PERLINDUNGAN HAK KONSUMEN ATAS PENGGUNA JASA PENERBANGAN DALAM HAL KENAIKAN HARGA TIKET
YANG TINGGI KETIKA MUSIM LIBUR DAN KESELAMATAN PENERBANGAN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
Aulia Rizki NIM: 110200202
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PERLINDUNGAN HAK KONSUMEN ATAS PENGGUNA JASA PENERBANGAN DALAM HAL KENAIKAN HARGA TIKET
YANG TINGGI KETIKA MUSIM LIBUR DAN KESELAMATAN PENERBANGAN (Studi Pada PT. Garuda Indonesia Kantor Cabang Medan)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
AULIA RIZKI
NIM: 110200202
Departemen: Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Perdata BW
Disetujui Oleh
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum. NIP: 196603031985081001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2015 Dosen Pembimbing I
Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum. NIP: 196603031985081001
Dosen Pembimbing II
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Aulia Rizki
NIM : 110200202
Judul Skripsi : PERLINDUNGAN HAK KONSUMEN PENGGUNA JASA
PENERBANGAN DALAM HAL KENAIKAN HARGA
TIKET YANG TINGGI KETIKA MUSIM LIBUR DAN
KESELAMATAN PENERBANGAN (STUDI PADA PT.
GARUDA INDONESIA KANTOR CABANG MEDAN)
Dengan ini menyatakan :
1. Skripsi yang saya tulis ini adalah benar tidak merupakan jiplakan dari skripsi
atau karya ilmiah orang lain.
2. Apabila terbukti di kemudian hari Skripsi tersebut adalah jiplakan, maka
segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa paksaan atau tekanan
dari pihak manapun.
Medan, Juni 2015
ABSTRAK Aulia Rizki*
Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum** Sinta Uli, S.H. M.Hum***
Pada saat ini harga tiket murah merupakan salah satu variabel yang diperhatikan masyarakat. Akan tetapi disisi lain faktor keamanan dan kenyamanan sering terlewatkan oleh maskapai penerbangan. Tidak dapat dimungkiri harga tiket penerbangan pada saat musim libur melambung sangat tinggi, hal ini sangat memberatkan masyarakat kelas menengah ke bawah. Untuk melindungi konsumen pengguna angkutan udara diperlukan landasan hukum yang mengatur tentang kenaikan harga tiket yang wajar dan sesuai ketentuan agar konsumen tidak dirugikan. Berdasarkan latar belakang tersebut Penulis berinisiatif merumuskan masalah, apa faktor penyebab naiknya harga tiket pada musim libur, bagaimana pengaturan pemerintah tentang kenaikan harga tiket di musim libur, dan bagaimana perlindungan konsumen terkait pelayanan umum dan keselamatan penerbangan. Sehubungan dengan permasalahan tersebut penulis membuat skripsi dengan judul Perlindungan Hak Konsumen Pengguna Jasa Penerbangan Dalam Hal Kenaikan Harga Tiket Yang Tinggi Ketika Musim Libur Dan Keselamatan Penerbangan. Judul tersebut ditinjau dengan UU No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Adapun metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode Normatif atau penelitian perpustakaan dan metode Empiris yaitu metode penelitian atas data primer yang diperoleh langsung dari masyarakat, selanjutnya menggabungkan data yang diperoleh secara langsung dari objek penelitian pada PT. Garuda Indonesia Kantor Cabang Medan dan melihat implementasinya dari undang-undang atau peraturan yang diberlakukan oleh Kementrian Perhubungan.
Dari hasil penelitian yang dilakukan pada PT. Garuda Indonesia Kantor Cabang Medan diketahui bahwa penentuan harga tiket di musim libur mengacu pada harga batas atas yang ditetapkan. Maskapai penerbangan dalam menentukan harga tiket memberitahukan kepada seluruh partner (Travel Biro) dan wajib dipatuhi. Sering kita rasakan bahwa harga tiket pada saat tersebut terlalu tinggi. Hal itu juga kita rasakan pada maskapai no frills services. Tentu tidak dimungkiri walaupun pemerintah telah menetapkan batas atas harga tiket, tetapi belum tentu semua biro penjualan tiket pesawat patuh terhadap ketentuan tersebut. Harga tiket yang dirasakan sangat tinggi oleh masyarakat pada musim libur, ternyata pada maskapai Garuda Indonesia masih berada dalam koridor harga batas atas. Maskapai Penerbangan Garuda Indonesia mempunyai SOP yang harus dipenuhi demi terciptanya keselamatan Penerbangan. Komponen penerbangan ini diaudit secara periodik oleh ICAO. Hal ini dimaksudkan agar tercipta keselamatan penerbangan yang merupakan harapan setiap pengguna angkutan udara.
Kata Kunci: Perlindungan Konsumen, Maskapai Penerbangan, Tarif dan Konsumen
*
Mahasiswa Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum USU
**
Pembimbing 1, Dosen Fakultas Hukum USU
***
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan
skripsi ini untuk dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Medan. Shalawat serta salam tak lupa Penulis kirimkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya dari alam kebodohan
kepada alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini.
Skripsi ini di tulis demi memenuhi syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun Skripsi ini
berjudul “Perlindungan Hak Konsumen Atas Pengguna Jasa Penerbangan Dalam
Hal Kenaikan Harga Tiket Yang Tinggi Ketika Musim Libur Dan Keselamatan
Penerbangan (Studi Pada PT. Garuda Indonesia Kantor Cabang Medan)”. Skripsi
ini berisi tentang fenomena harga tiket yang tinggi ketika musim libur dan
keselamatan penerbangan. Penulis meninjau Judul tersebut dengan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang-undang Penerbangan. Penulis juga
melakukan penelitian PT. Garuda Indonesia Kantor Cabang Medan.
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dan bekerja keras dalam
menyusun skripsi ini. Namun, Penulis masih menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dari segi isi maupun penulisan dari skripsi ini. Oleh karenanya
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya untuk membangun
guna menuju kearah perbaikan dan penyempurnaan saat ini dan dimasa yang akan
Melalui kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian skripsi ini. Untuk semua ini, Penulis mengucapkan terima kasih kepada;
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum. selaku
Wakil Dekan I, Syafruddin Hasibuan, SH. M. Hum. DFM selaku Wakil Dekan
II dan Dr. OK. Saidin, SH., M. Hum selaku Pembantu Dekan III.
2. Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum
Keperdataan dan Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan,
arahan, koreksi, penyempurnaan serta tambahan wawasan yang sangat
berguna kepada Penulis untuk memperkaya isi dan bahasa skripsi ini.
3. Ibu Rabiatul Syahriah, S.H., M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Hukum
Perdata.
4. Sinta Uli, S.H., M.Hum, selaku Ketua Program Kekhususan Hukum Perdata
Dagang dan dosen Pembimbing II dalam penulisan skripsi ini, telah
meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan serta memeriksa skripsi
ini agar menjadi lebih baik.
5. Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum selaku Dosen Wali Penulis.
6. Kepada Seluruh Dosen, Staf Administrasi dan Pegawai di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
7. Kepada kedua orang tua saya, Drs. Maulana Ginting, MSi, seorang lelaki yang
selalu mengutamakan anaknya, berusaha memberikan yang terbaik,
mengayomi, dan memberikan semangat hingga support untuk menyelesaikan
selalu memberikan dorongan semangat dan terus mengingatkan saya untuk
menyelesaikan skripsi ini. Hanya Terima Kasih dan Gelar Sarjana yang dapat
Kiki berikan kepada Mama dan Papa. Serta Adik Penulis satu-satunya Dinda
Maurelova yang juga tidak pernah lupa mengingatkan Abangnya untuk
menyelesaikan skripsi ini.
8. Kepada Indah Dewi Elvika yang senantiasa memberi semangat dan motivasi
untuk tetap sabar dan terus semangat menyelesaikan skripsi ini.
9. Kepada sahabat-sahabat yang selalu memberikan semangat dan motivasi
kepada Penulis, Enni, Dedek, Lutfi, Aya, Pudja, Dhimas, Junanda, Dinda,
Karina, Sahabat Spektra Sandi, Astra, Ika, Winaldi, Virsa, Desi, Ulun, Diba ,
Yuliana, Dita, Aldri dan sahabat- sahabat lainnya yang tidak bisa saya
sebutkan semuanya di sini.
10.Kepada Adik-adik pengurus BTM Alladinsyah S.H. Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara semoga selalu berjalan baik di jalan Allah.
11.Kepada Teman-teman Grup D stambuk 2011 dan Teman stambuk 2011
lainnya yang tidak bisa disebutkan namanya.
12.Dan untuk semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Besar Harapan Penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
Perkembangan Ilmu Hukum, Khususnya Hukum Perdata, baik bagi Penulis
sendiri maupun bagi pembaca semua.
Medan, Juni 2015 Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penulisan ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 6
E. Metode Penulisan ... 7
F. Keaslian Penulisan ... 10
G. Sistematika Penulisan ... 10
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG HAK PERLINDUNGAN KONSUMEN PENGGUNA JASA PENERBANGAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN ... 12
A. Pengertian Perlindungan, Hak dan Kewajiban Konsumen . 12 B. Asas, Tujuan serta Tanggung Jawab Konsumen menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999... 24
C. Badan Perlindungan Konsumen dan Pengawasannya ... 27
BAB III : PENERBANGAN DAN TIKET DI INDONESIA ... 40 A. Fungsi dan Peranan Penerbangan di Indonesia ... 40
B. Peranan dan Harga Tiket Berdasarkan Ketetapan
Pemerintah... 63
C. Keterkaitan Harga Tiket dengan Daya Beli Masyarakat ... 67
BAB IV : PERLINDUNGAN HAK KONSUMEN PENGGUNA JASA PENERBANGAN DALAM HAL KENAIKAN HARGA TIKET YANG TINGGI KETIKA MUSIM
LIBUR DAN KESELAMATAN PENERBANGAN ... 69 A. Berbagai Faktor Penyebab Naiknya Harga Tiket pada
Musim Libur ... 69
B. Pengaturan Pemerintah tentang Kenaikan Harga Tiket
Penerbangan Ketika Musim Libur ... 72
C. Perlindungan Hak Konsumen Pengguna Jasa Penerbangan
tentang Pelayanan Umum dan Keselamatan Penerbangan . 77
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 86 A. Kesimpulan ... 86
B. Saran ... 87
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
ABSTRAK Aulia Rizki*
Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum** Sinta Uli, S.H. M.Hum***
Pada saat ini harga tiket murah merupakan salah satu variabel yang diperhatikan masyarakat. Akan tetapi disisi lain faktor keamanan dan kenyamanan sering terlewatkan oleh maskapai penerbangan. Tidak dapat dimungkiri harga tiket penerbangan pada saat musim libur melambung sangat tinggi, hal ini sangat memberatkan masyarakat kelas menengah ke bawah. Untuk melindungi konsumen pengguna angkutan udara diperlukan landasan hukum yang mengatur tentang kenaikan harga tiket yang wajar dan sesuai ketentuan agar konsumen tidak dirugikan. Berdasarkan latar belakang tersebut Penulis berinisiatif merumuskan masalah, apa faktor penyebab naiknya harga tiket pada musim libur, bagaimana pengaturan pemerintah tentang kenaikan harga tiket di musim libur, dan bagaimana perlindungan konsumen terkait pelayanan umum dan keselamatan penerbangan. Sehubungan dengan permasalahan tersebut penulis membuat skripsi dengan judul Perlindungan Hak Konsumen Pengguna Jasa Penerbangan Dalam Hal Kenaikan Harga Tiket Yang Tinggi Ketika Musim Libur Dan Keselamatan Penerbangan. Judul tersebut ditinjau dengan UU No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Adapun metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode Normatif atau penelitian perpustakaan dan metode Empiris yaitu metode penelitian atas data primer yang diperoleh langsung dari masyarakat, selanjutnya menggabungkan data yang diperoleh secara langsung dari objek penelitian pada PT. Garuda Indonesia Kantor Cabang Medan dan melihat implementasinya dari undang-undang atau peraturan yang diberlakukan oleh Kementrian Perhubungan.
Dari hasil penelitian yang dilakukan pada PT. Garuda Indonesia Kantor Cabang Medan diketahui bahwa penentuan harga tiket di musim libur mengacu pada harga batas atas yang ditetapkan. Maskapai penerbangan dalam menentukan harga tiket memberitahukan kepada seluruh partner (Travel Biro) dan wajib dipatuhi. Sering kita rasakan bahwa harga tiket pada saat tersebut terlalu tinggi. Hal itu juga kita rasakan pada maskapai no frills services. Tentu tidak dimungkiri walaupun pemerintah telah menetapkan batas atas harga tiket, tetapi belum tentu semua biro penjualan tiket pesawat patuh terhadap ketentuan tersebut. Harga tiket yang dirasakan sangat tinggi oleh masyarakat pada musim libur, ternyata pada maskapai Garuda Indonesia masih berada dalam koridor harga batas atas. Maskapai Penerbangan Garuda Indonesia mempunyai SOP yang harus dipenuhi demi terciptanya keselamatan Penerbangan. Komponen penerbangan ini diaudit secara periodik oleh ICAO. Hal ini dimaksudkan agar tercipta keselamatan penerbangan yang merupakan harapan setiap pengguna angkutan udara.
Kata Kunci: Perlindungan Konsumen, Maskapai Penerbangan, Tarif dan Konsumen
*
Mahasiswa Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum USU
**
Pembimbing 1, Dosen Fakultas Hukum USU
***
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Transportasi adalah sarana perpindahan manusia atau barang dari satu
tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan sebuah kendaraan yang
digerakkan oleh manusia, hewan atau mesin. Transportasi Udara memiliki peran
yang sangat penting dalam meningkatkan aktifitas di Indonesia. Indonesia adalah
sebuah negara yang terdiri lebih dari 17.508 pulau, dan pilihan untuk penggunaan
transportasi udara ini merupakan cara tercepat dan paling tepat untuk berpergian
dalam menuju suatu tempat. Penerbangan adalah suatu kesatuan sistem yang
terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, Bandar udara,
Pengangkutan udara, Navigasi Penerbangan, Keselamatan dan Keamanan,
Lingkungan Hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas lainnya. Wilayah Udara
adalah wilayah kedaulatan udara diatas daratan dan perairain Indonesia.1 Pesawat
terbang merupakan angkutan udara yang sangat canggih dan aman. Perjalanan
pesawat terbang lebih cepat dibandingkan dengan angkutan darat atau angkutan
laut. Saat ini terdapat berbagai jenis alat angkutan udara antara lain helikopter,
pesawat tempur serta pesawat penumpang. Bahkan kini manusia dapat menjelajah
luar angkasa dengan menggunakan pesawat luar angkasa.
Dalam upaya mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mewujudkan
wawasan Nusantara serta memantapkan Ketahanan Nasional diperlukan system
1
transportasi Nasional yang mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan
dan pembangunan wilayah, serta mempererat hubungan antar bangsa, dan
memperkukuh kedaulatan Negara.2
Pembangunan pada hakekatnya adalah proses perubahan yang berlangsung
secara terus menerus kearah tercapainya tujuan nasional. Suatu proses perubahan
yang teratur dan terarah akan terwujud apabila terjalin hubungan timbal balik
yang erat antara sektor ilmu pengetahuan dan teknologi, kebijakan dan hukum.
Pentingnya transportasi udara tercermin pada semakin meningkatnya kebutuhan
jasa pengangkutan udara bagi mobilitas orang serta barang di dalam negeri, dari
dan ke luar negeri serta berperan sebagai pendorong dan penggerak bagi
pertumbuhan daerah dan pengembangan wilayah. 3
Menurut Ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang
Penerbangan , Penerbangan adalah satu kesatuan system yang terdiri atas
pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, pengangkutan udara ,
navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup serta
fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya. Wilayah udara adalah wilayah
kedaulatan udara di atas wilayah daratan dan perairan di Indonesia. Pesawat
Udara Sipil adalah pesawat udara yang digunakan untuk kepentingan
pengangkutan udara niaga dan niaga yang mempunyai tanda pendaftaran dan
tanda kebangsaan negara asing.
Industri jasa penerbangan di Indonesia telah mengalami pertumbuhan
dengan pesatnya dari tahun ke tahun. Kondisi ini secara langsung sangat
berpengaruh terhadap struktur pasar yang ada. Dari data yang ada pada Direktorat
2
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan 3
Jenderal Perhubungan Republik Indonesia, tercatat bahwa pada tahun ini ada 21
Maskapai penerbangan yang aktif melayani konsumen di Indonesia.4
Pada masa sekarang ini harga tiket yang murah merupakan salah satu
variabel yang diperhatikan masyarakat. Namun kadangkala faktor keamanan dan
kenyamanan angkutan udara sering terlewatkan oleh maskapai penerbangan,
padahal tingkat resiko keamanan udara seharusnya menjadi prioritas untuk
diminimalkan. Airline melakukan pengurangan biaya operasi dengan maksud
agar dapat dilakukan penjualan tiket dengan harga yang rendah. Kondisi ini
mengindikasikan maskapai penerbangan tidak lagi memperhatikan faktor
keamanan penumpang, misalya dengan mengurangi biaya perawatan armadanya.
Tidak mustahil peristiwa kecelakaan pesawat di Indonesia terjadi karena
kurangnya biaya perawatan maupun biaya penggantian terhadap suku cadang
komponen pesawat. Padahal perawatan dan pemeliharaan pada pesawat
merupakan suatu keharusan. Kerusakan kecil saja pada pesawat udara bisa
berakibat fatal dan tentunya tidak bisa di tolerir.
Transportasi udara adalah suatu sistem penerbangan yang melibatkan
banyak pihak. Dalam dunia penerbangan pemenuhan (compliance) terhadap safety
standard (standar keselamatan) yang tinggi merupakan suatu keharusan yang
mutlak. Penerapan keselamatan penerbangan (aviation safety) perlu dilaksanakan
pada semua sektor, baik pada bidang transportasi/operasi angkutan udara,
kebandaraudaraan, navigasi, perawatan dan perbaikan serta pelatihan yang
mengacu pada aturan International Civil Aviation Organization (ICAO).5
4
Majalah Aviantara Direktorat Jenderal Perhubungan Kementerian Perhubungan Edisi ke 2 Juli 2014 hlm 23
5
Keselamatan merupakan prioritas utama di dalam dunia penerbangan, sehingga
diperlukannya suatu standar keselamatan yang optimal dengan mengacu pada
standar penerbangan yang ada.
Keselamatan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah
faktor kondisi fisik pesawat, kondisi awak pesawat, infrastruktur serta faktor alam.
Tetapi yang menjadi faktor utama adalah kondisi fisik pesawat. Kondisi fisik
suatu pesawat tergantung dari perawatan yang dilakukan. Oleh karena itu dalam
hal ini pemerintah memegang peranan penting, salah satunya dengan
memperbaiki infrastruktur penerbangan seperti bangunan, struktur, lampu,
landasan pacu, fasilitas komunikasi, situs web dan lain-lain. Apabila seluruh
faktor tersebut dapat berjalan dengan baik maka akan tercipta keselamatan
penerbangan dan memberi rasa aman kepada para penumpang serta dapat
mencegah terjadinya kecelakaan penerbangan yang terjadi di Indonesia.6
Tidak dapat dimungkiri harga tiket pada musim libur sering melambung
tinggi. Bisa naik hingga 3 kali lipat. Dari harga normal sebesar Rp600 ribu dapat
melambung hingga Rp 1,8 juta. Hal ini sangat memberatkan konsumen pengguna
jasa penerbangan, terutama yang dirasakan masyarakat kelas menengah ke bawah.
Pemerintah harus melakukan upaya ataupun tindakan-tindakan untuk menahan
laju kenaikan harga tiket ketika musim libur. Dalam mengupayakan hal tersebut,
Undang -Undang Perlindungan Konsumen harus menjadi rujukan dan berperan
untuk menjaga serta melindungi hak dari konsumen pengguna jasa penerbangan.
Ketika tiba musim libur, permintaan tiket pesawat udara meningkat, sehingga
maskapai penerbangan dapat sesuka hati menentukan harga tiket. Pada kondisi ini
6
konsumen yang sangat dirugikan dan hanya masyarakat kelas atas yang dapat
menggunakan transpotasi udara.
Sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 disebutkan
untuk mewujudkan penyelenggaraan penerbangan yang tertib, teratur, selamat,
aman, nyaman, dengan harga yang wajar, dan menghindari praktek persaingan
usaha yang tidak sehat, maka dari itu diperlukan landasan hukum yang mengatur
dan mengikat tentang kenaikan harga tiket yang wajar , agar konsumen pengguna
pesawat udara tidak dirugikan nantinya.7
Berdasarkan uraian di atas penulis mengetengahkan judul skripsi
Perlindungan Hak Konsumen Atas Penggunan Jasa Penerbangan Dalam Hal
Kenaikan Harga Tiket Yang Tinggi Ketika Musim Libur Dan Keselamatan
Penerbangan. Dalam tulisan skripsi ini penulis mengemukakan permasalahan
sebagai berikut: penyebab terjadinya kenaikan harga tiket yang tinggi oleh
maskapai penerbangan ketika musim libur, Pengaturan kewenangan yang
diberikan oleh pemerintah kepada maskapai penerbangan untuk menetapkan harga
tiket, dan keterkaitan harga tiket dalam memenuhi pelayanan umum dan
keselamatan penerbangan dalam melindungi hak konsumen penerbangan.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendasarkan pada dua peraturan
perundang-undangan, yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 2009 Tentang
Penerbangan dan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen.
7
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan judul skripsi ini yaitu mengenai ͞ Perlindungan Hak
Konsumen Pengguna Jasa Penerbangan dalam hal Kenaikan Harga Tiket yang
Tinggi ketika Musim Libur dan Keselamatan Penerbangan͟, maka perlu dikaji
permasalahan yang dikemukakan dalam judul skripsi ini. Permasalahan yang akan
dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa faktor penyebab naiknya harga tiket pada musim libur ?
2. Bagaimana pengaturan pemerintah tentang kenaikan harga tiket penerbangan
ketika musim libur ?
3. Bagaimana perlindungan hak konsumen pengguna jasa penerbangan tentang
pelayanan umum dan keselamatan penerbangan ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan pembahasan dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui faktor penyebab naiknya harga tiket pada musim libur.
2. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan pemerintah tentang kenaikan harga
tiket penerbangan ketika musim libur.
3. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hak konsumen pengguna jasa pe
nerbangan tentang pelayanan umum dan keselamatan penerbangan.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat Penelitian yang dapat dikutip dari skripsi ini antara lain adalah:
1. Manfaat Teoritis
Manfaat Teoritis dari hasil penelitian diharapkan dapat memberikan
kontribusi dan sumbangan pemikiran untuk pengembangan ilmu hukum pada
2. Manfaat Praktis
Manfaat Praktis dari hasil penelitian ini adalah diharapkan dapat memberikan
masukan kepada penumpang pesawat udara selaku konsumen bahwasannya
terdapat kesetaraan hukum antara maskapai penerbangan selaku produsen
dan penumpang pesawat udara selaku konsumen.
E. Metode Penulisan 1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
Penelitian Hukum Normatif-Empiris, yaitu penelitian yang menggabungkan
data primer dan data sekunder dengan menitikberatkan pada studi lapangan.
Dalam metode penelitian ini menggabungkan data yang diperoleh langsung
dari lapangan dan dikaji dari sudut pandang undang-undang atau peraturan
yang berlaku.
Metode Penelitian yang dipergunakan tersebut adalah dengan melakukan
penggabungan:
a. Penelitian Hukum Normatif
Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum doktriner, juga
disebut sebagai penelitian perpustakaan. Dalam penelitian ini
menggunakan sumber data sekunder atau data yang diperoleh dari
bahan-bahan kepustakaan. 8
Data sekunder yang dimaksud adalah:
1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari: 1) Norma atau Kaidah Dasar yaitu Pembukaan UUD
8
1945; 2) Peraturan Dasar: mencakup diantaranya Batang Tubuh UUD
1945 dan Ketetapan MPR; 3) Peraturan Perundang-undangan; 4)
Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan , seperti Hukum adat; 5)
Yurisprudensi; 6) Traktat, dan 7) Bahan hukum dari zaman
penjajahan yang hingga kini masih berlaku
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan UU, hasil-hasil
penelitian, hasil karya dari kalangan ahli hukum dan seterusnya.
3. Bahan Hukum Tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder;
contohnya adalah kamus, ensiklopedia, koran, internet dan
sebagainya.9
b. Penelitian Hukum Empiris
Penelitan hukum empiris adalah penilitian yang didasarkan atas data
primer, yakni data yang diperoleh langsung dari masyarakat sebagai sumber
pertama melalui penelitian lapangan, yang dilakukan baik melalui
pengamatan (observasi), wawancara ataupun penyebaran kuesioner.10
2. Sifat penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu penelitian yang
mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
9
Suratman dan Philips Dillah, 2014, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Bandung hlm 88
10
teori hukum yang menjadi objek penelitian. Demikian juga hukum dalam
pelaksanaannya yang berkenaan dengan objek penelitian.11
3. Sumber Data
Sumber data penelitian ini diperoleh dari:
a. Data Primer, yakni diperoleh dari wawancara dengan petugas maskapa
i penerbangan PT. Garuda Indonesia Kantor Cabang Medan.
b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui:
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, ya kni KUH Perdata, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang P
erlindungan Konsumen, Undang-undang Nomor 1 tahun 2009 tenta
ng Penerbangan.
2) Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai ba han hukum primer, seperti: yurisprudensi, buku buku ilmiah, bahan
seminar, undang-undang, majalah, internet ataupun jurnal mengen
ai penerbangan atapun perlindungan konsumen dan lain lain yang a
da kaitannya dengan skripsi ini.
3) Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup: a) Bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terha
dap hukum primer dan sekunder.
b) Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier diluar bidang hukum
seperti kamus, ensiklopedia, majalah, koran, makalah dan seba
gainya yang berkaitan dengan permasalahan.12
11
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 106.
12
F. Keaslian Penulisan
Sebagai suatu karya tulis ilmiah yang dibuat untuk memenuhi
syarat memperoleh gelar sarjana, maka berdasarkan pengamatan serta
penelusuran keperpustakaan, judul yang penulis pilih telah diperiksa dalam
Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan judul
tersebut dinyatakan tidak ada yang sama dan telah disetujui oleh Ketua
Departemen Hukum Perdata. Sehingga penelitian ini dapat dikategorikan
sebagai penelitian yang baru dan keasliannya dapat saya
pertanggungjawabkan tanpa melakukan tindakan peniruan (plagiat) baik
sebagian maupun seluruh dari karya orang lain.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini meliputi:
BAB I Pendahuluan
Berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan,
manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode
penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK PERLINDUNGAN
KONSUMEN DALAM UNDANG-UNDANG,
Berisi tentang Analisis Perlindungan Konsumen yang ada di
Indonesia dan Badan yang mengawasinya.
BAB III PENERBANGAN DAN TIKET DI INDONESIA
Berisi tentang uraian umum mengenai penerbangan di Indonesia dan
BAB IV PERLINDUNGAN HAK KONSUMEN TERHADAP
PENGGUNA JASA PENERBANGAN DALAM HAL KENAIKAN
HARGA TIKET YANG TINGGI KETIKA MUSIM LIBUR
Berisi tentang tinjauan terhadap peristiwa naiknya harga tiket
pesawat ketika musim libur yang sangat memberatkan konsumen
yang ada di Indonesia. Keterkaitan Pelayanan umum dan Harga tiket
juga di bahas di bab ini.
BAB V PENUTUP (KESIMPULAN DAN SARAN)
Berisi tentang kesimpulan dari keseluruhan isi karya tulis dan
memberikan saran sebagai langkah untuk mengatasi permasalahan
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HAK PERLINDUNGAN
KONSUMEN PENGGUNA JASA PENERBANGAN DALAM
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN UNDANG-UNDANG NO
1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN
A. Pengertian Perlindungan, Hak dan Kewajiban KonsumenMasalah Perlindungan Konsumen di Indonesia baru mulai terjadi pada
dekade 1970-an. Hal ini ditandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) pada bulan Mei 1973.13
Ketika itu gagasan perlindungan konsumen disampaikan secara luas
kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen, seperti
pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan , dan publikasi media konsumen.
Ketika YLKI berdiri, kondisi politik bangsa Indonesia saat itu masih
dibayang-bayangi dengan kampanye penggunaan produk dalam negeri. Namun, seiring
perkembangan waktu, gerakan perlindungan konsumen (seperti yang dilakukan
YLKI) dilakukan melalui koridor hukum yang resmi, yaitu bagaimana
memberikan bantuan hukum kepada masyarakat atau konsumen.14
Pada masa pemerintahan BJ Habibie, tanggal 20 April 1999 UUPK
disahkan. Dengan adanya UUPK, Jaminan atas perlindungan hak-hak konsumen
di Indonesia diharapkan bisa terpenuhi dengan baik. Masalah perlindungan
konsumen kemudian ditempatkan ke dalam koridor suatu system hukum
perlindungan konsumen yang merupakan bagian dari sistem hukum nasional.
13
Janus Sidabalok, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 248
14
Dalam Penjelasan UUPK, disebutkan bahwa keberadaan UU Perlindungan
Konsumen adalah dimaksudkan sebagai landasan hukum yang kuat bagi
pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk
melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan
konsumen. Dengan kata lain, UU Perlindungan Konsumen merupakan “payung”
yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang
perlindungan konsumen.
Seiring Perkembangan Waktu, gerakan-gerakan konsumen banyak tumbuh
dan berkembang di Tanah Air. Lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat (LPKSM), sebagai lembaga yang bertugas melindungi hak-hak
konsumen, menjamur di mana-mana. Tentunya, perkembangan tersebut patut
disambut secara positif.
Munculnya gerakan konsumen adalah untuk membangkitkan kesadaran
kritis konsumen secara kontinuitas. Kesadaran kritis ini tidak hanya dimaksudkan
untuk mendapatkan hak-hak konsumen, tapi juga dalam proses pengambilan
keputusan yang terkait tentang kepentingan konsumen, serta berbagai keputusan
yang terkait dengan kepentingan publik dan konsumen yang harus
dipertanggungjawabkan secara terbuka.15
Lambannya perkembangan perlindungan konsumen di Indonesia pada
tahap permulaan karena sikap pemerintah pada umumnya masih melindungi
kepentingan pengusaha yang merupakan faktor penting dalam pembangunan suatu
Negara. Akibat dari perlindungan kepentingan pengusaha maka
15
ketentuan hukum yang bermaksud untuk memberikan perlindunggan kepada
konsumen atau masyarakat kurang berfungsi, karena tidak diterapkan secara tegas.
Walaupun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa usaha pemerintah untuk
memberikan perlindungan kepada konsumen telah dilakukan sejak lama, hanya
saja kadang tidak disadari bahwa pada dasarnya tindakan tertentu yang dilakukan
oleh pemerintah merupakan usaha untuk melindungi kepentingan konsumen.16
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen disebutkan:
“Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”
Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen) cukup memadai.
Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindak sewenang-wenang
yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan
konsumen.
Meskipun undang-undang ini disebut sebagai Undang-Undang
Perlindungan Konsumen (UUPK) namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha
tidak ikut menjadi perhatian, teristimewa karena keberadaan perekonomian
nasional banyak ditentukan oleh para pelaku usaha.
16
Kesewenang-wenangan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum. Oleh
karena itu, agar segala upaya memberikan jaminan akan kepastian hukum,
ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen dan undang-undang lainnya yang juga dimaksudkan dan masih berlaku
untuk memberikan perlindungan konsumen, baik dalam Hukum Privat (Perdata)
maupun bidang hukum publik.
Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk
menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam
usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan
konsumen itu sendiri.17
Adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan dampak
ekonomi yang positif bagi dunia usaha. Yakni, dunia usaha dipacu untuk
meningkatkan kualitas/mutu produk barang dan jasa sehingga produknya
memiliki keunggulan kompetitif di dalam dan di luar negeri. Kekhawatiran
adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen bisa menghancurkan
perkembangan industri, perdagangan, dan pengusaha kecil tidak masuk akal.
Pengusaha kecil yang sudah ada pada awal munculnya isu perlindungan
konsumen di Indonesia hampir seperempat abad yang lalu, sampai saat ini tidak
bangkit, bahkan tergilas sepak terjang konglomerat yang menggurita.18
Perlindungan Konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi
perlindungan konsumen dalam memperoleh barang dan jasa, yang berawal dari
17Janus Sidabalok, 2014 “Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia”
, Citra Aditya, Bandung. hlm. 77
18
tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-akibat dari
pemakaian barang dan jasa itu. Cakupan perlindungan konsumen dalam dua
aspeknya itu, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkan kepada konsumen barang dan
jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati atau melanggar
ketentuan undang-undang. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan
mengenai penggunaan bahan baku, proses produksi, proses distribusi, desain
produk, dan sebagainya, apakah telah sesuai dengan standar sehubungan
keamanan dan keselamatan konsumen atau tidak. Juga, persoalan tentang
bagaimana konsumen mendapatkan penggantian jika timbul kerugian karena
memakai atau mengonsumsi produk yang tidak sesuai.
2. Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat-syarat yang
tidak adil. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan promosi dan
periklanan, standar kontrak, harga, layanan purnajual, dan sebagainya. Hal ini
berkaitan dengan perilaku produsen dalam memproduksi dan mengedarkan
produknya. 19
Ada 2 aspek Perlindungan Konsumen, yaitu:
1. Tanggung Jawab Produk
Aspek pertama dari perlindungan konsumen adalah persoalan tentang
tanggung jawab produsen-pelaku usaha atas kerugian sebagai akibat yang
ditimbulkan oleh produknya. Dengan singkat persoalan ini lazim disebut
dengan tanggung jawab produk.
19
Salah satu defenisi tanggung jawab produk dipaparkan berikut ini:
Agnes M. Toar mendefnisikan tanggung jawab produk sebagai berikut:
Tanggung jawab produk ialah tanggung jawab para produsen untuk produk
yang telah dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan/menyebabkan
kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.
2. Standar Kontrak (Perjanjian Standar, Perjanjian Baku)
Aspek kedua dari perlindungan konsumen adalah persoalan tentang
pemakaian standar kontrak dalam hubungan antara produsen-pelaku usaha
dan konsumen. Dalam praktik sering ditemukan cara bahwa untuk mengikat
suatu perjanjian tertentu , salah satu pihak telah mempersiapkan sebuah
konsep (draft) perjanjian yang akan berlaku bagi para pihak. Konsep itu
disusun sedemikian rupa sehingga pada waktu penandatanganan perjanjian,
para pihak hanya tinggal mengisi beberapa hal yang sifatnya subjektif, seperti
identitas dan tanggal waktu pembuatan perjanjian yang sengaja dikosongkan
sebelumnya. Sedangkan ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian (term of
conditions) sudah tertulis ( tercetak) lengkap, yang pada dasarnya tidak dapat
diubah lagi. Konsep perjanjian seperti inilah yang disebut dengan standar
kontrak perjanjian (perjanjian standar, perjanjian baku). Istilah ini menunjuk
pada syarat-syarat perjanjian yang sudah dibakukan sebelumnya. 20
Berkaitan dengan perlindungan konsumen, khususnya dengan tanggung
jawab produk, perlu dijelaskan beberapa istilah terlebih dahulu untuk memperoleh
kesatuan persepsi. Istilah yang memerlukan penjelasan itu adalah produsen atau
20
pelaku usaha, konsumen, produk dan standardisasi produk, peranan pemerintah,
serta klausula baku. Berikut penjelasannya:
1. Produsen atau Pelaku Usaha
Produsen sering diartikan sebagai pengusaha yang menghasilkan barang dan
jasa. Dalam pengertian ini termasuk di dalamnya pembuat, grosir, leveransir,
dan pengecer professional, yaitu setiap orang/badan yang ikut serta dalam
penyediaan barang dan jasa hingga sampai ke tangan konsumen. Sifat
professional merupakan syarat mutlak dalam hal menuntut
pertanggungjawaban produsen.21
Dengan demikian, produsen tidak hanya diartikan sebagai pelaku usaha
pembuat/ pabrik yang menghasilkan produk saja, tetapi juga mereka yang
terkait dengan penyampaian/ peredaran produk hingga sampai ke tangan
konsumen.22 Dengan perkataan lain, dalam konteks perlindungan konsumen,
produsen diartikan secara luas. Sebagai contoh, dalam hubungannya dengan
produk makanan hasil industry (pangan olahan), maka produsennnya adalah
mereka yang terkait dalam proses pengadaan makanan hasil industri ( pangan
olahan ) itu hingga sampai ke tangan konsumen, mereka itu adalah: pabrik
(pembuat), distributor, eksportir atau importer, dan pengecer, baik yang
berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum.
2. Konsumen
21
Janus Sidabalok, 2014 Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung hlm. 13
22
Konsumen umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang
diserahkan kepada mereka oleh pengusaha, yaitu setiap orang yang
mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau
diperjualbelikan lagi.23
Menurut pasal 1 angka 2 Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen disebutkan:
͚͛Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan /atau jasa
yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.͟
Persoalan hubungan produsen-pelaku usaha dengan konsumen biasanya
dikaitkan dengan produk (barang dan jasa) yang dihasilkan oleh teknologi.
Maka persoalan perlindungan konsumen erat kaitannya dengan persoalan
teknologi, khususnya teknologi maknufatur dan teknologi informasi.
Dengan makin berkembangnya industri dan teknologi memungkinkan
semua lapisan masyarakat terjangkau oleh produk teknologi, yang berarti
juga memungkinkan semua masyarakat terlibat dalam masalah
perlindungan konsumen ini.
3. Produk dan Standardisasi Produk
Dilihat dari pengertian luas, produk ialah segala barang dan jasa yang
dihasilkan oleh suatu proses sehingga produk berkaitan erat dengan
teknologi. Produk terdiri dari barang dan jasa.24
Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen:
23
Ibid, hlm. 14
24
͞ Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik
bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat
dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau
dimanfaatkan oleh konsumen.
Untuk menghindari kemungkinan adanya produk yang cacat atau berbahaya,
maka perlu ditetapkan standar minimal yang harus dipedomani dalam
berproduksi untuk menghasilkan produk yang layak dan aman dipakai.
Usaha inilah yang disebut dengan standardisasi.
Standarisasi merupakan penentuan ukuran yang harus diikuti dalam
memproduksikan sesuatu, sedang pembuatan banyaknya macam ukuran
barang yang akan diproduksikan merupakan usaha simplifikasi.
Standardisasi adalah proses pembentukan standar teknis , yang bisa menjadi
standar spesifikasi , standar cara uji , standar definisi , prosedur standar (atau
praktik), dll25
Menurut Gandi, standardisasi adalah;
“Proses penyusunan dan penerapan aturan-aturan dalam pendekatan secara teratur bagi kegiatan tertentu untuk kemanfaatan dan dengan kerja sama dari semua pihak yang berkepentingan, khususnya untuk meningkatkan pengehematan menyeluruh secara optimum dengan memperhatikan kondisi fungsional dan persyaratan keamanan. Hal ini didasarkan pada konsolidasi dari hasil (ilmu) teknologi dan pengalaman.”26
Selanjutnya ia mengatakan bahwa dengan standardisasi akan diperoleh
manfaat sebagai berikut:
25
Janus Sidabalok, 2014 Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung hlm. 78
26
a. Pemakaian bahan secara ekonomis, perbaikan mutu, penurunan ongkos
produksi, dan penyerahan yang cepat.
b. Penyederhanaan pengiriman dan penanganan barang.
c. Perdagangan yang adil, peningkatan kepuasan langganan.
d. Keselamatan kehidupan dan harta
4. Peranan pemerintah
Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 30 menerangkan bahwa Pengawasan terhadap penyelenggaraan
perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan
perundang-undangan di selenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat.27
Berkaitan dengan pemakain teknologi yang makin maju dan supaya tujuan
standardisasi dan sertifikasi tercapai semaksimal mungkin, maka peranan
pemerintah perlu aktif dalam membuat, menyesuaikan, dan mengawasi
pelaksanaan peraturan yang berlaku.
Sesuai dengan prinsip pembangunan yang antara lain, menyatakan bahwa
pembangunan dilaksanakan bersama oleh masyarakat dengan pemerintah dan
karena itu menjadi tanggung jawab bersama pula, maka melalui pengaturan
dan pengendalian oleh pemerintah, tujuan pembangunan nasional dapat
dilaksanakan dengan baik.
27
Upaya pemerintah untuk melindungi konsumen dari produk yang
merugikan dapat dilaksanakan dengan cara mengatur; mengawasi; serta
mengendalikan produksi, distribusi, dan peredaran produk sehingga konsumen
tidak dirugikan, baik kesehatannya maupun keuangannya.
Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dan kebijakan yang akan dilaksanakan,
maka langkah-langkah yang dapat ditempuh pemerintah adalah:
a. Registrasi dan penilaian b. Pengawasan produksi c. Pengawasan distribusi
d. Pembinaan dan pengembangan usaha e.
Peningkatan dan pengembangan prasarana dan tenaga. 28
5. Klausula Baku
Sehubungan dengan standar kontrak adalah penggunaan klausula baku
dalam transaksi konsumen. Yang dimaksud dengan klausula baku menurut
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah:
“Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang
telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku
usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang
mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”
Pembuat undang-undang ini menyadari bahwa pemberlakuan
standar kontrak adalah suatu kebutuhan yang tidak bisa dihindari sebab
sebagai mana dikatakan Syahdeini, perjanjian baku/standar kontrak adalah
suatu kenyataan yang memang lahir dari kebutuhan masyarakat.
28
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan
kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar
orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya,
jika ditengarai adanya tindakan adil terhadap dirinya, ia secara spontan
menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk
memperujuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam
saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.29
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen
sebagai berikut:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi
barang/jasa.
b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar
dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang/jasa.
d. Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang
digunakan.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
29
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika
barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Dan Kewajiban Konsumen, sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang
Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah:
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.30
B. Asas, Tujuan Serta Tanggung Jawab Konsumen Menurut Undang-Undang
“Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama
berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
30
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil dan spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.͟ 31
Dari kelima asas tersebut , bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi
menjadi 3 (tiga) asas yaitu:
1. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan
konsumen,
2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan, dan
3. Asas kepastian hukum. 32
Mengenai tujuan dari perlindungan konsumen, tertuang dalam pasal 3 UUPK:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
31
Ahmadi Miru, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers, Jakarta, hlm 25
32
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, kemananan, dan keselematan konsumen.͟
Ke enam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan diatas bila
dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum
untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c, dan huruf e.
Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan
huruf a, dan b, termasuk huruf c, dan d, serta huruf f. Terakhir tujuan khusus yang
diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d.
Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapat kita lihat
dalam rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang dapat
dikualifikasi sebagai tujuan ganda.
Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sekaligus sebagaimana
dikemukakan sebelumnya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a
sampai dengan huruf f dari Pasal 3 tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal,
apabila didukung oleh keseluruhan subsistem perlindungan yang diatur dalam
undang-undang ini, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi
masyarakat. Unsur masyarakat sebagaimana dikemukakan berhubungan dengan
persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang seterusnya menentukan
oleh Achmad Ali bahwa kesadaran hukum, ketaatan hukum, dan efektivitas
perundang-undangan adalah tiga unsur yang saling berhubungan.33
Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sekaligus sebagaimana
dikemukakan sebelumnya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a
sampai dengan huruf f dari pasal 3 tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal,
apabila didukung oleh keseluruhan subsistem perlindungan yang diatur dalam
undang-undang ini, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi
masyarakat. Termasuk dalam hal ini substansi ketentuan pasal demi pasal yang
akan diuraikan dalam bab selanjutnya. Unsur masyarakat sebagaimana
dikemukakan berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum.34
Pasal 8 UUPK No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
menyebutkan pelaku usaha dilarang: a. memproduksi dan atau memperdagangkan
barang dan jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan, b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto dan dalam
jumlah hitungan yang dinyatakan dalam label barang, c. tidak sesuai dengan
ukuran takaran timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang
sebenarnya, d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau
kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label barang tersebut, e. tidak sesuai
dengan janji yang dinyatakan dengan label, etiket, keterangan, iklan atau promosi
penjualan barang tersebut.35
33
M. Sadar, Taufik Makarao dan Habloel Mawadi, 2012, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Akademia, Jakarta hlm. 19
34
Janus Sidabalok, 2014 Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung hlm. 26
35
C. Badan Perlindungan Konsumen dan Pengawasannya
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
memungkinkan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan [Pasal 45
ayat (1) jo, Pasal 23 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen]. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
dilaksanakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti
kerugian dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan
terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh
Konsumen ( Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen).36 Dengan cara ini dimaksudkan supaya persoalan
antara konsumen dan produsen dapat segera ditemukan jalan penyelesaian.
Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan persoalan diselesaikan melalui
pengadilan.
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan ini sama seperti
penyelesaian sengketa dengan jalan negosiasi, konsultasi, konsiliasi, mediasi,
ataupun arbitrase.
Penjelasan Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen pada pokoknya menyatakan:
1. Penyelesaian sengketa konsumen (di luar pengadilan) tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa.
2. Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa.
3. Penyelesaian secara damai oleh penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa ( pelaku usaha dan konsumen ) tanpa melalui
36
peradilan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan tidak bertentangan dengan undang-undang ini. 37
Menurut Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan ini
bertujuan untuk mencapai kesepakatan atau perdamaian. Jadi, baik negosiator,
konsultan, konsiliator, mediator, maupun arbiter berusaha mencapai kesepakatan
atau perdamaian dalam menyelesaikan sengketa konsumen.
Demikian halnya dengan majelis BPSK sedapat mungkin mengusahakan
tercapainya kesepakatan antara produsen-pelaku usaha dan konsumen yang
bersengketa. Penyelesaian sengketa melalui BPSK ini memuat unsur perdamaian
yang harus di usahakan. Namun, harus diingat bahwa sengketa konsumen tidak
boleh diselesaikan dengan perdamaian saja sebab ketentuan hukum harus terus di
pegang. Dengan demikian, BPSK menyelesaikan sengketa konsumen dengan
memeriksa dan memutus sengketa tetap berdasarkan hukum.38 Artinya BPSK saat
menjalankan perannya dalam penyelesaian sengketa tetap berpegang pada
ketentuan dan tegaknya undang-undang (hukum) yang berlaku. 39
Untuk membantu penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan,
undang-undang ini memperkenalkan sebuah lembaga yang bernama Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen ( BPSK ). Penyelesaian sengketa konsumen
melalui BPSK termasuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan mirip
dengan badan arbitrase. Badan ini merupakan badan hasil bentukan pemerintah
37
Ibid
38
Di peradilan umum, dalam perkara perdata, ada ketentuan bahwa hakim berusaha mendamaikan para pihak yang beperkara
39
yang berkedudukan di ibukota Daerah Tingkat II Kabupaten/Kota (Pasal 49 ayat
1 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah lembaga yang
memeriksa dan memutus sengketa konsumen, yang bekerja seolah-olah sebagai
sebuah pengadilan. Karena itu, BPSK dapat disebut sebagai peradilan kuasi.
Terdapat dua fungsi BPSK, pertama sebagai instrument hukum
penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan. Tugas tugas BPSK pada pasal
52 butir e,f,g,h,i,j,k,l dan m UUPK terserap kedalam fungsi utama tersebut.
Penyelesaian sengketa konsumen, dilakukan dengan tiga cara yaitu:
1. konsiliasi
2. mediasi, dan;
3. arbitrase40
Cara konsiliasi ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak,
sedangkan majelis BPSK bersikap pasif. Majelis BPSK bertugas sebagai
pemerantara antara para pihak yang bersengketa.
Di dalam konsiliasi, seorang konsiliator akan mengklarifikasikan
masalah-masalah yang terjadi dan bergabung di tengah-tengah para pihak, tetapi kurang
aktif dibandingkan dengan seorang mediator dalam menawarkan pilihan-pilihan
penyelesaian suatu sengketa. Konsiliasi menyatakan secara tidak langsung suatu
kebersamaan suatu pihak dimana pada akhirnya kepentingan-kepentingan
bergerak mendekat dan selanjutnya didapat suatu penyelesaian yang memuaskan
40
kedua belah pihak.41 Rekonsiliasi menyatakan secara tidak langsung kebersamaan
pihak-pihak yang bersengketa yang dahulunya berkawan atau berkongsi, kini
mereka berselisih atau bertengkar. Pandangan-pandangan yang berbeda coraknya
diantara para pihak harus dipertemukan dengan teliti.
Sama halnya dengan konsiliasi, cara mediasi ditempuh atas inisiatif salah
satu pihak atau para pihak. Bedanya dengan yang pertama, pada mediasi, Majelis
BPSK bersikap aktif sebagai pemerantara atau penasihat.42
BPSK berkedudukan di Kabupaten/Kota dibentuk melalui keputusan
Presiden, dengan susunan:
1. Satu orang ketua merangkap anggota
2. satu orang wakil ketua merangkap anggota;dan
3. 9 sampai dengan 15 orang anggota.
Anggota BPSK terdiri atas unsur-unsur: pemerintah, konsumen, dan
pelaku usaha, yang masing-masing unsur diwakili oleh sekurang-kurangnya 3
orang dan sebanyak banyaknya 5 orang. Anggota BPSK ditetapkan oleh
Menteri Perindustrian dan Perdagangan.43
Etika penyelesaian sengketa konsumen mendesak untuk dirumuskan
oleh para anggota BPSK sebagai panduan/pegangan moral bagi setiap anggota
BPSK dalam menjalankan tugasnya menyelesaikan sengketa konsumen yang
diajukan oleh konsumen. Etika penyelesaian sengketa konsumen diperlukan
terutama untuk :
41
Ibid hlm. 124
42
Ibid
43
1. Mewujudkan gagasan paternalisme UUPK
2. Menciptakan korps BPSK yang bersih dan disegani untuk menjaga
standar mutu putusan-putusan BPSK.44
Namun satu hal yang harus diperhatikan disini yaitu etika penyelesaian
sengketa konsumen bukan untuk melindungi pelanggaran-pelanggaran etik
atau bahkan pelanggaran-pelanggaran hukum anggota BPSK di dalam
menjalakan tugasnya.
Untuk memperlancar tugasnya, BPSK dibantu oleh sekretariat yang
dipimpin oleh seorang kepala sekretariat dan beberapa anggota sekretariat.
Kepala dan anggota sekretariat diangkat dan diberhentikan oleh Menteri
Perindustrian dan Perdagangan.
Untuk dapat diangkat menjadi anggota BPSK, menurut pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen harus memenuhi syarat:
a. Warga Negara Republik Indonesia; b. Berbadan sehat;
c. Berkelakuan baik;
d. Tidak pernah dihukum karena kejahatan;
e. Memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; f. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun. 45
Pembentukan BPSK telah dimulai sejak tahun 2001 dengan keluarnya
Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 90 Tahun 2001. Berdasarkan keputusan
presiden tersebut telah dibentuk BPSK di 10 daerah , yaitu di kota Medan,
Palembang, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Yogyakarta,
Surabaya, Malang, dan Makassar. Secara berangsur-angsur, BPSK kemudian
44
Yusuf Shofie, 2008, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen, PT Citra Aditya Bakti, Bandung hlm. 135
45
didirikan di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia, dan sampai tahun 2012
sudah banyak BPSK yang didirikan di kabupaten/kota.
Tugas dan wewenang BPSK menurut Pasal 52 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen meliputi:
a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini;
e. Menerima pengaduan, baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;
h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini;
i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK);
j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k. Memutuskan dan menetepkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
m. Menjatuhkan sanksi administrative kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini. 46
Mencermati tugas dan wewenang BPSK sebagaimana disebutkan di atas,
dapat dikatakan bahwa BPSK ini lebih luas dari sebuah badan peradilan perdata.
Karena selain yang berkaitan dengan perkara, BPSK ini sudah sampai pula pada
tugas konsultasi yang merupakan tugas dan wewenang Badan Perlindungan
46
Konsumen Nasional (BPKN) dan pengawasan yang merupakan tugas dan
wewenang pemerintah, masyarakat, dan LSM. Sebaiknya, tugas dan wewenang
BPSK ini dapat mencapai tujuannya. Idealnya BPSK ini adalah sebuah lembaga
arbitrase yang tugas-tugasnya berada pada lingkup mencari
pemecahan/penyelesaian sengketa konsumen dengan jalan kesepakatan atau
perdamaian dalam kerangka hukum yang berlaku. Dengan tugas seperti ini maka
BPSK dapat dengan segera memberikan putusannya untuk mengakhiri sengketa
konsumen. Diharapkan dengan penyelesaian sengketa yang sederhana dan
singkat, tidak diperlukan lagi penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang
cenderung lama dan berlarut-larut.
Perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia didasarkan pada 3 prinsip,
yaitu prinsip perlindungan kesehatan/harta konsumen, prinsip perlindungan atas
barang dan harga serta prinsip penyelesaian sengketa secara patut. Di samping itu
UUPK juga secara tegas memuat prinsip ganti kerugian subjek terbatas dan
prinsip tanggung gugat berdasarkan kesalahan dengan beban pembuktian terbalik.
Namun demikian, UUPK masih memiliki kekurangan-kekurangan karena
mengatur ketentuan yang secara prinsipil bersifat kontradiktif, yaitu di satu pihak
menutup kemungkinan bagi produsen untuk mengalihkan tanggung gugatnya
kepada konsumen, akan tetapi di pihak lain tetap memungkinkan untuk
diperjanjikan batas waktu pertanggung gugatan. Walaupun masih terdapat
kekurangan UUPK namun secara umum semakin membebani produsen untuk
bertanggung gugat terhadap kerugian yang dialami oleh konsumen, sehingga