Prevalensi Gangguan Pendengaran pada Penderita
Diabetes Mellitus yang Berobat di Poliklinik
Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik
Tahun 2010
Oleh :
NUR RIHANA BINTI JAAFAR
070100317
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Prevalensi Gangguan Pendengaran pada Penderita
Diabetes Mellitus yang Berobat di Poliklinik
Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik
Tahun 2010
KARYA TULIS ILMIAH
Oleh :
NUR RIHANA BINTI JAAFAR
NIM : 070100317
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Prevalensi Gangguan Pendengaran pada Pasien Diabetes Mellitus yang Berobat
di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik Tahun 2010
Nama : Nur Rihana Jaafar NIM : 070100317
Pembimbing Penguji I
(dr Aliandri, Sp. THT-KL) (dr Nuraiza Meutia, M. Biomed)
Penguji II
ABSTRAK
Pendahuluan : Komplikasi gangguan pendengaran akibat penyakit diabetes selalu
diabaikan. Walaupun belum ada patofisiologi pasti, dipercayai ada perubahan patologi pada bahagian dalam telinga, yang menyebabkan gangguan pendengaran terjadi.
Tujuan dan Metode : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengetahui prevalensi
gangguan pendengaran pada pasien Diabetes Mellitus. Responden dilakukan tes Rinne dan tes Weber untuk mengetahui jenis gangguan pendengaran.
Hasil : Hasil yang didapatkan pada penelitian ini, prevalensi gangguan pendengaran yang
terjadi pada pasien diabetes mellitus adalah sebanyak 75.4% dibandingkan dengan hanya 24.6% yang pendengarannya normal. Selain itu juga, tuli sensorineural merupakan gangguan pendengaran tersering dengan 41.5% jika dibandingkan dengan tuli konduktif, yaitu 33.8%.
Kesimpulan dan Saran : Gangguan pendengaran banyak terjadi pada penderita diabetes
mellitus, dan untuk jenis gangguannya, kebanyakkannya mengalami tuli sensorineural. Untuk saran, lakukan penelitian pada kelompok umur yang terkontrol supaya hasil tidak dipengaruhi faktor usia. Malah metode tes mungkin juga bisa diubah ke audiometri supaya hasil yang didapatkan nanti adalah lebih akurat.
Kata kunci : gangguan pendengaran, diabetes mellitus, tuli sensorineural
Preface : Diabetes complications of hearing disorder is always ignored. Eventhough the
pathophysiology is still unknown, it is believe there are pathologic changes inside the ear, causing hearing disorder.
Methods and Purpose : This research is to know the prevalens of hearing disorder in
diabetes mellitus patients and to know the type of hearing disorder that occurs. Respondens is tested with Rinne test and Weber test for their hearing conditions.
Results : Results of the research is, prevalens of hearing disorder in diabetes mellitus
patients is 75.4% compares to only 26.4% who have normal hearing. Moreover, sensorineural hearing loss is the most hearing disorder with 41.5% compares to 33.8% of conductive hearing loss.
Conclusions and Recommendations : Hearing disorder occurs a lot in most diabetes
mellitus patients and for the disorder type, sensorineural hearing loss shows the most. For recommendations, it is better to do on controlled age-group, so that the result is not affected by age-related hearing loss. Even the mothods should be change to audiometry to get more accurate results.
Kata Pengantar
Puji dan Syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT atas selesainya Kerja Tulis Ilmiah ini.
Untuk memulakan penelitian ini, banyak buku dan jurnal-jurnal dari internet dibaca. Semuanya untuk memastikan pemilihan judul dan permulaan penelitian dapat dilakukan dengan baik. Sepanjang mencari bahan untuk penulisan, banyak masa dihabiskan dengan membaca jurnal yang merupakan pengalaman yang sangat menambah ilmu. Waktu seminar proposal, saya telah membentangkan proposal saya dengan sebaik mungkin. Seterusnya setelah diterima, penerusan penelitian ini dilanjutkan dengan pengurusan surat-menyurat yang mengambil waktu. Banyak pengalaman ditimba oleh saya sepanjang mendapatkan data di rumah sakit. Berbagai karenah pasien saya jumpai, dan itu merupakan pengalaman yang tidak terlupakan saya.
Untuk penelitian ini, saya ingin berterima kasih tidak terhingga kepada Allah SWT, karena telah memberikan kesehatan yang baik kepada saya hingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini dengan tuntas. Seterusnya, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua saya, yang banyak menyokong dan memberi semangat sepanjang penelitian ini berlangsung. Kemudian, ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada dosen pembimbing saya, atas tunjuk ajar dan waktu yang diluangkan untuk membantu saya dalam penelitian ini. Akhir sekali adalah teman-teman yang banyak membantu dan memberi sokongan.
Medan, November 2010
DAFTAR ISI
Halaman
Lembar Persetujuan……… i
Abstrak...……… ii
Daftar Lampiran... viii
BAB PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang……… 1
1.2 Rumusan Masalah………... 3
1.3 Tujuan Penelitian……… 4
1.4 Manfaat Penelitian……….. 4
BAB2 TINJAUAN PUSTAKA……….. 5
2.1 Diabetes
2.3 Patofisiologi Gangguan Pendengaran pada Penderita DM... 13
BAB 3 KERANGKA KONSEP dan DEFINISI OPERASIONAL…. 14 3.1 Kerangka Konsep Penelitian………... 14
BAB 4 METODE PENELITIAN……… 16
4.1 Jenis Penelitian……… 16
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian………. 16
4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi……….. 16
4.3.2 Sampel……… 16
4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 4.4.1 Kriteria Inklusi………... 17
4.4.2 Kriteria Eksklusi……… 17
4.5 Metode Pengumpulan Data……….. 17
4.6 Pengolahan dan Analisa Data 4.6.1 Pengolahan Data... 18
4.6.2 Analisa Data... 18
BAB 5 HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN………. 19
5.1 Hasil Penelitian... 19
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian... 19
5.1.2 Karakteristik Sampel... 19
5.1.3 Hasil Analisa Data... 20
5.2 Pembahasan... 23
5.3 Kelemahan... 25
BAB 6 KESIMPULAN dan SARAN……… 26
6.1 Kesimpulan... 26
6.2 Saran... 27
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
3.1 Ringkasan Interpretasi Hasil 15
5.1 Karakteristik Sampel berdasarkan umur 19
5.2 Karakteristik Sampel berdasarkan jenis kelamin 19
5.3 Karakteristik Sampel berdasarkan lama menderita diabetes mellitus
20
5.4 Distribusi Sampel berdasarkan umur dan gangguan pendengaran
21
5.5
Distribusi Sampel berdasarkan jenis kelamin dan
gangguan pendengaran
21
5.6 Distribusi Sampel berdasarkan lama menderita Diabetes Mellitus dan jenis ketulian
DAFTAR DIAGRAM
Nomor Judul Halaman
Diagram 1 Kerangka Konsep tentang DM dan Gangguan Pendengaran
14
Diagram 2 Distribusi Sampel berdasarkan gangguan pendengaran pada penderita diabetes mellitus
20
Diagram 3 Distribusi Sampel berdasarkan jenis ketulian pada penderita yang mengalami gangguan pendengaran
ABSTRAK
Pendahuluan : Komplikasi gangguan pendengaran akibat penyakit diabetes selalu
diabaikan. Walaupun belum ada patofisiologi pasti, dipercayai ada perubahan patologi pada bahagian dalam telinga, yang menyebabkan gangguan pendengaran terjadi.
Tujuan dan Metode : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengetahui prevalensi
gangguan pendengaran pada pasien Diabetes Mellitus. Responden dilakukan tes Rinne dan tes Weber untuk mengetahui jenis gangguan pendengaran.
Hasil : Hasil yang didapatkan pada penelitian ini, prevalensi gangguan pendengaran yang
terjadi pada pasien diabetes mellitus adalah sebanyak 75.4% dibandingkan dengan hanya 24.6% yang pendengarannya normal. Selain itu juga, tuli sensorineural merupakan gangguan pendengaran tersering dengan 41.5% jika dibandingkan dengan tuli konduktif, yaitu 33.8%.
Kesimpulan dan Saran : Gangguan pendengaran banyak terjadi pada penderita diabetes
mellitus, dan untuk jenis gangguannya, kebanyakkannya mengalami tuli sensorineural. Untuk saran, lakukan penelitian pada kelompok umur yang terkontrol supaya hasil tidak dipengaruhi faktor usia. Malah metode tes mungkin juga bisa diubah ke audiometri supaya hasil yang didapatkan nanti adalah lebih akurat.
Kata kunci : gangguan pendengaran, diabetes mellitus, tuli sensorineural
Preface : Diabetes complications of hearing disorder is always ignored. Eventhough the
pathophysiology is still unknown, it is believe there are pathologic changes inside the ear, causing hearing disorder.
Methods and Purpose : This research is to know the prevalens of hearing disorder in
diabetes mellitus patients and to know the type of hearing disorder that occurs. Respondens is tested with Rinne test and Weber test for their hearing conditions.
Results : Results of the research is, prevalens of hearing disorder in diabetes mellitus
patients is 75.4% compares to only 26.4% who have normal hearing. Moreover, sensorineural hearing loss is the most hearing disorder with 41.5% compares to 33.8% of conductive hearing loss.
Conclusions and Recommendations : Hearing disorder occurs a lot in most diabetes
mellitus patients and for the disorder type, sensorineural hearing loss shows the most. For recommendations, it is better to do on controlled age-group, so that the result is not affected by age-related hearing loss. Even the mothods should be change to audiometry to get more accurate results.
BAB 1 PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Penyakit diabetes lebih dikenali sebagai penyakit kencing manis merupakan
penyakit yang tidak menular dan disebabkan gangguan hormon insulin (Yunir, 2007).
Menurut data World Health Organization (WHO), diperkirakan pada tahun 2000,
terdapat 171 juta orang penderita diabetes melitus, dan diperkirakan pada tahun 2030,
angka tersebut akan meningkat menjadi 366 juta orang. Data menunjukkan pada
tahun 1995, Indonesia berada di tempat ke tujuh dalam 10 negara untuk estimasi
jumlah orang dewasa dengan diabetes dengan jumlah 4.5 juta orang (Gupta dan
Phatak, 2003). Namun, pada tahun 2000, jumlah ini meningkat pada 8,4 juta orang
dan menyebabkan Indonesia meningkat menjadi turutan yang ke empat. Sedangkan
hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2007, diperoleh bahwa proporsi
penyebab kematian akibat diabetes melitus pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah
perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7%. Di daerah pedesaan, diabetes melitus
menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8% (Aditama, 2009).
Diabetes Mellitus dapat dibagi menjadi, diabetes mellitus tipe I, diabetes
mellitus tipe II, diabetes gestasional dan diabetes dengan tipe spesifik lain. Diabetes
tipe I adalah disebabkan sel beta pankreas yang dirosakkan secara permanen akibat
proses autoimun. Diabetes mellitus tipe II mempunyai prevalensi yang lebih tinggi
dan merupakan akibat dari resistensi insulin. Diabetes gestasional pula merupakan
diabetes yang didapat sewaktu mengandung dan yang terakhir adalah diabetes dengan
tipe spesifik yang lain. Diabetes ini terjadi akibat sekunder dari penyakit-penyakit
lain, contohnya sindrom Cushing’s, pankreatitis dan akromegali (NIH, 2008).
Gejala khas awal yang harus diwaspadai adalah poliuria (peningkatan frekuensi
kencing di malam hari), polidipsi (banyak minum), polifagia(banyak makan) yang
ketiga tersebut menjadi 3P, dan penurunan berat badan secara cepat. Gejala lain yang
juga dapat timbul yaitu rasa kesemutan, mudah lelah, dan luka yang sukar sembuh.
Kondisi yang dapat ditimbulkan oleh diabetes mellitus dalam kondisi kronik antara
kerusakan retina). Kondisi akut yang dapat muncul pula adalah seperti penurunan
kesadaran mendadak, baik karena gula darah yang sangat tinggi atau sangat rendah.
(Tenggara, 2008)
Dari analisis sebelumnya, didapat peningkatan penderita diabetes melitus yang
mengalami gangguan pendengaran. Walaupun belum ada patofisiologi pasti,
dipercayai perubahan patologi yang diakibatkan diabetes dapat merusak vestibular
atau sistem neural telinga dalam, sehingga menyebabkan gangguan pendengaran
sensorineural (Bainbridge, 2008). Tidak seperti retina, koklea sangat susah untuk
diperiksa secara kasat mata dan sirkulasi mikronya melekat pada tulang temporal,
menyulitkan lagi untuk diperiksa dengan lebih efektif, walaupun dengan pembedahan
(Hirose, 2008).
Gangguan pendengaran merupakan masalah yang disebabkan peningkatan
umur, penyakit, keturunan dan kebisingan. Di dunia, menurut WHO, pada 2005
terdapat sedikitnya 278 juta orang menderita gangguan pendengaran, 75-140 juta
diantaranya terdapat di Asia Tenggara, sedangkan pada bayi terdapat 0,1-0,2%
menderita tuli sejak lahir atau setiap 1.000 kelahiran hidup terdapat 1-2 bayi yang
menderita tuli. Di Indonesia, menurut data dari Kementerian Komunikasi dan
Informatika Republik Indonesia, gangguan pendengaran dan ketulian saat ini masih
merupakan suatu masalah yang dihadapi masyarakat. Berdasarkan hasil survei
nasional, kesehatan indera penglihatan dan pendengaran di 7 provinsi diketahui,
prevalensi ketulian sekitar 0,4% dan gangguan pendengaran adalah sekitar 16,8%
(Krishnajaya, 2010).
Menurut National Institutes of Health (NIH), kurang pendengaran terjadi dua
kali lebih sering pada dewasa yang mengalami diabetes dari mereka yang tidak ada
penyakit tersebut. Gangguan pendengaran yang sedang atau berat pada frekuensi
bunyi yang rendah atau sedang, adalah kira-kira 21 persen pada 399 orang dewasa
dengan diabetes, berbanding dengan 9 persen pada 4,741 orang dewasa tanpa
diabetes. Menurut data dari National Institute on Deafness and Other Communication
Disorders (NIDCD), untuk frekuensi bunyi yang tinggi, gangguan pendengaran
tingkat sedang atau berat adalah 54 persen pada pasien diabetes dibandingkan 32
dalam darahnya tinggi dari normal tetapi tidak sukup tinggi untuk didiagnosis sebagai
diabetes mempunyai risiko 30 persen lebih tinggi untuk mengidap gangguan
pendengaran (Cowie, 2008).
Daripada kebanyakkan penelitian, gangguan pendengaran sensorineural selalu
terjadi pada pasien diabetes berbanding pasien tanpa diabetes dan tingkat keparahan
gangguan pendengaran ini diakibatkan progresif penyakit yang dapat dilihat dari
serum kreatinin (Kakarlapudi, Sawyer dan Hinrich, 2003). Dari studi yang dilakukan
oleh Bainbridge dan teman-temannya, mereka menjumpai pasien diabetes melitus
mempunyai resiko untuk kehilangan pendengaran dengan odd rasio 2.2 - 2.4 dengan
peringkat kehilangan pendengaran adalah dari ringan ke sedang. Risiko gangguan
pendengaran ini malah menurun jika diabetes dapat dikontrol dengan baik
(Bainbridge et al, 2008).
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui prevalensi
gangguan pendengaran pada penderita diabetes mellitus yang berobat di poliklinik
penyakit dalam RSUP H. Adam Malik tahun 2010.
3. Tujuan penelitian
3.1 Tujuan umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk untuk mengetahui prevalensi gangguan
pendengaran pada pasien Diabetes Melitus di RSUP H. Adam Malik.
3.2 Tujuan khusus
1. Mengetahui jenis gangguan pendengaran pada penderita DM.
2. Mengetahui lama menderita DM, pada penderita yang mengalami
gangguan pendengaran.
4.1 Bagi Peneliti
Sebagai sarana pengembangan diri dan penerapan pengetahuan yang diperoleh
penulis tentang metodologi penelitian.
4.2 Bagi Institusi Pendidikan
Bisa dijadikan sebagai bahan bacaan di perpustakaan besar Universitas
Sumatera Utara, yang diharapkan bermanfaat sebagai pembanding dan referensi
untuk penelitian lebih lanjut.
4.3 Bagi Institusi Rumah Sakit
Sebagai bahan evaluasi dan rujukan untuk mengetahui prevalensi gangguan
pendengaran pada pasien diabetes mellitus.
4.4 Bagi Masyarakat
Sebagai bahan tambahan informasi yang terbaru mengenai prevalensi gangguan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes 2.1.1 Definisi
Diabetes mellitus menurut definisi medis dari Oxford Concise Medical
Dictionary, merupakan gangguan metabolisme karbohidrat di mana glukosa di dalam
tubuh tidak dioksidasi untuk memproduksi tenaga, akibat kekurangan hormon insulin
(Martin, 2007). Diabetes adalah gangguan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak
yang menyebabkan ketidakseimbangan antara penggunaan insulin dan penghasilan
insulin. Ketiadaan insulin boleh disebabkan gangguan pengeluaran insulin di sel beta
pada pankreas, reseptor insulin terganggu atau tidak mencukupi, atau produksi insulin
tidak aktif atau penghancuran insulin sebelum bekerja. Seseorang dengan diabetes tidak
terkontrol tidak mampu mentransportasi glukosa menjadi lemak dan sel otot sehingga
menyebabkan sel-sel menjadi kekurangan tenaga dan ini menyebabkan peningkatan
metabolisme lemak dan protein sebagai sumber tenaga (Porth, 2006).
2.1.2 Klasifikasi
Diabetes Mellitus dapat dibagi menjadi, diabetes mellitus tipe I, diabetes mellitus
tipe II, diabetes gestasional dan diabetes dengan tipe spesifik lain. Diabetes tipe I adalah
disebabkan sel beta pankreas yang dirosakkan secara permanen akibat proses autoimun.
Diabetes mellitus tipe II mempunyai prevalensi yang lebih tinggi dan merupakan akibat
dari resistensi insulin. Diabetes gestasional pula merupakan diabetes yang didapat
sewaktu mengandung dan yang terakhir adalah diabetes dengan tipe spesifik yang lain.
Diabetes ini terjadi akibat sekunder dari penyakit-penyakit lain, contohnya sindrom
Cushing’s, pankreatitis dan akromegali (NIH, 2008).
2.1.3 Manifestasi Klinis
Diabetes Mellitus mempunyai onset yang cepat dan membahayakan. Pada
munculnya lebih lambat tetapi membahayakan. Simptom yang selalu pada pasien-pasien
diabetes adalah 3 poli, yaitu, poliuria (banyak berkemih), polidipsia (selalu haus) dan
polifagia (selalu lapar). Ketiga simptom ini sangat berkaitan dengan kejadian
hiperglikemik dan glikosuria pada pasien diabetes.
Kehilangan berat badan terjadi walaupun nafsu makan adalah normal atau
bertambah pada mereka yang mempunyai diabetes tipe I. Penyebab kehilangan berat
badan ada dua. Pertama adalah disebabkan kehilangan cairan tubuh akibat diuresis
osmotik dan muntah, meningkatkan lagi kehilangan cairan pada ketoasidosis. Kedua,
adalah disebabkan kekurangan insulin menyebabkan tenaga berkurang sehingga
menyebabkan lemak dan protein pada tingkat sel harus dimetabolismekan sebagai sumber
energi. Namun kehilangan berat badan ini terjadi pada pasien dengan diabetes tipe I tidak
terkawal, manakala pasien diabetes tipe II lebih sering mengalami obesitas.
Simptom lain adalah hiperglikemik termasuk gangguan pemandangan, keletihan,
parestesis dan infeksi kulit. Gangguan pemandangan terjadi apabila lensa dan retina
selalu mengalami efek hiperosmotik akibat dari peningkatan glukosa dalam darah.
Plasma volume yang rendah menyebabkan badan lemah dan letih. Parestesis menandakan
adanya disfungsi sementara pada saraf sensorik perifer. Infeksi kulit kronik sering terjadi
pada pasien diabetes tipe II. Hiperglikemik dan glikosuria selalu menyebabkan jangkitan
jamur. Manakala pruritus dan vulvovaginitis terjadi akibat infeksi candida yang selalu
menjadi keluhan wanita dengan diabetes (Porth, 2006).
2.1.4 Patofisiologi
Pemahaman tentang patofisiologi diabetes terletak pada pengetahuan tentang
dasar-dasar metabolisme karbohidrat dan aksi insulin. Setelah konsumsi makanan,
karbohidrat dipecah menjadi molekul-molekul glukosa dalam usus. Glukosa diserap ke
dalam aliran darah dan menaikkan kadar glukosa darah. Kenaikan glycemia
merangsang sekresi insulin dari sel beta pankreas. Insulin dibutuhkan oleh sel-sel untuk
masuknya glukosa. Insulin berikatan dengan reseptor seluler spesifik dan memfasilitasi
masuknya glukosa ke dalam sel, untuk digunakan sebagai sumber energi. Sekresi insulin
dari pankreas meningkat dan bekerja untuk menurunkan kadar glukosa darah. Apabila
Setelah makan, jumlah glukosa yang tersedia dari pemecahan karbohidrat sering
melebihi kebutuhan selular. Kelebihan glukosa disimpan di dalam hati, dalam bentuk
glikogen, yang berfungsi sebagai reservoir untuk digunakan di masa depan. Ketika energi
dibutuhkan, glikogen diubah menjadi glukosa melalui glikogenolisis, menaikkan kadar
glukosa darah, dan menyediakan sumber energi yang diperlukan pada tingkat selular.
Hati juga memproduksi tenaga dari lemak (asam lemak) dan protein (asam amino)
melalui proses glukoneogenesis. Glikogenolisis dan glukoneogenesis baik untuk
meningkatkan kadar glukosa darah. Jadi, glycemia dikendalikan oleh interaksi yang
kompleks antara saluran pencernaan, pankreas, dan hati. Beberapa hormon dapat
mempengaruhi glycemia. Insulin adalah hormon yang menurunkan kadar glukosa darah.
Kaunter-peraturan hormon seperti glukagon, katekolamin, hormon pertumbuhan, hormon
tiroid, dan glukokortikoid semua bertindak untuk meningkatkan kadar glukosa darah,
selain efek yang lain.
Dalam Diabetes tipe 1, pankreas tidak dapat mensintesis cukup hormon insulin
yang dibutuhkan oleh tubuh. Patofisiologinya menunjukkan bahwa hal itu disebabkan
penyakit autoimun. Tubuh memiliki sistem kekebalan tubuh yang menghasilkan sekresi
zat yang menyerang sel beta pankreas. Akibatnya, pankreas mengeluarkan sedikit insulin
atau tidak langsung. Diabetes tipe 1 lebih umum di kalangan anak-anak dan dewasa muda
(sekitar 20 tahun). Karena umum di antara individu muda dan hormon insulin digunakan
untuk pengobatan, diabetes tipe 1 juga disebut sebagai Insulin Dependent Dabetes
Mellitus (IDDM) atau Diabetes Juvenil. Dalam kasus DM tipe II, produksi hormon
insulin adalah normal, tetapi sel-sel tubuh resisten terhadap insulin. Karena sel-sel tubuh
dan jaringan non responsif terhadap insulin, glukosa tetap dalam aliran darah. Hal ini
umumnya diwujudkan oleh orang dewasa setengah baya (di atas 40 tahun). Diabetes tipe
2 juga dikenali sebagai Non-insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIIDM). Gestational
diabetes , di sisi lain, terjadi pada wanita hamil. Hal ini disebabkan karena fluktuasi
tingkat hormon selama kehamilan. Biasanya, kadar gula darah kembali normal setelah
bayi lahir (Porth, 2006).
Terjadinya diabetes tipe I biasanya mendadak sedangkan diabetes tipe II sering
hadir selama bertahun-tahun tanpa tanda-tanda atau gejala yang jelas. Pasien dengan
diabetes terdiagnosis dapat hadir dengan satu atau lebih tanda-tanda dan gejala. Diagnosis
diabetes didasarkan pada adanya tanda-tanda klinis dan gejala, bersama dengan temuan
laboratorium khusus. Penggunaan glukosa puasa dan santai (nonfasting) kadar glukosa,
untuk diagnosis dan rutin uji toleransi glukosa oral. Diagnosis diabetes tidak dilakukan
jika kadar gula darah pasien telah melebihi ambang batas glukosa pada dua kesempatan
terpisah. Kedua tes plasma glukosa puasa dan santai memberikan penentuan kadar
glukosa pada saat satu waktu, yaitu, pada saat sampel darah dikumpulkan. Hal ini sering
berguna untuk menilai kontrol jangka panjang glycemia, terutama pada pasien diabetes
diketahui (Brian & Maeley, 2006).
Toleransi glukosa diklasifikasikan kepada 3 kategori berdasarkan kadar
glukosa puasa(KGP) yaitu normal KGP < 5.6mmol/L (100mg/dL), KGP = 5.6 – 6.9
mmol/L (100 – 125 mg/dL) menandakan adanya gangguan pada kadar glukosa puasa,
manakala pada pasien diabetes KGP ≥ mmol/L (126 mg/dL). Seseorang juga dikatakan
mendapat diabetes apabila kadar glukosa adalah > 11.1 mmol/L (200mg/dL) 2 jam
selepas makan (Fauci, 2008).
2.1.6 Komplikasi
Penyebab utama dari morbiditas tinggi dan tingkat kematian yang terkait
dengan diabetes adalah sekelompok komplikasi mikrovaskuler dan macrovascular yang
mempengaruhi beberapa sistem organ. Orang dengan diabetes memiliki risiko yang
sangat tinggi untuk menjadi buta, gagal ginjal, infark miokard, stroke, perlu amputasi
ekstremitas, dan sejumlah penyakit lainnya. Permulaan dan perkembangan komplikasi ini
sangat terkait dengan lanjutan dari hiperglikemik. Tingkat komplikasi dan beratnya
komplikasi meningkat apabila durasi diabetes meningkat. Gangguan lain (seperti
hipertensi dan dislipidemia) biasanya terlihat pada orang dengan diabetes, dan ini
meningkatkan risiko komplikasi mikrovaskuler dan macrovaskuler.
Komplikasi vaskular akibat dari aterosklerosis dan microangiopati. Peningkatan
deposisi lipid dan pembentukan ateroma terlihat di dalam pembuluh darah besar, seiring
membran endotel, dan perubahan fungsi sel endotel menyebabkan kerusakan
mikrovaskuler. Kontrol glisemik yang kurang jelas merupakan faktor risiko utama untuk
terjadinya komplikasi, tetapi tidak semua pasien diabetes terkontrol akan mengalami
komplikasi. Sebaliknya, beberapa individu mendapat komplikasi walaupun kontrol
glisemik pasien relatif baik. Hiperglikemia memainkan peran utama dalam kedua
penyakit mikrovaskuler dan penyakit macrovascular (Fukushima et al, 2004).
2.2 Gangguan Pendengaran 2.2.1 Definisi
Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan total atau parsial untuk
mendengar suara di salah satu atau kedua telinga. Gangguan pendengaran diukur dengan
jumlah tingkat kerugian yang disebut desibel (dB). Saat volume suara meningkat, jumlah
desibel ikut meningkat. Percakapan normal biasanya antara 45-55 dB. Biasanya, dengan
kehilangan pendengaran, kemampuan untuk mendengar suara tinggi berkurang sehingga
ada kesulitan untuk mendengar suara burung atau perempuan, diikuti dengan hilangnya
penerimaan suara nada rendah (Lipkin, 2009).
2.2.2 Etiologi
Kehilangan pendengaran dapat konduktif (karena kesalahan transmisi
gelombang suara) atau sensorineural (penerimaan suara yang rusak oleh sel saraf), atau
keduanya. Penyebab umum gangguan pendengaran konduktif adalah laluan telinga
terblokir akibat sumbatan kotoran, gendang telinga berlubang, atau adanya cairan di
telinga. Alasan umum untuk tuli sensorineural adalah paparan kebisingan, perubahan
yang berkaitan dengan usia, dan obat-obatan ototoksik (yang merusak pendengaran).
Kehilangan pendengaran dapat; ringan, yaitu dibawah 40 dB dengan masalah dalam
mendengar percakapan biasa, moderat (40-60 dB) di mana suara-suara harus dinaikkan
untuk didengarkan dan terakhir berat, yaitu melebihi 60 dB di mana orang harus berteriak
untuk didengarkan (Lipkin, 2009).
Masalah mendengar biasanya datang secara bertahap, dan jarang berakhir pada
tuli lengkap. Ada banyak penyebab gangguan pendengaran. Kehilangan pendengaran
dapat dibagi menjadi dua kategori utama:
o Gangguan pendengaran konduktif (CHL) terjadi karena masalah mekanis di
telinga luar atau tengah.Tiga tulang kecil di telinga tidak dapat metranportasi
suara dengan benar, atau mungkin gendang telinga tidak bergetar sebagai respons
terhadap suara. Cairan di telinga tengah dapat menyebabkan jenis gangguan
pendengaran konduktif ini.
o Gangguan pendengaran sensorineural (HPS) hasil ketika ada masalah dengan
telinga dalam. Hal ini paling sering terjadi ketika sel-sel rambut kecil (ujung
saraf) yang mengirimkan suara melalui telinga menjadi terluka, sakit, atau tidak
berfungsi dengan baik. Jenis gangguan pendengaran kadang-kadang disebut
"kerusakan saraf," meskipun hal ini tidak akurat (Lipkin, 2009).
2.2.4 Diagnosis
Untuk mendiagnosis adanya gangguan pendengaran, dapat dilakukan dahulu
anamnase. Pasien ditanya saat kapan dan sewaktu aktivitas apa gangguan tersebut
dialami. Kemudian dilakukan pula pemeriksaan telinga dengan menggunakan auriskop
atau otoskop, yaitu sebuah lampu suluh yg kecil, yang digunakan untuk melihat ke dalam
telinga pasien. Menggunakan alat ini, akan dapat dilihat sama ada terdapat cairan yang
keluar dari dalam telinga, pembangkakkan gendang telinga, sumbatan di dalam telinga
disebabkan cairan atau benda asing, atau terakhir sekali terdapat lobang pada gendang
telinga.
Seterusnya mungkin akan dilakukan pemeriksaan lanjutan seperti pemeriksaan
garpu tala, tes audiometri dan tes tulang osikel. Pada pemeriksaan garpu tala, terdapat 3
jenis pemeriksaan yaitu, tes Rinne, tes Weber dan tes Swabach. Tujuan melakukan tes
Rinne adalah untuk membandingkan atara hantaran tulang dengan hantaran udara pada
satu telinga pasien. Ada 2 macam tes rinne , yaitu;
o Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya tegak
lurus pada planum mastoid pasien (belakang meatus akustikus eksternus). Setelah
meatus akustikus eksternus pasien. Tes Rinne positif jika pasien masih dapat
mendengarnya. Sebaliknya tes rinne negatif jika pasien tidak dapat mendengarnya
o Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya
secara tegak lurus pada planum mastoid pasien. Segera pindahkan garputala
didepan meatus akustikus eksternus. Kita menanyakan kepada pasien apakah
bunyi garputala didepan meatus akustikus eksternus lebih keras dari pada
dibelakang meatus skustikus eksternus (planum mastoid). Tes rinne positif jika
pasien mendengar didepan maetus akustikus eksternus lebih keras. Sebaliknya tes
rinne negatif jika pasien mendengar didepan meatus akustikus eksternus lebih
lemah atau lebih keras dibelakang.
Ada 2 interpretasi dari hasil tes Rinne yaitu normal apabila tes Rinne positif, tuli
konduksi apabila tes Rinne negatif (getaran dapat didengar melalui tulang lebih lama).
Seterusnya adalah tes Weber. Tujuan dilakukan tes Weber adalah untuk
membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga pasien. Cara melakukan tes Weber
adalah membunyikan garpu tala 512 Hz lalu tangkainya diletakkan tegak lurus pada garis
horizontal kepala. Menurut pasien, telinga mana yang mendengar atau mendengar lebih
keras. Jika telinga pasien mendengar atau mendengar lebih keras ke arah 1 telinga maka
terjadi lateralisasi ke sisi telinga tersebut. Jika kedua pasien sama-sama tidak mendengar
atau sam-sama mendengar maka berarti tidak ada lateralisasi. Interpretasinya;
a. Bila pendengar mendengar lebih keras pada sisi di sebelah kanan disebut
lateralisai ke kanan, disebut normal bila antara sisi kanan dan kiri sama kerasnya.
b. Pada lateralisasi ke kanan terdapat kemungkinannya:
o Tuli konduksi sebelah kanan, missal adanya ototis media disebelah
kanan.
o Tuli konduksi pada kedua telinga, tetapi gangguannya pada telinga
kanan lebih hebat.
o Tuli persepsi sebelah kiri sebab hantaran ke sebelah kiri terganggu,
maka di dengar sebelah kanan.
o Tuli persepsi pada kedua telinga, tetapi sebelah kiri lebih hebat dari
pada sebelah kanan.
Terakhir adalah tes Swabach. Ini bertujuan untuk membandingkan daya transport
melalui tulang mastoid antara pemeriksa (normal) dengan probandus. Penguji meletakkan
pangkal garpu tala yang sudah digetarkan pada puncak kepala probandus. Probandus
akan mendengar suara garputala itu makin lama makin melemah dan akhirnya tidak
mendengar suara garputala lagi. Pada saat garputala tidak mendengar suara garputala,
maka penguji akan segera memindahkan garputala itu, ke puncak kepala orang yang
diketahui normal ketajaman pendengarannya (pembanding). Bagi pembanding dua
kemungkinan dapat terjadi sama ada akan mendengar suara, atau tidak mendengar suara.
Setelah pemeriksaan garpu tala selesai dapat dilanjutkan pula tes audiometri.
Earphones akan dipakaikan kepada pasien dan akan disambungkan pada sebuah mesin.
Berbagai jenis dan kekuatan bunyi akan dimainkan dan pasien harus mengangkat tangan
jika dapat mendengar. Manakala untuk tes tulang osikel dilakukan untuk mengetahui
sama ada pasien masih mampu mendengar suara atau bunyi yang dihantar melalui tulang
berbanding bunyi ditransportasi melalui udara (Lipkin, 2009).
3.0 Patofisiologi gangguan pendengaran yang disebabkan diabetes mellitus
Diabetes dikaitkan dengan sudden neurologic hearing loss (SNHL). Menurut
Vaughan (2006), kehilangan pendengaran ini bermula pada usia yang agak awal tetapi
populasi semakin meningkat sehingga pada umur 60 tahun, ini sudah susah dibedakan.
Studi patologi oleh Fukushima (2004), mengatakan kehilangan pendengaran ini terjadi
akibat dari mikroangiopati pada saluran darah pada telinga dalam dan atropi stria
vaskular serta kehilangan sel rambut (Hain, 2010). Perubahan patologi yang berlaku
akibat diabetes dapat merusak vaskular atau sistem neural pada telinga dalam sehingga
menyebabkan gangguan pendengaran.
Studi oleh Makishima K dan Jorgensen MB menunjukkan adanya perubahan
patologi tersebut terjadi yaitu sklerosis di arteri auditorik internal, penebalan kapiler stria
vaskuler, atropi ganglion spiral, dan dimyelinisasi pada saraf kranial delapan.
Penemuan-penemuan ini dijumpai saat autopsi pasien-pasien diabetes. Namun sampai saat ini,
patofisiologi pasti tentang kejadian gangguan pendengaran pada pasien diabetes masih
BAB 3
KERANGKA KONSEP dan DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Hubungan antara diabetes mellitus dan gangguan pendengaran dianggap
kontroversial pada banyak literatur, walaupun di dunia nyata terdapat banyak pasien
diabetes mengalami gangguan pendengaran. Walaupun masih diperdebatkan, tetapi teori
yang paling menghampiri adalah penyakit diabetes dapat merusak vestibular atau sistem
neural telinga dalam, akibat dari sklerosis di arteri auditorik internal, penebalan kapiler
stria vaskuler, atropi ganglion spiral, dan dimyelinisasi pada saraf kranial delapan.
Diagram 1 : Kerangka Konsep tentang Diabetes Mellitus dan gangguan pendengaran
3.2 Definisi Operasional 3.2.1 Definisi
a) Diabetes : pasien yang datang ke poliklinik penyakit dalam dan disahkan oleh dokter mengidap penyakit diabetes mellitus
b) Gangguan pendengaran : bila pada pemeriksaan dengan garpu tala (tes Rinne dan tes Weber) ditemukan kelainan 3.2.2 Cara Ukur : wawancara dan pemeriksaan
3.2.3 Alat Ukur : menggunakan garpu tala untuk melakukan tes Rinne dan
Diabetes Mellitus
Gangguan Pendengaran
o Prevalensi
tes Weber
3.2.4 Kategori : - tes Rinne : positif atau negatif
- tes Weber : tidak ada lateralisasi, lateralisasi ke telinga yang
sihat atau lateralisasi ke telinga yang sakit
3.2.5 Skala Pengukuran : ordinal
3.2.6 Interpretasi Hasil :
TES RINNE POSITIF RINNE NEGATIF
WEBER (tidak ada
lateralisasi)
normal atau tuli
sensorineural
-
WEBER (lateralisasi
ke telinga yang sihat)
tuli sensorineural tuli sensorineural
WEBER (lateralisasi
ke telinga yang sakit)
tuli konduktif tuli konduktif
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan menggunakan
rancangan cross sectional.
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu : Agustus 2010 hingga Oktober 2010
Tempat : Poliklinik Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik
4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi
Pasien diabetes mellitus yang datang berobat ke Poliklinik Penyakit Dalam
RSUP H. Adam Malik.
4.3.2 Sampel
Dalam penelitian ini, teknik perhitungan besar sampel untuk menaksir proporsi
populasi dengan ketelitian absolut menggunakan rumus,
n = Za² . PQ / d²
Jumlah pasien diabates yang dipilih sebagai sampel dengan taksiran akhir
diharapkan berada dalam10% dari proporsi sebenarnya dengan confidence level 90%.
Diketahui bahwa prakiraan proporsi populasinya adalah 21.3% berdasarkan penelitian
Kathleen E. Bainbridge dan kawan-kawan di United State.
Perhitungan : Prakiraan proporsi populasi = 21.3%
Confidence level = 90%
Absolute precision = 10%
Besar alpha = 1,96 = Zα
q = 1 - p
= (1.96)² . [0.213x (1 – 0.213)] / (0.1)²
= 64.39
= 65 pasien
Sampel akan dipilih dengan menggunakan metode non-probability sampling dari
kelompok pasien DM yang datang berobat ke poliklinik penyakit dalam RSUP H. Adam
Malik. Teknik Sampling yang digunakan adalah consecutive sampling, di mana semua
subyek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian
sampai jumah yang diperlukan terpenuhi.
4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 4.4.1 Kriteria Inklusi
Pasien DM yang bersedia menjadi sampel.
4.4.2 Kriteria Eksklusi
4.5 Metode Pengumpulan Data
Pada tahap awal, dilakukan pengumpulan informasi tentang diabetes mellitus,
jumlah kasus dan studi yang menunjukkan adanya gangguan pendengaran pada pasien
diabetes mellitus. Kemudian dilakukan persiapan pengurusan izin meneliti ke RSUP H
Adam Malik. Kemudian dipersiapkan informed consent bagi pasein yang akan dijadikan
sampel. Data mengenai nama, jenis kelamin, umur dan lama mengidap penyakit diabetes
mellitus, dilihat dari status pasien.
Setelah pasien setuju untuk menjadi subjek penelitian, pasien diminta untuk
menandatangani informed consent. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan langsung terhadap
pasien menggunakan garpu tala. Pasien diperiksa dengan dilakukan tes Rinne dan tes
Weber, untuk menilai ada atau tidak gangguan pendengaran. Akhirnya, data yang
diperoleh tersebut dicatat sesuai dengan yang didapat.
4.6 Pengolahan dan Analisa Data
Pengolahan data dilakukan dengan cara manual dan ditabulasikan dan akan dianalisis dengan menggunakan bantuan program SPSS ver.17.0 for Windows.
4.6.2 Analisa Data
Data yang sudah dikumpul kemudian ditabulasi dan dianalisa dengan cara
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian
5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di poliklinik penyakit dalam RSUP H. Adam Malik.
5.1.2 Karakteristik Sampel
Kesemua 65 pasien Diabetes Mellitus tersebut diambil data-data peribadi
seperti umur, jenis kelamin dan lama mengidap Diabetes Mellitus.
Tabel 5.1 Karakteristik Sampel berdasarkan umur
Tabel 5.2 Karakteristik Sampel berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin n %
Lelaki 39 60
Perempuan 26 40
Tabel 5.3 Karakteristik Sampel berdasarkan lama menderita diabetes mellitus
Lama menderita DM n %
< 5 tahun 37 56,92
6 – 10 tahun 20 30,77
> 11 tahun 8 12,31
5.1.3 Hasil Analisa Data
Umur (tahun) n %
21 – 30 2 3,08
31 - 40 25 38,46
41 – 50 25 38,46
51 – 60 11 16,92
normal
gangguan pendengaran
Diag ram 2 Distribusi Sampel berdasarkan gangguan pendengaran pada penderita
diabetes mellitus
Berdasarkan diagram di atas, pada penderita diabetes mellitus, terdapat 16 orang atau
24.6% mempunyai pendengaran yang normal. Selebihnya, yaitu sebanyak 75.4% atau
49 orang dari penderita diabetes mellitus mengalami gangguan pendengaran.
Tabel 5.4 Distribusi Sampel berdasarkan umur dan gangguan pendengaran
Umur Responden (tahun) Gangguan Pendengaran
n %
21 – 30 1 2,04
31 – 40 14 28,57
41 – 50 21 42,86
51 – 60 11 22,45
61 – 70 2 4,08
Jumlah 49 100
24,6%
Berdasarkan tabel di atas, dari 49 orang penderita diabetes mellitus yang mengalami
gangguan pendengaran, rentang umur terbanyak adalah 41 – 50 tahun, sebanyak 42,86%
atau 21 orang. Kemudian diikuti dengan 14 orang atau 28,57% dari umur 31 – 40 tahun.
22,45% atau 11 orang pula terdiri dari umur 51 – 60 tahun. Seterusnya 2 orang dengan
4,08% berumur dari 61 – 70 tahun. Terakhir adalah umur 21 – 30 tahun yaitu 1 orang
atau 2,04% yang mengalami gangguan pendengaran.
Tabel 5.5 Distribusi Sampel berdasarkan jenis kelamin dan gangguan pendengaran
Dari 49 penderita diabetes mellitus yang mengalami gangguan pendengaran, terdapat 33
orang penderita lelaki, yaitu 67,35%. Penderita perempuan lebih sedikit berbanding
penderita lelaki yaitu seramai 16 orang atau 32,65% yang mengalami gangguan
pendengaran.
tuli sensorineural tuli konduktif
Diagram 3 Distribusi Sampel berdasarkan jenis ketulian pada penderita yang mengalami gangguan pendengaran
Berdasarkan diagram di atas, dari 49 orang responden yang mengalami gangguan
pendengaran, lebih ramai yang mengalami gangguan tuli sensorineural. Sebanyak 27
orang atau 55,1% mengalami gangguan tuli sensorineural berbanding 22 orang atau
44,9% mengalami gangguan tuli konduktif.
Tabel 5.6 Distribusi Sampel berdasarkan lama menderita Diabetes Mellitus dan jenis ketulian
Lama Menderita
Diabetes Mellitus
Jenis Tuli Jumlah
Tuli Sensorineural Tuli Konduktif
< 5 tahun
Dari 49 orang yang mengalami gangguan pendengaran, responden yang menderita
diabetes mellitus di bawah 5 tahun, mencatatkan paling ramai mengalami gangguan tuli
sensorineural yaitu sebanyak 13 orang. Ini diikuti penderita diabetes selama 6 – 10 tahun
seramai 8 orang. 6 orang yang didapat tuli sensorineural adalah dari responden yang
menderita diabetes mellitus lebih dari 11 tahun. Manakala untuk tuli konduktif, seramai
11 orang didapatkan bagi responden yang menderita diabetes mellitus 6 – 10 tahun. Bagi
mereka yang menderita kurang dari 5 tahun, terdapat 9 orang. Dan hanya 2 orang
penderita diabetes mellitus lebih dari 11 tahun yang mengalami tuli konduktif.
5.2 Pembahasan
Berdasarkan penelitian yang pernah dibuat Daniel (2009), kebanyakan pasien
diabetes yang berumur kurang dari 50 tahun, lebih sering mengalami gangguan
pendengaran jika dibandingkan dengan teman seusia tanpa diabetes. Dari 49 orang yang
mengalami gangguan pendengaran pada penelitian ini, umur paling banyak adalah umur
41 – 50 tahun, yaitu sebanyak 21 orang atau 42,86% dari 25 orang responden. Kemudian
mengikuti penelitian. Seterusnya, kesemua 11 orang atau 22,45%, yang berumur 51 – 60
tahun yang mengikuti penelitian mengalami gangguan pendengaran. Responden yang
berumur 61 – 70 tahun, yang terdiri dari 2 orang, kedua-duanya mengalami gangguan
pendengaran, dengan persentase sebanyak 4,08%. Seorang dari 2 orang responden pada
kelompok umur 21 – 30 tahun, yaitu 2,04% mengalami gangguan pendengaran.
Walaupun diketahui, usia lanjut akan menyebabkan berlakunya presbikusis, tetapi, bagi
penderita diabetes mellitus di bawah umur 50 tahun, gejala ini akan timbul lebih awal.
Dan data ini dapat dilihat dari National Health Survey yang dilakukan pada 1960 – 1962
di United States.
Dari data National Health Survey (1962) juga menyatakan, perempuan mempunyai pendengaran yang lebih baik dari lelaki. Data ini dapat disesuaikan dengan penelitian, yaitu daripada 49 orang yang mengalami gangguan pendengaran, sebanyak 33 orang atau
67.35% adalah responden lelaki. Selebihnya, 16 orang atau 32,65% merupakan
responden perempuan. Menurut penelitian yang dilakukan Barbara di Karolinska
Institute, Stockholm, Sweden (2008), gangguan pendengaran kurang terjadi pada
perempuan kerana adanya hormon estradiol yang bekerja melalui reseptor estrogen beta
yang dapat memelihara sistem auditori dari trauma.
Didapat dari penelitian ini, lebih banyak responden yang mengalami gangguan
tuli sensorineural berbanding tuli konduktif, yaitu 27 orang atau 55,10% berbanding 22
orang atau 44,90%. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Bainbridge (2008), tuli
sensorineural lebih banyak dideritai oleh penderita diabetes mellitus berbanding tuli
konduktif. Ini dipercayai karena adanya masalah perubahan patologi pada sistem
vestibular dan sistem neural telinga dalam, sehingga gangguan pendengaran sensorineural
terjadi.
Selain itu, turut diteliti hubungan lama menderita diabetes mellitus dengan
gangguan pendengaran. Dari 37 orang responden yang menderita diabetes mellitus
kurang dari 5 tahun, didapat 22 orang yang mengalami gangguan pendengaran, dengan
13 orang daripadanya mengalami tuli sensorineural dan 9 orang tuli konduktif. Kemudian
untuk responden yang menderita diabetes mellitus selama 6 – 10 tahun, dari 20 orang, 19
orang mengalami gangguan pendengaran dengan 11 orang mengalami tuli konduktif dan
8 orang tuli sensorineural. Terdapat 8 orang responden yang menderita diabetes mellitus
tuli konduktif. Lebih lama seseorang menderita diabetes, kemungkinan untuk mengalami
gangguan pendengaran lebih besar. Dari penelitian Brown et al (1983), mereka
menghitung min dari lama menderita diabetes yang mengalami gangguan pendengaran
adalah 7 tahun. Manakala dari penelitian Poovazhagi, Nagarajan dan Suresh (2010), min
dari lama menderita diabetes yang mengalami gangguan pendengaran adalah 5 tahun.
Dari perkiraan odd rasio menunjukkan peningkatan 5 kali jika lama menderita diabetes
adalah lebih dari 5 tahun.
Setelah diteliti, ternyata hasil yang didapatkan bersesuaian dengan hasil penelitian
yang pernah dibuat sebelumnya oleh Bainbridge (2008), di mana mereka menjumpai
penderita diabetes mellitus mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami gangguan
pendengaran berbanding yang non diabetes. Malah penelitian oleh Kakalapurdi (2003)
juga mendapatkan, gangguan pendengaran sensorineural selalu terjadi pada pasien
diabetes mellitus.
5.3 Kelemahan
Terdapat beberapa kelemahan dalam penelitian ini. Salah satunya adalah
responden berkemungkinan memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan apa yang
didengarnya pada waktu pemeriksaan dilakukan. Selain itu, kebanyakan responden telah
berumur dan memang telah mengalami gangguan pendengaran sehingga peneliti tidak
dapat memastikan apakah gangguan pendengaran tersebut terjadi akibat diabetes mellitus
atau disebabkan faktor usia. Kemudian, peneliti juga tidak dapat memastikan sama ada
diabetes mellitus setiap responden adalah terkontrol dengan benar ataupun tidak, karena
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Prevalensi gangguan pendengaran pada penderita Diabetes Mellitus yang berobat
ke poliklinik RSUP H. Adam Malik adalah 75.4% yaitu 49 orang dari 65 orang
responden dibandingkan dengan 16 orang responden atau 24.6% yang mempunyai
pendengaran normal.
2. Jenis ketulian yang paling banyak didapatkan pada penderita diabetes
mellitus ini adalah tuli sensorineural, yaitu sebanyak 41.5% dan tuli
konduktif sebanyak 33.8%.
3. Dari penelitian, responden yang menderita diabetes kurang dari 5 tahun, dari 37
orang responden, 22 orang mengalami gangguan pendengaran, dengan 13 orang tuli
sensorineural dan 9 orang tuli konduktif. Ini diikuti dengan rentang waktu 6 – 10 tahun,
dari 20 orang responden, dicatatkan 19 orang mempunyai gangguan pendengaran,
dengan 8 orang tuli sensorineural dan 11 orang tuli konduktif. Untuk yang lebih dari
11 tahun
mengidap diabetes mellitus, terdapat 8 orang responden. 6 orang mengalami
tuli sensorineural dan 2 orang yang mengalami tuli konduktif.
1. Peneliti yang ingin meneliti kasus ini pada masa akan datang diharap bisa melengkapi kelemahan penelitian ini dengan cara memastikan responden menjawab dengan jujur serta metode tes mungkin bisa diubah ke audiometri supaya hasil yang didapatkan nanti adalah lebih akurat.
2. Peneliti juga harus memastikan apakah responden yang mengikuti penelitian,
diabetesnya benar-benar terkontrol atau tidak. Serta umur responden yang mengikuti penelitian jugak haruslah lebih variasi sehingga hasil yang didapatkan tidak dipengaruhi faktor tersebut.
3. Pemerintah serta tenaga kerja bidang kesehatan harus lebih mendedahkan
serta memberikan informasi pada masyarakat tentang adanya kemungkinan pasien diabetes mellitus mendapat gangguan pendengaran.
DAFTAR PUSTAKA
Bainbridge, K.E., Hoffman, H.J., Cowie, C.C., 2008. Diabetes and Hearing
Impairment in the United States: AudiometricEvidence from the National
Health and Nutrition Examination Survey, 1999 to 2004. Annals of Internal
Medicine 149 (1) : 1
Daniel, M.D., Dawn, K.M., Austin, D.F., Griest, S., McMillan, G.P., Fausti, S.A.,
2009. The Link Between Diabetes and Hearing Loss. The ASHA Leader.
Available from :
[Accessed 24 November 2010]
Diniz, T.H., Guida, H.L., 2009.
Hearing Loss in Patients with Diabetes
Mellitus.
Braz J Otorhinolaryngol. 75(4):573-578
Fauci, A.S., Kasper D.L., Longo D.L., Braunwald, E., Hauser S.L., Jameson J.L.,
Loscalzo J., 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th ed.
United States : McGraw-Hill : 2275-2281
Fukushima, H., Paparella M.M., Schachern, P.A., Harada, T., 2004. The Effects
of Type 1 Diabetes Mellitus on the Cochlear Structure and Vasculature in
Human Temporal Bones. The Registry 12 (1) : 4-5
Gupta, O.P., Phatak, S., 2003. Pandemic Trends in Prevalence of Diabetes
Mellitus and Associated Coronary Heart Disease in India – Their Causes
and Prevention. INT. J. DIAB. DEV. COUNTRIES VOL. 2: 37-38
Available from : /hearing/sensorineural.htm [Accessed 8 May 2010]
Hirose, K., 2008. Hearing Loss and Diabetes: You Might Not Know What You’re
Missing. Annals of Internal Medicine 149 (1) : 54-55
Kakarlapudi, V., Sawyer, R., Staecker, H., 2003. The Effect of Diabetes on
Sensorineural Hearing Loss. Otology & Neurotology 24 (3).
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2009. Tahun 2030 Prevalensi
Diabetes Mellitus Di Indonesia Mencapai 21,3 Juta Orang.Available from :
[Accessed 8 May 2010]
Krishnajaya. M.S., 2010. 30-50 Persen Anak Usia Sekolah Kurang Menjaga
Kebersihan Telinga. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik
Indonesia. Available from : file://localhost/C:/Documents %20and% 20
Settings/ Acer/Desktop /KTI/Kementerian%20Komunikasi%20dan%20 Informatika%20RI %20»%2030-50%20PERSEN%20ANAK%20USIA% 20SEKOLAH%20KURANG%20MENJAGA%20KEBERSIHAN%20TELINGA. htm [Accessed 8 May 2010]
Lipkin, A., 2009. Hearing loss – Overview. University of Maryland Medical
Centre. Available from :
[Accessed 8 May 2010]
Martin, E.A., et al., 2007. Oxford Consice Medical Dictionary, 7th ed. United States : Oxford University Press.
Available from : [Accessed 8 May 2010]
Meltser, I., Tahera,Y., Simpson, E., Hultcrantz, M., Charitidi, K., Gustafsson, J.A.,
Canlon, B. Estrogen receptor β protects against acoustic trauma in mice.
Journal Clinical Investigation 2008;118(4):1563–1570.
National Health Survey. Hearing Levels of adults by age and sex. United States.
1960 – 1962. Available from :
National Institutes of Health (NIH)/National Diabetes Information Cleaninghouse,
2008. Diabetes Overview. Available from : http://diabetes.niddk.nih.gov /dm
/pubs/overview/ [Accessed 8 May 2010]
National Institutes of Health (NIH)/National Institute of Diabetes and Digestive
and Kidney Diseases, 2008. Hearing Loss Is Twice As Common In People With
Diabetes Compared To Those WIthout The Disease. ScienceDaily. Available
from:
[Accessed 8 May 2010]
Poovazhagi V, Nagarajan M, Suresh S. Hearing loss in children with Type 1
Diabetes Mellitus. Pediatric Oncall. [serial online] 2010 [cited 2010 May
1];7.Art#26. Available from http://www.pediatriconcall.com/fordoctor/
Medical_original_articles/diabetes_mellitus.asp [Accessed 27 November
2010]
Porth, C.M., 2006. Essentials of Patophysiology. Lippincott Williams & Wilkins :
565-569
diabetes mellitus. Ann Otol Rhinol Laryngol. 1983; 92: 237-241
Tenggara, H., 2008. Mengenal Diabetes Mellitus, Apa yang Dapat Anda Lakukan.
Available from :
World Health Organization, 2010. Diabetes Programme : Country and regional
data. Available from :
[Accessed 7 May 2010]
Yunir, E.M., 2007. Mengenai Penyakit Diabetes Mellitus. Seputar Indonesia.
Available from
Mengenai_Penyakit_Diabetes_Melitus.pdf?UI=d3515e5f0f93fa82711d 2f798
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Nur Rihana Jaafar
Tempat / Tanggal Lahir : Selangor, Malaysia / 25 December 1987
Agama : Islam
Alamat : Jl Prof M. Yusuf, No. 17
Riwayat Pendidikan : 1. Sek. Ren. Keb. St. Nicholas Convent 2. Sek. Men. Keb. Convent Alor Star 3. Kolej Matrikulasi Kedah
Riwayat Pelatihan : 1. Seminar Proposal
2. Seminat Ethical Clearance
Riwayat Organisasi : 1. Medical Emergency Team (MET) 2. Perwakilan Mahasiswa Malaysia di USU
SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN
JUDUL PENELITIAN:
PREVALENSI GANGGUAN PENDENGARAN PADA PENDERITA DIABETES
MELLITUS YANG BEROBAT DI POLIKLINIK PENYAKIT DALAM RSUP H.
ADAM MALIK.
Saya, Nur Rihana Jaafar. NIM 070100317 adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara akan melakukan penelitian yang berjudul “ Prevalensi
Gangguan Pendengaran pada Penderita Diabetes Mellitus yang Berobat di Poliklinik
Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik.”. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu
kegiatan dalam rangka menyelesaikan proses belajar dan mengajar pada semester
ketujuh.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi gangguan pendengaran
pada pasien Diabetes Melitus di RSUP H. Adam Malik. Untuk keperluan tersebut saya
memohon kepada ibu atau bapak untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini.
Diharapkan agar ibu atau bapak sekalian dapat memberikan jawaban sejujurnya dan
bekerjasama dengan saya.
Identitas pribadi ibu atau bapak sebagai partisipan akan dirahasiakan dan semua
informasi yang diberikan hanya akan digunakan untuk penelitian ini. Jika terdapat
hal-hal yang kurang dimengerti mengenai penelitian ini ibu atau bapak dapat bertanya
langsung kepada saya atau dapat juga menghubungi nomor telepon 085664191441.
Jika ibu atau bapak bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, silahkan
menandatangani surat persetujuan ini sebagai bukti kesukarelaan. Atas perhatian dan
kesediaan ibu atau bapak berpartisipasi dalam penelitian ini, saya mengucapkan terima
kasih.
Medan, 2010
Partisipan, Peneliti,
Nama : Umur :
Jenis Kelamin : Lama mengidap DM :
TES Rinne : Telinga kanan – Positif / Negatif Telinga kiri – Positif / Negatif
TES Weber : - Tiada Lateralisasi ( )
- Lateralisasi ke telinga sihat ( )
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
umur responden *
gpendengaran
65 100.0% 0 .0% 65 100.0%
umur responden * gpendengaran Crosstabulation
Count
gpendengaran
Total
Gpndengarn normal
umur responden 1 1 1 2
2 14 11 25
3 21 4 25
4 11 0 11
5 2 0 2
Total 49 16 65
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
jenis kelamin responden *
gpendengaran
jenis kelamin responden * gpendengaran Crosstabulation
Count
gpendengaran
Total
Gpndengarn normal
jenis kelamin responden laki-laki 33 6 39
perempuan 16 10 26
Total 49 16 65
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
lama mengidap DM * jenis
tuli
65 100.0% 0 .0% 65 100.0%
lama mengidap DM * jenis tuli Crosstabulation
Count
jenis tuli
Total normal tuli sensorineural tuli konduktif
lama mengidap DM 1 15 13 9 37
2 1 8 11 20
3 0 6 2 8
jenis tuli
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid normal 16 24.6 24.6 24.6
tuli sensorineural 27 41.5 41.5 66.2
tuli konduktif 22 33.8 33.8 100.0