ANALISIS KETERAMPILAN MEMBERI ALASAN DAN MENGINTERPRETASI SUATU PERNYATAAN PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN
NONELEKTROLIT DENGAN PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING
Oleh
NI KETUT NOVIA T
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN
Pada
Program Studi Pendidikan Kimia
Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRAK
ANALISIS KETERAMPILAN MEMBERI ALASAN DAN MENGINTERPRETASI SUATU PERNYATAAN PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN
NONELEKTROLIT DENGAN PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING
Oleh
NI KETUT NOVIA T
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kemampuan memberikan alasan dan
menginterpretasi suatu pernyataan pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit
melalui penerapan model problem based learning untuk siswa kelompok tinggi, sedang
dan rendah. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas X1 SMAN 1 Sidomulyo Lampung
Selatan Tahun Ajaran 2012/2013. Penelitian ini menggunakan metode pre-eksperimen
dengan desain one-shot case study. Analisis data menggunakan analisis deskriptif.
Berdasarkan hasil analisis data disimpulkan kemampuan memberikan alasan pada
kelompok tinggi seluruhnya berkriteria sangat baik. Pada kelompok sedang, sebagian
kecil berkriteria sangat baik dan cukup, sebagian besar berkriteria baik. Pada kelompok
rendah, separuhnya berkriteria baik dan cukup. Kemampuan menginterpretasi suatu
pernyataan pada kelompok tinggi seluruhnya berkriteria sangat baik. Pada kelompok
sedang, hampir separuh berkriteria sangat baik, sebagian besar berkriteria baik dan
sangat baik, dan baik, sebagian besar berkriteria cukup.
iv
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
E. Ruang Lingkup Penelitian ... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9
A. Pembelajaran Konstruktivisme ... 9
B. Model Problem Based Learning... 10
C. Keterampilan Berpikir Kritis... 13
D. Konsep ... 17
E. Kemampuan Kognitif Siswa... 20
F. Kerangka Pemikiran ... 20
G. Anggapan Dasar ... 22
H. Hipotesis Umum ... 22
III. METODOLOGI PENELITIAN ... 23
v
B. Data Penelitian... 23
C. Metode dan Desain Penelitian... 24
D. Instrumen Penelitian ... 24
E. Validasi Instrumen Penelitian ... 25
F. Prosedur Penelitian ... 26
G. Pengelompokkan Kemampuan Kognitif Siswa ... 28
H. Teknik Analisis Data... 29
1. Pengolahan Data Nilai Postest ... 29
2. Pengolahan Data Kuesioner (Angket) ... 32
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33
A. Hasil Penelitian dan Analisis Data ... 33
B. Pembahasan ... 37
V. SIMPULAN DAN SARAN ... 51
A. Simpulan ... 51
B. Saran ... 51
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 1. Pemetaan SK / KD ... 56
2. Silabus ... 61
3. RPP ... 67
4. Lembar Kerja Siswa 1 ... 82
5. Lembar Kerja Siswa 2 ... 90
6. Soal Posttest ... 102
vi
8. Kuesioner (Angket) ... 107
9. Penentuan Kelompok Siswa Berdasarkan Kemampuan Kognitif .... 108
10. Hasil Tes Tertulis ... 110
11. Penentuan Tingkat Kemampuan Siswa... 112
12. Hasil Pengolahan Data Kuisioner ... 114
13. Lembar Penilaian Afektif ... 116
14. Lembar Penilaian Psikomotor ... 120
15. Lembar Observasi Aktivitas Siswa... 122
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Belajar merupakan suatu proses adanya perubahan yang bersifat permanen pada
diri seorang siswa yang meliputi aspek kompetensi, keterampilan dan perilaku
yang diakibatkan karena adanya proses pemberitahuan, pembiasaan dan pelatihan.
Belajar merupakan suatu kegiatan yang memberikan kesempatan kepada siswa
untuk melakukan, mencoba, dan mengalami sendiri sehingga proses belajar
me-ngajar akan lebih bermakna bagi siswa. Hasil yang diharapkan dari proses belajar
ini adalah terlatihnya kemampuan proses berpikir siswa. Hal ini sesuai dengan
pendapat Whitehead (Arifin dkk, 2003), hasil yang nyata dalam pendidikan
se-benarnya adalah proses berpikir yang diperoleh melalui pembelajaran dari
ber-bagai disiplin ilmu. Salah satu disiplin ilmu yang melatih proses berpikir siswa
yaitu Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
IPA merupakan salah satu ilmu yang memiliki peranan penting dalam
peningkat-an mutu pendidikpeningkat-an, khususnya di dalam menghasilkpeningkat-an peserta didik ypeningkat-ang
ber-kualitas, yaitu manusia yang mampu berpikir kritis, kreatif, logis dan berinisiatif.
IPA berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala alam secara sistematis,
sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa
penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik
untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan
lebih lanjut dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari (BSNP, 2006).
Cabang dari IPA salah satunya adalah ilmu kimia, dimana ilmu kimia
mempel-ajari tentang struktur, sifat dan perubahan materi serta energi yang menyertainya.
Kimia merupakan salah satu mata pelajaran sains yang mempunyai dimensi
produk, sikap, dan proses, artinya ketika kita ingin mempelajari konsep-konsep
kimia, maka kita juga harus tahu cara mendapatkan konsep tersebut. Dari
pen-jelasan tersebut jelas bahwa kimia merupakan salah satu wahana yang tepat untuk
melatih dan mengembangkan kemampuan berfikir kritis siswa karena kimia
ber-usaha untuk membangkitkan keingintahuan siswa melalui eksplorasi terhadap
rahasia alam yang tak ada habis-habisnya.
Berpikir kritis dalam ilmu kimia tidak dapat dilakukan dengan cara mengingat dan
menghafal konsep, tetapi mengintegrasikan dan mengaplikasikan
konsep-konsep yang telah dimiliki. Ennis (1989) menyatakan bahwa berpikir kritis
me-rupakan suatu proses berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan
pembuatan keputusan, sebagai apa yang harus dipercaya atau dilakukan.
Keterampilan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat esensial untuk
kehidupan, pekerjaan, dan berfungsi efektif dalam semua aspek kehidupan
lain-nya. Menurut Halpen (Saputra,2012), berpikir kritis adalah memberdayakan
ke-terampilan atau strategi kognitif dalam menentukan tujuan. Proses tersebut dilalui
setelah menentukan tujuan, mempertimbangkan, dan mengacu langsung kepada
rangka memecahkan masalah, merumuskan kesimpulan, mengumpulkan berbagai
kemungkinan, dan membuat keputusan ketika menggunakan semua keterampilan
tersebut secara efektif dalam konteks dan tipe yang tepat.
Sesorang yang mempunyai tingkat berpikir kritis yang baik umumnya mempunyai
tingkat kemampuan kognitif yang baik pula. Kemampuan kognitif merupakan
salah satu faktor yang berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Kemampuan
kognitif siswa adalah gambaran tingkat pengetahuan atau kemampuan siswa
terhadap suatu materi pembelajaran yang sudah dipelajari dan dapat digunakan
sebagai bekal atau modal untuk memperoleh pengetahuan yang lebih luas dan
kompleks lagi, maka dapat disebut sebagai kemampuan kognitif (Winarni, 2006).
Lebih lanjut Nasution (1988) dalam Winarni (2006) mengemukakan bahwa secara
alami dalam satu kelas kemampuan kognitif siswa bervariasi, jika dikelompokkan
menjadi 3 kelompok, maka ada kelompok siswa berkemampuan tinggi,
mene-ngah, dan rendah. Apabila siswa memiliki tingkat kemampuan kognitif berbeda
kemudian diberi pengajaran yang sama, maka hasil belajar (pemahaman konsep)
akan berbeda-beda sesuai dengan tingkat kemampuannya, karena hasil belajar
berhubungan dengan kemampuan siswa dalam mencari dan memahami materi
yang dipelajari.
Materi larutan elektrolit dan nonelektrolit merupakan salah satu materi dalam
pembelajaran kimia. Salah satu Kompetensi Dasar (KD) pada materi larutan
elektrolit dan nonelektrolit ini adalah mengidentifikasi sifat larutan elektrolit dan
nonelektrolit berdasarkan data hasil percobaan. Pada KD ini terdapat konsep
karena itu, siswa perlu dilatihkan keterampilan berpikir kritisnya saat
mengana-lisis hasil praktikum tersebut. Keterampilan berpikir kritis yang dilatih pada KD
ini adalah kemampuan dalam memberikan alasan dan menginterpretasi suatu
pernyataan .
Kemampuan memberikan alasan dalam materi larutan elektrolit dan nonelektrolit
menghendaki siswa untuk dapat memberikan alasan mengenai perbedaan
ke-mampuan elektolit kuat dan elektrolit lemah dalam menghantarkan arus listrik dan
menjelaskan bahwa larutan elektrolit dapat berupa senyawa ion dan senyawa
kovalen polar. Kemampuan menginterpretasi suatu pernyataan dalam materi
larutan nonelektrolit dan elektrolit menghendaki siswa untuk dapat
menginterpre-tasi suatu pernyataan yang mencakup kekuatan daya hantar listrik larutan
elek-trolit kuat dan elekelek-trolit lemah.
Fakta pembelajaran kimia di sekolah cenderung hanya menghadirkan
konsep-konsep, hukum-hukum, dan teori-teori secara verbal tanpa memberikan
pengalam-an bagaimpengalam-ana proses ditemukpengalam-annya konsep, hukum, dpengalam-an teori tersebut sehingga
tidak tumbuh sikap ilmiah dalam diri siswa. Aktivitas siswa dapat dikatakan
hanya mendengarkan penjelasan guru dan mencatat hal-hal yang dianggap
pen-ting. Mayoritas dalam proses pembelajaran, siswa dituntut untuk menghafal
sejumlah konsep yang diberikan oleh guru tanpa dilibatkan secara langsung dalam
penemuan konsep tersebut.
Hal ini diperkuat dengan hasil obervasi dan wawancara yang telah dilakukan
dengan guru kimia SMA Negeri 1 Sidomulyo Lampung Selatan, diperoleh
metode ceramah, dimana penyampaian materi pelajaran disampaikan langsung
secara lisan oleh guru. Dalam pembelajaran dengan metode ceramah siswa
cenderung menerima penjelasan-penjelasan dari guru tanpa dilibatkan langsung
dalam menemukan konsep dari materi tersebut. Hal ini menyebabkan kebanyakan
siswa kurang dapat memahami materi dan siswa cenderung hanya menghafal
materi.
Situasi pembelajaran yang baik perlu ditunjang dalam rangka mengembangkan
keterampilan berpikir kritis siswa. Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran
yang dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengalami sendiri,
mengkonstruksi pengetahuan, kemudian memberi makna pada pengetahuan yang
didapat. Untuk menghasilkan proses pembelajaran yang dapat mengembangkan
keterampilan berpikir kritis siswa, maka harus dipilih model pembelajaran yang
tepat. Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan untuk melatih
keterampilan berpikir kritis siswa adalah model Problem Based Learning.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nurfatimah (2010) yang berjudul :
Penerapan Model Problem Based Learning Pada Materi Kelarutan dan Hasil Kali
Kelarutan untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa menunjukkan
hasil penelitian bahwa setelah penerapan model PBL dilakukandapat
meningkat-kan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar siswa. Model PBL ini juga
memperoleh respon yang baik dari guru maupun dari siswa. Oleh karena itu,
penelitian ini menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning untuk
diharapkan mampu menjadi model pembelajaran yang dapat meningkatkan
keterampilan berpikir kritis siswa pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit.
Problem Based Learning (PBL) adalah suatu model pembelajaran yang
melibat-kan siswa untuk memecahmelibat-kan masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah
sehing-ga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubunsehing-gan densehing-gan masalah
tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah.
Menurut Ram (Nurfatimah,2010) PBL merupakan suatu model yang
mengkolabo-rasikan problem solving dan penemuan konsep secara mandiri. Adapun tahapan
model pembelajaran Problem Based Learning adalah Introduction (pemuculan
masalah), Inquiry & Self-Directed Studi, Revisiting The Hypotheses, dan Self
Evaluation. Selain itu menurut Hmelo-Silver (Nurfatimah,2010) mengemukakan
bahwa PBL merupakan model pembelajaran dimana siswa difasilitasi untuk
me-mecahkan masalah yang merupakan masalah yang nyata.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dilakukan penelitian yang berjudul
“Analisis Keterampilan Memberi Alasan dan Menginterpretasi Suatu Pernyataan
Pada Materi Larutan Elektrolit dan Nonelektrolit dengan Penerapan Model
Problem Based Learning”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka rumusan masalah
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kemampuan siswa dalam memberikan alasan pada materi
problem based learning untuk siswa berkemampuan kognitif tinggi, sedang
dan rendah?
2. Bagaimanakah kemampuan siswa dalam menginterpretasi pernyataan pada
materi larutan elektrolit dan nonelektrolit dengan penerapan model
pem-belajaran problem based learning untuk siswa berkemampuan kognitif tinggi,
sedang dan rendah?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian
ini adalah untuk :
1. Mendeskripsikan kemampuan siswa dalam memberikan alasan pada materi
larutan elektrolit dan nonelektrolit dengan penerapan model pembelajaran
problem based learning untuk siswa berkemampuan kognitif tinggi, sedang
dan rendah.
2. Mendeskripsikan kemampuan siswa dalam menginterpretasikan suatu
per-nyataan pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit dengan penerapan
model pembelajaran problem based learning untuk siswa berkemampuan
kognitif tinggi, sedang dan rendah.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan agar bermanfaat bagi:
1. Siswa
Melalui penerapan model pembelajaran Problem Based Learning siswa dapat
diharapkan dapat menumbuhkan motivasi dan minat belajar siswa sehingga
dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa.
2. Guru
Memberikan informasi kepada guru-guru kimia SMA Negeri 1 Sidomulyo
mengenai tingkat keterampilan berpikir kritis siswanya yang meliputi
ke-mampuan memberikan alasan dan menginterpretasi suatu pernyataan pada
materi larutan elektrolit dan nonelektrolit melalui penerapan model problem
based learning.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas X1 SMA Negeri 1 Sidomulyo,
Kabupaten Lampung Selatan Tahun Pelajaran 2012/2013.
2. Keterampilan berpikir kritis yang akan diteliti adalah (a) membangun
keterampilan dasar dengan indikator mempertimbangkan apakah sumber dapat
dipercaya atau tidak yang berfokus pada sub indikator kemampuan
memberi-kan alasan; (b) menyimpulmemberi-kan dengan indikator mendeduksi dan
memper-timbangkan hasil deduksi yang berfokus pada sub indikator
menginterpretasi-kan suatu pernyataan.
3. Model Problem Based Learning yang digunakan adalah menurut Ram
(Nurfatimah, 2010) dengan tahap-tahap sebagai berikut: (1) Introduction
(pemunculan masalah), (2) Inquiry & Self-Directed Study, (3) Revisiting the
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pembelajaran Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan konstektual, yaitu
bah-wa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya
di-perluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekoyong-koyong. Pengetahuan
bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diingat.
Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui
pengalaman nyata (Trianto, 2009).
Menurut Von Glaserfeld (1989) dalam Pannen, Mustafa, dan Sekarwinahyu
(2001) menyatakan bahwa: “Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat
pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil
kons-truksi (bentukan) kita sendiri”. Konstruktivisme memahami hakikat belajar
seba-gai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan cara
memberi makna pada pengetahuan sesuai pengalamannya (Baharuddin, 2008).
Menurut Slavin dalam (Trianto, 2010) teori pembelajaran konstruktivisme
me-rupakan teori pembelajaran kognitif yang baru dalam psikologi pendidikan yang
menyata-kan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan
merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak sesuai lagi. Bagi siswa agar
benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja
me-mecahkan masalah, menemukan sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah
payah dengan ide-ide.
Secara sederhana konstruktivisme merupakan konstruksi dari kita yang
menge-tahui sesuatu. Pengetahuan itu bukanlah suatu fakta yang tinggal ditemukan,
me-lainkan suatu perumusan yang diciptakan orang yang sedang mempelajarinya.
Bettencourt menyimpulkan bahwa konstruktivisme tidak bertujuan mengerti
hakikat realitas, tetapi lebih hendak melihat bagaimana proses kita menjadi tahu
tentang sesuatu (Suparno, 1997)
Ciri atau prinsip dalam belajar menurut Suparno (1997) sebagai berikut:
1. Belajar berarti mencari makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami,
2. Konstruksi makna adalah proses yang terus menerus,
3. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, tetapi merupakan pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan tetapi perkembangan itu sendiri,
4. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman subjek belajar dengan dunia fisik dan lingkungannya,
5. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui, subjek belajar, tujuan, motivasi yang mempengaruhi proses interaksi dengan bahan yang sedang dipelajari.
B. Problem Based Learning
Problem Based Learning (PBL) sejak dahulu dikembangkan sekitar1970-an di
McMaster University di Kanada. Kini model ini sudah merambah ke berbagai
fakultas diberbagai lembaga pendidikan didunia. Dengan keunggulan model ini,
Menurut Ram (Nurfatimah, 2010) PBL merupakan suatu model yang
mengkola-borasikan problem solving dan penemuan konsep secara mandiri. Selain itu
menurut Hmelo-Silver (Nurfatimah,2010) mengemukakan bahwa PBL merupakan
model pembelajaran dimana siswa difasilitasi untuk memecahkan masalah yang
merupakan masalah yang nyata.
PBL dirumuskan oleh prof. Howard Barrows dan Kelson sebagai kurikulum dan
proses pembelajaran (Amir, 2009). Dalam kurikulumnya dirancang
masalah-masalah yang menuntut siswa mendapatkan pengetahuan yang penting, membuat
mereka mahir memecahkan masalah dan memiliki strategi belajar sendiri serta
memiliki kecakapan berpatisipasi dalam tim.
Dari rumusn diatas,PBL ini terutama bercirikan ada masalah. Masalah dapat
di-katakan sebagai apapun yang menghalangi kita dari mencapai tujuan. Masalah
yang disajikan adalah masalah yang memiliki konteks dengan dunia nyata.
Se-makin dekat dengan dunia nyata kan seSe-makin baik pengaruhnya pada peningkatan
kecakapan siswa.berikut ini merupakan hal-hal yang harus diperhatika mengenai
masalah dalam PBL (Duch, 1996):
1. Masalah yang efektif harus membuat siswa tertarik dan termotifasi untuk memecahkannya dengan pemahaman yang dalam dari konsep yang diajarkan. Masalah ini harus berkaitan dengan kehidupan dunia nyata sehingga siswa bersemangat dalam menyelesaikan masalah tersebut. 2. Masalah yang baik membuat siswa membuat keputusan atau pertimbangan
berdasarkan fakta, informasi, logika dan rasionalisasi. Siswa harus
mempertimbangkan semua keputusan dan alasan berdasarkan prinsip yang telah diajarkan. Masalah harus membuat siswa mengidentifikasi asumsi apa yang dibutuhkan , informasi apa yang relevan dan langkah/prosedur apa yang dibutuhkan untuk memeahkan masalah tersebut.
3. Kerja sama dari setiap anggota kelompok sangat penting dalam keefektifan dalam memecahkan masalah. Jangkauan dari masalah atau kasus harus
dikontrol sehingga siswa menyadari bahwa “memisahkan” upaya bukanlah
4. Pertanyaan awal dari masalah harus diikuti oleh satu atau lebih karakteristik sehingga semua siswa dalam kelompok dapat menggambarkannya dalam diskusi dari topik:
a. Membuka semua kemungkinan. Tidak terbatas untuk satu jawaban benar.
b. Menghubungkan dengan pengetahuan yang telah dipelajari sebelumnya. c. Masalah yang konroversial dapat memunculkan berbagai macam opini. Strategi ini dapat membuat siswa berperan dalam kelompoknya.
Menggambarkan pengetahuan yang satu dengan yang lainnya, daripada bekerja secara individual pada permulaan masalah.
5. Isi dari permulaan harus tergabung menjadi masalah, menghubungkan pengetahuan sebelumnya dengan konsep baru dengan disiplin ilmu yang lain.
Siswa dalam memecahkan masalah bekerja sama dengan kelompok. Mereka
men-coba memecahkannya dengan pengetahuan yang mereka miliki, dan mencari
informasi-informsi yang relevan untuk solusinya. Dalam PBL siswa memiliki
peran sebagai problem solvers, sedangkan guru memiliki peranan sebagai tutor
atau pelatih. Guru mengarahkan siswa dalam mencari dan menemukan solusi
yang diperlukan dan juga sekaligus menentukan kriteria pencapaian proses
pem-belajaran ini.
Adapun kriteria PBL menurut Tan dalam Amir (2009) adalah :
1. Masalah digunakan sebagai awal pembelajaran
2. Biasanya, masalah yang digunakan merupakan masalah dunia nyata yang disajikan secara mengambang (ill-structured).
3. Masalah biasanya menurut perspektif majemuk (multiple perspective). Solusinya menuntut siswa menggunakan dan mendapatkan konsep dari beberapa bab materi atau lintas ilmu ke bidang lainnya.
4. Masalah membuat siswa tertantang untuk mendapatkan pembelajaran di ranah pembelajaran yang baru.
5. Sangat mengutamakan belajar mandiri (self directed learner). 6. Memanfaatkan sumber pengetahuan yang bervariasi, tidak dari satu
sumber saja. Pencarian, evaluasi serta penggunaan pengetahuan ini men-jadi kunci penting.
Pembelajaran berbasis masalah mengutamakan proses belajar, dimana tugas guru
harus memfokuskan diri untuk membantu peserta didik mengembangkan
keteram-pilan dan kecakapan berpikir daam mempelajari dan menyerap materi
pembelajar-an. Dengan demikian PBL dapat digunakan untuk melatih dan mengembangkan
berbagai keterampilan dan kecakapan sains tingkat tinggi, serta meningkatkan
pencapaian hasil belajar.
Adapun tahapan model pembelajaran Problem Based Learning menurut Ram
(Nurfatimah, 2010) adalah sebagai berikut :
1. Introduction (Pemunculan Masalah). Pada tahap ini siswa disajikan suatu masalah yang harus mereka selesaikan.
2. Inquiry & Self-Directed Study. Siswa dengan bimbingan guru mencari solusi untuk masalah yang disajikan. Pada tahap ini siswa diposisikan sebagai problem solver. Siswa mencari materi-materi yang relevan dengan masalah yang disajikan. Materi-materi tersebut kemudian dipelajari dan dipahami. Informasi yang mereka peroleh digunakan untuk menemukan solusi dari masalah yang disajikan. Pada akhirnya siswa akan membuat suatu hipotesis mengenai solusi dari masalah tersebut.
3. Revisiting The Hypotheses. Hipotesis yang dibuat oleh siswa kemudian direvisi lagi atau diperkuat lagi dengan cara mencari informasi tambahan di luar proses pembelajaran. Informasi tambahan tersebut dikonsultasikan kepada guru. Dari hasil pencarian informasi tambahan, hipotesis yang mereka buat diharapkan menjadi lebih kuat. Hipotesis yang mereka buat kemudian diuji kebenarannya.
4. Self Evaluation. Tahap ini dilakukan setelah hipotesis diuji kebenarannya. Siswa mendiskusikan hasil dari hipotesis tersebut. Hal-hal yang didiskusi-kan termasuk materi-materi yang mendukung dari hipotesis tersebut. Pada tahap ini guru berperan sebagai fasilitator dan mediator.
C. Keterampilan Berpikir Kritis
Menurut Pressisen (Saputra, 2012), keterampilan adalah kecakapan untuk
me-laksanakan tugas, dimana keterampilan tidak hanya meliputi gerakan motorik,
tetapi juga melibatkan fungsi mental yang bersifat kognitif, yaitu suatu tindakan
dengan pola perilaku yang lain dan membutuhkan keterlibatan aktif pemikir.
Pengertian ini mengindikasikan bahwa berpikir adalah upaya yang kompleks dan
reflektif bahkan suatu pengalaman yang kreatif .
Menurut Sembel (Suyanti, 2010), berpikir kritis merupakan sebuah proses
ber-pikir yang bermuara pada tujuan akhir yang membuat kesimpulan ataupun
ke-putusan yang masuk akal tentang apa yang harus kita percayai dan tindakan apa
yang akan kita lakukan. Ennis (1989) menyatakan bahwa berpikir kritis
merupakan suatu proses berpikir secara beralasan dan reflektif dengan
menekankan pembuatan keputusan, sebagai apa yang harus dipercaya atau
dilakukan. Terdapat enam komponen atau unsur dari berpikir kritis menurut Ennis
(1989) yang disingkat menjadi FRISCO, seperti yang tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Unsur-unsur keterampilan berpikir kritis
No Unsur Keterangan
1 Focus Memfokuskan pemikiran, menggambarkan
poin-poin utama, isu, pertanyaan, atau
permasalahan. Hal-hal pokok dituangkan di
dalam argumen dan pada akhirnya didapat
kesimpulan dari suatu isu, pertanyaan, atau
permasalahan tersebut.
2 Reasoning Ketika suatu argumen dibentuk, maka harus
disertai dengan alasan (reasoning). Alasan dari
argumen yang diajukan harus dapat
mendukung kesimpulan dan pada akhirnya
alasan tersebut dapat diterima sebelum
membuat keputusan akhir.
3 Inference Ketika alasan yang telah dikemukakan benar,
mendukung kesimpulan
4 Situation Ketika proses berpikir terjadi, hal tersebut
dipengaruhi oleh situasi atau keadaan baik
(keadaan lingkungan, fisik, maupun sosial).
5 Clarity Ketika mengungkapkan suatu pikiran atau
pendapat, diperlukan kejelasan untuk membuat
orang lain memahami apa yang diungkapkan
6 Overview Suatu proses untuk meninjau kembali apa yang
telah kita temukan, putuskan, pertimbangkan,
pelajari, dan simpulkan.
Moore dan Parker (dalam Liliasari, 2011) menyatakan bahwa berpikir kritis
me-miliki beberapa karakteristik, yaitu:
1. Menentukan informasi mana yang tepat atau tidak tepat. 2. Membedakan klaim yang rasional dan emosional. 3. Memisahkan fakta dari pendapat.
4. Menyadari apakah bukti itu terbatas atau luas.
5. Menunjukkan tipuan dan kekurangan dalam suatu argumentasi orang lain. 6. Menunjukkan analisis data atau informasi.
7. Menyadari kesalahan logika dalam suatu argumen.
8. Menggambarkan hubungan antara sumber-sumber data yang terpisah dan informasi.
9. Memperhatikan informasi yang bertentangan, tidak memadai atau bermaknaganda.
10. Membangun argumen yang meyakinkan. 11. Memilih data penunjang yang paling kuat. 12. Menghindari kesimpulan yang berlebihan.
13. Mengidentifikasi celah-celah dalam bukti dan menyarankan pengumpulan informasi tambahan.
14. Menyadari ketidakjelasan.
15. Mengusulkan pilihan lain dan mempertimbangkannya dalam pengambilan keputusan.
16. Mempertimbangkan semua pemangku kepentingan atau sebagiannya dalam pengambilan keputusan.
17. Menyatakan argumen dan kontek untuk apa argumen itu. 18. Menggunakan bukti secara benar.
19. Menyusun argumen secara logis dan kohesif.
20. Menghindari unsur-unsur luar dalam penyusunan argumen.
Menurut Ennis (1989) terdapat 12 indikator keterampilan berpikir kritis (KBKr)
yang dikelompokkan dalam lima kelompok keterampilan berpikir. Kelima
kelom-pok keterampilan tersebut adalah: memberikan penjelasan sederhana (elementary
clarification), membangun keterampilan dasar (basic support), menyimpulkan
(interfence), membuat penjelasan lebih lanjut (advance clarification), serta
stra-tegi dan taktik (strategy and tactics). Adapun kedua belas indikator tersebut
adalah:
1. Memfokuskan pertanyaan. 2. Menganalisis argumen.
3. Bertanya dan menjawab pertanyaan. 4. Mempertimbangkan kredibilitas sumber.
5. Mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi. 6. Membuat deduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi. 7. Membuat induksi dan mempertimbangkan hasil induksi. 8. Membuat dan mempertimbangkan hasil keputusan. 9. Mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan definisi. 10. Mengidentifikasi asumsi.
11. Memutuskan suatu tindakan. 12. Berinteraksi dengan orang lain.
Pada penelitian ini, indikator yang dikembangkan adalah :
Tabel 2. Indikator Keterampilan berpikir kritis yang dilatihkan
No Kelompok Indikator Sub Indikator
1 Membangun
kemampuan
dasar
mempertimbangkan
apakah sumber dapat
dipercaya atau tidak
Kemampuan memberikan alasan
2 Menyimpulkan mendeduksi dan
mempertimbangkan hasil
deduksi
Menginterpretasi suatu
D. Konsep
Menurut Dahar (1996), konsep merupakan kategori-kategori yang kita berikan
pada stimulus-stimulus yang ada di lingkungan kita. Konsep-konsep
menyedia-kan skema-skema terorganisasi untuk menentumenyedia-kan hubungan di dalam dan di
antara kategori-kategori. Konsep-konsep merupakan dasar bagi proses-proses
mental yang lebih tinggi untuk merumuskan prinsip-prinsip dan
generalisasi-generalisasi. Untuk itu diperlukan suatu analisis konsep yang memungkinkan kita
dapat mendefinisikan konsep, sekaligus menghubungkan dengan konsep-konsep
lain yang berhubungan.
Herron et al. (1977) dalam Fadiawati (2011) berpendapat bahwa belum ada
definisi tentang konsep yang diterima atau disepakati oleh para ahli, biasanya
konsep disamakan dengan ide. Markle dan Tieman dalam Fadiawati (2011)
men-definisikan konsep sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh ada. Mungkin tidak
ada satu-pun definisi yang dapat mengungkapkan arti dari konsep. Untuk itu
di-perlukan suatu analisis konsep yang memungkinkan kita dapat mendefinisikan
konsep, sekaligus menghubungkan dengan konsep-konsep lain yang berhubungan.
Lebih lanjut lagi, Herron et al. (1977) dalam Fadiawati (2011) mengemukakan
bahwa analisis konsep merupakan suatu prosedur yang dikembangkan untuk
menolong guru dalam merencanakan urutan-urutan pengajaran bagi pencapaian
konsep. Prosedur ini telah digunakan secara luas oleh Markle dan Tieman serta
Klausemer dkk. Analisis konsep dilakukan melalui tujuh langkah, yaitu
menentu-kan nama atau label konsep, definisi konsep, jenis konsep, atribut kritis, atribut
Tabel 3. Analisis konsep materi larutan elektrolit dan non elektrolit
Label konsep (1)
Definisi konsep (2)
Jenis konsep
(3)
Atribut Posisi konsep Contoh
(9)
Larutan Campuran homogen terdiri dari
dua zat atau lebih, dimana salah
satunya bertindak sebagai zat
terlarut sedangkan yang lainnya
sebagai zat pelarut dan
mempunyai sifat dapat
menghantarkan arus listrik
(elektrolit) atau tidak dapat
menghantarkan listrik (non
elektrolit).
Larutan yang dapat
menghantarkan listrik, ditandai
dengan timbulnya gelembung gas
sertanyala lampu pada
elektrolittester yang dapat bersifat
elektrolit kuat atau elektrolit
Larutan yang dapat
menghantarkan listrik ditandai
dengan timbulnya gelembung gas
dan nyala lampu yang terang pada
elektrolittester.
Larutan yang dapat
menghantarkan listrik ditandai
dengan timbulnya gelembung gas
dan nyala lampu yang redup atau
hanya timbul gelembung gas pada
elektrolittester.
Larutran yang tidak dapat
menghantarkan listrik, ditandai
dengan lampu tidak menyala dan
tidak adanya gelembung gas pada
E. Kemampuan Kognitif Siswa
Kemampuan kognitif merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
hasil belajar siswa. Kemampuan kognitif siswa adalah gambaran tingkat
penge-tahuan atau kemampuan siswa terhadap suatu materi pembelajaran yang sudah
dipelajari dan dapat digunakan sebagai bekal atau modal untuk memperoleh
pengetahuan yang lebih luas dan kompleks lagi, maka dapat disebut sebagai
ke-mampuan kognitif (Winarni, 2006).
Lebih lanjut Nasution (Winarni 2006) mengemukakan bahwa secara alami dalam
satu kelas kemampuan kognitif siswa bervariasi, jika dikelompokkan menjadi 3
kelompok, maka ada kelompok siswa berkemampuan tinggi, menengah, dan
rendah. Menurut Anderson dan Pearson (Winarni 2006), apabila siswa memiliki
tingkat kemampuan kognitif berbeda kemudian diberi pengajaran yang sama,
maka hasil belajar (pemahaman konsep) akan berbeda-beda sesuai dengan tingkat
kemampuannya, karena hasil belajar berhubungan dengan kemampuan siswa
dalam mencari dan memahami materi yang dipelajari.
F. Kerangka Pemikiran
Tingkat kemampuan kognitif siswa dipengaruhi dengan perencanaan yang matang
sebelum kegiatan pembelajaran dilakukan. Siswa dengan kemampuan kognitif
tinggi akan memperoleh hasil yang tinggi pula. Pembelajaran kimia di sekolah
cenderung hanya menghadirkan konsep-konsep, hukum-hukum, dan teori-teori
secara verbal tanpa memberikan pengalaman bagaimana proses ditemukannya
siswa. Pembelajaran dengan penerapan model problem based leaning pada materi
larutan elektrolit dan nonelektrolit memilikibeberapa kelebihan antara lain, dapat
meningkatkan semangat belajar siswa karena siswa dilibatkan secara aktif dalam
proses pembelajaran dalam artian siswa lebih mendominasi dibandingkan guru
sehingga siswa dapat mengembang-kan ide-ide atau daya pikir yang mereka
miliki dan membantu mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa, dimana
akhirnya meningkatkan semangat guru dan siswa untuk belajar, pembelajaran
akan menjadi lebih bermakna karena pembelajaran dilakukan secara bertahap
dimulai dari Introduction (Pemunculan Masalah). Pada tahap ini siswa disajikan
suatu masalah yang harus mereka selesaikan. Selanjutnya Inquiry & Self-Directed
Study. Siswa dengan bimbingan guru mencari solusi untuk masalah yang
disajikan. Pada tahap ini siswa diposisikan sebagai problem solver. Siswa mencari
materi-materi yang relevan dengan masalah yang disajikan. Informasi yang
mereka peroleh digunakan untuk menemukan solusi dari masalah yang disajikan.
Pada akhirnya siswa akan membuat suatu hipotesis mengenai solusi dari masalah
tersebut. Selanjutnya Revisiting The Hypotheses. Hipotesis yang dibuat oleh siswa
kemudian direvisi lagi atau diperkuat lagi dengan cara mencari informasi
tambahan di luar proses pembelajaran. Informasi tambahan tersebut
dikonsultasikan kepada guru. Dari hasil pencarian informasi tambahan, hipotesis
yang mereka buat diharapkan menjadi lebih kuat. Hipotesis yang mereka buat
kemudian diuji kebenarannya. Self Evaluation. Tahap ini dilakukan setelah
hipotesis diuji kebenarannya. Siswa mendiskusikan hasil dari hipotesis tersebut.
Hal-hal yang didiskusian termasuk materi-materi yang mendukung dari hipotesis
berpikir apabila pembelajaran dengan penerapan model problem based learning
pada pembelajaran kimia dikelas diharapkan siswa dapat melatihkan kemampuan
memberikan alasan dan menginterpretasi suatu pernyataan sehingga keterampilan
berpikir kritis siswa akan tinggi sebanding dengan semakin tinggi-nya
kemampuan kognitif siswa.
G. Anggapan Dasar
Anggapan dasar dalam penelitian ini adalah siswa kelas X1 di SMA Negeri 1
Sidomulyo tahun pelajaran 2012/2013 yang menjadi subjek penelitian mempunyai
tingkat kemampuan kognitif yang heterogen.
H. Hipotesis Umum
Hipotesis umum dalam penelitian ini adalah semakin tinggi kemampuan kognitif
siswa, maka akan semakin tingi pula kemampuan siswa dalam memberikan alasan
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Negeri I Sidomulyo Lampug
Selatan tahun ajaran 2012/2013 sebanyak satu kelas yaitu kelas X1 dengan jumlah
siswa 37 siswa. Siswa dikelompokkan berdasarkan kemampuan kognitifnya ke
dalam tiga kelompok yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Penentuan kelompok ini
berdasarkan hasil ulangan mata pelajaran kimia yang telah dilakukan sebelumnya
oleh guru mata pelajaran kimia.
Oleh karena ingin didapatkan kelas dengan tingkat kemampuan kognitif yang
ber-beda, maka dipilih teknik purposive sampling dalam pengambilan subjek
peneliti-an. Purposive sampling merupakan teknik pengambilan sampel yang didasarkan
pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan
ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Syaodih, 2009).
B. Data Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. Data primer yaitu data hasil tes setelah pembelajaran (posttest),lembar
2. Data sekunder, yaitu nilai ulangan harian mata pelajaran kimia.
C. Metode dan Desain Penelitian
Metode penelitian yang digunakan yaitu metode pre-eksperimen dengan desain
penelitian yang digunakan adalah one shot case study . Pada desain ini hanya
diberi suatu perlakuan kemudian diobservasi. Menurut Sugiyono (2012),
penelitian dengan desain ini digambarkan sebagai berikut ini:
Keterangan: X = Perlakuan yang diberikan
O = Nilai Postes (Sesudah perlakuan)
D. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Silabus dan RPP
Pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit
2. Lembar observasi aktivitas siswa
Lembar observasi aktifitas siswa digunakan untuk memperoleh informasi
mengenai keterlaksanaan proses pembelajaran yang diterapkan dengan
menggunakan model Problem Based Learning serta keterampilan berpikir
kritis siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Pengisian lembar
observasi dilakukan dengan cara memberikan check list pada kolom yang telah
disediakan.
3. Lembar Kerja Siswa
Pada penelitian ini menggunakan 2 buah lembar kerja siswa (LKS). LKS 1
membahas tentang daya hantar listrik larutan elektrolit dan nonelektrolit
melalui percobaan, LKS 2 membahas tentang sifat dan jenis ikatan larutan
elektrolit dan nonelektrolit.
4. Tes tertulis.
Tes tertulis yang digunakan berupa posttest yang terdiri dari 4 soal dalam
bentuk uraian pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit. Soal uraian ini
digunakan untuk mengukur keterampilan berpikir kritis siswa yang meliputi
kemampuan memberikan alasan dan menginterpretasikan suatu pernyataan.
5. Kuesioner (Angket)
Pada penelitian ini, kuesioner diberikan kepada siswa secara langsung yang
berjumlah 6 pertanyaan dan digunakan untuk memperoleh informasi mengenai
keterlaksanaan proses pembelajaran yang diterapkan dengan menggunakan
model pembelajaran Problem Based Learning dan keterampilan berpikir kritis
siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung.Dalam kuesioner ini,
jawaban pertanyaan yang disediakan untuk semua pertanyaan adalah “ ya atau
tidak”.
E. Validitas Instrumen Penelitian
Suatu instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan
dan dapat mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat . Untuk itu,
perlu dilakukan pengujian terhadap instrumen yang akan digunakan. Pengujian
isi ini dilakukan dengan cara judgment. Dalam hal ini pengujian dilakukan
dengan menganalisis kesesuaian antara tujuan penelitian, tujuan pengukuran,
indikator,kisi-kisi soal dengan butir-butir pertanyaan posttest. Bila antara
unsur-unsur itu terdapat kesesuaian, maka instrumen dianggap valid dan dapat
diguna-kan untuk mengumpuldiguna-kan data sesuai kepentingan penelitian yang bersangkutan.
Mekanisme kerja judgment memerlukan ketelitian dan keahlian penilai. Untuk itu
peneliti meminta ahli untuk melakukannya. Dalam hal ini peneliti meminta
bantu-an Ibu Dra. Ila Rosilawati, M.Si dbantu-an Dra. Chbantu-ansybantu-anah Diawati, M.Si sebagai
dosen pembimbing penelitian untuk mengujinya.
F. Prosedur Penelitian
Langkah-langkah yang digunakan penelitian ini adalah:
1. Observasi Pendahuluan
a. Mengadakan observasi sekolah tempat penelitian untuk mendapatkan
informasi mengenai data siswa, karakteristik siswa, jadwal, metode yang
digunakan guru kimia dalam mengajar, dan sarana-prasarana yang ada di
sekolah yang dapat digunakan sebagai sarana pendukung pelaksanaan
penelitian.
b. Menentukan kelas yang digunakan sebagai subyek penelitian berdasarkan
karakteriktik siswa dan pertimbangan dari guru mata pelajaran kimia.
2. Pelaksanaan Penelitian
1. Tahap persiapan
Menyusun perangkat pembelajaran yang akan digunakan selama proses
pembelajaran di kelas, antara lain Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS), dan instrumen tes.
Meminta data nama dan niai siswa pada materi sebelumnya, untuk
menge-lompokkan siswa ke dalam kelompok tinggi, sedang dan rendah.
2. Tahap pelaksanaan penelitian
Pelaksanaan proses pembelajaran pada subyek penelitian dengan
meng-gunakan model pembelajaran problem based learning.
Memberikan posttest.
Memberikan kuesioner (angket) kepada siswa setelah pembelajaran
me-ngenai materi larutan elektrolit dan nonelektrolit.
3. Tahap analisis data
Menganalisis jawaban tes tertulis siswa dan jawaban kuesioner (angket)
untuk memperoleh informasi mengenai keterampilan berfikir kritis siswa.
Melakukan pembahasan terhadap hasil penelitian.
Penarikan kesimpulan
Prosedur pelaksanaan penelitian tersebut dapat digambarkan dalam bentuk bagan
Gambar 1. Bagan prosedur pelaksanaan penelitian
G. Pengelompokan Kemampuan Kognitif Siswa
Berdasarkan kemampuan akademik siswa dikelompokkan menjadi tiga kategori
yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Pengelompokkan siswa dilakukan dengan
tahapan membuat daftar distribusi frekuensi, setelah itu menghitung rata-rata nilai
ulangan harian mata pelajaran kimia dan standar deviasi. Berikut ini rumus untuk
mencari rata-rata (mean):
∑ ∑
Keterangan : = Nilai rata-rata siswa Kesimpulan Pembahasan Analisis Data
Kuesioner
Postest
Pembelajaran Problem Based
Validasi instrumen Membuat instrumen Menentukan subyek
∑ fi.xi = Jumlah frekuensi dikalikan dengan nilai siswa
∑ = Jumlah frekuensi
Rumus untuk mencari standar deviasi sebagai berikut:
√∑ ∑
Keterangan : SD = Standar Deviasi
Fxi2 = Jumlah semua frekuensi dikalikan dengan kuadrat nilai
n = Jumlah subyek
Setelah itu mengelompokkan siswa dengan kriteria pengelompokkan menurut
sudijono (2008) pada tabel 4.
Tabel 4 Kriteria pengelompokkan siswa
Kriteria pengelompokkan Kriteria
Nilai ≥ mean + SD Tinggi
Mean –SD ≤ nilai < mean + SD Sedang
Nilai < mean – SD Rendah
Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh jumlah siswa dari kelompok tinggi,
sedang, dan rendah berturut-turut adalah 2, 29, dan 6 siswa. Adapun perhitungan
selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 9 halaman 108.
H. Teknik Analisis Data
Langkah-langkah yang dilakukan dalam mengolah data hasil penelitian adalah
sebagai berikut:
a. Memberi skor pada setiap jawaban siswa pada tes tertulis berbentuk uraian
berdasarkan pedoman jawaban yang telah dibuat.
b. Mengelompokkan skor yang didapat setiap siswa sesuai dengan keterampilan
memberikan alasan dan menginterpretasikan suatu pernyataan.
c. Menjumlahkan skor yang didapat setiap siswa sesuai dengan keterampilan
memeberikan alasan dan menginterpretasikan suatu pernyataan.
d. Mengubah skor menjadi nilai, dengan menggunakan persamaan:
∑ ∑
e. Menentukan kriteria kemampuan siswa untuk nilai siswa pada keterampilan
memberikan alasan dan menginterpretasikan suatu pernyataan berdasarkan
tabel 5.
Tabel 5. Kriteria Tingkat Kemampuan
Nilai Kriteria
f. Menghitung rata-rata nilai siswa pada keterampilan keterampilan memberikan
alasan dan meninterpretasikan suatu pernyataan dengan menggunakan
persamaan:
∑ ∑
g. Menentukan kriteria kemampuan siswa untuk nilai rata-rata siswa pada
keterampilan memberikan alasan dan menginterpretasikan suatu pernyataan
h. Menentukan jumlah siswa pada masing-masing tingkat kemampuan siswa
berdasarkan nilai siswa.
i. Menentukan persentase siswa pada masing-masing tingkat kemampuan siswa
berdasarkan nilai siswa.
∑ ∑
j. Menentukan jumlah siswa pada setiap tingkat kemampuan untuk kelompok
siswa berkemampuan akademik tinggi, sedang dan rendah
k. Menentukan persentase siswa pada setiap tingkat kemampuan untuk setiap
kelompok siswa berkemampuan akademik tinggi, sedang dan rendah
menggunakan rumus di bawah ini:
∑
Keterangan : % = Persentase siswa
X =
N = Jumlah siswa setiap kelompok akademik
l. Menafsirkan persentase yang diperoleh dengan menggunakan kriteria yang
dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1990).
Tabel 6. Hubungan antara nilai presentase dengan tafsiran
Persentase Tafsiran
0% Tidak ada
1%-25% Sebagian kecil
26%-49% Hamper separuhnya
50% Separuhnya
51%-75% Sebagian besar
76%-99% Hamper seluruhnya
2. Pengolahan data kuesioner
Analisis data kuesioner dilakukan dengan cara berikut:
a. Memberikan skor untuk setiap nomor sesuai kriteria berikut ini:
1) Pilihan jawaban “Ya” diberi skor 1
2) Pilihan jawaban “Tidak” diberi skor 0
b. Menjumlahkan skor yang diperoleh dari jawaban seluruh siswa pada setiap
pertanyaan
c. Menentukan persentase jawaban dari skor yang didapat pada setiap pertanyaan
dengan menggunakan persamaan menurut Sudjana (2002)
∑
Keterangan:
%Xin = Persentase jawaban angket-i
∑S = Jumlah skor jawaban
Smaks = Skor maksimum yang diharapkan
d. Menafsirkan persentase angket secara keseluruhan dengan menggunakan
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dalam penelitian melalui
penerapan model Problem Based Learning pada materi larutan elektrolit dan
nonelektrolit dapat disimpulkan bahwa:
1. Kemampuan memberikan alasan pada kelompok tinggi seluruhnya berkriteria
sangat baik. Pada kelompok sedang, sebagian kecil berkriteria sangat baik
dan cukup, sebagian besar berkriteria baik. Pada kelompok rendah,
separuhnya berkriteria baik dan cukup.
2. Kemampuan menginterpretasi suatu pernyataan pada kelompok tinggi seluruhnya berkriteria sangat baik. Pada kelompok sedang, hampir separuh
berkriteria sangat baik, sebagian besar berkriteria baik dan sebagian kecil
berkriteria cukup. Pada kelompok rendah, sebagian kecil berkriteria sangat
baik, dan baik, sebagian besar berkriteria cukup.
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka disarankan bahwa:
1. Bagi calon peneliti lain yang tertarik melakukan penelitian yang sejenis agar
melaku-kan pengelompomelaku-kan agar memperoleh kemampuan kognitif siswa yang
sebe-narnya.
2. Calon peneliti sebaiknya melakukan uji reliabilitas dan validitas sebelum soal
posttest digunakan agar soal posttest dapat dengan tepat mengukur
DAFTAR PUSTAKA
Amaliyawati, I. 2009. Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Kelas XI Pada Pembelajaran Hidrolisis Dengan Metode Praktikum Alternatif Menggunakan Local Material. Diakses pada 15 Oktober 2012 dari
http://repository.upi.edu/operator/upload/s_kim_0704557.pdf
Amien, M. 1987. Mengajarkan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)dengan Meggunakan Metode Discovery Inquiry. DEPDIKBUD. Jakarta.
Depdiknas. 2003. Pedoman khusus pengembangan silabus dan penilaian kurikulum 2004. Direktorat Pendidikan Menengah Umum.
Amir, M. 2009. Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning. Kencana Prenada Media Group. Jakarta
Arifin, dkk. 2003. Strategi Belajar Mengajar Kimia. Jurusan Pendidikan Kimia FMIPA UPI. Bandung.
Arikunto, S. 2010. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi 5). Bumi Aksara. Jakarta.
Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Panduan penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah . BSNP. Jakarta.
Baharuddin. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran. Ar-Ruzz Media. Jogjakarta.
Dahar, R.W. 1998. Teori-teori Belajar. Erlangga. Jakarta.
Darma, I.M. 2013. Upaya Meningkatkan Motivasi, Minat dan Hasil Belajar Kimia melalui Pembelajaran Kooperatif Bermain Link Kartu Konsep(Artikel). Diakses 8 April 2013 dari
http://darmasuksma.blogspot.com/2012/06/artikel-upaya-meningkatkan-motivasi.html.
Duch. B. J. 1996. Problem: A Key Factor in PBL ?. [Online]. Tersedia:
http://www.udel.edu./pbl/cte/jan96-what-html. [26 mei 2010].
Ennis, R. 1989. Evaluating Critical Thinking. Midwest Publications. California
Fadiawati, N. 2011. Perkembangan Konsepsi Pembelajaran tentang Struktur Atom dari SMA hingga Perguruang Tinggi. Disertasi. SPs-UPI. Bandung.
Gustini, N. 2010. Analisis Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Kelas XI pada Pembelajaran Pengaruh Ion Senama dan pH Terhadap
Kelarutan dengan Siklus Belajar Hipotesis Deduktif. Skripsi. Diakses tanggal 2 Oktober 2012 dari
http://repository.upi.edu/operator/upload/s_d0451_0606857.pdf
Koentjaraningrat.1990. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Gramedia. Jakarta.
Liliasari. 1996. Beberapa Pola Berpikir dalam Pembentukan Pengetahuan oleh Siswa SMA. Sebuah Studi tentang Berpikir Konsep. Sekolah Pasca Sarjana IKIP. Bandung.
Nur,M. Dan Widakardi, P.R.2000. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa Dan Pendekatan Konstruktivistik Dalam Pengajaran. PSMS Program Pascasarjana UNESA. Surabaya .
Nurfatimah, A. 2010. Penerapan Model Problem Based Learning Pada Materi Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis siswa. Diakses 26 Oktober 2010 dari
http://repository.upi.edu/skripsiview.php?no_skrip
Pannen, P., Dina Mustafa, dan Mestika Sekarwinahyu. 2001. Konstruktivisme Dalam Pembelajaran. Dikti. Jakarta.
Purlistyani, I. 2012. Analisis Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Kelas XI Pada Pembelajaran Sifat-Sifat Koloid Dengan Metode Discovery-inkuiri. Diakses 11 Desember 2012 dari
http://repository.upi.edu/operator/upload/s_kim_0807600.pdf
Saputra, A. 2012. Efektivitas Model Pembelajaran Problem Solving Pada Materi Pokok Kesetimbangan Kimia dalam Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa. Skripsi. Universitas Lampung. Bandarlampung.
Sudjana, N. 2002. Metode Statistika. PT. Tarsito. Bandung.
Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Kanisius. Jakarta.
Suyanti, R.D. 2010. Strategi Pembelajarn Kimia. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Tim Penyusun. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Badan Standar Nasional Pendidikan. Jakarta.
Trianto. 2009. Mendasain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Prestasi Pustaka. Jakarta.
Trianto. 2010. Model-ModelPembelajaran Terpadu. Bumi Aksara. Jakarta.