• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUBAHAN KADAR HORMON ESTROGEN PADA TIKUS YANG DIBERI TEPUNG KEDELAI DAN TEPUNG TEMPE SAFRIDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERUBAHAN KADAR HORMON ESTROGEN PADA TIKUS YANG DIBERI TEPUNG KEDELAI DAN TEPUNG TEMPE SAFRIDA"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

TEPUNG TEMPE

SAFRIDA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Perubahan Kadar Hormon Estrogen pada Tikus yang diberi Tepung Kedelai dan Tepung Tempe” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2008 Safrida

(3)

ABSTRACT

SAFRIDA .The alteration of rats estrogen hormone level that added soybean flour and tempeh flour. Under Supervision of DEDY DURYADI SOLIHIN and NASTITI KUSUMORINI.

Soybean and tempeh contains isoflavon compound. The isoflavon molecule structure is similar with endogen estrogen. Hence, isoflavon is able to bond with estrogen reseptor so it can replace estrogen function. Estrogen hormone level have a large variation depend on estrus cycle phase. The objective of the research was to prove exogenous estrogen that produced by soybean flour and tempeh flour increases estrogen hormone level of ovariectomy rat, and to compare the ovariectomy rat estrogen hormone level that given soybean flour and tempeh flour. The experimental method used in this research is Randomized complete design with 6 block of treatments and 5 times repetition. The block of treatments are non-ovariectomy rat fed by pelet/control (Non-ov K), non-ovariectomy rat fed by 10 g dry weight/100 g body weight/day soybean flour (Non-ov Kd), non-ovariectomy rat fed by 10 g dry weight/100 g body weight/day tempeh flour (Non-ov T), ovariectomy rat fed by pelet/control (Ov K), ovariectomy rat fed by 10 g dry weight/100 g body weight/day soybean flour (Ov Kd), ovariectomy rat fed by 10 g dry weight/100 g body weight/day tempeh flour (Ov T). The data of estrogen level is analyzed by Analysis of Variance (ANOVA) and then continued by Duncan Multiple Range Test at 95% confidence interval (5% significance level). Non-ovariectomy rat that given tempeh flour have longer estrus cycle than the non ovariectomy rat that given soybean flour. The isoflavon contained on the tempeh flour and soybean flour have an effect on vagina epitel, that is the proliferation and cornification on vagina epitel cell. Estrogen hormone level on non-ovariectomy rat fed by tempeh flour is higher than the estrogen hormone level on non- ovariectomy rat fed by soybean flour. The length of the estrus phase between the ovariectomy rat fed by tempeh flour, and ovariectomy rat fed by soybean flour equal to non ovariectomy rat fed by pelet. The added of soybean flour and tempeh flour to ovariectomy rat optimize estrogen hormone in order to happening the estrus phase. The added of tempeh flour to non ovariectomy and ovariectomy rat is better than the soybean flour.

Keywords: estrogen, ovariectomy, estrus cycle, isoflavon, Rattus norvegicus

(4)

RINGKASAN

SAFRIDA. Perubahan Kadar Hormon Estrogen pada Tikus yang Diberi Tepung Tempe dan Tepung Kedelai. Dibimbing oleh DEDY DURYADI SOLIHIN dan NASTITI KUSUMORINI.

Kedelai dan tempe mengandung senyawa isoflavon. Struktur molekul isoflavonnya memiliki kemiripan dengan estrogen endogen. Oleh sebab itu isoflavon mampu berikatan dengan reseptor estrogen sehingga isoflavon dapat menggantikan fungsi estrogen. Kadar hormon estrogen sangat bervariasi tergantung pada fase siklus estrus.

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan estrogen eksogenik yang dihasilkan tepung kedelai dan tepung tempe dapat meningkatkan kadar hormon estrogen tikus ovariektomi dan untuk membandingkan kadar hormon estrogen tikus ovariektomi yang diberi tepung kedelai dan tepung tempe.

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yaitu pola rancangan acak lengkap (RAL) dengan 6 (enam) kelompok perlakuan dan 5 (lima) kali ulangan, kelompok perlakuan tersebut adalah kelompok 1: tikus non ovariektomi yag diberi pelet/ kontrol (Non-Ov K), kelompok 2: tikus non ovariektomi yang diberi tepung kedelai 10 g bk/100 g bb/hari (Non-Ov Kd), kelompok 3: tikus non ovariektomi yang diberi tepung tempe 10 g bk/100 g bb/hari (Non-Ov T), kelompok 4: tikus ovariektomi yag diberi pelet/pakan biasa (Ov K), kelompok 5: tikus ovariektomi yang diberi tepung kedelai 10 g bk/100 g bb bk/hari (Ov Kd), dan kelompok 6: tikus ovariektomi yang diberi tepung tempe 10 g bk/100 g bb/hari (Ov T). Setelah selesai masa perlakuan dilakukan pengambilan data untuk menentukan panjang siklus estrus dengan cara melakukan ulas vagina. Ulas vagina dilakukan 2 (dua) kali sehari, yaitu pada pagi hari (pukul 07.00 WIB) dan sore hari (pukul 18.00 WIB) selama dua minggu. Preparat ulas vagina selanjutnya difiksasi dengan methanol selama 15 menit dan diwarnai dengan Giemsa 10% selama 30 menit, dicuci dengan air mengalir setelah itu dikeringkan. Setelah kering, preparat diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 40x10. Pada fase diestrus, masing-masing tikus diambil darahnya secara interkardial sebanyak kurang lebih 1 ml. Darah dikoleksi pada tabung penampung, selanjutnya darah disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama 15 menit sehingga didapatkan serum yang kemudian digunakan untuk penentuan kadar estrogen. Konsentrasi estrogen dalam serum diukur dengan metode Radioimmunoassay (RIA) dengan teknik fase padat menggunakan kit estrogen coat-a-count yang berisi estradiol berlabel 125I. Data kadar estrogen dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Duncan dengan selang kepercayaan 95% (α = 0.05).

Hasil analisis tepung kedelai dan tepung tempe menunjukkan 3 macam senyawa isoflavon utama yaitu daidzein, glisitein dan genistein. Hasil analisis kromatrogram menunjukkan bahwa senyawa isoflavon yang paling dominan baik pada tepung kedelai dan tepung tempe adalah daidzein dan genistein. Kandungan genistein dalam tepung tempe 250.65 mg/kg bk, lebih banyak dibandingkan tepung kedelai 65.15 mg/kg bk, sehingga tepung tempe lebih baik dari pada tepung kedelai.

(5)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tikus non ovariektomi yang diberi tepung tempe mempunyai siklus estrus yang lebih panjang dibandingkan dengan tikus non ovariektomi yang diberi tepung kedelai. Kadar hormon estrogen pada tikus non ovariektomi yang diberi tepung tempe lebih tinggi dari pada tikus non ovariektomi yang diberi tepung kedelai. Pemberian tepung tempe dan tepung kedelai pada tikus non ovariektomi dapat mengoptimalkan hormon estrogen sehingga terjadinya perpanjangan fase proestrus dan estrus.

Kadar hormon estrogen pada tikus ovariektomi yang diberi tepung tempe lebih tinggi bila dibandingkan dengan tikus ovariektomi kontrol, sedangkan kadar estrogen pada tepung kedelai sama dengan tikus ovariektomi yang diberi tepung tempe. Kadar hormon tikus ovariektomi yang diberi tepung tempe dan yang diberi tepung kedelai mempunyai efek pada epitel vagina yaitu terjadinya proliferasi dan kornifikasi sel epitel vagina. Pemberian tepung kedelai dan tepung tempe pada tikus ovariektomi dapat mengoptimalkan hormon estrogen dalam memunculkan fase estrus. Pemberian tepung tempe pada tikus non ovariektomi dan tikus ovariektomi lebih baik dari pada pemberian tepung kedelai.

Kata kunci: estrogen, ovariektomi, siklus estrus, isoflavon, Rattus norvegicus

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

(7)

PERUBAHAN KADAR HORMON ESTROGEN PADA

TIKUS YANG DIBERI TEPUNG KEDELAI DAN

TEPUNG TEMPE

SAFRIDA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Progran Studi Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ini dapat diselesaikan. Penelitian dengan judul: Perubahan kadar hormon estrogen pada tikus yang diberi tepung kedelai dan tepung tempe dilaksanakan sejak Juni 2007 sampai Desember 2007.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA dan Ibu Dr. Nastiti Kusumorini selaku pembimbing yang telah banyak membantu serta memberikan motivasi dan arahan dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis. Terima kasih kepada Ibu Dr. Drh. Hera Maheshwari, M.Sc. atas kesediaaannya sebagai penguji luar komisi.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh staf pengajar Program Studi Biologi Pascasarjana IPB, staf pengajar dan pegawai di bagian Fisiologi dan Farmakologi FKH-IPB, staf laboran dari Laboratorium Jasa Analisis Pangan Fakultas Teknik Pertanian Institut Pertanian Bogor, staf laboran dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Bogor atas bantuan dan kerjasamanya. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada suami Muksin dan anak tercinta atas segala doa, motivasi, keikhlasan, kesabaran, dan cintanya. Terima kasih juga yang tidak terhingga kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya.

Ungkapan terima kasih juga diungkapkan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Bantuan Beasiswa NAD, Bantuan Beasiswa Pemda Aceh Besar yang telah membantu memberikan dana untuk studi dan penelitian tesis. Terima kasih juga kepada rekan zoologi 2006 serta tim penelitian: Adri dan Ibu Atin yang telah banyak membantu serta memberi motivasi kepada penulis.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi yang membutuhkannya.

Bogor, Juli 2008

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Aceh Besar pada tanggal 5 Agustus 1980 dari ayah Anwar Ahmad dan ibu Suwardiah. Penulis merupakan putri keempat dari tujuh orang bersaudara. Penulis sudah menikah dan sudah dikaruniai satu putra yang bernama Almas Mubarak.

Tahun 1998 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Aceh Besar. Pendidikan sarjana ditempuh di FKIP Biologi, Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2005 penulis diterima menjadi staf pengajar FKIP Biologi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh dan pada tahun 2006 diterima di Program Studi Biologi Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Perumusan Masalah . ... 2 Tujuan Penelitian ... 2 Hipotesis ... 3 Manfaat Penelitian ... 3 TINJAUAN PUSTAKA ... 4 Kedelai ... 4 Tempe ... 6 Fitoestrogen ... 8 Isoflavon ... 9 Hormon Estrogen ... 10 Biologi UmumTikus ... 14 Siklus Estrus... 15

BAHAN DAN METODE ... 19

Waktu dan Tempat Penelitian ... 19

Bahan dan Alat ... 19

Metode Penelitian ... 19

Rancangan Percobaan ... 24

Analisis Data ... 24

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

Kandungan Senyawa Isoflavon Tepung Kedelai dan Tepung Tempe. 25 Siklus Estrus dan Kadar Hormon Estrogen Tikus Non Ovariektomi .. 26

Siklus Estrus dan Kadar Hormon Estrogen Tikus Ovariektomi ... 29

Hubungan Panjang Siklus Estrus dengan Kadar Hormon Estrogen Pada Tikus... 33

SIMPULAN DAN SARAN ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi kimia biji kedelai kering per 100 gram ... 5

2 Kandungan asam amino essensial biji kedelai ... 5

3 Komposisi kimia tempe kedelai ... 8

4 Hasil analisis senyawa isoflavon tepung kedelai dan tepung tempe ... 10

5 Perbandingan jenis sel pada preparat ulas vagina ... 22

6 Hasil analisis kuantitatif senyawa isoflavon tepung kedelai dan tepung tempe ... 25

7 Pengaruh pemberian tepung kedelai dan tepung tempe pada panjang siklus estrus dan rataan kadar estradiol tikus non ovariektomi ... 27

8 Pengaruh pemberian tepung kedelai dan tepung tempe pada panjang siklus estrus dan rataan kadar estradiol tikus ovariektomi ... 29

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Struktur isoflavon... 9

2 Bentuk-bentuk estrogen ... 11

3 Skema pembentukan steroid pada perkembangan folikel... 13

4 Hubungan jalur metabolisme karbohidrat, protein dan lemak ... 14

5 Gambaran ulas vagina tikus putih ... 22

6 Diagram rataan panjang setiap fase siklus estrus tikus non ovariektomi ... 27

7 Diagram rataan panjang setiap fase siklus estrus tikus non ovariektomi ... 30

8 Grafik hubungan rataan kadar estradiol terhadap rataan panjang siklus estrus ... 33

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Proses pembuatan tepung kedelai ... 41

2 Proses pembuatan tempe ... 42

3 Proses pembuatan tepung tempe ... 43

4 Prosedur analisis kandungan isoflavon ... 44

5 Kromatogram HPLC standar senyawa isoflavon ... 47

6 Kromatogram HPLC tepung kedelai ... 48

7 Kromatogram HPLC tepung tempe ... 49

8 Contoh perhitungan kandungan senyawa isoflavon ... 50

9 Data rataan fase siklus estrus tikus non ovariektomi sesudah diberi pelet... . 51

10 Data rataan fase siklus estrus tikus non ovariektomi sesudah diberi tepung kedelai ... 52

11 Data rataan fase siklus estrus tikus non ovariektomi sesudah diberi tepung tempe ... 54

12 Data rataan fase siklus estrus tikus ovariektomi setelah diberi pelet ... 55

13 Data rataan fase siklus estrus tikus ovariektomi sesudah diberi tepung kedelai. ... 57

14 Data rataan fase siklus estrus tikus ovariektomi sesudah diberi tepung tempe ... 60

15 Data pengukuran estradiol pada fase diestrus tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague-Dawley ... 62

16 Hasil analisis statistik estradiol tikus non ovariektomi ... 63

17 Hasil analisis statistik estradiol tikus putih ovariektomi ... 64

18 Hasil analisis statistik untuk panjang siklus estrus terhadap kadar estradiol... 66

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kedelai (Glycine max L.) merupakan sumber protein yang paling baik serta sebagai sumber lemak, vitamin, mineral dan serat. Kandungan protein berkisar 30-40%, karbohidrat 34,8%, lemak 18,1% dan masih mengandung zat gizi yang lain sehingga mempunyai potensi yang cukup baik untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, khususnya kebutuhan protein. Selain dari kandungan gizi yang tinggi, kedelai merupakan sumber isoflavon (Heinnermen 2003). Isoflavon merupakan salah satu senyawa fitoestrogen, yaitu senyawa nabati yang memiliki efek serupa dengan estrogen. Fitoestrogen dapat mengurangi gejala menopause, memperbaiki lipid atau lemak dalam plasma, menghambat perkembangan arteriosklerosis, serta menghambat pertumbuhan sel-sel tumor atau kanker pada payudara dan endometrium (Hidayati 2003).

Isoflavon terbukti mempunyai efek hormonal, khususnya efek estrogenik. Aktifitas estrogenik isoflavon diketahui terkait dengan struktur kimianya yang mirip dengan dietilstilbesterol, yang biasanya digunakan sebagai obat yang memiliki sifat estrogenik (Pawiroharsono 2007). Isoflavon mampu berikatan dengan reseptor estrogen sehingga dapat berpotensi sebagai pengganti hormon estrogen yang relatif aman (Yulianto 2004).

Struktur molekul isoflavon kedelai dan produk olahannya memiliki kemiripan dengan estrogen endogen, oleh sebab itu isoflavon mampu berikatan dengan reseptor estrogen, dan pada akhirnya isoflavon dapat menggantikan fungsi estrogen. Afinitas isoflavon terhadap reseptor estrogen sangatlah rendah bila dibandingkan dengan estrogen endogenous sehingga diperlukan jumlah fitoestrogen yang sangat besar untuk memperoleh efek yang memadai seperti estrogen (Tanu 2005).

Tempe sebagai produk makanan telah dikenal baik oleh masyarakat Indonesia maupun masyarakat luar. Tempe merupakan salah satu produk olahan hasil fermentasi kedelai. Komponen dan nilai gizi dalam kedelai mengalami perubahan selama fermentasi menjadi tempe. Nilai gizi protein tempe meningkat setelah proses fermentasi karena terjadinya pembebasan asam amino hasil

(17)

aktivitas enzim proteolitik dari tempe. Fermentasi juga menyebabkan jumlah kandungan isoflavon dalam tempe meningkat dibandingkan dengan kedelai tanpa fermentasi (Cahyadi 2007). Manfaat tempe disamping kandungan gizinya yang tinggi, kandungan bioaktif yang dihasilkan dalam proses fermentasi kedelai menjadi tempe sangat bermanfaat bagi kesehatan (Nakajima et al. 2005).

Pada tikus putih, estrogen dihasilkan dari masa pubertas yaitu sekitar usia 8 minggu sampai berhentinya masa reproduksi kurang lebih pada usia 2,5 tahun ( Hafez et al. 2000). Kadar hormon estrogen sangat bervariasi (berfluktuasi) tergantung pada fase siklus estrus (Turner dan Bagnara 1976). Fungsi estrogen dalam hubungannya dengan reproduksi adalah menyebabkan proliferasi dan pertumbuhan sel jaringan organ reproduksi dan jaringan lain yang berhubungan dengan reproduksi, mempertahankan sistem saluran kelamin betina dan sifat kelamin sekunder serta kelakuan kelamin betina (Guyton 1996). Selain untuk reproduksi, estrogen juga dibutuhkan untuk kesehatan terutama pada saat menopause yaitu untuk mempertahankan saluran reproduksi dan dapat mengurangi berbagai keluhan menopause (Ganong 2003).

Dalam sistem reproduksi, hormon reproduksi memegang peranan yang sangat penting. Keberhasilan reproduksi tergantung pada keseimbangan hormon reproduksi. Hormon reproduksi utama pada hewan betina adalah hormon estrogen (Turner dan Bagnara 1976). Kekurangan hormon estrogen dapat menyebabkan gangguan reproduksi dan kesehatan, oleh karena itu diperlukan suplemen berupa tepung kedelai dan tepung tempe yang mengandung estrogen eksogenik.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan estrogen eksogenik yang terkandung dalam tepung kedelai dan tepung tempe dapat mengoptimalkan kadar hormon estrogen tikus dan untuk membandingkan kadar hormon estrogen tikus yang diberi tepung kedelai dan tepung tempe.

(18)

Hipotesis

Estrogen eksogenik yang terkandung dalam tepung kedelai dan tepung tempe dapat mengoptimalkan kadar hormon estrogen tikus, dan pemberian tepung tempe lebih baik dibandingkan dengan pemberian tepung kedelai.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang estrogen eksogenik yang terkandung tepung tempe dan tepung kedelai dapat mempengaruhi reproduksi hewan dan manusia. Data ini dapat digunakan untuk penerapan dan pengembangan dalam Ilmu Kedokteran serta Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan dalam bidang farmasi.

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Kedelai

Kedelai (Glycine max) sudah dibudidayakan sejak 1500 tahun SM dan baru masuk ke Indonesia, terutama Jawa sekitar tahun 1750. Kedelai paling baik ditanam di ladang dan persawahan antara musim kemarau dan musim hujan. Sedangkan rata-rata curah hujan tiap tahun yang cocok bagi kedelai adalah kurang dari 200 mm dengan jumlah bulan kering 3-6 bulan dan hari hujan berkisar antara 95-122 hari selama setahun. Kedelai mempunyai perawakan kecil dan tinggi batangnya dapat mencapai 75 cm. Bentuk daunnya bulat telur dengan kedua ujungnya membentuk sudut lancip dan bersusun tiga menyebar (kanan-kiri-depan) dalam satu untaian ranting yang menghubungkan batang pohon. Menurut varietasnya ada kedelai yang berwarna putih dan hitam. Baik kulit luar buah polong maupun batang pohonnya mempunyai bulu-bulu yang kasar berwarna coklat. Untuk budidaya tanaman kedelai di pulau Jawa yang paling baik adalah pada ketinggian tanah kurang dari 500 m di atas permukaan laut (Ipteknet 2007). Klasifikasi ilmiah kedelai adalah sebagai berikut: kingdom Plantae, sub kingdom Traceeobionta, superdivisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, sub kelas Rosidae, ordo Fabales, family Fabaceae, genus Glycine, spesies G.max (L.) Merr (USDA 2007).

Tanaman kedelai banyak ditanam di sawah setelah panen padi sebagai palawija yang dapat memperbaiki keadaan tanah. Kedelai merupakan tanaman semak semusim, tingginya 20 – 60 cm. Batang tanaman kacang-kacangan ini bersegi, berwarna hijau keputih-putihan. Daunnya segitiga majemuk, berbentuk bulat telur, ujung tumpul, tepi rata. Bunganya majemuk, berbentuk tandan, berwarna ungu / kuning keputihan. Buah kedelai berbentuk polong, seperti kacang, bertangkai pendek, pipih. Buah mudanya berwarna hijau dan tuanya berwarna kuning. Kedelai tidak hanya mengandung lebih banyak protein melebihi daging sapi dan ayam, tetapi juga kadar lemaknya yang lebih rendah tapi bernilai tinggi (Asiamaya 2007).

Kedelai merupakan sumber protein nabati yang efisien, dalam arti bahwa untuk memperoleh jumlah protein yang cukup diperlukan kedelai dalam jumlah

(20)

yang kecil. Selain mengandung protein, kedelai juga mengandung zat besi, kalsium, vitamin A dan vitamin B1 (Cahyadi 2007) (tabel 1). Protein kedelai merupakan satu-satunya leguminosa yang mengandung semua asam amino esensial (tabel 2). Asam amino tersebut tidak dapat disintesis oleh tubuh, jadi harus dikonsumsi dari luar. Meskipun kadar minyaknya sekitar 18%, tetapi ternyata kadar lemak jenuhnya rendah dan bebas terhadap kolesterol serta rendah nilai kalorinya. Kedelai banyak dikonsumsi oleh manusia sebagai salah satu alternatif untuk menggantikan protein hewani yang relatif lebih mahal (Cahyadi 2007).

Tabel1. Komposisi kimia biji kedelai kering per 100 gram

Komponen Jumlah Kalori (kkal) 331.0 Protein (gram) 34.9 Lemak (gram) 18.1 Karbohidrat (gram) 34.8 Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B1 (mg) Air (gram) 227.0 585.0 8.0 110.0 1.1 7.5 (Cahyadi 2007) Tabel 2. Kandungan asam amino essensial biji kedelai

Asam Amino Jumlah (mg/g N)

Isoleusin 340 Leusin 480 Lisin 400 Fenilalanin 310 Tirosin Sistin Treonin Triptofan Valin Metionin 200 110 250 90 330 80 (Cahyadi 2007)

Kedelai mengandung lemak tak jenuh linoleat, oleat dan arakhidat, berfungsi sebagai zat yang mencegah penumpukan lemak berlebihan dalam tubuh

(21)

(lipotropikum) dan kandungan serat kedelai yang sangat tinggi berfungsi untuk membantu merangsang metabolisme dan dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah serta genistein yaitu senyawa fitoesterogen dalam kedelai yang dapat menghambat pertumbuhan sel kanker atau tumor (Asiamaya 2007). Menurut Cahyadi (2007) kedelai mentah yang tidak mengalami proses fermentasi mengandung senyawa antigizi diantaranya antitripsin, hemaglutinin, asam fitat dan oligosakarida penyebab timbulnya gas dalam perut sehingga perut menjadi kembung (flatulensi).

Kedelai memiliki kandungan isoflavon lebih tinggi dibanding tanaman bahan pangan lainnya. Isoflavon merupakan senyawa metabolit sekunder yang berfungsi sebagai antiestrogen, antioksidan dan antikarsinogenik. Isoflavon dari golongan genistien dan daidzien dinilai paling berperan untuk kesehatan. Genotipe kedelai asal Brasilia, yaitu BRM95-50570 memiliki kandungan isoflavon cukup tinggi yaitu 290 mg/100 g biji kedelai. Hasil identifikasi yang dilakukan di Cina juga memperoleh tiga kedelai dengan kandungan isoflavon antara 548 hingga 656 mg/100 g biji kedelai. Genotipe IAC 100 (asal Brasilia) juga memiliki kandungan isoflavon 447,5 mg/100 g biji, dan genotipe tersebut tersedia di Indonesia (Muchlis dan Krisnawati 2007).

Tempe

Berbagai produk dapat dihasilkan dari kedelai, baik sebagai bahan makanan manusia, makanan ternak dan bahan industri lainnya. Pengolahan kedelai dapat dikelompokkan menjadi 2 macam, yaitu dengan fermentasi dan tanpa fermentasi. Pengolahan melalui fermentasi akan menghasilkan produk seperti tempe, kecap, oncom, dan tauco. Sedangkan bentuk olahan tanpa melalui fermentasi adalah susu kedelai, tahu, tauge dan tepung kedelai. Sebagian masyarakat menyukai bentuk olahan berupa tempe, tahu dan kecap (Koswara 1995).

Tempe sebagai salah satu produk olahan hasil fermentasi, terbentuk karena aktifitas kapang Rhizopus sp pada kedelai yang telah direbus sehingga membentuk massa yang padat dan kompak. Tempe yang baik tampak kompak, diselaputi miselium kapang yang berwarna putih pada seluruh bahan, tidak bernoda hitam

(22)

akibat timbulnya spora, tidak berlendir, mudah diiris, tidak busuk dan tidak berbau amoniak (Syarief et al. 1999).

Keterlibatan mikroorganisme pada proses pembuatan tempe terutama terjadi pada saat perendaman oleh bakteri pembentuk asam dan saat fermentasi oleh aktifitas kapang. Sebagai akibat dari perubahan-perubahan tersebut tempe menjadi lebih enak, lebih bergizi dan lebih mudah dicerna. Salah satu faktor penting dalam perubahan tersebut adalah terbentuknya senyawa-senyawa isoflavon dalam bentuk bebas (aglikon) dan terbentuknya senyawa faktor-II (6,7,4’-trihidroksiisoflavon) (Pawiroharsono 2007). Senyawa faktor II pada tempe berpotensi sebagai antikontriksi pada pembuluh darah dan menghambat pembentukan Low Density Lipoprotein (LDL), sehingga dapat mengurangi terbentuknya kerak lemak pada dinding pembuluh darah (atherosklerosis) (Jha et al. 1997). Menurut Wang dan Murphy (1994) senyawa faktor II berpotensi tinggi sebagai antioksidan.

Tempe mengandung berbagai unsur yang bermanfaat bagi kesehatan. Seperti hidrat arang, lemak, protein, serat, vitamin, enzim, daidzein, genistein serta komponen anti-bakteri. Kandungan zat aktif isoflavon, khususnya daidzein, genistein, serta isoflavon faktor II yang dapat berikatan dengan reseptor hormon estrogen dalam tubuh dapat mengurangi keluhan psikovasomotor khususnya semburan atau hentakan panas di dada sebagaimana yang dialami perempuan saat memasuki masa menopause (Pawiroharsono 2007).

Menurut Cahyadi (2007) tempe merupakan bahan makanan yang berkadar protein tinggi yaitu sekitar 20%, juga mengandung lemak berkadar rendah. Tempe yang baik dan bermutu tinggi memiliki cita rasa, aroma serta tekstur yang khusus dan sangat karakteristik, harus padat dengan jahitan miselia yang rapat dan kompak. Warna utama harus putih seperti kapas. Komposisi kimia tempe dapat dilihat pada tabel 3.

(23)

Tabel 3. Komposisi kimia tempe kedelai (dalam 100 gram bagian yang dapat dimakan) Komponen Tempe Protein (gram) 20.8 Lemak 8.8 Karbohidrat Abu Serat Karoten total (mg) 13.5 1.6 1.4 34 Kalsium Besi 155 4.0 Fosfor Air Vitamin B1 326 55.3 0.19 (Cahyadi 2007) Fitoestrogen

Fitoestrogen merupakan suatu substrat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang strukturnya hampir sama dengan estrogen. Beberapa senyawa fitoestrogen yang diketahui banyak terdapat dalam tanaman, antara lain isoflavon, flavon, lignan, coumestans, tripterpene glycosides, acyclics, dan lain-lain. Fitoestrogen dapat mengurangi gejala menopause, memperbaiki lipid atau lemak dalam plasma, menghambat perkembangan arteriosklerosis, serta menghambat pertumbuhan sel-sel tumor atau kanker pada payudara dan endometrium (Hidayati 2003). Fitoestrogen dapat menempel pada reseptor estrogen sel-sel duktus kelenjar susu, jika seluruh reseptor diblokir oleh genistein, estrogen asli tidak berpeluang menempel pada reseptor. Fitoestrogen dapat mencegah pertumbuhan sel-sel kanker dan dapat mengurangi kadar kolesterol (Cahyadi 2007).

Sel kanker sering kali menghasilkan satu atau lebih protein tirosin kinase dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan sel normal (Sofyan 2000). Pertumbuhan dan perkembangan sel normal maupun sel kanker sangat tergantung pada aktivitas reseptor. Reseptor tirosin kinase adalah EGFR (Epidermal Growth Factor Reseptor). Isoflavon dapat menghambat aktivitas protein tirosin kinase spesifik dengan menghambat aktivitas EGFR (Epidermal Growth Factor Reseptor) secara kompetitif dengan ATP (Akiyama 1987). Genistein dapat menghambat protein tirosin kinase dan reseptornya (Hudson 2003).

(24)

Isoflavon

Isoflavon (gambar 1) tergolong kelompok flavonoid yang banyak ditemukan dalam buah-buahan, sayur-sayuran dan biji-bijian. Isoflavon kedelai terdapat dalam empat bentuk, yaitu 1) Glikosida: daidzin, genistin, dan glisitin; 2) Asetil glikosida: 0 Asetildaidzin, -genistin dan –glisitin; 3) Malonil glikosida: 6-0 Malonildaidzin, -genistin dan –glisitin; 4) Aglikon: daidzein, genistein, dan glisitein. Isoflavon yang dominan pada kedelai terdapat dalam bentuk glikosida (genistin dan daidzin) sedangkan yang dominan pada tempe adalah aglikon (genistein dan daidzein) yang dihasilkan dari pelepasan glukosa dari glikosida. Bentuk aglikon mempunyai bioviabilitas yang lebih baik dibandingkan bentuk glikon. Glikosida dipertahankan oleh tanaman dalam bentuk inaktif sebagai antioksidan. Isoflavon kedelai menstimulasi aktivitas osteoblastik (pembentukan sel-sel tulang) melalui aktivitas reseptor-reseptor estrogen, mampu meningkatkan produksi hormon pertumbuhan insuline-like growth factors-1 (IGF-1) yang memiliki hubungan positif terhadap pembentukan massa tulang (Yulianto 2003).

Hasil penelitian Astuti (1999) menunjukkan bahwa senyawa isoflavon yang dominan pada tepung kedelai dan tepung tempe adalah daidzein dan genistein. Kandungan total isoflavon pada tepung kedelai impor varietas americana adalah 22,93 mg/100g bk dan kandungan total isoflavon pada tepung tempe kedelai impor varietas americana 77,98 mg/100g bk (tabel 4).

Tabel 4. Hasil analisis senyawa isoflavon tepung kedelai dan tepung tempe. Gambar 1. Struktur Isoflavon (Winarsi 2005)

(25)

Komponen Tepung kedelai (mg/100g bb) Tepung tempe (mg/100g bb) Tepung kedelai (mg/100g bk) Tepung tempe (mg/100g bk) Faktor II 0,04 0,37 0,04 0,41 Daidzein 14,59 27,10 15,68 30,20 Glisitein 0,97 0,74 1,04 0,83 Genistein 5,74 41,76 6,17 46,54 Total isoflavon 21,34 69,97 22,93 77,98 Keterangan: bb = berat basah; bk = berat kering. ( Astuti

1999)

Hasil penelitian Nakajima et al. (2005) menunjukkan bahwa kandungan total isoflavon dalam tempe yang berasal dari kedelai kuning adalah 102,7 mg per 100 g berat basah dan kandungan total isoflavon dalam tempe yang berasal dari kedelai hitam adalah 103,2 mg per 100 g berat basah. Isoflavon mempunyai efek estrogenik bagi manusia dan hewan tergantung pada dosis yang digunakan (Yulianto 2003). Dosis Isoflavon yang digunakan oleh manusia berkisar 0,4 – 10 mg/kg berat badan/hari sedangkan dosis isoflavon pada rodensia berkisar 1-10 mg/100g berat badan/hari (Whitten dan Patisaul 2001).

Hormon Estrogen Struktur kimia dan Fungsi Hormon Estrogen

Estrogen terutama dihasilkan oleh sel teka interna dari folikel dan sedikit oleh korpus luteum, plasenta, korteks adrenal dan testis kemudian estrogen diekskresikan dari tubuh melalui urin. Zat yang sebetulnya dihasilkan oleh ovarium adalah estradiol, sedangkan senyawa organik yang mempunyai efek estrogenik yang disintesa di laboratorium adalah dietilstilbestrol. Seperti halnya hormon-hormon yang lain, grup estrogen bekerja secara selektif. Pengaruhnya yang jelas adalah langsung terhadap traktus reproduksi dan glandula mammae (Gadjahnata 1989).

Estrogen terdapat dalam bentuk estradiol, estron, dan estriol (Gambar 2). Potensi estrogenik estradiol adalah 12 kali kekuatan estron dan 80 kali lebih besar dari pada estriol. Dengan mengingat potensi relatif ini, efek total estrogenik dari

(26)

estradiol biasanya beberapa kali lipat dari estrogen yang lain, sehingga estradiol dianggap sebagai estrogen utama (Guyton 1996).

Fungsi utama dari estrogen adalah untuk menimbulkan proliferasi sel dan pertumbuhan jaringan organ-organ kelamin dan jaringan lain yang berkaitan dengan reproduksi (Guyton 1994). Estradiol bertanggungjawab atas timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder pada hewan betina. Hormon ini menyebabkan timbulnya estrus, merangsang kontraksi uterus, merangsang pelemasan symphysis pubis pada waktu partus, menggertak pertumbuhan sistem saluran kelenjar ambing dan mempercepat osifikasi epifise tulang-tulang tubuh. Menjelang ovulasi, konsentrasi estrogen mencapai kadar yang tinggi di dalam tubuh dan berfungsi menekan produksi FSH dan merangsang pelepasan LH sehingga terjadi ovulasi (Cole dan Cupps 1977).

Biosintesis dan Metabolisme Hormon Estrogen

Hormon estrogen disintesis dalam ovarium terutama dari kolesterol yang berasal dari darah, walaupun dalam jumlah kecil juga diperoleh dari asetil

ko-Estriol

Estradiol Estron

(27)

enzim A, suatu molekul multipel yang dapat berkombinasi membentuk inti steroid yang tepat. Selama sintesis, progesteron dan testosteron akan disintesis pertama kali, baru kemudian sebelum hormon ini keluar dari ovarium, hampir semua testosteron dan sebagian progesteron akan diubah menjadi estrogen (Guyton 1994).

Prekursor hormon estrogen adalah kolesterol. Jalur biosintesis estrogen melibatkan pembentukannya dari androgen, juga dibentuk melalui aromatisasi androstenedion didalam sirkulasi. Aromatase adalah enzim yang mengkatalisis perubahan androstenedion menjadi estron dan perubahan testosteron menjadi estradiol. Sel-sel teka interna memiliki banyak reseptor LH, dan LH bekerja melalui cAMP untuk meningkatkan perubahan kolesterol menjadi androstenedion. Sebagian androstenedion diubah menjadi estradiol, yang masuk ke dalam sirkulasi. Sel teka interna juga memberikan androstenedion pada sel granulosa. Sel granulosa memberikan estradiol bila mendapat androgen. Sel granulosa memiliki banyak reseptor FSH, dan FSH meningkatkan sekresi estradiol dari sel granulosa dan bekerja melalui AMP siklik untuk meningkatkan aktivitas aromatase. Sel granulosa matang juga memiliki reseptor LH, dan LH juga merangsang pembentukan estradiol (Ganong 2003) (gambar 3).

Estrogen yang beredar terikat pada protein plasma dan proses pengikatannya terjadi di dalam hati. Hati melaksanakan peranan ganda dalam metabolisme estrogen, yaitu menginaktifkan steroid ini dan juga memberikan pengaruh mengaktifkan lewat pembentukan estoprotein. Kira-kira 50 persen estrogen dalam darah dikonjugasi dengan glukoronida dan sulfat; dan hampir seperlima dari produk konjugasi ini diekskresikan lewat empedu, sedangkan sebagian besar diekskresikan ke dalam urine dan feses (Turner dan Bagnara 1976).

Kolesterol adalah prekursor hormon-hormon steroid. Kolesterol diperoleh dari lemak dan karbohidrat melalui jalur metabolisme karbohidrat dan lemak. Kolesterol diabsorpsi dari usus dan dimasukkan ke dalam kilomikron yang dibentuk di dalam mukosa. Setelah kilomikron mengeluarkan trigliseridanya di jaringan adiposa, kilomikron sisanya menyerahkan kolesterol di hati. Hati dan jaringan-jaringan lain juga menyintesis kolesterol. Kelebihan protein di dalam

(28)

tubuh akan diekskresikan melalui siklus urea (Ganong 2003). Jalur metabolisme karbohidrat, protein dan lemak dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 3. Skema pembentukan steroid pada perkembangan folikel (Johnson dan Everitt 1984).

(29)

Gambar 4. Hubungan jalur metabolisme karbohidrat, protein dan lemak (Ganong 2003).

Biologi Umum Tikus

Tikus (Rattus norvegicus) adalah hewan mamalia yang merupakan salah satu hewan percobaan yang banyak digunakan sebagai model dalam penelitian. Hewan ini memiliki keistimewaan yaitu umur relatif pendek, sifat produksi dan reproduksi menyerupai mamalia besar, lama produksi ekonomis (2.5-3 tahun), lama kebuntingan berkisar 21-23 hari, umur sapih 21 hari, umur pubertas 50-60 hari, angka kelahirannya 6 – 12 ekor per kelahiran, memiliki panjang siklus estrus 4-5 hari dengan karakteristik setiap fase siklus yang jelas, lama estrus 9-12 jam, interval antar generasi relatif pendek dan berukuran kecil sehingga memudahkan dalam pemeliharaan serta efisien dalam konsumsi pakan (10 g/100 g berat badan) (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Ditambahkan oleh Smith dan Mangkoewidjojo (1988), bahwa berat badan tikus betina dewasa sekitar 250-300 g

(30)

dan mulai dikawinkan umur 65-110 hari dan tikus yang baru lahir memiliki berat lahir antara 5-6 gram.

Tikus bersifat poliestrus yaitu hewan yang memiliki siklus birahi lebih dari dua kali dalam satu tahun. Perkawinan yang terjadi dalam jangka waktu 24 jam dapat diketahui dengan memeriksa adanya spermatozoa dalam usapan vagina (Malole dan Pramono 1989). Adapun klasifikasi ilmiah tikus adalah : Kingdom Animalia, Filum Chordata, Kelas Mammalia, Ordo Rodensia, Famili Muridae, Sub Famili Murinae, Genus Rattus, Spesies Rattus norvegicus (Sullivan 2007).

Siklus Estrus

Sederetan proses perubahan kegiatan fisiologis pada organ-organ reproduksi dari awal hingga berulang kembali disebut sebagai siklus estrus. Siklus estrus pertama timbul setelah 1-2 hari dari mulainya pembukaan vagina yang terjadi pada umur 28-29 hari (Malole dan Pramono, 1989). Siklus estrus pada hewan dapat dibagi menjadi fase folikuler dan fase luteal dengan masing-masing memiliki periode perkembangan yang berkaitan dengan periode fungsional ovarium (Macmillan & Burke 1996). Fase folikuler merupakan fase siklus yang singkat dimulai dari awal pembentukan folikel sampai pecahnya folikel Graaf saat ovulasi. Sedangkan fase luteal merupakan periode sekresi progesteron oleh corpus luteum meliputi lebih dari dua pertiga dari siklus estrus (Hunter 1995). Berdasarkan histologi vagina, siklus estrus pada tikus dibagi menjadi 4 (empat) stadium yaitu : proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Fase folikuler dimulai dengan proestrus yang diikuti oleh estrus dan ovulasi; fase luteal terdiri atas metestrus yang diikuti oleh diestrus dan diakhiri dengan luteolisis (Macmillan & Burke 1996). Siklus estrus pada tikus dapat diketahui dari perubahan epitel vagina yang dipengaruhi oleh hormon estrogen (Turner dan Bagnara 1976).

Proestrus merupakan fase menjelang estrus dimana gejala birahi mulai muncul akan tetapi hewan betina belum mau menerima pejantan untuk melakukan kawin. Pada fase ini folikel de graaf tumbuh dibawah pengaruh FSH dan estrogen. Peningkatan konsentrasi estrogen dan penurunan sekresi progesteron menyebabkan corpus luteum mengecil dan atresia. Saluran reproduksi termasuk mukosa vagina mulai mendapatkan vaskularisasi yang lebih intensif sehingga

(31)

sel-sel epitel saluran reproduksi mulai berproliferasi. Menurut Baker et al. (1980), fase proestrus dapat diketahui dengan adanya dominasi sel-sel epitel berinti yang muncul secara tunggal atau bertumpuk (berlapis-lapis) jika dilihat dengan menggunakan metode ulas vagina. Pada tikus fase ini berlangsung selama kira-kira 12 jam (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).

Fase estrus merupakan fase setelah proestrus ditandai dengan keinginan kelamin dan penerimaan pejantan oleh hewan betina untuk kopulasi. Pada fase ini estradiol yang berasal dari folikel de Graaf yang matang akan menyebabkan perubahan-perubahan pada saluran reproduksi betina (Toelihere 1985). Menurut Nalbandov (1990), pada tikus fase estrus berlangsung selama 12 – 14 jam dan pada akhir fase ini terjadi ovulasi.

Baker et al. (1980) menyatakan bahwa fase estrus dapat diketahui dengan adanya sel-sel tanduk yang banyak pada lumen vagina yang biasanya nampak pada preparat ulas vagina. Kondisi demikian disebabkan oleh banyaknya pembelahan mitosis yang terjadi didalam mukosa vagina dan sel-sel baru yang menumpuk, sementara lapisan permukaan memiliki bentuk skuamosa dan bertanduk. Sel-sel bertanduk ini terkelupas ke dalam lumen vagina (Partodihardjo 1992). Fase estrus dipengaruhi mekanisme hormonal yaitu berhubungan antara hormon-hormon hipotalamus-hipofisis (GnRH, LH, FSH), hormon-hormon ovarial (estradiol dan progesteron) dan hormon uterus (prostaglandin). Proses estrus sangat erat kaitannya dengan mekanisme sistem hormonal. Telah dilaporkan oleh beberapa peneliti sebelumnya bahwa pada saat estrus konsentrasi estrogen meningkat sesuai dengan pertumbuhan folikel de Graaf, dan selanjutnya di bawah pengaruh serta peran LH yang disekresikan dari hipofisis anterior terjadilah ovulasi dan selanjutnya terjadi pembentukan corpus luteum (CL). Pada waktu CL telah mencapai ukuran maksimal dan fungsional akan terjadi peningkatan konsentrasi progesteron (Turner dan Bagnara 1976). Menurut Silva et al. (2004), secara in vitro FSH dapat mempengaruhi pertumbuhan folikel primordial pada kambing. Yu et al. (2003) melaporkan bahwa FSH dan LH dapat mencegah terjadinya folikel atresia.

Fase metestrus merupakan kelanjutan dari fase estrus dan berlangsung selama 10 – 14 jam. Pada fase ini, ovarium mengandung corpora lutea dan

(32)

folikel-folikel kecil. Fase ini ditandai dengan bertumbuhnya CL dan sel-sel granulosa folikel dengan cepat yang dipengaruhi oleh Luteinizing hormone (LH) dari adenohyphofisa. Menurut Baker et al. (1980) fase metestrus dapat diketahui dengan adanya dominasi sel-sel tanduk dan sel-sel leukosit jika dilihat dengan menggunakan metode ulas vagina. Smith dan Mangkoewidjojo (1988), menyatakan bahwa fase metestrus dibagi menjadi 2 stadium yaitu stadium 1 yang berlangsung kira-kira 15 jam dan stadium 2 kira-kira berlangsung selama 6 jam.

Fase Diestrus adalah fase setelah metestrus. Fase ini merupakan fase terpanjang diantara fase-fase siklus estrus lainnya. Fase diestrus berlangsung selama 60 – 70 jam. Pada fase ini kontraksi uterus menurun, endometrium menebal dan kelenjar-kelenjar mengalami hipertropi, serta mukosa vagina menipis, warna lebih pucat dan leukosit yang bermigrasi semakin banyak. Gambaran ulasan vagina pada fase ini menunjukkan leukosit dalam jumlah yang banyak (Turner dan Bagnara 1976).

Estrogen bersirkulasi dalam darah selama beberapa menit kemudian menuju ke sel sasaran. Estrogen berikatan dengan protein reseptor dalam sitoplasma sel target membentuk kompleks hormon reseptor, kemudian bermigrasi ke inti. Ia segera memulai proses transkripsi DNA-RNA dalam area kromosom spesifik dan akhirnya mengakibatkan pembelahan sel (Guyton 1996). Menurut Gadjahnata (1889) pembelahan dan proses penandukan (kornifikasi) epitel vagina tergantung dari meningkatnya kadar estrogen dalam tubuh sehubungan dengan akhir periode pertumbuhan folikel. Pelepasan epitel dan penyusunan leukosit terjadi bila kadar estrogen menurun dan bila pengaruh estrogen menghilang epitel vagina kembali dalam keadaan inaktif.

Pada fase proestrus, kadar estrogen mulai meningkat dan saluran mukosa vagina mulai mendapatkan peningkatan aliran darah (vaskularisasi) yang lebih intensif sehingga sel-sel epitel saluran reproduksi mulai berproliferasi. Fase estrus, kadar estrogen tinggi dan suplai darah ke vagina bertambah sehingga epitel vagina mengalami kornifikasi dengan cepat dan lendir disekresikan (Toelihere 1979). Pada fase metestrus, kadar estrogen menurun dan vaskularisasi berkurang sehingga terjadi pelepasan sel epitel vagina dan penyusunan leukosit. Pada fase

(33)

diestrus, kadar estrogen pada level rendah, mukosa vagina tipis dan leukosit bertambah jumlahnya (Turner dan Bagnara 1987).

(34)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan Desember 2007. Penelitian ini dilakukan pada beberapa tempat yaitu : pembuatan tepung kedelai dan tepung tempe pada di Laboratorium Jasa Analisis Pangan Fakultas Teknik Pertanian Institut Pertanian Bogor, Analisis kandungan senyawa isoflavon tepung kedelai dan tepung tempe di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Bogor, pemeliharaan dan ovariektomi tikus di kandang hewan percobaan Fakultas Kedokteran Hewan IPB, pemeriksaan siklus estrus dan analisis hormon estrogen dilakukan pada Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah tikus putih betina (Rattus norvegicus) yang berasal dari galur Sprague-Dawley paritas II berumur dua belas minggu dengan bobot badan 200 gram sebanyak 30 ekor, kit estradiol, kedelai impor varietas americana, tempe yang berasal dari agen pabrik tempe Desa Ciherang Bogor, air, wadah plastik, NaCl fisiologis, Giemsa, kapas (cotton buds), ragi LIPI produksi Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), kertas saring, sekam, kawat ram dan pelet dari Comfeed PT. Suri Tani Pemuka Grup PT. Japis Comfeed Indonesia, dengan kandungan protein kasar 18.0-20%, lemak kasar min 40%, serat kasar max 7.0%, kalsium max 2.0% , phosfor max 2.0%, abu max 13%, air max 10%.

Alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah perangkat kandang tikus, Automatic Gamma Counter, kamera digital dan mikroskop.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yang terdiri dari tahap persiapan tepung kedelai dan tepung tempe, tahap persiapan hewan model, tahap perlakuan dan pengamatan (fase proestrus, fase estrus, fase metestrus, dan fase

(35)

diestrus), dan tahap akhir yaitu analisa kadar hormon estrogen dengan menggunakan metode Radioimmunoassay (RIA).

Tahap Persiapan tepung kedelai dan tepung tempe

Sampel biji kedelai impor varietas americana sebanyak 10 kg dibuat menjadi tepung kedelai. Proses pembuatan tepung kedelai sebagai berikut : penggilingan, pengeringan dengan oven pada suhu 45°C dan kadar air 10%, penepungan dan pengayakan (60 mesh) (lampiran 1). Pembuatan tempe pada penelitian ini menggunakan 20 kg kedelai dengan mengikuti tahapan sebagai berikut: pembersihan biji kedelai kering, pencucian dan perendaman, perebusan pertama, pengupasan kulit, perendaman, perebusan kedua, penirisan dan pendinginan, peragian, pembungkusan dan inkubasi, selanjutnya tempe diolah menjadi tepung tempe (lampiran 2). Proses pembuatan tepung tempe sebagai berikut : pengirisan tempe (1 x 2 x 0,5 cm3), penggilingan, pengeringan dengan oven pada suhu 45°C dan kadar air 10%, penepungan dan pengayakan (60 mesh) (lampiran 3). Analisis kandungan isoflavon tepung kedelai dan tepung tempe dilakukan dengan menggunakan HPLC (High Performance Liquid Cromatography). Prosedur analisis kandungan isoflavon dapat dilihat pada lampiran 4.

Tahap Persiapan Hewan Model

Tikus betina ditempatkan dalam kandang plastik dengan tutup terbuat dari kawat ram dan dialasi sekam, pakan berupa pelet dan air minum diberikan ad libitum. Lingkungan kandang dibuat agar tidak lembab, ventilasi yang cukup serta penyinaran yang cukup dimana lamanya terang 14 jam dan lama gelap 10 jam. Jumlah tikus betina yang digunakan dalam penelitian ini adalah 30 ekor yang terdiri 15 ekor non ovariektomi dan 15 ekor ovariektomi (ovariektomi dilakukan oleh dokter hewan FKH IPB). Masing-masing tikus ditempatkan dalam kandang individu. Semua tikus diadaptasikan di lingkungan kandang percobaan selama 10 hari. Setelah diadaptasikan, 15 ekor tikus dilakukan ovariektomi dan pemulihan selama 21 hari, kemudian semua tikus dilakukan percobaan.

(36)

Tahap Perlakuan dan Pengamatan.

Tikus dibagi kedalam 6 (enam) kelompok percobaan masing-masing terdiri dari 5 (lima) ekor. Kelompok 1: tikus non ovariektomi yang diberi pelet/pakan biasa (Non-ov K), kelompok 2: tikus non ovariektomi yang diberi tepung kedelai 10 g bk/100 g bb/hari (Non-ov Kd), kelompok 3: tikus non ovariektomi yang diberi tepung tempe 10 g bk/100 g bb/hari (Non-ov T), kelompok 4: tikus ovariektomi yag diberi pelet/pakan biasa (Ov K), kelompok 5: tikus ovariektomi yang diberi tepung kedelai 10 g bk/100 g bb bk/hari (Ov Kd), dan kelompok 6: tikus ovariektomi yang diberi tepung tempe 10 g bk/100 g bb/hari (Ov T).

Tahap perlakuan dilakukan selama 28 hari atau 4 (empat) minggu. Pemberian tepung kedelai dan tepung tempe dilakukan secara pencekokan sebanyak tiga kali sehari yaitu pagi hari (pukul 08.00 WIB), siang hari (pukul 12.00 WIB) dan sore hari (pukul 16.00 WIB). Sebelum pencekokan tepung kedelai dan tepung tempe dibuat seperti bubur dengan penambahan aquades sebanyak 30 ml. Setelah selesai masa perlakuan dilakukan pengambilan data untuk menentukan panjang siklus estrus dengan cara melakukan ulas vagina. Ulas vagina dilakukan 2 (dua) kali sehari, yaitu pada pagi hari (pukul 07.00 WIB) dan sore hari (pukul 18.00 WIB) selama dua minggu. Preparat ulas vagina selanjutnya difiksasi dengan methanol selama 15 menit dan diwarnai dengan Giemsa 10% selama 30 menit, dicuci dengan air mengalir setelah itu dikeringkan. Setelah kering, preparat diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 40x10. Penentuan fase siklus estrus dari hasil ulas vagina dilakukan berdasarkan keberadaan sel-sel epitel vagina (gambar 5) dan jumlah kualitatif sel-sel epitel vagina seperti yang tertulis pada tabel 5.

(37)

Gambar 5. Gambaran ulas vagina tikus putih galur Sprague-Dawley dengan pembesaran 40x10.

Tabel 5. Perbandingan jenis sel pada preparat ulas vagina

Fase siklus estrus Ulasan vagina Proestrus Sel epitel berinti ± 75%

Sel kornifikasi (sel tanduk) ± 25% Estrus Sel kornifikasi ± 75%

Sel pavement (menumpuk) ± 25% Metestrus Sel pavement 100%

Sel pavement dan leukosit

Diestrus Leukosit 100%

Leukosit dan sel berinti mulai muncul

Sumber : Baker et al. 1980 Sel epitel berinti Sel kornifikasi

(38)

Ulas vagina dilakukan selama 15 hari. Setelah masa tersebut terlampaui ulas vagina terus dilakukan untuk mendapatkan fase diestrus. Pada fase diestrus, masing-masing tikus diambil darahnya secara interkardial sebanyak kurang lebih 1 ml. Darah dikoleksi pada tabung penampung, selanjutnya darah disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama 15 menit sehingga didapatkan serum yang kemudian digunakan untuk penentuan kadar estrogen. Dalam penelitian ini diukur estradiol untuk mewakili estrogen secara keseluruhan.

Tahap Analisa Hormon Estrogen.

Konsentrasi estrogen dalam serum diukur dengan metode Radioimmunoassay (RIA) dengan teknik fase padat menggunakan kit estrogen coat-a-count yang berisi estradiol berlabel 125I. Seri larutan standar A, B, C, D, E, F, dan G berturut-turut berisi estrogen dengan konsentrasi 0, 20, 50, 150, 500, 1800, dan 3600 pg/ml yang diperoleh dari diagnostic product corporation (Los Angeles, CA). Volume sampel yang direkomendasikan adalah 100 µl.

Tabung untuk Non Spesific Binding (NSB) dan Total Count (T) diberi label dan masing dibuat duplo. Sebanyak 14 tabung diberi label masing-masing A (MB), B, C, D, E, F dan G (duplo). Dengan menggunakan mikropipet 100 µl larutan standar konsentrasi 0, 20, 50, 150, 500, 1800, dan 3600 pg/ml dipipet hingga ke dasar tabung. Pada tabung NSB dimasukkan juga 100 µl larutan standar A. Tabung-tabung lainnya diisi sampel masing-masing sebanyak 100 µl. Ke dalam tiap tabung ditambahkan 1 ml estrogen berlabel kemudian divorteks. Keseluruhan campuran itu diinkubasikan selama 3 jam dalam keadaan temperatur kamar. Sisa cairan yang ada dalam tiap tabung dituang dan tabung dibiarkan kering selama 3 menit. Radioaktivitas yang terikat pada tabung dicacah dengan menggunakan Automatic Gamma Counter selama 1 menit. Pencacahan dilakukan di laboratorium fisiologi dan farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Persen radioaktifitas yang terikat dihitung dengan membagi CPM sampel maupun standar dengan CPM standar A (MB). Persamaan kurva standar dihitung dengan persamaan regresi linier persen radioaktivitas yang terikat sebagai Y dan log konsentrasi standar sebagai X. Konsentrasi estrogen sampel dihitung dengan

(39)

memasukkan nilai persen radioaktivitas terikat sampel ke persamaan kurva standar.

Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yaitu pola rancangan acak lengkap (RAL) dengan 6 (enam) kelompok percobaan masing-masing terdiri dari 5 (lima) ekor. Kelompok 1: tikus non ovariektomi yang diberi pelet/pakan biasa (Non-ov K), kelompok 2: tikus non ovariektomi yang diberi tepung kedelai 10 g bk/100 g bb/hari (Non-ov Kd), kelompok 3: tikus non ovariektomi yang diberi tepung tempe 10 g bk/100 g bb/hari (Non-ov T), kelompok 4: tikus ovariektomi yag diberi pelet/pakan biasa (Ov K), kelompok 5: tikus ovariektomi yang diberi tepung kedelai 10 g bk/100 g bb bk/hari (Ov Kd), dan kelompok 6: tikus ovariektomi yang diberi tepung tempe 10 g bk/100 g bb/hari (Ov T ).

Analisis Data

Hasil pengukuran kadar hormon estrogen dibuat rataannya, dihitung simpangannya dengan menggunakan standard error (rataan ± SE), kemudian data juga dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Duncan dengan selang kepercayaan 95% (α = 0.05) dengan menggunakan perangkat lunak SAS (Mattjik dan Sumertajaya 2006).

(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan Senyawa Isoflavon Tepung Kedelai dan Tepung Tempe

Hasil analisis tepung kedelai dan tepung tempe menunjukkan 3 macam senyawa isoflavon utama seperti yang tertera pada tabel 6. Total senyawa isoflavon merupakan penjumlahan kandungan isoflavon daidzein, glisitein dan genistein. Kromatogram HPLC isoflavon tepung kedelai dan tepung tempe dapat dilihat pada lampiran 5, 6, dan 7. Sedangkan contoh perhitungan kandungan senyawa isoflavon pada lampiran 8.

Tabel 6. Hasil analisis kuantitatif senyawa isoflavon tepung kedelai dan tepung tempe dalam kg bahan.

Komponen Tepung kedelai (mg/kg bk) Tepung tempe (mg/kg bk)

Daidzein 113.63 555.55

Glisitein 27.59 95.04

Genistein 65.15 250.65

Total isoflavon 206.37 901.24

Keterangan: bk = berat kering

Hasil analisis kromatrogram menunjukkan bahwa senyawa isoflavon yang paling dominan baik pada tepung kedelai dan tepung tempe adalah daidzein dan genistein. Menurut Zhang et al. (1999) genistein memiliki efek estrogenik 100% lebih besar dibandingkan dengan daidzein.

Pada penelitian ini digunakan 10 kg kedelai, setelah diolah menjadi tepung menghasilkan 8.33 kg tepung kedelai. Sedangkan 20 kg kedelai yang diolah menjadi tempe menghasilkan 34.60 kg tempe. Selanjutnya 34.60 kg tempe diolah menjadi tepung menghasilkan 9.68 kg tepung tempe. Hal ini berarti bahwa 20 kg kedelai setara dengan 9.68 kg tepung tempe. Isoflavon dalam tepung tempe lebih banyak dari pada tepung kedelai, karena proses pembuatan tepung tempe membutuhkan lebih banyak kedelai. Semakin banyak kedelai maka semakin banyak kandungan isoflavonnya, hal ini dapat dilihat pada tabel 6.

Kandungan total senyawa isoflavon tepung kedelai sebesar 206.37 mg/kg bk (20.637 mg/100g bk), sedangkan tepung tempe sebesar 901.24 mg/kg bk

(41)

(90.124 mg/100 g bk). Pada penelitian ini, pemberian tepung kedelai maupun tepung tempe sebanyak 10 g/ 100 g berat badan/ hari. 10 gram tepung kedelai mengandung 2.0637 mg isoflavon, sedangkan 10 gram tepung tempe mengandung 9.0124 mg isoflavon. Hal ini berarti bahwa isoflavon yang terkandung dalam tepung tempe lebih banyak dari pada tepung kedelai.

Tepung tempe dan tepung kedelai mengandung genistein, sejenis asam amino isoflavon yang berfungsi sebagai fitoestrogen. Kandungan genistein dalam tepung tempe 250.65 mg/kg bk, lebih banyak dibandingkan tepung kedelai 65.15 mg/kg bk, sehingga tepung tempe lebih baik dari pada tepung kedelai. Menurut Cahyadi (2007) jika seluruh reseptor diblokir oleh genistein, maka estrogen endogen tidak berpeluang menempel pada reseptor. Kemiripan struktur genistein isoflavon dengan estrogen endogen, menunjukkan kemampuannya untuk berikatan dengan reseptor estrogen (Setchell dan Cassidy 1999).

Menurut Winarsi (2005) besarnya kandungan isoflavon dalam kedelai sangat tergantung dari jenis, letak geografis, budi daya, umur panen serta proses pengolahannya. Menurut Qiju (2003) isoflavon sebagai antioksidan sangat

berperan melawan adanya radikal bebas (free radical scavenger) yang secara langsung mencegah terhadap pembentukan kanker, mengatur fungsi biologis hormon reproduksi, serta proliferasi dan diffrensiasi sel. Sejumlah isoflavon terutama ditemukan dalam urine, feses, serum dan plasma (Adlercreutz 1995).

Siklus Estrus dan Kadar Hormon Estrogen Tikus non ovariektomi

Hasil penelitian terhadap panjang siklus estrus dan rataan kadar hormon estrogen tikus non ovariektomi pada semua perlakuan terlihat pada tabel 7.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa panjang siklus estrus tikus non ovariektomi yang diberi tepung tempe lebih lama bila dibandingkan dengan tikus non ovariektomi yang diberi pelet, sedangkan panjang siklus estrus tikus non ovariektomi yang diberi tepung kedelai lebih pendek bila dibandingkan dengan tikus non ovariektomi yang diberi pelet.

(42)

12 12 24 60 24 24 24 24 48 36 48 48 0 10 20 30 40 50 60 70

Proestrus Estrus Metestrus Diestrus

La m a setia p fa se (ja m )

Non-Ov K Non-Ov Kd Non-Ov T

Tabel 7. Pengaruh pemberian tepung kedelai dan tepung tempe pada panjang siklus estrus dan kadar rataan estradiol tikus non ovariektomi.

Kelompok Perlakuan Jenis Pengamatan

Non Ov K Non Ov Kd Non Ov T

PSSE (jam) 108 96 180

RE ± SE (pg/ml) 21.58 ± 0.438ab 18.294 ± 2.192b 25.621 ± 1.822a

Keterangan :

PSSE = PanjangAsatuAsiklusAestrus; RE = Rataan estradiol; SE = Standar error.

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata ( p<0.05).

Lebih lanjut, hasil penelitian menunjukkan bahwa fase proestrus dan estrus pada tikus non ovariektomi yang diberi tepung kedelai dan tepung tempe lebih panjang dibandingkan tikus non ovariektomi kontrol (gambar 6). Panjang waktu fase metestrus pada tikus non ovariektomi yang diberi tepung kedelai sama dengan tikus non ovariektomi kontrol, sedangkan panjang waktu fase metestrus pada tikus non ovariektomi yang diberi tepung tempe lebih lama dibandingkan dengan tikus non ovariektomi kontrol, hal ini diduga penurunan kadar estrogen pada fase metestrus berlangsung lebih lama untuk menuju ke fase berikutnya. Panjang waktu fase diestrus pada tikus non ovariektomi yang diberi tepung kedelai dan tikus non ovariektomi yang diberi tepung tempe lebih pendek dari pada tikus non ovariektomi kontrol, hal ini disebabkan kadar estrogen pada level rendah hanya sebentar kemudian sel akan segera berproliferasi kembali. Perpendekan fase diestrus pada tikus non ovariektomi menguntungkan karena pada fase ini bukan fase yang potensial dalam fertilitas.

Gambar 6. Diagram rataan panjang setiap fase siklus estrus (jam) tikus non ovariektomi.

(43)

Isoflavon yang terdapat dalam tepung tempe dan tepung kedelai mempunyai efek pada epitel vagina yaitu terjadinya proliferasi dan kornifikasi sel epitel vagina. Hal ini nyata terlihat dengan adanya perpanjangan fase proestrus dan fase estrus, dimana fase proestrus menyebabkan proliferasi sel epitel vagina dan fase estrus menyebabkan kornifikasi sel epitel vagina. Tikus non ovariektomi yang diberi tepung tempe mengalami perpanjangan siklus estrus yaitu perpanjangan pada fase proestrus dan fase estrus. Hal ini berpotensi dalam fertilitas karena memiliki waktu kawin yang panjang dan probabilitas kawin yang tinggi. Menurut Tou et al. (2003) perpanjangan siklus estrus pada tikus mempunyai implikasi yang penting pada reproduksi karena dapat mengurangi jumlah kumulatif siklus dan berpotensi dalam hal fertilitas.

Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa kadar harmon estrogen tikus non ovariektomi dipengaruhi oleh perlakuan (P < 0.05) (Tabel 7 dan Lampiran 16). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa rataan kadar hormon estrogen pada tikus non ovariektomi yang diberi tepung tempe dan yang diberi tepung kedelai sama dengan tikus non ovariektomi kontrol, namun rataan kadar hormon estrogen pada tikus non ovariektomi yang diberi tepung tempe lebih tinggi bila dibandingkan tikus non ovariektomi yang diberi tepung kedelai. Hal ini berarti bahwa isoflavon yang terdapat pada tepung tempe dan tepung kedelai dapat mengoptimalkan kadar hormon estrogen sehingga keseimbangan hormonal dapat tercapai. Hal ini sesuai dengan penelitian Persky et al. (2002) yang mengungkapkan bahwa isoflavon dapat bertindak sebagai estrogen antagonis pada saat estrogen endogen dalam konsentrasi tinggi, dan bertindak sebagai estrogen agonis pada saat hormon estrogen endogen dalam konsentrasi rendah. Menurut Hafez (1987) estrogen mempunyai aksi umpan balik positif dan negatif. Aksi umpan balik positif seiring dengan stimulasi sekresi dari hormon hypophysa atau hypothalamus dibawah pengaruh hormon spesifik atau stimulus lainnya, sedangkan aksi umpan balik negatif berarti menghambat aksi dari substansi spesifik hasil sekresi hormon hypophysa atau hypothalamus.

Secara fisiologis efek isoflavon seperti estrogen yaitu tergantung pada respon yang terjadi, dapat bersifat agonis (menstimulir) atau antagonis (menghambat) terhadap reseptor dalam sel targetnya (Ruggiero et al. 2002).

(44)

Seperti yang dilaporkan Kuiper et al. (1996) bahwa didalam tubuh terdapat dua macam reseptor, yaitu reseptor estrogen beta dan reseptor estrogen alfa. Menurut Paech et al. (1997) dua reseptor estrogen memainkan peran yang berbeda, demikian pula terdistribusi dalam jaringan dan afinitas binding dengan ligand yang berbeda. Reseptor estrogen beta terdistribusi dalam jaringan otak, tulang, kandung kemih dan epitel pembuluh darah. Selanjutnya menurut (warner et al.

1999) reseptor alfa terdistribusi dalam jaringan uterus, payudara, liver dan ginjal. Kadar hormon estrogen yang berada pada level normal ambang tinggi pada tikus non ovariektomi yang diberi tepung tempe menyebabkan tikus dapat mempertahankan fase estrus, oleh karena itu fase estrusnya menjadi lebih panjang. Kadar hormon estrogen yang berada pada level normal ambang rendah pada tikus non ovariektomi yang diberi tepung kedelai juga menyebabkan perpanjangan fase estrus, namun panjang fase estrus tikus non ovariektomi yang diberi tepung tempe lebih panjang dibandingkan dengan tikus non ovariektomi yang diberi tepung kedelai. Hal ini dikarenakan jumlah isoflavon yang terdapat dalam tepung tempe lebih banyak dari pada tepung kedelai.

Siklus Estrus dan Kadar Hormon Estrogen Tikus Ovariektomi

Hasil penelitian terhadap panjang siklus estrus dan rataan kadar hormon estrogen tikus ovariektomi pada semua perlakuan terlihat pada tabel 8. Hasil penelitian menunjukkan bahwa panjang siklus estrus tikus non ovariektomi yang diberi tepung tempe lebih lama bila dibandingkan dengan tikus ovariektomi kontrol, sedangkan panjang siklus estrus tikus ovariektomi yang diberi tepung kedelai sama dengan tikus ovariektomi kontrol.

Tabel 8. Pengaruh pemberian tepung kedelai dan tepung tempe pada panjang siklus estrus dan kadar rataan estradiol tikus ovariektomi.

Kelompok Perlakuan Jenis Pengamatan Ov K Ov Kd Ov T PSSE (jam) 72 72 108 RE ± SE (pg/ml) 13.478 ± 0.659b 14.791 ± 0.127ab 16.288 ± 1.127a Keterangan :

PSSE = PanjangAsatuAsiklusAestrus; RE = Rataan estradiol; SE = Standar error.

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata ( p<0.01).

(45)

12 0 24 36 12 12 24 24 24 12 12 60 0 10 20 30 40 50 60 70

Proestrus Estrus Metestrus Diestrus

L a m a se ti a p f a se (ja m ) Ov K Ov Kd Ov T

Lebih lanjut, hasil penelitian menunjukkan bahwa panjang waktu fase proestrus pada tikus ovariektomi yang diberi tepung kedelai sama dengan tikus ovariektomi kontrol, sedangkan panjang fase proestrus pada tikus ovariektomi yang diberi tepung tempe lebih lama dibandingkan dengan tikus ovariektomi kontrol (gambar 7).

Gambar 7. Diagram rataan panjang setiap fase siklus estrus tikus ovariektomi (jam).

Pada tikus ovariektomi yang diberi tepung tempe terjadi perpanjangan fase proestrus, hal ini diduga pada fase proestrus kadar hormon estrogen meningkat dalam waktu yang lama sehingga proliferasi sel menjadi lebih banyak. Panjang fase estrus pada tikus ovariektomi yang diberi tepung tempe sama dengan tikus ovariektomi yang diberi tepung kedelai, sedangkan pada tikus ovariektomi kontrol tidak terjadi fase estrus karena kadar estrogennya sangat rendah. Panjang fase metestrus pada tikus ovariektomi yang diberi tepung kedelai sama dengan tikus ovariektomi kontrol, sedangkan panjang fase metestrus pada tikus ovariektomi yang diberi tepung tempe lebih pendek dari pada tikus ovariektomi kontrol. Hal ini diduga pada saat metestrus kadar estrogennya sangat cepat menurun. Waktu fase diestrus pada tikus ovariektomi yang diberi tepung tempe lebih panjang dari pada tikus ovariektomi kontrol dan tikus ovariektomi yang diberi tepung kedelai. Hal ini disebabkan pada fase diestrus kadar estrogennya berada pada level rendah lebih lama untuk menuju ke fase berikutnya. Perpanjangan fase diestrus

(46)

menguntungkan pada tikus ovariektomi karena fase ini merupakan fase istirahat dan bukan fase yang potensial dalam fertilitas.

Ovariektomi yang dilakukan pada penelitian ini merupakan model tikus pascamenopouse. Ovariektomi menyebabkan hilangnya ovarium dan estrogennya rendah sehingga proliferasi dan kornifikasi sel-sel epitel vagina terganggu dan menyebabkan tidak terjadinya fase estrus pada tikus ovariektomi yang diberi pelet (kontrol). Isoflavon yang terdapat pada tepung tempe dan tepung kedelai dapat meningkatkan estrogen, hal ini terbukti bahwa tikus ovariektomi yang diberi tepung kedelai dan tikus ovariektomi yang diberi tepung tempe masih terjadi siklus estrus, namun jumlah isoflavon yang terdapat dalam tepung tempe lebih banyak sehingga efektif dalam menggertak terjadinya siklus estrus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tikus ovariektomi yang diberi tepung kedelai dan tepung tempe terjadi perubahan pada epitel vagina yaitu proliferasi dan kornifikasi sel epitel vagina. Hal ini diduga dapat menurunkan tingkat kekeringan vagina. Seperti yang dikemukakan oleh Winarsi (2005) bahwa manfaat isoflavon kedelai dapat meningkatkan kekebalan tubuh, menurunkan tingkat kekeringan vagina, menurunkan keluhan menopause, memperbaiki memori (ingatan), menurunkan kelelahan dan mencegah kanker.

Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa kadar harmon estrogen tikus ovariektomi dipengaruhi oleh perlakuan (P < 0.05) (Tabel 8 dan Lampiran 17). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kadar hormon estrogen pada tikus ovariektomi yang diberi tepung tempe sama dengan tikus ovariektomi yang diberi tepung kadelai, namun lebih tinggi bila dibandingkan dengan tikus ovariektomi kontrol. Kadar hormon estrogen tikus ovariektomi kontrol sangat rendah karena kekurangan estrogen endogen sehingga tidak terjadi fase estrus, karena fase estrus memerlukan kadar estrogen yang optimal. Kadar hormon estrogen pada tikus ovariektomi yang diberi tepung tempe dan yang diberi tepung kedelai berpengaruh terhadap siklus estrus, dimana panjang fase estrusnya sama dengan tikus non ovariektomi yang diberi pelet. Pemberian tepung tempe dan tepung kedelai pada tikus ovariektomi dapat mengoptimalkan hormon estrogen dalam memunculkan fase estrus.

(47)

Penurunan kadar estrogen pada tikus ovariektomi dapat diatasi dengan pemberian pakan berupa tepung tempe dan tepung kedelai yang mengandung isoflavon. Isoflavon yang terkandung dalam tepung tempe dan tepung kedelai mempunyai aktivitas estrogen yang dapat menyebabkan produksi estrogen meningkat dan menstimulir inisiasi proliferasi dan kornifikasi sel epitel vagina. Konsumsi tepung tempe dan tepung kedelai dapat memperbaiki hormon estrogen pada tikus ovariektomi. Jika kekurangan estrogen endogen maka dapat mengkonsumsi tepung tempe dan tepung kedelai sebagai terapi estrogen alami yang relatif aman.

Pada saat memasuki menopause tingkat estrogen menurun namun tidak seluruhnya menghilang, estrogen dihasilkan tidak berasal dari ovarium, namun dihasilkan dari kelenjar adrenal, lemak, kulit, otot, dan liver (Sibuea et al. 1996). Menurut Pomfrey (2004) penurunan kadar hormon estrogen pada wanita menopouse, mengakibatkan banyaknya kelebihan reseptor estrogen yang tidak terikat. Menurut Setchell (1998) kemampuan isoflavon berikatan dengan reseptor estrogen yang disebut Sex Hormone Binding Globulin (SHBG), berperan untuk meningkatkan produksi hormon steroid dan bertanggungjawab dalam pengikatan estrogen serta mengedarkannya melalui pembuluh darah. Selanjutnya Aldercreutz (2002) menyatakan genistein dapat meningkatkan sirkulasi tingkat estrogen dengan cara merangsang transkripsi SHBG. Menurut Hudson (2003) keterlibatan isoflavon meniru kerja estrogen tergantung pada beberapa faktor, yaitu jumlah reseptor yang dapat berikatan dengan isoflavon, letak reseptor, jenis reseptor dan konsentrasi estrogen yang mampu bersaing dengan isoflavon.

Fungsi estrogen dalam tubuh bukan hanya untuk reproduksi, tetapi juga diperlukan untuk kesehatan terutama pada hewan menopause. Estrogen memiliki efek menurunkan kolesterol plasma secara bermakna, ikut berperan menurunkan kejadian infark miokardium dan menurunkan kejadian penyakit kardiovaskular setelah menopause (Ganong 2003). Menurut Wylie dan Rosett (2005) pemberian isoflavon dapat mengurangi keluhan menopause seperti hot flushes (rasa panas) dan vaginal dryness sebesar 30-50%. Menurut Vincent dan Fitzpatrick (2000) isoflavon dapat menurunkan kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein) sebesar 30-40%, dan meningkatkan HDL (High Density Lipoprotein) sebesar 50%.

(48)

Isoflavon mampu berikatan dengan reseptor estrogen jaringan urogenital, yang selanjutnya memacu kerja estrogen sehingga tercapai kondisi restorasi estrogen endogen. Interaksi antara isoflavon dengan reseptor estrogen dalam saluran genitalia dapat menggantikan kerja estrogen pada saluran tersebut, sehingga simptom menopause menurun (Winarsi et al. 2004). Selanjutnya Biben (2001) menyatakan bahwa dengan tercapainya restorasi estrogen, maka kelembaban vagina dapat dipertahankan serta menghilangkan simptom dryness vaginal. Isoflavon bekerja dengan cara mengikat reseptor estrogen pada saluran genitalia dan menstimulir aktivitas estrogen endogen (Warner et al. 1999).

Hubungan Panjang Siklus Estrus dengan Kadar Hormon Estrogen pada Tikus

Berdasarkan uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kadar hormon estrogen terhadap panjang siklus estrus pada tikus non ovariektomi dan tikus ovariektomi (Lampiran 18). Hubungan antara kadar estrogen terhadap panjang siklus estrus berkorelasi positif dan signifikan, maka diharapkan semakin tinggi kadar hormon estrogen maka semakin panjang siklus estrus. Grafik hubungan rataan kadar hormon estrogen terhadap rataan panjang siklus estrus dapat dilihat pada gambar 8.

Rataan panjang s ik lus es trus (jam)

Ra ta a n k a d a r e s tr a d io l (p g /m l) 180 160 140 120 100 80 60 27.5 25.0 22.5 20.0 17.5 15.0

Gambar 8. Grafik hubungan rataan kadar estrogen terhadap rataan panjang siklus estrus (y = 7.232 + 0.1048x)

(49)

Panjang siklus estrus pada tikus non ovariektomi berkaitan dengan kemampuan reproduksi, tetapi tergantung pada fasenya. Perpanjangan fase proestrus dan fase estrus menguntungkan pada tikus non ovariektomi karena fase ini merupakan fase yang potensial dalam hal fertilitas. Sedangkan pada tikus ovariektomi panjang siklus estrus berkaitan dengan kesehatan. Perpanjangan fase proestrus dan fase estrus menguntungkan pada tikus ovariektomi karena dapat mempertahankan kelembaban vagina sehingga mengatasi keluhan dryness vaginal.

Gambar

Tabel 3. Komposisi kimia tempe kedelai (dalam 100 gram bagian yang dapat  dimakan)  Komponen Tempe  Protein (gram)  20.8  Lemak 8.8  Karbohidrat  Abu  Serat  Karoten total (mg)  13.5 1.6 1.4 34  Kalsium  Besi  155 4.0  Fosfor  Air  Vitamin B1  326  55.3 0.19                                                                                (Cahyadi 2007)  Fitoestrogen
Tabel 4. Hasil analisis senyawa isoflavon tepung kedelai dan tepung tempe. Gambar 1. Struktur Isoflavon (Winarsi 2005)
Gambar 4. Hubungan jalur metabolisme karbohidrat, protein dan lemak (Ganong  2003).
Tabel 5. Perbandingan jenis sel pada preparat ulas vagina
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tempe kedelai terhadap kadar kolesterol darah pada tikus putih yang diberi diet tinggi lemak selama 3 minggu dan mengetahui dosis

Simpulan penelitian ini adalah tepung tempe dengan kandungan zat gizi dan isoflavon yang lebih tinggi dapat meningkatkan estrogen serum dan menurunkan beta amiloid serum,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok tikus yang diberi ransum 10% protein dari tepung tempe non -PRG memiliki kadar MDA di hati maupun di ginjal lebih

Evaluasi daya serap dan retensi mineral kalsium serta kadar mineral kalsium dalam serum darah dari perlakuan tepung tempe dan tepung kedelai rebus terhadap konsentrasi mineral

Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian tepung tempe pada tikus ovariektomi selama empat bulan dapat memperbaiki kualitas tulang dengan meningkatkan kadar kalsium, fosfor

Kelompok tikus yang diberi pakan standar memiliki indeks fagositosis 1,568, sedangkan kelompok tikus yang diberi pakan mengandung tepung tempe kedelai hitam sebanyak 25, 50, 75

Kandungan gizi (proksimat, asam amino, asam lemak, dan vitamin E) dan non gizi (serat pangan dan isoflavon total) dari tepung tempe kedelai lokal grobogan

Hasil penelitian menunjukkan kadar IL-6 kelompok tikus dengan perlakuan pemberian ekstrak tempe kedelai hitam yaitu 150.6 pg/ml yang artinya terdapat pengaruh pemberian ekstrak tempe