 telah terjadi konversi lahan sawah yang menyebabkan kehilangan produksi padi sebesar 8.89 juta ton dengan rincian kehilangan produksi di Jawa sekitar 6.86 juta ton dan di luar Jawa 2.03 juta ton. Data produksi tahun 1981, 1990, dan 2001 menunjukkan bahwa berkurangnya luas lahan di Jawa belum menurunkan luas areal panen maupun produksi padi, bahkan luas panen mengalami peningkatan. Peningkatan luas areal panen di Jawa tersebut disebabkan oleh peningkatan intensitas tanam, sedangkan peningkatan produktivitas disebabkan oleh perbaikan penggunaan teknologi, khususnya penggunaan varietas unggul. Selain itu, konversi lahan sawah di Jawa dan tingkat nasional belum berdampak pada penurunan produksi padi, karena adanya pencetakan sawah baru yang relatif besar di luar Jawa. Namun demikian, pencetakan sawah baru ini membutuhkan waktu yang lama untuk menghasilkan produktivitas yang optimal, sehingga konversi lahan pertanian mengakibatkan berkurangnya lahan pertanian dan pelambatan kapasitas produksi pangan.

(47)

lokasi tersebut akan semakin besar akibat konversi lahan ikutan yang terjadi di lokasi sekitarnya.

Ketersediaan pangan dalam kuantitas yang sesuai kebutuhan secara nasional harus diikuti dengan distribusi pangan yang merata menurut tempat dan waktu sehingga dapat diakses oleh konsumen setiap saat. Akses pangan dibedakan atas: (a) akses fisik, yang dipengaruhi oleh sistem distribusi pangan; dan (b) akses ekonomik, yang dipengaruhi oleh daya beli pangan rumah tangga. Sementara itu daya beli pangan setiap rumah tangga sangat tergantung kepada harga pangan dan pendapatan rumah tangga yang bersangkutan. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa konversi lahan pertanian tidak hanya mengurangi aksesibilitas ekonomik para buruh tani secara langsung, namun juga menurunkan daya beli pangan kelompok masyarakat lainnya yang secara tidak langsung merupakan dampak dari konversi lahan sawah (Irawan, 2005). Sementara itu, indikator yang digunakan untuk mengukur dimensi daya beli (standar hidup layak) adalah real per kapita GDP adjusted1. Hal ini berdasarkan indikator UNDP (United Nations Develop-ment Programme).

Selanjutnya, temuan Ruswandi et al. (2007) menyatakan bahwa konversi lahan pertanian dalam jangka panjang akan meningkatkan peluang terjadinya penurunan tingkat kesejahteraan petani, yang dapat diidentifikasi dari penurunan luas lahan milik dan luas lahan garapan, penurunan pendapatan pertanian, serta tidak signifikannya peningkatan pendapatan non-pertanian. Penelitian ini juga menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan pertanian di daerah Bandung Utara, dengan menggunakan model Regresi Linier Berganda. Laju konversi lahan diketahui melalui interpretasi Citra Landsat tahun 1992 dan 2002. Sedangkan untuk mengetahui pengaruh konversi lahan pertanian terhadap kesejahteraan petani dianalisis dengan Regresi Logistik Binary.

Handewi & Erwidodo (1994) melakukan kajian permintaan pangan di Indonesia menggunakan model Almost Ideal Demand System (AIDS) untuk

men-      

1 http://www.lecture.brawijaya.ac.id/nuhfil.

(48)

duga elastisitas permintaan dan pendapatan rumah tangga. Kajian ini menyimpul-kan bahwa elastisitas permintaan terhadap berbagai kelompok pangan suatu rumah tangga dipengaruhi oleh tingkat pendapatan rumah tangga yang bersangkutan. Sedangkan Mulyana (1998) menyimpulkan bahwa kenaikan per-mintaan beras domestik dipengaruhi secara signifikan oleh perubahan jumlah pen-duduk dan pendapatan konsumen. Harga gabah/beras terhadap jumlah penawaran bersifat inelastis. Selama ini peningkatan harga gabah/beras tidak berpengaruh nyata terhadap upaya petani untuk meningkatkan produksi padi. Penyebabnya karena luas lahan sawah garapan petani relatif sempit dan usahatani padi bersifat musiman (Irawan, 2005).

Malian et al. (2004) melakukan studi mengenai faktor-faktor yang mem-pengaruhi produksi, konsumsi dan harga beras, serta inflasi bahan makanan. Hasil analisa menyimpulkan bahwa: (1) produksi padi dipengaruhi oleh luas panen padi tahun sebelumnya, impor beras, harga pupuk Urea, nilai tukar riil, dan harga beras di pasar domestik; (2) konsumsi beras dipengaruhi oleh jumlah penduduk, harga beras di pasar domestik, impor beras tahun sebelumnya, harga jagung pipilan di pasar domestik, dan nilai tukar; (3) harga beras di pasar domestik dipengaruhi oleh nilai tukar riil, harga jagung pipilan di pasar domestik, dan harga dasar gabah; dan (4) indeks harga kelompok bahan makanan dipengaruhi oleh harga beras di pasar domestik, nilai tukar riil, excess demand beras, harga dasar gabah, harga beras dunia, dan total produksi padi.

(49)

2.3 Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian terhadap Ketersediaan dan Akses Pangan

Heerink et al. (2007) melakukan penelitian mengenai dampak reformasi kebijakan terhadap produksi pertanian, penggunaan input, dan perubahan kualitas tanah di China. Analisis dilakukan dengan menggunakan ekonometrika berdasarkan data pasar domestik maupun dunia, untuk menjelaskan perubahan harga beras dan pupuk di Provinsi Jiangxi. Metode Two-Stage Least Squares (2-SLS) digunakan untuk melihat hubungan antara penggunaan input terhadap produktivitas padi. Implikasi kebijakan yang disarankan dari penelitian ini, antara lain menyebutkan bahwa kebijakan meningkatkan harga pupuk lebih realistis dibandingkan menurunkan harga beras. Meningkatkan harga pupuk dilakukan dengan mengurangi subsidi terhadap produsen pupuk dan menerapkan pajak ekspor pupuk. Sementara itu, upaya pemerintah mengantisispasi penurunan pendapatan petani melalui pemberian pendapatan langsung kepada petani, dan upaya ini terbukti meningkatkan kualitas tanah di Provinsi Jiangxi, China.

(50)

Penelitian Zhen et al., (2005) mengenai implementasi kebijakan yang meminimalisasi hilangnya lahan subur melalui investasi infrastuktur di China. Pemerintah China mengadopsi teknologi penghemat air dan menyediakan dana yang besar untuk kebutuhan tersebut, termasuk memberi insentif bagi petani yang berhasil menggunakan air secara efisien. China juga mengembangkan wet/dry irrigation sebagai alternatif untuk menghasilkan beras lebih banyak dengan kadar air yang lebih sedikit. Temuan yang diperoleh adalah bahwa selama 100 tahun, China mampu memenuhi kebutuhan nitrogen bagi pertumbuhan padi dan gandum dari sumber organik. Pemerintah China mengganti penggunaan faktor produksi kimia yang merusak lingkungan dengan praktek budidaya tradisional, seperti: rotasi tanaman, pupuk organik, predator biologi, serta daur ulang sampah dan residu usahatani. Selain itu, rekayasa genetika tanaman pangan juga dilakukan untuk mencapai ketahanan pangan.

Irawan (2005) melakukan studi mengenai simulasi ketersediaan beras nasional dengan pendekatan sistem dinamis, untuk mengetahui akurasi dan validitas model. Data periode 1980 – 1995 digunakan untuk memprediksi keadaan tahun 1998 – 2000. Hasil analisis menunjukkan bahwa swasembada beras secara mandiri tidak akan tercapai apabila laju konversi lahan sawah terus berlanjut sebagaimana tahun 1992 – 2002 sebesar 0.77 persen per tahun dan penerapan teknologi budidaya padi sawah tidak beranjak dari keadaan 1990 – 2000. Swasembada beras akan tercapai apabila laju konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa dapat ditekan masing-masing sampai 0 persen dan 0.72 persen per tahun mulai tahun 2010. Pada saat yang sama juga perlu upaya peningkatan produk-tivitas padi sebesar 2 – 2.5 persen per tahun sebagaimana pada swasembada beras tahun 1983 – 1985. Kebijakan perluasan areal lahan sawah baru di luar Jawa sebanyak satu juta hektar selama lima tahun tidak akan cukup untuk mencapai kondisi swasembada beras dalam 15 tahun ke depan selama laju konversi lahan sawah dan tingkat produktivitas padi tetap tidak berubah.

(51)
[image:51.595.111.514.350.770.2]

bertujuan untuk melindungi petani dari turunnya harga secara drastis pada saat panen raya (suplai melimpah). Kebijakan Harga Dasar ini ditetapkan oleh pemerintah dan telah mengalami perubahan istilah penamaan, seperti: Harga Dasar Gabah (HDG), Harga Dasar Pembelian Gabah (HDPG), Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP) dan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) merupakan hal yang sama dalam menyebutkan harga dasar dengan konsep yang sama. Adapun yang dipakai sampai sekarang ini adalah Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Sekilas perubahan HDG menjadi HPP seolah tidak memiliki perbedaan mendasar. Namun sebenarnya ada perbedaan yang sangat mendasar dari perubahan nama tersebut (Simatupang, 2003). Perbedaan antara HDG dan HPP disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Perbedaan antara HDG dan HPP

Komponen HDG HPP

ƒ Pembentukan

harga

ƒ Pemerintah melalui Bulog membeli kelebihan pasokan dalam jumlah besar sehingga petani mendapatkan harga minimal tidak dibawah HDG.

ƒ Pemerintah tidak menjamin bahwa harga gabah yang diterima petani selalu berada di atas HPP yang ditetapkan.

ƒ Penjaminan harga ƒ Pemerintah berkewajiban

& bertanggung jawab untuk menjamin harga dasar gabah minimum di tingkat petani.

ƒ Pemerintah tidak lagi berkewajiban &

bertanggung jawab untuk menjamin harga dasar gabah minimum di tingkat petani.

ƒ Pemberlakuan

harga

ƒ Berlaku di tingkat petani, sehingga Bulog

menanggung biaya angkut, transportasi, dll.

ƒ Berlaku di gudang Bulog. Bulog tidak menanggung biaya angkut,

transportasi, dll, sehingga HPP yang ditetapkan pemerintah bukanlah HPP yang diterima petani, melainkan harga yang diterima pedagang rekanan Bulog.

Sumber: Simatupang (2003)

(52)

sebesar 8 – 10 persen dari total produksi nasional. Ini merupakan konsekuensi pasca-penandatanganan perjanjian pertanian WTO pada tahun 1995, sehingga terjadi liberalisasi perdagangan dengan indikator: a) pembebasan bea masuk impor beras sampai 0 persen; b) pencabutan status Bulog sebagai lembaga pe-nyangga; c) pencabutan subsidi input dan liberalisasi tataniaga pupuk tahun 1998. Perjanjian WTO tersebut memberi dampak terutama pada perubahan fungsi Bulog dan perubahan HDG menjadi HPP.

2.4 Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian terhadap Tingkat Kesejahteraan

Penelitian Kusumaningrum (2008) mengenai dampak kebijakan harga dasar pembelian pemerintah terhadap penawaran dan permintaan beras di Indonesia menyimpulkan bahwa kombinasi kebijakan menaikkan harga dasar pembelian pemerintah sebesar 15 persen bersamaan dengan kebijakan lain (menaikkan harga pupuk urea, luas areal intensifikasi dan irigasi masing-masing

sebesar 5 persen, serta nilai tukar dan tarif impor 10 persen) menguntungkan

produsen dengan penambahan surplus produsen, sedangkan konsumen dirugikan

dengan kehilangan surplus konsumen. Kebijakan ini juga meningkatkan penerimaan

pemerintah dari impor. Nilai net surplus tertinggi juga diperoleh dengan

meng-implementasikan kombinasi kebijakan harga dasar pembelian pemerintah bersamaan

dengan kebijakan harga pupuk urea, luas areal intensifikasi, luas areal irigasi, tarif

impor dan nilai tukar.

(53)

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Teoritis

3.1.1 Teori Rente Lahan

[image:53.595.105.511.89.683.2] [image:53.595.108.510.391.639.2]

Rente lahan (land rent) didefinisikan sebagai pengembalian ekonomi dari lahan, yang dapat bertambah atau akan bertambah akibat penggunaannya dalam proses produksi. Rente lahan dapat dinyatakan sebagai residu surplus ekonomi, yang merupakan selisih antara nilai produk total (pengembalian total) dengan biaya produksi total (Barlowe, 1978). Model klasik dari alokasi lahan adalah model Richardo (Richardian Rent). Menurut model ini, alokasi lahan akan mengarah pada penggunaan yang menghasilkan surplus ekonomi (land rent) yang lebih tinggi, yang tergantung pada derajat kualitas lahan yang ditentukan oleh kesuburannya. Rente lahan pada berbagai kualitas lahan diilustrasikan pada Gambar 3.

Sumber: Barlowe (1978)

Gambar 3 Ilustrasi rente lahan pada berbagai kualitas lahan.

(54)

bahwa perbedaan ruang (friction of space) dapat dikompensasi melalui biaya sewa tempat (site rents) dan transportasi. Gambar 4 mengilustrasikan tingkat rente lahan relatif berdasarkan nilai penggunaan (utility), yaitu highest and best use

dengan perbedaan jarak dari pusat pasar. Pendekatan Von Thunen mengibaratkan pusat perekonomian adalah suatu kota yang dikelilingi oleh lahan yang kualitasnya homogen. Tataguna lahan yang dihasilkan dapat dipresentasikan sebagai cincin-cincin lingkaran yang bentuknya konsentris mengelilingi kota tersebut seperti Gambar 4 (Barlowe, 1978).

R

en

te

La

ha

n

(Rp Juta)

[image:54.595.57.488.34.592.2]

Sumber: Barlowe (1978)

Gambar 4 Penentuan locational rent function menurut model Von Thunen.

(55)

Hal ini mengakibatkan sebagian dari area cincin B (kawasan industri) terkonversi menjadi A. Demikian seterusnya, sehingga konversi lahan pertanian (cincin C) ke penggunaan untuk industri/manufaktur (cincin B) juga terjadi. Dalam sistem keseimbangan pasar, alih fungsi lahan berlangsung dari aktivitas yang meng-hasilkan land rent lebih rendah ke aktivitas yang menghasilkan land rent lebih tinggi.

Penggunaan lahan merupakan resultan dari interaksi berbagai macam faktor untuk menentukan keputusan perorangan, kelompok ataupun pemerintah. Oleh karena itu proses perubahan penggunaan lahan sifatnya sangat kompleks. Mekanisme perubahan itu melibatkan kekuatan-kekuatan pasar, sistem adminis-tratif, dan kepentingan politik. Teori ekonomi di atas dapat menjelaskan fenomena konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian, yakni melalui analisis rasio persewaan lahan (land rent ratio).

3.1.2 Teori Produksi

Fungsi produksi didefinisikan sebagai hubungan teknis dalam transformasi input ke dalam output atau yang melukiskan antara hubungan input dan output (Debertin, 1986). Input atau disebut juga faktor produksi, dapat dibedakan menjadi faktor produksi tetap dan tidak tetap. Pembagian faktor produksi ini juga dilihat dari sisi produsen dalam jangka waktu tertentu. Faktor produksi dalam jangka pendek meliputi faktor produksi tetap dan tidak tetap, dimana faktor teknologi belum berubah. Dalam jangka panjang, semua faktor produksi adalah tidak tetap dan teknologi belum berubah. Adapun setelah produsen berada dalam posisi jangka waktu sangat panjang, semua faktor produksi dan teknologi adalah tidak tetap.

Jika diilustrasikan secara sederhana fungsi produksi dari output tertentu (misal: P) adalah sebagai berikut:

…....……… (3.1) ,XP4) ,

,

( P1 P2 P3

P f X X X

Y =

dimana:

YP = Output P (satuan)

(56)

Untuk memaksimumkan produksi output P dibutuhkan biaya tertentu: …….. (3.2) 1 2 2 * P XP4* P4)

P P *X P X P X

*

( TP XP1 XP P XP3 3

P B P X

B = + + + +

dimana:

BP = Biaya total produksi output P (satuan) BTP = Biaya tetap produksi output P (satuan) PXP1 = Harga faktor produksi P1 (satuan) PXP2 = Harga faktor produksi P2 (satuan) PXP3 = Harga faktor produksi P3 (satuan) PXP4 = Harga faktor produksi lain (satuan)

Pada tingkat harga produksi output P tertentu (PYP), maka fungsi keuntungan produksi output P dapat dirumuskan sebagai berikut:

……. (3.3) * )

* 4

4 XP P

P PYP* f(XP1,...,XP ) (BTP PXP1 XP1 ...+P 4 X

π = − + +

dimana:

πP = Keuntungan (satuan) PYP = Harga output P (satuan)

Produsen yang rasional berusaha memaksimumkan keuntungannya pada tingkat produksi optimum dengan tingkat harga tertentu. Keuntungan maksimum harus memenuhi syarat FOC (First Order Condition) dan SOC (Second Order Condition). Syarat pertama dipenuhi apabila turunan pertama dari fungsi keuntungan adalah sama dengan nol, yang berarti produktivitas marginal dari faktor produksi adalah sama dengan harga faktor produksinya. Sedangkan syarat kedua yang harus dipenuhi yaitu: jika fungsi produksinya cembung dan nilai determinan Hessian lebih besar dari nol (Koutsoyiannis, 1977). Dengan melakukan prosedur penurunan secara matematis dari persamaan (3.3), maka diperoleh:

atau …..…….…… (3.4)

atau ..………...… (3.5)

atau ..……..……. (3.6)

atau ………. (3.7) 0 * 1 1 1 = − ∂ ∂ = ∂ ∂ XP P YP P P X Y P

XP P

π 1 1 * XP P P YP P X Y = ∂ ∂ P 0 * 2 2 2 = − ∂ ∂ = ∂ ∂ XP P YP P P X Y P

XP P

(57)

Dimana adalah produk marginal dari masing-masing faktor produksi. Oleh karena itu keuntungan maksimum diperoleh jika produk marginal sama dengan rasio harga faktor produksi terhadap harga produk. Dapat juga dikatakan bahwa keuntungan maksimum diperoleh jika nilai produk marginal sama dengan harga faktor produksinya (NPMP=PXPi). Dari persamaan (3.4), (3.5), (3.6), dan (3.7) fungsi permintaan masing-masing faktor produksi oleh produsen output P dirumuskan sebagai berikut:

……….…….… (3.8) ……….…….… (3.9) ..……….…….… (3.10) ..……….…….… (3.11)

Dengan mensubstitusikan persamaan (3.8), (3.9), (3.10), dan (3.11) ke persamaan (1), maka diperoleh fungsi penawaran output P sebagai berikut:

..……….………. (3.12) Persamaan (3.12) menunjukkan bahwa jumlah penawaran output P oleh produsen output P merupakan fungsi dari harga output P (PYP) dan harga faktor-faktor produksi (PXP1, PXP2, PXP3, dan PXP4), sedangkan faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus).

3.1.3 Dampak Konversi Lahan Sawah terhadap Ketersediaan dan Akses Pangan

Lahan sawah merupakan salah satu input atau faktor produksi bagi output padi. Konversi (alih-fungsi) lahan sawah dari penggunaan untuk output sawah (dalam hal ini adalah padi) ke penggunaan lain untuk output non-sawah (seperti: perumahan, industri, pariwisata, dan sebagainya) mengakibatkan penurunan penawaran output sawah (padi) tersebut. Hal ini disebabkan konversi lahan sawah yang terjadi menurunkan luas areal pertanaman padi (dengan asumsi intensitas pertanaman padi tetap). Sementara itu, produktivitas padi sebagai komponen lainnya yang berpengaruh terhadap produksi padi, telah mengalami pelandaian produksi (leveling-off). Luas areal panen padi yang berkurang dan produktivitas padi yang mengalami pelandaian produksi mengakibatkan produksi padi

4 P X ∂ 3 2 1 , , P P P P P P P Y X Y X Y X

Y ∂ ∂

, ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ) , , , ,

( 1 2 3 4

1 XP YP XP XP XP

D

P f P P P P

X = ) 4 ) , , , ,

( 3 1 2 4

3 XP YP XP XP XP

D

P f P P P P

X = ) , , , ,

( 4

Gambar

Gambar 1 Laju pertumbuhan produktivitas padi sawah di Jawa dan luar Jawa,
Tabel 3  Peraturan/perundangan terkait dengan konversi lahan pertanian
Tabel 4  Perbedaan antara HDG dan HPP
Gambar 3.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Organisasi informal adalah kumpulan dari dua orang atau lebih yang telibat pada suatu. aktifitas serta tujuan bersama yang

Dari identifikasi masalah yang sudah dipaparkan diatas, agar permasalahan yang diteliti tidak terlalu luas dan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh peneliti, peneliti

4) Semiotik kultural; Menelaah sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu. 5) Semiotik naratif; Menelaah sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos

Diduga dengan menggunakan metode TPS dan media gambar menjadikan pembelajaran tema 8 pada mata pelajaran IPS lebih menyenangkan dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa dari

In the following section, we will see how to generate models from the database tables using the Cake shell script bake.

Obat Kencing Nanah Herbal Dari Denature Indonesia Yaitu Berupa Gang Jie Dan Gho Siah Yang Diformulasikan Kusus Dengan Kandungan Herbal Alami Yang

Realizing that teaching speaking in big classes is difficult; teachers need to select method or methods to be used.. The selection of the methods has

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ Pengaruh Dimensi-Dimensi Religiusitas Terhadap Penerimaan Orang Tua Anak Autis Di Bekasi Barat ” adalah benar merupakan karya