• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakterisasi Tepung Tempe dari Empat Varietas Kedelai Impor dan Aplikasinya Menjadi Minuman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakterisasi Tepung Tempe dari Empat Varietas Kedelai Impor dan Aplikasinya Menjadi Minuman"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISASI TEPUNG TEMPE DARI EMPAT VARIETAS

KEDELAI IMPOR DAN APLIKASINYA MENJADI MINUMAN

SKRIPSI

SRI MULYANI

F24070131

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

CHARACTERIZATION OF TEMPEH FLOUR MADE FROM FOUR

VARIETIES OF IMPORTED SOYBEAN AND THE APPLICATION

IN MAKING BEVERAGE

Sri Mulyani, Fahim M Taqi and Made Astawan

Departement of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO Box 220, Bogor,

West Java, Indonesia

Phone: +62 85643355826, email: sri.itp07@yahoo.co.id

ABSTRACT

Tempeh is one of processed soy product obtained by fermenting boiled soybean with Rhizopus oligosporus. Tempeh has been known have many advantages such as good nutritional value and organic compound which contributes to human health. The aim of this research are to make whole tempeh flour from four different varieties of soybean then apply it to be beverage. Four varieties of soybeans result tempeh that have significant difference in physical characteristics but insignificant nutritional composition. Whole tempeh flour made by drying tempeh slice using tray drier at 60 °C for 6 hours. It then compared to commercial soy flour drink. The result showed that four tempeh flour and soy flour drink have insignificant differences in nutritional composition. Meanwhile the process of making whole tempeh flour has some problem and create some weak charateristic of tempeh flour. Some of weakness influenced panelis preference. Organoleptic analysis result showed that F3 was the most prefered composition which contained 10 grams of soybean flour, 15 grams of sugar and 1 gram of sugar. It showed that tempeh flour has some weakness applied to beverages such as precipitation like soy flour. Judging from the proximate composition of tempeh flour can be seen that it has potentials to be developed as a beverage.

(3)

Sri Mulyani. F24070131. Karakterisasi Tepung Tempe dari Empat Varietas Kedelai

Impor dan Aplikasinya Menjadi Minuman. Dibawah bimbingan Fahim M Taqi dan

Made Astawan. 2013

RINGKASAN

Kebutuhan kedelai Indonesia tahun 2010 mencapai 2.6 juta ton, sementara produksi dalam negeri hanya memenuhi sekitar 32.6 % totalnya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pemerintah melakukan kebijakan impor kedelai. Salah satu olahan kedelai yang banyak dikonsumsi oleh penduduk Indonesia adalah tempe. Tempe juga dikenal sebagai salah satu pangan fungsional karena memiliki daya cerna protein yang tinggi serta kandungan beberapa senyawa fitokimia yang baik bagi tubuh. Kelemahan tempe adalah umur simpannya yang cenderung singkat. Salah satu upaya memperpanjang umur simpan tempe adalah pengolahan tempe menjadi tepung. Penelitian ini bertujuan untuk membuat tepung tempe dan mengaplikasikannya menjadi minuman. Selain itu tujuan penelitian adalah menganalisis kandungan gizi dan perubahan pada masing-masing tahap pengolahan dari kedelai hingga menjadi minuman serta membandingkannya dengan bubuk minuman kedelai komersial.

Salah satu parameter yang berpengaruh terhadap kualitas kedelai adalah varietas. Empat varietas kedelai yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kedelai A yang merupakan kedelai komersial dan tiga varietas kedelai baru B, G2 dan H yang diperoleh dari Forum Tempe Indonesia. Tiga varietas kedelai yang baru memiliki massa per 100 biji yang lebih besar dibandingkan kedelai komersial A. Keempat varietas kedelai termasuk dalam kategori ukuran besar yang biasanya disukai oleh produsen tempe. Sementara analisis proksimat pada protein kedelai diperoleh hasil sebesar 37.58-38.85 % dengan daya cerna protein berkisar 70 %.

Pembuatan tempe dilakukan di salah satu industri tempe rumah tangga di Leuwiliang Bogor. Keempat varietas kedelai menghasilkan rendemen tempe yang tidak berbeda nyata pada taraf 0.05. Produsen tempe bersangkutan menyebutkan bahwa tempe dari kedelai B memiliki penampakan yang paling baik karena ukuran bijinya yang besar-besar. Hasil analisis proksimat tempe menunjukkan bahwa komposisi kimia tempe dari keempat varietas hampir tidak berbeda nyata.

Pembuatan tepung tempe dilakukan dengan metode Driyani (2009) dimana proses pengeringan menggunakan pengering rak pada suhu 60 °C selama 6 jam dengan harapan untuk memperoleh keseluruhan bagian tempe. Sayangnya pada proses penggilingan terkendala oleh penyumbatan tepung tempe pada ayakan 80 mesh sehingga tepung tempe yang dihasilkan berukuran maksimal 60 mesh. Tepung tempe yang diperoleh dari keseluruhan bagian tempe memiliki nilai IPA dan IKA yang cenderung rendah. Kedelai merupakan kacang-kacangan yang tinggi serat serta sebagian besar proteinnya berupa globulin yang merupakan komponen tidak larut air. Selain itu proses pengolahan kedelai menjadi tempe ditambah pengeringan menjadi tepung tempe menyebabkan terjadinya denaturasi protein. Namun dilihat dari komposisi kimianya, keempat tepung tempe yang dihasilkan tidak berbeda nyata dengan bubuk minuman kedelai komersial M.

Formulasi minuman tepung tempe dilakukan dengan menambahkan gula dan bubuk coklat dengan pertimbangan preferensi konsumen terhadap minuman. Pemilihan formulasi terpilih dilakukan secara organoleptik pada tepung tempe A sehingga diperoleh formula paling disukai yaitu F3. Komposisi F3 adalah 10 gram tepung tempe, 15 gram gula dan 1 gram bubuk coklat.

(4)

KARAKTERISASI TEPUNG TEMPE DARI EMPAT VARIETAS KEDELAI

IMPOR DAN APLIKASINYA MENJADI MINUMAN

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

SRI MULYANI

F24070131

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Karakterisasi Tepung Tempe dari Empat Varietas Kedelai Impor dan Aplikasinya

Menjadi Minuman

Nama : Sri Mulyani

NIM : F24070131

Menyetujui

Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. If. Made Astawan, M.S.

NIP 19620202 198703 I 004

(6)

Judul Skripsi : Karakterisasi Tepung Tempe dari Empat Varietas Kedelai Impor dan Aplikasinya Menjadi Minuman

Nama : Sri Mulyani NIM : F24070131

Menyetujui

Dosen Pembimbing I

Dr. Fahim M Taqi, S.TP., DEA. NIP 19700101 199512 1 002

Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Made Astawan, M.S. NIP 19620202 198703 1 004

Mengetahui

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc. NIP 19680526 199303 1 004

(7)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Karakterisasi Tepung Tempe dari Empat Varietas Kedelai Impor dan Aplikasinya Menjadi Minuman adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2013 Yang membuat pernyataan

(8)

© Hak cipta milik Sri Mulyani, tahun 2013 Hak cipta dilindungi

(9)

BIODATA PENULIS

Sri Mulyani lahir di Magelang pada 29 April 1989 dari pasangan Bapak Suparlan dan Ibu Warti. Pendidikan formal penulis dimulai dari TK Pertiwi Candimulyo. Penulis melanjutkan pendidikan di SD Negeri Candimulyo 2 pada tahun 1995-2001, SMP Negeri 2 Magelang pada tahun 2001-2004 dan SMA Negeri 1 Magelang pada tahun 2004-2007. Penulis diterima di IPB melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) tahun 2007 pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian.

(10)

KATA PENGANTAR

Tempe merupakan salah satu produk pangan yang diketahui memiliki banyak kelebihan. Penulis mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan untuk menggali pengetahuan mengenai tempe lebih dalam. Skripsi ini disusun dari hasil penelitian penulis yang dilakukan di Laboratorium ITP dan Seafast Center IPB. Meskipun dalam prosesnya masih terdapat beberapa kesalahan, penulis berharap tulisan ini dapat memberikan tambahan informasi bagi pembaca sekalian.

Segala puji bagi Allah SWT yang tak pernah berhenti memberikan rahmat dan hidayah-Nya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Fahim M Taqi, S.TP DEA dan Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS selaku dosen pembimbing atas kesempatan, pembelajaran dan bimbingan yang telah diberikan. Terima kasih kepada Ir. Soetrisno Koswara, M.Si atas kesediaan menjadi dosen penguji sidang, kritik dan sarannya. Terima kasih kepada Dr. Ir. Budi Nurtama, M.Agr dan Ir. Subarna, M.Si atas kesediaan berdiskusi dan berbagi ilmu diluar jam kuliah; Dosen dan staf pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan atas ilmunya. Staf UPT atas keramahtamahan dan kesabarannya. Staf Laboratorium ITP dan Seafast Center IPB atas bantuan selama kuliah dan penelitian. Staf PITP dan LSI atas pelayanan literaturnya. Bapak Warsori selaku pemilik industri tempe serta para karyawannya atas kesediaan membantu dalam penelitian ini.

Keluarga besar ITP terutama angkatan 44 (Ria, Anis, Alm Rina, Puji, Uli, Agy, Hanna, Nurina, Dhina, Tia dan Ratih) atas pertemanannya. Teman-teman Pondok Molekul, Bateng 69 dan Kartika. Rekan-rekan IKMM dan Koran Kampus untuk berbagi pengalamannya. Sahabat-sahabat terdekat: Arin, Lia, Yana, Mbak Nuri, Mbak Tanti, Leni, Nay, Uwen, Uwi, Biah dan Ocha atas persahabatannya. Terima kasih untuk Jelita Naretar atas penjelasan statistiknya.

Keluarga Bapak Warsono, Keluarga Tohardjo Buthuk atas kesempatan dan ijin untuk melanjutkan studi, pembiayaan, kepercayaan dan pembelajarannya; Keluarga Bapak Dedy Setiabudi atas kesempatan tinggal di rumah beliau di Yasmin. Arin, Leni dan Mbak Nur atas kesabaran, pengertian dan keceriaan di Kosan Yasmin; Yana, Sinta dan Lia atas kunjungannya.

Netbook ‘putih’, Running Man, Slamdunk dan capuholic.blogspot.com yang selalu menemani selama menyelesaikan kuliah dan tugas akhir. Keluarga besar SDN Candimulyo 2, SMPN 2 Magelang, SMAN 1 Magelang dan IPB atas ilmu yang diberikan. Supir angkot, supir bis, satpam, pedagang kaki lima, pengamen jalanan, penumpang, pejalan kaki atas pelajaran hidup dan setidaknya seutas senyum yang membangkitkan semangat bagi penulis.

Ucapan terima kasih terbesar penulis ditujukan kepada orang tua penulis, Bapak Suparlan dan Ibu Warti atas segalanya. Terima kasih atas cerita, pelajaran, doa, semangat, kepercayaan dan kesabarannya. Penulis mohon maaf atas segala kesalahan yang telah dilakukan. Meskipun penulis tertatih dalam menjadi pribadi yang lebih baik, terima kasih untuk selalu percaya dan mendukung penulis.

(Orang tuaku mengatakan aku berubah dan berharap aku seperti dulu, jujur aku juga ingin menjadi pribadi yang tegar dan bersemangat seperti dulu. Meskipun telah mengecewakan, ijinkan aku kembali berusaha menjadi anak yang dapat dibanggakan)

Skripsi ini masih memiliki kekurangan, pembaca agar melakukan cross check terhadap sumber referensi lain. Terima kasih dan semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Bogor, Oktober 2013

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ...x

PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang ...1

B. Tujuan Penelitian ...2

TINJAUAN PUSTAKA...3

A. Kedelai ...3

B. Tempe ...7

C. Tepung Tempe ... 14

D. Minuman Serbuk ... 16

METODOLOGI PENELITIAN ... 19

A. Bahan dan Alat ... 19

B. Metode Penelitian ... 19

C. Metode Analisis ... 21

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

A. Karakterisasi Kedelai ... 28

B. Karakterisasi Tempe Kedelai ... 31

C. Karakterisasi Tepung Tempe ... 36

D. Penentuan Formulasi Tepung Tempe ... 43

E. Karakterisasi Minuman Tepung Tempe ... 46

KESIMPULAN DAN SARAN ... 51

A. Kesimpulan ... 51

B. Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 52

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi gizi kedelai per 100 gram ... 4

Tabel 2. Variasi tahap pembuatan tempe kedelai... 9

Tabel 3. Komposisi gizi tempe kedelai ... 11

Tabel 4. SNI 3144:2009 tempe kedelai ... 12

Tabel 5. Faktor mutu protein kedelai dibandingkan tempe ... 12

Tabel 6. SNI 7612-2011 bubuk minuman kedelai ... 18

Tabel 7. Formulasi minuman tepung tempe ... 21

Tabel 8. Karakteristik fisik kedelai ... 29

Tabel 9. Komposisi kimia sampel kedelai ... 30

Tabel 10. Karakteristik fisik tempe ... 33

Tabel 11. Komposisi kimia sampel tempe kedelai ... 34

Tabel 12. Tingkat kesukaan tempe kedelai ... 36

Tabel 13. Karakteristik fisik tepung tempe ... 39

Tabel 14. Komposisi kimia sampel tepung tempe ... 40

Tabel 15. Karakteristik fisik pada formulasi minuman tepung tempe ... 44

Tabel 16. Tingkat kesukaan formulasi minuman tepung tempe ... 44

Tabel 17. Karakteristik fisik minuman tepung tempe ... 46

Tabel 18. Komposisi kimia minuman tepung tempe ... 47

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Analisis panjang biji kedelai ... 57

Lampiran 2. Analisis massa per 100 biji kedelai ... 59

Lampiran 3. Analisis kadar air kedelai... 61

Lampiran 4. Analisis kadar abu kedelai ... 62

Lampiran 5. Analisis kadar protein kedelai ... 64

Lampiran 6. Analisis kadar lemak kedelai ... 66

Lampiran 7. Analisis kadar karbohidrat kedelai by difference... 68

Lampiran 8. Analisis daya cerna protein kedelai ... 68

Lampiran 9. Analisis rendemen tempe ... 69

Lampiran 10. Analisis panjang biji tempe ... 70

Lampiran 11. Analisis kadar air tempe ... 72

Lampiran 12. Analisis kadar abu tempe ... 73

Lampiran 13. Analisis kadar protein tempe ... 74

Lampiran 14. Analisis kadar lemak tempe ... 75

Lampiran 15. Analisis kadar karbohidrat tempe by difference ... 76

Lampiran 16. Rekapitulasi analisis organoleptik tempe ... 77

Lampiran 17. Analisis rendemen tepung tempe... 81

Lampiran 18. Analisis warna tepung tempe dan bubuk minuman kedelai komersial ... 81

Lampiran 19. Analisis indeks penyerapan air tepung tempe dan bubuk kedelai komersial ... 81

Lampiran 20. Analisis indeks kelarutan air tepung tempe dan bubuk kedelai komersial ... 82

Lampiran 21. Diagram pengolahan kedelai menjadi tempe dan tempe menjadi tepung tempe ... 83

Lampiran 22. Analisis kadar air tepung tempe dan bubuk minuman kedelai komersial ... 84

Lampiran 23. Analisis kadar abu tepung tempe dan bubuk minuman kedelai komersial ... 85

Lampiran 24. Analisis kadar protein tepung tempe dan bubuk minuman kedelai komersial... 86

Lampiran 25. Analisis kadar lemak tepung tempe dan bubuk minuman kedelai komersial ... 87

Lampiran 26. Analisis kadar karbohidrat tepung tempe dan bubuk minuman kedelai komersial by difference ... 88

Lampiran 27. Analisis daya cerna protein tepung tempe dan bubuk minuman kedelai komersial ... 88

Lampiran 28. Rekapitulasi analisis organoleptik formulasi tepung tempe ... 90

Lampiran 29. Analisis indeks penyerapan air minuman tepung tempe ... 94

Lampiran 30. Analisis indeks kelarutan air minuman tepung tempe ... 94

Lampiran 31. Analisis warna minuman tepung tempe ... 94

Lampiran 32. Analisis kadar air minuman tepung tempe ... 95

Lampiran 33. Analisis kadar abu minuman tepung tempe ... 95

Lampiran 34. Analisis kadar protein minuman tepung tempe ... 95

Lampiran 35. Analisis kadar lemak minuman tepung tempe ... 96

Lampiran 36. Analisis kadar karbohidrat minuman tepung tempe ... 96

Lampiran 37. Analisis daya cerna protein minuman tepung tempe ... 96

Lampiran 38. Perhitungan energi dan AKG minuman tepung tempe ... 98

(15)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kedelai termasuk salah satu tanaman kacang-kacangan yang biasa digunakan sebagai bahan baku industri makanan, minuman, pupuk hijau serta pakan ternak. Kedelai merupakan komoditi pangan utama di Indonesia setelah padi dan jagung. Kebutuhan kedelai Indonesia tahun 2010 sebesar 2.652 juta ton (Kementerian Pertanian 2012). Sebesar 1.8 juta ton kedelai dialokasikan melalui Kopti untuk memenuhi kebutuhan industri tahu dan tempe. BPS (2013) menyebutkan produksi kedelai kering tahun 2012 sebesar 843.15 ribu ton. Dengan jumlah tersebut, produksi dalam negeri hanya memenuhi sekitar 32.6 %. Untuk mencukupi kekurangan dilakukan impor kedelai dari beberapa negara. Impor kedelai terbesar berasal dari Amerika Serikat yang besarnya mencapai 1.5 juta ton (Kompas 2012).

Kedelai dikenal memiliki kadar protein tinggi dan kebanyakan diolah menjadi beberapa produk pangan yang biasa dikonsumsi sebagai pendamping nasi maupun makanan camilan. Produk olahan kedelai dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu produk fermentasi dan produk non-fermentasi. Produk fermentasi kedelai antara lain tempe, kecap dan tauco; sementara produk non-fermentasi kedelai antara lain tahu, sari kedelai dan tepung kedelai.

Tempe merupakan salah satu produk pangan hasil fermentasi kedelai yang banyak dikonsumsi penduduk Indonesia sebagai lauk karena harganya yang relatif murah. Tempe memiliki penampakan seperti kue yang diselimuti oleh miselium kapang yang menghasilkan aroma dan tekstur khas tempe. Dibandingkan dengan kedelai mentah, tempe memiliki beberapa keunggulan antara lain produk ini memiliki flavor yang lebih dapat diterima dan zat gizi yang terkandung didalamnya lebih mudah dicerna. Dibanding tahu, tempe lebih kaya serat serta zat gizi lainnya karena produk ini menggunakan hampir seluruh bagian kedelai kecuali kulit. Kandungan protein pada tempe hampir menyamai kandungan protein produk hewani. Selain itu tempe juga memiliki khasiat hipokolesterolemik, antidiare, antioksidan dan antitrombotik sehingga dapat digolongkan sebagai pangan fungsional (Cahyadi 2009).

Tempe memiliki kelemahan yaitu masa simpannya relatif singkat, pada suhu ruang tempe hanya mampu bertahan satu sampai dua hari saja. Pengolahan tempe menjadi tepung tempe menjadi salah satu upaya untuk memperpanjang umur simpan tempe. Tepung tempe telah dimanfaatkan antara lain sebagai substitusi tepung terigu pada biskuit (Murdefi 1992) dan makanan tambahan bagi anak (Mardiah 1992).

(16)

B. Tujuan Penelitian

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kedelai

Kedelai merupakan tanaman polong yang sudah dikenal sejak zaman dahulu. Catatan awal penggunaan kedelai sudah ada pada tahun 2853 sebelum masehi yang menyebutkan bahwa kedelai merupakan salah satu dari lima tanaman penting dalam peradaban Cina. Penggunaan kedelai menyebar ke seluruh Asia dimana perkembangan produknya disesuaikan dengan tradisi, iklim dan selera daerah masing-masing (Golbitz and Jordan 2006). Pada tahun 2007 area penanaman kedelai dunia seluas 90.1 juta hektar dengan total produksi sebesar 220.5 juta ton atau dapat dikatakan produktivitas lahan penanaman kedelai sebesar 2.44 ton/hektar. Negara utama penghasil kedelai antara lain Amerika Serikat, Brazil, Argentina, Cina dan India (Singh 2010).

Kedelai termasuk dalam famili Leguminoceae, subfamili Papilionaideae dan genus Glycine. Bagian kedelai yang paling banyak dipakai adalah biji. Biji kedelai berbentuk bulat hingga lonjong panjang. Kebanyakan bijinya berwarna kuning; selain itu juga berwarna hijau, coklat gelap, hitam keunguan atau hitam (Liu 2004a). Biji kedelai terdiri dari 8 % kulit, 90 % kotiledon dan 2 % hipokotil (Sugano 2006). Kotiledon merupakan bagian terbesar dari biji kedelai yang berisi zat makanan terutama protein dan lemak (Budisantoso 1994).

Kedelai digunakan sebagai tanaman pangan serta pakan ternak. Beberapa makanan tradisional Asia yang berbahan dasar kedelai antara lain tahu, miso dan kecap. Sementara di negara-negara barat, dua produk utama yang berasal dari kedelai adalah minyak dan pakan ternak (Hymowitz 2008). Secara umum produk olahan kedelai tradisional atau dikenal sebagai oriental soyfood dibagi menjadi produk non-fermentasi dan fermentasi. Produk kedelai non-fermentasi antara lain susu kedelai, tahu, kecambah kedelai, yuba (kembang tahu), okara dan tepung kedelai. Sementara produk kedelai fermentasi antara lain kecap, miso (tauco), natto, tempe, soygurt, sufu (tahu fermentasi) dan nugget kedelai. Produk kedelai non-fermentasi biasanya digunakan sebagai bahan utama dalam masakan, sementara produk kedelai fermentasi digunakan sebagai bumbu atau kondimen yang ditambahkan dalam jumlah sedikit dalam masakan. Tempe dan natto merupakan produk kedelai hasil fermentasi namun lebih banyak digunakan sebagai bahan utama dalam masakan. Baik tempe maupun natto berkontribusi sebagai zat gizi disamping fungsinya sebagai penambah flavor pada makanan (Liu 2008).

1. Zat Gizi Kedelai

(18)

kedelai biasa digunakan sebagai pelengkap dalam menu makanan dimana dikonsumsi maupun ditambahkan dengan jagung, beras maupun terigu (Winarno 1993).

Tabel 1. Komposisi gizi kedelai per 100 gram

Komposisi gizi Satuan Berat per 100 gram bahan basah

Berat per 100 gram bahan kering

Air g 12.7 14.5

Abu g 5.3 6.1

Protein g 40.3 46.2

Lemak g 16.7 19.1

Karbohidrat g 24.9 28.5

Serat g 3.2 3.7

Mineral

Kalsium mg 221.7 254

Fosfor mg 681.8 781

Besi mg 9.6 11

Vitamin

B1 mg 0.42 0.48

B2 mg 0.13 0.15

B3 mg 0.58 0.67

B5 µg 375.4 430

B6 µg 157 180

B12 µg 0.13 0.15

Biotin µg 30.6 35

AA esensial mg 15 493 17 743

AA tidak esensial mg 22 114 26 475

Total AA mg 37 607 44 218

Sumber: Hermana et al (1996)

Kandungan lemak dalam biji kedelai sekitar 18 % dimana 85 % dari jumlah tersebut merupakan asam lemak tak jenuh. Lemak kedelai memiliki kualitas gizi yang tinggi dengan kandungan asam lemak tak jenuhnya seperti asam linoleat (50.11 %), asam oleat (22.72 %) dan asam linolenat (6.54 %); sementara kandungan asam lemak jenuh kedelai cenderung rendah (15.25 %) yang terdiri dari asam palmitat (11.0 %) dan asam stearat (4.1 %). Asam linoleat (omega 6) dan asam linolenat (omega 3) merupakan asam lemak esensial yang tidak dapat disintesis oleh tubuh sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut perlu konsumsi dari makanan (Boye et al 2010). Selain itu dalam lemak kedelai juga terdapat beberapa fosfolipid penting seperti lesitin, sepalin dan lipositol (Koswara 1992).

(19)

langsung menuju usus besar dan kemudian akan dicerna oleh mikroflora dalam usus. Mikroflora ini akan memecah karbohidrat dengan menghasilkan produk samping berupa gas yang pada beberapa orang dapat menimbulkan gejala flatulensi. Sementara karbohidrat tak larut antara lain selulosa, hemiselulosa dan pektin. Berbeda dengan kacang-kacangan lainnya, kedelai mengandung hanya sedikit pati (Golbitz and Jordan 2006).

Kedelai juga mengandung senyawa mikronutrien yaitu mineral dan vitamin. Mineral utama dalam kedelai antara lain kalium, sodium, kalsium, magnesium, sulfur dan fosfor. Kandungan mineral dalam kedelai yang rendah disebabkan oleh senyawa antigizi seperti fitat, oksalat dan tanin yang menghalangi penyerapan mineral oleh tubuh (Boye et al 2010).

Meskipun tidak dianggap sebagai sumber vitamin, secara umum kedelai memiliki kandungan gizi yang cukup baik. Vitamin larut air dalam kedelai antara lain B1, B2, B3, B5, biotin, asam folat, inositol dan kolin. Sementara vitamin larut lemak yaitu vitamin A dan E. Vitamin A terdapat dalam bentuk provitamin beta karoten yang jumlahnya lebih banyak pada kedelai yang masih mentah dibandingkan pada kedelai kering. Sementara vitamin E terdapat dalam bentuk tokoferol berlimpah dalam lemak kedelai (Golbitz and Jordan 2006).

2. Senyawa Antigizi dan

Off flavor

pada Kedelai

Selain kandungan gizinya yang baik, kedelai memiliki kekurangan yaitu adanya senyawa antigizi dan senyawa off flavor. Senyawa antigizi merupakan senyawa-senyawa kimia yang mengganggu penyerapan zat gizi pangan. Senyawa antigizi tidak bersifat toksik namun keberadaannya dapat menurunkan ketersediaan zat gizi tertentu yang diperlukan oleh tubuh. Senyawa antigizi dalam kedelai antara lain antitripsin, hemaglutinin atau lektin dan asam fitat. Berbeda dengan senyawa antigizi, senyawa off flavor lebih berpengaruh terhadap sifat organoleptik pada produk olahan kedelai. Senyawa off flavor pada kedelai antara lain lipoksigenase dan saponin.

Antitripsin adalah suatu jenis protein yang menghambat kerja enzim tripsin dalam tubuh. Senyawa ini secara alami banyak terdapat pada kacang-kacangan. Berdasarkan uji terhadap tikus, antitripsin menyebabkan pertumbuhan tidak normal pada tikus percobaan yang diberi ransum kedelai mentah. Selain itu tikus juga mengalami hipertrofi (pembengkakan) pankreas (Koswara 1992). Aktivitas antitripsin dalam kedelai dapat dihilangkan dengan perendaman diikuti pemanasan. Pemanasan dapat dilakukan dengan perebusan, pengukusan maupun autoklaf (Santoso 2005).

Hemaglutinin atau lektin dapat menyebabkan penggumpalan sel darah merah pada tikus percobaan. Penggumpalan ini bisa terjadi dalam usus halus sehingga penyerapan zat gizi terganggu yang menyebabkan pertumbuhan terhambat. Tepung kedelai mentah mengandung hemaglutinin sekitar 3 %. Hemaglutinin dapat dihilangkan dengan pemanasan. Inaktivasi hemaglutinin dilakukan dengan pengukusan pada suhu 100 °C selama 15-20 menit, sementara pemanasan dengan autoklaf pada suhu 121 °C cukup dengan waktu 5 menit (Santoso 2005).

Asam fitat dapat mengkelat atau mengikat elemen mineral seng, kalsium, magnesium dan besi sehingga akan mengurangi ketersediaan mineral tersebut secara biologis. Asam fitat juga dapat bereaksi dengan protein membentuk senyawa kompleks yang menyebabkan perubahan konfigurasi protein sehingga kecepatan hidrolisis protein oleh enzim proteolitik dalam sistem pencernaan menjadi terhambat. Kandungan fitat yang tinggi (> 1%) dapat menyebabkan defisiensi mineral. Asam fitat dapat dihilangkan dengan fermentasi, perkecambahan dan perendaman air hangat (Santoso 2005).

(20)

sistem pencernaan manusia menghasilkan enzim α-galaktosidase yang sangat rendah (Winarno 1993). Karena tidak dapat diserap tubuh, oligosakarida langsung menuju kolon dan kemudian akan difermentasi oleh bakteri usus menghasilkan sejumlah gas berupa karbondioksida, hidrogen dan sedikit metana yang juga akan menurunkan pH lingkungannya. Gas ini akan menghasilkan tekanan yang kemudian disebut flatulensi. Upaya untuk menghilangkan oligosakarida dalam kedelai dapat dilakukan dengan perkecambahan dan fermentasi (Santoso 2005).

Pengolahan kedelai biasanya terganggu oleh adanya bau langu dan rasa pahit pada produk. Hal ini disebabkan oleh adanya senyawa off flavor dalam kedelai. Enzim lipoksigenase bertanggung jawab terhadap munculnya bau langu dimana enzim tersebut berperan sebagai katalisator terjadinya hidrolisis atau penguraian lemak kedelai menjadi senyawa-senyawa penyebab bau langu berupa senyawa volatil yang mudah menguap. Pada pembuatan susu kedelai, enzim lipoksigenase dapat dihilangkan dengan pemakaian air panas saat penggilingan kedelai dilanjutkan merebus susu kedelai pada suhu 80 °C selama 10-15 menit (Winarno 1996). Enzim lipoksigenase juga dapat dihilangkan dengan perendaman kedelai dalam air maupun larutan Na2CO3 (natrium bikarbonat) 0.5 % semalaman.

Sementara rasa pahit dan rasa kapur disebabkan oleh senyawa glikosida seperti soyasaponin dan sapogenol dalam kedelai dan produk non-fermentasi (Santoso 2005). Pada pembuatan sari kedelai, penghilangan rasa pahit dilakukan dengan perendaman kedelai menggunakan larutan natrium fosfat 5 gram, kalium hidroksida 10 gram dan natrium bisulfit 10 gram per 1 kg kedelai (Winarno 1996)

3. Senyawa Fitokimia Kedelai

Kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan meningkatkan permintaan akan produk pangan fungsional. Pangan fungsional merupakan produk pangan yang memiliki manfaat bagi kesehatan. Salah satu zat yang memberikan efek kesehatan adalah fitokimia. Fitokimia merupakan senyawa kimia yang berasal dari tumbuhan yang memiliki manfaat bagi tubuh. Dalam kedelai ditemukan pula fitokimia antara lain isoflavon, asam lemak, asam amino, asam fitat, fitoestrogen, glukosida, saponin, lesitin, oligosakarida, tokoferol, sterol, dan tripsin inhibitor (Panthee 2010, Liu 2004b). Beberapa senyawa yang awalnya diketahui sebagai senyawa antigizi ternyata memiliki manfaat tertentu, sebagai contoh oligosakarida.

Lesitin kedelai merupakan kelompok fosfolipid yang secara alami terdapat dalam kedelai yang jumlahnya sekitar 1-3 %. Lesitin terbentuk dari fosfatidilkolin, fosfatidiletanolamin, fosfatidillinositol dan asam fosfatidil. Lesitin memiliki beberapa manfaat dalam pangan seperti emulsi, pembasahan, koloid dan antioksidan. Selain itu lesitin juga memiliki manfaat bagi tubuh (Liu 2004b). Lesitin kedelai dapat mencegah penyakit jantung koroner, stroke, dimensia (penurunan daya ingat), membantu menurunkan kadar lemak jenuh dalam darah, membantu regulasi tubuh, mencegah penuaan dan penyakit Parkinson.

(21)

Fitosterol merupakan komponen yang strukturnya menyerupai kolesterol. Terdapat sekitar 44 jenis fitosterol yang telah ditemukan dalam tanaman, namun tiga jenis fitosterol yang ditemukan dalam kedelai adalah betasitosterol, campesterol dan stigmasterol. Fitosterol dikenal memiliki kemampuan untuk menurunkan kolesterol dan mengurangi resiko kanker (Liu 2004b).

Saponin termasuk dalam senyawa glikosida dan dapat menimbulkan rasa pahit dalam kedelai dan produk non-fermetasinya (Santoso 2005). Bagian kulit biji dan lembaga hanya menyumbang 7.2 % berat kedelai tetapi mengandung 27 % dari total saponin A. Oleh karena itu, bagian kulit biasanya tidak diikutkan dalam proses pembuatan makanan olahan kedelai.

Meskipun awalnya dianggap sebagai senyawa antigizi, oligosakarida dalam kedelai merupakan serat pangan, salah satu zat yang baik bagi kesehatan. Kandungan serat pangan yang tinggi pada kedelai dikuatkan dengan indeks glikemik kedelai yang rendah Hal ini membuat kedelai direkomendasikan untuk penderita diabetes, untuk menjaga berat badan dan hiperkolesterolamik. Selain itu, keberadaan oligosakarida (stakiosa dan rafinosa) diketahui berperan sebagai prebiotik dan dapat mencegah kanker usus besar (Boye et al 2010).

B. Tempe

Tempe merupakan salah satu produk fermentasi berbahan dasar kedelai. Beberapa produk fermentasi berbahan baku kedelai lainnya adalah miso, shoyu, natto, sufu dan soygurt (Raghuvanshi and Bisht 2010). Produk pangan fermentasi dapat didefinisikan sebagai produk pangan yang dihasilkan oleh adanya aktivitas enzim mikroorganisme yang menyebabkan perubahan yang signifikan baik secara fisik maupun biokimia pada bahan makanan. Fermentasi biasanya dilakukan secara langsung pada kedelai yang telah dimasak dengan menambahkan starter mikroorganisme tertentu pada kondisi yang spesifik sesuai dengan produk yang diinginkan.

Tempe dipercaya berasal dari Indonesia. Tempe yang paling populer adalah tempe kedelai atau lebih dikenal dengan tempe saja. Sebenarnya terdapat berbagai jenis tempe yang dibuat dengan prinsip yang hampir sama dengan tempe kedelai namun menggunakan bahan baku yang berbeda. Beberapa jenis tempe tersebut antara lain tempe gembus (ampas tahu), tempe bungkil (kacang tanah), tempe bongkrek (kelapa) dan tempe benguk (bungkil kedelai) (Widowati 2004).

Pada proses fermentasi kedelai menjadi tempe digunakan starter kapang atau yang lebih dikenal dengan ragi tempe. Starter ini mengandung biakan jamur tempe dimana sebagian besarnya merupakan spesies kapang Rhizopus. Jenis kapang yang biasa terdapat dalam tempe yaitu R oligosporus, R orizae, R stolonifer dan R arrizhus (Syarief et al 1999). Meskipun prinsipnya digunakan kapang R oligosporus dalam proses fermentasi tempe, berbagai bakteri baik dengan maupun tanpa spora terdapat dalam tempe. Selain itu selama proses fermentasi tempe juga ditemukan khamir dan mikroorganisme lain (Liu 2004b).

Tempe segar berbentuk seperti kue, yang diselimuti oleh miselium putih dan memiliki aroma khas tempe. Berbeda dengan produk fermentasi kedelai lainnya yang biasa digunakan sebagai bumbu, tempe disajikan sebagai hidangan utama atau pengganti daging. Tempe juga dibuat dengan singkat dan mudah. Karena bentuknya yang seperti daging dan flavor seperti jamur, kini tempe menjadi makanan populer untuk vegetarian (Liu 2004b).

1. Proses Pembuatan Tempe Kedelai

(22)

sebenarnya hampir sama. Secara garis besar pembuatan tempe dapat dibagi menjadi dua yaitu proses pendahuluan dan proses pemeraman. Variasi tahapan proses pembuatan tempe terjadi pada tahap pendahuluan. Setidaknya terdapat tujuh variasi dalam pembuatan tempe yang terdiri dari 8 hingga 12 tahap. Variasi tahap pembuatan tempe dapat dilihat pada Tabel 2.

Proses pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan kedelai masak tanpa kulit dan mempunyai kondisi yang cocok untuk pertumbuhan kapang. Proses pendahuluan biasanya meliputi tiga tahap yaitu pemasakan, perendaman dan pengupasan kulit. Proses pemasakan ada yang dilakukan sekali tetapi ada pula yang dilakukan dua kali. Pada pemasakan yang dilakukan satu kali kedelai dimasukkan dalam air mendidih bersuhu 95 °C selama 1-2 jam. Sementara pemasakan dua kali dilakukan dengan pemanasan pertama selama 30 menit dan pemanasan kedua selama 60-90 menit. Pemasakan dilakukan untuk mengurangi jumlah mikroba yang tidak dikehendaki dalam biji kedelai, melunakkan serta memasak biji kedelai. Perendaman biasa dilakukan sekali dalam waktu 10 jam hingga semalaman dengan tujuan mendapatkan hidrasi penuh dan fermentasi asam laktat. Akibat dari proses hidrasi akan mempermudah pengupasan, sementara fermentasi asam laktat ditujukan untuk menyeleksi mikroba yang tumbuh saat proses pemeraman. Pengupasan kulit bertujuan menghilangkan kulit. Kulit perlu dihilangkan untuk memungkinkan penetrasi asam dan miselium kapang ke dalam biji kedelai. Miselium kapang tidak dapat menembus lapisan kulit ari karena mengandung zat tanduk yang keras (Hermana dan Karmini 1996). Pengolahan tempe metode I dilakukan dengan pengupasan kedelai secara kering. Pembuatan tempe ini diawali dengan perlakuan pendahuluan berupa pemanasan biji kedelai utuh sehingga kulitnya kering dan mudah terkelupas. Perlakuan pendahuluan dimaksudkan untuk mengurangi kehilangan zat gizi dari biji kedelai selama perendaman (Syarief et al 1999). Metode kering sulit dilakukan di Indonesia dikarenakan kedelai yang biasanya dipasarkan berupa kedelai berkulit. Namun hal ini memungkinkan jika dilakukan oleh produsen tempe di Amerika dan Eropa (Astuti 1996).

Kedelai masak yang telah ditiriskan dan didinginkan ditambahkan dengan ragi, kemudian dibungkus dalam daun pisang maupun plastik yang telah dilubangi. Proses pemeraman atau fermentasi dilakukan dalam suhu kamar. Selama proses pemeraman perlu diperhatikan masalah kelembaban dan kadar oksigen. Kelembaban yang terlalu rendah akan menghambat pertumbuhan kapang, sementara kelembaban yang terlalu tinggi akan memungkinkan bakteri tumbuh terlebih dahulu daripada kapang. Kadar oksigen yang terlalu rendah menyebabkan pertumbuhan kapang yang tidak baik, sementara kadar oksigen yang terlalu tinggi menyebabkan pertumbuhan kapang yang terlalu pesat (Hermana et al 1996).

2. Perubahan yang Terjadi selama Proses Fermentasi

Proses fermentasi pada pembuatan tempe sebenarnya terjadi dua kali yaitu saat perendaman dan pemeraman. Proses perendaman semalaman pada suhu ruang memberikan kesempatan untuk tumbuhnya bakteri pembentuk asam organik seperti Lactobacillus sp. Bakteri ini bersifat menguntungkan karena dapat mencegah tumbuhnya bakteri lain serta memberikan kondisi asam dengan pH 4.5-5.3 yang optimal bagi tumbuhnya kapang saat pemeraman (Pawiroharsono 1996).

(23)

Tabel 2. Variasi tahap pembuatan tempe kedelai

Tahapan Metode

I II III IV V VI VII

1 Penghilangan kulit Perebusan Perendaman Perebusan Perebusan Perendaman Perendaman

2 Pencucian Perendaman Penghilangan kulit Perendaman Pendinginan Perebusan Perebusan 3 Perebusan Penghilangan kulit Pencucian Penghilangan kulit Penghilangan kulit Pencucian Pendinginan

4 Penirisan Pencucian Perebusan Pencucian Pencucian Perebusan Penghilangan kulit

5 Pendinginan Penirisan Penirisan Perebusan Perendaman Pendinginan Pencucian 6 Inokulasi Inokulasi Pendinginan Penirisan Perebusan Penghilangan kulit Perendaman

7 Pembungkusan Pembungkusan Inokulasi Pendinginan Penirisan Pencucian Perebusan

8 Inkubasi Inkubasi Pembungkusan Inokulasi Pendinginan Penirisan Penirisan

9 Inkubasi Pembungkusan Inokulasi Inokulasi Pendinginan

10 Inkubasi Pembungkusan Pembungkusan Inokulasi

11 Inkubasi Inkubasi Pembungkusan

12 Inkubasi

(24)

Pengolahan kedelai menjadi tempe mampu mengurangi bahkan menghilangkan senyawa antigizi yang dianggap merugikan. Selama fermentasi tempe, terjadi aktivitas enzim fitase yang dihasilkan oleh kapang. Enzim ini dapat mengurai senyawa fitat, zat antigizi yang umum terkandung dalam kedelai menjadi inositol dan fosfat. Fitat dapat membentuk kompleks dengan berbagai senyawa, misalnya mineral sehingga dapat menghambat penyerapannya dalam usus manusia. Dengan terurainya fitat pada kedelai selama fermentasi tempe, penyerapan mineral dalam tubuh manusia menjadi lebih maksimal. Senyawa antigizi tak tahan panas seperti antitripsin dan hemaglutinin juga dapat dihilangkan selama perebusan dan perendaman (Winarno 1996).

Kapang menghasilkan berbagai enzim yang memecah komponen gizi dalam kedelai. Aktivitas enzim amilase terutama dihasilkan oleh R oryzae terjadi pada periode pemeraman 0-12 jam dan mencapai puncaknya pada fermentasi 12 jam. Pada fermentasi 12-36 jam akan terjadi aktivitas enzim protease yang dihasilkan terutama oleh R oligosporus dan kapang campuran lainnya, sementara aktivitas enzim protease dari R oryzae cenderung rendah. Aktivitas protease tertinggi terjadi pada pemeraman 36-72 jam. Pada periode ini selain terjadi hidrolisa protein menjadi asam amino juga terjadi pembentukan amonia. Kecepatan hidrolisis protein tertinggi R oligosporus terjadi pada pemeraman 12-24 jam dan jumlah protein hidrolisat tertinggi diproduksi pada fermentasi 24 jam. Aktivitas enzim lipase yang dilakukan oleh R oligosporus mencapai jumlah optimum pada fermentasi 36 jam (Hermana dan Karmini 1996). Proses pemeraman dapat dilanjutkan hingga 72 jam namun peningkatan yang terjadi tidak signifikan dan jumlah amonia yang dihasilkan justru semakin besar.

Selama proses fermentasi terjadi penguraian komponen-komponen gizi seperti protein dan lemak oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh kapang sehingga mempermudah penyerapannya dalam usus manusia. Dibandingkan dengan kedelai yang tidak difermentasi, pengolahan tempe dengan fermentasi meningkatan asam amino bebas dan asam lemak bebas. Sementara kadar protein dan kadar abu pada tempe cenderung tidak berubah secara signifikan.

Proses fermentasi juga menyebabkan peningkatan beberapa vitamin seperti B2, B6, B3, B5, biotin dan folacin. Selain itu terjadi pembentukan vitamin B12 yang disebabkan oleh bakteri kontaminasi yaitu Klebsiella pnemoniae dan Citrobacter freundii (Liu 2004b). Vitamin B12 disintesis oleh bakteri dan sangat diperlukan oleh tubuh. Kebanyakan orang memperoleh vitamin B12 dari produk susu, telur dan daging. Hewan dapat mensintesis vitamin B12 di sepanjang alat pencernaan, sementara manusia hanya dapat mensintesisnya di usus besar sehingga tidak dapat diserap oleh tubuh (Shurtleff and Aoyagi 2001).

3. Zat Gizi dan Khasiat Tempe

Tempe mempunyai kandungan gizi protein yang merupakan zat gizi potensial bagi penduduk Indonesia karena nilai gizinya sebanding dengan sumber protein hewani seperti daging sapi, susu sapi dan telur ayam (Koswara 1992). Komposisi gizi pada tempe dapat dilihat pada Tabel 3, sementara standar SNI tempe kedelai dapat dilihat pada Tabel 4.

(25)

Tabel 3. Komposisi gizi tempe kedelai

Komposisi gizi Satuan Berat per 100 gram bahan basah

Berat per 100 gram bahan kering

Air g 55.3 123.7

Abu g 1.6 3.6

Protein g 20.7 46.5

Lemak g 8.8 19.7

Karbohidrat g 13.5 30.2

Serat g 3.2 7.2

Mineral

Kalsium mg 155.1 347

Fosfor mg 323.6 724

Besi mg 4.0 9

Vitamin

B1 mg 0.12 0.28

B2 mg 0.29 0.65

B3 mg 1.13 2.52

B5 µg 232.4 520

B6 µg 44.7 100

B12 µg 1.7 3.9

Biotin µg 23.7 53

AA esensial mg 8,428 18,852

AA tidak esensial mg 11,341 25,369

Total AA mg 19,769 44,221

Sumber: Hermana et al (1996)

Dengan kadar protein yang tinggi sekitar 40-50 % basis kering, tempe biasa disajikan sebagai komponen pelengkap untuk makanan pokok seperti beras dan digunakan sebagai pengganti daging atau ikan. Dari seluruh protein dalam tempe, sebesar 56 % dapat dimanfaatkan oleh manusia. Konsumsi tempe 100 gram per hari, dapat memenuhi 25 % kebutuhan protein pada orang dewasa (Syarief et al 1999). Diperkirakan konsumsi tempe di Indonesia sekitar 19-34 gram per hari per orang. Biasanya tempe tidak disajikan mentah tetapi dengan dipanaskan terlebih dahulu untuk menimbulkan flavor khas dengan cara digoreng, dimasak santan, direbus, dibakar maupun dijadikan sambal (Nout and Kiers 2004).

(26)

dicerna dan diserap karena kelarutan proteinnya meningkat (Syarief et al 1999). Daya cerna protein meningkat dari kedelai sebesar 75 % menjadi 83 % setelah menjadi tempe. Hal ini menunjukkan bahwa fermentasi kedelai menjadi tempe dapat meningkatkan ketersediaan zat gizi bagi manusia.

Tabel 4. SNI 3144:2009 tempe kedelai

No Kriteria uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan

1.1 Bau - Normal, khas

1.2 Warna - Normal

1.3 Rasa - Normal

2 Kadar air (b/b) % Maks 65

3 Kadar abu (b/b) % Maks 1.5

4 Kadar lemak (b/b) % Min 10

5 Kadar protein (Nx6.25)(b/b) % Min 16 6 Kadar serat kasar (b/b) % Maks 2.5

7 Cemaran logam

7.1 Kadmium (Cd) mg/kg Maks 0.2

7.2 Timbal (Pb) mg/kg Maks 0.25

7.3 Timah (Sn) mg/kg Maks 40

7.4 Merkuri (Hg) mg/kg Maks 0.03 8 Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks 0.25

9 Cemaran mikroba

9.1 Bakteri koliform APM/g Maks 10

9.2 Salmonella sp - Negatif/25 g

Sumber: BSN (2009)

Tabel 5. Faktor mutu protein kedelai dibandingkan tempe

Faktor mutu gizi Satuan Kedelai rebus Tempe

Padatan terlarut % 14 34

Nitrogen terlarut % 6.5 39

Asam amino bebas % 0.5 7.3-12

Asam lemak bebas % 0.5 21

Nilai cerna % 75 83

Nilai efisiensi protein - 1.6 2.12

Skor protein - 75 78

Sumber: Hermana et al (1996)

(27)

memiliki efek penurunan terhadap kandungan kolesterol pada serum sehingga dapat menurunkan efek negatif sterol dalam tubuh (Astawan 2009).

Kandungan serat dalam tempe cukup tinggi, sekitar 8-10 %. Serat akan membentuk ikatan intraluminal dalam usus dengan kolesterol dan asam empedu yang akhirnya akan dikeluarkan melalui feses. Hal ini dapat mengurangi sirkulasi enterohepatik asam empedu dan meningkatkan perubahan kolesterol menjadi asam empedu sehingga kolesterol plasma menurun (Arbai 1996). Tempe juga merupakan produk olahan kedelai yang kaya serat pangan selain dari kedelai juga dari miselium yang dihasilkan oleh kapang. Serat pada tempe dapat mencegah penyakit saluran pencernaan seperti diverticulosis, kanker dan hernia. Serat pangan ini juga mampu mencegah penyumbatan pembuluh darah sehingga mengurangi resiko jantung koroner dan hipertensi (Astawan 2009).

Dibandingkan dengan kedelai mentah, tempe tidak hanya memiliki flavor yang lebih dapat diterima, tetapi juga kandungan gizi yang lebih mudah dicerna. Proses fermentasi tempe dapat mempertahankan sebagian besar zat gizi yang terkandung dalam kedelai, meningkatkan daya cerna proteinnya, serta meningkatkan kadar beberapa macam vitamin B (Muchtadi 2010a).

Adanya kandungan vitamin B12 pada tempe, dipandang sebagai sesuatu yang unik oleh para ahli. Vitamin ini tidak diproduksi oleh kapang tempe, tetapi oleh bakteri kontaminan seperti Klebsiella pneumonia dan Citrobacter freundii yang sebenarnya merupakan mikroba kontaminasi. Vitamin B12 sangat berguna untuk membentuk sel-sel darah merah dalam tubuh sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit anemia (kurang darah). Tempe mengandung vitamin B12 yang potensial dari bahan pangan nabati. Kadar vitamin B12 pada tempe bervariasi sekitar 0.07-4.6 mg/100 gram. Aktivitas vitamin B12 meningkat sampai 33 kali selama fermentasi dari kedelai, vitamin B2 naik sekitar 8-47 kali, vitamin B6 naik 4-14 kali, vitamin B3 naik 2-5 kali, biotin naik 2-3 kali, asam folat naik 4-5 kali dan vitamin B5 naik 2 kali lipat (Astawan 2009). Vitamin B2 merupakan salah satu vitamin B komplek yang dapat menurunkan kadar lemak dalam darah dengan meningkatkan katabolisme VLDL oleh enzim lipoprotein lipase (Astawan 2009).

Adanya enzim fitase yang dihasilkan oleh kapang selama proses fermentasi menguraikan asam fitat dengan berat molekul tinggi (inositol heksa fosfat) dalam kedelai menjadi asam fitat dengan berat molekul lebih rendah. Penguraian zat fitat ini membebaskan fosfat dan biotin yang dapat digunakan oleh tubuh. Hilangnya fitat memberikan penyerapan mineral yang lebih baik. Selama proses fermentasi berlangsung, ketersediaan kalsium, zat besi dan seng meningkat. Kandungan mineral per 100 gram tempe antara lain besi (9.39 mg), tembaga (2.87 mg) dan seng (8.05 mg). Asam fitat merupakan salah satu senyawa dalam kedelai yang mengikat zat besi menjadi senyawa kompleks yang tidak larut. Pengolahan kedelai menjadi tempe dapat meningkatkan zat besi terlarut dari 24.29 % pada kedelai menjadi 40.52 % setelah fermentasi 48 jam yang baik dalam menanggulangi masalah anemi besi (Astuti 1996b).

(28)

merangsang mutasi genetik yang menimbulkan pertumbuhan sel tak terkendali yang lebih dikenal dengan sel kanker (Syarief et al 1999).

Kandungan dalam tempe yang diduga memiliki sifat hipokolesterolamik atau menurunkan lipid darah adalah protein, asam lemak tak jenuh ganda, serat, niasin, vitamin E, karotenoid isoflavon dan kalsium. Protein tempe menurunkan umpan balik negatif terhadap perubahan kolesterol menjadi asam empedu serta meningkatkan reseptor LDL. Asam lemak tak jenuh ganda menurunkan kadar kolesterol dengan merangsang ekskresi kolesterol menjadi asam empedu, meningkatkan regulasi reseptor LDL sehingga proses katabolisme LDL dipercepat dan kolesterol plasma didistribusikan ke dalam jaringan (Arbai 1996).

Tempe juga berperan dalam penanggulangan diare anak. Diare merupakan suatu ketidaknormalan pada sistem pencernaan yang ditandai dengan pengeluaran tinja yang memiliki konsistensi lembek secara frekuen. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan mukosa usus, sindroma malabsorpsi dan perubahan ekologi isi usus yang diikuti dengan kehilangan cairan tubuh (air dan elektrolit) serta kehilangan gizi. Dalam penyembuhannya perlu dilakukan rehidrasi. Dasar pengobatan rehidrasi oral adalah mengganti cairan tubuh yang hilang, kemampuan penyerapan air dan elektrolit mukosa usus dan komplementasi antara ion natrium dan glukosa untuk memberikan kondisi serapan yang optimal. Penggunaan tempe dan air tajin dalam superoralit memberikan hasil cukup baik. Superoralit dibuat dari 40-50 gram tempe rebus atau 17-20 gram tepung tempe yang dicampurkan dengan satu liter air tajin dengan ditambahkan elektrolit natrum klorida, kalium klorida serta natrium bikarbonat. Secara praktis dapat diberikan 4-5 gram garam dapur. Air tajin diperoleh dari air rebusan nasi atau dengan memasak 2 sendok makan tepung beras (8 gram) tepung beras dalam satu liter air. Sebagian tepung beras dapat diganti dengan gula pasir sehingga diperoleh rasa yang manis. Keuntungan tempe sebagai makanan pasca diare diantaranya tekstur seluler yang unik, daya cerna tempe yang baik serta nilai gizi tempe yang tinggi akan kandungan protein dan asam amino (Sudigbia 1996).

C. Tepung Tempe

Tempe segar biasa diambil setelah fermentasi selama 1-2 hari dimana telah terbentuk tekstur padat akibat miselium kapang yang menyelimuti butir kedelai. Namun di pasaran, penjualan tempe biasanya dilakukan dalam empat fase tempe yaitu tempe prematur (4-6 jam fermentasi), mature (1-2 hari fermentasi), sligtly overripe (2-3 hari fermentasi) dan overripe atau tempe busuk (3-5 hari fermentasi) (Shurtleff and Aoyagi 2001).

Tempe segar memiliki kandungan air yang sangat besar sekitar 60 % serta mikroorganisme yang terus menerus melakukan perubahan sehingga tempe tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama. Usaha untuk memperpanjang umur simpan tempe dapat dilakukan dengan cara pengeringan, penggorengan, pasteurisasi, pendinginan, pembekuan maupun kombinasi dari proses tersebut. Produk olahan tempe dapat dibagi menjadi tiga yaitu generasi I, II dan III. Produk generasi I memiliki penampakan dan cita rasa yang masih melekat dengan kekhasan tempe sebagai bahan bakunya, contohnya tempe goreng, keripik tempe dan tempe mendoan. Produk generasi II secara inderawi sudah sulit dikenali akibat proses pengolahan namun masih memiliki cita rasa yang khas tempe. Contoh produk generasi II yaitu kerupuk tempe, tepung tempe dan snack tempe. Sementara produk generasi III tidak memiliki sifat baik fisik maupun indrawi khas tempe sebagai bahan asalnya. Produk generasi III biasa diperoleh dengan cara ekstraksi maupun isolasi untuk memperoleh zat tertentu dalam tempe (Syarief et al 1999).

(29)

yang kering sehingga pertumbuhan mikroorganisme dan reaksi kimia dapat dihambat. Kelebihan bentuk tepung dibandingkan bentuk lain adalah mudah dicampurkan dengan bahan lain untuk meningkatkan nilai gizinya, mudah disimpan dan diolah menjadi makanan (Mardiah 1992).

1. Pembuatan Tepung Tempe

Tepung tempe dibuat dari tempe yang dihancurkan melalui tahapan proses blansir, penggilingan, pengeringan, penepungan dan pengayakan (Syarief et al 1999). Sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk membuat tepung tempe. Berbagai parameter diubah untuk menghasilkan tepung yang berkualitas baik.

Proses pemotongan tempe bertujuan untuk memperkecil ukuran bahan yang berpengaruh terhadap lama pengeringan. Blansir bertujuan untuk menginaktivasi enzim kapang pada tempe. Pengukusan merupakan cara blansir paling efektif karena memiliki berbagai kelebihan seperti tidak melarutkan vitamin B dan zat larut air lainnya. Inayati (1991) menyatakan bahwa proses blansir selama 10 menit dan pengeringan dengan suhu 60 °C selama 24 jam menghasilkan tepung tempe dengan derajat putih yang paling baik. Penggunaan suhu 60 °C diharapkan dapat mengurangi kemungkinan reaksi pencoklatan serta kerusakan gizi yang terkandung dalam tempe. Sementara penambahan antioksidan asam askorbat dan asam eritrobat dalam berbagai konsentrasi saat blansir tidak memberikan perbedaan nyata.

Mardiah (1992) melakukan proses pengeringan tempe menggunakan berbagai kombinasi suhu dan waktu pengeringan. Pengeringan dibawah 50 °C menghasilkan tepung yang tidak kering dan justru berbau amonia serta tumbuh kapang hitam. Hal ini diduga karena masih terjadi aktivitas kapang. Pengeringan selama lebih dari 26 jam dan atau di atas suhu 70 °C menghasilkan tempe yang terlalu kering dan berwarna gelap. Perubahan ini terjadi karena reaksi browning non-enzimatis antara asam amino dan gula pereduksi.

2. Penggunaan Tepung Tempe

Penggunaan dalam resep oriental maupun western, tempe dapat diproses menjadi serbuk yang lebih mudah digunakan dalam formulasi pangan maupun pakan. Penggunaan tempe sebagai penyembuhan malnutrisi protein di Indonesia memberikan gambaran bahwa tempe memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan makanan yang dilengkapi kedelai tanpa fermentasi. Malnutrisi protein biasanya terjadi pada negara-negara berkembang karena kurangnya asupan ASI, penggunaan makanan pelengkap yang kurang energi dan gizi serta tingginya angka diare dan infeksi. Fermentasi campuran kedelai dan sereal memiliki potensial yang besar sebagai pelengkap makanan (Nout and Kiers 2004).

(30)

D. Minuman Serbuk

Beberapa tahun terakhir, kebutuhan akan produk pangan siap saji semakin besar. Hal ini disebabkan keinginan konsumen untuk memperoleh produk sesuai keinginan yang mudah dan cepat disajikan baik dengan persiapan minimal maupun tanpa persiapan dalam penyajiannya (Marabi and Saguy 2009). Kelebihan produk dalam bentuk kering antara lain biaya transportasi yang lebih kecil, menambah umur simpan serta kemudahan dalam penggunaan. Salah satu hal yang menjadi perhatian dalam pengeringan adalah kemampuan rehidrasi dan rekonstitusi produk seperti semula. Kualitas produk yang direhidrasi maupun direkonstruksi dipengaruhi oleh kondisi pengeringan yang digunakan. Selama proses pengeringan terjadi perubahan fisikokimia seperti perubahan tekstur dan struktur, hilangnya komponen volatil dan gizi.

Minuman merupakan salah satu dari komponen yang dikonsumsi oleh manusia. Komponen utama dari minuman adalah air. Klasifikasi minuman secara umum dibagi menjadi dua yaitu minuman alkoholik dan non-alkoholik. Minuman non-alkoholik dapat dibagi menjadi air, minuman berbasis susu, minuman berbasis kedelai, sari buah, kopi, teh, minuman ringan dan minuman berenergi (Beverages Institut 2012).

Saat ini masyarakat cenderung memilih mengkonsumsi produk dengan kemasan dan cara penyajiannya yang lebih praktis dan cepat karena tidak memerlukan banyak waktu dalam mempersiapkannya. Hal yang mendasari minuman instan adalah kepraktisan karena hanya menyeduh serbuk dengan air hangat kemudian diminum. Serbuk minuman instan dapat digunakan dalam jangka lama karena berbentuk kering sehingga tahan selama penyimpanan sampai waktu tertentu.

1. Pembuatan Minuman Serbuk

Minuman instan merupakan minuman siap saji dimana hanya dengan penambahan air dengan atau tanpa penambahan satu atau lebih bahan tambahan lainnya sehingga minuman lebih disukai oleh konsumennya. Kebanyakan minuman instan memiliki bentuk serbuk. Instanisasi memiliki kelebihan antara lain mempermudah proses pendistribusian serta memperpanjang masa simpan produk. Syarat minuman instan adalah dapat dituang tanpa tersumbat, tidak higroskopis, tidak menggumpal, mudah dibasahi serta mudah larut.

Pengeringan produk minuman dapat dilakukan dengan berbagai metode antara lain pengering drum, pengering semprot dan pengering beku. Metode pengeringan drum dilakukan dengan mengontakan bahan yang berupa bubur ke permukaan drum yang panas hingga kering. Pengeringan drum ini biasanya menghasilkan produk yang kurang baik karena terjadi karamelisasi, reaksi Mailard dan denaturasi protein yang besar. Produk hasil pengeringan drum biasanya memiliki kelarutan yang cukup kecil. Pengeringan drum biasanya diaplikasikan pada pembuatan bubur instan. Kebanyakan minuman instan diperoleh dengan metode pengeringan semprot. Bahan yang berbentuk emulsi, dispersi maupun larutan dimasukkan ke dalam inlet pengering yang bersuhu 180-220 °C. Pengeringan semprot biasanya menghasilkan produk yang memiliki kelarutan yang baik, flavor yang masih bertahan serta warna yang baik. Metode pengeringan beku menghasilkan produk yang baik seperti pengeringan semprot namun biasanya dihindari karena memerlukan biaya produksi yang cukup besar (Farias and Ratti 2009). Metode lain pembuatan minuman adalah dengan kokristalisasi dimana dilakukan penambahan gula pada larutan hingga diperoleh larutan pekat yang kemudian akan kering. Penambahan gula pada minuman berfungsi untuk kokristalisasi, pengawet, pemanis maupun penambah energi.

(31)

relatif hanya pencampuran bahan saja. Hal ini bisa dilihat dalam proses pembuatan susu formulasi yang relatif tidak menggunakan proses lain. Proses pencampuran kering dapat menggunakan alat yang relatif sederhana yakni berupa mixer dengan tipe pengaduk wisk dengan kecepatan putar rendah atau alat pencampur berupa v-tumbler yang dapat menghomogenkan campuran dengan baik. Pada industri pangan, proses pencampuran dapat dilakukan secara batch maupun kontinyu. Pencampuran secara batch biasanya lebih disukai karena menghasilkan produk yang lebih homogen.

Kelebihan metode pencampuran kering adalah prosesnya yang lebih sederhana, biaya relatif lebih murah, menghindari reaksi antar bahan dan lebih fleksibel dalam perubahan resep. Proses pencampuran kering ini perlu memperhatikan kecukupan homogenitas bahan yang dicampur.

2. Minuman Berbasis Kedelai

Kedelai merupakan salah satu bahan pangan yang digunakan untuk membuat minuman. Produk minuman dari kedelai antara lain susu kedelai, bubuk minuman kedelai, isolat kedelai. Susu kedelai merupakan hasil ekstraksi kedelai yang diperoleh dengan cara pemasakan, penghancuran dan penyaringan. Susu kedelai memiliki konsistensi yang menyerupai susu sapi dan digunakan sebagai pengganti produk susu. Susu kedelai biasa diolah lebih lanjut menjadi makanan penutup seperti es krim dan yogurt kedelai (Boye et al 2010)

Salah satu pengolahan kedelai adalah pembuatan minuman berbentuk bubuk. Hal ini didasarkan bahwa pangan dalam bentuk minuman mudah dikonsumsi oleh siapa saja. Sekarang ini banyak sekali produk bubuk minuman berbahan dasar kedelai di pasaran yang memiliki sasaran lebih sebagai minuman kesehatan. Pengolahan kedelai menjadi bubuk minuman dilakukan dengan dua metode. Metode pertama biji kedelai disangrai hingga diperoleh biji kering yang kemudian digiling halus. Metode kedua dilakukan dengan pembuatan sari kedelai yang dilanjutkan dengan pengeringan semprot. Standar bubuk minuman kedelai dapat dilihat pada Tabel 6.

Sari tempe merupakan salah satu diversifikasi produk olahan dari tempe kedelai. Proses pembuatan sari tempe meliputi pemotongan, perebusan, penggilingan, penyaringan, penambahan bahan tambahan pangan dan pengemasan aseptis (Syarief et al 1999). Penelitian mengenai sari tempe telah banyak dilakukan. Surya (2011) melakukan pengalengan sari tempe melalui proses sterilisasi yang karakteristik sensorinya tidak berbeda nyata dengan sari tempe segar. Selain itu kapasitas antioksidan sari tempe kaleng yang dihasilkan tidak berbeda nyata dengan sari kedelai UHT komersial.

3. Kerusakan yang Terjadi pada Minuman Serbuk

Stabilitas produk pangan dihubungkan dengan mudah tidaknya prroduk mengalami perubahan. Produk pangan mengalami penuruan mutu apabila terjadi perubahan fisik, kimia, mikrobiologis, enzimatis maupun organoleptik yang dapat menurunkan penerimaan konsumen. Tingkat penurunan mutu dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan, sedangkan penurunan mutu dipengaruhi oleh kondisi lingkungan penyimpanan seperti suhu, intensitas cahaya, konsentrasi O2 dan CO2, kelembaban relatif

(32)
[image:32.595.101.531.101.716.2]

Tabel 6. SNI 7612-2011 bubuk minuman kedelai

No Kriteria uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan

1.1 Bau - Normal, khas

1.2 Warna - Normal

1.3 Rasa - Normal

2 Kadar air (b/b) % Maks 10.0

3 Kadar abu (b/b) % Maks 6.0

4 Kadar lemak (b/b) % Min 17.0

5 Kadar protein (Nx6.25) (b/b) % Min 30.0 6 Kadar serat kasar (b/b) % Maks 3.0

7 Cemaran logam

7.1 Kadmium (Cd) mg/kg Maks 0.2 7.2 Timbal (Pb) mg/kg Maks 0.25

7.3 Timah (Sn) mg/kg Maks 40

7.4 Merkuri (Hg) mg/kg Maks 0.03

8 Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks 0.25

9 Cemaran mikroba

9.1 ALT (35°C, 48 jam) koloni/g Maks 5x104 9.2 Bakteri koliform APM/g Maks 1x102

9.3 Escherichia coli APM/g <3

9.4 Salmonella sp - Negatif/25 g

9.5 Staphylococcus aureus - Negatif/g

9.6 Bacillus cereus koloni/g Maks 1x102

9.7 Kapang koloni/g Maks 5x10

(33)

METODOLOGI PENELITIAN

A. Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah empat varietas kedelai impor yang diberi kode A, B, G2 dan H. Kedelai A merupakan kedelai komersial yang sudah banyak beredar di pasaran yang diperoleh dari industri tempe rumah tangga di daerah Leuwiliang Bogor, sementara tiga kedelai lainnya merupakan kedelai impor varietas baru yang sedang dikembangkan yang diperoleh dari Forum Tempe Indonesia. Laru tempe yang digunakan dalam pembuatan tempe adalah laru tempe produksi Pusat Penelitian Kimia LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Bandung. Bahan tambahan lainnya yaitu gula dan coklat bubuk serta bahan pembanding bubuk minuman kedelai M yang sudah beredar di pasaran. Bahan yang digunakan untuk analisis kimia adalah akuades, K2SO4,

HgO, H2SO4, H3BO4, larutan Na2S2O3, HCl 0.02 N, HCl 0,1 N, NaOH 0,1 N, larutan buffer Na-fosfat,

pereaksi DNS, larutan maltosa standar, larutan enzim α-amilase, kertas saring, indikator MM dan MB serta heksan.

Alat yang digunakan dalam pembuatan tepung tempe adalah timbangan analitik, pisau, talenan, steamer, oven pengering rak, disc mill, ayakan, baskom, sendok dan gelas. Sementara alat untuk analisis yaitu penetrometer, chromameter, mikrometer, timbangan analitik, gelas piala, gelas ukur, gelas pengaduk, cawan porselen, buret, tanur listrik, oven, pH meter, desikator, oven pengering, labu Kjeldahl dan alat gelas lainnya.

B. Metode Penelitian

Pembuatan minuman berbasis tempe kedelai dilakukan dengan menggunakan tempe segar yang diolah terlebih dahulu menjadi tepung. Pemilihan metode pengering rak dalam pembuatan tepung diharapkan agar keseluruhan bagian tempe dapat diikutsertakan serta pada proses pengolahan tidak menyisakan produk samping. Tahap-tahap penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

1. Pembuatan Tempe Kedelai

(34)
[image:34.595.104.409.77.420.2]

Gambar 1. Diagram alir penelitian

2. Pembuatan Tepung Tempe

Pembuatan tepung tempe dilakukan dengan metode oven pengering rak. Pemilihan metode ini diharapkan untuk mendapatkan keseluruhan komponen dalam tempe tanpa menghasilkan produk samping. Metode pengeringan yang dipakai dalam penelitian ini merupakan metode Driyani (2009). Pembuatan tepung tempe dilakukan dengan memotong tempe segar menjadi ukuran 1 cm x 1 cm x 0.2 cm yang kemudian diblansir menggunakan uap 100 °C selama 10 menit. Irisan tempe blansir kemudian dikeringkan dalam pengering rak pada suhu 60 °C selama 6 jam. Tempe kering lalu digiling menggunakan disc mill yang dilengkapi ayakan.

3. Formulasi Minuman Tepung Tempe

Pembuatan formula minuman tepung tempe didasarkan pada beberapa hal. Takaran saji yang disarankan pada kemasan bubuk kedelai M adalah 20 gram bubuk minuman ditambahkan 300 ml air dengan atau tanpa penambahan gula dan atau perisa. Penggunaan tepung tempe dilakukan setengah resep dari takaran saji yaitu 10 gram dengan penyeduhan air sebanyak 150 ml atau dapat dilakukan satu resep yaitu 20 gram dengan air 300 ml. Hal ini mengacu pada pembuatan minuman superoralit pencegah diare dimana digunakan tempe seberat 40-50 gram atau 17-20 gram tepung tempe kering ditambahkan satu liter air tajin dan elektrolit natrium klorida, kalsium klorida serta natrium bikarbonat.

Formulasi minuman dilakukan berdasarkan preferensi konsumen terhadap minuman kemasan di pasaran. Beberapa minuman serbuk komersial dipasaran memiliki berat berkisar 8-25 gram per kemasan saji. Berat yang kecil dikarenakan penggunaan bahan yang berupa perisa serta pemanis buatan. Sementara untuk minuman seperti kopi susu, beratnya dapat mencapai 31 gram. Berat gula

Karakterisasi fisik dan kimia kedelai

Karakterisasi tepung tempe, perbandingan dengan bubuk kedelai komersial

Pembuatan tempe

Formulasi minuman Karakterisasi tempe, perbandingan

tempe dari bahan baku

Pemilihan formulasi terpilih Pembuatan tepung tempe

(35)
[image:35.595.106.532.170.280.2]

ditentukan dari standar minuman serbuk yaitu 5-15 % dari minuman (Buckle et al 1985). Proses pembuatan minuman tepung tempe dilakukan dengan metode pencampuran kering dimana bahan-bahan yang sudah berbentuk kering dicampurkan hingga homogen. Formula minuman yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Formulasi minuman tepung tempe

Formula W tepung tempe (gram) W gula (gram) W coklat (gram) W total (gram)

F1 10 15.00 0.00 25.00

F2 10 15.00 0.75 25.75

F3 10 15.00 1.00 26.00

F4 10 18.75 0.75 29.50

F5 10 18.75 1.00 29.75

Pemilihan formulasi terpilih dilakukan dengan analisis organoleptik yaitu uji rating hedonik terhadap 30 panelis tidak terlatih dengan skala 1 sampai 7 yaitu sangat tidak suka (1), tidak suka (2), agak tidak suka (3), netral (4), suka (5) agak suka (6), sangat suka (7). Parameter yang dianalisis meliputi warna, aroma, rasa, tekstur dan keseluruhan. Data yang diperoleh diolah menggunakan program SPSS dengan metode Anova General Linear Model pada taraf 5 % dan uji lanjut Duncan.

C. Metode Analisis

Analisis yang dilakukan meliputi analsis fisik, kimia dan organoleptik. Analisis fisik dan kimia dilakukan pada tahap kedelai, tempe, tepung tempe dan minuman tepung tempe. Sementara analisis organoleptik dilakukan pada tahap tempe dan penentuan formulasi minuman tepung tempe.

1. Analisis fisik

Analisis fisik dilakukan pada kedelai yaitu panjang biji dan massa per 100 biji. Analisis fisik pada tempe meliputi rendemen, panjang biji tempe dan perhitungan pengembangan panjang biji dari kedelai menjadi tempe. Sementara analisis untuk tepung tempe adalah rendemen,warna, IPA dan IKA.

a. Panjang biji dan pengembangan biji

Pengukuran panjang biji dilakukan menggunakan mikrometer sebanyak 10 kali. Kedelai utuh dan tempe diukur panjangnya seperti terlihat pada Gambar 2. Pengembangan biji kedelai menjadi tempe diketahui dengan perhitungan

pengembangan biji (%)=

panjang tempe – panjang kedelai panjang kedelai ×100%

(36)

b. Massa per 100 biji

Sebanyak 100 biji kedelai diambil secara acak dari dalam karung penyimpan dan ditimbang menggunakan timbangan analitik.

c. Rendemen

Perhitungan nilai rendemen didasarkan pada perbandingan antara berat akhir dengan berat awal yang digunakan. Perhitungan rendemen tempe dilakukan dengan persamaan

rendemen tempe (%)=

w tempe(gram)

w kedelai(gram)

×100%

Sementara perhitungan rendemen tepung tempe dilakukan dengan persamaan

rendemen tepung tempe(%)=

w tepung tempe(gram)

w tempe yang dikeringkan(gram)

×100%

d. Analisis warna

Pengukuran warna dilakukan menggunakan alat Minolta Chromameter CR-310. Intensitas zat warna dinyatakan menggunakan notasi Hunter (sistem warna L, a, dan b). Nilai L menunjukkan kecerahan yang mempunyai nilai 0 (hitam) sampai 100 (putih). Nilai a dan b adalah koordinat-koordinat kromatisitas, dimana a untuk warna hijau (a negatif) dari 0 hingga 80, sampai warna merah (a positif) dari 0 hingga 100. Notasi b untuk warna biru (b negatif) dari 0 hingga 70 sampai warna kuning (b positif) dari 0 hingga 70.

e. Indeks penyerapan air (IPA) dan indeks kelarutan air (IKA) (Ganjyal et al 2006)

Sebanyak 1 gram sampel dilarutkan kedalam 15 ml akuades dalam tabung sentrifugasi hingga terdispersi merata. Sampel kemudian disentrifuse pada 3000 rpm selama 10 menit. Supernatan yang diperoleh ditimbang dan hitung IPA dengan persamaan

IPA (gram/gram)= w (tabung+residu)( gram)-w tabung( gram) w sampel( gram)

Sebanyak 2 ml supernatan dimasukkan ke dalam cawan kemudian dioven 100 °C selama 4 jam hingga diperoleh bobot tetap kemudian ditimbang hasilnya. Perhitungan IPA dan IKA menggunakan persamaan

IKA (gram/ml)= w akhir( gram)-w cawan( gram) 2 ml

2. Analisis kimia

Analisis kimia yang dilakukan meliputi analisis proksimat dan analisis daya cerna protein in vitro.

a. Kadar air (SNI 01-2891-1992)

(37)

selama 6 jam. Cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang, kemudian dikeringkan kembali sampai diperoleh bobot tetap. Perhitungan kadar air digunakan persamaan

kadar air (%bb) = w(c+s)-wa ws

×100

kadar air (%bk) = w(c+s)-wa wa-wc

×100

Keterangan:

ws = bobot sampel sebelum dikeringkan (gram)

w(c+s) = bobot sampel ditambah cawan kering kosong ( gram )

wc = bobot cawan kosong (gram)

wa = bobot akhir (gram)

b. Kadar abu (SNI 01-2891-1992)

Timbang 2-3 gram sampel ke dalam cawan porselen yang telah diketahui bobotnya. Sampel dirahkan di atas nyala pembakar, lalu diabukan dalam tanur listrik pada suhu maksimum 550 °C sampai pengabuan selesai (sekali-sekali pintu tanur dibuka sedikit agar oksigen bisa masuk). Dinginkan dalam desikator lalu ditimbang hingga bobot tetap. Perhitungan kadar abu digunakan persamaan

kadar abu (%bb)=wa-wc ws

×100

kadar abu (%bk)= kadar abu (%bb) 100-kadar air(%bb)

Keterangan:

ws = bobot sampel sebelum diabukan (gram)

wc = bobot cawan kosong (gram)

wa = bobot akhir (gram)

c. Kadar protein (AOAC 1995)

Sampel sebanyak 100-250 mg dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl. Sampel kemudian ditambahkan 1.0±0.1 gram K2SO4, 40±10 mg HgO dan 2±0.1 ml H2SO4. Sampel ditambahkan 2-3

butir batu didih dan dididihkan selama 1-1.5 jam dengan kenaikan suhu secara bertahap hingga cairan

Gambar

Tabel 1. Komposisi gizi kedelai per 100 gram
Tabel 2. Variasi tahap pembuatan tempe kedelai
Tabel 3. Komposisi gizi tempe kedelai
Tabel 5. Faktor mutu protein kedelai dibandingkan tempe
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tidak ada perbedaan hasil analisis serum darah antara kelompok tikus yang diberi ransum tepung tempe kedelai transgenik dan kelompok tikus yang diberi ransum tepung tempe kedelai

Evaluasi daya serap dan retensi mineral kalsium serta kadar mineral kalsium dalam serum darah dari perlakuan tepung tempe dan tepung kedelai rebus terhadap konsentrasi mineral

Dengan memanfaatkan kandungan gizi yang terdapat pada tepung tempe dan pemanis alami, maka peneliti akan melakukan penelitian dengan judul “ SUBSTITUSI TEPUNG TEMPE

Isoflavon yang terdapat pada tepung tempe dan tepung kedelai dapat meningkatkan estrogen, hal ini terbukti bahwa tikus ovariektomi yang diberi tepung kedelai dan tikus

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dilakukan penelitian mengenai pengaruh substitusi tepung tempe terhadap tekstur dan kandungan gizi sosis dengan bahan pengisi

Pemberian variasi tepung tempe dan tepung kedelai pada usar, menunjukkan nilai biomassa 14,5 gram dan nilai kadar air 65,25 gram, serta kenampakan tempe yang sama,

Kandungan gizi nira lontar berupa karbohidrat dan protein membuat nira lontar dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kecap. Penambahan tepung tempe pada kecap nila

Berdasarkan kandungan gizi tepung mocaf dan khasiat tempe, Bistem biscuit tempe difortifikasi tepung mocaf dapat menjadi inovasi sebagai alternatif camilan di tengah kepopuleran fast