• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 Penelitian ini difokuskan untuk melihat dampak konversi lahan yang terjadi terhadap ketersediaan dan akses pangan yang merupakan dua aspek ketahanan pangan nasional.

2 Sehubungan diberlakukannya liberalisasi perdagangan komoditas beras, penelitian ini mempelajari juga bagaimana dampak implementasi kebijakan ekonomi di sektor pertanian, terutama bidang perdagangan produk-produk pertanian, terhadap perubahan kesejahteraan pelaku ekonomi.

Karena keterbatasan data, maka untuk mencapai tujuan penelitian ini dibangun suatu model yang merefleksikan fenomena ekonomi beras dengan membatasi hal-hal berikut:

1 Pangan hanya dibatasi pada komoditas beras saja, mengingat jenis pangan ini masih menjadi makanan pokok bagi 98 persen penduduk Indonesia.

2 Data konversi lahan sawah yang digunakan adalah data konversi lahan netto, dimana luas lahan sawah tahun t adalah luas lahan sawah tahun sebelumnya ditambah pencetakan sawah baru dikurangi konversi lahan sawah. Karena data pencetakan sawah baru dan konversi lahan sawah tidak diketahui, maka data konversi lahan sawah netto ditunjukkan oleh perubahan luas sawah antartahun yang bertanda negatif.

3 Penelitian ini menganalisis dampak konversi lahan sawah terhadap dua subsistem ketahanan pangan saja, yaitu: a) ketersediaan pangan, dan b) akses pangan, tidak termasuk subsistem penyerapan pangan. Konversi lahan sawah yang didorong oleh berbagai faktor dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kedua subsistem tersebut.

4 Indikator ketersediaan dan akses pangan dihitung per kapita agar lebih riil menggambarkan kemampuan masing-masing individu.

Penelitian ini difokuskan pada analisis kuantitas pangan, yang merupakan syarat keharusan untuk menciptakan ketahanan pangan. Kuantitas pangan dalam penelitian ini diproksi dari ketersediaan beras per kapita. Keterbatasan data terkait stabilitas pangan, yang menggambarkan ketersediaan pangan yang merata menurut tempat dan waktu, tidak dibahas dalam penelitian ini.

6 Akses pangan dibagi dua, yaitu: a) secara ekonomik, dan b) secara fisik.

Akses pangan secara ekonomik, diproksi dari pendapatan penduduk Indonesia per kapita. Sementara itu, akses fisik hanya diwakili oleh ketersediaan infrastruktur jalan yang diproksi dari panjang jalan nasional di Indonesia. 7 Harga beras dunia menggunakan harga beras Thailand 25 persen FOB (freight

on board) Bangkok, sedangkan harga beras domestik yang digunakan adalah harga beras dengan kualitas medium karena merupakan beras yang paling banyak dikonsumsi masyarakat.

8 Permintaan lahan sawah untuk output non-sawah diwakili oleh permintaan perumahan/bangunan. Hal ini terkait dengan keterbatasan data yang dimiliki serta merujuk pada penelitian Irawan (2005) yang menyebutkan bahwa alokasi konversi lahan sawah untuk penggunaan perumahan di Jawa memiliki persentase alokasi yang besar (74.960 persen). Selanjutnya permintaan perumahan/bangunan ini diproksi dari kontribusi sektor perumahan (data BPS tahun 1980-an), yang kemudian berganti nama menjadi sektor bangunan (data BPS tahun 1990 hingga sekarang), terhadap Produk Domestik Regional Bruto (%).

9 Permintaan dan penawaran perumahan/bangunan tidak dilakukan pemisahan berdasarkan tipe dan lokasi perumahan/bangunan tertentu.

II TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian mengenai beras di Indonesia telah banyak dilakukan. Namun demikian, berikut disarikan beberapa temuan hasil penelitian yang terkait dengan konversi lahan sawah, ketersediaan dan akses pangan, serta impor dan tingkat kesejahteraan dalam penelitian ini.

2.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah

Irawan (2005) melakukan penelitian mengenai dampak, pola pemanfaatan dan faktor determinan dari konversi lahan sawah. Temuan penting dari hasil penelitiannya, antara lain menyebutkan bahwa konversi lahan sawah terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor non-pertanian, yang persaingan tersebut muncul akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial, yaitu: (a) keterbatasan sumber daya lahan; (b) pertumbuhan penduduk; dan (c) pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini juga mengidentifikasi konversi lahan sawah berdasarkan wilayah Jawa dan luar Jawa, yang hasil penelitiannya menyebutkan bahwa konversi lahan sawah di luar Jawa (132 ribu hektar pertahun) ternyata jauh lebih tinggi daripada di Jawa (56 ribu hektar pertahun) selama tahun 2000 – 2002, sehingga total luas lahan sawah yang di- konversi seluas 187.72 ribu hektar per tahun (atau sebesar 2.42 persen dari luas sawah pada tahun 2002). Alokasi konversi lahan sawah untuk pembangunan perumahan sangat dominan di Jawa (74.96 persen), sedangkan di luar Jawa kon- versi lahan sawah tersebut sebagian besar ditujukan untuk pembangunan sarana publik (43.59 persen) dan pembangunan perumahan (31.92 persen). Maraknya konversi lahan tersebut tidak terlepas dari pelaku konversi itu sendiri. Penelitian ini membedakan pelaku konversi lahan sawah menjadi dua kelompok, yaitu: Kelompok pertama, konversi secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Lazimnya motif tindakan ada tiga, yaitu: (a) pemenuhan kebutuhan dan tempat tinggal; (b) peningkatan pendapatan melalui alih usaha; dan (c) kom- binasi keduanya. Kelompok kedua, konversi yang diawali dengan alih fungsi penguasaan lahan.

Selanjutnya, penelitian Chengli et al. (2003) mengenai alih fungsi penggunaan lahan pertanian pangan di China selama tahun 1961 – 1998, dapat dijadikan sebagai acuan komparasi. Hasil penelitian menyebutkan bahwa pembangunan ekonomi secara nasional telah mendorong terjadinya alih fungsi lahan padi di China. Selama periode tersebut luas total lahan pertanian berfluktuasi. Namun, sejak tahun 1976 luas lahan padi di China terus menurun, hingga tercatat seluas 31 juta hektar pada tahun 1998. Alih-fungsi penggunaan lahan ini dipengaruhi oleh faktor ekonomi (misal: urbanisasi, daya beli petani, dan harga), sosial (misal: pemilikan lahan dan kebijakan lahan nasional), dan ekologi (misal: perubahan iklim, degradasi lahan, dsb). Selain itu, alih-fungsi penggunaan lahan di China juga dipengaruhi adanya perubahan kebijakan dari kontrol pemerintah menjadi kontrol pasar, perdagangan dunia serta pasar domestik.

Hualou et al. (2007) menganalisis karakteristik, faktor pendorong dan kebijakan untuk menekan perubahan penggunaan lahan di Kunshan, Provinsi Jiangsu, China. Penelitian ini menggunakan peta remote sensing (RS) dan data sosial ekonomi. Berdasarkan peta remote sensing (RS) diketahui bahwa lahan sawah, lahan kering dan hutan mengalami penurunan masing-masing sebesar 8.2 persen, 29 persen dan 2.6 persen selama tahun 1987 – 1994; 4.1 persen, 7.6 persen dan 8 persen selama tahun 1994 – 2000. Sementara itu, dalam waktu yang ber- samaan selama tahun 1987 – 1994 terjadi peningkatan untuk penggunaan kolam sebesar 48 persen, perumahan di perkotaan sebesar 87.6 persen, perumahan di perdesaan sebesar 41.1 persen, dan konstruksi sebesar 511.8 persen. Sedangkan selama tahun 1994 – 2000 masing-masing mengalami peningkatan sebesar 3.6, 28.1, 23.4 dan 47.1 persen. Fragmentasi di semua wilayah terjadi secara signi- fikan. Empat faktor pendorong dalam perubahan penggunaan lahan di Kunshan adalah industrialisasi, urbanisasi, pertumbuhan ekonomi, dan reformasi ekonomi China. Kebijakan yang disarankan adalah pembatasan pertumbuhan perkotaan dan kebijakan berbasis insentif.

Mani dan Pandey (2000) melakukan penelitian mengenai permintaan lahan dari pertanian ke non-pertanian di Meerut, Pradesh. Temuan dari studi ini me- nyatakan bahwa permintaan lahan sejatinya muncul akibat dua kebutuhan dasar, yaitu: (a) sebagai komoditas konsumsi untuk perumahan, pariwisata, dan

sebagainya; dan (b) sebagai faktor produksi bagi berbagai sektor seperti: per- tanian, industri, dan infrastruktur. Jika dilihat dari elastisitas harganya, permintaan lahan non-pertanian lebih elastis karena banyaknya alternatif penggunaan lahan, tingginya produktivitas, tingginya distribusi pendapatan di perkotaan, dan dekatnya hubungan dengan pasar modal. Sedangkan elastisitas harga permintaan lahan pertanian tidak elastis karena rendahnya produktivitas, kurangnya alternatif penggunaan lahan, identik dengan kemiskinan petani, serta sulitnya kegiatan usaha tani.

Berdasarkan beberapa temuan empiris tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa konversi lahan sawah terjadi sebagai akibat tingginya persaingan lahan untuk penggunaan sawah maupun non-sawah. Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah adalah: faktor ekonomi (pertumbuhan ekonomi yang mengakibatkan industrialisasi dan urbanisasi, daya beli petani, dan harga), sosial (seperti: pertambahan penduduk, pemilikan lahan, dan sebagainya), dan ekologi (seperti: perubahan iklim, degradasi lahan). Lahan sawah yang dikonversi biasa- nya dialokasikan penggunaannya untuk perumahan, ublic y, pembangunan sarana ublic, pariwisata, dan sebagainya.

2.2 Dampak Konversi Lahan Sawah terhadap Ketersediaan dan Akses