FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU BASIL TAHAN
ASAM POSITIF DI PUSKESMAS WILAYAH
KECAMATAN SERANG KOTA SERANG
TAHUN 2014
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN
OLEH :
Faris Muaz
NIM: 1111103000019
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
!
! v!
KATA PENGANTAR
Assalamu ‘alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh,
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang selalu memberikan rahmat-Nya dan segala kemudahan bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan skripsi ini dengan judul "Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis Paru BTA Positif Di Puskesmas
Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014".Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW dan para sahabat serta keluarganya. Skripsi ini merupakan persyaratan untuk menyelesaikan program studi pendidikan dokter di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ucapan tersebut ditujukan kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr (hc). dr. M.K Tadjudin, SpAnd, dr. M. Djauhari Widjajakusumah, AIF, PFK, Dr. Arif Sumantri, S.KM, M.Kes, Dra. Farida Hamid, MA selaku Dekan dan Wakil Dekan FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. dr. Witri Ardini, M.Gizi, SpGK selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. dr. Flori Ratna Sari, Ph.D selaku penanggungjawab modul Riset.
5. dr. Mukhtar Ikhsan, SpP(K), MARS selaku Pembimbing I dalam penulisan penyusunan skripsi, yang telah memberikan masukan, waktu, pikiran, dan tenaga untuk membimbing saya dalam penelitian ini.
6. dr. Zulhafdy Muchni, SpM selaku Pembimbing II dalam penulisan penyusunan skripsi, yang telah memberikan masukan, waktu, pikiran, dan tenaga untuk membimbing saya dalam penelitian ini.
memberikan ijin dalam melakukan penelitian
10.Seluruh kepala puskesmas di wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Provinsi Banten, yang telah membantu dan memberikan ijin dalam melakukan penelitian
11.Seluruh petugas pemegang program TB Paru di Puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang provinsi Banten, terima kasih banyak atas bantuannya
12.Seluruh responden yang telah bersedia dan meluangkan waktu untuk pengambilan data
13.Seluruh staf sekretariat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta yang telah membantu
14.Bapak dan Mamah tercinta Toyalis dan Nur'aeni yang selalu memberikan doa yang terus-menerus dipanjatkan, serta pengorbanan yang penuh keikhlasan, ridho yang menjadikan kelancaran, dukungan moril, materil dan motivasi dalam setiap langkah hidup saya.
15.Adik tersayang M. Wildan Fahrurreza dan M. Nurul Robbi, terima kasih untuk doa dan dukungan yang selalu diberikan.
16.Sahabat dan rekan sejawat seperjuangan yang selalu memberikan semangat dalam penulisan skripsi ini terutama M. Bustomy Chusnul Mubarok sebagai saksi selama peneliti melakukan penelitian.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca sekalian. Penulis akan berterima kasih apabila ada saran dan kritik bagi penulis yang sifatnya membangun sehingga akan memperbaiki kualitas skripsi ini.
Jakarta,!!September!2014! !
! vii!
ABSTRAK
Faris Muaz. Pendidikan Dokter. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis Paru BTA Positif Di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014. 2014
Latar Belakang. Penyakit Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mikobakterium tuberkulosis. Kasus baru TB Paru di Kota Serang pada tahun 2013 ditemukan 572 penderita dengan BTA (+). Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang Mempengaruhi terjadinya penyakit TB Paru BTA (+) di Puskesmas wilayah Kecamatan Serang tahun 2014, meliputi usia, jenis kelamin, status gizi, pekerjaan, penghasilan, pendidikan, status imunisasi BCG, merokok, pengetahuan, kepadatan hunian dan pencahayaan hunian. Metode. Menggunakan studi kasus-kontrol, sampel penelitian adalah penderita TB Paru BTA (+) yang berobat di Puskesmas wilayah Kecamatan Serang pada Agustus-September, dan pasien non-TB sebagai kontrol. Pengumpulan data menggunakan kuesioner. Analisis data dilakukan dengan analisis univariat (distribusi frekuensi), analisis bivariat dengan uji Chi Square, dan analisis multivariat dengan uji regresi logistik. Hasil dan Kesimpulan. Dari hasil analisis multivariat, variabel yang paling berpengaruh dengan kejadian TB Paru BTA+ adalah penghasilan (OR= 6,575), jenis kelamin (OR= 4,772), pekerjaan (OR= 3,272), dan imunisasi BCG (OR= 3,041).
Positive Pulmonary Tuberculosis In Serang Subdistrict Community Health Centers, Serang City, In 2014. 2014
Background. Tuberculosis (TB) is an infectious disease caused by Mycobacterium tuberculosis. There were 572 new cases of AFB (+) pulmonary TB in Serang city in 2013. Aim. The purpose was to determine the factors associated with the occurrence of AFB (+) pulmonary TB in Serang Subdistrict Community Health Centers in 2014, which include age, sex, nutritional status, occupation, income, education, BCG immunization, smoking, knowledge, populous household and house lights. Method. This is a case-control study, done within August-September 2014 time periode, among AFB (+) pulmonary TB patients registered in community health center in the subdistrict of Serang, with other non-TB patients as control. The data was collected using questionnaires. Data analysis was performed with univariate analysis (frequency distribution), bivariate analysis with chi-square test, and multivariate analysis with logistic regression. Result and conclusion. Multivariate analysis shows that variables with high impact on AFB (+) pulmonary TB are income (OR = 6.575), sex (OR = 4.772), occupation (OR = 3.272), and BCG immunization (OR = 3.041).
! ix!
1.3Tujuan Penelitian ... 2
1.3.1 Tujuan Umum ... 2
1.3.2 Tujuan Khusus ... 3
1.4 Hipotesis Penelitian ... 4
1.4Manfaat Penelitian ... 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1 Landasan Teori ... 6
2.1.1 Definisi Tuberkulosis ... 6
2.1.2 Gejala Klinis TB Paru ... 6
2.1.3 Penyebab TB Paru ... 7
2.1.4 Patogenesis TB Paru ... 7
2.1.5 Klasifikasi TB Paru ... 8
2.1.6 Diagnosis TB Paru ... 9
2.1.7 Cara Penularan ... 11
2.1.8 Inkubasi ... 11
2.1.9 Program Penanggulangan TB ... 11
2.1.10 Epidemiologi TB Paru ... 12
2.1.11 Faktor Resiko TB Paru ... 12
2.2 Kerangka Teori ... 20
2.3 Kerangka Konsep ... 21
2.4 Perumusan Masalah Khusus ... 21
2.5 Definisi Operasional ... 22
BAB III. METODE PENELITIAN... 25
3.1 Desain Penelitian ... 25
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 25
3.3 Populasi dan Sampel ... 25
3.5 Manajemen Data ... 27
3.5.1 Pengumpulan Data ... 27
3.5.2 Pengolahan Data ... 28
3.5.3 Analisis Data ... 28
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 31
4.1 Hasil Penelitian ... 31
4.1.1. Hasil Analisis Univariat ... 31
4.1.2. Hasil Analisis Bivariat ... 36
4.1.3. Hasil Analisis Multivariat ... 43
4.2 Pembahasan ... 46
4.3 Aspek Keislaman ... 54
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 58
5.1 Kesimpulan ... 58
5.2 Saran ... 59
DAFTAR PUSTAKA ... 60
! xi!
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Variabel Dependen ... 22
Tabel 2.2 Variabel Independen ... 22
Tabel 4.1 Hasil Analisis Univariat ... 35
Tabel 4.2 Hubungan Umur Dengan Penderita TB Paru BTA+ ... 36
Tabel 4.3 Hubungan Jenis kelamin Dengan Penderita TB Paru BTA+ ... 36
Tabel 4.4 Hubungan Status Gizi Dengan Penderita TB Paru BTA+ ... 37
Tabel 4.5 Hubungan Pekerjaan Dengan Penderita TB Paru BTA+ ... 37
Tabel 4.6 Hubungan Penghasilan Dengan Penderita TB Paru BTA+ ... 38
Tabel 4.7 Hubungan Pendidikan Dengan Penderita TB Paru BTA+ ... 38
Tabel 4.8 Hubungan Imunisasi BCG Dengan Penderita TB Paru BTA+ ... 39
Tabel 4.9 Hubungan Merokok Dengan Penderita TB Paru BTA+ ... 39
Tabel 4.10 Hubungan Pengetahuan Dengan Penderita TB Paru BTA+ ... 40
Tabel 4.11 Hubungan Kepadatan Hunian Dengan Penderita TB Paru BTA+ ... 40
Tabel 4.12 Hubungan Pencahayaan Hunian Dengan Penderita TB Paru BTA+ ... 41
Tabel 4.13 Resume Analisis Bivariat ... 42
Tabel 4.14 Hasil Seleksi Kandidat Pemodelan Analisis Regresi Logistik ... 43
Halaman
Grafik 4.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur ... 31
Grafik 4.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin ... 31
Grafik 4.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Status Gizi ... 32
Grafik 4.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pekerjaan ... 32
Grafik 4.5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Penghasilan ... 32
Grafik 4.6 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pendidikan ... 33
Grafik 4.7 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Imunisasi BCG ... 33
Grafik 4.8 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Merokok ... 33
Grafik 4.9 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pengetahuan ... 34
Grafik 4.10 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kepadatan Hunian ... 34
! xiii!
DAFTAR BAGAN
Halaman
APHA = American Public Health Association AFB = Acid-Fast Bacillus
BCG = Bacillus Calmette-Guerin
BTA = Basil Tahan Asam
BTA+ = Basil Tahan Asam Positif
CI = Confidence Interval
DOTS = Direct Observsed Treatment Short-Course
HIV/AIDS = Human Immunodeficiency Virus Acquired Immuno Deficiency Syndrome
KTP = Kartu Tanda Penduduk
MDGs = Millenium Development Goals MDR = Multidrug Resistant
OAT = Obat Anti Tuberkulosis
OR = Odds Ratio
PMO = Pengawas Minum Obat
SD = Sekolah Dasar
SMP = Sekolah Menengah Pertama
SMA = Sekolah Menengah Atas
SPS = Sewaktu Pagi Sewaktu
SPSS = Statistic Product Service Solution
TB = Tuberkulosis
! xv!
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Lembar Informed Consent ... 64
Lampiran 2 Lembar Kuesioner ... 66
Lampiran 4 Lembar Surat Izin Penelitian Dinkes Kota Serang ... 69
1.1. Latar Belakang
Penyakit Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mikobakterium tuberkulosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ lain. Sumber penularan adalah penderita TB paru BTA (+) yang dapat menularkan kepada orang di sekelilingnya terutama yang melakukan kontak lama. Setiap satu penderita BTA (+) akan menularkan pada 10-15 orang pertahun.1
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mikobakterium tuberkulosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB di seluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi di negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian perempuan akibat TB lebih banyak daripada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas.2
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan keluarganya. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial, stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat.2
2!
!
2
penghasilan, tingkat kepadatan penduduk, tingkat pendidikan serta rendahnya pengetahuan kesehatan pada masyarakat.3
Di Provinsi Banten, dari hasil data dan informasi diperoleh jumlah penderita TB Paru tahun 2010 sebesar 13.877 kasus, dengan BTA positif sebesar 8.018 kasus. Angka penemuan kasus/Case Detection Rate (CDR) TB paru di Provinsi Banten sebesar 75,2%. Sedangkan di wilayah Kota Serang tahun 2013 kasus BTA (+) baru sebanyak 572 penderita, sedangkan kasus TB paru suspek sebesar 5123 penderita. Di satu puskesmas wilayah Kecamatan Serang saja pada tahun 2013, jumlah penderita TB paru BTA positif kasus baru sebanyak 212 penderita, CDR sebesar 93%, dan kasus kambuh sebanyak 28 pasien.3, 6
Bila dibandingkan dengan puskesmas lain di kota Serang, kasus TB paru di puskesmas wilayah Kecamatan Serang masih tinggi. Hal tersebut menjadi tantangan bagi peneliti untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kasus penyakit TB paru di wilayah tersebut. Dari uraian di atas perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kasus penyakit TB paru di puskesmas wilayah Kecamatan Serang. Hasilnya diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun langkah-langkah intervensi dan untuk perencanaan penanggulangan TB Paru yang lebih efektif dan efisien di puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah faktor-faktor apakah yang mempengaruhi terjadinya penyakit TB Paru BTA positif di puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang.
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengaruh Umur dengan kejadian TB paru BTA+ di puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang tahun 2014.
b. Untuk mengetahui pengaruh jenis kelamin dengan kejadian TB paru BTA+ di puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang tahun 2014.
c. Untuk mengetahui pengaruh status gizi dengan kejadian TB paru BTA+ di puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang tahun 2014.
d. Untuk mengetahui pengaruh pekerjaan dengan kejadian TB paru BTA+ di puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang tahun 2014.
e. Untuk mengetahui pengaruh penghasilan dengan kejadian TB paru BTA+ di puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang tahun 2014.
f. Untuk mengetahui pengaruh pendidikan dengan kejadian TB paru BTA+ di puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang tahun 2014.
g. Untuk mengetahui pengaruh status imunisasi BCG dengan kejadian TB paru BTA+ di puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang tahun 2014.
h. Untuk mengetahui pengaruh merokok dengan kejadian TB paru BTA+ di puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang tahun 2014.
i. Untuk mengetahui pengaruh pengetahuan dengan kejadian TB paru BTA+ di puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang tahun 2014.
4!
!
4
k. Untuk mengetahui pengaruh pencahayaan hunian dengan kejadian TB paru BTA+ di puskesmas wilayah Kecamatan Serang kota Serang tahun 2014.
1.4. Hipotesis Penelitian
a. Umur produktif lebih beresiko terhadap peningkatan angka kejadian penyakit TB Paru BTA+ dibandingkan dengan yang berUmur non produktif.
b. Jenis kelamin laki-laki lebih beresiko terhadap peningkatan angka kejadian penyakit TB Paru BTA+ dibandingkan dengan yang berjenis kelamin perempuan.
c. Kurang gizi lebih beresiko terhadap peningkatan angka kejadian penyakit TB Paru BTA+ dibandingkan dengan yang mempunyai gizi cukup. d. Tidak bekerja lebih beresiko terhadap peningkatan angka kejadian
penyakit TB Paru BTA+ dibandingkan dengan yang bekerja.
e. Berpenghasilan kurang lebih beresiko terhadap peningkatan angka kejadian penyakit TB Paru BTA+ dibandingkan dengan yang berpenghasilan cukup.
f. Berpendidikan rendah lebih beresiko terhadap peningkatan angka kejadian penyakit TB Paru BTA+ dibandingkan dengan yang berpendidikan tinggi.
g. Tidak diimunisasi BCG lebih beresiko terhadap peningkatan angka kejadian penyakit TB Paru BTA+ dibandingkan dengan yang diimunisasi BCG.
h. Merokok lebih beresiko terhadap peningkatan angka kejadian penyakit TB Paru BTA+ dibandingkan dengan yang tidak merokok.
i. Berpengetahuan buruk lebih beresiko terhadap peningkatan angka kejadian penyakit TB Paru BTA+ dibandingkan dengan yang berpengetahuan baik.
k. Tidak tinggal di hunian dengan pencahayaan matahari yang baik lebih beresiko terhadap peningkatan angka kejadian penyakit TB Paru BTA+ dibandingkan dengan yang tinggal di hunian dengan pencahayaan matahari yang baik.
1.5. Manfaat Penelitian
a. Manfaat bagi Dinas Kesehatan
Sebagai bahan informasi dan masukan dalam membuat kebijakan untuk menyusun perencanaan penanggulangan penyakit TB paru.
b. Manfaat bagi perguruan tinggi
# Sebagai perwujudan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
# Sarana bagi universitas, pimpinan fakultas, staf pengajar, dan mahasiswa untuk menjalin kerja sama.
c. Manfaat bagi peneliti
Sebagai bahan untuk menambah wawasan dalam mengkaji program penanggulangan TB paru beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya yang sampai saat ini masih menjadi masalah. Meskipun faktor yang diteliti sama antara satu peneliti dengan peneliti lainnya, akan tetapi hasil dari penelitian akan berbeda, sehingga dapat memperkaya pengetahuan serta wawasan. Pelaksanaan penelitian ini sebagai sarana belajar dalam meningkatkan kemampuan bidang penelitian, dan untuk pengembangan penelitian selanjutnya.
! 6! !
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Definisi Tuberkulosis
Penyakit Tuberkulosis (TB) adalah penyakit radang parenkim
paru yang menular karena infeksi kuman TB yaitu Mikobakterium
tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.2 2.1.2. Gejala Klinis TB Paru
Keluhan yang dirasakan penderita tuberkulosis dapat
bermacam-macam atau tanpa keluhan sama sekali.
a. Demam
Biasanya subfebris, menyerupai demam influenza tetapi
kadang-kadang suhunya 40-41°C. Keadaan ini sangat dipengaruhi
oleh daya tahan tubuh penderita dan berat ringannya infeksi kuman
tuberkulosis yang masuk.7 b. Batuk
Batuk berlangsung 2-3 minggu atau lebih karena adanya
iritasi pada bronkus, sifat batuk dimulai dari batuk kering
(nonproduktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi
produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lebih lanjut
adanya dahak bercampur darah bahkan sampai batuk darah
(hemaptoe) karena terdapat pembuluh darah yang pecah.7 c. Sesak napas
Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah
lanjut, dimana infiltrasinya sudah setengah bagian paru-paru.7 d. Nyeri dada
Gejala ini jarang ditemukan, nyeri dada timbul bila filtrasi
e. Malaise
Sering ditemukan berupa anoreksia, berat badan menurun
sakit kepala, meriang. Keluar keringat di malam hari tanpa
melakukan aktifitas.7 2.1.3. Penyebab TB Paru
TB paru disebabkan oleh kuman Mikobakterium tuberkulosis
yang berbentuk batang berukuran ± 0,3–0,6 dan panjang ± 1–4 µ.
Mempunyai sifat khusus tahan terhadap asam pada pewarnaan. Kuman
TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan
hidup sampai beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam
jaringan tubuh, kuman ini dapat tertidur lama (dorman) selama
beberapa tahun.12 Ada beberapa jenis Mikobakterium seperti Mycobacterium africanus, Mycobacterium bovis, mycobacterium kansasii, Mycobacterium avium dan Mycobacterium nenopi. Namun yang penting adalah Mikobakterium tuberkulosis yang menyebabkan
penyakit tuberkulosis dan terutama menyerang paru.7 2.1.4. Patogenesis TB Paru
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali
dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya,
sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan
terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap di sana. Infeksi
dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara
pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan radang di dalam paru.
Aliran getah bening akan membawa kuman TB ke kelenjar getah
bening di sekitar hilus paru, ini disebut sebagai kompleks primer.
Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer
adalah sekitar 4–6 minggu. Infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya
perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan
setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk
dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada
umumnya reaksi daya tahan tubuh dapat menghentikan perkembangan
8!
!
8
kuman persisten atau dorman (tidur). Kadang daya tahan tubuh tidak
mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam
beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi sakit TB.2,7 2.1.5 Klasifikasi TB Paru9
a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena
# Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru).
# Tuberkulosis Extra Paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung
(perikardium), kelanjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus,
ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.
b. Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak Mikroskopik
pada TB Paru.
# Tuberkulosis Paru BTA Positif
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS
hasilnya BTA (+), 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (+) dan
foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis, 1
spesimen dahak SPS hasilnya BTA (+) dan biakan kuman TB
Positif, 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3
spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya
BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibiotika non OAT.
# Tuberkulosis Paru BTA Negatif
Kriteria diagnosis TB paru BTA negatif harus meliputi:
paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif, foto
toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis, tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT, ditemukan
c. Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumya.
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi
menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:
# Baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4
minggu).
# Kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, di diagnosis kembali dengan BTA positif
(apusan atau kultur).
# Pengobatan setelah putus berobat (default)
Adalah pengobatan yang telah berobat dan putus berobat
2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
# Gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap
positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau
lebih selama pengobatan.
# Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang
memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
# Lain-lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan
diatas. Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien
dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai
pengobatan.
2.1.6. Diagnosis TB Paru4
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2
hari, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA).
10!
!
10
dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain
seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai
penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak
dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas
pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB
paru:
Bagan 2.1 Alur Diagnosis TB Paru
2.1.7. Cara Penularan
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu
batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuklei). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000 percikan dahak.10
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan di mana percikan
dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi
jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh
kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan
yang gelap dan lembab.10
Daya faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB
ditentukan oleh konsentrasi percikan dan lamanya menghirup udara
tersebut.10 2.1.8. Inkubasi
Mulai saat masuknya bibit penyakit sampai timbulnya gejala
adanya lesi primer atau reaksi tes tuberkulosis positif kira-kira
memakan waktu 3-8 minggu. Resiko menjadi TB paru setelah terinfeksi
primer biasanya pada tahun pertama dan kedua. Infeksi laten dapat
berlangsung seumur hidup. Infeksi HIV meningkatkan resiko terhadap
infeksi TB dan memperpendek masa inkubasi.7 2.1.9. Program Penanggulangan TB
Strategi Direct Observed Treatment Short-Course (DOTS) adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada
pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB
dan dengan demikian menurunkan insiden TB di masyarakat.
Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam
pencegahan penularan TB. Dengan menggunakan strategi DOTS, biaya
program penanggulangan TB akan lebih hemat.3
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci yaitu:4 a. Komitmen politis
12!
!
12
c. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB
dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan
langsung pengobatan.
d. Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.
e. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan
penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program
secara keseluruhan.
2.1.10.%Epidemiologi Penyakit TB Paru
Indonesia sekarang berada pada peringkat kelima negara dengan
beban TB tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus
adalah sebesar 660,000 (WHO, 2010) dan estimasi insidensi berjumlah
430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan
61,000 kematian per tahunnya. Angka MDR-TB diperkirakan sebesar
2% dari seluruh kasus TB baru (lebih rendah dari estimasi di tingkat
regional sebesar 4%) dan 20% dari kasus TB dengan pengobatan ulang.
Diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus MDR TB setiap tahunnya.3 Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia
merupakan negara pertama diantara High Burden Country di wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada
tahun 2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah
ditemukan dan diobati dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi
BTA+. Dengan demikian, Case Detection Rate untuk TB BTA+ adalah 73 per 100.000 (Case Detection Rate 73%). Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90%
dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian target global
tersebut merupakan tonggak pencapaian program pengendalian TB
nasional yang utama.3
2.1.11. Faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya peningkatan angka kejadian penyakit TB Paru
Faktor-faktor yang memungkinkan orang mudah terinfeksi
mempunyai risiko mendapat TB paru lebih besar daripada golongan
lainnya. Diantaranya adalah faktor umur, pendidikan, pengetahuan,
pekerjaan, jenis kelamin, kondisi lingkungan yang tidak sehat, adanya
penyakit lain yang menyebabkan daya tahan tubuh rendah, gizi buruk,
kontak dengan sumber penularan, pengaruh merokok, asap dapur, asap
obat nyamuk dan sebagainya.11
Konsep “trial epidemiology” atau konsep ekologis dari John Gordon menyatakan bahwa terjadinya penyakit karena adanya
ketidakseimbangan antara agent (penyebab penyakit), host (pejamu), dan environment (lingkungan).12
a. Faktor Agent (penyebab penyakit)
Faktor agen yaitu semua unsur baik elemen hidup atau mati
yang kehadirannya dan atau ketidakhadirannya, apabila diikuti dengan
kontak yang efektif dengan manusia rentan dalam keadaan yang
memungkinkan akan memudahkan terjadinya suatu proses penyakit.
Agen diklasifikasikan sebagai agen biologis, kimia, nutrisi, mekanik,
dan fisik.12 Untuk khusus TB paru yang menjadi agen adalah kuman Mikobakterium tuberkulosis.
Menurut penelitian, angka prevalensi TB di masyarakat,
pengobatan yang relatif lama, terutama yang kontak serumah dengan
penderita TB Paru menyebabkan meningkatnya kejadian TB paru.13 Hasil penelitian, menemukan bahwa lama kontak > 3 bulan dengan
penderita TB paru dapat meningkatkan kejadian TB paru dalam
masyarakat.14
b. Faktor Host (Penjamu)
Faktor pejamu adalah manusia yang mempunyai kemungkinan
terpapar oleh agen. Ada beberapa faktor yang berkaitan dengan
penjamu antara lain usia, jenis kelamin, ras, sosial ekonomi, kebiasaan
hidup, status perkawinan, pekerjaan keturunan, nutrisi dan imunitas.
Faktor tersebut menjadi penting karena dapat mempengaruhi resiko
untuk terpapar, sumber infeksi dan kerentanan serta resistensi dari
14!
!
14
# Pendidikan
Pendidikan akan menggambarkan perilaku seseorang dalam
kesehatan. Semakin rendah pendidikan maka ilmu pengetahuan di
bidang kesehatan semakin berkurang, baik yang menyangkut
asupan makanan, penanganan keluarga yang menderita sakit dan
usaha-usaha preventif lainnya.15
Tingkat pendidikan yang rendah dapat mempengaruhi
pengetahuan di bidang kesehatan, maka secara langsung maupun
tidak langsung dapat mempengaruhi lingkungan fisik, lingkungan
biologis dan lingkungan sosial yang merugikan kesehatan dan
dapat mempengaruhi penyakit TB dan pada akhirnya
mempengaruhi tingginya kasus TB yang ada.1
Pendidikan berkaitan dengan pengetahuan penderita.
Pendidikan penderita yang rendah mengakibatkan pengetahuan
rendah, sehingga memungkinkan penderita dapat putus dalam
pengobatan karena minimnya pengetahuan dari penderita dan
ketidakmengertinya pengobatan. Hal ini mengakibatkan penderita
tidak dapat teratur dalam program pengobatan yang dijalani.
Hampir seluruh penelitian sebelumnya menemukan faktor
pendidikan sangat erat kaitannya dengan ketidakteraturan berobat
dan minum obat.16 # Pengetahuan
Pengetahuan penderita yang baik tentang penyakit TB paru
dan pengobatannya akan meningkatkan keteraturan penderita,
dibandingkan dengan penderita yang kurang akan pengetahuan
penyakit TB paru dan pengobatannya. Karena itu bimbingan dan
pengawasan yang dilakukan oleh PMO akan lebih terarah dan baik.
Sehingga akan meningkatkan keteraturan penderita dalam
pengobatan tersebut sehingga angka penularan akan menurun.16 Seseorang yang punya pengetahuan yang baik tentang
penularan TB paru, akan berupaya untuk mencegah penularannya.
benar responden. Pengetahuan tinggi jika responden dapat
menjawab dengan benar 75%, dan rendah bila < 75%.17 # Pendapatan
Pendapatan akan banyak berpengaruh terhadap perilaku
dalam menjaga kesehatan perindividu dan dalam keluarga. Hal ini
disebabkan pendapatan mempengaruhi pendidikan dan
pengetahuan seseorang dalam mencari pengobatan, mempengaruhi
asupan makanan, mempengaruhi lingkungan tempat tinggal seperti
keadaan rumah dan bahkan kondisi pemukiman yang di tempati.15 Sekitar 90% penderita tuberkulosis paru di dunia
menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin.
Faktor kemiskinan walaupun tidak berpengaruh langsung pada
kejadian tuberkulosis paru namun dari beberapa penelitian
menunjukkan adanya hubungan antara pendapatan yang rendah dan
kejadian tuberkulosis paru. Lebih lagi, bahwa ada hubungan
pengangguran dengan kejadian tuberkulosis.39, 40 # Pekerjaan
Hubungan antara penyakit TB paru erat kaitannya dengan
pekerjaan. Secara umum peningkatan angka kematian yang di
pengaruhi rendahnya tingkat sosial ekonomi yang berhubungan
dengan pekerjaan merupakan penyebab tertentu yang didasarkan
pada tingkat pekerjaan. Hasil penelitian mengemukakan bahwa
sebagian besar penderita TB paru adalah tidak bekerja (53,8%).18 - Jenis kelamin
Jenis kelamin merupakan suatu variabel untuk
membedakan presentasi penyakit antara laki-laki dan perempuan.
Kadang-kadang ditemukan presentasi laki-laki lebih dari 50% dari
jumlah kasus. Pada tahun 2012 WHO melaporkan bahwa di
sebagian besar dunia, lebih banyak laki-laki daripada perempuan
didiagnosis tuberkulosis. Hal ini didukung dalam data yaitu antara
tahun 1985-1987 penderita tuberkulosis paru pada laki-laki
16!
!
16
menurun 0,7%. tuberkulosis paru lebih banyak terjadi pada
laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki-laki-laki sebagian besar
mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan
terjangkitnya tuberkulosis paru.22 - Status Gizi
Secara umum kekurangan gizi, atau gizi buruk akan
berpengaruh terhadap kekuatan, daya tahan dan respon imun
terhadap serangan penyakit. Faktor ini sangat penting pada
masyarakat miskin, baik pada orang dewasa maupun pada anak.18 Menurut Misnardiarly dalam Toyalis menyebutkan bahwa
faktor kurang gizi atau gizi buruk akan meningkatkan angka
kesakitan/kejadian TB paru, terutama TB paru pertama sakit.27 - Imunisasi BCG
Hubungan kekebalan (status imunisasi) dengan kejadian
tuberkulosis, bahwa anak yang divaksinasi BCG memiliki risiko
0,6 kali untuk terinfeksi tuberkulosis (95% CI 0,43-0,83, p= 0,003),
dibandingkan dengan anak-anak yang belum divaksin. Walaupun
imunisasi BCG tidak mengegah infeksi tuberkulosis namun dapat
mengurangi risiko tuberkulosis berat seperti meningitis tuberkulosa
dan tuberkulosis milier.34
Daya cegah faksin BCG terhadap Tuberkulosis tidak tetap.8 Hasil penelitian menunjukan bahwa efek pencegahan BCG
bervariasi antara 0%-80% (WHO, 1999). 27 - Penyakit HIV/ AIDS
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang
menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, di
antaranya infeksi HIV/AIDS. HIV merupakan faktor resiko yang
paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB. Infeksi HIV
menyebabkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler,
sehingga bila terjadi infeksi penyerta (oportunitis), seperti tuberkulosis, maka yang akan menjadi sakit parah bahkan bisa
- Kebiasaan Merokok
Merokok adalah membakar tembakau yang kemudian
dihisap isinya. Definisi perokok menurut WHO dalam depkes
tahun 2004 adalah mereka yang merokok setiap hari untuk jangka
waktu minimal 6 bulan selama hidupnya.33
Merokok merupakan penyebab utama penyakit paru yang
bersifat kronis dan obstruktif, misalnya bronkitis dan emfisema.
Merokok juga terkait dengan influenza dan radang paru lainnya.
Pada penderita asma, merokok akan memperparah gejala asma
sebab asap rokok akan lebih menyempitkan saluran pernapasan.
Efek merugikan tersebut mencakup meningkatnya kerentanan
terhadap batuk kronis, produksi dahak dan serak.37
Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan
meningkatkan resiko untuk mendapatkan kanker paru, penyakit
jantung koroner, bronkitis kronik dan kanker kandung kemih.
Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru
sebanyak 2,2 kali.21 - Umur
Umur merupakan faktor predisposisi terjadinya perubahan
perilaku yang dikaitkan dengan kematangan fisik dan psikis
penderita TB paru. Pada saat ini angka kejadian TB paru mulai
bergerak kearah umur tua karena kepasrahan mereka terhadap
penyakit yang diderita.19
Sedangkan berdasarkan umur, terlihat angka insiden TB
secara perlahan bergerak kearah kelompok umur tua (dengan
puncak pada 55-64 tahun). Meskipun saat ini sebagian besar kasus
terjadi pada kelompok umur 15-54 Tahun.19 c. Faktor lingkungan36
Lingkungan adalah segala sesuatu baik fisik, biologis maupun
18!
!
18
yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan manusia.
Unsur-unsur lingkungan adalah sebagai berikut:36
# Lingkungan fisik
Lingkungan fisik adalah segala sesuatu yang berada di sekitar
manusia yang bersifat tidak bernyawa. Misalnya air, tanah,
kelembaban udara, suhu, angin, rumah dan benda mati lainnya.
# Lingkungan Biologis
Lingkungan biologis adalah segala sesuatu yang bersifat
hidup seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, termasuk mikroorganisme.
# Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial adalah segala sesuatu tindakan yang
mengatur kehidupan manusia dan usaha-usahanya untuk
mempertahankan kehidupan, seperti pendidikan pada tiap individu,
rasa tanggung jawab, pengetahuan keluarga, jenis pekerjan, jumlah
penghuni dan keadaan ekonomi.
# Lingkungan Rumah
Menurut American Public Health Assosiaton (APHA), lingkungan rumah yang sehat harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
− Suhu ruangan, yaitu dalam pembuatan rumah harus diusahakan
agar konstruksinya sedemikian rupa sehingga suhu ruangan
tidak berubah banyak dan agar kelembaban udara dapat dijaga
jangan sampai terlalu tinggi dan terlalu rendah. Untuk ini harus
diusahakan agar perbedaan suhu antara dinding, lantai, atap dan
permukaan jendela tidak terlalu banyak.
− Harus cukup mendapatkan pencahayaan baik siang maupun
malam. Suatu ruangan mendapat penerangan pagi dan siang hari
yang cukup yaitu jika luas ventilasi minimal 10% dari jumlah
luas lantai.
− Ruangan harus segar dan tidak berbau, untuk ini diperlukan
− Harus cukup mempunyai isolasi suara sehingga tenang dan tidak
terganggu oleh suara-suara yang berasal dari dalam maupun dari
luar rumah.
− Harus ada variasi ruangan, misalnya ruangan untuk anak-anak
bermain, ruang makan, ruang tidur dll.
− Jumlah kamar tidur dan pengaturanya disesuaikan dengan umur
dan jenis kelaminnya. Ukuran ruang tidur anak yang berumur
kurang dari lima tahun minimal 4,5m3, artinya dalam satu ruangan dalam suatu ruangan anak yang berumur lima tahun
kebawah diberi kebebasan menggunakan volume ruangan 4,5 m3 (1,5x1x3m3
) dan atas lima tahun menggunakan ruangan 9 m3 (3x1x3m3
).28
Menurut Keputusan Menteri tentang Pemukiman dan
Prasarana tahun 2002 bahwa kebutuhan ruang perorang dihitung
berdasarkan aktivitas dasar manusia di dalam rumah. Aktivitas
seseorang tersebut meliputi aktivitas tidur, makan, kerja, duduk,
mandi, kakus, cuci dan masak serta ruang gerak lainnya. Dari hasil
kajian, kebutuhan ruang per orang adalah 9 m2
dengan perhitungan
ketinggian rata-rata langit-langit adalah 2,8 m. Untuk kamar tidur
diperlukan minimum 2 orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni >2
orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah dua tahun.28
Hasil penelitian Rusnoto, menunjukkan bahwa ada hubungan
yang bermakna antara kepadatan rumah dengan kejadian
2.3. Kerangka Konsep
Pada kerangka teori serta tinjauan kepustakaan, tidak semua variabel
untuk diteliti karena keterbatasan penulis, baik dari segi waktu atau tenaga
untuk penelitian ini. Penulis hanya akan meneliti sebagian faktor yang
berhubungan dengan tuberkulosis paru BTA positif.
Selanjutnya disusun kerangka konsep sebagai berikut :
Variabel Independen Variabel Dependen
2.4. Perumusan Masalah Penelitian Yang Khusus
Bagaimana hubungan antara peningkatan angka kejadian penyakit TB
dengan, umur, jenis kelamin, status imunisasi BCG, status gizi, pendidikan,
pengetahuan, pekerjaan, pendapatan, kepadatan hunian, pencahayaan hunian.
Sedangkan kelembaban tidak bisa diteliti karena menggunakan alat pengukur,
lama kontak juga tidak masuk dalam variabel karena pasien seringkali tidak
menyadari adanya kontak dengan penderita TB Paru dan ventilasi juga tidak
masuk dalam variabel karena keterbatasan waktu dan tenaga untuk
memeriksa seluruh ventilasi rumah pasien dan penafsiran pasien yang
beragam mengenai ventilasi rumah yang baik jika hanya dilakukan dengan Faktor individu:
# Umur
# Pendidikan # Pekerjaan # Pengetahuan # Pendapatan # Status gizi
# Status imunisasi BCG # Pendidikan
# Jenis kelamin # Merokok
Faktor Lingkungan: # Kepadatan hunian # Pencahayaan
TB Paru BTA+
22!
!
22
wawancara, konsentrasi kuman juga tidak bisa diteliti karena tidak bisa
mengukur bakteri Mikobakterium tuberkulosis dengan kontak. Penyakit
HIV/AIDS tidak masuk variable karena puskesmas belum melakukan
pemeriksaan HIV bagi penderita TB. Penyakit DM juga tidak masuk variabel
karena keterbatasan dana dan waktu untuk mendiagnosis DM. Dan dukungan
keluarga tidak dimasukan, karena pasti semua keluarga akan mendukung
pengobatan.
2.5 . Definisi Operasional
Tabel 2.1 Variabel Dependen yaitu kejadian penyakit TB Paru BTA (+).
No Variabel Difinisi Operasional Skala Kategori
1 Kejadian
Tabel 2.2 Variabel Independen yaitu faktor resiko yang meliputi :
No Variabel Difinisi Operasional Skala Hasil
1 Pendidikan Jenjang sekolah yang
pernah diraih dan 2 Pengetahuan Pengetahuan yang
*sambungan yang dinilai dengan 11 pertanyaan
3 Pekerjaan Status sosial yang
sesuai dengan KTP
Nominal 0 = Tidak Bekerja
1 = Bekerja
4 Pendapatan Tingkat "penghasilan
keluarga diukur dari
Ordinal 0 = Usia produktif
(15-58 tahun)
Nominal 0 = tidak diimunisasi
1 = diimunisasi.
7 Status Gizi Penilaian indeks
masa tubuh yang
9 Merokok Responden memiliki
24!
!
24
10 Pencahayaan
hunian
sinar matahari
masuk kerumah
yang ditandai
dengan adanya
terang" pada siang
hari di dalam rumah
Nominal 0 = Gelap, bila
memerlukan alat
penerangan untuk
membaca pada siang
hari di dalam rumah
1 = Terang, bila Tidak
memerlukan alat
penerangan untuk
membaca pada siang
hari di dalam rumah27 11 Jenis
Kelamin
Perbedaan jenis
kelamin secara
biologis
Nominal 0 = laki-laki
3.1. Desain Penelitian
Penelitian menggunakan studi observasional dengan jenis desain penelitian studi kasus kontrol (case control study). Kasus adalah seseorang dengan gejala klinis TB dan hasil laboratorium BTA+ yang sudah didiagnosis oleh Puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang pada Januari 2014 hingga Agustus 2014, sedangkan kontrol adalah seseorang yang datang ke
puskesmas saat peneliti mengambil data pada kasus dengan jumlah dan waktu yang sama di Puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang selama 1 bulan, yaitu pada bulan Agustus hingga September 2014. Peneliti mengambil data di 5 puskesmas di wilayah Kecamatan Serang
Kota Serang karena disana terdapat banyak masyarakat yang menderita TB Paru. Selain itu Kota Serang merupakan ibukota Provinsi Banten yang merupakan representasi daerah lain di Provinsi Banten sehingga sangat terjangkau untuk diteliti oleh peneliti karena peneliti sudah mengenal dan beberapa kali melakukan observasi awal riset. Adapun puskesmas tempat
penelitian adalah Puskesmas Serang Kota, Puskesmas Rau, Puskesmas Unyur, Puskesmas Ciracas dan Puskesmas Singandaru.
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian adalah seluruh pasien yang datang berobat di wilayah Puskesmas Kecamatan Serang Kota Serang. Sedangkan sampel
kasus dalam penelitian ini adalah semua penderita TB BTA+ yang berobat di Puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota Serang pada September 2014 mundur ke belakang, dan sebagai kontrol adalah pasien umum yang berobat di pada tempat, bulan, dan tahun yang sama.
26!
!
26
Keterangan:
n= besar minimal sampel masing-masing kelompok
α= derajat kepercayaan, probabilitas untuk membuat kesalahan tipe I
(0,05) dan Z1-α= 1,96
β= probabilitas pembuat kesalahan Tipe II (0,10), dan Z1-β = 0,842,
Power= 80%
P1= antisipasi peluang dengan kelompok terekspos pada kasus P2= antisipasi peluang dengan kelompok terekspos pada kontrol OR= perkiraan odds ratio yang diharapkan = 2,0
P= P1+P2/2
Q= 1-P
Dari penelitian sebelumnya diambil variabel status gizi terhadap TB Paru dimana diketahui nilai OR = 2 dan P2 = 0,46,
14 maka diperoleh P1 sebagai berikut:
Jumlah sampel dibulatkan menjadi 120. Jadi jumlah sampel kasus sebanyak 120, dan sampel untuk kontrol 120.
3.4. Cara Kerja Penelitian
3.4.1. Teknik Pengambilan Sampel
Jenis data primer yang dikumpulkan adalah umur, jenis kelamin, pengetahuan, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, status imunisasi BCG, status gizi, kepadatan hunian, pencahayaan hunian, diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner. Sedangkan untuk variabel TB menggunakan data sekunder yaitu informasi dari petugas pemegang
program TB di Puskesmas tempat penelitian.
Pengambilan sampel kasus dan kontrol dilakukan di puskesmas wilayah Kecamatan Serang juga yang bulan dan tahunnya sama dengan kasus yaitu sebanyak 120 orang. Perbandingan jumlah sampel kasus dan kontrol adalah 1:1.
3.4.2. Kriteria Sampel
a. Krieria Inklusi
' Pasien TB Paru BTA positif di Puskesmas wilayah Kecamatan
Serang Kota Serang tanpa melihat riwayat pengobatan sebelumnya.
' Bersedia menjadi subyek untuk penelitian ini dan menandatangani informed consent.
' Saat diteliti, subjek sedang dalam keadaan sadar penuh. b. Kriteria Eksklusi
' Subjek membatalkan partisipasi dalam penelitian.
' Subjek tidak mengisi kuisioner dengan benar.
3.5. Manajemen Data
3.5.1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data mencari faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian TB Paru BTA (+) di wilayah Kecamatan Serang Kota Serang dengan cara kuesioner. Populasi terjangkau yang memenuhi kriteria
28!
!
28
penelitian. Setelah diberi penjelasan dan sesudah mengisi informed consent, peneliti akan memberikan kuesioner (terlampir) kepada
responden untuk diisi. Proses pengumpulan kuesioner berlangsung selama 2-4 minggu. Proses pengumpulan data dibantu oleh petugas
program TB di setiap puskesmas di wilayah Kecamatan Serang Kota Serang.
3.5.2. Pengolahan Data
Bagian rangkaian penelitian setelah pengumpulan data kemudian diolah sehingga menghasilkan informasi:25
' Editing Data, Meneliti setiap pertanyaan yang telah terisi: apakah
lengkap, jelas, relevan dan konsisten. Bila ada jawaban yang kosong, petugas pengumpul data bertanggung jawab untuk melengkapinya.
' Coding, Merubah data bentuk huruf menjadi angka atau bilangan,
gunanya untuk mempermudah saat analisis dan entry data.
' Processing, Setelah selesai melakukan editing dan pengkodean, data diproses dengan cara memasukkan data dari kuisioner ke
paket program komputer, program SPSS versi 22 untuk sistem operasi Mac.
' Cleaning Data, Pembersihan data untuk mencegah kesalahan entry
data yang mungkin terjadi. 3.5.3. Analisis Data
Proses pengumpulan dan pengolahan data telah dilakukan,
kemudian dilanjutkan dengan analisis dengan tahapan sebagai berikut: ' Analisis Univariat
Analisis univarat untuk mendeskripsikan karakteristik masing-masing variabel yang diteliti, bentuk tergantung jenis data, untuk data kategorik digunakan distribusi frekuensi.25
' Analisis Bivariat
Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dan variabel dependen.25
square) dan perhitungan odd ratio (OR) sehingga dapat diketahui
ada dan tidak hubungan yang bermakna secara statistik dengan derajat kemaknaan 0,05 atau α = 5 %.23
Adapun rumus dari uji chi square ini adalah:
X2
=
Df = (b – 1) (k – 1)
Dimana : X2
= Kai Kuadrat/chi square
O (Observed) = Nilai observasi
E (Expected) = Nilai harapan
Df = Degree of Freedom / derajat kebebasan
b = Jumlah baris
k = Jumlah kolom.
Hasil akhir uji statistik adalah untuk mengetahui apakah keputusan uji Ho ditolak atau Ho gagal ditolak. Dengan ketentuan apabila p value < α (0,05), Maka Ho ditolak, artinya ada hubungan yang bermakna, jika p value > α, maka Ho gagal ditolak, artinya tidak ada hubungan yang bermakna antar variabel.23
' Analisis Multivariat
Analisis yang berhubungan antara beberapa variabel dengan satu variabel dependen. Analisis multivariat menggunakan regresi logistik berganda untuk mengetahui seberapa besar hubungan
keeratan antara variabel independen dengan variabel dependen setelah mengontrol variabel lain yang bermakna. Selain itu regresi logistik berganda ini bertujuan untuk menemukan model regresi yang paling sesuai dengan menggambarkan hubungan antara
(
)
∑
O−EE30!
!
30
variabel independen dengan variabel dependen yang dikontrol variabel lain.25
Tahap-tahapnya sebagai berikut:25
a. Melakukan seleksi kandidat, dalam tahap ini akan diseleksi variabel independen manakah yang layak masuk model uji multivariat, dimana yang layak adalah yang memiliki signifikansi (sig.) atau p value < 0,25.
b. Memasukkan variabel yang layak masuk model dengan memiliki signifikansi < 0,25.
c. Selanjutnya adalah memeriksa adanya interaksi variabel ke dalam model lalu lihat hasil signifikansi, dan keluarkan
variabel independen dengan angka signifikansi tertinggi. Kemudian ulangi analisis multivariat dan hitung perubahan Odds Ratio (OR). Jika perubahan OR <10% maka variabel independen dengan angka signifikansi tertinggi layak dikeluarkan dari model, dan jika perubahan OR >10% maka
variabel independen dengan angka signifikansi tertinggi dimasukkan kembali ke dalam pemodelan.
d. Ulangi terus langkah poin c hingga model akhir multivariat. Yang tersisa dalam model berarti terbukti sebagai variabel independen yang secara bermakna atau signifikan mempengaruhi variabel dependen.
e. Variabel dengan Odds Ratio terbesar dalam model akhir
multivariat menjadi variabel yang paling dominan mempengaruhi variabel dependen.
4.1. Hasil Penelitian
4.1.1. Hasil Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi
frekuensi dari masing-masing variabel yang diteliti, meliputi variabel
penderita TB paru BTA+, umur, jenis kelamin, status gizi, pekerjaan,
penghasilan, pendidikan, imunisasi BCG, merokok, pengetahuan,
kepadatan hunian, dan pencahayaan hunian.
Grafik 4.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur
32!
!
32
Grafik 4.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Status Gizi
Grafik 4.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pekerjaan
Grafik 4.6 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pendidikan
Grafik 4.7 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Status Imunisasi BCG
34!
!
34
Grafik 4.9 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pengetahuan
Grafik 4.10 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kepadatan Hunian
Tabel 4.1 Hasil Analisis Univariat
No Variabel Kategori Frekuensi
n= 240 (%)
Hasil resume analisis univariat didapatkan 120 penderita TB
Paru BTA positif (kasus) dan 120 orang tidak menderita TB Paru
(kontrol). Diantara sebelas variabel menunjukkan bahwa ada 2 variabel
yang homogen yaitu variabel umur dan pencahayaan rumah karena
berada di bawah 20% sedangkan variabel lainnya tidak homogen
36!
!
36
4.1.2 Hasil Analisis Bivariat
Analisis bivariat yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui
pengaruh antara variabel terikat yaitu penderita TB Paru BTA+, dengan
variabel bebas yaitu variabel umur, jenis kelamin, status gizi, pekerjaan,
penghasilan, pendidikan, imunisasi BCG, kebiasaan merokok,
pengetahuan, kepadatan hunian, dan pencahayaan hunian. Hasil analisis
bivariat akan disajikan dalam beberapa tabel berikut.
4.1.2.1. Hubungan Umur Dengan Penderita TB Paru BTA+
Tabel 4.2 Hubungan Umur Dengan Penderita TB Paru BTA+ di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014
Umur TB Paru BTA + Total p
(0,05), sehingga dengan alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan
yang bermakna antara umur dengan penderita TB paru BTA+.
4.1.2.2. Hubungan Jenis Kelamin Dengan Penderita TB Paru BTA+
Tabel 4.3 Hubungan Jenis kelamin Dengan Penderita TB Paru BTA+ di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014
Jenis Kelamin TB Paru BTA + Total p
(0,05), sehingga dengan alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan
4.1.2.3 Hubungan Status Gizi Dengan Penderita TB Paru BTA+
Tabel 4.4 Hubungan Status Gizi Dengan Penderita TB Paru BTA+ di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014
Status Gizi TB Paru BTA + Total p
(0,05), sehingga dengan alpha 5% dapat disimpulkan ada hubungan yang
bermakna antara status gizi dengan penderita TB paru BTA+. Selain itu
diperoleh nilai OR= 2,513 (CI= 1,441-4,382), artinya responden yang
status gizinya kurang, akan beresiko menderita TB Paru BTA+ sebesar
2,5 kali dibandingkan dengan responden yang status gizinya baik.
4.1.2.4. Hubungan Pekerjaan Dengan Penderita TB Paru BTA+
Tabel 4.5 Hubungan Pekerjaan Dengan Penderita TB Paru BTA+ di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014
Pekerjaan TB Paru BTA + Total p
(0,05), sehingga dengan alpha 5% dapat disimpulkan ada hubungan yang
bermakna antara pekerjaan dengan penderita TB paru BTA+. Selain itu
diperoleh nilai OR= 3,739 (CI= 2,189-6,386), artinya responden yang
tidak bekerja, akan beresiko menderita TB Paru BTA+ sebesar 3,7 kali
38!
!
38
4.1.2.5. Hubungan Penghasilan Dengan Penderita TB Paru BTA+
Tabel 4.6 Hubungan Penghasilan Dengan Penderita TB Paru BTA+ di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014
Penghasilan TB Paru BTA + Total p
(0,05), sehingga dengan alpha 5% dapat disimpulkan ada hubungan yang
bermakna antara penghasilan dengan penderita TB paru BTA+. Selain itu
diperoleh nilai OR= 7,682 (CI= 4,062-14,527), artinya responden yang
penghasilannya rendah, akan beresiko menderita TB Paru BTA+ sebesar
7,6 kali dibandingkan dengan responden yang penghasilannya cukup.
4.1.2.6. Hubungan Pendidikan Dengan Penderita TB Paru BTA +
Tabel 4.7 Hubungan Pendidikan Dengan Penderita TB Paru BTA+ di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014
Pendidikan TB Paru BTA + Total p
(0,05), sehingga dengan alpha 5% dapat disimpulkan ada hubungan yang
bermakna antara pendidikan dengan penderita TB paru BTA+. Selain itu
diperoleh nilai OR= 1,898 (CI= 1,119-3,219), artinya responden yang
pendidikannya rendah, akan beresiko menderita TB Paru BTA+ sebesar
4.1.2.7. Hubungan Imunisasi BCG Dengan Penderita TB Paru BTA +
Tabel 4.8 Hubungan Imunisasi BCG Dengan Penderita TB Paru BTA+ di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014
Imunisasi BCG TB Paru BTA + Total p
(0,05), sehingga dengan alpha 5% dapat disimpulkan ada hubungan yang
bermakna antara imunisasi BCG dengan penderita TB paru BTA+.
Selain itu diperoleh nilai OR= 3,797 (CI= 2,063-6,987), artinya
responden yang tidak diimunisasi BCG, akan beresiko menderita TB
Paru BTA+ sebesar 3,7 kali dibandingkan dengan responden yang
diimunisasi BCG.
4.1.2.8. Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Penderita TB Paru
BTA+
Tabel 4.9 Hubungan Merokok Dengan Penderita TB Paru BTA+ di
Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014
Merokok TB Paru BTA + Total p
(0,05), sehingga dengan alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan
yang bermakna antara merokok dengan penderita TB paru BTA+. Selain
itu diperoleh nilai OR= 1,382 (CI= 0,790-2,419), artinya responden yang
merokok, akan beresiko menderita TB Paru BTA+ sebesar 1,3 kali
40!
!
40
4.1.2.9. Hubungan Pengetahuan Dengan Penderita TB Paru BTA+
Tabel 4.10 Hubungan Pengetahuan Dengan Penderita TB Paru BTA+ di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014
Pengetahuan TB Paru BTA + Total p
(0,05), sehingga dengan alpha 5% dapat disimpulkan ada hubungan yang
bermakna antara Pengetahuan dengan penderita TB paru BTA+. Selain
itu diperoleh nilai OR= 0,557 (CI= 0,326-0,951), artinya responden yang
pengetahuannya kurang, akan beresiko menderita TB Paru BTA+ sebesar
0,5 kali dibandingkan dengan responden yang pengetahuannya baik.
4.1.2.10. Hubungan Kepadatan Hunian Dengan Penderita TB Paru
BTA+
Tabel 4.11 Hubungan Kepadatan Hunian Dengan Penderita TB Paru BTA+ di WilayahPuskesmas Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014
Kepadatan
(0,05), sehingga dengan alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan
yang bermakna antara kepadatan hunian dengan penderita TB paru
4.1.2.11. Hubungan Pencahayaan Hunian Dengan Penderita TB Paru
BTA+
Tabel 4.12 Hubungan Pencahayaan Hunian Dengan Penderita TB Paru BTA+ di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014
Pencahayaan Hunian
TB Paru BTA + Total p value
OR (95% CI) Kasus Kontrol n %
n % n %
Gelap 25 75,8 8 24,2 33 100,0 0,001 3,684 (1,588-8,549) Terang 95 45,9 112 54,1 207 100,0
Total 120 50,0 120 50,0 240 100,0
Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,003 artinya p < alpha
(0,05), sehingga dengan alpha 5% dapat disimpulkan ada hubungan yang
bermakna antara pencahayaan hunian dengan penderita TB paru BTA+.
Selain itu diperoleh nilai OR= 3,684 (CI= 1,588-8,549), artinya
responden yang pencahayaan huniannya gelap, akan beresiko menderita
TB Paru BTA+ sebesar 3,6 kali dibandingkan dengan responden yang
42!
!
42
4.1.2.12. Resume Hasil Analisis Bivariat
Tabel 4.13 Resume Analisis Bivariat
No Variabel P value OR Kesimpulan 10 Kepadatan Hunian 0,319 0,821 Tidak ada hubungan
bermakna 11 Pencahayaan Hunian 0,001 3,684 Ada hubungan
bermakna
Dari sebelas variabel yang diteliti, ada sembilan faktor yang memiliki
resiko secara statistik dengan kejadian TB Paru BTA+ di kota Serang yaitu
status gizi, pekerjaan, penghasilan, pendidikan, imunisasi BCG, Merokok,
pengetahuan, dan pencahayaan hunian. Dan ada empat faktor yang tidak
memiliki hubungan bermakna yaitu umur, jenis kelamin, merokok, dan
kepadatan hunian.
Nilai crude OR yang diperoleh dari hasil analisis bivariat tidaklah
murni sebagai faktor resiko, namun masih ada pengaruh dari variabel
4.1.3. Hasil Analisis Multivariat
Setelah dilakukan analisis bivariat, selanjutnya dilakukan
analisis multivariat yang bertujuan untuk mengetahui hubungan
variabel independen yang paling dominan dengan variabel dependen.
Tabel 4.14 Hasil Seleksi Kandidat Pemodelan Analisis Regresi Logistik
No Subvariabel P value Keterangan
1 Umur 0,187 Kandidat
2 Jenis Kelamin 0,075 Kandidat 3 Status Gizi 0,001 Kandidat
4 Pekerjaan 0,000 Kandidat 5 Penghasilan 0,000 Kandidat
6 Pendidikan 0,012 Kandidat 7 Imunisasi BCG 0,000 Kandidat
8 Merokok 0,160 Kandidat 9 Pengetahuan 0,029 Kandidat
10 Kepadatan Hunian 0,319 Bukan kandidat 11 Pencahayaan Hunian 0,001 Kandidat
Setelah diseleksi, ada 10 variabel yang merupakan kandidat dan
masuk ke dalam pemodelan. Ada 1 variabel dengan P value lebih dari
0,25 yaitu variabel kepadatan hunian (p = 0,319), maka variabel
kepadatan hunian keluar dari pemodelan.
Selanjutnya dilakukan uji regresi logistik berganda dengan
44!
!
44
Tabel 4.15 Hasil Analisis Multivariat
Step 7 Jeniskelamin .000 4.772 2.260 10.076 Pekerjaan .001 3.272 1.594 6.717 penghasilan .000 6.575 3.141 13.764 Imunisasi BCG .002 3.041 1.516 6.100 Constant .000 .069
Pada Tabel 4.15 hasil dari analisis multivariat menunjukkan bahwa
ada 4 variabel yang berperan bersama-sama sebagai faktor risiko terhadap
kejadian TB Paru BTA+ di puskesmas wilayah Kecamatan Serang Kota
Serang, variabel tersebut dari yang memiliki OR terbesar adalah penghasilan
rendah meningkatkan risiko 6,5 kali lebih besar daripada penghasilan tinggi
(CI: 3,141-13,764) yang berarti responden dengan penghasilan rendah adalah
faktor resiko yang paling dominan terhadap kejadian TB Paru BTA+ di Kota
Serang tahun 2014, belum diimunisasi BCG berisiko juga meningkatkan
kejadian tuberkulosis paru 3 kali lebih besar daripada responden dengan yang
sudah diimunisasi BCG (95%CI: 1,516-6,100), berjenis kelamin laki-laki
meningkatkan risiko 4,7 kali lebih besar terhadap terjadinya tuberkulosis paru
daripada perempuan (95%CI: 2,260-10,076), dan terakhir responden yang
tidak bekerja meningkatkan risiko 3,2 kali lebih besar daripada yang bekerja
46!
!
46
4.2 Pembahasan
4.2.1. Kualitas dan Akurasi Data
Kualitas data ditemukan oleh relevansi data, validitas data, ketepatan
waktu datangnya data, dan kelengkapan data. Sedangkan akurasi data
mencakup relevansi data, validitas data dan reliabilitas data.Validitas data
terdiri atas validitas eksternal dan internal. Validitas eksternal menunjukkan
seberapa besar jauh informasi dari sampel penelitian dapat digeneralisasikan
kepada populasi darimana sampel berasal, atau dapat digeneralisasikan ke
populasi yang lebih luas. Validitas internal adalah data sampel yang diteliti,
atau dalam populasi seluruhnya diteliti. Validitas internal ini akan meningkat
apabila kesalahan random dan bias (kesalahan sistematis) dapat dikurangi.
Dalam penelitian ini validitas eksternal tak terjamin karena digunakan desain
kasus kontrol.24
a. Kesalahan Random
Untuk mengurangi kesalahan random, dapat dilihat dengan
sistematis presisi yang diekspresikan ke dalam interval kepercayaan
(Confidence Interval/CI). Semakin sempit CI maka semakin tinggi
ketelitian. Untuk meningkatkan ketepatan data dapat dilakukan dengan
memperbesar ukuran sampel.24 Dalam penelitian ini kesalahan random
dengan α= 5%.
b. Kesalahan Sistematis
Kesalahan sistematis disebut bias, yang terdiri dari bias seleksi,
bias informasi, dan bias pengacau (counfounding bias).24
$ Bias Seleksi
Dalam penelitian ini bias seleksi dapat dihindari, mengingat
data kasus dan kontrol diperoleh melalui bantuan petugas TB di
puskesmas.
$ Bias Informasi
Bias informasi dapat terjadi karena perbedaan sistemik
dalam mutu dan cara pengumpulan data. Keterbatasan kemampuan
responden untuk mengemukakan pendapat adanya faktor subjektif