• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Histologis Tulang Tibia Tikus Yang Diberi Tepung Tempe Dan Tepung Kedelai Varietas Grobogan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Histologis Tulang Tibia Tikus Yang Diberi Tepung Tempe Dan Tepung Kedelai Varietas Grobogan"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN HISTOLOGIS TULANG TIBIA TIKUS

YANG DIBERI TEPUNG TEMPE DAN

TEPUNG KEDELAI REBUS VARIETAS GROBOGAN

ALAMSAH FIRDAUS

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Gambaran Histologis Tulang Tibia Tikus yang Diberi Tepung Tempe dan Tepung Kedelai varietas Grobogan” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

ABSTRAK

ALAMSAH FIRDAUS. Gambaran Histologis Tulang Tibia Tikus yang Diberi Tepung Tempe dan Tepung Kedelai varietas Grobogan. Dibimbing oleh TUTIK WRESDIYATI dan MADE ASTAWAN.

Kedelai merupakan salah satu bahan pangan yang mengandung berbagai zat gizi yang bermanfaat bagi tubuh. Indonesia memiliki berbagai varietas kedelai unggulan, di antaranya adalah varietas Grobogan. Tempe adalah salah satu produk hasil olahan kedelai melalui fermentasi. Untuk menjadikan masa simpan lebih lama, kedelai maupun tempe dapat dibuat menjadi tepung. Kedelai maupun tempe mengandung isoflavon, mineral Ca, P, dan Mg yang penting untuk kesehatan tulang. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian tepung tempe dan tepung kedelai rebus varietas Grobogan terhadap jumlah sel osteoblas, osteosit, dan osteoklas tulang tibia tikus. Tikus percobaan dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan, yaitu kelompok I (kasein = kontrol negatif), kelompok J (tepung tempe 10%), kelompok K (tepung tempe 20%), kelompok L (tepung kedelai rebus 10%), dan kelompok M (tepung kedelai rebus 20%). Hasil penelitian menunjukkan pemberian tepung tempe maupun tepung kedelai rebus varietas Grobogan dapat meningkatkan jumlah sel osteoblas dan osteosit secara sangat nyata dibandingkan kontrol negatif. Pemberian tepung tempe dapat meningkatkan jumlah osteoblas dan osteosit lebih baik dibandingkan dengan pemberian tepung kedelai. Pemberian tepung tempe 20% menunjukkan hasil yang paling baik. Selain itu, jumlah sel osteoklas pada semua kelompok perlakuan menunjukkan hasil yang lebih sedikit secara sangat nyata dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pemberian tepung kedelai rebus varietas Grobogan baik 10 maupun 20%, atau tepung tempe, baik 10 maupun 20% dapat menurunkan jumlah osteoklas.

(6)

ABSTRACT

ALAMSAH FIRDAUS. Histology of The Tibia Bone of Rats that were Treated with Tempe Flour and Soybean Flour var Grobogan. Supervised by TUTIK WRESDIYATI and MADE ASTAWAN.

Soybean is one of the food sources that contain a variety of nutrients. Indonesia has some varieties of superior soybean, one of them is var Grobogan. Tempe is one of the products of processed soybeans by fermentation. To extend shelf life, soybean or tempe can be made into the flour. Soybean or tempe contains isoflavones, Ca, P, and Mg that important for bone health. This study aims to determine the effect of tempe flour and soybean flour of var Grobogan on the profile of osteoblasts, osteocytes, and osteoclast in the tibia bone of rats. The rats were divided into five groups. Group I (casein = negative control), group J (tempe flour 10%), group K (tempe flour 20%), group L (soybean flour 10%), and group M (soybean flour 20%). The results showed that the treatment of tempe flour and soybean flour increased the number of osteoblasts and osteocytes significantly, compared to the negative control group. Tempe flour showed better result than soybean flour. Tempe flour 20% showed the best result. In addition, the number of osteoclast in the tibia bone of rats that were treated with tempe flour and soybean flour showed smaller than that of negative control group. The treatment of soybean flour (10 and 20%) or tempe flour (10 and 20%) decreased the number of osteoclast in the tibia bone of rats.

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

GAMBARAN HISTOLOGIS TULANG TIBIA TIKUS

YANG DIBERI TEPUNG TEMPE DAN

TEPUNG KEDELAI VARIETAS GROBOGAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah pengaruh ransum terhadap kesehatan tulang, dengan judul Gambaran Histologis Tulang Tibia Tikus yang Diberi Tepung Tempe dan Tepung Kedelai varietas Grobogan.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir Made Astawan, MS yang telah membiayai penelitian ini melalui berbagai sumber dana yang dikelolanya.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Drh Tutik Wresdiyati, PhD PAVet dan Prof Dr Ir Made Astawan, MS yang telah membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Di samping itu, ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada staf Laboratorium Histologi FKH IPB, Drh Adi Winarto, PhD PAVet, Drh I Ketut Mudite Adnyane, MSi PhD PAvet, Bapak Iwan, dan Bapak Maman yang telah banyak membantu penulis selama penelitian. Tidak lupa juga ucapan terimkasih kepada Dr Drh Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc AIF selaku dosen Pembimbing Akademik selama kuliah di FKH IPB. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah (Syamsi Suparman), Ibu (Dedeh Jubaedah), serta seluruh keluarga, atas segala do’a, dukungan semangat dan kasih sayangnya selama ini. Tidak lupa juga, terima kasih penulis ucapkan kepada teman-teman seperjuangan dalam penelitian (Andi Prastiawan, Rifa Rinaldi, Tyas Noormalasari H, Rahajeng Harnastiti, Miftahul Ilmi), teman-teman satu lab (Rifky Rizkiantino, Ulfah Andari Gusni, Filika Amalia Isman, Irene Kosim, Dhenok Maria Ulfa), teman-teman OMDA WAPEMALA, serta teman-teman Ganglion (FKH 48) atas segala dukungan dan semangatnya.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Tinjauan Pustaka 2

Kedelai 2

Tempe 4

Isoflavon 5

Tulang 6

Tikus 7

METODE 8

Waktu dan Tempat 8

Bahan 8

Alat 8

Prosedur 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Gambaran Histologis dan Jumlah Sel Osteoblas; Osteosit 11

Gambaran Histologis dan Jumlah Sel Osteoklas 15

SIMPULAN DAN SARAN 18

Simpulan 18

Saran 18

DAFTAR PUSTAKA 18

LAMPIRAN 22

(13)

DAFTAR TABEL

1 Informasi kedelai varietas Grobogan 3

2 Perbandingan kandungan gizi tempe dan kedelai 5

3 Pembagian kelompok perlakuan 9

4 Hasil perhitungan jumlah osteoblas dan osteosit per lapang pandang 12 5 Hasil perhitungan jumlah osteokas per lapang pandang 16

DAFTAR GAMBAR

1 Biji kedelai varietas Grobogan 4

2 Perbandingan struktur molekular 17-β-estradiol dan isoflavon (dalam

bentuk Genistein dan Daidzein) 6

3 Gambaran Histologis sel osteoblas dan sel osteosit tulang tibia tikus. 11

4 Gambaran Histologis sel osteoklas 15

DAFTAR LAMPIRAN

5 Hasil analisis ANOVA dan uji DUNCAN dari jumlah osteosit, osteoblas,

dan jumlah keduanya 22

6 Hasil analisis ANOVA dan uji DUNCAN dari jumlah sel osteoklas 24

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara mega biodiversity. Berbagai keanekaragaman hayati terdapat di Indonesia, baik tumbuhan maupun hewan. Kondisi lingkungan seperti pH, kelembaban, iklim, dan cuaca yang cukup baik merupakan faktor yang membuat berbagai macam tumbuhan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Salah satu tumbuhan yang dapat tumbuh dan berkembang baik di Indonesia adalah kedelai.

Kedelai adalah tanaman legum semusim yang memiliki berbagai kandungan gizi. Kedelai termasuk ke dalam komoditas penting di Indonesia, karena merupakan sumber protein disamping sebagai sumber lemak, vitamin, dan mineral bagi masyarakat. Protein yang terdapat pada kedelai rata-rata dari berbagai varietas yaitu sebesar 35%, bahkan varietas unggul memiliki kadar protein sekitar 40-44% (Astawan 2009). Beberapa kedelai lokal varietas unggul di antaranya yaitu Agromulyo, Grobogan, Panderman, Bromo, Burangrang, Wilis, Anjasmoro, Detam dan lain-lain.

Kedelai varietas Grobogan memiliki berbagai keunggulan dibanding varietas lainnya, di antaranya yaitu cepat berbunga, cepat panen, dan produksinya tinggi (Milani et al. 2013). Hasil olahan dari kedelai varietas Grobogan juga memiliki beberapa keunggulan. Astawan et al. (2013) melaporkan bahwa tempe dari kedelai varietas Grobogan memiliki efektivitas biaya yang paling tinggi dibandingkan dengan tempe dari kedelai varietas Anjasmara, Agromulyo, GMO (Genetically Modified Organism), maupun non-GMO. Selain itu, keunggulan kedelai varietas Grobogan yang lain adalah bobot biji yang besar dan kadar protein yang tinggi (Ginting et al. 2009).

Kedelai biasanya dimanfaatkan sebagai bahan dasar dari berbagai produk makanan seperti tempe, tauco, kecap, dan lain-lain. Namun, kedelai lebih sering dimanfaatkan untuk pembuatan tempe. Tempe merupakan bahan pangan sumber mineral. Kandungan mineral kalsium dan fosfor per 100 g tempe masing-masing 347 dan 724 mg (Astawan 2009). Kandungan kalsium dan fosfor yang tinggi dalam tempe akan meningkatkan ketersediaan kedua mineral tersebut bagi tubuh dan sangat bermanfaat dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tulang. Selain sebagai sumber gizi, tempe juga menjadi satu-satunya sumber vitamin B12 yang potensial dari bahan pangan nabati. Tempe juga diketahui mengandung senyawa isoflavon dalam bentuk aglikon (Astawan 2008).

Pemanfaatan tempe secara optimal dan agar tempe semakin digemari oleh masyarakat dapat dilakukan dengan melakukan diversifikasi produk tempe. Salah satu bentuk diversifikasi tempe adalah dengan membuat tempe menjadi tepung. Tempe dalam bentuk tepung menjadikan tempe lebih fleksibel dalam penggunaannya dan lebih lama masa simpannya (Murni 2010). Mursyid et al. (2014) juga menyebutkan bahwa masalah utama dari tempe adalah umur simpannya yang relatif rendah. Oleh karena itu, pembuatan tepung merupakan alternatif pengolahan untuk memperpanjang daya tahan simpan dan daya guna tempe.

(15)

2

berpengaruh terhadap beberapa aktivitas tubuh seperti kontraksi otot, impuls saraf, dan pembentukan tulang. Tulang merupakan bagian tubuh yang memiliki fungsi utama sebagai pembentuk rangka, alat gerak pasif, pelindung organ-organ internal, dan tempat penyimpanan mineral (kalsium-fosfor). Proses pembentukan tulang disebut osifikasi. Proses osifikasi terjadi pada masa perkembangan fetus (pre-natal) dan setelah individu lahir (post-natal). Pada tulang panjang, perkembangan terjadi sampai individu mencapai dewasa (Djuwita et al. 2012). Menurut Neve et al. (2010), laju pembentukan tulang oleh sel osteoblast dipengaruhi oleh faktor ketersediaan kalsium, vitamin-D, dan hormon estrogen.

Sumber mineral seperti kalsium dan fosfor dapat diperoleh dari pangan asal hewani maupun nabati. Pangan asal hewani sumber mineral, terutama kalsium, yang paling dikenal banyak orang adalah susu. Namun beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pangan asal nabati pun tidak jauh berbeda dalam meningkatkan ketersediaan kalsium di dalam tubuh. Asyaifullah (2015) menyatakan bahwa bioavailabilitas mineral kalsium dari konsumsi pangan nabati (tepung kedelai rebus dan tepung tempe) tidak berbeda nyata dengan konsumsi pangan hewani (kasein).

Berbagai kandungan gizi yang terdapat dalam kedelai maupun tempe tentunya akan memberikan banyak manfaat bagi tubuh. Oleh karena itu penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan bahwa pemberian tepung tempe dan tepung kedelai rebus varietas Grobogan dapat memberikan efek positif terhadap pertumbuhan tulang pada tikus percobaan. Nantinya, efek positif yang terjadi diharapkan dapat diaplikasikan sebagai terapi atau pencegahan osteoporosis dan berbagai kelainan tulang.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pemberian tepung tempe dan tepung kedelai rebus varietas Grobogan terhadap pertumbuhan tulang tibia tikus, dengan melihat jumlah osteoblas, osteosit, dan osteoklas yang terbentuk.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk pengaplikasian kedelai maupun olahannya sebagai bahan pangan untuk terapi atau pencegahan osteoporosis dan berbagai kelainan tulang.

TINJAUAN PUSTAKA

Kedelai

(16)

3 kedelai menyebar ke daerah Mansyuria, yaitu Jepang (Asia Timur), negara-negara lain di Amerika dan Afrika (KEMENRISTEK 2006).

Klasifikasi tanaman kedelai adalah sebagai berikut: Familia : Leguminosae

Subfamili : Papilionoidae Genus : Glycine Species : Glycine max L

Kedelai yang tumbuh secara liar di Asia Tenggara meliputi sekitar 40 jenis. Penyebaran geografis kedelai mempengaruhi jenis tipenya. Terdapat empat tipe kedelai, yaitu tipe Mansyuria, Jepang, India, dan Cina. Dasar-dasar penentuan varietas kedelai dilakukan menurut umur, warna biji dan tipe batang (KEMENRISTEK 2006)

Salah satu kedelai varietas unggulan adalah kedelai varietas Grobogan. Kedelai varietas lokal Grobogan telah sejak lama menjadi pilihan petani Jawa Tengah, khususnya petani Kabupaten Grobogan. Varietas lokal ini mempunyai beberapa keunggulan, yaitu umurnya lebih pendek, polongnya besar, dan tingkat kematangan polong serta daunnya bersamaan, sehingga pada saat dipanen daun kedelai sudah rontok. Keunggulan inilah yang menarik minat para peneliti untuk memurnikan varietas ini. Pada tahun 2008, hasil pemurnian populasi lokal Malabar Grobogan ini dilepas dengan nama varietas Grobogan (PPPTP 2010).

Informasi mengenai kedelai varietas Grobogan menurut PPPTP (2010) dapat dilihat pada Tabel 1. Gambar kedelai varietas Grobogan dapat dilihat pada Gambar 1.

Tabel 1 Informasi kedelai varietas Grobogan

Informasi Keterangan

Beradaptasi baik pada beberapa kondisi lingkungan tumbuh yang berbeda cukup besar, pada musim hujan, dan daerah beririgasi baik. Polong masak tidak mudah pecah, dan pada saat panen daun luruh 95–100%, saat panen >95% daunnya telah luruh

Suhartina, M. Muclish Adie

(17)

4

Tempe

Secara umum, tempe diartikan sebagai bahan pangan yang dihasilkan melalui fermentasi kedelai rebus, dalam waktu tertentu menggunakan kapang Rhizopus sp. Selama proses fermentasi, kapang akan tumbuh membentuk miselium berwarna putih yang menutupi permukaan kedelai. Miselia tersebut menghubungkan antar biji kedelai, membentuk massa yang padat, kompak, tetapi bertekstur lembut (Astawan 2008).

Komposisi protein, lemak, dan karbohidrat tempe tidak banyak berubah dibandingkan dengan kedelai, namun karena adanya enzim pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe, maka protein, lemak, dan karbohidrat pada tempe menjadi lebih mudah dicerna di dalam tubuh dibandingkan yang terdapat dalam kedelai. Proses fermentasi yang terjadi pada tempe berfungsi untuk merubah senyawa makromolekul kompleks yang terdapat pada kedelai (seperti protein, lemak, dan karbohidrat) menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti peptida, asam amino, asam lemak, dan monosakarida (Astawan 2009). Proses fermentasi menyebabkan tempe memiliki beberapa keunggulan dibandingkan kacang kedelai sebagai bahan dasarnya. Keunggulan tersebut dapat dilihat dari komposisi zat gizi secara umum, daya cerna protein dan kandungan asam amino esensial yang relatif lebih tinggi, serta zat antigizi yang berupa antitripsin dan asam fitat yang jauh lebih rendah dibandingkan kedelai (Astawan 2008). Perbandingan kandungan zat gizi antara kedelai dan tempe dapat dilihat pada Tabel 2.

Tempe mempunyai daya simpan yang singkat dan akan segera membusuk selama penyimpanan. Hal ini disebabkan oleh proses fermentasi yang berlanjut menyebabkan degradasi protein, sehingga dapat terbentuk amoniak. Amoniak yang terbentuk menyebabkan munculnya aroma busuk. Oleh karena itu, pengolahan lebih lanjut dari tempe untuk menghasilkan produk turunan tempe perlu dilakukan untuk memperpanjang masa simpannya. Salah satu alternatif produk turunan tempe yaitu dibuat tepung tempe yang kemudian dikembangkan menjadi produk formula tepung tempe (Bastian et al. 2013).

Babu et al. (2009) dalam laporannya menyebutkan bahwa tempe adalah sumber protein yang sangat baik, mengandung asam amino esensial dengan kualitas protein yang sama seperti daging. Selain itu, beberapa keunggulan tempe lainnya

(18)

5

adalah sebagai sumber kalsium, rendah lemak jenuh, tinggi asam lemak esensial, tinggi vitamin B, bebas kolesterol, dan tinggi serat larut. Proses fermentasi pada tempe dapat menurunkan asam fitat yang masih ada dalam kedelai. Oleh karena itu tempe tidak menghalangi penyerapan mineral tubuh. Kandungan lainnya yaitu tinggi isoflavon, sumber asam folat, dan rendah sodium (Astawan 2009).

Isoflavon

Isoflavon merupakan subkelompok fitoestrogen, yaitu zat tumbuhan alami dengan struktur yang mirip dengan 17-β-estradiol dan mampu mengikat reseptor estrogen (ERs). Isoflavon memiliki potensi untuk mengaktifkan kedua jalur sinyal estrogen, baik genomik maupun non-genomik. Selain itu, isoflavon dapat berinteraksi dalam metabolisme hormon steroid. Beberapa waktu terakhir, isoflavon menjadi fokus yang menarik karena beberapa laporan tentang efek positifnya pada kesehatan manusia dalam pencegahan kanker, penyakit kardiovaskular, dan osteoporosis (Pilsakova et al. 2010).

Isoflavon memiliki struktur difenolik yang mempunyai potensi sebagai estrogen sintetis dietilstilbesrol dan heksestrol. Pada umumnya unsur isoflavon dalam tanaman bersifat inaktif, yang berada dalam bentuk glikoside. Unsur tanaman ini diduga mengalami fermentasi oleh mikroflora usus. Kemudian dengan proses metabolisme, terjadi konversi dari biochanin A dan formonetin oleh glukosidase menjadi unsur genisten dan daidzein yang aktif. Di dalam usus, unsur daidzein menjadi equol dan odesmethylangiolensin (O-DMA), sedangkan genistein menjadi heterocyclicphenolic yang strukturnya mempunyai persamaan dengan

Tabel 2 Perbandingan kandungan gizi tempe dan kedelai

(19)

6

hormon estrogen. Proses tersebut melalui beberapa sistem enzim yang kompleks dari proses metabolisme. Khasiat isoflavon ini sangat kompleks dan membutuhkan berbagai identifikasi yang spesifik dari setiap aksi kimiawi terhadap sel targetnya (Biben 2012). Perbandingan struktur kimia antara isoflavon dan estrogen dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Perbandingan struktur molekular 17-β-estradiol dan isoflavon (dalam bentuk Genistein dan Daidzein) (Pilsakova et al. 2010)

Isoflavon terdapat pada berbagai kacang-kacangan, terutama kacang kedelai. Senyawa isoflavon dapat mengalami biokonversi selama proses pengolahan kedelai, baik melalui fermentasi (pada pembuatan tempe) maupun proses non-fermentasi, terutama melalui proses hidrolisis. Proses ini dapat menghasilkan senyawa isoflavon bebas yang disebut aglikon yang lebih tinggi aktivitasnya (Astawan 2009). Senyawa ini telah banyak diteliti karena kemiripannya dengan estrogen. Seperti yang telah diketahui bahwa hormon estrogen adalah hormon yang sangat berperan dalam proses reproduksi, dan berperan juga dalam pembentukan tulang. Beberapa penelitian menunjukkan hasil positif mengenai manfaat senyawa ini. Suarsana et al. (2011) dalam penelitiannya melaporkan bahwa ransum yang kaya isoflavon terbukti dapat meningkatkan kadar kalsium, fosfor, dan estrogen dalam plasma darah. Penelitian lain melaporkan bahwa isoflavon dapat mempertahankan densitas tulang (Nurdin et al. 2002).

Tulang

Tulang merupakan komponen utama dari sistem kerangka yang berfungsi sebagai alat gerak pasif, tempat pertautan otot, pelindung organ internal, dan penjaga homeostasis kalsium. Selain itu, di dalam tulang terdapat sel-sel mikro yang saling berinteraksi. Sel-sel tersebut adalah sel osteoblas, osteosit, osteoklas, sel-sel hematopoietik, sel mesenkimal, dan sel-sel pertahanan tubuh. Monosit pada tulang akan berdiferensiasi dan bergabung membentuk bone-resorbing osteoclasts. Osteoblas berasal dari mesenchymal stem cell dan terutama dari deposit osteoid tulang baru. Osteoblas, osteosit, dan sel T menghasilkan osteoklastogenik, yaitu protein yang disebut sebagai receptor activator of nuclear factor kappa-b ligand (RANKL). Osteosit dan osteoblas juga memproduksi osteoprotegerin (OPG) yang berfungsi untuk menyeimbangkan osteoklastogenesis dan resorpsi tulang (Compton dan Lee 2014).

(20)

7 pertumbuhan, pemeliharaan, dan penyembuhan tulang. Sklerostin (glikoprotein yang disekresikan terutama oleh osteosit dalam kondisi fisiologis) adalah regulator negatif penting dari massa tulang melalui penghambatan pembentukan tulang oleh osteoblas. Sel-sel tulang merupakan komponen yang sangat aktif. Matriks tulang terdiri dari mineral hidroksiapatit, kalsium, dan ion lain yang penting untuk homeostasis. Matriks tulang adalah tempat bagi banyak protein seperti kolagen, osteocalcin, osteopontin, faktor pengubah pertumbuhan, dan bone morphogenetic protein (BMP). Pada permukaan tulang, osteoblas menghasilkan matriks baru, sementara osteoklas menyerap dan merombak tulang (Compton dan Lee 2014).

Tulang secara kontinyu akan mengalami kerusakan dan pembentukan kembali (remodeling) untuk mempertahankan volume tulang dan homeostasis kalsium. Osteoblas dan osteoklas adalah sel-sel khusus yang bertanggung jawab masing-masing untuk pembentukan dan resorpsi tulang. Osteoblas menghasilkan protein matriks tulang dan bertanggung jawab atas mineralisasi jaringan. Osteoklas adalah sel berinti yang bertanggung jawab atas resorpsi tulang. Osteoklas ini terbentuk dari prekursor monosit atau makrofag (Yamashita et al. 2012). Osteoblas dapat mensintesis Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1), Interleukin-1 (IL-1), dan Interleukin-6 (IL6). Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1) yang dihasilkan oleh osteoblas dapat menjadi faktor kemotaktik poten yang berperan dalam perekrutan osteoblas baru selama pembentukan tulang (Neve et al. 2010).

Tikus

Tikus adalah hewan mamalia pengerat yang biasanya melakukan aktivitas di malam hari (hewan nokturnal). Tikus merupakan salah satu hewan yang sering digunakan dalam percobaan dan penelitian ilmiah, atau lebih sering disebut sebagai hewan laboratorium. Umumnya, tikus yang digunakan untuk dijadikan hewan lab adalah tikus putih (Rattus norvegicus). Tikus putih lebih besar dari famili tikus umumnya dengan panjang yang dapat mencapai 40 cm, diukur dari hidung sampai ujung ekor, dan berat 140-500 g. Tikus jantan biasanya memiliki ukuran yang lebih besar dari tikus betina, berwarna putih, memiliki ukuran ekor yang lebih panjang dari tubuhnya (Kusumawati 2004).

Saat ini, beberapa strain tikus digunakan dalam penelitian di laboratorium hewan coba di Indonesia. Jenis tersebut antara lain jenis Wistar (asalnya dikembangkan di Institut Wistar), yang turunannya dapat diperoleh di Pusat Teknologi Dasar Kesehatan dan Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik Badan Litbangkes. Selain itu terdapat juga jenis Sprague Dawley (tikus albino yang dihasilkan di tanah pertanian Sprague Dawley), yang dapat diperoleh di laboratorium Badan Pengawasan Obat dan Makanan dan Pusat Teknologi Dasar Kesehatan Badan Litbangkes (Ridwan 2013).

(21)

8

Gibco dan kemudian oleh Harlan (sekarang Harlan Sprague Dawley) pada bulan Januari 1980. Rata-rata ukuran berat tubuh tikus Sprague Dawley dewasa adalah 250-300 g bagi betina, dan 450-520 g untuk jantan. Hidup yang khas adalah 2,5-3,5 tahun (Kusumawati 2004).

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2014 sampai bulan Mei 2015 yang bertempat di Seafast Centre dan Laboratorium Histologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus jantan, ransum yang mengandung bahan perlakuan (kasein, tepung tempe dari kedelai varietas Grobogan 10%, tepung tempe dari kedelai varietas Grobogan 20%, tepung kedelai rebus varietas Grobogan 10%, dan tepung kedelai rebus varietas Grobogan 20%), air minum, NaCl fisiologis, alkohol 70%, ketamine, xylazine, larutan Bouin, aquades, HCl 25%, larutan dehidrasi (alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, alkohol absolut I, II, dan III), larutan penjernih (Xylol I, II, dan III), parafin, entelan® dan pewarna Hematoksilin-Eosin.

Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang individu lengkap, satu set alat bedah minor, label, pensil, sarung tangan, benang, spoit, silet, kapas, papan bedah, botol, cawan petri, gelas piala, gelas ukur, kertas saring, pengaduk, kertas tisu, alumunium foil, tissue cassete, inkubator, alat embedding, cetakan embedding, blok kayu, mikrotom, gelas objek, mikroskop, dan Dino-Eye®.

Prosedur

Pembuatan Tepung Kedelai dan Tepung Tempe

Tempe dibuat di Rumah Tempe Indonesia. Diagram alir pembuatannya dapat dilihat pada Lampiran 3. Proses pembuatan tepung tempe dan tepung kedelai rebus varietas Grobogan dilakukan oleh tim penelitian mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Tahap Persiapan dan Perlakuan Hewan Coba

(22)

9 Percobaan dilakukan selama 90 hari. Selama masa percobaan lima kelompok percobaan diberikan lima jenis ransum yang mengandung sumber protein yang berbeda. Ransum diberikan secara ad libitum. Pembagian kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Pembagian kelompok perlakuan

Kelompok Perlakuan ( jenis ransum)

I Ransum yang 10% kandungan proteinnya berasal dari kasein kedelai rebus (tepung kedelai rebus varietas Grobogan 10%) M Ransum yang 20% kandungan proteinnya berasal dari tepung

kedelai rebus (tepung kedelai rebus varietas Grobogan 20%)

Sampling dan Pengawetan Organ

Tikus percobaan terlebih dahulu dibius menggunakan ketamine dan xylazine. Selanjutnya tikus yang sudah terbius diletakkan di atas papan bedah untuk dilakukan pengambilan darah dan pembedahan. Setelah itu, kaki belakang tikus (tulang tibia) diambil sebagai sampel. Tulang tibia yang digunakan sebagai sampel merujuk pada penelitian Sabri (2011) yang juga melakukan perhitungan jumlah sel osteoblas dan osteoklas pada tulang tikus. Tulang tibia dipisahkan dari otot-otot yang menempel dan dimasukkan ke dalam larutan pengawet Bouin. Setelah 24 jam, organ dipindahkan ke dalam larutan alkohol 70%.

Tahap Dekalsifikasi

Proses dekalsifikasi dilakukan dengan menggunakan larutan HCl 25%. Tulang direndam dalam larutan HCl 25% sampai lunak (dapat ditusuk jarum). Setelah itu, tulang disayat pada bagian tengahnya menjadi tiga bagian dan diambil juga bagian ujung bawahnya. Kemudian potongan tulang tersebut dimasukkan ke dalam tissue cassete dan selanjutnya dimasukkan ke dalam larutan alkohol 70%.

Proses Embedding

Tahap pertama yang dilakukan adalah penarikan air dari jaringan (dehidrasi). Tissue cassete yang berisi tulang pada alkohol 70% dimasukkan ke dalam larutan alkohol bertingkat, yaitu 80%, 90%, dan 95%, masing-masing selama 24 jam. Setelah itu, tissue cassete yang berisi tulang dimasukkan ke dalam alkohol absolut I, II, dan III, masing-masing selama satu jam.

(23)

10

Tulang dikeluarkan dari tissue cassete dan dimasukkan ke dalam parafin cair I, II, dan III, masing-masing selama satu jam. Proses selanjutnya dibantu dengan alat embedding. Parafin cair dimasukkan ke dalam cetakan embedding dan potongan tulang disusun di dalamnya. Potongan dari bagian tengah tulang disusun secara melintang sedangkan potongan bagian bawahnya disusun secara memanjang. Kemudian parafin didinginkan sampai membeku.

Tahap Blocking dan Pemotongan

Parafin beku berisi tulang dipotong segi empat sesuai besarnya potongan tulang yang berada di dalamnya. Kemudian potongan tersebut ditempelkan pada blok kayu dan diberi label sesuai kelompok perlakuan. Selanjutnya dilakukan pemotongan menggunakan mikrotom. Setelah mendapat sayatan yang sesuai, sayatan tersebut ditempelkan pada gelas objek.

Tahap Pewarnaan

Pewarnaan yang digunakan adalah pewarnaan dengan Hematoksilin-Eosin. Sebelum dilakukan pewarnaan, terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan, yaitu deparafinisasi dan rehidrasi. Tahap deparafinisasi dilakukan dengan merendam preparat ke dalam larutan xylol III, II, dan I, masing-masing selama dua menit. Tahap rehidrasi dilakukan dengan merendam preparat yang telah dideparafinisasi ke dalam larutan alkohol absolut III, II, I, alkohol 95%, 90%, 80%, dan 70%, masing-masing selama dua menit. Selanjutnya preparat dicuci dengan air kran selama 10 menit dan direndam dalam aquades selama lima menit.

Tahap pewarnaan dilakukan dengan merendam preparat ke dalam larutan Hematoksilin selama empat menit. Kemudian preparat dicuci dengan air kran selama 15 menit dan direndam dalam akuades selama lima menit. Selanjutnya preparat direndam dalam larutan Eosin selama satu menit dan dilakukan tahap dehidrasi dengan perendaman dalam alkohol bertingkat (dari alkohol 70% sampai alkohol absolut III) sampai xylol III masing-masing selama beberapa detik. Setelah didapatkan hasil pewarnaan yang sesuai, dilakukan proses mounting menggunakan entelan® dan preparat ditutup dengan kaca penutup.

Identifikasi dan Penghitungan Jumlah Osteoblas, Osteosit, dan Osteoklas

Identifikasi osteoblas, osteosit, dan osteoklas dilakukan dengan cara melihat morfologi sel-sel pada preparat tulang yang telah diwarnai di bawah mikroskop. Setelah itu, dilakukan pemotretan masing-masing preparat dengan bantuan alat Dino-Eye® di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 kali. Perhitungan jumlah osteoblas, osteosit, dan osteoklas dilakukan dengan menggunakan software ImageJ pada lima lapang pandang per preparat setiap kelompok perlakuan. Kemudian hasilnya dirata-ratakan.

Rancangan Penelitian dan Analisis Data

(24)

11

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Histologis dan Jumlah Sel Osteoblas; Osteosit

Gambaran histologis dari tulang tibia tikus percobaan didapat melalui pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE). Sel osteoblas dan osteosit yang dihitung berada di daerah tulang kompakta dengan potongan melintang. Hasil pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) preparat tulang tibia tikus percobaan dapat dilihat pada Gambar 3.

(25)

12

Berdasarkan gambaran histologis tulang yang ditunjukkan pada Gambar 3, terlihat adanya perbedaan kepadatan sel-sel osteoblas dan osteosit yang mengisi jaringan tulang pada setiap perlakuan. Kelompok I memperlihatkan kepadatan yang paling rendah sedangkan kelompok K memiliki kepadatan paling tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. Kelompok J juga terlihat memiliki kepadatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok I, L, dan M. Namun, pengamatan kepadatan berdasarkan gambar yang bersifat kualitatif saja tidak cukup untuk menentukkan adanya perbedaan pada setiap perlakuan. Oleh karena itu, pengamatan dilanjutkan dengan perhitungan jumlah sel-sel osteoblas dan osteosit pada masing-masing perlakuan. Pengamatan dan perhitungan sel dilakukan pada lima lapang pandang melalui gambaran mikroskop perbesaran 100 kali. Hasil rata-rata jumlah sel osteoblas, osteosit, dan jumlah keduanya tersaji pada Tabel 4.

Berdasarkan hasil perhitungan yang terlihat pada Tabel 4, kelompok K menunjukkan jumlah osteoblas yang paling tinggi secara sangat nyata (p<0,01) dibandingkan dengan kelompok lainnya. Kelompok J juga menunjukkan hasil yang lebih tinggi secara sangat nyata (p<0,01) dibandingkan kelompok I. Kelompok I menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,01) dibandingkan kelompok L dan M.

Jumlah sel osteosit pada setiap kelompok menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata (p<0,01), kecuali pada kelompok L dan M. Kelompok I merupakan kelompok dengan jumlah osteosit yang paling rendah secara sangat nyata (p<0,01) dibandingkan dengan kelompok lainnya. Kelompok J memiliki jumlah osteosit lebih tinggi secara sangat nyata (p<0,01) dibandingkan dengan kelompok I, L, dan M, namun lebih rendah secara sangat nyata (p<0,01) dari kelompok K. Kelompok K merupakan kelompok dengan jumlah osteosit yang paling tinggi secara sangat nyata (p<0,01) dibandingkan dengan kelompok lainnya. Kelompok L dan M tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p>0,01), namun jumlah osteosit kelompok tersebut lebih tinggi secara sangat nyata (p<0,01) dibandingkan kelompok I. Osteosit merupakan sel peralihan dari sel osteoblas (Compton dan Lee 2014). Oleh karena itu, penentuan ada tidaknya pengaruh perlakuan dapat dilakukan dengan menjumlahkan sel osteoblas dan sel osteosit pada masing-masing perlakuan.

Tabel 4 Hasil perhitungan rata-rata jumlah osteoblas dan osteosit per lapang pandang

Kelompok

perlakuan Jumlah Osteoblas Jumlah Osteosit

Hasil Penjumlahan Sel Osteoblas dan Sel Osteosit

I 18,80±1,31a 91,90±1,79a 110,70±2,65a

J 23,97±6,55b 140,63±2,65c 164,60±6,01c

K 28,73±4,14c 144,73±3,44d 173,47±3,34d

L 21,80±2,41ab 120,87±1,09b 142,67±2,89b

M 22,47±4,63ab 117,97±3,69b 140,43±6,44b

(26)

13 Berdasarkan hasil penjumlahan sel osteoblas dan osteosit yang ditunjukkan pada Tabel 4, didapatkan hasil bahwa kelompok I menunjukkan jumlah paling sedikit secara nyata (p<0,01) dibandingkan dengan kelompok lainnya. Kelompok I merupakan kelompok tikus kontrol yang tidak diberi tepung tempe ataupun tepung kedelai rebus varietas Grobogan, tetapi diberi kasein. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semua perlakuan, baik pemberian tepung tempe (10% dan 20%), maupun tepung kedelai rebus varietas Grobogan (10% dan 20%) dapat meningkatkan jumlah osteoblas dan osteosit tulang.

Kedelai maupun olahannya, seperti tempe, merupakan salah satu bahan makanan yang mengandung berbagai macam kandungan gizi. Beberapa di antaranya adalah bahan yang diperlukan dalam pertumbuhan tulang, seperti kalsium, fosfor, dan magnesium (Astawan 2009). Penelitian pengaruh pemberian ransum yang mengandung bahan kedelai terhadap ketersediaan mineral di dalam tubuh pun telah banyak dilakukan. Salah satu di antaranya adalah hasil penelitian dari Suarsana et al. (2011) yang menyatakan bahwa pemberian tepung tempe kaya isoflavon pada tikus betina normal dapat meningkatkan kadar kalsium, fosfor, dan estrogen di dalam darah. Seperti yang telah diketahui, bahan-bahan tersebut merupakan bahan penting yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tulang. Peningkatan kadar kalsium di dalam darah mengakibatkan tubuh tidak akan melakukan resorpsi kalsium dari tulang untuk memenuhi kebutuhannya. Kelebihan kalsium di dalam darah setelah digunakan akan disimpan pada tulang. Selanjutnya kalsium tersebut dapat digunakan untuk proses modelling, remodelling, dan penjagaan densitas tulang. Osteoblas dan osteosit merupakan salah satu parameter dari proses modelling dan densitas tulang.

Kasein merupakan protein susu yang juga dapat dijadikan sumber mineral seperti kalsium dan fosfor. Namun, pada kedelai terdapat senyawa yang tidak terdapat pada kasein. Kedelai telah diketahui mengandung senyawa isoflavon (Astawan 2009). Beberapa penelitian telah melaporkan mekanisme aksi dari isoflavon terhadap metabolisme tulang. Sabri (2011) melaporkan bahwa isoflavon (dari tanaman sipatah-patah) dapat mencegah osteoporosis dengan menghambat jumlah sel osteoklas pada tikus betina yang diovariohisterektomi. Atmaca et al. (2008) juga telah melaporkan bahwa isoflavon dari kedelai dapat digunakan untuk manajemen diet osteoporosis pasca menopause.

Isoflavon merupakan subkelompok fitoestrogen yang mampu berikatan dengan reseptor estrogen (ERs) di dalam tubuh (Pilsakova et al. 2010). Isoflavon dalam bentuk genistein dan daidzein diduga dapat berikatan dengan reseptor-β pada sel osteoblas. Ikatan ini dapat menyebabkan peningkatan komponen penyusun protein, aktivitas alkalin fosfatase, dan komponen penyusun DNA di dalam sel osteoblas. Komponen penyusun DNA yang meningkat dalam sel osteoblast akan meningkatkan proliferasi dari sel osteoblas. Selain itu, isoflavon juga dapat meningkatkan aktivitas alkalin fosfatase yang merupakan marker enzyme dari diferensiasi sel osteoblas (Yamaguchi 2002). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian tepung tempe maupun tepung kedelai rebus varietas Grobogan dapat meningkatkan proliferasi osteoblas dan diferensiasi osteoblas menjadi osteosit karena adanya senyawa isoflavon pada bahan tersebut.

(27)

14

dan sel osteosit lebih banyak dibandingkan dengan pemberian tepung kedelai rebus varietas Grobogan. Tempe merupakan hasil olahan kedelai dengan cara fermentasi. Pengolahan ini menyebabkan terjadinya perubahan komponen kimia yang terkandung dalam kedelai, termasuk senyawa isoflavon. Beberapa bentuk isoflavon di antaranya adalah glukosid, malonil, dan aglikon. Proses fermentasi pada kedelai yang dibantu oleh kapang menyebabkan terjadinya peningkatan bentuk aglikon (Ferreira et al. 2011). Isoflavon dalam bentuk aglikon merupakan bentuk yang paling mudah diabsorbsi di dalam usus dan paling tinggi aktivitasnya (Nakajima et al. 2005). Hal tersebut diduga dapat meningkatkan ikatan isoflavon pada

reseptor-β sel osteoblas untuk melakukan proliferasi dan diferensiasi. Selain itu, kadar kalsium di dalam tempe per 100 g berat kering lebih tinggi (347 mg) dibandingkan di dalam kedelai (254 mg) (Astawan 2009). Oleh karena itu pemberian tepung tempe dari kedelai varietas Grobogan dapat menghasilkan jumlah sel osteoblas dan osteosit yang lebih banyak dibandingkan pemberian tepung kedelai rebus varietas Grobogan.

Jumlah sel osteoblas dan osteosit kelompok J lebih rendah secara sangat nyata (p<0,01) dibandingkan dengan kelompok K. Hasil tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi dari tepung tempe berpengaruh terhadap peningkatan jumlah sel osteoblas dan osteosit. Tepung tempe 20% dapat meningkatkan jumlah sel osteoblas dan osteosit lebih banyak dibandingkan dengan tepung tempe 10%. Hal tersebut dapat dimungkinkan karena kandungan mineral kalsium, fosfor, magnesium, dan isoflavonnya lebih tinggi pada tepung tempe dengan konsentrasi 20%.

Jumlah sel osteoblas dan osteosit dari kelompok L tidak berbeda secara nyata (p>0,01) dibandingkan dengan kelompok M. Namun kedua kelompok tersebut memiliki jumlah osteoblas dan osteoklas yang lebih tinggi secara sangat nyata (p<0,01) dibandingkan kelompok I. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian tepung kedelai rebus varietas Grobogan, baik konsentrasi 10% maupun 20% dapat meningkatkan jumlah osteoblas dan osteosit lebih baik dibandingkan pemberian kasein.

(28)

15

Gambaran Histologis dan Jumlah Sel Oteoklas

Pengamatan sel osteoklas dilakukan melalui gambaran histologis dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE). Sel osteoklas diamati pada daerah perombakan tulang dengan potongan memanjang. Hasil pewarnaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.

(29)

16

Berdasarkan gambaran histologis yang terlihat pada Gambar 4, terlihat adanya perbedaan jumlah osteoklas secara kualitatif pada masing-masing kelompok. Kelompok I terlihat memiliki sel osteoklas lebih banyak dibandingkan dengan yang kelompok lainnya. Jumlah osteoklas pada kelompok J dan K terlihat tidak berbeda satu sama lain. Kelompok L dan M terlihat memiliki osteoklas yang paling sedikit. Namun pengamatan secara kualitatif saja tidak cukup untuk membuktikan adanya perbedaan pada setiap kelompok. Untuk memperjelas ada tidaknya perbedaan, maka pengamatan dilanjutkan dengan menghitung jumlah sel osteoklas pada lima lapang pandang di bawah mikroskop perbesaran 100 kali. Hasil perhitungan rata-rata sel osteoklas tersaji pada Tabel 5.

Berdasarkan hasil perhitungan yang disajikan pada Tabel 5, jumlah osteoklas kelompok I berbeda sangat nyata (p<0,01) lebih banyak dibandingkan dengan kelompok yang lainnya. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semua perlakuan, baik pemberian tepung tempe maupun tepung kedelai rebus varietas Grobogan dapat menghasilkan jumlah osteoklas yang lebih sedikit dibandingkan pemberian kasein. Kelompok J menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,01) dengan kelompok K dan L, namun berbeda sangat nyata lebih tinggi (p<0,01) dibandingkan kelompok M. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pemberian ransum tepung tempe 10% tidak berbeda dengan pemberian tepung tempe 20% dan tepung kedelai 10% dalam menghasilkan jumlah osteoklas.

Sel osteoklas merupakan sel multinuklear yang berasal dari monocyte-macrophage lineage. Sel ini bertanggung jawab terhadap resopsi tulang. Aktivitas sel osteoklas erat kaitannya dengan aktivitas dari sel osteoblas. Kedua sel ini saling berinteraksi dalam proses remodeling tulang. Beberapa hormon, sitokin, dan growth factor merupakan faktor penting dalam proses ini. Hormon estrogen merupakan hormon penting yang mempengaruhi aktivitas dan fungsi dari sel osteoblas maupun sel osteoklas. Peran utama estrogen yaitu menekan life span dan menginduksi osteoklas untuk melakukan apoptosis (Soysa et al. 2012).

Jumlah sel osteoklas yang lebih sedikit pada tikus yang diberi tepung tempe dan tepung kedelai rebus dapat dijelaskan dengan adanya kandungan senyawa isoflavon yang tidak terdapat pada kasein. Seperti yang telah diketahui bahwa kedelai dan olahannya memiliki kandungan isoflavon, yaitu senyawa yang mirip dengan estrogen (Pilsakova et al. 2010). Senyawa inilah yang diduga dapat menekan jumlah osteoklas. Aktivitas osteoklas diatur oleh fosforilasi dari

Tabel 5 Hasil perhitungan rata-rata jumlah osteoklas per lapang pandang

(30)

17 konstituen membran sel yang melibatkan tyrosine kinase. Mekanisme isoflavon pada aktivitas osteoklas sendiri masih belum dapat dideskripsikan dengan jelas. Namun, beberapa laporan telah menyebutkan bahwa genistein (salah satu bentuk isoflavon) merupakan inhibitor dari tyrosin kinase (Atmaca et al. 2008). Oleh karena itu, senyawa isoflavon yang terdapat pada tepung tempe dan tepung kedelai rebus varietas Grobogan dapat menekan jumlah dan aktivitas osteoklas dalam meresorpsi tulang. Beberapa penelitian lain juga menyebutkan bahwa isoflavon dapat menurunkan jumlah sel osteoklas. Senyawa isoflavon dari batang sipatah-patah dapat menurunkan jumlah sel osteoklas tikus betina model osteoporosis (Sabri 2011). Wiyasa et al. (2008) menyebutkan bahwa isoflavon dari ekstrak tokbi dapat menurunkan jumlah osteoklas tikus yang diovariektomi. Darmadi et al. (2011) menyebutkan bahwa isoflavon dari ekstrak kacang tunggak menyebabkan penurunan jumlah sel osteoklas tikus yang diovariektomi.

Jumlah osteoblas dan osteoklas pada kelompok I (Tabel 4 dan 5) memiliki hubungan negatif. Jumlah osteoblas pada kelompok I merupakan jumlah yang paling sedikit dibandingkan dengan kelompok lainnya. Namun, jumlah osteoklasnya menunjukkan hasil yang paling banyak. Phan et al. (2004) dan Atmaca et al. (2008) menyebutkan bahwa aktivitas osteoklas dikontrol oleh adanya sel osteoblas. Osteoblas menghasilkan osteoprotegerin (OPG) yang merupakan osteoclast inhibitory factor (OCIF) (Phan et al. 2004). Hal ini yang menyebabkan adanya hubungan negatif antara jumlah osteoblas dan osteoklas pada kelompok I.

Jumlah osteoklas yang dapat ditemukan dan dihitung pada setiap kelompok hanya sedikit. Menurut laporan Blair dan Athanasou (2004), sel osteoklas jarang ditemukan pada tulang dewasa normal, tetapi sering ditemukan pada tulang yang mengalami kelainan patologis, seperti oteoporosis. Berdasarkan hasil tersebut diduga bahwa tulang tikus percobaan masih dalam keadaan normal dan belum terjadi kelainan. Penelitian Sengupta (2013) telah melaporkan perbandingan antara umur tikus percobaan dan manusia. Data dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa umur 13,2 hari pada tikus percobaan sama dengan satu tahun pada manusia. Jika dilihat dari tikus percobaan yang berumur kurang lebih 120 hari (30 hari pada awal percobaan ditambah 90 hari selama masa percobaan), maka perkiraan umur pada manusia sekitar 10 tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa tikus percobaan masih dalam masa pertumbuhan dan masih jauh dari umur untuk menderita osteoporosis.

Pada keadaan osteoporosis, terutama pascamenopouse, hormon estrogen yang berperan dalam metabolisme tulang akan berkurang. Kekurangan hormon estrogen akan meningkatkan level tumor necrosis factor β (TNF-β). Tumor necrosis

factor β (TNF-β) merupakan suatu senyawa sitokin yang terlibat dalam resopsi

tulang. Oleh karena itu, pada keadaan osteoporosis, jumlah osteoklas akan meningkat karena aktivitas resopsi tulang juga meningkat (Blair dan Athanasou 2004).

(31)

18

I. Hasil tersebut menunjukkan bahwa baik pemberian tepung tempe (10% dan 20%) maupun tepung kedelai rebus varietas Grobogan (10% dan 20%) sama-sama baik dalam menekan jumlah osteoklas dibandingkan pemberian kasein.

Menurut laporan He dan Che (2013), kandungan genistein pada tepung kedelai Amerika lebih tinggi (85,12 mg/ 100 g) dibandingkan pada tempe dari kedelai Amerika (36,15 mg/ 100 g). Berbeda dengan laporan tersebut, Safrida (2012) menyebutkan bahwa kandungan genistein pada tepung tempe dari kedelai impor (varietas Amerikana) justru lebih tinggi (250,65 mg/ kg) dibandingkan tepung kedelai impor (varietas Amerikana) (65,15 mg/kg). Astawan (2009) juga menyebutkan bahwa kandungan genistein pada tempe dari kedelai lokal lebih tinggi (4,94 mg/100 g) dibandingkan kedelai lokal (1,60 mg/100 g). Genistein merupakan bentuk isoflavon yang diduga dapat mempengaruhi aktivitas sel osteoklas. Sedangkan pada penelitian ini, hasil menunjukkan bahwa pemberian ransum yang mengandung baik tepung tempe maupun tepung kedelai varietas Grobogan sama-sama dapat menurunkan jumlah osteoklas. Perbedaan kandungan genistein pada tepung tempe maupun tepung kedelai dapat disebabkan oleh adanya perbedaan varietas kedelai, keadaan tempat kedelai ditanam, serta proses dan metode yang digunakan pada masing-masing penelitian.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pemberian tepung tempe dan tepung kedelai varietas Grobogan dapat meningkatkan jumlah sel osteoblas dan sel osteosit tulang tibia tikus percobaan. Pemberian tepung tempe meningkatkan jumlah sel osteoblas dan sel osteosit lebih baik dibandingkan tepung kedelai. Pemberian tepung tempe 20% menunjukkan peningkatan jumlah sel osteoblas dan sel osteosit yang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung tempe 10%. Selain itu, pemberian tepung tempe (10% dan 20%) maupun tepung kedelai rebus vareitas Grobogan (10% dan 20%) dapat menurunkan jumlah osteoklas.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek senyawa bioaktif dalam tepung tempe dan tepung kedelai rebus varietas Grobogan pada tikus percobaan.

DAFTAR PUSTAKA

Astawan M. 2008. Sehat dengan Tempe. Jakarta (ID): PT Dian Rakyat.

Astawan M. 2009. Sehat dengan Hidangan Kacang dan Biji-bijian. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

(32)

19 Astawan M, Wresdiyati T, Widowati S, Bintari SH, Ichsani N. 2013. Karakteristik fisikokimia dan sifat fungsional tempe yang dihasilkan dari berbagai varietas kedelai. Pangan. 22(3):241-252.

Asyaifullah K. 2015. Bioavailabilitas Mineral Kalsium dari Tepung Tempe dan Tepung Kedelai pada Tikus Percobaan [skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.

Atmaca A, Kleerekoper M, Bayraktar M, Kucuk O. 2008. Soy isoflavones in the management of postmenopausal osteoporosis. Menopause. 15(4):748-757. Babu PD, Bhakyaraj R, Vidhyalakshmi R. 2009. A low cost nutritious food

“tempeh”- a review. World Journal of Dairy and Food Science. 4(1):22-27. Bastian F, Ishak E, Tawali AB, Bilang M. 2013. Daya terima dan kandungan zat

gizi formula tepung tempe dengan penambahan semi refined carrageenan (src) dan bubuk kakao. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. 2(1):5-8.

Biben HA. 2012. Fitoestrogen: khasiat terhadap sistem reproduksi, non reproduksi dan keamanan penggunaannya. Seminar Ilmiah Nasional Estrogen sebagai Sumber Hormon Alami. 31 Maret 2012.

Blair HC, Athanasou NA. 2008. Review: Recent advances in osteoclast biology and pathological bone resorption. Histology and Hitopathology. 19:189-199. Compton JT, Lee FY. 2014. A review of osteocyte function and the emerging

importance of sclerostin. Journal of Bone and Joint Surgery-Americana. 96:1659-1668.

Darmadi D, Nurdiana, Norahmawati E. 2011. Efek ekstrak kacang tunggak terhadap osteoblas dan osteoklas pada tikus dengan ovarektomi. Jurnal Kedokteran Brawijaya. 26(3):151-155.

Djuwita I, Pratiwi IA, Winarto A, Sabri M. 2012. Proliferasi dan diferensiasi sel tulang tikus dalam medium kultur in vitro yang mengandung ekstrak batang Cissus quadrangula Salisb. (sipatah-patah). Jurnal Kedokteran Hewan. 6(2):75-80.

Ferreira MP, de Oliveira MCN, Mandarino JMG, da Silva JB, Ida EI, Carrao-Panizzi MC. 2011. Changes in the isoflavone profile and in the chemical composition of tempeh during processing and refigeration. Pesquisa Agropecuária Brasileira. 46(11):1555-1561.

Ginting E, Antarlina SS, Widowati S. 2009. Varietas unggul kedelai untuk bahan baku industri pangan. Jurnal Litbang Pertanian. 28(3):79-87.

He FJ, Chen JQ. 2013. Consumption of soybean, soy foods, soy isoflavones and breast cancer incidence: Differences between Chinese women and women in Western countries and possible mechanisms. Food Science and Human Wellness. 2:146-161.

Janvier Labs. 2013. SPRAGUE DAWLEY® Rat [internet]. [diunduh 2015 Mei 05]. Tersedia pada: http://www.janvier-labs.com/tl_files/_media/images/FICHE_ RESEARCH_MODEL_SPRAGUE_DAWLEY.pdf

[KEMENRISTEK] Kementerian Riset dan Teknologi. 2006. Budidaya Pertanian: Kedelai. Jakarta (ID): KantorDeputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

(33)

20

Milani A, Rosmayati, Siregar LAM. 2013. Pertumbuhan dan produksi beberapa varietas kedelai terhadap inokulasi bradyrhizobium. Jurnal Online Agroekoteknologi. 1(2):15-23.

Murni M. 2010. Kajian penambahan tepung tempe pada pembuatan kue basah terhadap daya terima konsumen. Jurnal Teknologi Pangan. 4(2):67-77. Mursyid, Astawan M, Muchtadi D, Wresdiyati T, Widowati S, Bintari SH, Suwarno

M. 2014. Evaluasi nilai gizi protein tepung tempe yang terbuat dari varietas kedelai impor dan lokal. Pangan. 23(1):33-42.

Nakajima N, Nozaki N, Ishihara K, Ishikawa A, Tsuji H. 2005. Analysis of isoflavone content in tempeh, a fermented soybean, and preparation of a new isoflavone-enriched tempeh. Journal of Bioscience and Bioengineering. 100(6):685-687.doi: 10.1263/jbb.100.685.

Neve A, Corrado A, Cantatore FP. 2010. Review: Osteoblast physiology in normal and pathological conditions. Cell Tissue Research.doi: 10.1007/s00441-010-1086-1.

Nurdin SU, Muchtadi D, Djuwita I, Pawiroharsono S. 2002. Karakterisasi senyawa bioaktif isoflavon dan uji aktivitas antioksidan dari ekstrak etanol tempe berbahan baku koro pedang (Canavalia ensiformis). Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 13(3):246-253.

Phan TCA, Xu J, Zheng MH. 2004. Review: Interaction between osteoblast and osteoclast: impact in bone disease. Histology and Histopathology. 19:1325-1344.

Pilsakova L, Riecansky I, Jagla F. 2010. The Physiological Actions of Isoflavone Phytoestrogens. Physiological Research. 59:651-664.

[PPPTP] Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2010. Kedelai Varietas Lokal Grobogan. Informasi Ringkas. Bank Pengetahuan Tanaman Pangan Indonesia.

Ridwan E. 2013. Etika pemanfaatan hewan percobaan dalam penelitian kesehatan. Journal of Indonesian Medical Association. 63(3):112-116.

Sabri M. 2011. Aktivitas ekstrak etanol batang sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) sebagai antiosteoporosis pada tikus (Rattus norvegicus) [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Safrida. 2012. Comparison of bioactive compounds content of aglicone isoflavones in soy powder and tempeh powder. Proceeding. Food Sovereignty and Natural Resources in Archipelago Region. Bogor: 23-24 Oktober 2012. Sengupta P. 2013. The laboratory rat: Relating its age with human's. International

Journal of Preventive Medicine. 4(6):624-630.

Soysa NS, Alles N, Aoki K, Ohya K. 2012. Review: Osteoclast formation and differentiation. Journal of Medical and Dental Sciences. 59:65-74.

Suarsana IN, Dharmawan INS, Gorga IW, Priosoeryanto BP. 2011. Tepung tempe kaya isoflavon meningkatkan kadar kalsium, posfor dan estrogen plasma tikus betina normal. Jurnal Veteriner. 12(3):229-234.

Wiyasa IWA, Norahmawati E, Soehartono. 2008. Pengaruh isoflavone genistein dan daidzein ekstrak tokbi (Pueraria lobata) strain Kangean terhadap jumlah osteoblas dan osteoklas Rattus Novergicus Wistar hipoestrogenik. Majalah Obstetri dan Ginekologi Indonesia. 32(3):148-152.

(34)
(35)

22

Lampiran 1 Hasil Analisis ANOVA dan uji DUNCAN dari jumlah osteosit, osteoblas, dan jumlah keduanya.

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

OSTEOSIT Between Groups 53403.773 4 13350.943 481.808 .000

Within Groups 4017.967 145 27.710

Total 57421.740 149

OSTEOBLAS Between Groups 1591.573 4 397.893 13.608 .000

Within Groups 4239.900 145 29.241

Total 5831.473 149

JUMLAH Between Groups 71636.093 4 17909.023 340.297 .000

Within Groups 7631.000 145 52.628

Total 79267.093 149

OSTEOSIT

Duncan

PERLAKUAN N

Subset for alpha = 0.01

1 2 3 4

I 3 91.9000

M 3 1.1797E2

L 3 1.2087E2

J 3 1.4063E2

K 3 1.4473E2

Sig. 1.000 .035 1.000 1.000

(36)

23 OSTEOBLAS

Duncan

PERLAKUAN N

Subset for alpha = 0.01

1 2 3

I 3 18.8000

L 3 21.8000 21.8000

M 3 22.4667 22.4667

J 3 23.9667

K 3 28.7333

Sig. .013 .146 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

JUMLAH

Duncan

PERLAKUAN N

Subset for alpha = 0.01

1 2 3 4

I 3 1.1070E2

M 3 1.4043E2

L 3 1.4267E2

J 3 1.6460E2

K 3 1.7347E2

Sig. 1.000 .235 1.000 1.000

(37)

24

Lampiran 2 Hasil Analisis ANOVA dan uji DUNCAN dari jumlah osteoklas.

ANOVA

OSTEOKLAS

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 7.396 4 1.849 95.638 .000

Within Groups .193 10 .019

Total 7.589 14

OSTEOKLAS

Duncan

PERLAKUAN N

Subset for alpha = 0.01

1 2 3

M 3 2.0333

L 3 2.1667 2.1667

K 3 2.3333 2.3333

J 3 2.4667

I 3 3.9667

Sig. .030 .030 1.000

(38)
(39)

26

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sumedang, pada tanggal 19 Mei 1993, yang merupakan putra ke-3 dari Ayah Syamsi Suparman, dan Ibu Dedeh Jubaedah. Penulis mulai menempuh pendidikan SMA di SMAN Tanjungsari, Sumedang pada tahun 2008. Setelah lulus dari SMA pada tahun 2011, penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN Undangan. Selama kuliah di FKH, penulis aktif menjadi anggota beberapa organisasi, diantarnya yaitu HIMPRO Orithologi dan Unggas, PC IMAKAHI IPB, dan DKM An-Nahl. Pada tahun 2012-2013, penulis diamanahkan menjadi ketua divisi kubah di HIMPRO Ornithologi dan Unggas; dan ketua divisi kaderisasi di PC IMAKAHI IPB.

Gambar

Tabel 1 Informasi kedelai varietas Grobogan
Gambar 1  Biji kedelai varietas Grobogan (PPTP 2010)
Tabel 2 Perbandingan kandungan gizi tempe dan kedelai
Gambar 2  Perbandingan struktur molekular 17-β-estradiol dan isoflavon (dalam
+5

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan: Untuk membuktikan adanya pengaruh pemberian tempe kedelai hitam terhadap sel lemak hepar tikus putih dengan diet tinggi lemak dan propiltiourasil (PTU).. Metode:

Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian tepung tempe pada tikus ovariektomi selama empat bulan dapat memperbaiki kualitas tulang dengan meningkatkan kadar kalsium, fosfor

Analisis Data Anova Satu Arah Kadar Lemak Tempe Kedelai dengan Penambahan Tepung Bekatul

Rerata berat badan tikus yang diberi tepung tempe dan susu kedelai lebih tinggi dibandingkan dengan rerata berat badan tikus pada kelompok kontrol.. Peningkatan berat badan

Berdasarkan data hasil analisis, tempe yang dihasilkan dari kedelai Grobogan memiliki tingkat kesukaan yang sama dengan tempe dari kedelai GMO, namun kurang disukai

Pemberian variasi tepung tempe dan tepung kedelai pada usar, menunjukkan nilai biomassa 14,5 gram dan nilai kadar air 65,25 gram, serta kenampakan tempe yang sama,

Hasil penelitian menuqjukkan bahwa varietas kedelai dan pemberian pupuk kandang sapi berpengaruh nyata terhadap jumlah polong/sampel, bobot biji kering/sampel, bobot

Jika dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif, pemberian tepung kedelai konsentrasi 15% dan 20% menunjukkan perbedaan yang signifikan, sedangkan tepung kedelai