• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Kasus: Penanganan Ventrikulitis Setelah Pemasangan VP-Shunt

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Laporan Kasus: Penanganan Ventrikulitis Setelah Pemasangan VP-Shunt"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Laporan Kasus: Penanganan Ventrikulitis Setelah Pemasangan VP-Shunt

Iskandar Japardi

1

, Steven Tandean

1. Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

1

Pendahuluan

Hidrosefalus adalah suatu kondisi dimana terdapat cairan serebrospinal (CSS) yang berlebihan di dalam ventrikel otak. Cairan serebrospinal merupakan cairan yang steril yang diproduksi oleh pleksus Choroideus di dalam ventrikel Cairan serebrospinal yang berlebihan terjadi karena adanya ketidak seimbangan antara jumlah yang diproduksi dengan laju absorpsi.

Insiden seluruhnya dari hidrosefalus tidak diketahui. Prevalensi hidrosefalus di dunia cukup tinggi, di Belanda dilaporkan terjadi kasus sekitar 0,65 permil pertahun dan di Amerika sekitar 2 permil pertahun. Prevalensi hidrosefalus di Indonesia diperkirakan mencapai 10 per 1000 kelahiran.

1

Pembedahan merupakan terapi definitif dan standar baku untuk hidrosefalus yaitu pemasangan VP shunting menggunakan kateter silikon dipasang dari ventrikel otak ke peritonium. Kateter dilengkapi katup pengatur tekanan dan mengalirkan CSS satu arah yang kemudian diserap oleh peritonium dan masuk ke aliran darah. Komplikasi yang paling sering terjadi setelah pemasangan VP shunt adalah infeksi berupa ventrikulitis.

1,2

3

Metode

Dilaporkan sebuah kasus anak perempuan usia 4 tahun datang dengan keluhan penurunan kesadaran, kejang dan demam tinggi sejak operasi revisi vp-shunt. Pasien juga mengalami kekakuan pada tangan dan kaki sejak 3 hari ini dan semakin memberat. Pasien telah menjalani operasi release tethered cord + repair cele dan VP-shunt pada kocher kanan ssekitar 10 bulan yang lalu. Sebulan yang lalu pasien kontrol kembali dengan keluhan ekspos tombol shunt. Awalnya dijumpai luka berupa titik kecil yang melebar hingga 1 cm. Dari analisis cairan serebrospinalis dijumpai leukosit sebesar 4 sel. Sepuluh hari setelah analisis cairan serebrospinal dilakukan aff shunt dan pemasangan ulang VP shunt pada daerah keen.

(2)

spastisitas pada sistem motorik. Pada pemeriksaan ct-scan kepala dijumpai adanya lesi hiperdens intraventrikel dengan dilatasi seluruh sistem ventrikel. Tampak ujung ventrikular shunt tidak berada dalam ventrikel. Kesan adanya suatu hidrosefalus dengan ventrikulitis dan malfungsi shunt.

Selanjutnya dilakukan operasi emergensi untuk mengurangi peningkatan tekanan intrakranial dan mengeluarkan cairan serebrospinal yang terinfeksi melalui pemasangan EVD (extraventrikuler drainage). Setelah pemasangan EVD dilanjutkan pemberian antibiotik secara intrathekal. Cairan serebrospinal diperiksa per tiga hari untuk mengevaluasi keberhasilan terapi intrathekal. Pasien dilakukan pemasangan VP-shunt kembali setelah terjadi penurunan jumlah leukosit ke angka normal pada pemeriksaan cairan serebrospinal.

Pembahasan

Berdasarkan referensi, dapat terjadi komplikasi setelah dilakukan prosedur ventriculoperitoneal shunt. Komplikasi-komplikasi ini termasuk infeksi, malfungsi, atau migrasi dari shunt. Infeksi merupakan komplikasi yang paling sering terjadi. Banyak laporan penelitian

(3)

shunt. Risiko terjadinya komplikasi infeksi umumnya terjadi pada bayi dan orang tua. Penelitian multicenter menemukan bahwa anak-anak usia muda memiliki risiko tinggi terjadinya komplikasi dan malfungsi. Status nutrisi juga merupakan faktor lain yang signifikan, terutama penderita yang malnutrisi memiliki komplikasi infeksi yang tinggi. Nutrisi bayi juga memiliki peranan penting dan insiden infeksi yang lebih rendah ditunjukan pada bayi yang mendapat ASI.

Bakteri penyebab infeksi shunt paling banyak disebabkan oleh bakteri kulit. Oleh sebab itu, kolonisasi pada shunt disebakan oleh inokulasi langsung saat tindakan operasi pemasangan shunt. Hal ini akan memberikan gejala awal infeksi setelah operasi. Luka pada kulit juga dapat menyebabkan kolonisasi shunt. Sedangkan infeksi bakteri gram negatif secara khusus akan menunjukan penyebaran retrograde akibat perforasi usus.

4

Penelitian yang dilakukan oleh Sarguna dan Laksmi tahun 2006 tentang infeksi pada ventriculuperitoneal shunt sebanyak 2-27% dan sebagian besar infeksi disebabkan oleh staphylococcus (36,36%), lalu E. coli dan Klebsiella.

5

4

Kinasha, Khamba dan Semali melaporkan bahwa infeksi merupakan komplikasi terbanyak kedua setelah obstruksi selang ventriculoperitoneal shunt dan infeksi ini sering ditemukan bersamaan dengan obstruksi. Jenis bakteri yang menginfeksi biasanya staphylococcus dan golongan propionibakterial. Infeksi yang lebih dini sering disebabkan oleh bakteri yang lebih virulen seperti Escherichia coli.

Kiriteria diagnosis dari infeksi shunt termasuk:

6

1. Kultur cairan serebrospinal positif yang diambil dari shunt pada pasien yang memiliki gejala dengan meningitis bakteri akut

4,6

2. Terpenuhinya salah satu parameter dari analisis cairan serebrospinal:

- Hitung sel leukosit lebih dari 0,25 × 109

- Laktat lebih dari 3,5 mmol/L

μl, dengan dominan polymorphonuclear neutrophil.

- Rasio glukosa CSF dengan serum kurang dari 0,4 g/dL

(4)

Penatalaksanaan terbaik pada infeksi VP shunt masih menjadi kontroversi. Diskusi yang timbul adalah apakah VP shunt yang lama harus dikeluarkan atau ditinggal. Hal ini disebakan oleh adanya adesi kateter ventrikel dengan pleksus khoroid sehingga pencabutan kateter memiliki risiko terjadinya perdarahan intraventrikular.

Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah saat pencabutan shunt, pasien masih bergantung dengan shunt sehingga berpotensi menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Pengaliran CSF harus dipastikan saat pencaputan shunt. Pemasangan EVD berhubungan dengan risiko terjadinya infeksi lainnya. Namun, tatalaksana yang menjadi pilihan dan terbukti paling efektif adalah pemberian antibiotik dengan pencabutan shunt yang disertai langsung dengan pemasangan EVD atau pungsi ventrikel yang diikuti dengan pemasangan VP shunt ulang setelah CSF kembali steril. Tindakan ini merupakan prosedur yang diterima secara umum dan merupakan prosedur yang paling efektif berdasarkan penelitian-penelitian dengan angka morbiditas dan mortalitas dibawah 95%.

Durasi pemberian antibiotik intravena seharusnya diputuskan berdasarkan kasus per kasus karena tidak terdapat protokol yang baku. Namun dianjurkan pemberian antibiotik selama 14 hari jika tidak terdapat infeksi lain yang berhubungan dengan pemasangan EVD. Ketika antibiotik intravena tidak berhasik mengontrol infeksi (kultur yang tetap positif), maka pemberian antibiotik intrathekal dapat menjadi pilihan alternatif.

Terdapat bukti yang terbatas untuk pemberian antibiotik langsung ke dalam ventrikel pada pasien dengan infeksi shunt yang berat. Walaupun belum ada antibiotik yang disetujui oleh Food and Drug Administration untuk pemberian secara intraventrikular, namun yang biasa digunakan adalah vancomycin, gentamycin, tobramycin, dan polymyxins bergantung pada jenis kuman penyebabnya. Dosis Vancomycin intratekal yang biasa digunakan adalah 10 mg hingga 20 ml perhari dan dilanjutkan beberapa hari lagi setelah kultur CSF negatif. Efek samping yang berpotensi terjadi setelah pemberian Vancomycin adalah ototoxicity, CSF eosinophilia, kejang, perubahan status mental, and iritasi jaringan lokal.

(5)

tobramycin adalah 5 hingga 10 mg dan 10 hingga 20 mg pada Amikasin. Polymyxin B dan Colistimethate telah digunakan pada ventrikulitis yang disebabkan oleh multi-drug resistant Acinobacter dan Pseudomonas dengan efek samping yang bersifat dose-dependent dan reversibel dan yang paling sering adalah iritasi meningeal. Dosis Polymyxin B dan Colistimethate bervariasi dari 5 hingga 20 mg/ hari namun durasi pemberian yang optimal belum diketahui.

Pemasangan shunt merupakan prosedur yang sering dilakukan oleh resident bedah saraf yang belum memiliki pengalaman yang cukup dalam teknik operasi. Faktor ini dapat menjadi risiko penting terjadinya infeksi post operasi.

Beberapa penelitian menunjukan penurunan angka infeksi postoperasi dengan menggunakan teknik operasi meticulous. Sebaiknya, prosedur dilakukan pada ruang operasi khusus bedah saraf dan merupakan operasi pertama pada hari tersebut. Anggota paramedis yang terlibat dalam tindakan ini sebaiknya memperoleh pelatihan dalam penanganan manipulasi prostesis dan meminimalkan keluar masuk ruang operasi yaitu bila sangat diperlukan saja. Jumlah anggota di dalam ruang operasi sebaiknya hanya 4 orang saja, yaitu seorang anestesi, seorang perawat, seorang ahli bedah saraf yang berpengalaman dalam menangani hidrosefalus, dan seorang asisten. Barang yang non-steril dijauhkan dari are operasi yang steril. Pemberian antibiotik profilaksis dianjurkan saat induksi anestesi hingga 24 jam pertama setelah operasi. Penelitian meta-analisis terbaru membuktikan efektivitas dari pemberian antibiotik profilaksis dalam menurunkan angka infeksi. Antibiotik yang digunakan disesuaikan dengan bakteri flora di rumah sakit setempat.

7

Persiapan pasien yang penting adalah prosedur antiseptik. Direkomendasikan agar penderita mandi dengan sabun povidone–iodine atau sejenisnya 24 jam sebelum operasi. Sesaat sebelum prosedur pembedahan, lapangan operasi harus dicuci tiga kali dengan sabun povidone– iodine menggunakan teknik non steril. Kemudian kulit dipersiapkan sekali lagi dengan larutan povidone–iodine sebanyak tiga kali dengan teknik steril. Prosedur drapping harus dilakukan secara hati-hati dan hanya memaparkan lapangan operasi saja. Disarankan lapangan operasi dilapisai dengan iodoform (3M Ioban 2 Antimicrobial Incise Drapes EZ). Langkah pembedahan yang tidak perlu sebaiknya dihindari untuk mempersingkat lamanya operasi.

5,8

(6)

Banyak penelitian yang dilakukan untuk meneliti hubungan antara kateter yang dilapisi antibiotik dengan risiko infeksi. Hasil penelitian in vitro menunjukan bahwa kateter yang dilapisi dengan antibiotik menurunkan risiko kolonisasi bakteri, tetapi penelitian pada manusia menunjukan hasil yang kontroversial. Penulis menyarankan penggunaan alat ini pada pasien dengan riwayat infeksi atau kasus dengan risiko tinggi terjadinya infeksi. Namun bagaimanapun, perlu dilakukan langkah perioperatif secara hati-hati.

Direkomendasikan penggunaan forsep saat pemasangan untuk menghindari manipulasi dari sistem Shunt. Persiapan intraoperasi dengan povidone–iodine sangat berguna dan disarankan merendam shunt dengan cairan gentamycin. Pengunaan protokol pemasangan shunt ini telah umum dilakukan dan terbukti memiliki efikasi tinggi dalam mencegah infeksi.

6

Simpulan

9

(7)

Daftar Pustaka

1. Nielsen N, Breedt A. Hydrocephalus. 2013. In: Nursing care of the pediatric neurosurgery. Cartwright CC, Wallace DC, eds. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. p:173-184.

2. Kestle JRW. 2011. Hydrocephalus in Children: Approach to the patient. In: Youmans Neurological surgery. Park TS, Ghatan, Scott RM, eds. Vol 2. Saunders Elsevier-Philadelphia. p:1982-1986.

3. Espay AJ. Hydrocephalus. 2009. Online

4. Umeh O, Berkowitz LB. 2004. Infection Caused by Members of the Genus Klebsiella. Infectious Disease Update. Medical News, 11(5):28 – 33.

5. Aly B, Kamal HM. 2009. Ventriculo-Peritoneal Shunt Infections in Infants and Children. Lybian Journal of Medicine.

6. Yampolsky C, Ajler P. 2012. Management of Shunt Infections. In: Schmidek & Sweet Operative Neurosurgical Techniques: Indications, Methods, and Results. Quinones-Hinojosa A. 6th

7. Ziai WC, Lemin III JJ. Update in the diagnosis and management of central nervous system infections. Neurol Clin, 2008;26:427-468.

eds. Vol 1. Elsevier Saunders-Philadelphia. p: 1151-1155.

8. Kulkarni AV, Drake JM, Lamberti-Pasculli. Cerebrospinal fluid shunt infection: a prospective study of risk factors. J neurosurg, 2001;94:195-201.

Gambar

Gambar. CT-scan kepala menunjukan lesi hiperdens intraventrikel dengan dilatasi seluruh

Referensi

Dokumen terkait

Faktor yang mempengaruhi kesembuhan luka yaitu: 1) Usia, semakin tua hewan maka akan menurunkan kemampuan penyembuhan jaringan; 2) Infeksi, infeksi tidak hanya

Faktor yang mempengaruhi kesembuhan luka yaitu: 1) Usia, semakin tua hewan maka akan menurunkan kemampuan penyembuhan jaringan; 2) Infeksi, infeksi tidak hanya

Terapi latihan yang digunakan oleh penulis adalah : (1) Breathing Exercise tujuannya yaitu untuk mencegah komplikasi pernafasan, (2) Latihan gerak pasif tujuannya yaitu

Luka akibat tekanan merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada pasien usia Luka akibat tekanan merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada

Sebaiknya diberikan obat untuk mengurangi batuk berdahak yang dialami oleh pasien dan dilakukan terapi hidropneumothorak dengan pemasangan WSD ( Water.. Sealed Drainage ) pada

Melakukan pemasangan selang dari selang dari rongga hidung ke lamb rongga hidung ke lambung yang dilakukan pada ung yang dilakukan pada pasien tidak sadar (coma), pasien

bakteri lokal), keadaan klinis pasien pada onset demam, risiko yang dihubungkan dengan perkembangan infeksi, komplikasi medis yang serius, terapi antibiotik sebelumnya,

Keywords: abscess drainage incision, dental infection, preseptal cellulitis PENDAHULUAN Selulitis preseptal adalah infeksi yang melibatkan bagian anterior septum orbital, sedangkan