• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.2 Kerangka Konseptual

4.2.8 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan rentang waktu (time series) dari tahun 1990 – 2010 berdasarkan tren peningkatan konversi lahan sawah. Data konversi lahan sawah dipilah berdasarkan wilayah, yaitu: Jawa dan luar Jawa. Data yang digunakan bersumber dari beberapa instansi yang terkait, yaitu: Kementerian Pertanian (Kementan), Badan Urusan Logistik (Bulog), Kementerian Perdagangan (Kemendag), Badan Pusat Statistik (BPS) dan Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP). Penelitian ini juga melakukan pengambilan data dari beberapa website resmi, seperti: Food Agricultural Organization (FAO), World Bank dan berbagai publikasi lainnya yang terkait.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dan menjadi catatan dalam penelitian ini adalah:

       

1 Data net konversi lahan sawah yang bernilai positif diasumsikan secara netto

tidak terjadi konversi lahan sawah, sehingga bernilai nol dan selanjutnya ditulis 0.001 untuk memudahkan pengolahan data.

2 Jumlah beras susut (untuk benih, rusak di penyimpanan, transportasi, hilang di pasar, terbuang di rumah tangga) sekitar 12 persen berdasarkan rerata data FAO2.

3 Kebutuhan beras nasional merupakan penjumlahan konsumsi beras untuk pangan ditambah dengan kebutuhan beras untuk persediaan di dalam rumah tangga 10 persen, persediaan di pasar 10 persen, dan kehilangan di rumah tangga dan pasar 5 persen, sehingga total untuk persediaan sebesar 25 persen (Sumarno, 2011)

4 Semua harga nominal merupakan harga rata-rata tertimbang, selanjutnya dideflasi dengan indeks harga pada tahun dasar (2005=100), sehingga diperoleh harga riil yang sudah memperhitungkan inflasi pada tahun yang bersangkutan.

 

2

V HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab IV, model yang dirumuskan adalah model linier persamaan simultan, dengan metode pendugaan model berdasarkan two-stage least squares method (metode 2-SLS). Bab ini membahas hasil pendugaan dari model yang telah dibangun, dimulai dari keragaan umum dan kemudian dilanjutkan dengan keragaan masing-masing persamaan yang ada dalam model ketersediaan dan akses pangan di Indonesia. Namun demikian, sebelum masuk pada pembahasan keragaan umum, berikut dipaparkan sekilas mengenai deskripsi statistik beberapa peubah kunci yang ada di dalam model.

Hasil deskripsi statistik menunjukkan bahwa peubah konversi lahan sawah di Jawa (KLSJ) memiliki nilai mean sebesar 41 349.464 dengan nilai minimum sebesar 0.001 dan maksimum sebesar 461 510.312. Sementara itu, peubah kon- versi lahan sawah di luar Jawa (KLSLJ) memiliki nilai mean sebesar 65 898.620 dengan nilai minimum sebesar 0.001 dan maksimum sebesar 458 051. Peubah akses pangan per kapita (PPPKIR) memiliki nilai mean sebesar 8 022 268.208 dengan nilai minimum dan maksimum masing-masing sebesar 1 077 752.952 dan 27 027 783.038. Data dinilai baik jika nilai mean mendekati pertengahan antara nilai minimum dan nilai maksimum, walaupun data yang ada memiliki range

yang cukup besar.

Hasil pengolahan data ini juga menunjukkan bahwa peubah produktivitas padi di Indonesia (YPPI) memiliki standar deviasi sebesar 0.287 dengan nilai

mean sebesar 3.894, sedangkan peubah ketersediaan beras per kapita (TSBKPK) memiliki standar deviasi sebesar 0.007 dengan nilai mean sebesar 0.125. Standar deviasi ini menggambarkan besarnya penyimpangan data dari nilai mean-nya, sehingga data dinilai baik jika memiliki standar deviasi yang mendekati nol.

5.1 Keragaan Umum Hasil Pendugaan Model

Secara umum, hasil pendugaan model ketersediaan dan akses pangan di Indonesia cukup baik dilihat dari kriteria ekonomi, statistik dan ekonometrika. Kriteria ekonomi sebagai ‘a priori criteria’ ditentukan oleh prinsip-prinsip yang sesuai dengan kriteria ekonomi, yang mengacu pada arah dan besaran (sign and

magnitude). Berdasarkan kriteria ini seluruh arah dan besaran sesuai dengan teori ekonomi. Adapun berdasarkan kriteria statistika yang merupakan first-order test, hasil pendugaan model menunjukkan bahwa sebanyak 89.47 persen (17 persamaan) dari 19 persamaan struktural mempunyai nilai koefisien determinasi (R2) berkisar 0.60022 – 0.98658, yang berarti secara umum kemampuan peubah- peubah penjelas (predetermined variable) yang ada di dalam persamaan perilaku untuk menjelaskan keragaman nilai peubah endogen (endogenous variable) cukup tinggi. Sebaliknya peubah-peubah penjelas pada persamaan Konversi lahan sawah luar Jawa dan Harga riil (gabah) pembelian pemerintah belum mampu menjelaskan keragaman nilai peubah endogennya dengan baik, yaitu masih dibawah 60 persen. Masih rendahnya nilai koefisien determinasi ini dikarenakan keterbatasan data peubah penjelas lainnya yang tersedia.

Besarnya nilai probabilitas |F| yang kurang dari 0.05, kecuali pada persamaan konversi lahan sawah di luar Jawa (KLSLJ) menunjukkan bahwa peubah-peubah penjelas yang dimasukkan dalam setiap persamaan perilaku secara bersama-sama berpengaruh kuat terhadap keragaman peubah endogennya, berbeda nyata pada taraf probabilitas 1 – 5 persen. Arah dan besaran nilai parameter dugaan semua peubah penjelas sesuai dengan harapan dan cukup logis dari sudut pandang teori ekonomi, meskipun hasil uji t-statistik menunjukkan masih ada beberapa peubah penjelas yang berpengaruh tidak nyata pada taraf probabilitas 15 persen. Hasil uji statistik probabilitas |T| pada 93 peubah

predetermine menunjukkan sebanyak 66.667 persen peubah predetermine (62 peubah) berpengaruh nyata pada taraf probabilitas 15 persen. Arah peubah ekspektasi (lag endogen) setiap persamaan sesuai dengan harapan, sedangkan besarannya sebanyak 93.333 persen (1 peubah dari 15 peubah lag endogen) sesuai dengan harapan yaitu 0 < γ < 1. Hal ini menunjukkan bahwa sebanyak 93.333 persen ekspektasi dari peubah endogen pada persamaan struktural yang diingin- kan berpengaruh terhadap perubahan perekonomian, teknologi, dan kelembagaan.

Berdasarkan kriteria ekonometrika (second-order test), hasil uji statistik Durbin-h, yang ditandai oleh nilai Dh berkisar antara -1.96 dan 1.96 pada taraf probabilitas 0.05 persen, menunjukkan sebanyak 68.42 persen persamaan perilaku tidak mengalami serial korelasi. Namun demikian, terdapat 2 persamaan perilaku

(10.53 persen) yang mengalami masalah serial korelasi, yaitu persamaan luas areal panen padi luar Jawa (LAPLJ) dan harga riil gabah tingkat petani Jawa (HGTTJR). Adapun sisanya sebanyak empat persamaan perilaku (21.05 persen) tidak terdeteksi serial korelasi, yaitu persamaan konversi lahan sawah di luar Jawa (KLSLJ), permintaan beras Indonesia (QDBI), harga riil (gabah) pembelian pemerintah (HPPGR) dan harga riil beras eceran Indonesia (HBEIR). Hal ini dikarenakan hasil kali jumlah observasi (T) dengan ragam peubah lag endogen (var ) lebih besar dari satu. Pindyck dan Rubinfield (1998) menyebutkan bahwa masalah serial korelasi hanya mengurangi efisiensi pendugaan parameter dan serial korelasi tidak menimbulkan bias parameter regresi.

Selain itu, pengujian terhadap multikolinieritas dilakukan dengan melihat nilai variance inflation factor (VIF). Masalah multikolinieritas pada suatu model persamaan linier regresi berganda akan selalu ditemukan, tetapi ada yang serius dan ada yang tidak serius. Masalah multikolinieritas dinilai serius jika nilai VIF lebih besar dari 10, sebaliknya dinilai tidak serius jika nilai VIF lebih kecil dan atau sama dengan 10 (Sitepu & Sinaga, 2006). Berdasarkan hasil pengujian diketahui bahwa semua persamaan perilaku dalam model tidak mengalami multi- kolinieritas secara serius. Hal ini ditunjukkan dari nilai VIF yang kurang dari 10. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa hasil pendugaan model representatif untuk menggambarkan fenomena ketersediaan dan akses pangan di Indonesia.

5.2 Keragaan Hasil Pendugaan Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia