ANALISIS PENGARUH INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU
TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH
DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
TESIS
Oleh
SILVY PUSPITA
097003061/PWD
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012
SE K O L
A
H
P A
S C
A S A R JA N
ANALISIS PENGARUH INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU
TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH
DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
SILVY PUSPITA
097003061/PWD
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : ANALISIS PENGARUH INDUSTRI PENGOLAHAN
KAYU TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH
DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
Nama Mahasiswa :
Silvy Puspita
Nomor Pokok :
097003061
Program Studi : Perencanaan Pengembangan Wilayah dan Perdesaan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. Ir. Rahmanta, M.Si) (Dr. Rujiman, SE, MA
Ketua Anggota
)
Ketua Program Studi Direktur
(Prof.Dr.lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE) (Prof.Dr.Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)
Telah diuji pada
Tanggal : 20 Januari 2012
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Ir. Rahmanta, M.Si
Anggota : 1. Dr. Rujiman, SE, MA
2. Prof. Erlina, SE, M.Si. Ph.D, Ak
3. Dr. HB. Tarmizi, SU
ANALISIS PENGARUH INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Analisis Pengaruh Industri Pengolahan Kayu Terhadap Pengembangan Wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor produksi terhadap produksi industri pengolahan kayu serta untuk menganalisis pengaruh industri pengolahan kayu terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai. Metode penelitian ini menggunakan metode regresi berganda dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel investasi dan bahan baku berpengaruh positif dan signifikan terhadap produksi industri pengolahan kayu, sedangkan variabel tenaga kerja tidak berpengaruh positif dan signifikan. Kemudian variabel investasi juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengembangan wilayah, namun variabel produksi tidak memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pengembangan wilayah. Hasil produksi yang tidak dipasarkan di daerah serta keterbatasan SDM tenaga kerja menjadikan kedua variabel tersebut tidak memberikan pengaruh terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Serdang Bedagai.
ANALYSIS OF THE INFLUENCE OF INDUSTRY OF WOOD TO REGIONAL
DEVELOPMENT IN SERDANG BEDAGAI REGENCY
ABSTRACT
This research was entitled the Analysis of the Influence of Industry of Wood To Regional Development in Serdang Bedagai Regency. This research aimed at analysing the influence of the production factor on the production of the processing industry of wood as well as to analyse the influence of the processing industry of wood on the development of the territory in the Serdang Bedagai Regency. This research method used the multiplied regression method with results of the research showing that the investment variable and the raw material were influential positive and significant towards the production of the processing industry of wood, whereas the manpower variable was not influential positive and significant. Afterwards the investment variable also was influential positive and significant towards the regional development, but the production variable did not give the influence that was positive and significant towards regional development. The results of the production that was not marketed in the area as well as the limitations of manpower human resources made the two variables did not give the influence on the regional development of the Serdang Bedagai Regency.
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah S.W.T atas rahmat, hidayah dan lindungan-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Penelitian berjudul “Analisis
Pengaruh Industri Pengolahan Kayu terhadap Pengembangan Wilayah di Kabupaten
Serdang Bedagai” merupakan penelitian untuk mengetahui pengaruh Industri
pengolahan kayu terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai.
Penulis secara tulus menyampaikan terima kasih kepada Bapak
Dr. Ir. Rahmanta, M.Si selaku Ketua Komisi Pembimbing tesis dan Bapak
Dr. Rujiman, SE, M.A selaku Anggota Komisi Pembimbing tesis yang telah ikhlas
membimbing dan banyak mengorbankan waktu dalam membimbing penulis
menyelesaikan karya ilmiah ini.
Pada kesempatan ini juga penulis menyampaikan terimakasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc.(CTM) Sp.A(K), selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara, Medan.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, selaku Direktur Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.
3. Bapak Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE selaku Ketua Program Studi
Perencanaan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara, Medan.
4. Bapak dan Ibu Dosen Pembanding yang telah banyak memberikan masukan
dan saran bagi kesempurnaan tesis ini.
5. Seluruh Dosen Program Studi Perencanaan Wilayah dan Perdesaan (PWD)
Universitas Sumatera Utara atas segala keikhlasannya dalam memberikan
6. Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai khususnya Bupati Serdang Bedagai
H.T.Erry Nuradi dan Wakil Bupati H.Soekirman yang telah memberikan ijin
belajar.
7. Kedua orangtuaku tercinta ayahanda Suaripin, S.Sos dan ibunda Henny
Yuspita atas doa, kesabaran dan tanpa lelah mendukung penulis juga
adik-adikku terkasih Arief Hidayat, Tresyagati dan Fachrina Zahra yang selalu
memberi semangat kepada penulis dalam mencapai tahap pendidikan sampai
Strata 2 (S-2) ini.
8. Rekan-rekan mahasiswa PWD Angkatan 2010 khususnya sahabatku Ade
Faradilla Nasution, Winda Cattleya, Muhammad Kennedy, Bobby Batubara,
Fitri Yusmawita, Bg Ega dan Bg Diego yang telah memberikan semangat dan
dukungan dalam penyelesaian tesis ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya
pengambil kebijakan di Kabupaten Serdang Bedagai. Akhirnya penulis menyadari
bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis masih membutuhkan
kritik dan masukan yang membangun untuk kesempurnaan karya ilmiah ini.
Medan, Pebruari 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Paya Pasir pada tanggal 19 April 1988 dari
pasangan Ayahanda Suaripin, S.Sos dan Ibunda Henny Yuspita. Penulis merupakan
putri pertama dari empat bersaudara.
Penulis menempuh pendidikan TK & Sekolah Dasar di Perguruan R.A.
Kartini Tebing Tinggi, tamat dan lulus tahun 2000. Melanjutkan pendidikan SMP di
Ponpes AR-Rhaudhatul Hasanah Medan, tamat dan lulus tahun 2003. Kemudian lulus
dari SMA Negeri 1 Matauli Pandan Tapanuli Tengah pada Tahun 2006 dan pada
tahun yang sama penulis diterima di Institut Pemerintahan Dalam Negeri Jatinangor
dengan status ikatan dinas. Penulis memilih Jurusan Kebijakan Pemerintah di
Fakultas Politik Pemerintah. Penulis menyelesaikan pendidikan Program Strata I (S1)
pada Tahun 2009 dengan memperoleh gelar Sarjana Ilmu Pemerintahan (S.IP).
Tahun 2009 penulis bekerja sebagai Staf Badan Pemberdayaan Masyarakat
dan Pemerintahan Desa Kabupaten Serdang Bedagai dan di Tahun 2010 mutasi ke
Kantor Camat Tebing Syahbandar menjabat Kepala Sub Bagian Pelayanan Umum.
Tahun 2010 juga penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan Pascasarjana
pada Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Sekolah
DAFTAR ISI
2.2. Industri Pengolahan Kayu ... 18
2.3. Faktor Pendukung dan Penghambat Pembangunan Industri ... 20
2.4. Dampak Pembangunan Industri ... 21
2.5. Faktor Produksi dan Pembangunan Ekonomi ... 21
2.5.1. Tanah ... 21
2.5.2. Modal ... 21
2.5.3. Tenaga Kerja ... 23
2.5.4. Bahan Baku ... 25
2.6. Pengembangan Wilayah ...…. 27
2.7. Penelitian Sebelumnya ... 31
2.8. Kerangka Pemikiran ...… 33
2.9. Hipotesis Penelitian ...… 34
BAB III METODE PENELITIAN ... 35
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 35
3.2. Jenis dan Sumber Data ... 35
3.3. Populasi ... 35
3.4. Metode Analisis Data ... 36
3.5. Metode Pemecahan Data Insukrindo ... 36
3.6. Definisi Operasional Penelitian ... 39
BAB IV HASIL PENELITIAN ………... 41
4.1 Gambaran Umum Kabupaten Serdang Bedagai ……… 41
4.1.1 Sejarah Kabupaten Serdang Bedagai……….. 41
4.1.2 Visi dan Misi ………..……… 45
4.1.2.1. Visi ……… 45
4.1.2.2. Misi ……… 45
4.1.3. Kabupaten Serdang Bedagai secara Geografis ……… 46
4.1.4. Penduduk dan Tenaga Kerja ……… 48
4.2. Produksi Industri Pengolahan Kayu di Kabupaten Serdang Bedagai ……… 49
4.3. Pengaruh Investasi, Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Bahan Baku terhadap Industri Pengolahan Kayu ………. 50
4.4. Pengaruh Industri Pengolahan Kayu terhadap Pengembangan Wilayah ………... 58
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……… 68
5.1. Kesimpulan ……….. 68
5.2. Saran ……… 68
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
4.1. Produksi Pengolahan Kayu di Kabupaten Serdang Bedagai ... 48
4.2. PDRB Sektor Industri di Kabupaten Serdang Bedagai ... 48
4.3. Hasil Uji Statistik Pengaruh Variabel Investasi, Tenaga Kerja dan
Bahan Baku terhadap Produksi Industri Pengolahan Kayu ... 49
4.4. Hasil Uji Statistik Pengaruh Variabel Produksi dan Investasi terhadap
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1. Kerangka Pikir Penelitian ... 33
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul
Halaman
1. Data Hasil Olahan dengan Metode Insukrindo ... 72
2. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Analisis Pertama ... 73
3. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Analisis Kedua ..………... 76
ANALISIS PENGARUH INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Analisis Pengaruh Industri Pengolahan Kayu Terhadap Pengembangan Wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor produksi terhadap produksi industri pengolahan kayu serta untuk menganalisis pengaruh industri pengolahan kayu terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai. Metode penelitian ini menggunakan metode regresi berganda dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel investasi dan bahan baku berpengaruh positif dan signifikan terhadap produksi industri pengolahan kayu, sedangkan variabel tenaga kerja tidak berpengaruh positif dan signifikan. Kemudian variabel investasi juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengembangan wilayah, namun variabel produksi tidak memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pengembangan wilayah. Hasil produksi yang tidak dipasarkan di daerah serta keterbatasan SDM tenaga kerja menjadikan kedua variabel tersebut tidak memberikan pengaruh terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Serdang Bedagai.
ANALYSIS OF THE INFLUENCE OF INDUSTRY OF WOOD TO REGIONAL
DEVELOPMENT IN SERDANG BEDAGAI REGENCY
ABSTRACT
This research was entitled the Analysis of the Influence of Industry of Wood To Regional Development in Serdang Bedagai Regency. This research aimed at analysing the influence of the production factor on the production of the processing industry of wood as well as to analyse the influence of the processing industry of wood on the development of the territory in the Serdang Bedagai Regency. This research method used the multiplied regression method with results of the research showing that the investment variable and the raw material were influential positive and significant towards the production of the processing industry of wood, whereas the manpower variable was not influential positive and significant. Afterwards the investment variable also was influential positive and significant towards the regional development, but the production variable did not give the influence that was positive and significant towards regional development. The results of the production that was not marketed in the area as well as the limitations of manpower human resources made the two variables did not give the influence on the regional development of the Serdang Bedagai Regency.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan alam yang
melimpah. Salah satunya adalah kekayaan sumber daya alam berupa hutan. Sebagian
dari hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Dalam hal luasnya, hutan
tropis Indonesia menempati urutan ketiga setelah Brazil dan Republik Demokrasi
Kongo (dulunya Zaire). Indonesia juga memiliki hutan hujan terluas di Asia. Luas
hutan di Indonesia adalah sekitar 137 juta hektar.
Indonesia adalah negara terpenting penghasil berbagai kayu bulat tropis dan
kayu gergajian, kayu lapis dan hasil kayu lainnya, serta pulp untuk pembuatan kertas.
Lebih dari setengah hutan di negara ini, sekitar 54 juta hektar, dialokasikan untuk
produksi kayu dan ada 2 juta ha lagi hutan tanaman industri yang telah didirikan,
yaitu untuk memasok kayu pulp. Produksi hutan selain menghasilkan kayu sebagai
hasil utama, juga menghasilkan produk lainnya dari hutan seperti arang, tengkawang,
kopul, minyak atsiri kayu gaharu dsb. Hasil produksi hutan Indonesia merupakan
produk unggulan komparataif terhadap negara-negara lain dan sebagian dari hasil
produksi produk hutan diekspor ke negara lain dan produk kayu merupakan penghasil
Kayu adalah bagian batang atau cabang serta ranting tumbuhan yang
mengeras karena mengalami lignifikasi. Kayu digunakan untuk berbagai keperluan,
mulai dari memasak, membuat perabot (meja, kursi), bahan bangunan (pintu, jendela,
rangka atap), bahan kertas, dan banyak lagi. Kayu juga dapat dimanfaatkan sebagai
hiasan-hiasan rumah tangga dan sebagainya.
Kebutuhan manusia akan kayu dari tahun ke tahun terus meningkat seiring
dengan laju pertumbuhan penduduk dan rumah tangga yang membutuhkan rumah
sebagai tempat tinggalnya. Kebutuhan kayu tersebut selama ini diperoleh dari
penebangan pohon di hutan alam dan sebagian lagi dipenuhi dari hutan tanaman. Saat
ini kebutuhan masyarakat akan kayu semakin sulit dipenuhi karena di satu pihak
potensi dan volume tebangan di hutan alam semakin berkurang dan di lain pihak
keberhasilan pengelolan hutan tanaman belum tampak menggembirakan, walaupun
sudah banyak HPHTI yang diberikan konsesi dalam kawasan hutan. Dampak yang
dirasakan dengan menurunnya jumlah pasokan kayu adalah industri kayu mengalami
kesulitan untuk memperoleh bahan baku sehingga menyebabkan naiknya harga bahan
baku serta harga jual dari produk kayu tersebut.
Ada beberapa upaya yang telah dilakukan oleh industri kayu untuk
mengurangi dan melakukan efisiensi pengunaan bahan bakunya, yaitu: (i)
menggunakan mesin-mesin dengan presisi tinggi sehingga limbah kayu yang
dihasilkan seminimal mungkin, (ii) menggunakan kayu-kayu yang kurang dikenal
(less known species-LKS), (iii) mengintegrasikan proses produksinya dalam upaya
lebih tahan lama dalam pemakaiannya. Upaya pengawetan kayu sebenarnya sudah
lama dilaksanakan, namun dalam perjalannya banyak menghadapi hambatan dan
kendala sehingga industri pengawetan kayu yang ada baik berskala usaha kecil,
menengah, dan besar tidak berkembang sebagaimana yang diharapkan.
Kendala-kendala tersebut meliputi: biaya pengawetan yang relatif tinggi, kayu yang sudah
diawetkan mempunyai harga yang relatif tinggi dan tidak terjangkau oleh daya beli
masyarakat, kebijakan dan perundangan yang ada belum mendukung
berkembangannya penggunaan kayu yang diawetkan sehingga industri-industri
pengewatan kayu tidak berkembang bahkan banyak yang bangkrut.
Industri untuk kayu olahan mulai dikembangkan dan di ekspor oleh
pabrik-pabrik di wilayah Indonesia yaitu sekitar tahun 1986 mengikuti kebijaksanaan yang
dikeluarkan oleh pemerintah yang isinya “melarang untuk ekspor kayu bulat dan
hanya memperrbolehkan mengekspor kayu gergajian maupun kayu olahan sejenisnya,
seperti lemari, kursi, laminating board, wood panel dan kebutuhan furniture lainnya.
Perkembangan industri khususnya di bidang mebel dapat kita lihat dari jumlah
ekspor barang jadi kayu yang pada tahun 1986 berjumlah 99 juta dollar amerika dan
pada setiap tahun selanjutnya baik menjadi 527 juta dollar amerika pada tahun 1997.
Konsumen industri kayu gergajian di indonesia yang terbesar adalah pada sektor
perumahan dan sektor kostruksi. Selanjutnya mulai tahun 1986 industri hilir baru
mulai didirikan, misalnya industri perabot rumah dari kayu moulding dan laminating
dsb. Konsumsi kayu olahan di indonesia sendiri lebih besar dibandingkan dengan
Permintaan di luar negeri atas perabot rumah tangga maupun barang
komponen dari kayu, cukup mantap dan meningkat dari tahun ke tahun. Pada periode
krisis ekonomi yang melanda Indonesia masa kini, peningkatan ekspor barang-barang
dengan nilai tambah tinggi adalah salah satu langkah untuk mengatasi krisis. Industri
kayu olahan yang padat tenaga kerja dapat menciptakan peluang kerja dan dapat pula
menahan daya beli (konsumsi) di daerah di mana perusahaan ekspor tersebut berada.
Subsektor industri kayu olahan yang memproduksi perabot maupun
komponen kayu untuk pasar ekspor mempunyai prospek bisnis yang sangat baik,
karena bahan baku, tenaga kerja maupun sebagian besar dari faktor produksi lain
berasal dari dalam negeri.
Permasalahan umum yang paling menonjol dihadapi industri perkayuan
dewasa ini adalah berkaitan dengan besarnya celah antara kebutuhan (sekitar 60 juta
m /tahun) 3 dan pasokan kayu (sekitar 24-25 juta m /tahun) (Purwanto, 2007).
Kerisauan atas kesenjangan antara pasokan dan kebutuhan kayu dewasa ini
hendaknya menjadikan hikmah, yaitu menyadarkan semua pihak betapa pentingnya
pemanfaatan kayu secara optimal dan rasional. Kondisi itu juga seharusnya memacu
upaya kreatif dan inovatif untuk mengantisipasinya agar kebutuhan akan kayu dapat
terpenuhi. Beberapa upaya untuk mengatasi hal tersebut sudah dilakukan, yaitu
dengan memanfaatkan kayu yang berasal dari Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan
Rakyat (HR), kayu perkebunan karet dan randu serta bahan berlignoselulosa lain
Menurut Departemen Perindustrian RI (2005), bahwa permasalahan pokok
yang dihadapi dalam pembangunan industri adalah: pertama, ketergantungan yang
tinggi terhadap impor baik berupa bahan baku, bahan penolong, barang setengah jadi
dan komponen, kedua: keterkaitan antara sektor industri dan sektor induftri dengan
sektor ekonomi lainnya masih relatif lemah, ketiga: struktur industri yang hanya
didominasi oleh beberapa cabang industri, keempat: ekspor produk industri dikuasai
oleh beberapa cabang industri, dan kelima: masih lemahnya kemampuan kelompok
industri kecil dan menegah.
Sumberdaya yang potensinya tinggi dan sudah diakui keberadaannya namun
pemanfaatannya yang tidak optimal adalah sumberdaya hutan. Sedemikian besarnya
peranan sumberdaya hutan tersebut sehingga Indonesia menjadi suatu negara yang
disebut sebagai paru-paru dunia. Produk-produk yang dihasilkan dari sektor ini pun
mempunyai kontribusi yang penting dalam perolehan devisa negara. Faktor-faktor
tersebut yakni sumberdaya hutan yang banyak tersedia dan besarnya permintaan
pasar mendorong bermunculannya industri-industri pengolahan kayu, mulai dari
industri penggergajian, plywood, pulp dan kertas, furniture serta industri pengolahan
lainnya.
Industri pengolahan kayu di Sumatera Utara mencakup industri kayu
gergajian (sawmill), kayu lapis (plywood), pulp, moulding, korek api dan chopstik.
Industri sawmill, plywood dan pulp merupakan industr kayu hulu. Industri-industri
tersebut tidak hanya mengolah produk-produk yang siap dipasarkan, tetapi juga
industri-industri hilir seperti moulding dan mebel. Di mana industri hilir ini mengolah
bahan baku tersebut menjadi barang jadi.
Industri pengolahan kayu yang membutuhkan pasokan kayu bulat adalah
industri yang langsung mengolah kayu (industri pengolahan kayu hulu) seperti
industri kayu gergajian, pulp dan kayu lapis. Di Sumatera Utara industri korek api
dan chopstick juga langsung memasok kayu bulat. Sedangkan industri pengolahan
kayu hilir seperti moulding dan mebel (furniture) mengolah bahan baku yang berasal
dari industri kayu gergajian. Dengan demikian berkembangnya industri hilir sangat
ditentukan oleh industri pengolahan kayu hulu sebagai pemasok bahan baku. Jenis
kayu yang banyak digunakan adalah kayu Meranti, Pinus dan Karet. Kebutuhan
industri terhadap kayu bulat ditentukan oleh kapasitas terpasang dari industri serta
efisiensi penggunaan bahan baku. Selama ini kapasitas terpasang industri pengolahan
kayu di Sumatera Utara cenderung jauh melebihi kemampuan produksi kayu bulat.
Hal tersebut otomatis menyebabkan industri kesulitan dalam mendapatkan bahan
baku. Secara umum di Propinsi Sumatera Utara, kekurangan bahan baku untuk
mencukupi kebutuhan.
Industri pengolahan kayu yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah
industri kayu lapis. Hal ini disebabkan adanya kebijakan pemerintah tentang
peningkatan industri terpadu, yang berintikan industri kayu lapis. Hal ini dilakukan
dengan tujuan untuk mendorong berkembangnya industri kayu lapis. Dengan adanya
kebijakan tersebut maka sebagian investasi dialokasikan ke industri kayu lapis. Pada
karena adanya penurunan produksi. Untuk industri moulding dan komponen bahan
bangunan serta industri perabotan dan kelengkapan rumah tangga menunjukkan
adanya peningkatan jumlah tenaga kerja. Namun kualitas sumber daya manusia pada
pekerja masihlah kurang. Ini menyebabkan kurang berkembangnya industri
pengolahan kayu di Kabupaten Serdang Bedagai.
Investasi di Kabupaten Serdang Bedagai cukup baik, banyak investor yang
datang dari luar daerah baik dalam negeri maupun luar negeri. Ini dikarenakan
melihat kondisi daerah yang cukup kondusif dan memang sedang dalam tahap
pengembangan diri. Proses pengurusan izin usaha pun tergolong tidak sulit karena
pelayanannya sudah menggunakan sistem pelayanan terpadu sehingga memudahkan
investor serta pengusaha dalam mengembangkan usahanya. Penanaman modal pada
Industri Pengolahan Kayu di Kabupaten Serdang Bedagai cukuplah tinggi walaupun
jumlah industri masih sedikit. Pengembangan pembangunan ekonomi akan terlaksana
bila pembentukan modal berjalan baik. Oleh sebab itu pembangunan yang berhasil
akan tetap berusaha meningkatkan modalnya. Dengan begitu akan tercipta
pembangunan yang diidamkan masyarakat serta pemerintah.
Adapun nilai produksi Industri Pengolahan Kayu di Kabupaten Serdang
Bedagai cukuplah tinggi, yaitu tertinggi kedua setelah industri pati ubi. Hasil
produksi yang beragam seperti kayu lapis, gergajian, pengawetan, moulding dan
lainnya ternyata lebih banyak dipasok ke luar daerah berdasarkan permintaan pasar.
Namun kurang dipasarkan di daerah sendiri. Beberapa alasannya adalah perusahaan
barang ke perusahaan tersebut. Karena beberapa barang merupakan barang setengah
jadi (hulu) maka dipasok ke perusahaan hilir.
Di Kabupaten Serdang Bedagai Industri Pengolahan Kayu mulai berkembang
sejak sebelum dimekarkannya Kabupaten Serdang Bedagai pada Tahun 2004, hingga
saat ini terdapat 15 industri pengolahan kayu yang mana memiliki nilai produksi
tertinggi kedua setelah industri pati ubi kayu. Oleh karena hal tersebut saya mencoba
meneliti industri pengolahan kayu di Kabupaten Serdang Bedagai.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka sebagai perumusan masalah dalam penelitian
ini adalah:
a. Apakah investasi, jumlah tenaga kerja dan nilai bahan baku berpengaruh terhadap
nilai produksi industri pengolahan kayu di Kabupaten Serdang Bedagai ?
b. Apakah nilai produksi dan investasi berpengaruh terhadap pengembangan wilayah
di Kabupaten Serdang Bedagai ?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk menganalisis pengaruh investasi, jumlah tenaga kerja dan nilai bahan baku
terhadap nilai produksi industri pengolahan kayu di Kabupaten Serdang Bedagai.
b. Untuk menganalisis pengaruh nilai produksi dan investasi terhadap pengembangan
1.4. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan nantinya akan memberikan manfaat
sebagai berikut:
a. Bagi instansi terkait, hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu bahan
rujukan/informasi dalam mengembangkan dan meningkatkan potensi usaha lokal.
b. Dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan acuan untuk melakukan penelitian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Industri
Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku,
barang setengah jadi dan atau barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk
penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangunan dan perekayasaan industri
yakni kelompok industri hulu (kelompok industri dasar), kelompok industri hilir, dan
kelompok industri kecil. Bidang usaha industri adalah lapangan kegiatan yang
bersangkutan dengan cabang industri yang mempunyai ciri khusus yang sama dan
atau hasilnya bersifat akhir dalam proses produksi (UU RI No.5 Tahun 1984 tentang
Perindustrian).
Istilah industri sering disebut sebagai kegiatan manufaktur (manufacturing).
Padahal, pengertian industri sangatlah luas, yaitu menyangkut semua kegiatan
manusia dalam bidang ekonomi yang sifatnya produktif dan komersial. Karena
merupakan kegiatan ekonomi yang luas maka jumlah dan macam industri
berbeda-beda untuk tiap negara atau daerah. Pada umumnya, makin maju tingkat
perkembangan perindustrian di suatu negara atau daerah, makin banyak jumlah dan
macam industri, dan makin kompleks pula sifat kegiatan dan usaha tersebut. Cara
penggolongan atau pengklasifikasian industri pun berbeda-beda. Tetapi pada
dasarnya, pengklasifikasian industri didasarkan pada kriteria yaitu berdasarkan
Selain faktor-faktor tersebut, perkembangan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara
juga turut menentukan keanekaragaman industri negara tersebut, semakin besar dan
kompleks kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi, maka semakin beranekaragam
jenis industrinya.
Adapun klasifikasi industri berdasarkan kriteria masing-masing, adalah
sebagai berikut:
1. Klasifikasi industri berdasarkan bahan baku
Tiap-tiap industri membutuhkan bahan baku yang berbeda, tergantung pada apa
yang akan dihasilkan dari proses industri tersebut. Berdasarkan bahan baku yang
digunakan, industri dapat dibedakan menjadi:
a. Industri ekstraktif, yaitu industri yang bahan bakunya diperoleh langsung dari
alam. Misalnya: industri hasil pertanian, industri hasil perikanan, dan industri
hasil kehutanan.
b. Industri nonekstraktif, yaitu industri yang mengolah lebih lanjut hasil-hasil
industri lain. Misalnya: industri kayu lapis, industri pemintalan, dan industri
kain.
c. Industri fasilitatif atau disebut juga industri tertier. Kegiatan industrinya adalah
dengan menjual jasa layanan untuk keperluan orang lain. Misalnya: perbankan,
perdagangan, angkutan, dan pariwisata.
2. Klasifikasi industri berdasarkan tenaga kerja
Berdasarkan jumlah tenaga kerja yang digunakan, industri dapat dibedakan
a. Industri rumah tangga, yaitu industri yang menggunakan tenaga kerja kurang
dari empat orang. Ciri industri ini memiliki modal yang sangat terbatas, tenaga
kerja berasal dari anggota keluarga, dan pemilik atau pengelola industri
biasanya kepala rumah tangga itu sendiri atau anggota keluarganya. Misalnya:
industri anyaman, industri kerajinan, industri tempe/tahu, dan industri makanan
ringan.
b. Industri kecil, yaitu industri yang tenaga kerjanya berjumlah sekitar 5 sampai 19
orang, Ciri industri kecil adalah memiliki modal yang relative kecil, tenaga
kerjanya berasal dari lingkungan sekitar atau masih ada hubungan saudara.
Misalnya: industri genteng, industri batubata, dan industri pengolahan rotan.
c. Industri sedang, yaitu industri yang menggunakan tenaga kerja sekitar 20
sampai 99 orang. Ciri industri sedang adalah memiliki modal yang cukup besar,
tenaga kerja memiliki keterampilan tertentu, dan pimpinan perusahaan memiliki
kemapuan manajerial tertentu. Misalnya: industri konveksi, industri bordir, dan
industri keramik.
d. Industri besar, yaitu industri dengan jumlah tenaga kerja lebih dari 100 orang.
Ciri industri besar adalah memiliki modal besar yang dihimpun secara kolektif
dalam bentuk pemilikan saham, tenaga kerja harus memiliki keterampilan
khusus, dan pimpinan perusahaan dipilih melalui uji kemapuan dan
kelayakan (fit and profer test). Misalnya: industri tekstil, industri mobil,
3. Klasifikasi industri berdasarkan produksi yang dihasilkan
Berdasarkan produksi yang dihasilkan, industri dapat dibedakan menjadi:
a. Industri primer, yaitu industri yang menghasilkan barang atau benda yang tidak
perlu pengolahan lebih lanjut. Barang atau benda yang dihasilkan tersebut dapat
dinikmati atau digunakan secara langsung. Misalnya: industri anyaman, industri
konveksi, industri makanan dan minuman.
b. Industri sekunder, yaitu industri yang menghasilkan barang atau benda yang
membutuhkan pengolahan lebih lanjut sebelum dinikmati atau digunakan.
Misalnya: industri pemintalan benang, industri ban, industri baja, dan industri
tekstil.
c. Industri tertier, yaitu industri yang hasilnya tidak berupa barang atau benda yang
dapat dinikmati atau digunakan baik secara langsung maupun tidak langsung,
melainkan berupa jasa layanan yang dapat mempermudah atau membantu
kebutuhan masyarakat. Misalnya: industri angkutan, industri perbankan,
industri perdagangan, dan industri pariwisata.
4. Klasifikasi industri berdasarkan bahan mentah
Berdasarkan bahan mentah yang digunakan, industri dapat dibedakan menjadi:
a. Industri pertanian, yaitu industri yang mengolah bahan mentah yang diperoleh
dari hasil kegiatan pertanian. Misalnya: industri minyak goreng, industri gula,
b. Industri pertambangan, yaitu industri yang mengolah bahan mentah yang
berasal dari hasil pertambangan. Misalnya: industri semen, industri baja,
industri BBM (bahan bakar minyak bumi), dan industri serat sintetis.
c. Industri jasa, yaitu industri yang mengolah jasa layanan yang dapat
mempermudah dan meringankan beban masyarakat tetapi menguntungkan.
Misalnya: industri perbankan, industri perdagangan, industri pariwisata, industri
transportasi, industri seni dan hiburan.
5. Klasifikasi industri berdasarkan lokasi unit usaha
Keberadaan suatu industri sangat menentukan sasaran atau tujuan kegiatan
industri. Berdasarkan pada lokasi unit usahanya, industri dapat dibedakan menjadi:
a. Industri berorientasi pada pasar (market oriented industri), yaitu industri yang
didirikan mendekati daerah persebaran konsumen.
b. Industri berorientasi pada tenaga kerja (employment oriented industri), yaitu
industri yang didirikan mendekati daerah pemusatan penduduk, terutama daerah
yang memiliki banyak angkatan kerja tetapi kurang pendidikannya.
c. Industri berorientasi pada pengolahan (supply oriented industri), yaitu industri
yang didirikan dekat atau ditempat pengolahan. Misalnya: industri semen di
Palimanan Cirebon (dekat dengan batu gamping), industri pupuk di
Palembang (dekat dengan sumber pospat dan amoniak), dan industri BBM di
d. Industri berorientasi pada bahan baku, yaitu industri yang didirikan di tempat
tersedianya bahan baku. Misalnya: industri konveksi berdekatan dengan
industri tekstil, industri pengalengan ikan berdekatan dengan pelabuhan.
e. Industri yang tidak terikat oleh persyaratan yang lain (footloose industri), yaitu
industri yang didirikan tidak terikat oleh syarat-syarat di atas. Industri ini dapat
didirikan di mana saja, karena bahan baku, tenaga kerja, dan pasarnya sangat
luas serta dapat ditemukan di mana saja. Misalnya: industri elektronik, industri
otomotif, dan industri transportasi.
6. Klasifikasi industri berdasarkan proses produksi
Berdasarkan proses produksi, industri dapat dibedakan menjadi:
a. Industri hulu, yaitu industri yang hanya mengolah bahan mentah menjadi barang
setengah jadi. Industri ini sifatnya hanya menyediakan bahan baku untuk
kegiatan industri yang lain. Misalnya: industri kayu lapis, industri alumunium,
industri pemintalan, dan industri baja.
b. Industri hilir, yaitu industri yang mengolah barang setengah jadi menjadi barang
jadi sehingga barang yang dihasilkan dapat langsung dipakai atau dinikmati
oleh konsumen. Misalnya: industri pesawat terbang, industri konveksi, industri
otomotif, dan industri meubeler.
7. Klasifikasi industri berdasarkan barang yang dihasilkan
a. Industri berat, yaitu industri yang menghasilkan mesin-mesin atau alat produksi
lainnya. Misalnya: industri alat-alat berat, industri mesin, dan industri
percetakan.
b. Industri ringan, yaitu industri yang menghasilkan barang siap pakai untuk
dikonsumsi. Misalnya: industri obat-obatan, industri makanan, dan industri
minuman.
8. Klasifikasi industri berdasarkan modal yang digunakan
Berdasarkan modal yang digunakan, industri dapat dibedakan menjadi:
a. Industri dengan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), yaitu industri yang
memperoleh dukungan modal dari pemerintah atau pengusaha nasional (dalam
negeri). Misalnya: industri kerajinan, industri pariwisata, dan industri makanan
dan minuman.
b. Industri dengan Penanaman Modal Asing (PMA), yaitu industri yang modalnya
berasal dari penanaman modal asing. Misalnya: industri komunikasi, industri
perminyakan, dan industri pertambangan.
c. Industri dengan modal patungan (join venture), yaitu industri yang modalnya
berasal dari hasil kerja sama antara PMDN dan PMA. Misalnya: industri
otomotif, industri transportasi, dan industri kertas.
9. Klasifikasi industri berdasarkan subjek pengelola
Berdasarkan subjek pengelolanya, industri dapat dibedakan menjadi:
a. Industri rakyat, yaitu industri yang dikelola dan merupakan milik rakyat,
b. Industri negara, yaitu industri yang dikelola dan merupakan milik Negara yang
dikenal dengan istilah BUMN, misalnya: industri kertas, industri pupuk,
industri baja, industri pertambangan, industri perminyakan, dan industri
transportasi.
10. Klasifikasi industri berdasarkan cara pengorganisasian
Cara pengorganisasian suatu industri dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti:
modal, tenaga kerja, produk yang dihasilkan, dan pemasarannya. Berdasarkan
cara pengorganisasianya, industri dapat dibedakan menjadi:
a. Industri kecil, yaitu industri yang memiliki ciri-ciri: modal relatif kecil,
teknologi sederhana, pekerjanya kurang dari 10 orang biasanya dari kalangan
keluarga, produknya masih sederhana, dan lokasi pemasarannya masih
terbatas (berskala lokal). Misalnya: industri kerajinan dan industri makanan
ringan.
b. Industri menengah, yaitu industri yang memiliki ciri-ciri: modal relative besar,
teknologi cukup maju tetapi masih terbatas, pekerja antara 10-200 orang,
tenaga kerja tidak tetap, dan lokasi pemasarannya relative lebih luas (berskala
regional). Misalnya: industri bordir, industri sepatu, dan industri mainan
anak-anak.
c. Industri besar, yaitu industri yang memiliki ciri-ciri: modal sangat besar,
teknologi canggih dan modern, organisasi teratur, tenaga kerja dalam jumlah
Misalnya: industri barang-barang elektronik, industri otomotif, industri
transportasi, dan industri persenjataan.
2.2. Industri Pengolahan Kayu
Sektor industri pengolahan terbagi menjadi beberapa golongan yakni industri
makanan dan minuman, pengolahan tembakau, tekstil, pakaian jadi, kulit, kayu,
percetakan, pengilangan minyak, dll.
Industri Pengolahan Kayu mencakup industri kayu gergajian (sawmill), kayu
lapis (plywood), bubur kertas (pulp), moulding, korek api dan chopstick. Industri
sawmill, plywood dan pulp merupakan industri kayu hulu. Industri-industri tersebut
tidak hanya mengolah produk-produk yang siap dipasarkan, tetapi juga mengolah
kayu bulat menjadi produk-produk yang dibutuhkan sebagai bahan baku bagi
industri-industri hilir seperti moulding dan mebel. Di mana industri hilir ini mengolah
bahan baku tersebut menjadi barang jadi.
Industri pengolahan kayu yang membutuhkan pasokan kayu bulat adalah
industri yang langsung mengolah kayu (industri pengolahan kayu hulu) seperti
industri kayu gergajian, pulp dan kayu lapis. Di Sumatera Utara industri korek api
dan chopstick juga langsung memasok kayu bulat. Sedangkan industri pengolahan
kayu hilir seperti moulding dan mebel (furniture) mengolah bahan baku yang berasal
dari industri kayu gergajian. Dengan demikian berkembangnya industri hilir sangat
ditentukan oleh industri pengolahan kayu hulu sebagai pemasok bahan baku. Jenis
Indonesia seringkali disebut sebagai negara “mega-biodiversity” karena
memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang tinggi, di antaranya 25.000 jenis
tumbuhan termasuk 4000 jenis pohon. Dari 4000 jenis sekitar 400 jenis dianggap
sebagai kayu perdagangan, namun yang sudah teridentifikasi dengan baik sebanyak
365 jenis yang kemudian dikelompokkan menjadi 120 kelompok jenis kayu
perdagangan (Kartasujana dan Martawijaya,1979). Kerusakan akan lebih cepat lagi
jika dipakai atau dipasang di tempat terbuka tanpa naungan, terutama jika
berhubungan dengan tanah lembab. Sebab pada dasarnya kayu dan bahan
berlignoselulosa lainnya tidak tahan terhadap perubahan suhu, udara, kelembaban,
dan air. Di pihak lain, kayu juga dihadapkan pada beragam jenis jasad atau
Organisme Perusak Kayu (OPK) yang siap mengancam, seperti bakteri, jamur
pewarna dan buluk, jamur pelapuk (brown rots dan white rots), jamur pelunak (soft
rot), rayap kayu kering, rayap tanah, bubuk kayu kering dan binatang laut penggerek
kayu (Wilkinson,1979). Ancaman OPK ada di mana-mana, sejak pohon masih dalam
status tegakan, angkutan, proses pengolahan sampai produk kayu dalam pemakaian.
Ancaman tersebut bisa disebabkan oleh salah satu atau kombinasi diantara OPK
tersebut di atas. Misalnya, kayu yang tahan terhadap jamur, belum tentu tahan
terhadap serangga atau sebaliknya.
Daya tahan terhadap OPK inilah yang dimaksud dengan keawetan kayu.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi keawetan kayu, antara lain zat ekstaktif
yang terdapat dalam kayu, umur pohon, posisi pada bagian batang, tempat di mana
Pengawetan kayu pada dasarnya merupakan tindakan pencegahan (preventive),
berperan untuk meminimalkan atau meniadakan kemungkinan terjadi cacat yang
disebabkan OPK, bukan pengobatan (curative) yang diilakukan dalam rangka
pengendalian mutu atau kualitas, mencakup kualitas bahan baku dan produk serta
memperpanjang umur pakai kayu. Biasanya penggunaan pengawet kayu mengacu
pada penggunaan pestisida (bahan kimia pengawet) yang dimasukkan ke dalam kayu
(Barly,1990). Dalam hal ini, persyaratan bagi bahan pengawet kayu antara lain harus
memiliki sifat efikasi terhadap OPK, mampu menembus ke dalam kayu dan tidak
mudah luntur atau terikat di dalam kayu, tetapi beberapa jenis bahan pengawet larut
air bersifat korosif (Kadir dan Barly, 1974). Istilah bahan pengawet kayu sekarang
termasuk bahan kimia atau kombinasi bahan yang dapat mencegah kerusakan kayu
terhadap satu atau kombinasi antara; pelapukan (decay), serangga (termite), binatang
laut (marine borer), api (fire), cuaca (weathering), penyerapan air dan reaksi kimia
(Anonim, 1976).
2.3. Faktor Pendukung dan Penghambat Pembangunan Industri
Menurut beberapa ahli geografi ekonomi seperti Renner, Alexander, dan
Robinson perkembangan suatu industri ditentukan oleh faktor pokok dan faktor
tambahan. Yang termasuk faktor pokok adalah bahan mentah modal, tenaga kerja,
Berikut adalah faktor pokok yang menetukan perkembangan industri.
1. Faktor – faktor pendukung pembangunan industri.
Apabila semua faktor tersebut dapat terpenuhi, kegiatan industri dapat berjalan
lancar tanpa hambatan. Bagi Indonesia, terdapat banyak faktor yang dapat
mendukung pembangunan industri. Faktor-faktor berupa kekayaan negara, antara
lain sebagai berikut:
(a) Bahan mentah (bahan baku), (b) modal, (c) tenaga kerja, (d) sumber tenaga,
(e) transformasi, (f) pemasaran hasil industri, (g) pemerintahan yang stabil,
(h) kondisi perekonomian: 1. pendapatan perkapita, 2. saluran distribusi,
(i) kemajuan teknologi, (j) semangat rakyat untuk membangun, (k) iklim yang baik
dan (l) kebudayaan.
2. Faktor – faktor penghambat pembangunan industri.
a. Modal yang kurang.
b. Terbatasnya tenaga ahli dan tenaga terampil.
c. Pemasaran yang kurang lancar.
d. Kualitas barang.
2.4. Dampak Pembangunan Industri
1. Dampak Positif
a. Mengurangi ketergantungan akan hasil industri dari negara lain.
b. Menambah pemasukan devisa negara
d. Perbaikan dan pengembangan sarana umum
e. Berkembangnya sektor informal
2. Dampak Negatif
a. Berkurangnya lahan pertanian
b. Pencemaran lingkungan
c. Perubahan cara hidup
2.5. Faktor Produksi dalam Pembangunan Ekonomi
2.5.1. Tanah
Tanah sebagai salah satu faktor produksi adalah merupakan pabriknya
hasil-hasil pertanian yaitu tempat di mana produksi berjalan dan darimana hasil-hasil produksi
itu keluar. Oleh sebab itu tanah sebagai unsur produksi mempunyai kedudukan paling
penting dewasa ini, hal ini terbukti bahwa besarnya balas jasa yang diterima oleh
tanah masih lebih besar dibandingkan dengan faktor produksi lainnya.
Tanah sebagai unsur produksi biasanya terdiri dari barang ekonomi yang
diberikan oleh alam yang meliputi permukaan tanah, air dan segala yang terkandung
berada di dalamnya.
Menurut David Ricardo menunjukkan bahwa tinggi rendahnya sewa tanah
adalah disebabkan perbedaan kesuburan tanah, makin subur tanah makin tinggi sewa
tanah. Dengan berkembangnya penduduk maka nilai tanah akan terus naik karena
tanah adalah satu-satunya faktor produksi yang tidak dapat dibuat oleh manusia
2.5.2. Modal
Pengertian modal diartikan sebagai tabungan masyarakat yang setiap saat
dapat digunakan untuk membeli saham perusahaan atau obligasi pemerintah ataupun
yang dipinjamkan kepada orang lain. Modal dinyatakan nilainya dalam bentuk uang
yang merupakan sebagai alat pengukur nilai dari modal tersebut.
Pengertian ekonomi modal adalah barang atau uang yang bersama-sama faktor
produksi tanah dan tenaga kerja menghasilkan barang-barang baru. Karena modal
menghasilkan barang-barang baru atau merupakan alat untuk memupuk pendapatan
maka akan menciptakan dorongan dan minat untuk menyisihkan kekayaannya
maupun hasil produksi dengan maksud yang produktif dan tidak untuk maksud
keperluan yang konsumtif.
Modal dapat diciptakan untuk menahan diri dalam bentuk konsumsi, dengan
tujuan pendapatannya akan dapat lebih besar lagi di masa yang akan datang.
Pengembangan pembangunan ekonomi akan terlaksana bila pembentukan modal
berjalan baik. Oleh sebab itu pembangunan yang berhasil akan tetap berusaha
meningkatkan modalnya.
2.5.3. Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan resources, tepatnya human resources atau sumber
daya manusia yang berperan dalam kegiatan pembangunan masyarakat. Peranan
ekonomi, demikian pula pada sektor industri yang banyak berorientasi kepada sektor
padat karya yang banyak menyerap tenaga kerja.
Pengertian tenaga kerja dalam
yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja
guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (UU
Pokok Ketenagakerjaan No.14 Tahun 1969). Dalam hubungan ini maka pembinaan
tenaga kerja merupakan peningkatan kemampuan efektivitas tenaga kerja untuk
melakukan pekerjaan.
Pengertian bekerja menurut indikator ketenagakerjaan adalah: “Jika telah
melakukan kegiatan ekonomi dengan maksud memperoleh pendapatan atau
keuntungan paling sedikit satu jam secara tidak terputus selama satu minggu yang
lalu. Kegiatan tersebut termasuk pula kegiatan pekerja yang tak dibayar yang
membantu dalam suatu usaha atau kegiatan ekonomi”.
Menurut BPS (2001) membagi tenaga kerja (employed) atas 3 (tiga) macam,
yaitu:
a. Tenaga kerja penuh (full employed), adalah tenaga kerja yang mempunyai jumlah
jam kerja ≥ 35 jam dalam seminggu dengan hasil kerja tertentu sesuai dengan
uraian tugas.
b. Tenaga kerja tidak penuh atau setengah pengangguran (under employed), adalah
tenaga kerja dengan jam kerja < 35 jam dalam seminggu.
c. Tenaga kerja yang belum bekerja atau sementara tidak bekerja (unemployed),
Simanjuntak (1998) menyatakan tenaga kerja atau manpower terdiri dari
angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja atau labor force terdiri dari
dan: (1) golongan yang bekerja, (2) golongan yang menganggur atau mencari
pekerjaan. Kelompok bukan angkatan kerja terdiri dari: (1) golongan bersekolah,
(2) golongan yang mengurus rumah tangga, dan (3) golongan lain-lain atau penerima
pendapatan. Ketiga kelompok dalam kelompok bukan angkatan kerja sewaktu-waktu
dapat menawarkan jasanya untuk bekerja. Oleh sebab itu kelompok ini sering juga
dinamakan potential labor force.
Menurut Sukirno (2000), golongan penduduk yang tergolong sebagai
angkatan kerja adalah penduduk yang berumur di antara 15-64 tahun.
Dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa tenaga kerja di
Indonesia adalah penduduk usia 15 tahun keatas yang ikut berpartisipasi dalam proses
produksi untuk menghasilkan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan masyarakat.
2.5.4. Bahan Baku
Bahan baku merupakan bahan dasar yang dibutuhkan dalam proses
pengolahan/industri. Dalam industri pengolahan kayu, bahan baku yang dipakai
tentunya adalah kayu. Kayu yang merupakan hasil hutan dari kekayaan alam
merupakan bahan mentah yang mudah diproses untuk dijadikan barang jadi dengan
menggunakan kemajuan teknologi. Kayu memiliki beberapa sifat sekaligus maupun
kayu yang tidak dapat ditiru oleh bahan-bahan lain. Pengertian kayu disini ialah
merupakan bagian dari pohon tersebut, setelah diperhitungkan bagian-bagian mana
yang lebih banyak dimanfaatkan untuk sesuatu tujuan penggunaan. Baik berbentuk
kayu pertukangan, kayu industrI bakar (Dumanauw J.F, 1990).
Produk paling penting dari pengolahan kayu secara kimia adalah pulp. Kimia
kayu dan komponen-komponennya tidak dapat dipisahkan dari strukturnya. Kayu
tidak hanya merupakan senyawa kimia, atau jaringan anatomi, atau bahan tetapi
merupakan gabungan dari ketiganya. Kesemuanya ini merupakan hasil hubungan
yang erat dari komponen-komponen kimia yang membentuk unsur-unsur ultra
struktur, yang kemudian bergabung menjadi suatu sistem yang berderajat tinggi yang
membentuk dinding sel yang akhirnya membentuk jaringan kayu (Fengel. D, 1995)
Selama periode prasejarah dan sesudahnya kayu tidak hanya digunakan untuk
bahan bangunan tetapi juga semakin penting sebagai bahan mentah kimia untuk
pembuatan arang (digunakan dalam peleburan besi), getah (digunakan untuk
mengawetkan dan melapisi lambung kapal), dan kalium (digunakan dalam pembuatan
gelas dan sebagai bahan pemucat kain dan tekstil kapas). Namun di sisi lain kayu
merupakan bahan dasar yang sangat modern. Kubah-kubah kayu yang besar dan
perabot rumah yang indah membuktikan kegunaan dan keindahannya. Bahkan dalam
bentuk alih seperti kayu lapis, papan partikel dan papan serat, kayu telah menjadi
bahan bangunan yang berharga. Disamping itu, kayu merupakan bahan dasar pulp
Kayu dikategorikan ke dalam beberapa kelas awet:
1. Kelas awet I (sangat awet), missal: kayu sonokeling dan jati.
2. Kelas awet II (awet), missal: kayu merbau dan mahoni.
3. Kelas awet III (kurang awet), missal: kayu karet dan pinus.
4. Kelas awet IV (tidak awet), missal: kayu sengon.
5. Kelas V (sangat tidak awet).
2.5.5. Kesempatan Kerja
Kesempatan kerja dapat diartikan sebagai kesempatan berusaha atas semua
pekerjaan yang tersedia pada lapangan kerja di mana tenaga kerja tersebut dapat
memenuhi kebutuhannya.
Dengan keterbatasan penambahan jumlah kesempatan kerja akibat
keterbatasan peningkatan jumlah investasi dan penempatan tenaga kerja yang
diciptakan, maka akan menimbulkan kerawanan pertumbuhan ekonomi. Sehubungan
dengan hal tersebut, maka langkah-langkah untuk memperluas kesempatan kerja
adalah merupakan kebutuhan yang sangat mendesak, untuk itu diambil kebijaksanaan
menyeluruh dan terpadu dalam memperluas kesempatan kerja yang menyangkut
kepada pengarahan investasi dan pembangunan yang berorientasi kepada perluasan
kesempatan kerja, pendidikan dan ketarmpilan yang menunjang pembangunan dan
2.6. Pengembangan Wilayah
Pengertian pengembangan wilayah dalam pembangunan adalah berbagai jenis
kegiatan, baik yang tercakup dalam sektor pemerintah maupun dalam masyarakat,
dilaksanakan dan diatur dalam rangka usaha-usaha untuk memperbaiki tingkat
kesejahteraan hidup masyarakat. Usaha-usaha tersebut pada dasarnya adalah bersifat
meningkatkan pemenuhan berbagai kebutuhan-kebutuhan, baik melalui
produk-produk maupun melalui berbagai jenis kegiatan yang membawa pengaruh
peningkatan kawasan.
Peningkatan pada kawasan dapat pula diartikan sebaga peristiwa
pengembangan wilayah pada wilayah yang bersangkutan sehingga keseluruhan usaha
yang menjurus pada perbaikan dalam tingkat kesejahteraan hidup masyarakat, dapat
dipandang sebagai penyebab berlangsungnya proses berkembangnya wilayah
(Purnomosidi, 1981 dalam Parluhutan, 2001).
Hartshone dalam Hanafiah (1992) memformulasikan pengertian wilayah
sebagai berikut:” Suatu area dengan lokasi spesifik dan dalam beberapa aspek tertentu
berbeda dengan area lain”. Unit area ini adalah merupakan objek konkrit dengan
karakteristik yang unik. Struktur wilayah akan mempunyai watak dari pada “mosaik”
dari tiap-tiap bagian yang memiliki kesamaan.
Wilayah merupakan suatu unit geografi yang membentuk suatu unit kesatuan.
Pengertian unit geografi adalah ruang, sehingga bukan merupakan aspek fisik tanah
saja, tetapi lebih dari itu meliputi aspek lain seperti aspek biologi, ekonomi, sosial
Menurut Miraza (2005), pengembangan wilayah adalah pemanfaatan potensi
wilayah, baik potensi alam maupun potensi buatan, harus dilaksanakan secara fully
dan effeciency agar potensi dimaksud benar-benar berdampak pada kesejahteraan
masyarakat secara maksimal.
Sasaran pembangunan harus diterjemahkan dari tujuan pembangunan
nasional. Di mana tujuan pembangunan daerah harus konsisten dengan tujuan
pembangunan nasional yang umumnya terdiri atas:
a. Mencapai pertumbuhan pendapatan perkapita yang cepat.
b. Menyediakan kesempatan kerja yang cukup.
c. Pemerataan pendapatan.
d. Mengurangi perbedaan antara tingkat pendapatan, kemakmuran, pembangunan
serta kemampuan antar daerah.
e. Membangun struktur perekonomian agar tidak berat sebelah (Hadjisaroso,1994).
Pemerintah melakukan berbagai program pembangunan untuk meningkatkan
taraf hidup masyarakat, di mana pembangunan tersebut berlandaskan pada pengertian
sebagai pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh elemen
masyarakat Indonesia.
Suryana (2000) mengatakan bahwa pembangunan diartikan sebagai suatu
proses multi dimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur
sosial, sikap mental yang sudah terbiasa, dan lembaga-lembaga nasional termasuk
kemiskinan. Oleh sebab itu pengertian pembangunan harus dilihat secara dinamis dan
bukan sebagai konsep statis, di mana pembangunan adalah suatu orientasi-orientasi
dan kegiatan usaha tanpa akhir.
Berdasarkan uraian diatas, maka wilayah pembangunan hendaknya sesuai
dengan wilayah administratif dan juga mempunyai ciri wilayah modal. Dalam
praktek, apabila membahas mengenai perencanaan pembangunan daerah, pengertian
daerah administratif paling banyak digunakan karena alasan kemudahan koordinasi
dan tersedianya data untuk perencanaan. Wilayah pengembangan dipakai untuk
wilayah yang berdasarkan homogneity dan bertujuan lebih banyak untuk analisis
informasi dalam wilayah itu guna keperluan pengembangan. Batas wilayah tidak
terikat pada batas administratif dan tidak perlu mempunyai pusat. Misalnya satu
propinsi mungkin mempunyai wilayah pengembangan seperti wilayah pantai timur,
wilayah pantai barat, wilayah pegunungan dan wilayah kepulauan yang
masing-masing mempunyai ciri geografis, fauna dan flora yang sama.
Jadi dapat dilihat bahwa pembangunan ekonomi adalah merupakan suatu
proses, di mana dengan proses itu akan terlihat adanya perubahan yang besar dalam
struktur sosial, sikap mental yang telah terbiasa, pertumbuhan ekonomi serta
pemberantasan kemiskinan dan pengangguran, pemberantasan letimpangan dalam
pendapatan perkapita melalui perluasan kesempatan kerja yang memadai, pendidikan
dan juga dengan cara membebaskan masyarakat dari sikap ketergantungan terhadap
Menurut Sirojuzilam (2005), kenyataannya banyak fenomena yang timbul
dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi wilayah. Masalah utama dalam
pembangunan wilayah adalah ketimpangan ruang (wilayah). Artinya ketimpangan
juga terjadi antar daerah, karena itu pemerataan pembangunan berarti juga suatu
usaha dalam menyeimbangkan kemampuan wilayah untuk berkembang.
Mengurangi kesenjangan wilayah (Regional Imbalances) adalah salah satu
tema pokok dalam pembangunan wilayah (Regional Development). Masalah pokok
yang dihadapi sekarang adalah bukan ada atau tidaknya kesenjangan wilayah, namun
bagaimana pembangunan wilayah dapat dikonsepsikan dalam perspektif jangka
panjang. Dalam konteks perkembangan sosial ekonomi dunia dewasa ini, maka arah
yang dituju dalam pembangunan wilayah jangka panjang adalah wilayah harus
mandiri dan cukup memiliki daya saing sehingga mampu berintegrasi ke dalam
sistem perekonomian nasional maupun global. Salah satu upaya yang sangat strategis
adalah memobilisasi seluruh kelembagaan pembangunan di wilayah serta
menciptakan interaksi yang erat melalui networking diantara kelembagaan tersebut
dengan tujuan menciptakan kemampuan dan kemandirian ekonomi wilayah (lokal).
Unsur-unsur strategis dalam networking untuk pembangunan ekonomi wilayah
meliputi perguruan tinggi setempat, asosiasi industri, lembaga peneliti, pengusaha
menengah dan kecil, lembaga keuangan dan perbankan, serta tentu saja pemerintah
daerah sendiri. Kegiatan riset terapan dalam teknologi untuk meningkatkan kualitas
lokal (Departemen Pemukiman dan Pengembangan Wilayah Direktorat Jenderal
Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah).
2.7. Penelitian Sebelumnya
Penelitian yang dilakukan Julius Eben Ezer Ginting (2006) tentang pengaruh
Industri Produk Turunan Crude Palm Oil (CPO) terhadap Pengembangan Wilayah
Propinsi Sumatera Utara menghasilkan beberapa kesimpulan: (1) Industri Pengolahan
produk turunan CPO di Propinsi Sumatera Utara ada sebnayak 34 industri dengan
kapasitas terpasang 5.440.000 kg/jam dan menggunakan teknologi mesin, (2)
Variabel jumlah bahan baku, investasi, kapasitas produksi dan teknologi berpengaruh
signifikan terhadap tingkat produksi produk turunan CPO, namun variabel tenaga
kerja tidak emmberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat produksi produk
turunan CPO, (3) Variabel bahan baku berpengaruh signifikan positif namun variabel
investasi dan biaya tenaga kerja tidak berpengaruh terhadap kapasitas produksi
industri turunan CPO, (4) Variabel investasi berpengaruh signifikan positif namun
variabel produksi produk turunan CPO tidak berpengaruh terhadap Pengembangan
Wilayah Sumatera Utara.
Sedangkan Penelitian yang dilakukan Immanuel (2007) tentang Analisis Peran
Industri Pertenunan terhadap Pengembangan Wilayah di Kota Pematang Siantar,
menghasilkan beberapa kesimpulan: (1) Bahwa ternyata hasil uji statistik
menunjukkan bahwa variabel modal investasi, variabel tenaga kerja dan variabel
pengusaha industri pertenunan di Kota Pematang Siantar, (2) Bahwa Industri
Pertenunan di Kota Pematang Siantar berperan dalam peningkatan penyerapan tenaga
kerja, nilai investasi dan mampu menggerakkan kegiatan ekonomi (multiplier effect)
seperti menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang pertumbuhan kegiatan
ekonomi lainnya.
Penelitian yang dilakukan Bangun (2008) tentang Peranan dan Pengaruh
Industri Tikar Rakyat terhadap Pengembangan Wilayah Kecamatan Pantai Cermin
Kabupaten Serdang Bedagai – Sumatera Utara menghasilkan kesimpulan sebagai
berikut: (1) Faktor Produksi yang berperan dalam peningkatan produksi adalah
modal, sedangkan tenaga kerja tidak berpengaruh terhadap peningkatan produksi, (2)
Bahwa korelasi antara lama usaha dan tingkat pendidikan dengan pendapatan
pengrajin tidak berpengaruh signifikan, sedangkan modal berpengaruh signifikan
terhadap pendapatan pengrajin, (3) Sumber bahan baku dan meningkatnya
pendapatan masyarakat menjadi indikator penting dalam pengembangan wilayah di
Kecamatan Pantai Cermin.
2.8. Kerangka Pemikiran
Pada hakikatnya pembangunan industri merupakan bagian dari usaha
pembangunan jangka panjang untuk merubah struktur ekonomi yang tidak seimbang.
Pembangunan sektor industri diharapkan dapat memperluas kesempatan kerja,
untuk melihat pengaruh industri pengolahan kayu terhadap pengembangan wilayah di
Kabupaten Serdang Bedagai.
Gambar 2.1. Kerangka Pikir Penelitian
2.9.Hipotesis Penelitian
a. Investasi, jumlah tenaga dan nilai bahan baku berpengaruh positif terhadap nilai
produksi industri pengolahan kayu di Kabupaten Serdang Bedagai. Inve sta si
Jum la h
Te na g a Ke rja
Nila i
Pro duksi
Industri
Pe ng o la ha n Ka yu
Pe ng e m b a ng a n
Wila ya h
Inve sta si
Nila i
b. Nilai produksi dan investasi berpengaruh positif terhadap pengembangan wilayah
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Serdang Bedagai, mulai bulan
September sampai dengan Desember Tahun 2011 dengan mengambil objek industri
pengolahan kayu di Kabupaten Serdang Bedagai sebagai salah satu industri dengan
nilai produksi yang cukup tinggi di Kabupaten Serdang Bedagai.
3.2. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini sumber data menggunakan data sekunder yang diperoleh
dari sumber-sumber yang dianggap relevan dengan tujuan penelitian yaitu seperti:
Badan Pusat Statistik Kabupaten Serdang Bedagai, Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Kabupaten Serdang yaitu time series dari tahun 2005 sampai dengan
tahun 2010.
3.3. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh industri pengolahan kayu di
Kabupaten Serdang Bedagai dari tahun 2005 sampai tahun 2010 yang berjumlah 15
Industri. Sampel dalam penelitian ini adalah total sampling karena populasi relatif
kemudian data dipecah menjadi pertriwulan tiap tahunnya dengan menggunakan
metode pemecahan data Insukrindo.
3.4. Metode Analisis Data
Untuk melihat profil/karakteristik industri pengolahan kayu di Kabupaten
Serdang Bedagai dianalisis secara deskriptif.
Untuk mengetahui bagaimana pengaruh investasi, jumlah tenaga kerja dan
nilai bahan baku dianalisa dengan menggunakan analisis regresi berganda (multiple
regression) dengan model persamaan:
Y1 = a0 + a1X1 + a2X2 + a3X3 + e
Di mana:
1
Y1
a
= Nilai Produksi (Rp/tahun)
0
= Tenaga Kerja (Org/tahun)
3
a
= Bahan Baku(Rp/tahun)
1- a3
e
= Koefisien Regresi
1
Untuk mengetahui bagaimana pengaruh nilai produksi dan investasi terhadap
pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai dianalisa dengan
menggunakan analisis regresi berganda (multiple regression) dengan model
persamaan:
Y2 = b0 +b1X1 + b2X4 + e
Di mana:
2
Y = Pengembangan Wilayah (PDRB Sektor Industri/tahun)
βo = Intercept
X4
X
= Nilai Produksi(Rp/tahun)
1
Untuk mengetahui bagaimana pengaruh industri pengolahan kayu terhadap
pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai dianalisis secara dekriptif. = Error term
3.5. Metode Pemecahan Data Insukrindo
Adapun data yang diambil merupakan time series dari tahun 2005 – tahun
2010, namun untuk memenuhi jumlah observasinya maka data pertahun diubah
menjadi pertriwulan dengan menggunakan metode pemecahan data menurut
Insukrindo dengan rumus sebagai berikut:
Y1
Y2
Y
= Nilai triwulan kedua
3
Y
= Nilai triwulan ketiga
4
Yt = Nilai pada tahun yang dihitung = Nilai triwulan keempat
Yt-1 = Nilai pada tahun sebelumnya
Contoh:
Investasi Tahun 2006 adalah Rp. 750.000.000 dan di Tahun 2007 adalah
Rp. 1.050.000.000. Maka untuk memecah data di tahun 2007 adalah sebagai berikut:
Y2007a = ¼ {Y2007 + (-4,5/12 <Y2007 – Y2007-1
= ¼ {Y
>)}
2007 + (-4,5/12 <Y2007 – Y2006
=¼ {1.050.000.000 + (-4,5/12 <1.050.000.000 – 750.000.000>)} >)}
= ¼ {1.050.000.000 + (-4,5/12 <300.000.000>)}
= ¼ {1.050.000.000 – 112.500.000}
= ¼ x 937.500.000
=¼ {1.050.000.000 + (-1,5/12 <1.050.000.000 – 750.000.000>)} >)}
= ¼ {1.050.000.000 + (-1,5/12 <300.000.000>)}
= ¼ {1.050.000.000 – 37.500.000}
= ¼ x 1.012.500.000
Y2007c = ¼ {Y2007 + (1,5/12 <Y2007 – Y2007-1
= ¼ {Y
>)}
2007 + (1,5/12 <Y2007 – Y2006
=¼ {1.050.000.000 + (1,5/12 <1.050.000.000 – 750.000.000>)} >)}
= ¼ {1.050.000.000 + (1,5/12 <300.000.000>)}
= ¼ {1.050.000.000 + 37.500.000}
= ¼ x 1.087.500.000
=¼ {1.050.000.000 + (4,5/12 <1.050.000.000 – 750.000.000>)} >)}
= ¼ {1.050.000.000 + (4,5/12 <300.000.000>)}
= ¼ {1.050.000.000 + 112.500.000 }
: Nilai Investasi Tahun 2007 Triwulan Pertama
2007b
Y
: Nilai Investasi Tahun 2007 Triwulan Kedua
2007c
Y
: Nilai Investasi Tahun 2007 Triwulan Ketiga
2007d
Dengan menggunakan metode ini maka didapat data triwulanan dari tahun
3.6. Definisi Operasional Penelitian
1. Bahan baku adalah kayu dalam rangka untuk diolah/digergaji/diawetkan
(Rp/Tahun).
2. Investasi adalah dana yang dikeluarkan untuk membiayai operasional usaha untuk
kelangsungan hidup usaha melalui kemampuannya mendatangkan keuntungan
(Rp/tahun).
3. Tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam rangka
menjalankan operasional usaha dalam rangka menghasilkan produk pengawetan
kayu (Org/tahun).
4. Kapasitas produksi terealisasi adalah kemampuan suatu pabrik/industri dalam
rangka menghasilkan output dengan menggunakan mesin (Rp/tahun).
5. Nilai produksi adalah jumlah output/hasil produksi yang dihasilkan (Rp/Tahun).
6. Pengembangan wilayah adalah suatu tindakan pengembangan wilayah atau
membangun daerah/.kawasan dalam rangka usaha memperbaiki tingkat
kesejahteraan hidup masyarakat di mana sebagai indikator adalah PDRB sektor
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Kabupaten Serdang Bedagai
4.1.1. Sejarah Kabupaten Serdang Bedagai
Lahirnya Kabupaten Serdang Bedagai tidak terlepas dari keberadaan
Kabupaten Deli Serdang yang artinya Kabupaten Serdang Bedagai adalah pemekaran
dari Kabupaten Deli Serdang itu sendiri. Dasar pertimbangan untuk pemekaran
Kabupaten Deli Serdang dikarenakan begitu luasnya wilayah dan jumlah
penduduknya yang begitu besar. Di Tahun 1992 kajian ini semakin menguat dan
sampai dikeluarkannya Keputusan DPRD Kabupaten Deli Serdang Nomor
02/DPRD/1992 tanggal 17 Februari 1992 tentang Persetujuan Pemekaran Wilayah
Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang menjadi 2 (dua) wilayah yaitu Kabupaten
Deli Serdang dan Kabupaten Serdang. Namun selanjutnya terjadi kevakuman rencana
ini hingga memasuki masa tahun reformasi 1998.
Lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan
Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah,
memberikan ruang yang semakin terbuka terhadap keinginan masyarakat untuk
melakukan pemekaran.
Beberapa kelompok masyarakat yang terbentuk dalam upaya pemekaran