• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembuatan minuman tepung tempe pada penelitian ini diawali dengan pembuatan tepung tempe untuk memperoleh keseluruhan bagian tempe. Pada beberapa penelitian tepung tempe digunakan untuk menambah kadar protein suatu produk pangan. Tepung tempe juga merupakan bahan pengganti tepung terigu misal pada produk bakeri. Penelitian tempe menjadi minuman juga pernah dilakukan oleh oleh Surya (2011) dan Afriyanti (2010). Surya menggunakan metode pembuatan sari tempe, sementara Afriyanti menggunakan keseluruhan tempe dengan metode pengering drum.

Pembuatan minuman tempe juga dapat dilakukan dengan mengambil sari dari tempe. Metode ini menghasilkan ampas yang masih mengandung berbagai komponen baik zat gizi maupun senyawa fitokimia pangan. Harahap (1998) meneliti kadar isoflavon yang terdapat pada kedelai, tempe dan minuman yang dihasilkan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kandungan isoflavon berupa senyawa aglikon pada kedelai besarnya 1929.826 mg/100 g basis kering, sementara pada tempe besarnya 4006.550 mg/100 g basis kering. Sari kedelai dan sari tempe yang dihasilkan memiliki kandungan aglikon rata-rata 736.109 mg/100 g basis kering. Sebagian besar senyawa isoflavon tertinggal dalam ampas yang merupakan hasil samping pada proses penyaringan.

Pembuatan tepung tempe dipengaruhi oleh bahan baku dan metode yang digunakan. Tempe yang digunakan sebagai bahan tepung tempe merupakan tempe berumur 2 hari atau 48 jam pemeraman. Tempe dengan masa pemeraman tersebut telah mengalami pemecahan karbohidrat, protein dan lemak yang optimum. Tempe dengan masa pemeraman lebih lama mungkin telah mengalami perubahan rasa dan aroma akibat semakin banyaknya zat metabolit yang dihasilkan oleh kapang.

Prinsip pembuatan tepung adalah penghilangan air dari bahan pangan. Pemilihan metode pengeringan sangat berpengaruh terhadap produk yang dihasilkan. Pembuatan tepung tempe yang menghendaki keseluruhan bagian tempe ikut disertakan dapat menggunakan metode pengering rak, pengering drum maupun pengering vakum. Penelitian ini menggunakan metode pengering rak yang sudah banyak digunakan dalam berbagai penelitian tepung tempe. Tempe dipotong dengan ukuran 1 cm x 1 cm x 0.2 cm yang kemudian diblansir uap selama 10 menit. Proses blansir dengan uap panas lebih baik dibandingkan dengan perebusan karena dapat mengurangi resiko hilangnya zat gizi yang larut air pada bahan pangan. Tempe yang telah diblansir kemudian dikeringkan pada suhu 60 °C selama 6 jam. Pengeringan dianggap telah cukup karena menghasilkan tempe kering yang memiliki sifat mudah dipatahkan. Tempe kering memiliki permukaan mengkerut dan berwarna coklat tua.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan memiliki variasi ukuran irisan tempe, waktu blansir, suhu dan waktu pengeringan, serta penggilingan yang berbeda-beda. Soeryo (1991) menggunakan tempe dengan ukuran 2 cm x 1.5 cm x 0.4 cm dengan perebusan selama 10 menit dilanjutkan pengeringan oven suhu 55 °C selama 24 jam. Inayati (1991) menggunakan irisan tempe berukuran 0.5 cm x 3.5 cm x 1.5 cm yang dilakukan blansir uap 100 °C selama 10 menit dan dilanjutkan dengan pengeringan oven 60 °C selama 24 jam. Mardiah (1992) menggunakan irisan tempe 1 cm x 2 cm x 0.5 cm dengan pengeringan oven pada variasi suhu 50-70 °C dan waktu 20-24 jam. Hasilnya diperoleh pengeringan pada suhu dibawah 50 °C menghasilkan tepung yang memiliki bau amonia yang disebabkan oleh kapang yang mungkin masih tumbuh. Pengeringan pada suhu 70 °C dan waktu lebih dari 26 jam menghasilkan tepung yang terlalu kering dan berwarna gelap. Pemanasan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kerusakan protein (denaturasi), emulsi, vitamin dan lemak (Winarno 1980). Murdefi (1992) menggunakan irisan tempe ukuran 1 cm x 2 cm x 0.5 cm dengan pengeringan 50 °C selama 22 jam. Syarief et al (2000) menyebutkan tepung tempe dibuat dengan pengeringan oven maupun penjemuran selama 7 jam. Penelitian lebih lanjut oleh Driyani (2007) pengeringan dilakukan selama 6 jam. Afriyanti (2010) menggunakan tempe yang direbus kemudian digiling menggunakan food procesor hingga terbentuk bubur. Pengeringan dilakukan dengan pengering drum pada suhu 90 °C selama 20-30 detik hingga diperoleh flakes dan dilanjutkan dengan penggilingan menggunakan blender kering.

Tempe yang telah dikeringkan kemudian dilakukan penggilingan untuk memperoleh bentuk tepung. Untuk mencapai ukuran halus, penggilingan dilakukan secara bertahap dimulai dari ukuran yang besar sampai ukuran kecil yang diinginkan. Tempe kering didinginkan untuk mengeluarkan uap panas digiling menggunakan disc mill yang dilengkapi dengan ayakan ukuran 60 mesh. Pada

penggilingan 60 mesh diperoleh butiran halus namun masih terlihat bintik-bintik kecil berwarna coklat. Tepung tempe 60 mesh kemudian dilakukan penggilingan kembali menggunakan disc mill yang dilengkapi dengan ayakan 80 mesh. Pada proses penggilingan kedua ini terjadi penyumbatan pada ayakan sehingga tepung tidak keluar dari ayakan.

Percobaan penggilingan dilakukan dengan metode lain. Penggilingan dilakukan menggunakan blender kering. Namun proses ini mengalami kesulitan karena tepung yang dihasilkan akan menggumpal dibawah pisau sehingga bagian yang masih diatas tidak tergiling hingga halus. Selain itu, penggilingan menggunakan blender memiliki kapasitas yang tidak terlalu besar. Percobaan penggilingan juga dilakukan dengan menggunakan penggiling kopi yang memiliki prinsip kerja sama dengan disc mill yaitu pengecilan ukuran dengan pukulan dan gesekan. Namun karena tidak dilengkapi dengan ayakan, sulit untuk mengetahui hasil gilingan. Penggilingan dengan penggiling kopi dilakukan dalam beberapa kali proses. Penggiling kopi memberikan hasil tepung yang cenderung tidak menggumpal karena selama proses penggilingan terjadi panas yang membuat tepung menjadi lebih kering. Namun tepung tempe yang dihasilkan memiliki aroma gosong yang biasanya kurang disukai. Oleh karena itu, tepung tempe yang digunakan merupakan tepung tempe dengan penggilingan disc mill dengan ukuran maksimal 60 mesh.

1. Karakteristik Fisik Tepung Tempe

Tepung tempe yang dihasilkan dilakukan perbandingan antar varietas serta dengan bubuk minuman kedelai yang sudah banyak dikenal masyarakat. Bubuk minuman kedelai merupakan salah satu produk olahan kedelai yang banyak dikonsumsi sebagai pengganti susu sapi. Sudah banyak merek bubuk minuman kedelai komersial di pasaran, namun dalam penelitian ini hanya digunakan satu merek bubuk minuman kedelai komersial yang sudah banyak dikenal masyarakat. Karakter fisik yang dianalisis dari tepung tempe adalah rendemen, IPA, IKA dan warna. Hasil pengukuran dapat dilihat pada Tabel 13 dan rekapitulasi analisisnya dapat dilihat pada Lampiran 17, 18, 19 dan 20.

Rendemen merupakan salah satu parameter kesetimbangan materi selain proporsi campuran, kehilangan dan komposisi. Kesetimbangan massa adalah suatu perhitungan mengenai bahan masuk dan bahan keluar dalam suatu proses serta penentuan jumlah atau bagian dalam setiap bagian proses (Farias and Ratti 2009). Diagram kesetimbangan massa pada pengolahan kedelai menjadi tempe dan tempe menjadi tepung tempe dapat dilihat pada Lampiran 21. Pengolahan kedelai menjadi tempe menghasilkan rendemen yang lebih besar. Meskipun terbuat dari kedelai tanpa kulit, tempe menunjukkan kenaikan massa karena terjadinya penyerapan air dan pertumbuhan miselium kapang. Pembuatan tepung menggunakan metode pengeringan yang menghilangkan kadar air tempe yang cukup besar yang berjumlah hampir 60 %. Tepung tempe memiliki rendemen yang sangat kecil jika dibandingkan dengan tempe kedelai. Kehilangan air dapat menyebabkan perubahan struktur berupa penyusutan. Hal-hal yang berkaitan dengan adanya penyusutan antara lain perubahan bentuk dan ukuran, hilangnya kapasitas rehidrasi, keretakan permukaaan dan pengerasan tekstur bahan (Farias and Ratti 2009). Rendemen tepung tempe yang diperoleh besarnya sekitar 35 % dari bahan baku tempe.

Dari beberapa karakteristik, warna merupakan parameter kualitas eksternal yang penting dalam produk pangan. Warna berkorelasi terhadap berbagai sifat fisik, kimia dan organoleptik. Pengeringan menyebabkan perubahan warna yang signifikan terutama oleh terjadinya reaksi pencoklatan enzimatis, reaksi Maillard dan oksidasi. Pencoklatan akan menurunkan kualitas produk dan biasanya berkaitan erat dengan perubahan tekstur, terciptanya off flavor, penurunan kelarutan dan kehilangan zat gizi (Jinorose et al 2009). Inayati (1992) menduga bahwa perubahan warna tempe menjadi coklat disebabkan oleh pencoklatan non-enzimatis. Inayati juga menyebutkan penambahan eritobrat pada

proses blansir tidak memberikan pengaruh nyata pada derajat putih tepung tempe yang dihasilkan. Warna tepung tempe cenderung coklat kekuningan, sementara bubuk kedelai memiliki penampakan putih kekuningan seperti susu sapi bubuk. Berdasarkan angka chromameter yang diperoleh dapat dilihat bahwa tepung tempe memiliki nilai L sekitar 55 yang menandakan tingkat kecerahan lebih ke arah putih, nilai a berkisar +2 yang menandakan warna ke arah merah dan nilai b sekitar +13 yang berwarna kuning. Sementara bubuk kedelai komersial M memiliki nilai L 57.76 yang lebih tinggi dibandingkan tepung tempe sehingga warnanya lebih cerah, nilai a +1.41 dan nilai b +13.77 sehingga warnanya lebih ke arah kuning.

Tabel 13. Karakteristik fisik tepung tempe

Parameter Tepung A Tepung B Tepung G2 Tepung H Bubuk kedelai M

Gambar Penampakan Warna coklat kekuningan, butiran agak kasar Warna coklat kekuningan, butiran agak kasar Warna coklat kekuningan, butiran agak kasar Warna kekuningan, butiran agak kasar Warna putih kekuningan, butiran halus Rendemen (%) 36.88 34.43 36.26 35.09 - Warna L a b 55.44 +2.03 +13.30 56.13 +1.90 +14.13 55.19 +2.24 +12.76 55.64 +2.13 +14.06 57.76 +1.41 +13.77 IPA (g/g) 4.23 4.71 4.57 4.42 5.19 IKA (g/ml) 0.009 0.006 0.012 0.009 0.02

Dari beberapa karakteristik, warna merupakan parameter kualitas eksternal yang penting dalam produk pangan. Warna berkorelasi terhadap berbagai sifat fisik, kimia dan organoleptik. Pengeringan menyebabkan perubahan warna yang signifikan terutama oleh terjadinya reaksi pencoklatan enzimatis, reaksi Maillard dan oksidasi. Pencoklatan akan menurunkan kualitas produk dan biasanya berkaitan erat dengan perubahan tekstur, terciptanya off flavor, penurunan kelarutan dan kehilangan zat gizi (Jinorose et al 2009). Inayati (1992) menduga bahwa perubahan warna tempe menjadi coklat disebabkan oleh pencoklatan non-enzimatis. Inayati juga menyebutkan penambahan eritobrat pada proses blansir tidak memberikan pengaruh nyata pada derajat putih tepung tempe yang dihasilkan. Warna tepung tempe cenderung coklat kekuningan, sementara bubuk kedelai memiliki penampakan putih kekuningan seperti susu sapi bubuk. Berdasarkan angka chromameter yang diperoleh dapat dilihat bahwa tepung tempe memiliki nilai L sekitar 55 yang menandakan tingkat kecerahan lebih ke arah putih, nilai a berkisar +2 yang menandakan warna ke arah merah dan nilai b sekitar +13 yang berwarna kuning. Sementara bubuk kedelai komersial M memiliki nilai L 57.76 yang lebih tinggi

dibandingkan tepung tempe sehingga warnanya lebih cerah, nilai a +1.41 dan nilai b +13.77 sehingga warnanya lebih ke arah kuning.

Indeks penyerapan air dan indeks kelarutan air merupakan parameter fisik yang banyak dianalisis pada bahan pangan berbentuk tepung. Nilai IPA berkaitan erat dengan jumlah air yang dapat diserap oleh suatu bahan pangan, sementara IKA berkaitan erat dengan jumlah sampel yang dapat terlarut dalam air. Nilai IPA tepung tempe berkisar 4.23-4.71 (gram/gram), sementara nilai IKA berkisar 0.0064-0.0115 (gram/ml). Nilai kelarutan tepung tempe dapat dikatakan sangat kecil. Sementara pada bubuk kedelai diperoleh nilai IPA 5.19 (gram/gram) dan nilai IKA 0.02 (gram/ml). Analisis IPA dan kelarutan tepung tempe yang dilakukan oleh Mardiah (1992) menghasilkan nilai IPA sebesar 2.1 (gram/gram) sementara kelarutannya 11.3-23.2 %. Angka kelarutan yang diperoleh relatif kecil dibandingkan dengan minuman serbuk yang biasanya hampir larut 90 %.

2. Komposisi Kimia Tepung Tempe

Tepung tempe menjadi salah satu tepung yang banyak diaplikasikan dalam pengolahan bahan makanan karena kandungan proteinnya yang dikenal tinggi. Karakteristik kimia yang diukur dari tepung tempe meliputi analisis proksimat dan daya cerna protein dimana hasilnya dapat dilihat pada Tabel 14 sementara rekapitulasi data analisisnya dapat dilihat pada Lampiran 22, 23, 24, 25 26 dan 27.

Tabel 14. Komposisi kimia sampel tepung tempe

Parameter Tepung tempe sampel Bubuk kedelai

A B G2 H Sampel M SNI * Kadar air (%bb) 4.20 a 4.66 a 4.90 a 4.63 a 7.11 a ≤ 10.00 Kadar abu (%bk) 3.16 a 2.70 a 2.86 a 3.15 a 4.53 a ≤ 6.67 Kadar protein (%bk) 46.05 a 48.43 a 47.59 a 48.89 a 44.42 a ≥ 33.33 Kadar lemak (%bk) 25.70 a 27.36 a 24.96 a 25.41 a 28.69 a ≥ 18.89 Kadar karbohidrat (%bk) 25.09 21.51 24.59 22.55 22.36 - DC protein (%) 80.12 d 75.42 a 76.50 b 78.49 c 83.11 e -

Nilai pada satu baris dengan huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan nyata (p < 0.05) * SNI 7612-2011 tentang bubuk minuman kedelai (BSN 2011)

Kadar air tepung tempe cenderung kecil yaitu tepung A sebesar 4.20 (%bb), tepung sebesar B 4.66 (%bb), tepung sebesar G2 4.90 (%bb) dan tepung H sebesar 4.63 (%bb). Bubuk minuman kedelai komersial memiliki kadar air 7.11 (%bb). Kadar abu hasil analisis untuk tepung tempe A sebesar 3.16 (%bk), tepung tempe B sebesar 2.70 (%bk), tepung tempe G2 sebesar 2.86 (%bk) dan tepung tempe H sebesar 3.15 (%bk). Kadar abu biasanya tidak banyak berubah selama proses pengolahan pangan.

Kadar protein tepung tempe yang dihasilkan berkisar antara 46.05-48.89 %. Dibandingkan dengan tempe kedelai yang memiliki kadar protein sekitar 49.83-51.17 (%bk), kadar protein tepung tempe sedikit lebih rendah. Hal ini dimungkinkan karena proses pengeringan dapat menyebabkan kerusakan protein. Tempe dikenal memiliki daya cerna protein yang cukup tinggi, sekitar 86.1 % (Cahyadi 2009). Daya cerna protein tepung tempe menurun oleh proses pengeringan. Pengeringan menyebabkan reaksi Maillard dimana asam amino bereaksi dengan gugus gula pereduksi yang kemudian menghambat penetrasi enzim ke dalam substrat protein yang dapat diserang enzim karena terjadinya ikatan silang tersebut. Dibandingkan kedelai, daya cerna tepung tempe cenderung lebih besar. Hal ini karena tempe sudah mengalami proses fermentasi yang menguraikan asam-asam amino

kedelai. Nilai biologis dan daya cerna protein tidak mengalami perubahan yang signifikan pada banyak bahan pangan yang dikeringkan (Fellow 2000).

Tepung tempe G2 memiliki kadar lemak terendah sebesar 24.96 %, diikuti tepung H sebesar 25.41 %, tepung A sebesar 25.70 % dan tepung B 27.36 %. Sementara itu kadar karbohidrat tepung tempe yang dihasilkan sebesar 21.51-25.09 %. Karbohidrat bersifat tidak terlalu sensitif terhadap panas. Dilihat dari analisis statistik yang dilakukan, keempat tepung tempe memiliki komposisi kimia yang tidak berbeda nyata dengan bubuk kedelai komersial.

Salah satu proses untuk menghasilkan minuman berbentuk serbuk adalah pengeringan. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam memilih metode pengeringan antara lain aspek ekonomi, karakteristik bahan yang dikeringkan, ketersediaan alat dan kualitas produk yang diinginkan. Pengeringan dapat dilakukan dengan berbagai metode salah satunya penggunaan udara panas. Mekanisme pengeringan dengan udara panas adalah melewatkan udara panas pada bahan pangan sehingga air dalam bahan pangan akan terbawa oleh udara panas tersebut (Fellow 2000). Beberapa metode pengeringan dengan udara panas antara lain pengering rak dan pengering semprot. Pengering rak biasa digunakan untuk bahan pangan berupa potongan maupun irisan, sementara pengering semprot digunakan untuk bahan pangan berbentuk koloid (Farias and Ratti 2009).

Untuk mendapatkan keseluruhan komponen bahan dalam produk akhir, penggunaan pengering rak lebih dipilih. Pengering rak biasa digunakan pada produksi skala kecil dengan penanganan yang mudah dan dapat diaplikasikan dalam berbagai produk pangan. Namun proses pengeringan mungkin tidak terkontrol secara maksimal sehingga kualitas produk yang dihasilkan dapat berbeda-beda. Bahan pangan yang terletak dekat dengan saluran udara pengering mungkin mengalami pengeringan lebih cepat. Kelebihan pengeringan dengan udara panas adalah biaya yang rendah serta peralatan yang sederhana. Namun kelemahannya metode ini memberikan efek tak balik seperti kehilangan zat gizi akibat panas disertai penyusutan, porositas produk yang kecil dan kemampuan rehidrasi yang kecil (Marabi and Saguy 2009).

Pada proses pembuatan tepung tempe terjadi hambatan. Proses penggilingan tempe kering menjadi tepung tempe direncanakan dilakukan dalam beberapa kali proses penggilingan. Penggilingan pertama dilakukan dengan ukuran ayakan 60 mesh. Penggilingan selanjutnya dilakukan dengan ayakan 80 mesh, namun pada penggilingan 80 mesh ini terjadi penyumbatan. Penyumbatan dapat terjadi akibat penyerapan air dari lingkungan. Peristiwa case hardening juga dapat menyebabkan masih terdapat kandungan air dalam bahan pangan. Selama penggilingan air yang terperangkap akan pecah dan mengikat bagian yang telah menjadi tepung. Soegiharto (1995) mengeringkan kembali tepung tempe yang dihasilkan menggunakan fluidized bed dryer untuk menghindari peningkatan kembali kadar air.

Pada produk campuran tepung kedelai dan tepung kacang hijau misalnya, pengolahan kedelai dilakukan dengan pengupasan kedelai kering, pencucian, perebusan pada suhu 80 °C selama 25 menit, pengeringan menggunakan oven pada suhu 60 °C selama 7-8 jam, penggilingan, pencampuran dengan tepung kacang hijau dan bahan lain serta pengemasan (Ningrum 2012). Proses penggilingan kacang kedelai hanya dilakukan sekali dengan ukuran tepung yang diharapkan 120 mesh. Sementara penggilingan kacang hijau dilakukan dengan tiga kali proses. Hal ini dikarenakan kondisi kacang kedelai yang lebih lembab dibandingkan kacang hijau, sehingga dapat menyumbat mesin (Prahasti 2012). Dilihat dari hasil analisis, kadar air tepung tempe yang dihasilkan relatif kecil. Hal ini menunjukkan peristiwa penyumbatan pada proses penggilingan mungkin tidak dikarenakan oleh tingginya kadar air.

Penyumbatan juga dapat terjadi karena kadar lemak tempe yang tinggi sekitar 25 %. Produk pangan dengan kadar lemak yang rendah seperti sari buah, kentang dan kopi lebih mudah diolah

menjadi bentuk tepung yang mudah mengalir dibandingkan produk pangan dengan kadar lemak yang cukup tinggi (Fellow 2000). Penggilingan tempe kering memungkinkan pecahnya lemak yang akan mengikat tepung yang telah dihasilkan sehingga terjadi penggumpalan. Pembuatan tepung kedelai biasanya dilakukan dari kedelai yang telah diekstrak minyaknya. Untuk menambahkan kadar lemak pada tepung kedelai dapat dilakukan dengan penambahan minyak kedelai maupun lesitin ke dalam tepung kedelai tanpa lemak yang kemudian dikeringkan kembali menggunakan ekstruder (Liu and Limpert 2004). Inayati (1991) dan Soeryo (1991) menggunakan tepung tempe berukuran 30-40 mesh dan tidak melaporkan adanya masalah dalam penggilingan. Penggilingan tepung dilakukan secara bertahap namun semakin kecil bahan yang digunakan, penggilingan dan pengayakan akan semakin sulit dilakukan.

Proses pengolahan akan berpengaruh baik secara fisik maupun kimia produk pangan. Tempe merupakan produk fermentasi kedelai dimana salah satu tahapan proses yang dilakukan adalah perebusan. Proses perebusan menyebabkan terjadinya denaturasi pada protein kedelai. Denaturasi adalah modifikasi struktur sekunder, tersier dan kuarter dari protein tanpa menyebabkan pemutusan ikatan peptida. Denaturasi biasanya terjadi karena panas dan penambahan asam, pelarut organik maupun garam. Denaturasi protein dapat menyebabkan hilangnya kelarutan dan aktivitas enzim dalam bahan pangan (Winarno et al 1989).

Kedelai merupakan salah satu kacang-kacangan yang dikenal memiliki kadar protein yang sangat tinggi. Protein kedelai kebanyakan merupakan protein albumin dan globulin. Kedua jenis protein memiliki struktur susunan molekul berupa protein globular. Protein albumin bersifat larut air namun terkoagulasi oleh panas. Sementara protein globulin bersifat tidak larut air, terkoagulasi oleh panas, larut dalam larutan garam encer dan mengendap dalam larutan garam konsentrasi tinggi (Winarno 1992). Globulin merupakan protein utama dalam kedelai yang besarnya 80 % dari total protein (Boye et al 2010). Protein globular dapat terdenaturasi pada suhu 60-70 °C.

Penelitian ini menggunakan keseluruhan bagian tempe sebagai bahan baku minuman dengan tujuan untuk mempertahankan keseluruhan komponen baik zat gizi maupun non-gizi dalam tempe. Namun komponen seperti serat dan pati yang bersifat tidak larut air akan berpengaruh terhadap sifat fisik minuman. Pada produk akhir akan dihasilkan bagian tak larut yang akhirnya akan mengendap di dasar minuman.

Pada beberapa penelitian tepung tempe digunakan sebagai bahan substitusi tepung terigu yang diaplikasikan dalam makanan untuk bayi, makanan untuk anak, biskuit dan mi. Pemanfaatan tepung tempe sebagai minuman sedikit berbeda karena tepung tempe hanya dilarutkan dengan air sehingga parameter kelarutan harus diperhatikan. Nilai kelarutan berhubungan erat dengan instanisasi produk minuman. Semakin tinggi tingkat kelarutan akan semakin baik. Pemilihan metode pengeringan menjadi perhatian utama dalam pembuatan minuman. Minuman bubuk biasa diolah menggunakan metode pengeringan semprot. Bahan pangan yang dapat dikeringkan dengan pengering semprot merupakan dispersi dari bahan pangan dengan kadar air 40-60 % yang telah dilakukan atomisasi sehingga diperoleh droplet kecil yang kemudian disemprotkan pada pengering (Fellow 2000). Dilihat dari kadar air tempe yang besarnya sekitar 60 %, penggunaan pengering semprot terlihat dapat dilakukan. Namun tingginya kandungan serat yang cukup tinggi dalam tempe memungkinkan terjadinya penyumbatan pada nozel pengering. Untuk mengatasinya hanya dapat dilakukan dengan penyaringan atau pembuatan sari tempe yang kemudian dikeringkan menggunakan pengering semprot. Pengeringan dengan pengering semprot biasa dilakukan pada suhu tinggi selama beberapa detik untuk menurunkan resiko kerusakan bahan. Kelebihan pengering semprot adalah pengeringan yang cepat, dapat diaplikasikan dalam skala besar secara kontinyu, biaya tenaga kerja yang rendah serta

pengoperasian yang mudah. Sementara kelemahannya adalah biaya modal yang tinggi dan energi yang besar (Fellow 2002).

Tempe dikenal sebagai salah satu pangan fungsional karena selain kandungan protein dan daya cernanya yang tinggi, tempe juga mengandung senyawa fitokimia yang baik bagi tubuh. Kelebihan tempe mendorong banyaknya penelitian pengembangan produk turunan dari tempe. Pengolahan tempe menjadi tepung tempe mampu memperpanjang umur simpannya. Tepung tempe banyak digunakan dalam produk pangan sebagai substitusi tepung terigu serta dalam upaya menambah kadar protein produk. Secara karakteristik bahan dan pengolahan, tepung tempe dengan keseluruhan komponen lebih sesuai untuk diaplikasikan pada produk pangan yang tidak dilarutkan dengan air sebagai contoh produk bakeri. Sementara untuk aplikasi minuman dapat dilakukan adalah pengambilan sari tempe dan dilanjutkan dengan formulasi serta pengeringan. Dengan demikian terdapat bagian yang hilang. Namun secara karakteristik fisik akan diperoleh bentuk minuman yang mungkin lebih disukai konsumen.

Dokumen terkait