• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tempe merupakan salah satu produk olahan kedelai yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Produk ini diperoleh dengan cara memfermentasi kedelai menggunakan kapang Rhizopus. Tempe memiliki penampakan dan komposisi gizi yang berbeda dibandingkan kedelai maupun produk olahan kedelai lainnya.

Pada penelitian ini, pembuatan tempe dilakukan di salah satu industri tempe rumah tangga milik Bapak Warsori yang berlokasi di Dusun Warnasari Desa Cibeber, Leuwiliang Bogor. Prosedur yang digunakan untuk pengolahan tempe sampel sama dengan prosedur pengolahan tempe komersial

sehari-hari yang dilakukan oleh industri tersebut. Dengan demikian akan diperoleh tempe dengan karakter normal tempe di pasaran. Metode pengolahan tempe yang dilakukan pada industri bersangkutan adalah perebusan kedelai, perendaman, pengupasan kulit, pencucian, penambahan starter, pengemasan dan pemeraman.

1. Karakteristik Fisik Tempe

Karakteristik fisik yang dianalisis dari tempe adalah rendemen dan panjang biji tempe. Rekapitulasi hasil analisis karakteristik fisik tempe dapat dilihat pada Tabel 10 sementara data lengkap analisis dapat dilihat pada Lampiran 9 dan 10.

Proses fermentasi akan membentuk tempe yang berupa padatan kompak dari biji kedelai yang diselimuti oleh hifa kapang (Golbitz and Jordan 2006). Tempe berkualitas baik dicirikan oleh warna putih bersih dan merata pada permukaannya, struktur yang homogen dan kompak serta rasa dan aroma khas tempe. Sedangkan tempe kualitas buruk ditandai dengan permukaan yang basah, struktur tidak kompak, bercak hitam, berbau amonia dan alkohol serta beracun (Astawan 2009). Tempe yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki ciri-ciri sebagaimana ciri tempe dengan kualitas baik dimana butir-butir kedelai diselimuti oleh hifa kapang secara merata, tekstur yang kompak dan aroma khas tempe.

Namun pada tempe dari kedelai varietas G2 batch pertama terdapat penyimpangan yaitu aroma yang terlalu tajam. Tempe G2 memiliki aroma kapang yang sedikit menyengat. Hal yang menyebabkan penyimpangan diduga dapat terjadi selama proses produksi maupun transportasi. Produksi tempe dilakukan dengan metode perebusan kedelai, perendaman, pengupasan kulit, pencucian, penambahan starter, pengemasan dan pemeraman. Kesalahan selama proses produksi yang mungkin antara lain pemberian starter ragi yang melebihi kadar yang seharusnya serta kondisi pemeraman yang mungkin berbeda. Penambahan starter pada proses fermentasi kedelai menjadi tempe merupakan salah satu hal yang penting dalam pembuatan tempe. Penambahan ragi dilakukan 1 gram per kg kedelai, atau disebutkan dalam kemasan 1 sdm untuk 10 kg kedelai. Pada industri tempe, penambahan ragi dilakukan dengan takaran rumah tangga sehingga memungkinkan penambahan yang kurang tepat. Hal ini mungkin menyebabkan penambahan starter yang tidak sesuai dengan takaran. Penambahan jumlah inokulum dapat mempengaruhi waktu pemeraman. Dengan kondisi yang sama, penambahan atau pengurangan jumlah inokulum akan mempersingkat atau memperpanjang waktu pemeraman (Sudigbia 1996).

Kedelai yang telah ditambahkan starter kemudian ditimbang berdasarkan berat tertentu dan dikemas menggunakan plastik yang telah dilubangi. Kedelai kemudian diletakkan pada ruang khusus yang terdiri dari rak-rak tempat pemeraman. Kondisi pemeraman juga berpengaruh terhadap kualitas tempe yang dihasilkan. Pada hari kedua dilakukan pembalikan disertai penambahan lubang pada kemasan plastik untuk menjaga kondisi tempe agar tidak berkeringat. Pemeraman yang kurang baik dapat memberikan hasil tempe yang tidak baik. Selain itu penyebab penyimpangan juga dimungkinkan terjadi pada saat transportasi. Kondisi yang terlalu padat dan rapat dapat menyebabkan pertumbuhan kapang yang terlalu cepat. Pertumbuhan kapang sejalan dengan jumlah zat sisa metabolisme yang dihasilkan yang berpengaruh terutama terhadap rasa dan aroma tempe yang dihasilkan.

Tabel 10. Karakteristik fisik tempe

Parameter Kedelai A Kedelai B Kedelai G2 Kedelai H

Gambar

Penampakan

Penampakan normal, tekstur kompak, warna bulir putih

kekuningan dengan hifa putih

Normal,

tekstur kompak, ukuran biji besar, warna bulir kekuningan dengan hifa

putih

Normal, tekstur kompak, warna bulir putih kekuningan dengan hifa

putih

Normal, testur kompak, warna bulir putih kekuningan dengan hifa

putih

Rendemen (%) 163.53 a 175.24 a 179.59 a 171.59 a

Panjang biji (mm) * 8.02 a 10.84 c 8.31 a 9.81 b

Pengembangan biji (%) ** 68.56 65.93 62.15 80.50

Nilai pada satu baris dengan huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan nyata (p < 0.05) * Rata-rata dari 100 biji kedelai yang diambil secara acak

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, rendemen tempe yang diperoleh berkisar antara 163.53 % sampai 175.24 % dari bahan baku kedelai kering dan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05. Kedelai A memberikan rendemen paling rendah, sementara kedelai G memberikan rendemen tertinggi. Pengolahan kedelai menjadi tempe dilakukan dengan menghilangkan bagian kulit yang besarnya sekitar 8-12 % (Jones 1975). Tempe merupakan salah satu produk pangan yang memiliki kadar air yang tinggi. Selama proses perebusan dan perendaman kedelai akan menyerap air sehingga massa dan volumenya akan bertambah. Pada tahap tersebut juga akan terjadi pelunakan jaringan serta pengurangan intensitas langu kedelai. Kedelai yang telah direbus dan dikupas kemudian ditambahkan ragi sebagai starter proses fermentasi. Selama proses pemeraman ragi tempe akan menghasilkan massa hifa yang mengikat butir-butir kedelai menjadi kesatuan yang kompak. Penambahan massa hifa ini akan memperbesar rendemen tempe yang dihasilkan.

Produsen tempe biasanya memilih kedelai dengan ukuran biji yang besar agar dapat memperoleh rendemen dan volume tempe yang baik. Berdasarkan analisis statistik dari data yang dihasilkan, tempe B memiliki panjang biji yang berbeda nyata dibandingkan ketiga varietas lainnya. Sementara dilihat dari ukuran bijinya, tempe B memiliki ukuran biji yang paling besar. Kedelai impor lebih banyak dipilih karena memiliki penampakan yang bersih serta ukuran bijinya yang besar. Selain itu pasokan kedelai impor lebih stabil dibandingkan kedelai lokal. Ginting et al (2009) melakukan penelitian pembuatan tempe dengan menggunakan beberapa varietas kedelai lokal dibandingkan dengan kedelai impor. Hasilnya kedelai varietas Burangrang, Bromo dan Argomulyo menghasilkan tempe yang tidak berbeda nyata dengan tempe yang diproduksi dari kedelai impor. Selain penampakannya yang lebih bersih, rendemen tempe yang dihasilkan juga lebih banyak.

2. Komposisi Kimia Tempe

Tempe dikenal sebagai makanan yang memiliki nilai gizi yang tinggi. Fermentasi merupakan tahap terpenting dalam pembuatan tempe yang dapat memberikan kebaikan berupa flavor yang enak serta komponen gizi yang baik. Komposisi kimia yang terkandung dalam tempe dapat dilihat dalam Tabel 11, sementara data analisisnya pada Lampiran 11, 12, 13, 14 dan 15.

Tabel 11. Komposisi kimia sampel tempe kedelai

Parameter Tempe A Tempe B Tempe G2 Tempe H SNI * Kadar air (%bb) 64.23 a 63.90 a 64.43 a 65.46 a ≤ 65.00 Kadar abu (%bk) 2.53 a 2.31 a 3.02 a 2.45 a ≤ 4.29 Kadar protein (%bk) 49.83 a 49.91 a 50.48 a 51.17 a ≥ 45.71 Kadar lemak (%bk) 24.42 b 21.41 ab 19.15 a 19.91 ab ≥ 28.57 Kadar karbohidrat (%bk) 23.22 26.37 27.35 26.47 - DC protein (%) Tidak dilakukan analisis - Nilai pada satu baris dengan huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan nyata (p < 0.05)

* SNI 3144-2009 tentang tempe kedelai (BSN 2009)

Tempe merupakan salah satu produk pangan yang memiliki umur simpan relatif singkat. Hal ini dikarenakan oleh kadar air tempe yang tinggi serta keberadaan kapang yang berperan penting dalam proses pengolahan tempe. Menurut SNI 3144:2009, kadar air tempe maksimal 65 %. Tempe dari varietas A, B dan G2 memiliki kadar air dibawah 65 %, sementara tempe dari kedelai varietas H memiliki kadar air 65.46 % yang sedikit melebihi ketentuan SNI. Namun berdasarkan pengolahan

statistik diperoleh bahwa kadar air tempe H tidak berbeda nyata dengan ketiga tempe lainnya. Dilihat dari rendemen dan pengembangan panjang biji pada tempe H yang besar, dimungkinkan penyerapan air pada kedelai H relatif lebih besar. Proses perendaman mengakibatkan berat kedelai mencapai hingga 2.2 kali berat awalnya (Muchtadi 2010a). Keberadaan air yang besar akan memungkinkan pertumbuhan mikroorganisme menjadi lebih tinggi yang memicu kerusakan tempe menjadi lebih cepat.

Kadar abu pada tempe yang dihasilkan memiliki nilai tertinggi pada sampel G2 sebesar 3.02 (%bk). Kadar abu tempe dalam penelitian ini masih berada dalam rentang SNI yaitu dibawah 1.5 (%bb) atau 4.29 (%bk). Kadar abu diasosiasikan dengan jumlah mineral dalam produk pangan. Meskipun kadar abu pada tempe cenderung lebih rendah dibandingkan kedelai, namun pengolahan kedelai menjadi tempe diketahui mampu menghilangkan senyawa antigizi seperti fitat yang biasa menghalangi penyerapan mineral dalam sistem pencernaan.

Kadar protein tempe yang dihasilkan berkisar 49.83-51.1 (%bk) yang tidak berbeda nyata berdasarkan pengolahan statistik pada taraf 0.05. Dibandingkan dengan kedelai, kadar protein tempe mengalami kenaikan. Protein tempe dinilai sebagai protein yang memiliki kualitas hampir sama dengan protein hewani. Tempe segar memiliki kadar protein sekitar 19.5 (%bb), dibandingkan dengan ayam (21 %bb), daging sapi (20 %bb), telur (13 %bb) (Shurtleff and Aoyagi 2001).

Pada penelitian ini tidak dilakukan analisis daya cerna pada tahap tempe. Hal ini dikarenakan analisis daya cerna menggunakan metode Hsu memerlukan data kadar protein. Tempe memiliki daya cerna sekitar 80 % (Cahyadi 2009). Dilihat dari kadar protein dan daya cerna protein tempe cenderung lebih besar dibandingkan kedelai, pembuatan tempe kedelai untuk menjadi minuman menjadi salah satu potensi pengembangan produk olahan tempe.

Kadar lemak tempe cenderung menurun dibandingkan kedelai. Penurunan kadar lemak dalam tempe disebabkan penggunaan asam lemak oleh kapang selama proses fermentasi. Tempe A memiliki kadar lemak tertinggi yaitu 24.42 (%bk), sementara tempe G2 memiliki kadar lemak terendah 19.15 (%bk) yang berbeda nyata pada pengolahan statistik taraf 0.05. Beberapa penelitian menyatakan bahwa tempe mengandung lemak yang sehat karena mengandung asam lemak esensial yang tidak dapat disintesis oleh tubuh. Meskipun lebih dikenal sebagai sumber protein, tempe juga memiliki kadar karbohidrat yang baik. Kadar karbohidrat tempe berkisar 23.22-27.35 (%bk). Proses fermentasi menguraikan berbagai polisakarida menjadi gula sederhana. Hal ini terjadi terutama oleh aktivitas enzim amilase dari R oryzae.

Dilihat dari komposisi kimianya, keempat tempe yang dihasilkan cenderung memiliki komposisi yang tidak berbeda nyata pada taraf 0.05. Pengolahan kedelai A, B, G2 dan H menjadi tempe berpengaruh lebih terhadap karakteristik fisik terutama pada rendemen dan penampakan. Industri tempe biasanya lebih memilih bahan baku berupa kedelai yang dapat memberikan rendemen dan sifat fisik yang baik.

3. Analisis Organoleptik Tempe

Penyajian tempe dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti digoreng, dibakar bahkan dibentuk menjadi bakso atau nuget (Golbitz and Jordan 2006). Meskipun tempe biasanya tidak dikonsumsi dalam kondisi mentah, namun karakteristik organoleptik tempe juga menjadi perhatian dalam pemilihan tempe sebagai bahan baku pangan. Analisis organoleptik atau analisis sensori merupakan pengujian untuk menilai kualitas dan keamanan suatu produk pangan. Pembuatan tempe kedelai dilakukan sebanyak dua batch, sementara analisis organoleptik dilakukan hanya pada tempe batch I. Analisis organoleptik tempe kedelai dilakukan dengan metode hedonik dengan skala 1 (sangat

tidak suka) hingga 7 (sangat suka). Hasil analisis organoleptik pada tempe dapat dilihat pada Tabel 12. Rekapitulasi data analisis organoleptik tempe dapat dilihat pada Lampiran 16.

Tabel 12. Tingkat kesukaan tempe kedelai

Tempe Warna Aroma Rasa Tekstur Keseluruhan

A 5.4b 5.0b 4.5b 5.2b 4.9b

B 5.5b 5.3b 4.8b 5.3b 5.1b

G2 3.4a 3.1a 3.3a 4.2a 3.4a

H 5.0b 5.3b 4.9b 5.0b 4.9b

Nilai pada satu kolom dengan huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0.05)

Tempe memiliki penampakan seperti kue dimana biji kedelai yang berwarna kuning akan diselimuti hifa berwarna putih. Semakin lama masa fermentasi, akan diperoleh warna hifa yang keabu-abuan. Untuk parameter warna dapat dilihat bahwa tempe A, B dan H memiliki tingkat kesukaan antara 5 sampai 6 artinya agak suka sampai suka. Sementara itu tempe G2 memiliki angka hedonik 3.4 yang berada diantara angka 3 dan 4 yang berarti agak tidak suka sampai biasa saja. Warna menjadi salah satu parameter fisik yang menjadi pertimbangan konsumen dalam memilih tempe. Konsumen kadang menghendaki warna tempe yang cenderung kuning. Hal ini kadang mendorong produsen tempe untuk menambahkan zat pewarna dalam proses pembuatan tempe.

Pada penelitian ini, tempe A, B dan H memiliki tingkat kesukaan disukai oleh panelis. Sementara tempe G2 memiliki tingkat kesukaan aroma 3.1 yang cenderung kurang disukai oleh panelis. Aroma tempe juga menjadi pertimbangan dalam pemilihan tempe. Semakin lama proses fermentasi yang dilakukan, akan timbul aroma amoniak yang intensitasnya semakin bertambah. Aroma tempe sering digunakan sebagai parameter untuk mengetahui kerusakan pada tempe.

Tempe memiliki rasa yang cenderung gurih karena kandungan asam amino yang tinggi. Untuk parameter rasa, terdapat perbedaan nyata sampel A, B dan H dengan G2. Sampel A, B dan H memiliki tingkat kesukaan 4.5-5.3 artinya dari biasa saja sampai agak suka. Sementara sampel G2 memiliki angka kesukaan 3.3 yang cenderung agak tidak disukai oleh panelis. Secara keseluruhan sampel B memiliki tingkat kesukaan paling tinggi yaitu 5.1 yang berarti agak suka. Sementara sampel G2 memiliki tingkat kesukaan terendah yaitu 3.0 yang cenderung tidak disukai. Dilihat dari hasil analisis organoleptik dan pengolahan statistik diperoleh tempe G2 memiliki angka kesukaan yang paling rendah dan nilai kesukaan yang berbeda nyata dibandingkan ketiga tempe lainnya. Nilai kesukaan tempe G2 disebabkan oleh penyimpangan terutama aroma dan rasa tempe yang berpengaruh nyata terhadap nilai kesukaan. Panelis biasanya menyukai tempe segar dimana memiliki penampakan yang baik, aroma khas tempe dan rasa tempe yang normal. Jika dilihat dari nilai kesukaan yang dihasilkan, tempe A, B dan H memiliki nilai kesukaan yang tidak berbeda nyata pada taraf 0.05.

Dokumen terkait