• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hukum tentang Perjanjian Pengadaan Jasa Konsultansi untuk pekerjaan survey dan penyelidikan tanah SUTET 275 KV Sigli-Lhoksumawe dan SUTT 150 KV Takengon-Blang Kjeren, studi pada PT. Prima Layanan Nasional Enjiniring (PT. PLN Enjiniring) dan PT Pe

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Hukum tentang Perjanjian Pengadaan Jasa Konsultansi untuk pekerjaan survey dan penyelidikan tanah SUTET 275 KV Sigli-Lhoksumawe dan SUTT 150 KV Takengon-Blang Kjeren, studi pada PT. Prima Layanan Nasional Enjiniring (PT. PLN Enjiniring) dan PT Pe"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM TENTANG PERJANJIAN PENGADAAN

JASA KONSULTANSI UNTUK PEKERJAAN SURVEY DAN

PENYELIDIKAN TANAH SUTET 275 KV

SIGLI-LHOKSUMAWE DAN SUTT 150 KV TAKENGON-BLANG

KJEREN

(Studi pada PT. Prima Layanan Nasional Enjiniring (PT. PLN Enjiniring) dan PT Pemetar Argeo Consultant Engineering)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

NIM: 100200080

FRISDAR RIO ARI TENTUS MARBUN

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

ANALISIS HUKUM TENTANG PERJANJIAN PENGADAAN

JASA KONSULTANSI UNTUK PEKERJAAN SURVEY DAN

PENYELIDIKAN TANAH SUTET 275 KV

SIGLI-LHOKSUMAWE DAN SUTT 150 KV TAKENGON-BLANG

KJEREN

(Studi pada PT. Prima Layanan Nasional Enjiniring (PT. PLN Enjiniring) dan PT Pemetar Argeo Consultant Engineering)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

NIM: 100200080

FRISDAR RIO ARI TENTUS MARBUN

Mengetahui :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum. NIP. 19660303 198508 1 001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum Syamsul Rizal, S.H., M.Hum NIP.19620213 199003 1 002 NIP.19640216 198911 1 001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, kasih, dan penyertaanNya sehingga penulis mampu menjalani masa perkuliahan sampai tahap penyelesaian skripsi yang penuh dengan tantangan dan rintangan. Skripsi ini berjudul “Analisis Hukum tentang Perjanjian Pengadaan Jasa Konsultansi untuk pekerjaan survey dan penyelidikan tanah SUTET 275 KV Sigli-Lhoksumawe dan SUTT 150 KV Takengon-Blang Kjeren, studi pada PT. Prima Layanan Nasional Enjiniring (PT. PLN Enjiniring) dan PT Pemetar Argeo Consultant Engineering.” yang disusun untuk memenuhi syarat guna mencapai gelar Sarjana dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Syafruddin, S.H., M.H., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

(4)

5. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Syamsul Rizal, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini;

7. Bapak Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum, selaku Dosen Penasehat Akademik (PA) penulis selama menjalani perkuliahan;

8. Kedua orang tua penulis, yaitu Bapak Jamunter Marbun dan Ibu Mauli Manalu yang luar biasa mendukung dalam doa dan perhatian serta menjadi sumber semangat bagi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini, serta kedua saudara yang terkasih Friska Devi Marbun dan Natalia Marbun yang telah memberi semangat bagi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini;

9. Seluruh Dosen/Staf Pengajar dan Pegawai di Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama perkuliahan;

10.Kakak yang saya hormati dan kasihi, Kak Dewi Sitorus, SE yang telah banyak membimbing dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik;

11.Keluarga besar Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Komisariat Fakultas Hukum USU.

(5)

dan Edu Lumbantobing yang selalu memberi semangat dan dukungan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan semua masukan maupun kritik yang bersifat membangun dari para pembaca sekalian. Demikian penulis sampaikan, kiranya skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah dan memperluas cakrawala berpikir semua pihak.

Medan, Juni 2014 Penulis,

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 9

C. Manfaat Penulisan ... 9

D. Tujuan Penulisan ... 10

E. Metode Penelitian ... 11

F. Keaslian Penulisan ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian perjanjian ... 17

B. Syarat sahnya perjanjian ... 21

C. Asas-asas hukum perjanjian ... 36

D. Bentuk-bentuk dan fungsi perjanjian ... 45

E. Prestasi dan wanprestasi ... 48

BAB III KETENTUAN PERJANJIAN PENGADAAN JASA KONSULTANSI A. Pengertian Perjanjian Pengadaan Jasa Konsultansi ... 55

(7)

C. Hak dan kewajiban para pihak dalam Perjanjian Pengadaan Jasa Konsultanssi ... 61 D. Berakhirnya Perjanjian Pengadaan Jasa Konsultansi ... 64

BAB IV ANALISIS HUKUM TENTANG PERJANJIAN

PENGADAAN JASA KONSULTANSI UNTUK

PEKERJAAN SURVEY DAN PENYELIDIKAN TANAH

SUTET 275 KV SIGLI-LHOKSUMAWE DAN SUTT 150

KV TAKENGGON-BLANG KEJEREN

A. Profil PT. Prima Layanan Nasional (PLNE) dan PT.

Pemetar Argeo Consultant Engineering ... 68 B. Pembuatan Perjanjian Pengadaan Jasa Konsultansi ... 75 C. Pelaksanaan Perjanjian Pengadaan Jasa Konsultansi ... 93 D. Faktor Penghambat Dalam Pelaksanaan Kontrak dan Upaya

Penyelesaiannya ... 105

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 109 B. Saran ... 111

(8)

ABSTRAK

Frisdar Rio Ari Tentus Marbun * OK Saidin **

Syamsul Rizal ***

Pekerjaan Survey dan Penyelidikan tanah merupakan pekerjaan perencanaan dalam bidang konstruksi. PT. Prima Layanan Nasional Enjiniring (PT. PLN Enjiniring) sebagai pengguna jasa membutuhkan pihak penyedia jasa dalam hal ini PT. Pemetar Argeo Consultant Engineering untuk memberikan jasa dalam bentuk konsultansi perencanaan untuk menyediakan dokumen perencanaan yang berisi gambaran geografi/morfologi tanah dan desain jalur pembangunan jaringan tegangan tinggi. Hubungan kerjasama kedua belah pihak tersebut diatur dalam sebuah perjanjian yang disebut dengan Perjanjian Pengadaan Jasa Konsultansi. Dalam skripsi ini, permasalahan yang diangkat adalah bagaimana proses pembuatan perjanjian, pelaksanaan perjanjian, dan faktor penghambat pelaksanaan perjanjian serta bagaimana upaya penyelesaiannya.

Metode Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode penelitian yuridis normatif-yuridis sosiologis atau disebut juga dengan normatif-empiris. Yuridis normatif maksudnya penelitian hukum ini dilakukan dengan menggunakan bahan pustaka atau data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan skripsi ini. Penelitian hukum empiris ini dilakukan dengan memperolah data primer dengan melakukan wawancara dengan pihak PT. Pemetar Argeo Consultant Engineering.

Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa proses pembuatan perjanjian diatur berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak namun tetap berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengenai pelaksanaan pekerjaan dilakukan berdasarkan kesepakatan yang tertuang dalam dokumen perjanjian. Dalam pelaksanaan perjanjian tersebut terdapat dua hambatan yaitu keadaan sosial masyarakat di lapangan yang kurang kondusif dan proses pengoreksian laporan yang terlalu lama dari pihak pengguna jasa. Dengan adanya kedua hambatan ini membuat pelaksanaan pekerjaan ini tidak sesuai dengan jadwal. Oleh sebab itu, sebagai upaya penyelesaiannya, maka Penyedia jasa mengajukan permohonan waktu selama 60 (enam puluh ) hari kalender untuk menyelesaikan pekerjaan ini dengan baik. Dalam hal timbulnya sebuah perselisihan, para pihak bersepakat untuk menyelesaikannya melalui forum musyawarah terlebih dahulu dan apabila tidak berhasil maka hal tersebut akan diselesaikan oleh BANI.

Kata Kunci : Perjanjian (Kontrak), Perjanjian Pengadaan Jasa Konsultansi

* Mahasiswa Departemen Keperdataan Fakultas Hukum USU ** Dosen Pembimbing I

(9)

ABSTRAK

Frisdar Rio Ari Tentus Marbun * OK Saidin **

Syamsul Rizal ***

Pekerjaan Survey dan Penyelidikan tanah merupakan pekerjaan perencanaan dalam bidang konstruksi. PT. Prima Layanan Nasional Enjiniring (PT. PLN Enjiniring) sebagai pengguna jasa membutuhkan pihak penyedia jasa dalam hal ini PT. Pemetar Argeo Consultant Engineering untuk memberikan jasa dalam bentuk konsultansi perencanaan untuk menyediakan dokumen perencanaan yang berisi gambaran geografi/morfologi tanah dan desain jalur pembangunan jaringan tegangan tinggi. Hubungan kerjasama kedua belah pihak tersebut diatur dalam sebuah perjanjian yang disebut dengan Perjanjian Pengadaan Jasa Konsultansi. Dalam skripsi ini, permasalahan yang diangkat adalah bagaimana proses pembuatan perjanjian, pelaksanaan perjanjian, dan faktor penghambat pelaksanaan perjanjian serta bagaimana upaya penyelesaiannya.

Metode Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode penelitian yuridis normatif-yuridis sosiologis atau disebut juga dengan normatif-empiris. Yuridis normatif maksudnya penelitian hukum ini dilakukan dengan menggunakan bahan pustaka atau data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan skripsi ini. Penelitian hukum empiris ini dilakukan dengan memperolah data primer dengan melakukan wawancara dengan pihak PT. Pemetar Argeo Consultant Engineering.

Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa proses pembuatan perjanjian diatur berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak namun tetap berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengenai pelaksanaan pekerjaan dilakukan berdasarkan kesepakatan yang tertuang dalam dokumen perjanjian. Dalam pelaksanaan perjanjian tersebut terdapat dua hambatan yaitu keadaan sosial masyarakat di lapangan yang kurang kondusif dan proses pengoreksian laporan yang terlalu lama dari pihak pengguna jasa. Dengan adanya kedua hambatan ini membuat pelaksanaan pekerjaan ini tidak sesuai dengan jadwal. Oleh sebab itu, sebagai upaya penyelesaiannya, maka Penyedia jasa mengajukan permohonan waktu selama 60 (enam puluh ) hari kalender untuk menyelesaikan pekerjaan ini dengan baik. Dalam hal timbulnya sebuah perselisihan, para pihak bersepakat untuk menyelesaikannya melalui forum musyawarah terlebih dahulu dan apabila tidak berhasil maka hal tersebut akan diselesaikan oleh BANI.

Kata Kunci : Perjanjian (Kontrak), Perjanjian Pengadaan Jasa Konsultansi

* Mahasiswa Departemen Keperdataan Fakultas Hukum USU ** Dosen Pembimbing I

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu tujuan Negara Indonesia sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Memajukan kesejahteraan umum berarti melakukan perubahan tingkatan menuju yang lebih baik di bidang-bidang kehidupan yang berkaitan erat dengan kebutuhan rakyat Indonesia. Dalam menuju perubahan yang lebih baik itu harus dilakukan suatu pembangunan yang dilakukan secara adil dan merata sehingga setiap warga negara Indonesia dapat menikmati hasil dari pembangunan yang telah dilakukan dan hal ini otomatis berdampak pada meningkatnya kesejahteraan rakyat Indonesia.

Pembangunan fisik merupakan salah satu bentuk pembangunan yang mutlak harus dilakukan dalam usaha memajukan kesejahteraan umum. Pembangunan fisik tersebut dapat berupa pembangunan infrastruktur pada gedung maupun sarana dan prasarana transportasi yang mendukung dan menopang kegiatan masyarakat. Tanpa adanya pembangunan tersebut akan sangat sulit bagi Negara Indonesia untuk memenuhi kebutuhan bangsa bahkan meningkatkan nilai tawar negara Indonesia di kancah dunia internasional. Tingginya animo untuk melakukan pembangunan pada saat ini merupakan salah satu nilai lebih untuk mewujudkan suatu pembangunan yang berkualitas.

(11)

KV Sigli – Lhoksumawe dan SUTT 150 KV Takengon – Blang Kjeren. Pembangunan tersebut dilandaskan pada pemikiran bahwa listrik sudah menjadi kebutuhan yang vital dalam kehidupan masyarakat karena hampir di setiap kegiatan masyarakat menggunakan energi listrik. Oleh sebab itu pemerintah pada saat ini sedang gencar meningkatkan volume produksi listrik karena kebutuhan akan tenaga listrik yang semakin hari semakin meningkat dan hal ini juga diakibatkan oleh pertumbuhan pembangunan disetiap sektor kehidupan yang sangat membutuhkan energi listrik sehingga perlu meningkatkan sarana dan prasarana yang mendukung tercapainya pemenuhan energi listrik secara merata serta cara penyelesaian berbagai macam kendala yang timbul dengan cepat dan tepat yang dapat sehingga pemenuhan terhadap energi listrik tidak terhambat.

(12)

Perencanaan pembangunan tersebut dilakukan dalam bentuk konsultansi untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam bentuk penyajian data yang akurat seperti dokumen studi kelayakan, dokumen perencanaan teknik dan gambar rencana yang dilakukan dalam bentuk survey dan penyelidikan tanah dengan maksud mendapatkan gambaran geografi/morfologi dan geologi teknik serta gambaran tata guna lahan sepanjang koridor rencana jalur sesuai daerah studi yang ditentukan dan mendapatkan desain jalur transmisi yang semaksimal mungkin mempunyai tingkat keandalan yang tinggi dan menimbulkan dampak Iingkungan dan sosial yang kecil serta biaya pembangunan yang ekonomis serta bertujuan untuk menentukan posisi dan tipe tower jaringan transmisi 275 KV, beserta tipikal pondasinya, serta kondisi geoteknik lahan dan mendapatkan gambaran 3 (tiga) dimensi (profil memanjang, peta situasi ROW serta kontur) lokasi jalur transmisi.1

1

Wawancara dengan pihak PT. Pemetar Argeo Consultant Engineering.

(13)

Pengadaan jasa konsultansi berdasarkan penjelasan Pasal 4 huruf c Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 meliputi, namun tidak terbatas pada jasa rekayasa (engineering); jasa perencanaan (planing), perancangan (design), dan pengawasan (supervision) untuk pekerjaan konstruksi; jasa perencanaan (planning), perancangan (design), dan pengawasan (supervision) untuk pekerjaan selain konstruksi; dan jasa keahlian profesi. Dari lingkup jasa konsultansi tersebut ditemukan bahwa salah satu bidang jasa konsultansi adalah jasa perencanaan untuk pekerjaan konstruksi.

Berdasarkan uraian diatas, bahwa pengertian Jasa Konsultansi mempunyai kesamaan sasaran atau tujuan dengan bidang jasa perencanaan untuk konstruksi yaitu keluaran (output) berupa piranti lunak atau brainware yang dapat berupa rekomendasi yang yang berupa dokumen perencanaan bangunan atau bentuk fisik lain. Oleh sebab itu berdasarkan lingkup kegiatan dan kesamaan tujuan dapat disimpulkan bahwa perjanjian pengadaan jasa konsultansi dalam penulisan ini termasuk layanan jasa perencanaan konstruksi yang memberikan layanan jasa perencanaan yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai dengan penyusunan dokumen kontrak kerja konstruksi dimana jasa perencanaan untuk pekerjaan konstruksi inilah yang mempunyai andil yang besar dan jasa yang penting dalam mewujudkan pembangunan yang berkualitas, teratur, dan terencana dalam meningkatkan kualitas pembangunan nasional yang bermutu tinggi.

(14)

konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan atau bentuk fisik lain.

Dalam pembangunan nasional, jasa konstruksi ini mempunyai peranan penting dan strategis mengingat jasa konstruksi menghasilkan produksi akhir berupa bangunan atau bentuk fisik lainnya, baik yang berupa prasarana maupun sarana yang berfungsi mendukung pertumbuhan dan perkembangan berbagai bidang, terutama bidang ekonomi, sosial, dan budaya untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang merata secara materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Selain berperan dalam mendukung berbagai bidang pembangunan, jasa konstruksi berperan pula untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya berbagai industri barang dan jasa yang diperlukan dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.2

Para pihak yang terlibat dalam perjanjian pengadaan jasa konsultansi tersebut adalah pengguna jasa dan penyedia jasa. Pihak pengguna jasa dalam

Peran konsultan dalam perjanjian pengadaan jasa konsultansi berhubungan erat dengan pihak lainnya yaitu pengguna jasa. Hal ini dapat dilihat dalam asas kemitraan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi yang menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan jasa konstruksi harus terdapat hubungan kerja para pihak yang harmonis, terbuka, bersifat timbal balik, dan sinergis.

2

(15)

perencanaan pembangunan tersebut adalah PT. Prima Layanan Nasional Enjiniring (PT. PLN Enjiniring) sedangkan yang menjadi penyedia jasa adalah PT. Pemetar Argeo Consultant Engineering. Terpilihnya PT. Pemetar Argeo Consultant Engineering sebagai penyedia jasa dalam pekerjaan konsultansi ini adalah dengan metode seleksi langsung yang kemudian menetapkan PT. Pemetar Argeo Consultant Engineering terpilih sebagai penyedia jasa.

Adapun sumber dana untuk keperluan pengadaan jasa konsultansi ini adalah berasal dari anggaran PT. Prima Layanan Nasional Enjiniring3 sehingga pengaturan mengenai perjanjian pengadaan jasa konsultansi ini bersifat privat oleh karena itu tidak termasuk dalam kontrak pengadaan barang dan jasa pemerintah karena sumber pembiayaan dalam kontrak pengadaan oleh pemerintah pada umumnya berasal dari keuangan negara dalam hal ini APBN/APBD, disamping dana yang berasal dari pinjaman/hibah luar negeri (PHLN).4

PT. Prima Layanan Nasional Enjiniring (PT. PLN Enjiniring) dalam hal ini berperan sebagai pengguna jasa artinya yang memberikan pekerjaan di bidang perencanaan yaitu menggunakan jasa konsultasi untuk merealisasikan pekerjaannya tersebut sehingga PT. Prima Layanan Nasional Enjiniring mengadakan suatu perjanjian yaitu perjanjian pengadaan jasa konsultansi dengan PT. Pemetar Argeo Consultant Engineering sebagai penyedia jasa yang bergerak dibidang konsultansi teknik yang memberikan jasa kepada PT. Prima Layanan

3

Surat Perjanjian Pengadaan Jasa Konsultansi untuk Pekerjaan Survei dan Penyelidikan Tanah Sutet 275 KV Sigli- Lhoksumawe dan Sutet 150 KV Takengon-Balng Kjeren antara PT Prima Layanan Nasional Enjiniring (PT. PLNE) dengan PT Pemetar Argeo Consultant Engineering, tanggal 19 April 2014.

4

(16)

Nasional Enjiniring dalam bentuk konsultansi perencanaan untuk menyediakan dokumen perencanaan bangunan atau bentuk fisik lain yang berisi tentang gambaran geografi/morfologi tanah dan desain jalur pembangunan jaringan tegangan tinggi atau saluran udara tegangan tinggi.

Perjanjian tersebut dibuat secara tertulis dalam bentuk akta otentik untuk memberikan kepastian hukum bagi para pihak dalam pelaksanaan perjanjian tersebut. Seluruh isi perjanjian Pengadaan Jasa Konsultansi ini diatur berdasarkan kesepakatan bersama sebagai pengaplikasian dari asas kebebasan berkontrak para pihak yang mengakomodir seluruh kepentingan para pihak demi terwujudnya keseimbangan bagi para pihak. Namun pengaturan isi perjanjian pengadaan jasa konsultansi ini tetap berpedoman pada peraturan perundang-udangan yang berkaitan dengan pengadaan jasa konsultansi seperti Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi serta peraturan pelaksananya sehingga pengaturan mengenai ruang lingkup pekerjaan, hak dan kewajiban para pihak, pengamanan transaksi bisnis, dan pengaturan tentang pola penyelesaian sengketa yang timbul antara kedua belah pihak dapat diakomodasi dalam perjanjian tersebut sehingga potensi terjadinya wanprestasi dapat direduksi atau dihilangkan sama sekali.

(17)

penyimpangan sehingga hasil akhir yang dihasilkan jauh dari apa yang diharapkan atau dapat dikatakan terjadi kegagalan bangunan. Kegagalan bangunan adalah keadaan bangunan, yang setelah diserahterimakan oleh penyedia jasa kepada pengguna jasa, menjadi tidak berfungsi baik secara keseluruhan maupun sebagian dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak kerja konstruksi atau pemanfaatannya yang menyimpang sebagai akibat kesalahan penyedia jasa dan/atau pengguna jasa.5

5

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi

Selain itu, dalam pelaksanaan suatu perjanjian sering terjadi keterlambatan waktu penyelesaian pembangunan terutama di bidang konsultansi perencanaan sehingga terjadi penambahan waktu yang otomatis menambah cost pelaksanaan pembangunan yang kemudian dapat mempengaruhi waktu pemanfaatan bangunan tersebut.

(18)

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka terdapat beberapa masalah pokok yang menjadi fokus penelitian dalam skripsi ini, yaitu

1. Bagaimana pembuatan Perjanjian Pengadaan Jasa Konsultansi antara PT. Prima Layanan Nasional Enjiniring dan PT. Pemetar Argeo Consultant Engineering?

2. Bagaimana pelaksanaan Perjanjian Pengadaan Jasa Konsultansi antara PT. Prima Layanan Nasional Enjiniring dan PT. Pemetar Argeo Consultant Engineering?

3. Apa hambatan yang terjadi dalam Perjanjian Pengadaan Jasa Konsultansi antara PT. Prima Layanan Nasional Enjiniring dan PT. Pemetar Argeo Consultant Engineering dan bagaimana penyelesaiannya?

C. Manfaat Penulisan

Berdasarkan permasalahan tersebut, terdapat beberapa manfaat dalam penulisan ini yang akan dicapai, yakni:

1. Manfaat Teoritis

(19)

untuk menambah literatur ilmu pengetahuan hukum, khususnya bidang hukum Perjanjian (kontrak) tentang hukum pengadaan konsultansi.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan masukan bagi semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan perjanjian pengadaan jasa konsultansi serta dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan perjanjian pengadaan konsultansi sehingga dapat menghindari timbulnya permasalahan yang berpotensi dapat terjadi dalam melakukan kerjasama dibidang pengadaan jasa konsultansi guna peningkatan kualitas pembangunan di Indonesia.

D. Tujuan Penulisan

Berdasarkan permaalahan dalam penulisan ini, maka tujuan dari penulisan ini yang ingin dicapai adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bagaimana pembuatan Perjanjian Pengadaan Jasa Konsultansi antara PT. Prima Layanan Nasional Enjiniring dan PT. Pemetar Argeo Consultant Engineering.

2. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan Perjanjian Pengadaan Jasa Konsultansi antara PT. Prima Layanan Nasional Enjiniring dan PT. Pemetar Argeo Consultant Engineering.

(20)

E. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah. Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana (ilmiah) bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metodologi penelitian yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.6 Sementara itu menurut Sugiyono, metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.7

1. Tempat Penelitian

Penulisan skripsi ini didasari oleh suatu penelitian yang diadakan dengan metodologi penelitian tertentu untuk mengumpulkan informasi dan data-data yang diperlukan untuk penulisan skripsi ini. Dalam penelitian hukum ini penulis akan menggunakan cara-cara atau metode-metode penelitian sebagai berikut:

Penelitian dilakukan di PT. Pemetar Argeo Consultant Engineering. 2. Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode penelitian yuridis normatif-yuridis sosiologis8

6

Soerjonno Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat . Jakarta, Rajawali 1985, hal. 1.

7

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung, Alfabeta, 2010, hal. 2.

8

Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, Malang, UMM Press, 2009, hal 103

(21)

normatif maksudnya penelitian hukum ini dilakukan dengan menggunakan bahan pustaka atau data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan skripsi ini. Penelitian hukum empiris ini dilakukan dengan memperolah data primer dengan melakukan wawancara dengan pihak PT. Pemetar Argeo Consultant Engineering.

3. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dititikberatkan pada penelitian kepustakaan dan didukung dengan penelitian lapangan, maka sumber bahan hukum yang digunakan diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok, yaitu:

a. Bahan hukum primer , yaitu semua peraturan yang mengikat dan dibuat oleh pihak-pihak yang berwenang yang meliputi seluruh peraturan perundang-undangan antara lain UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi beserta peraturan pelaksananya, Peraturan presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan barang/jasa pemerintah, dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

(22)

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk, maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum.

4. Teknik Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara : a. Penelitian Kepustakaan (library Research) yaitu mengumpulkan dan

mempelajari meneliti sumber-sumber bacaan yang berhubungan dengan permasalahan dalam skripsi ini, seperti buku-buku hukum, majalah hukum, artikel-artikel hukum, peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, pendapat sarjana dan bahan-bahan lainnya.

b. Penelitian Lapangan (Field Research) yaitu penelitian yang dilakukan dalam bentuk wawancara sebagai upaya dalam pengumpulan data dari PT. Pemetar Argeo Consultant Engineering.

5. Alat pengumpulan data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah:

a. Studi dokumen

Studi dokumen yaitu pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis yang berhubungan dengan penelitian hukum ini.

b. Wawancara

(23)

6. Analisis data

Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode deduktif, yaitu yang diawali dengan pengetahuan yang bersifat umum dan kemudian ditarik suatu kesimpulan khusus untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi.

F. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini berjudul “Analisis Hukum tentang Perjanjian Pengadaan Jasa Konsultansi untuk Pekerjaan Survey dan Penyelidikan Tanah SUTET 275 KV Sigli-Lhoksumawe dan SUTT 150 KV Takengon-Blang Kjeren”, studi pada PT. Prima Layanan Nasional Enjiniring (PT. PLN Enjiniring) dan PT Pemetar Argeo Consultant Engineering.

(24)

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab dengan bab yang lain yang saling berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :

BAB 1 : PENDAHULUAN

Dalam bab ini dijelaskan tentang latar belakang, perumusan masalah, manfaat penulisan, tujuan penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN (KONTRAK)

Merupakan tinjauan umum tentang perjanjian, terdiri dari lima sub bab yang menjelaskan tentang pengertian perjanjian, syarat sahnya perjanjian, asas-asas dalam hukum perjanjian, bentuk-bentuk dan fungsi perjanjian dan prestasi dan wanprestasi.

BAB III : KETENTUAN PERJANJIAN PENGADAAN JASA

KONSULTANSI

(25)

BAB VI : ANALISIS HUKUM TENTANG PERJANJIAN PENGADAAN

JASA KONSULTANSI UNTUK PEKERJAAN SURVEY DAN

PENYELIDIKAN TANAH SUTET 275 KV

SIGLI-LHOKSUMAWE DAN SUTT 150 KV TAKENGON-BLANG

KJEREN

Bab ini menjelaskan tentang profil PT. Prima Layanan Nasional Enjiniring (PT. PLN Enjineering) dan PT. Pemetar Argeo Consultant Engineering, pembuatan perjanjian pengadaan jasa konsultansi, pelaksanaaan perjanjian pengadaan jasa konsultansi, dan hambatan dalam perjanjian pengadaan jasa konsultansi serta penyelesaiannya.

BAB V : PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan dan saran terhadap hasil analisis yang dilakukan. Kesimpulan merupakan intisari dari pembahasan terhadap permasalahan yang diajukan dalam skripsi ini, sedangkan saran yang ada diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi para pembacanya dan dapat berguna bagi pihak-pihak yang terlibat dalam Perjanjian Pengadaan Jasa Konsultansi.

(26)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN (KONTRAK)

A. Pengertian Perjanjian

Istilah perjanjian berasal dari terjemahan bahasa Belanda yang disebut overeenkomst sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan contract. Istilah kontrak atau perjanjian dalam sistem hukum nasional memiliki pengertian yang sama, seperti halnya di Belanda tidak dibedakan antara pengertian contract dan overeenkomst.9

Perjanjian dalam KUH Perdata diatur dalam Buku III tentang Perikatan. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Definisi perjanjian dalam Pasal 1313 ini tidak jelas karena di dalam rumusan tersebut disebutkan perbuatan saja sehingga yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian selain itu tidak tampak asas konsensualisme yang menyebutkan adanya hubungan hukum timbal balik antarpihak yang saling mengikatkan diri.

10

9

Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis dalam Persepsi Masnusia Modern, Refika Aditama, Bandung, 2004, hal. 43.

10

H. Salim HS, H. Abdullah, Wiwiek Wahyuningsih, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 7.

(27)

1. Hukum tidak ada sangkut pautnya dengan setiap perikatan dan setiap sumber perikatan, sebab apabila penafsiran dilakukan secara luas, setiap janji adalah persetujuan;

2. Perkataan dan perbuatan apabila ditafsirkan secara luas dapat menimbulkan akibat hukum tanpa dimaksudkan (misal: perbuatan yang menimbulkan kerugian sebagai akibat adanya perbuatan melanggar hukum);

3. Definisi Pasal 1313 KUH Perdata hanya mengenai persetujuan sepihak (unilateral), satu pihak sajalah yang berprestasi, sedangkan pihak lainnya tidak berprestasi (misal: schenking atau hibah). Seharusnya persetujuan itu berdimensi dua pihak, dimana para pihak saling berprestasi;

4. Pasal 1313 KUH Perdata hanya mengenai persetujuan obligatoir (melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak), dan tidak berlaku bagi persetujuan jenis lainnya (misal: perjanjian liberatoir/ membebaskan; perjanjian di lapangan hukum keluarga; perjanjian kebendaan; perjanjian pembuktian)11

Dengan demikian, definisi itu perlu dilengkapi dan disempurnakan dengan suatu rumusan tertentu namun cukup sulit untuk menemukan rumusan tersebut karena masing-masing sarjana mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Menurut H. Salim HS, pengertian perjanjian adalah hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana

11

(28)

subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya. Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.

Menurut S.B Marsh dan J. Soulsby dalam bukunya yang dialihbahasakan oleh Abdulkadir Muhammad menyebutkan bahwa suatu perjanjian adalah semata-mata suatu persetujuan yang diakui oleh hukum. Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok dalam dunia usaha, dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang, seperti jual beli barang, tanah, pemberian kredit, asuransi, pengangkutan barang, pembentukan organisasi usaha, dan sebegitu jauh menyangkut juga tenaga kerja.12

Di dalam suatu perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur, yaitu:

13

a. Pihak-pihak, paling sedikit ada dua orang. Para pihak yang bertindak sebagai subjek perjanjian, dapat terdiri dari orang atau badan hukum; b. Persetujuan antara para pihak, sebelum membuat suatu perjanjian atau

dalam membuat suatu perjanjian, para pihak memiliki kebebasan untuk mengadakan tawar-menawar di antara mereka;

c. Adanya tujuan yang akan dicapai, baik yang dilakukan sendiri maupun oleh pihak lain, selaku subjek dalam perjanjian tersebut. Dalam mencapai

12

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 2006, hal. 93.

13

(29)

tujuannya, para pihak terikat dengan ketentuan bahwa tujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum;

d. Ada prestasi yang harus dilaksanakan, para pihak dalam suatu perjanjian mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya saling berlawanan. Apabila pihak yang satu berkewajiban untuk memenuhi suatu prestasi, bagi pihak lain hal tersebut merupakan hak, dan sebaliknya; e. Ada bentuk tertentu, suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun

tertulis. Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis, dibuat sesuai dengan ketentuan yang ada;

f. Syarat-syarat tertentu, dalam suatu perjanjian, isinya harus ada syarat-syarat tertentu, karena suatu perjanjian yang sah, mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Unsur-unsur yang terkandung dalam kontrak juga diuraikan oleh Ahamadi Miru, yaitu:14

1. Unsur esensialia adalah unsur yang harus ada dalam suatu kontrak, karena jika tidak tidak ada unsur ini maka kontrak tidak ada;

2. Unsur naturalia adalah unsur yang telah diatur dalam undang-undang, sehingga jika tidak diatur oleh para pihak dalam kontrak, maka undang-undang yang mengaturnya;

3. Unsur aksidentalia adalah unsur yang nanti ada atau mengikat para pihak jika para pihak memperjanjikannya. Demikian pula klausul-klausul

14

(30)

lainnya yangs ering ditentukan dalam kontrak, yang bukan merupakan unsur esensial dalam kontrak.

Ketentuan-ketentuan dalam buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka, artinya memberikan kebebasan kepada para pihak (dalam hal menentuka isi, bentuk, serta macam perjanjian) untuk mengadakan perjanjian akan tetapi isinya selain tidak bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum, juga harus memenuhi syarat sahnya perjanjian.

Ketentuan yang terdapat dalam hukum perjanjian merupakan kaidah hukum mengatur, artinya kaidah-kaidah hukum yang dalam kenyataannya dapat dikesampingkan oleh para pihak dengan membuat ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan khusus di dalam perjanjian yang mereka adakan sendiri. Kaidah-kaidah hukum semacam itu baru akan berlaku (dan karena itu jadi memaksa) dalam hal para pihak tidak menetapkan peraturan-peraturan sendiri di dalam perjanjian yang mereka adakan. Kaidah-kaidah hukum seperti semacam itu ada yang menamakan dengan istilah hukum pelengkap atau hukum penambah (Optional law atau aanvullendrecht). Hal ini ditegaskan pula oleh Subekti bahwa pasal-pasal tersebut boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian.15

B. Syarat-syarat sahnya perjanjian

Syarat sahnya perjanjian agar mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan mengikat harus memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang diatur dalam

15

(31)

pasal 1320 KUH Perdata. Apabila salah satu syarat atau lebih syarat tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut tidak sah sehingga akibat-akibat hukumnya pun sebagaimana dimaksudkan tidak terjadi pula.16

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

Syarat-syarat tersebut adalah:

Syarat pertama sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan atau konsensus para pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Kesepakatan merupakan persesuaian pendapat satu sama lainnya tentang isi perjanjian dan mencerminkan kehendak untuk mengikatkan diri. Hal yang penting pada suatu perjanjian adalah bahwa masing-masing pihak menyatakan persetujuannya sesuai dengan pernyataan pihak lainnya.17

1) Bahasa yang sempurna dan tertulis;

Yang sesuai itu adalah pernyataannya karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan:

2) Bahasa yang sempurna secara lisan;

3) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Hal ini mengingat dalam kenyataannya sering kali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;

4) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya; dan

5) Diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan18

16

A. Qirom Syamsuddin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Yogyakarta, Liberty, 1985, hal. 11.

17

Mohd. Syaufii Syamsuddin, Op.Cit, hal. 7.

18

(32)

Kata sepakat mereka disini harus diberikan secara bebas. Walaupun syarat kata sepakat ini sudah dirasakan atau dianggap telah dipenuhi, mungkin terdapat suatu kekhilafan dimana suatu perjanjian yang telah disepakati itu, pada dasarnya ternyata bukan perjanjian, apabila kedua belah pihak beranggapan menghendaki sesuatu yang sama akan tetapi tidak. Keadaan ini kita jumpai bilamana terjadi kekhilafan. Perjanjian yang timbul secara demikian dalam beberapa hal dapat dibatalkan.19

Yang menjadi persoalan adalah sejak kapan syarat kesepakatan tersebut terpenuhi. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat sukar untuk ditentukan. Untuk itu pada umumnya para praktisi hukum lebih cenderung berpendapat bahwa untuk mengetahui sejak kapan syarat tersebut terpenuhi, dengan memahami proses terjadinya kesepakatan, yang dalam praktek hukum perjanjian disebut sebagai proses penawaran dan penerimaan. Perjanjian terjadi bila ada suatu penawaran yang diikuti dengan penerimaan, atau sebagai ijab kabul. Untuk itu, diperlukan adanya pihak yang menawarkan dan adanya pihak yang menerima penawaran. Penawaran pada asasnya merupakan pernyataan kehendak, oleh karenanya harus dinyatakan/diutarakan, penawaran adalah suatu usul yang telah dibuat sedemikian rupa dan bila penawaran tersebut diterima, akan melahirkan perjanjian.20

Kata sepakat dapat terjadi karena beberapa hal yang tidak dibenarkan secara hukum, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1321 KUH Perdata yaitu “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Dalam praktiknya ada beberapa hal

19

A. Qirom Syamsudin Meliala, Op.Cit, hal. 9.

20

(33)

perbuatan yang tidak dibenarkan secara hukum terjadi pada proses pencapaian kesepakatan, yaitu21

1) Penipuan (fraud) :

Penipuan adalah dengan sengaja mengajukan gambaran atau fakta yang salah untuk memasuki hubungan kontrak. Untuk itu pihak yang tidak bersalah harus bersandar pada gambaran yang salah tadi dan secara finansial, pihak yang merugikan orang lain wajib membayar ganti rugi.

2) Kesalahan (mistake)

Kesalahan adalah apabila dua pihak mengadakan perjanjian denngan fakta yang ternyata salah, sehingga pihak tadi dapat membatalkan kontrak setelah mengetahui fakta yang sebenarnya.

3) Paksaan (Duress)

Paksaan terjadi apabila salah satu pihak lain menyetujui kontrak dengan ancaman penjara, jiwa, atau badan. Ancaman ini dapat saja dilakukan terhadap dirinya, keluarganya, dan ancamannya tidak bersifat fisik, misalnya ancaman untuk membuat bangkrut atau tidak mendapatkan kekayaan yang menjadi haknya.

4) Penyalahgunaan keadaan (undue influence)

Penyalahgunaan keadaan tidak diatur dalam KUH Perdata. Namun, ketiadaan aturan hukum positif tidak berarti bahwa penyelahgunaan keadaan tidak dapat diterapkan dalam penyelesaian kasus-kasus perdata di Indonesia. Buktinya, ada dua putusan Mahkamah Agung (MA) yang dapat dianggap sebagai yurisprudensi, yang dalam konsideransnya memuat pertimbangan terjadinya penyalahgunaan

21

(34)

keadaan oleh satu diantara dua pihak yang melaksanakan perjanjian, yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 1904K/Sip/1982 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 3431K/Pdt/1985.22

Dalam KUH Perdata tidak disebutkan secara jelas tentang momentum terjadinya perjanjian. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata hanya disebutkan cukup dengan adanya konsensus (kesepakatan) para pihak. Dalam berbagai literatur disebutkan empat teori yang membahas momentum terjadinya perjanjian, yaitu:

Pada hakikatnya ajaran penyalahgunaan keadaan bertumpu pada dua hal berikut, yaitu penyalahgunaan keunggulan ekonomi dan penyalahgunaan kejiwaan. Rutinga menyebutkan inti penyalahgunaan keunggulan ekonomis terletak pada ketidakseimbangan kekuatan dalam melakukan tawar-menawar (inequality of bargaining power) atau perundingan antara pihak ekonomi kuat terhadap pihak ekonomi lemah. Adapun penyalahgunaan keunggulan kejiwaan terjadi apabila salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relatif atau keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lain. Pihak yang dirugikan dibujuk untuk melakukan perbuatan hukum yang sama sekali tidak dikehendakinya, seperti misalnya status sosial, hubungan dokter dan pasien, pengacara dan klien, dan lain-lain.

23

a. Teori Pernyataan (Uitingstheorie)

Menurut teori pernyataan, kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran itu menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu. Jadi, dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat baru

22

Muhammad Syaifuddin, Op.Cit. hal 120.

23

(35)

menjatuhkan ballpoint untuk menyatakan menerima, kesepakatan sudah terjadi. Kelemahan teori ini adalah sangat teoritis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.

b. Teori Pengiriman (verzendtheorie)

Menurut teori pengiriman, kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mengirimkan telegram. Kritik terhadap teori ini bagaimana hal itu bisa diketahui. Bisa saja, walau sudah dikirim tetapi tidak diketahui oleh pihak yang menawarkan. Teori ini juga sangat teoritis, dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.

c. Teori Pengetahuan (vernemingstheorie)

Teori pengetahuan berpendapat bahwa kesepakatan terjadi apabila pihak yang menawarkan itu mengetahui adanya acceptatie (penerimaan), tetapi penerimaan itu belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung). Kritik terhadap teori ini, bagaimana ia mengetahui isi penerimaan itu apabila ia belum menerimanya.

d. Teori Penerimaan (Ontvangstheorie)

Menurut teori penerimaan bahwa kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.

(36)

pengetahuan yang dianut. Diperlukan waktu yang lama jika harus menunggu sampai mengetahui secara langsung adanya jawaban dari pihak lawan (Teori penerimaan). 24

Logemann menyebut badan hukum sebagai suatu personifikasi atau perwujudan (bestendigheid) hak dan kewajiban. Sedangkan R. Subekti mengatakan badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim. Disamping itu, Wirjono Prodjodikoro juga mengemukakan pengertian suatu badan hukum yaitu badan, disamping manusia perseorangan yang dianggap dapat

2. Kecakapan bertindak

Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan hubungan hukum. Yang dapat melakukan suatu hubungan hukum adalah pendukung hak dan kewajiban, baik orang (natuurlijk persoon) atau badan hukum (rechtspersoon), yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

Jika yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, badan hukum tersebut harus memenuhi syarat sebagai badan hukum yang sah. Dengan terpenuhinya syarat tersebut, barulah badan hukum itu dapat disebut sebagai pendukung hak dan kewajiban atau sebagai subjek hukum yang dapat melakukan hubungan hukum.

24

(37)

bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, juga kewajiban-kewajiban dan hubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.25

Perseroan Terbatas (PT) merupakan suatu bentuk organisasi yang diakui hukum yang dijadikan sebagai subjek hukum. Sebagai subjek hukum, PT merupakan pendukung hak dan kewajiban. Agar suatu PT dapat menjalankan fungsinya sebagai rechtspersoon, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi yaitu26

1. Para pendiri harus mendirikan PT berdasarkan akta notaris, akta yang mencakup pula amggaran dasar dan keterangan lain berkaitan dengan pendirian perseroan.

:

2. Para pendiri bersama-sama mengajukan permohonan pengesahan kepada Menteri Hukum dan HAM melalui jasa Teknologi Informasi Sistem Administrasi Badan Hukum secara elektronik.

3. Setelah melakukan pengesahan, menteri akan melakukan pendaftaran PT

4. Pengumuman di Tambahan Berita Negara RI oleh menteri.27

Jika para pihak yang membuat perjanjian adalah orang, orang yang dianggap sebagai subjek hukum yang dapat melakukan hubungan hukum dengan pihak lain, adalah orang-orang tidak termasuk di dalam ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata, yaitu28:

25

Mulhadi, Hukum Perusahaan: Bentuk-bentuk Badan Usaha di Indonesia, Bogor, Ghalia Indonesia, 2010, hal. 73-74.

26

Hukumonline.com. Tanya Jawab Hukum Perusahaan, Jakarta, Visimedia, 2009, hal. 6.

27

Lihat UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

28

(38)

a. Orang yang belum dewasa

Kriteria mengenai orang yang belum dewasa menurut KUH Perdata adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan sebelumnya belum kawin. Namun masih terdapat perdebatan mengenai standar usia dewasa. Menurut J. Satrio dengan menerapkan asas lex posteriori derogat lex priori, maka seharusnya nalar penetapan usia dewasa yang mendasarkan Pasal 330 jo. Pasal 1330 KUH Perdata menjadi absurd dan melanggar asas hukum tersebut. Artinya, sejak diundangkan dan berlakunya secara efektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maka ketentuan-ketentuan mengenai kedewasaan dalam pasal 330 jo. Pasal 1330 KUH Perdata tidak lagi dijadikan sumber hukum.

Jadi, usia dewasa yang berlaku secara umum terkait dengan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum adalah 18 tahun. Hal ini juga dipertegas oleh Mahkamah Agung RI Putusan MA No. 477K/Sip/1976, tanggal 13 Oktober 1976. Usia 18 tahun sebagai standar usia dewasa menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dalam perkembangannya kemudian diadopsi secara sinkron dan konsisten oleh aturan positif lainnya, yaitu Pasal 5 jo. Pasal 61 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 39 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan Notaris, dan Pasal 5 jo. Pasal 6, Pasal 9, Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. 29

29

(39)

b. Mereka yang berada di bawah pengampuan

Orang-orang yang diletakkan dibawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan kurang akal, sakit ingatan atau boros. Pembentuk undang-undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu menyadari tanggung jawabnya dan karena itu tidak cakap bertindak untuk mengadakan perjanjian. Apabila seorang yang berada dibawah pengampuan mengadakan perjanjian, yang mewakilinya adalah orang tuanya atau pengampunya.30

c. Orang perempuan yang bersuami.

Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi tanggung jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu perjanjian. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Ia berada dibawah pengawasan pengampu. Kedudukannya sama dengan seorang anak yang belum dewasa, kalau seorang anak yang belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya, seorang dewasa yang ditaruh dibawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya.

Pada awalnya, seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian memerlukan bantuan atau izin tertulis dari suaminya. Tidak cakapnya seorang perempuan yang bersuami berdasarkan KUH Perdata itu, di Negara Belanda sendiri sudah dicabut karena dianggap tidak sesuai lagi dengan kemajuan zaman. Ketentuan tersebut di Indonesia sudah dihapuskan. Mahkamah Agung menganggap Pasal 108 s/d 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang

30

(40)

istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa bantuan atau izin dari suaminya, sudah tidak berlaku lagi.

Setelah dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963, maka sejak saat itu seorang perempuan yang masih mempunyai suami telah dapat bertindak bebas dalam melakukan perbuatan hukum serta sudah diperbolehkan menghadap di muka pengadilan tanpa seijin suami dan kemudian setelah dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 1963 sejak saat itu beberapa pasal dalam KUH Perdata sudah dinyatakan tidak berlaku lagi, antara lain pasal 108, 110, 284 ayat 3 dan pasal 1238 KUH Perdata.31

d. Orang yang dilarang Undang-undang

Dalam kasus orang yang dilarang oleh undang-undang, dapat diambil contoh dari ketentuan Pasal 1601i KUH Perdata. Dalam ketentuan itu diatur bahwa perjanjian kerja antara suami istri adalah batal, dengan demikian undang-undang melarang suami dan istri untuk membuat perjanjian kerja.

3. Suatu Hal tertentu

Pengertian suatu hal tertentu mengarah kepada barang yang menjadi objek suatu perjanjian yang telah ditentukan dan disepakati. Menurut Pasal 1333 KUH Perdata, barang yang menjadi objek suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan.32

31

A. Qirom Syamsudin Meliala, Op.Cit, hal. 10.

32

(41)

Objek hukum kontrak, menurut R. Setiawan, harus memenuhi beberapa syarat tertentu agar sah, yaitu:33

1. Objeknya harus tertentu atau dapat ditentukan (Pasal 1320 sub 3 KUH Perdata)

2. Objeknya diperkenankan oleh undang-undang (Pasal 1335 dan 1337 KUH Perdata)

3. Prestasinya dimungkinkan untuk dilaksanakan.

Lebih lanjut dijelaskan dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi. Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif. Bersifat positif jika isi perjanjian ditentukan untuk melakukan/berbuat sesuatu (te doen). Ini timbul misalnya dalam perjanjian kerja seperti diatur dalam Pasal 1603 KUH Perdata, pekerja wajib sedapat mungkin melakukan pekerjaan sebaik-baiknya sedangkan bersifat negatif jika isi perjanjian memperjanjikan untuk tidak berbuat/melakukan sesuatu (niet te doen)34

1) memberikan sesuatu,

. Prestasi ini terdiri atas:

2) berbuat sesuatu, dan

3) tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata).

Misalnya, jual beli rumah. Yang menjadi prestasi/pokok perjanjian adalah menyerahkan hak milik atas rumah dan menyerahkan uang harga dari pembelian

33 Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal 68

34

(42)

rumah itu dan dalam perjanjian kerja maka yang menjadi pokok perjanjian adalah melakukan pekerjaan dan membayar upah.35

Pembentuk undang-undang berpandangan bahwa perjanjian mungkin juga diadakan tanpa sebab atau dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang. Perjanjian yang dibuat dengan sebab yang demikian tidak mempunyai kekuatan hukum.

4. Suatu Sebab yang Halal

Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah mengenai isi perjanjian harus dihilangkan kemungkinan salah sangka, bahwa itu adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian yang termaksud. Menurut Yurisprudensi yang ditafsirkan dengan kata sebab adalah isi atau maksud dari perjanjian. Hakim dapat menguji apakah tujuan dari perjanjian itu dapat dilaksanakan dan apakah isi perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.

Mengenai sebab yang halal ini diatur dalam Pasal 1336 KUH Perdata yang menyebutkan:

“Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, ataupun jika ada sebab yang lain, dari pada yang dinyatakan, persetujuannya namun demikian adalah sah”

36

Keempat syarat tersebut dapat dibagi ke dalam dua kelompok yaitu37 1. Syarat Subjektif

:

35

Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori& Teknik penyusunan kontrak, Jakarta, Sinar Grafika, 2003, hal. 34

36

Lihat pasal 1335 KUH Perdata

37

(43)

Syarat subjektif adalah suatu syarat yang menyangkut antara pihak yang mengikatkan diri dan syarat tentang kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.

Dalam syarat subjektif, jika syarat itu tidak dipenuhi perjanjiannya bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan (vernietigbaar). Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas yaitu orang tua atau walinya, atau pun dirinya sendiri apabila kelak sudah menjadi cakap dan/atau pihak yang memberikan izin atau menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas.

Dalam Pasal 1446 KUH Perdata disebutkan bahwa:

semua perikatan yang dibuat oleh orang belum dewasa atau orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan, adalah batal demi hukum, dan atas penuntutan yang dimajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya. Perikatan yang dibuat oleh orang-orang perempuan yang bersuami dan oleh orang-orang belum dewasa yang telah mendapat suatu pernyataan persamaan dengan orang dewasa, hanyalah batal demi hokum, sekedar perikatan-perikatan tersebut melampaui kekuasaan mereka.

Disini perjanjian yang telah dibuat itu tetap mengikat, selama tidak dibatalkan oleh hakim atas tuntutan pihak yang berhak meminta pembatalan. Dengan demikian, kelanjutan perjanjian itu seperti tidak pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak untuk mentaatinya.

(44)

orang yang dalam suatu perjanjian telah memberikan sepakatnya secara tidak bebas, dapat pula menguatkan perjanjian yang dibuatnya, baik secara tegas maupun secara diam-diam. Oleh karena itu, dalam hal adanya kekurangan mengenai syarat subjektif, undang-undang menyerahkan kepada para pihak untuk melakukan pembatalan perjanjian atau tidak. Perjanjian demikian itu tidak batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan.

2. Syarat Objektif

Syarat objektif adalah mengenai objek yang diperjanjikan, yaitu tentang syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Apabila yang tidak terpenuhi dalam suatu perjanjian adalah syarat objektif, perjanjian tersebut batal demi hukum (nietig), karenanya tujuan para pihak untuk membuat suatu perjanjian menjadi batal. Karena objek yang diperjanjikan batal, perjanjiannya otomatis batal demi hukum. Dengan demikian, tidak ada dasar untuk saling menuntut di depan hakim.

(45)

bagian yang merupakan sifat yang melekat pada perjanjian oleh para pihak, seperti ketentuan-ketentuan mengenai domisili para pihak.38

1. Asas kebebasan berkontrak

C. Asas-asas Hukum perjanjian

Di dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas, antara lain:

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak adalah asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

a. membuat atau tidak membuat perjanjian b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun

c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

Asas kebebasan berkontrak yang disebut di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bukan berarti bahwa tidak ada batasannya sama sekali, melainkan kebebasan seseorang dalam membuat perjanjian tersebut hanya sejauh perjanjian yang dibuatnya itu tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum dan undang-undang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1337 KUH Perdata.39

Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaisance melalui

38

Ibid.

39

(46)

antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke, dan Rousseau. Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Pada akhir abad ke-9, akibat desakan paham etis dan sosialis, paham individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham ini tidak mencerminkan keadilan karena paham individualis memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat (ekonomi) untuk menguasai golongan lemah (ekonomi). Masyarakat ingin pihak yang lemah mendapatkan perlindungan. Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum menjaga keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Akibatnya asas kebebasan berkontrak ini semakin sempit dilihat dari beberapa segi, yaitu dari segi: a) kepentingan umum, b) perjanjian baku, dan c) perjanjian dengan pemerintah.40

2. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan meruapakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.

40

(47)

Salah satu bentuk konsensualisme suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis adalah adanya pembubuhan tanda tangan dari pihak yang terlibat perjanjian dimaksud. Tanda tangan mana selain berfungsi sebagai wujud kesepakatan/persetujuan atas tempat dan waktu serta isi perjanjian, juga berhubungan dengan kesengajaan para pihak untuk membuat kontrak sebagai bukti atas suatu peristiwa.41

Terhadap asas konsensualisme ini ada pengecualiannya, yaitu apabila ditentukan suatu formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian dengan ancaman batal apabila tidak dipenuhi formalitas tersebut, seperti misalnya perjanjian penghibahan, jika mengenai benda tidak bergerak harus dilakukan dengan akta notaris, perjanjian harus diadakan secara tertulis. Perjanjian ini dinamakan perjanjian formal.42

3. Asas Keseimbangan

Kata keseimbangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti keadaan seimbang (seimbang-sama berat, setimbang, sebanding, setimpal). Dalam hubungannya dengan kontrak, secara umum asas keseimbangan bermakna sebagai keseimbangan posisi para pihak yang membuat kontrak.43

Menurut AB Massier & Marjanne Termorshuizen-Arts, dalam hubungannya dengan perikatan, keseimbangan (evenwichtigheid) menunjuk dasar bagi keseimbangan dan keserasian dalam kontrak tersurat dalam Pasal 1320 KUH

41

Adriean Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa: Dan berbagai permasalahannya, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, hal. 41.

42

A. Qirom Syamsuddin Meliala, Op.Cit, hal. 21.

43

(48)

Perdata, hanya jika dalam keadaan in concreto ada keseimbangan dan keserasian, maka tercapailah kesepakatan atau konsensus yang sah antara para pihak. Untuk penerapannya hakim memperhatikan adanya indikasi/patokan tertentu yang merupakan dasar bagi kesimpulan bahwa telah terjadi penyalahgunaan keadaan yang dimungkinkan karena adanya ketidakseimbangan kedudukan para pihak.44

Asas keseimbangan menurut Herlien Budiono dilandaskan pada upaya mencapai suatu keadaan seimbang yang sebagai akibat darinya harus memunculkan pengalihan kekayaan secara absah. Tidak terpenuhinya keseimbangan berpengaruh terhadap kekuatan yuridikal kontrak. Dalam terbentuknya kontrak, ketidakseimbangan dapat muncul, karena perilaku para pihak sendiri maupun sebagai konsekuensi dari substansi (muatan isi) kontrak atau pelaksanaan kontrak. Pencapaian keadaan seimbang, mengimplikasikan dalam konteks pengharapan masa depan yang objektif, upaya mencegah dirugikannya satu diantara dua pihak dalam kontrak.45

4. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi perjanjian uang dibuat oleh para pihak.

44

Ibid.

45

(49)

Jadi dengan demikian maka pihak ketiga tidak bisa mendapatkan kerugian karena perbuatan mereka dan juga pihak ketiga tidak mendapatkan keuntungan karena perbuatan mereka itu, kecuali kalau perjanjian itu dimaksudkan untuk pihak ketiga.46

5. Asas Itikad Baik (Goede Trouw)

Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “ Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang “.Menurut Subekti bahwa: “Tujuan asas pacta sunt servanda adalah untuk memberikan perlindungan kepada para pembeli bahwa mereka tak perlu khawatir akan hak-haknya karena perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya”.

Asas itikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.

46

(50)

KUH Perdata hanya mengatur prinsip itikad baik (good faith) pada saat pelaksanaan kontrak; padahal sebenarnya dalam tahap negosiasi itupun sudah timbul hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh para pihak demi menegakkan prinsip itikad baik dan transaksi wajar/jujur ( good faith dan fair dealing). Perlu kita pahami bahwa mekanisme terjadinya kontrak dalam dunia bisnis/komersial selalu didahului oleh tahap negosiasi dimana masing-masing pihak mengajukan letter of intent yang memuat keinginan masing-masing pihak untuk membuat suatu kontrak. Selanjutnya setelah ada kesepahaman atas kehendak untuk mengadakan kontrak tersebut, maka para pihak akan membuat ”Memorandum of Understanding” (MOU) yang memuat keinginan masing-masing pihak sekaligus adanya tenggang waktu pencapaian kesepakatan untuk terjadinya kontrak. Proses inilah yang disebut sebagai proses Prakontrak. Dalam tahap prakontrak ini masing-masing pihak harus menegakkan prinsip itikad baik, yang oleh karena itu jika salah satu pihak beritikad buruk, maka haruslah disediakan sarana hukum berupa hak gugat dan hak untuk menuntut ganti rugi dalam tahap prakontrak.47

Untuk sebagai pedoman, dalam Prinsip Kontrak Komersial International UNIDROIT terdapat prinsip yang relevan dengan penggunaan itikad baik ini, yaitu Prinsip nomor lima, yaitu Prinsip larangan bernegosiasi dengan itikad buruk yang terdapat pada Pasal 2.15 UPICCs (Unidroit Principles of International Commercial Contracts). Jadi dalam prinsip UNIDROIT tanggung jawab hukum telah lahir sejak proses negosiasi. Dan prinsip hukum tentang negosiasi yaitu :

47

(51)

1. Kebebasan negosiasi;

2. Tanggung jawab atas negosiasi dengan itikad buruk;

3. Tanggung jawab atas pembatalan negosiasi dengan itikad buruk.

Tanggung jawab atas negosiasi dengan itikad buruk terbatas hanya pada kerugian yang diakibatkannya terhadap pihak lain. Penuntutan hanya dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip good faith dan fair dealing dari hukum UNIDROIT tersebut; yang dapat ditafsirkan bahwa pihak yang dirugikan hanya dapat menuntut pengembalian atas biaya yang telah dikeluarkan dan atas kehilangan kesempatan untuk melakukan kontrak dengan pihak ketiga. Akan tetapi ia tidak dapat menuntut ganti rugi atas keuntungan yang diharapkan dari kontrak yang batal diadakan itu.48

Seperti di Perancis pihak yang melakukan perundingan tanpa maksud sungguh-sungguh untuk membuat perjanjian atau pihak yang membatalkan perjanjian tanpa alasan yang tepat akan bertanggung jawab kepada pihak lainnya atas dasar perbuatan melawan hukum, bahkan jika perundingan sudah mencapai tingkat yang matang untuk lahirnya suatu perjanjian, pihak yang mengundurkan diri dari perundingan mungkin saja dibebani kewajiban berdasarkan hubungan kontraktual.49

6. Asas Kepatutan

Asas kepatutan mengarahkan substansi atau isi kontrak yang disepakati para pihak yang akan dicantumkan dalam kontrak harus memperhatikan perasaan

48

Ibid.

49

(52)

keadilan (rechtsgevoel) dalam masyarakat. Perasaan keadilan dalam masyarakat inilah yang akan menentukan hubungan hukum diantara para pihak itu patut atau tidak patut, adil atau tidak adil. 50

a. Fungsi melarang, artinya suatu kontrak yang bertentangan dengan asas kepatutan itu dilarang atau tidak dapat dibenarkan. Contoh: dilarang membuat kontrak pinjam-meminjam uang dengan bunga yang amat tinggi, karena bertentangan dengan asas kepatutan. Pemberlakuan asas kepatutan dalam suatu kontrak mengandung dua fungsi, yaitu:

b. Fungsi menambah, artinya suatu kontrak dapat ditambah dengan atau dilaksanakan asas kepatutan untuk mengisi kekosongan dalam pelaksanaan suatu kontrak yang tanpa isian tersebut, maka tujuan dibuatnya kontrak tidak akan tercapai.

Asas kepatutan yang maknanya diuaraikan diatas terkandung secara tegas dalam Pasal 1339 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa:

“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala ssuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.”

7. Asas Kepribadian (Personalitas)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi: “ Pada umumnya seseorang tidak

50

(53)

dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.

Namun, ketentuan itu ada pengecualiannya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang berbunyi:

“Lagipun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada orang lain, memuat suatu janji yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya.

Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.

(54)

D. Bentuk-bentuk dan fungsi Perjanjian

1. Bentuk Perjanjian

Bentuk perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tertulis dan lisan. Perjanjian tertulis adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan. Adapun perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak). Ada dua bentuk perjanjian tertulis, yaitu yang dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan dan akta autentik. 51

Akta dibawah tangan meruapakan akta yang dibuat oleh para pihak. Akta ini dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:52

1. Akta di bawah tangan dimana para pihak menandatangani kontrak itu di atas materai (tanpa keterlibatan pejabat umum);

2. Akta dibawah tangan yang didaftarkan (waarmerken) oleh notaris/pejabat yang berwenang;

3. Akta di bawah tangan dan dilegalisasi oleh notaris/pejabat yang berwenang.

Dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang jabatan Notaris, istilah yang digunakan untuk akta di bawah tangan yang dilegalisasi adalah akta di bawah tangan yang disahkan. Akta di bawah tangan yang disahkan merupakan akta yang harus ditandatangani dan disahkan di depan notaris/pejabat yang berwenang. Makna dilakukan pengesahan terhadap akta di bawah tangan adalah

51

Salim HS, H. Abdullah, Wiwiek Wahyuningsih, Op.Cit, hal.16-17.

Referensi

Dokumen terkait

Dari teknologi ini, hanya tekanan tinggi telah terbukti berkesan dalam menghapuskan semua spora dan enzim disamping mengekalkan tahap mutu yang sama atau lebih

rumusan penelitian ini adalah “adakah hubungan tingkat kemampuan a ktivitas dasar sehari- hari dengan tingkat depresi pada lansia di Panti Wredha Budhi Dharma

Bagi Pemerintah hasil penelitian dapat dijadikan sumber data dalam melakukan pendataan anak jalanan dan penentuan kebijakan guna meningkatkan program promosi

dengan permintaan supaya tanah pertaniannya ditebus kembali ( untuk menolong dia v/ang ), tapi bilamana si penjual gadai itu tidak dapat atau tidak mau me- nebus,

Kedua, hasil kegiatan wawancara yang dilakukan terhadap guru Bahasa Indonesia kelas VIII menyatakan bahwa faktor penyebab kesalahan yang terjadi karena siswa masih

Pada penelitian terdahulu, Dewi (2013) mengungkapkan tentang sejarah munculnya sisingaan yang disebutnya berbarengan dengan ditetapkannya Subang menjadi tanah swasta

Bertolak dari pendapat tersebut, maka tradisi lisan tahuli dan tahuda tidak akan dibahas sebagai karya sastra lisan, melainkan melihat ketiga fungsi tersebut

Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat bahwa rerata kelarutan mengalami peningkatan akibat perlakuan konsentrasi Tween 80, sedangkan perlakuan suhu tidak menunjukkan adanya