BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pemasangan Infus 2.1.1. Definisi
Pemasangan infusatau terapi intravena adalah proses memasukkan jarum
abocath ke dalam pembuluh darah vena yang kemudian disambungkan dengan
selang infus dan di alirkan cairan infus (Rosyidi, 2013).
Terapi intravena adalah terapi medis yang dilakukan secara invasif dengan
menggunakan metode yang efektif untuk mensuplai cairan, elektrolit, nutrisi, dan
obat melalui pembuluh darah (Potter&Perry, 2005).
Terapi intravena adalah menempatkan cairan steril melalui jarum,langsung
ke vena perifer.Biasanya cairan steril mengandung elektrolit (natrium, kalsium,
kalium), nutrien misalnya, glukosa, vitamin atau obat (Brunner & Suddarth,
2002).
Dapat disimpulkan pemasangan infus atau terapi intravena adalah
memasukkan cairan, elektrolit, nutrisi dan obat dengan teknik penusukan kateter
infus ke dalam pembuluh darah vena dengan menggunakan alat infus set.
2.1.2. Tujuan Pemasangan Infus
1. Memberikan atau menggantikan cairan tubuh yang mengandung air,
elektrolit, vitamin, protein, lemak, dan kalori yang tidak dapat
dipertahankan secara adekuat melalui oral.
2. Memperbaiki keseimbangan asam-basa.
3. Memperbaiki volume komponen darah.
4. Memberikan jalan masuk untuk pemberian obat-obatan ke dalam tubuh.
5. Memonitor tekanan vena sentral (CVP).
6. Memberikan nutrisi pada saat sistem pencernaan mengalami gangguan
(Hidayat, 2008).
2.1.3. Indikasi Pemberian Terapi Intravena
Menurut Potter& Perry (2005) indikasi pada pemberian terapi
intravenayaitu:pada seseorang denganpenyakit berat, pemberian obat melalui
intravena langsung masuk ke dalam jalur peredaran darah, misalnya pada kasus
infeksi bakteri dalam peredaran darah (sepsis), sehingga memberikan keuntungan
lebih dibandingkan memberikan obat oral.
Pasien tidak dapat minum obat karena muntah, atau tidak dapat menelan
obat (ada sumbatan di saluran cerna atas). Pada keadaan seperti ini, perlu
dipertimbangkan pemberian melalui jalur lain seperti rektal (anus), sublingual (di
bawah lidah), subkutan (di bawah kulit), dan intramuskular (disuntikkan di otot).
Kesadaran menurun dan berisiko terjadi aspirasi (tersedak obat masuk ke
pernapasan), sehingga pemberian melalui jalur lain dipertimbangkan.Kadar
obat dalam darah tercapai, misalnya pada orang yang mengalami hipoglikemia
berat dan mengancam nyawa.
2.1.4. Kontraindikasi Pemberian Terapi Intravena
Kontraindikasi pada pemberian terapi intravena yaitu :
1. Inflamasi dan infeksi di lokasi pemasangan infus.
2. Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan
digunakan untuk pemasangan fistula arteri-venapada tindakan
hemodialisis.
3. Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang
aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai dan
kaki)(Potter& Perry, 2005).
2.1.5. Lokasi Pemasangan Infus
Tempat atau lokasi vena perifer yang sering digunakan pada pemasangan
infus adalah vena supervisial atau perifer kutan terletak di dalam fasia subkutan
dan merupakan akses paling mudah untuk terapi intravena.Daerah tempat infus
yang memungkinkan adalah permukaan dorsal tangan (vena supervisial dorsalis,
vena basilika, vena sefalika), lengan bagian dalam (vena basalika, vena sefalika,
vena kubital median, vena median lengan bawah, vena radialis), dan permukaan
dorsal (vena safena magna, ramusdorsalis).
Tempat insersi/pungsi vena yang umum digunakan adalah tangan dan
lengan.Namun vena-vena superfisial di kaki dapat digunakan jika klien dalam
semua klien sebaiknya menggunakan ekstremitas yang tidak dominan (Potter&
Perry, 2005).
2.1.6. Prosedur Pemasangan Infus
1. Mempersiapkan peralatan.
2. Menjelaskan prosedur pemasangan infus dan tujuan kepada pasien.
3. Mencuci tangan.
4. Menyiapkan set infus.
5. Menutup klem.
6. Membiarkan ujung selang tertutup dengan plastik sampai infus dipasang.
7. Melepaskan tutup pelindung dari botol cairan infus, masukkan penusuk ke
botol cairan infus.
8. Gantungkan botol cairan infus pada tiang infus dengan jarak 1 meter dari
atas kepala klien.
9. Mengisi sebagian bilik tetes dengan cairan infus.
10.Membuka tutup pelindung.
11.Melepaskan klem.
12.Biarkan cairan mengalir sampai gelembung dikeluarkan.
13.Mengklem selang
14.Pasang kembali tutup selang.
15.Memilih tempat pungsi vena: vena yang tampak lurus tidak
berkelok-kelok dan tidak pada persendian.
16.Pasang torniquet 15-20 cm di atas tempat pungsi.
18.Membersihkan area pungsi dengan alkohol, lakukan gerakan melingkar
dari tengah ke luar.
19.Masukkan kateter dengan tangan nondominan meregangkan kulit di area
penusukan jarum.
20.Memasukkan kateter jarum dengan kemiringan pada sudut 15 sampai 30
derajat.
21.Melepaskan torniquet.
22.Melepaskan tutup pelindung ujung distak selang.
23.Hubungkan selang infus ke kateter.
24.Memfiksasi kateter.
25.Memastikan ketepatan aliran infus sesuai dengan dosis yang di berikan.
26.Berikan label meliputi tanggal.
27.Menuliskan waktu pemasangan infus.
28.Menuliskan inisial perawat yang memasang infus.
Prosedur pemasangan infus di RSUD dr. R.M Djoelham Binjai:
Persiapan alat
a. Seperangkat infus set steril
b. Cairan yang diperlukan
c. Kain kasa steril dalam tempatnya
d. Kapas alkohol dalam tempatnya
e. Plester
f. Gunting perban
g. Nierbekken
h. Infus set lengkap dengan gantungan botol (kolf)
i. Perlak kecil dan alas
j. Tourniquet
k. Spalk dalam keadaan siap pakai, bila perlu, terutama pada anak-anak
Prosedur:
1. Petugas mencuci tangan.
2. Pasien atau keluarga diberi penjelasan.
3. Persiapan area yang akan dipasang infus.
4. Periksa kembali cairan yang akan diberikan.
5. Tusukkan selang infuske botol infus dan keluarkan udara.
6. Tentukan vena yang akan ditusuk dengan diameter 5-10 dsm.
7. Pasang pengalas.
10.Menusuk jarum abocath pada daerah yang telah ditentukan.
11.Tutup bagian yang ditusuk dengan gaas steril.
12.Hitung tetesan sesuai dengan yang ditentukan.
13.Perhatikan reaksi pasien.
14.Catat waktu pemasangan, jenis cairan, jumlah tetesan, tanggal
pemasangandan tulis pada botol
15.Pasien dan alat-alat dibereskan.
16.Petugas mencuci tangan.
17.Dokumentasikan ke buku status pasien (SOP pemasangan infus di RSUD
dr. R.M Djoelham Binjai).
2.1.7. Komplikasi Pemasangan Infus
Terapi intravena diberikan secara terus-menerus dan dalam jangka waktu yang
lamaakan meningkatkan kemungkinan terjadinya komplikasi, yaitu:
1. Flebitis
Flebitis adalah reaksi inflamasi yang terjadi pada pembuluh darah yang
ditandai dengan nyeri, kemerahan, bengkak, panas, indurasi pada daerah
tusukan dan pengerasan sepanjang pembuluh darah vena (Alaxander, et al.
2010). Insiden flebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur
intravena, pemasangan jalur IV yang tidak sesuai dan masuknya
mikroorganisme pada saat penusukan. Flebitis merupakan peradangan
pada intima tunika dari vena dangkal yang disebabkan oleh iritasi
mekanik, kimia atau sumber bakteri (mikroorganisme) yang dapat
Flebitis mekanik disebabkan oleh pergerakan benda asing yang menyebabkan
gesekan dan peradangan vena (Stokowski et al, 2009).Hal ini sering terjadi
ketika ukuran kanula terlalu besar untuk vena yang dipilih (Martinho &
Rodrigues, 2008). Penempatan katup kanula terlalu dekat dengan vena akan
meningkatkan risiko flebitis mekanis akibat iritasi pada dinding pembuluh
darah dengan ujung kanula (Macklin, 2003). Flebitis kimia disebabkan oleh
obat atau cairan yang diberikan melalui kannula.
Flebitis yang disebabkan oleh bakteri berasal dari teknik aseptik
yang kurang dari keterampilan perawat dalam memasang infus. Karena
kurangnya teknik aseptik saat pemasangan alat intavena sehingga terjadi
kontaminasi baik melalui tangan, cairan infus, set infus, dan area penusukan
(Alaxander, et al. 2010). MenurutHankins (2001) dan Ignatavicius et al
(2010) faktor-faktor terjadinya flebitis dibedakan menjadi dua, yaitu faktor
internal dan eksternal. Faktor-faktor internal yang berpengaruh adalah usia,
keadaan vena, stress, status nutrisi dan faktor penyakit. Faktor-faktor
eksternal yang berpengaruh antara lain adalah perawatan infus, pemilihan
vena, jenis cairan, lama pemasangan infus, dan tindakan pemasangan infus.
Menurut Infusion Nursing Standards of Practice(2006), skala flebitis
Adapun skala flebitis tersebut adalah :
Skala Manifestasi
0 Tidak ada tanda dan gejala
1 Kemerahan dan nyeri di sekitar vena yang dipasang infus
2 Nyeri, kemerahan, dan bengkak pada sekitar vena yang dipasang infus
3 Nyeri, kemerahan (eritema), bengkak, dan vena teraba mengeras (palpable venous cord)
4 Nyeri, kemerahan (eritema), bengkak, vena teraba mengeras (palpable venous cord), dan tampak bernanah pada area yang dipasang infus.
Infusion Nurse Society: Standard of Practice (2006) dalam Alaxander et al (2010)
2. Infiltrasi
Infiltrasi terjadi ketika cairan IV memasuki ruang subkutan di sekeliling
tempat pungsi vena.Infiltrasi ditunjukkan dengan adanya pembengkakan
(akibat peningkatan cairan di jaringan), palor (disebabkan oleh sirkulasi yang
menurun) di sekitar area insersi, ketidaknyamanan dan penurunan kecepatan
aliran secara nyata. Infiltrasi mudah dikenali jika tempat penusukan lebih
besar daripada tempat yang sama di ekstremitas yang berlawanan. Suatu cara
yang lebih dipercaya untuk memastikan infiltrasi adalah dengan memasang
torniquet di atas atau di daerah proksimal dari tempat pemasangan infus dan
mengencangkan torniquet tersebut secukupnya untuk menghentikan aliran
vena. Jika infus tetap menetes meskipun ada obstruksi vena, berarti terjadi
infiltrasi.
3. Iritasi vena
Kondisi ini ditandai dengan nyeri selama diinfus, kemerahan pada kulit di
rendah atau osmolaritas yang tinggi (misal: phenytoin, vancomycin,
eritromycin, dan nafcillin).
4. Hematoma
Hematoma terjadi sebagai akibat kebocoran darah ke jaringan di sekitar
area insersi.Hal ini disebabkan oleh pecahnya dinding vena yang berlawanan
selama penusukan vena, jarum keluar vena, dan tekanan yang tidak sesuai
yang diberikan ke tempat penusukan setelah jarum atau kateter
dilepaskan.Tanda dan gejala hematoma yaitu ekimosis, pembengkakan segera
pada tempat penusukan, dan kebocoran darah pada tempat penusukan.
5. Trombosis
Trombosis ditandai dengan nyeri, kemerahan, bengkak pada vena, dan
aliran infus berhenti.Trombosis disebabkan oleh injuri sel endotel dinding
vena, dan pelekatan platelet.
6. Occlusion
Occlusion ditandai dengan tidak adanya penambahan aliran ketika botol
dinaikkan, aliran balik darah di selang infus, dan tidak nyaman pada area
pemasangan/insersi.Occlusion disebabkan oleh gangguan aliran IV, aliran
balik darah ketika pasien berjalan, dan selang diklem terlalu lama.
7. Spasmevena
Kondisi ini ditandai dengan nyeri sepanjang vena, kulit pucat di sekitar
vena,aliran berhenti meskipun klem sudah dibuka maksimal.Spasme vena bisa
disebabkan oleh pemberian darah atau cairan yang dingin, iritasi vena oleh
8. Reaksivasovagal
Klien tiba-tiba kollaps pada vena, dingin, berkeringat, pingsan, pusing,
mual dan penurunan tekanan darah.Reaksi vasovagal bisa disebabkan oleh
nyeri atau kecemasan.
9. Kerusakan syaraf, tendon dan ligamen
Kondisi ini ditandai oleh nyeri ekstrem, kebas/mati rasa, dan kontraksi
otot.Efek lambat yang bisa muncul adalah paralisis, mati rasa dan
deformitas.Kondisi ini disebabkan oleh tekhnik pemasangan yang tidak tepat
sehingga menimbulkan injuri di sekitar syaraf, tendon dan ligamen(Hinlay,
2006).
2.1.8. Peran Perawat dalam Terapi Infus
Peran adalah seperangkattingkah laku yang diterapkan orang lain terhadap
seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh
keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil.Peran
adalah bentuk perilaku yang diharapkan dari seseorang pada situasi sosial
tertentu.Peran perawat dalam terapi infus dapat berfungsi sebagai perawat
spesialis terapi infus yang termasuk dalam bidang Nurse’s Practice Act.Selain
itu bertanggung jawab untuk melakukan tugas delegasi, harus memiliki
pengetahuan yang jelas tentang bidang praktik keperawatan yang berhubungan
dengan pengkajian, perencanaan, implementasi, dan evaluasi dalam perawatan
intravena.
Sementara tanggung jawab perawat dalam pemberian infus sendiri adalah
memastikan kebersihan dan ketajaman jarum, membersihkan set pemasangan
infus, dan mempertahankan kepatenan jarum serta mencegah terjadinya
sumbatan dalam aliran infus (Hankins et al, 2001).
2.2. Infeksi Nosokomial
2.2.1. Definisi
Nosokomial berasal dari bahasa Yunani, dari kata nosos yang artinya
penyakit,dankomeo yang artinya merawat.Nosokomion berarti tempat untuk
merawat/rumah sakit.Jadi infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai infeksi yang
diperoleh atau terjadi di rumah sakit (Darmadi, 2008).
Infeksi Nosokomial adalah suatu infeksi yang diperoleh atau dialami oleh
pasien selama dia dirawat di rumah sakit dan menunjukan gejala infeksi baru
sekurang-kurangnya muncul 72 jam pasien berada dirumah sakit serta infeksi itu
tidak ditemukan atau diderita pada saat pasien masuk ke rumah sakit
(Darmadi,2008).
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi di rumah sakit karena
mikroorganisme patogen yang menginfeksi pasien melalui pemberian pelayanan
kesehatan (Potter& Perry, 2005).
2.2.2. Batasan Infeksi Nosokomial
Suatu infeksi pada penderita baru bisa dinyatakan sebagai infeksi
nosokomial apabila memenuhi beberapa kriteria tertentu, yaitu :
1. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit, tidak didapatkan
2. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit, tidak sedang dalam
masa inkubasi dari infeksi tersebut.
3. Tanda-tanda klinik infeksi tersebut timbul sekurang-kurangnya setelah
3×24 jam sejak mulai perawatan.
4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa dari sebelumnya.
5. Bila saat mulai dirawat dirumah sakit sudah ada tanda-tanda infeksi, dan
terbukti infeksi tersebut didapat penderita ketika dirawat di rumah sakit
yang sama pada waktu yang lalu, serta belum pernah dilaporkan sebagai
infeksi nosokomial (Darmadi, 2008).
2.2.3. Faktor-faktor yang Berpengaruh dalam terjadinya Infeksi Nosokomial
Terjadinya infeksi nosokomial dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor
yang ada dalam diripenderita sendiri, maupun faktor yang berada disekitarnya.
Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Faktor-faktor yang ada dari diri penderita (faktor instrinsik) seperti, umur,
jenis kelamin, kondisi umum penderita, resiko terapi, atau adanya penyakit
lain yang menyertai penyakit dasar beserta komplikasinya.
2. Faktor ekstrinsik seperti, petugas pelayanan medis (dokter, perawat, bidan,
tenaga laboratorium),penderita lain, lingkungan, peralatan dan material
medis, pengunjung/keluarga, makanan dan minuman.
3. Faktor keperawatan seperti, lamanya hari perawatan, menurunnya standar
4. Faktor mikroba patogen seperti, tingkat kemampuan invasi serta tingkat
kemampuan merusak jaringan, lamanya pemaparan antara sumber
penularan dengan penderita(Darmadi, 2008).
2.2.4. Tahapan Infeksi Nosokomial
Mikroba patogen agar dapat menimbulkan penyakit infeksi harus bertemu
dengan pejamu yang rentan melalui dan menyelesaikan tahap-tahap sebagai
berikut:
1. Tahap pertama: mikroba patogen bergerak menuju ke penjamu/penderita
dengan mekanisme penyebaran (made of transmission) terdiri dari
penularan langsung dan tidak langsung.
Penularan langsung
Melalui droplet nuklei yang berasal dari petugas, keluarga/pengunjung,
dan penderita lainnya. Kemungkinan lain berupa darah saat transfusi
darah.
Penularan tidak langsung
a. Vehicle borne yaitu, penyebaran/penularan mikroba patogen melalui
benda-benda mati seperti peralataan medis, bahan-bahan atau material
medis, atau peralatan lainnya. Tindakan invasif seperti pemasangan
kateter, vena pungsi, tindakan pembedahan, dan tindakan medis lain
beresiko untuk terjadinya infeksi nosokomial.
b. Vector-borne yaitu penyebaran/penularan mikroba patogen dengan
perantara seperti serangga. Luka terbuka, jaringan nekrosis, luka bakar,
c. Food-borne yaitu penyebaran atau penularan mikroba patogen melalui
makanan, dan minuman yang disajikan untuk penderita. Mikroba
patogen dapat ikut menyertainya sehingga menimbulkan gejala dan
keluhan gastrointestinal.
d. Water-borne yaitu, penyebaran/penularan mikroba patogen melalui air.
e. Air-borne yaitu, penyebaran/penularan melalui mikroba patogen
melalui udara.Peluang terjadinya infeksi melalui cara ini cukup
tinggikarena ruangan atau bangsal yang tertutup secara teknis kurang
baik ventilasi dan pencahayaannya.
2. Tahap kedua: adalah upaya dari mikroba patogen untuk melakukan invasi
ke jaringan atau organpenderita dengan cara mencari akses masuk untuk
masing-masing penyakit (port d’entree) seperti adanya kerusakan atau lesi
kulit, mukosa dari rongga hidung, rongga mulut, dan orifisium uretra.
a. Mikroba patogen masuk ke jaringan atau organ melalui lesi kulit. Hal ini
dapat terjadi sewaktu melakukan insisi bedah atau jarum suntik. Mikroba
patogen yang dimaksud antara lain virus hepatitis B.
b. Mikroba patogen masuk melalui kerusakan/lesi mukosa saluran urogenital
karena tindakan invasif seperti tindakan kateterisasi,sitoskopi,
pemeriksaan dan tindakan ginekologi, pertolongan persalinan pervaginam
patologis, baik dengan bantuan instrumen medis maupun tanpa bantuan
instrumen medis.
c. Cara inhalasi, mikroba patogen masuk melalui rongga hidung menuju
bentuk aerosol. Penularan langsung dapat terjadi melalui percikan ludah
apabila terdapat individu yang mengalami infeksi saluran napas
melakukan ekhalasi paksa seperti batuk atau bersin. Penularan tidak
langsung juga dapat terjadi apabila udara dalam ruangan terkontaminasi.
d. Cara ingesti, yaitu melalui mulut masuk ke dalam saluran cerna. Terjadi
pada saat makan dan minum, dengan makanan dan minuman yang
terkontaminasi, contoh Salmonella, Shigella, dan Vibrio.
3. Tahap ketiga:mikroba patogen berkembang biak (melakukan multiplikasi)
disertai dengan tindakan dekstruktif terhadap jaringan, walaupun ada
mengakibatkan perubahan morfologis, dan gangguan fisiologis jaringan
(Septiari, 2012).
2.2.5. Dampak infeksi Nosokomial
Infeksi nosokomial dapat memberikan dampak sebagai berikut:
1. Menyebabkan cacat fungsional, stres emosional, dan dapat menyebabkan
cacat yang permanen serta kematian.
2. Dampak tertinggi pada negara berkembang dengan prevalensi HIV/AIDS
yang tinggi.
3. Meningkatkan biaya kesehatan di berbagai negara yang tidak mampu,
dengan meningkatkan lama perawatan di rumah sakit, pengobatan dengan
obat-obat mahal, dan penggunaan pelayanan lainnya.
4. Morbiditas dan mortalitas semakin tinggi.
5. Adanya tuntutan secara hukum.
2.2.6. Penyebab Infeksi Nosokomial
Pasien akan terpapar berbagai macam mikroorganisme selama dirawat di
rumah sakit. Kontak antara pasien dan berbagai macam mikroorganisme ini tidak
selalu menimbulkan gejala klinis karena banyaknya faktor lain yang dapat
menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial.
1. Agen infeksi
Pasien akan terpapar berbagai macam mikroorganisme selama dirawat di
rumah sakit. Kontak antara pasiendan berbagai macam mikroorganisme ini tidak
selalu menimbulkan gejala klinis karena banyaknya faktor lain yang dapat
menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial. Semua mikroorganisme termasuk
bakteri, virus, jamur, dan parasit dapat menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi
ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross
infection) atau disebabkan oleh flora normal daripasien itu sendiri (endogenous
infection).Kebanyakan infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih disebabkan
karena faktor eksternal, yaitu melalui makanan, udara dan benda atau
bahan-bahan yang tidak steril.Penyakit yang didapat dari rumah sakit saat ini
kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya selalu ada pada
manusia yang sebelumnya tidak atau jarang menyebabkan penyakit pada orang
normal (Ducel, 2002).
2. Bakteri
Bakteri dapat ditemukan sebagai flora normal dalam tubuh manusia yang
bakteri patogen.Tetapidalam beberapa kasus dapat menyebabkan infeksi jika
manusia tersebut mempunyai toleransi yang rendah terhadap mikroorganisme.
3. Virus
Banyak kemungkinan infeksi nosokomial disebabkan oleh berbagai
virus,termasuk virus hepatitis B dan C dengan media penularan dari transfusi,
dialisis, suntikan dan endoskopi. Virus lain yang sering menyebabkan infeksi
nosokomial adalah cytomegalovirus, ebola, influenza virus, herpes simplex
virus,dan varicella-zoster virus.
4. Parasit dan Jamur
Beberapa parasit seperti Giardia Lamblia dapat menular dengan mudah ke
orang dewasa maupun anak-anak. Banyak jamur dan parasit dapat timbul selama
pemberian obat antibiotika bakteri dan obat immunosupresan.
5. Faktor alat
Dari suatu penelitian klinis, infeksi nosokomial terutama disebabkan
infeksi dari kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran nafas, infeksi kulit,
infeksi dari luka operasi dan septikemia.Pemakaian infus dan kateter urin yang
tidak terganti-ganti. Di ruang penyakit dalam diperkirakan 20-25% pasien
memerlukan terapi infus. Komplikasi kanulasi intravena ini dapat berupa
gangguan mekanis, fisis dan kimiawi (Darmadi, 2008).
2.2.7. Pengendalian dan Pencegahan Infeksi Nosokomial
Dalam mengendalikan infeksi nosokomial dirumah sakit, ada tiga hal yang
perlu ada dalam program pengendalian infeksi nosokomial dirumah sakit, yaitu:
Surveilan suatu penyakit adalahtindakan pengamatan yang sitemikdan
dilakukan terus menerus terhadap penyakit tersebut yang terjadi pada suatu
populasi tertentu dengan tujuan untuk dapat melakukan pencegahan dan
pengendalian.Jadi tujuan dari surveilan adalah untuk menurunkan resiko
terjadinya infeksi nosokomial.Perlu ditegaskan disini bahwa keberhasilan
pengendalian infeksi nosokomial bukanlah ditentukan oleh canggihnya peralatan
yang ada, tetapi ditentukan oleh kesempurnaan perilaku petugas dalam
melaksanakan perawatan penderita secara benar. Dalam pelaksanaan surveilan ini
perawat sebagai petugas lapangandi garis paling depan mempunyai peran yang
sangat menentukan.
2. Adanya peraturan yang jelas dan tegas
Adanya peraturan yang jelas dan tegas serta dapat dilaksanakan
merupakan hal yang sangat penting.Peraturan-peraturan ini merupakan standar
yang harus dijalankan setelah dimengerti semua petugas.Dalam pelaksanaan dan
pengawasan pelaksanaan peraturan ini peran perawat sangat besar.
3. Adanya program pendidikan terus menerus untuk petugas rumah sakit
Keberhasilan program ini ditentukan oleh perilaku petugas
dalammelaksanakan perawatan yang sempurna kepada penderita. Perubahan
perilaku inilah yang memerlukan prosesbelajar dan mengajar yang terus menerus.
Program pendidikan hendaknyatidak hanya ditekankan pada aspek perawatanyang
baik saja, tetapi kiranya juga aspek epidemiologi dari infeksi nosokomial
(Septiari, 2012).
1. Kewaspadaan Universal
Kewaspadaan universal adalah suatu pedoman yang ditetapkan oleh
Centers for Disease Control (CDC) untuk mencegah penyebaran dari
berbagai penyakit yang ditularkan melalui darah di lingkungan rumah
sakit maupun sarana pelayanan kesehatan lainnya seperti, cuci tangan,
menggunakan sarung tangan, masker, kaca mata, masker muka, baju
pelindung, peralatan perawatan pasien, kain, pembersih lingkungan,
instrumen tajam, resusitasi pasien, dan penempatan pasien.
2. Tindakan invasif
a. Tindakan invasif sederhana adalah suatu tindakan memasukkan alat
kesehatan kedalam tubuh dan menyebar ke jaringan. Contoh: suntikan,
pungsi (vena, lumbal, pericardial, pleura suprapubik), bronkoskopi,
angiografi, pemasangan alat (kontrasepsi, kateter intravena, kateter
jantung, pipa endotrakeal, pipa nasogastrik, pacu jantung).
b. Tindakan invasif operasi adalah suatu tindakan yang melakukan
penyayatan pada tubuh pasien dan memungkinkan mikroorganisme masuk
kedalam tubuh dan menyebar.
3. Tindakan non invasif
Tindakan non invasif adalah suatu tindakan medis dengan menggunakan
alat kesehatan tanpa memasukkan ke dalam tubuh pasien yang
memungkinkan mikroorganisme masuk ke dalam jaringan seperti,
tindakan EKG, USG, pengkuran suhu tubuh, pengukuran tekanan darah,
4. Tindakan terhadap anak dan neonatus
Tindakan terhadap anak dan neonatus dapat berupa tindakan invasif,
invasif operasi maupun tindakan non invasif.
5. Sterilisasi
Sterilisasi adalah penghancuran atau pemusnahan seluruh
mikroorganisme, termasuk spora.Sterilisasi merupakan suatu proses
dengan metode tertentu dapat memberikan hasil akhir yaitu suatu bentuk
keadaan yang tidak dapat ditunjukkan lagi adanya mikroorganisme hidup.
6. Desinfeksi
Desinfeksi adalah istilah umum tindakan atau upaya destruktif membunuh
mikroba patogen dengan memanfaatkan bahan kimia, baik yang ada pada
jaringan hidup maupun yang ada pada benda mati (Darmadi, 2008).
2.3. Tindakan 2.3.1. Definisi
Tindakan adalah mekanisme dari suatu pengamatan yang muncul
daripersepsi sehingga ada respon untuk mewujudkan suatu tindakan
(Notoatmodjo, 2012).
Tindakan mempunyai beberapa tingkatan, yaitu:
1. Persepsi yaitu mengenal dan memilih berbagai objek yang akan dilakukan.
2. Respon terpimpin yaitu melakukan segala sesuatu sesuai dengan urutan
yang benar.
3. Mekanisme yaitu melakukan sesuatu dengan benar secara otomatisatau
4. Adopsi yaitu suatu praktik atautindakan yang sudah berkembang dan
dilakukan dengan baik (Notoatmodjo, 2012).
2.3.2. Pelaksanaan TindakanPencegahan Infeksi
Strategi pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial yaitu cara yang
pertama dengan cara meningkatkan daya tahan pejamu melalui pemberian
imunisasi aktif maupun imunisasi pasif serta melalui promosi kesehatan. Cara
kedua dengan menginaktivasi agen penyebab infeksi melalui metode fisik seperti
pemanasan (pasteurisasi atau sterilisasi).Cara yang ketiga dengan memutus mata
rantai penularan. Cara ini merupakan cara yang paling mudah tetapi hasilnya
sangat bergantung kepada ketaatan petugas dalam melaksanakan prosedur yang
telah ditetapkan.
Melalui pemikiran kritis, perawat dapat mencegah terjadinya atau
menyebarnya infeksi dengan meminimalkan jumlah dan jenis organisme yang
ditularkan kedaerah yang berpotensi mengalami infeksi.Menghancurkan reservoir
infeksi, mengontrol portal keluar dan masuk serta menghindari tindakan yang
dapat menularkan mikroorganisme, mencegah bakteri menemukan tempat untuk
bertumbuh.Penggunaan dengan tepat alat-alat steril, barrier pelindung, dan
mencuci tangan dengan tepat merupakan contoh-contoh metode yang dapat
digunakan perawat untuk mengontrol penyebaran mikroorganisme.Tindakan
pencegahan akhir adalah untuk menguatkan hospes potensial bertahan terhadap
infeksi.Dukungan nutrisi, istirahat,mekanisme perlindungan, pemeliharaan
fisiologis, dan imunisasi melindungi klien terhadap invasi patogen.Berbekal
bedah pada waktu dan situasi klinis yang tepat.Bila terjadi infeksi pada klien,
perawat melanjutkan kewaspadaan sehinggapekerja kesehatan dan klien lainnya
tidak terpapar infeksi.Klien dengan penyakit menular membutuhkan tindakan
pencegahan isolasi yang mengontrollingkungan dengan membuat halangan
terhadap penularan infeksi (Potter&Perry, 2005).
Menurut Depkes RI (2004), ada berbagai carayang dilaksanakan untuk
mencegah terjadinya infeksi atau mencegah mikroorganisme berpindah dari suatu
individu ke individu yang lain yang dapat menyebarkan infeksi, yaitu pelaksanaan
tindakan pencegahan infeksi dengan cara melakukan tindakan-tindakan esensial
sebagai berikut:
1.Cuci tangan
Cuci tangan adalah prosedur yang paling penting dari pencegahan timbulnya
infeksi.
Prosedur cuci tangan :
1. Tuang cairan handscrub pada telapak tangan kemudian usap dan gosok
kedua telapak tangan secara lembut dengan arah memutar.
2. Usap dan gosok kedua punggung tangan secara bergantian.
3. Gosok sela-sela jari tangan hingga bersih.
4. Bersihkan ujung jari secara bergantian dengan posisi saling mengunci.
5. Gosok dan putar kedua ibu jari secara bergantian.
6. Letakkan ujung jari ke telapak tangan kemudian gosok perlahan.
memutar, kemudian bilas seluruh bagian tangan dengan air bersih yang
mengalir lalu keringkan dengan handuk.
2. Pemakaian sarung tangan
Pakai sarung tangan sebelum menyentuh sesuatu yang basah baik kulit tak
utuh, selaput mukosa, darah atau cairan tubuh lainnya maupun peralatan.Sarung
tangan sekali pakai lebih dianjurkan.
3. Pemakaian masker.
4.Pengelolaan cairan antiseptik.
5.Pemrosesan alat bekas pakai, baik terbuat dari logam maupun plastik.
6.Pengelolaan sampah medik.
Menurut Sharon Weinstein dan Ada Lawrence (2007) bahwa daerah insersi
pada pemasangan infus merupakan jalan masuk kuman yang potensial kedalam
tubuh. Cara atau upaya untuk mencegah masuknya mikroorganisme pada vaskuler
sehingga tidak menimbulkan terjadinya infeksi saat terpasang infus dengan cara:
mencuci tangan, memakai sarung tangan, membasahi plester dengan alkohol dan
buka balutan dengan menggunakan pinset, ketepatan tempat penusukan intravena,
membersihkan daerah tusukan dan sekitarnya dengan NaCl, mengolesi tempat
tusukan dengan iodin, dan menutup dengan kasa steril dengan rapi.
Cuci tangan merupakan hal yang penting untuk mencegah kontaminasi dari
petugas kesehatan dalam tindakan pemasangan infus. Tangan merupakan media
penularan yang paling efisien untuk timbulnya infeksi nosokomial, sehingga jika
tindakan cuci tangan diabaikan maka akan menempatkan pasien pada resiko
Dalam pesan kewaspadaan universal petugas kesehatan yang melakukan
tindakan invasif harus memakai sarung tangan. Meskipun telah memakai sarung
tangan teknik cuci tangan yang baik harus tetap dilakukan dikarenakan adanya
kemungkinan sarung tangan robek, dan bakteri mudah berkembang baik di
lingkungan sarung tangan yang basah dan hangat (INS, 2006). Bila teknik aseptik
tidak dilaksanakan dengan baik sangat memungkinkan untuk terjadinya suatu
infeksi terutama pada tindakan invasif karena mikroorganisme akan lebih mudah
masuk (Schmid M.W, 2007).
Selama prosedur pemasangan atau penusukan harus menggunakan teknik
aseptik. Area yang akan dilakukan penusukan harus dibersihkan dahulu untuk
meminimalkan mikroorganisme yang ada, dan bila kulit kelihatan kotor harus
dibersihkan dahulu (Widigdo, 2003).
Kerusakan pada dinding vena perifer seperti flebitis sering dihubungkan
dengan pemasangan atau penempatan kateter intravena. Penempatan kateter pada
area fleksi lebih sering menimbulkan kejadian infeksi nosokomial pemasangan
infus yang menyebabkan trauma pada dinding vena. Penggunaan ukuran kateter
yang besar pada vena yang kecil juga dapat mengiritasi dinding vena (Martin,
2004). Pada penempatan kateter yang baik yang perlu diperhatikan adalah lokasi
pemasangan, yaitu vena metakarpal, sefalika, basilika, sefalika mediana, basilika
mediana, dan vena antebrakial mediana. Pemilihan lokasi perlu diperhatikan
Penggunaan balutan atau fiksasi harus dilakukan dengan aseptik, balutan harus
tetap kering, tertutup, dan utuh. Jika dressing lembab, basah, kotor, atau lepas
menimbulkan kontaminasi mikroba melalui titik akses ke sirkulasi dan menjadi
tempat perkembangbiakan kuman, hal ini tidak boleh terjadi, karena penggunaan
balutan atau fiksasi yang benar sangat direkomendasikan untuk dilaksanakan
karena didukung oleh berbagai penelitian dan telah terbukti dapat meminimalkan
resiko infeksi (CDC, 2002). Beberapa jenis balutan meliputi balutan transparan,
perban steril, kasa, dan plester dapat digunakan sepanjang sterilisasi dapat
dipertahankan (Martin, 2004).
Kecepatan pemberian larutan intravena juga dianggap salah satu penyebab
utama terjadi kerusakan pada dinding vena perifer seperti flebitis. Pada pemberian
dengan kecepatan rendah mengurangi iritasi pada dinding pembuluh darah
(Darmawan, 2008).
Lama pemasangan kateter infus sering dikaitkan dengan insidensi kejadian
flebitis. Menurut INS (2006) salah satu faktor yang berperan dalam kejadian
infeksi bakteri antara lain adalah pemasangan kateter infus yang terlalu lama.
Lama pemasangan kateter akan mengakibatkan tumbuhnya bakteri pada area
penusukan. Infeksi nosokomial pemasangan infus dapat dicegah delakukan teknik
aseptik selama pemasangan, penggunaan ukuran kateter intravena yang sesuai
dengan ukuran vena, pemilihan lokasi pemasangan dan melakukan secara aseptik
2.3.3. Kontrol Atau Eliminasi Agens Infeksius
Pembersihan, desinfeksidan sterilisasi yang tepat terhadap objek yang
terkontaminasi secara signifikanmengurangi dan memusnahkan
mikroorganisme.Namun, perawat dapat mengatasi situasi yang memerlukan
penggunaan teknik-teknik tersebut.Banyak prinsip pembersihan dan desinfeksi
juga dilakukandirumah (Potter&Perry, 2005).
Pembersihan adalah membuang semua material asing seperti kotoran dan
materi organik dari suatu objek.Biasanya, pembersihan termasuk menggunakan
air dan kerja mekanis dengan atau tanpa deterjen.Pada saat objek kontak dengan
material infeksius atau berpotensi infeksius, objek menjadi terkontaminasi.Jika
objek sekali pakai,objek tersebut dibuang.Objek yang dapat digunakan kembali
harus dibersihkan seluruhnya bahkan di desinfeksi atau disterilisasi sebelum
digunakan kembali (Potter&Perry, 2005).
Desinfeksi menggambarkan prosesyang memusnahkan banyak atau semua
mikroorganisme, dengan pengecualian spora bakteri, dari objek yang mati.
Biasanya dilakukan dengan menggunakan desinfektan kimia atau pasteurisasi
basah.Contoh desinfektan adalah alkohol, klorin, glutaraldehid, dan fenol.Zat-zat
kimia ini dapat membakar dan toksik terhadap jaringan (Potter&Perry, 2005).
Sterlisasi adalah penghancuran atau pemusnahan seluruh mikroorganisme,
termasuk spora.Penguapan dengan tekanan, gas etilen oksida, dan kimia
2.3.4. Pengendalian Penularan Infeksi
Pengendalian efektif terhadap infeksi mengharuskan perawat untuk tetap
waspada tentang jenis penularan dan cara untuk mengontrolnya. Di rumah sakit,
di rumah, maupun di fasilitas perawatan yang lebih luasklien harus memiliki set
peralatan perawatan pribadi. Menggunakan bedpan, urinal, waskom mandi dan
alat-alat makan secara bersama dapat dengan mudah menularkan infeksi(Potter &
Perry, 2005).
Sebagian besar infeksi dapat dicegah dengan strategi yang telah tersedia
dan relatif murah, yaitu:
1. Mentaati praktik pencegahan infeksi yang dianjurkan, terutama kebersihan
dan kesehatan tangan serta pemakaian sarung tangan.
2. Memperhatikan dengan seksama proses yang telah terbukti bermanfaat
untuk dekontaminasi dan pencucian peralatan dan benda lain yang kotor,
diikiuti dengan sterilisasi atau desinfeksi tingkat tinggi.
3. Meningkatkan keamanan dalam ruang operasi dan area beresiko tinggi
lainnya dimana kecelakaan perlukaan yang sangat serius dan paparan pada
agen penyebab infeksi sering terjadi