• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Tindakan Perawat pada Pemasangan Infus dalam Mencegah Infeksi Nosokomial “Flebitis” di RSUD dr. R.M Djoelham Binjai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Tindakan Perawat pada Pemasangan Infus dalam Mencegah Infeksi Nosokomial “Flebitis” di RSUD dr. R.M Djoelham Binjai"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemasangan Infus 2.1.1. Definisi

Pemasangan infusatau terapi intravena adalah proses memasukkan jarum

abocath ke dalam pembuluh darah vena yang kemudian disambungkan dengan

selang infus dan di alirkan cairan infus (Rosyidi, 2013).

Terapi intravena adalah terapi medis yang dilakukan secara invasif dengan

menggunakan metode yang efektif untuk mensuplai cairan, elektrolit, nutrisi, dan

obat melalui pembuluh darah (Potter&Perry, 2005).

Terapi intravena adalah menempatkan cairan steril melalui jarum,langsung

ke vena perifer.Biasanya cairan steril mengandung elektrolit (natrium, kalsium,

kalium), nutrien misalnya, glukosa, vitamin atau obat (Brunner & Suddarth,

2002).

Dapat disimpulkan pemasangan infus atau terapi intravena adalah

memasukkan cairan, elektrolit, nutrisi dan obat dengan teknik penusukan kateter

infus ke dalam pembuluh darah vena dengan menggunakan alat infus set.

2.1.2. Tujuan Pemasangan Infus

(2)

1. Memberikan atau menggantikan cairan tubuh yang mengandung air,

elektrolit, vitamin, protein, lemak, dan kalori yang tidak dapat

dipertahankan secara adekuat melalui oral.

2. Memperbaiki keseimbangan asam-basa.

3. Memperbaiki volume komponen darah.

4. Memberikan jalan masuk untuk pemberian obat-obatan ke dalam tubuh.

5. Memonitor tekanan vena sentral (CVP).

6. Memberikan nutrisi pada saat sistem pencernaan mengalami gangguan

(Hidayat, 2008).

2.1.3. Indikasi Pemberian Terapi Intravena

Menurut Potter& Perry (2005) indikasi pada pemberian terapi

intravenayaitu:pada seseorang denganpenyakit berat, pemberian obat melalui

intravena langsung masuk ke dalam jalur peredaran darah, misalnya pada kasus

infeksi bakteri dalam peredaran darah (sepsis), sehingga memberikan keuntungan

lebih dibandingkan memberikan obat oral.

Pasien tidak dapat minum obat karena muntah, atau tidak dapat menelan

obat (ada sumbatan di saluran cerna atas). Pada keadaan seperti ini, perlu

dipertimbangkan pemberian melalui jalur lain seperti rektal (anus), sublingual (di

bawah lidah), subkutan (di bawah kulit), dan intramuskular (disuntikkan di otot).

Kesadaran menurun dan berisiko terjadi aspirasi (tersedak obat masuk ke

pernapasan), sehingga pemberian melalui jalur lain dipertimbangkan.Kadar

(3)

obat dalam darah tercapai, misalnya pada orang yang mengalami hipoglikemia

berat dan mengancam nyawa.

2.1.4. Kontraindikasi Pemberian Terapi Intravena

Kontraindikasi pada pemberian terapi intravena yaitu :

1. Inflamasi dan infeksi di lokasi pemasangan infus.

2. Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan

digunakan untuk pemasangan fistula arteri-venapada tindakan

hemodialisis.

3. Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang

aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai dan

kaki)(Potter& Perry, 2005).

2.1.5. Lokasi Pemasangan Infus

Tempat atau lokasi vena perifer yang sering digunakan pada pemasangan

infus adalah vena supervisial atau perifer kutan terletak di dalam fasia subkutan

dan merupakan akses paling mudah untuk terapi intravena.Daerah tempat infus

yang memungkinkan adalah permukaan dorsal tangan (vena supervisial dorsalis,

vena basilika, vena sefalika), lengan bagian dalam (vena basalika, vena sefalika,

vena kubital median, vena median lengan bawah, vena radialis), dan permukaan

dorsal (vena safena magna, ramusdorsalis).

Tempat insersi/pungsi vena yang umum digunakan adalah tangan dan

lengan.Namun vena-vena superfisial di kaki dapat digunakan jika klien dalam

(4)

semua klien sebaiknya menggunakan ekstremitas yang tidak dominan (Potter&

Perry, 2005).

2.1.6. Prosedur Pemasangan Infus

1. Mempersiapkan peralatan.

2. Menjelaskan prosedur pemasangan infus dan tujuan kepada pasien.

3. Mencuci tangan.

4. Menyiapkan set infus.

5. Menutup klem.

6. Membiarkan ujung selang tertutup dengan plastik sampai infus dipasang.

7. Melepaskan tutup pelindung dari botol cairan infus, masukkan penusuk ke

botol cairan infus.

8. Gantungkan botol cairan infus pada tiang infus dengan jarak 1 meter dari

atas kepala klien.

9. Mengisi sebagian bilik tetes dengan cairan infus.

10.Membuka tutup pelindung.

11.Melepaskan klem.

12.Biarkan cairan mengalir sampai gelembung dikeluarkan.

13.Mengklem selang

14.Pasang kembali tutup selang.

15.Memilih tempat pungsi vena: vena yang tampak lurus tidak

berkelok-kelok dan tidak pada persendian.

16.Pasang torniquet 15-20 cm di atas tempat pungsi.

(5)

18.Membersihkan area pungsi dengan alkohol, lakukan gerakan melingkar

dari tengah ke luar.

19.Masukkan kateter dengan tangan nondominan meregangkan kulit di area

penusukan jarum.

20.Memasukkan kateter jarum dengan kemiringan pada sudut 15 sampai 30

derajat.

21.Melepaskan torniquet.

22.Melepaskan tutup pelindung ujung distak selang.

23.Hubungkan selang infus ke kateter.

24.Memfiksasi kateter.

25.Memastikan ketepatan aliran infus sesuai dengan dosis yang di berikan.

26.Berikan label meliputi tanggal.

27.Menuliskan waktu pemasangan infus.

28.Menuliskan inisial perawat yang memasang infus.

(6)

Prosedur pemasangan infus di RSUD dr. R.M Djoelham Binjai:

Persiapan alat

a. Seperangkat infus set steril

b. Cairan yang diperlukan

c. Kain kasa steril dalam tempatnya

d. Kapas alkohol dalam tempatnya

e. Plester

f. Gunting perban

g. Nierbekken

h. Infus set lengkap dengan gantungan botol (kolf)

i. Perlak kecil dan alas

j. Tourniquet

k. Spalk dalam keadaan siap pakai, bila perlu, terutama pada anak-anak

Prosedur:

1. Petugas mencuci tangan.

2. Pasien atau keluarga diberi penjelasan.

3. Persiapan area yang akan dipasang infus.

4. Periksa kembali cairan yang akan diberikan.

5. Tusukkan selang infuske botol infus dan keluarkan udara.

6. Tentukan vena yang akan ditusuk dengan diameter 5-10 dsm.

7. Pasang pengalas.

(7)

10.Menusuk jarum abocath pada daerah yang telah ditentukan.

11.Tutup bagian yang ditusuk dengan gaas steril.

12.Hitung tetesan sesuai dengan yang ditentukan.

13.Perhatikan reaksi pasien.

14.Catat waktu pemasangan, jenis cairan, jumlah tetesan, tanggal

pemasangandan tulis pada botol

15.Pasien dan alat-alat dibereskan.

16.Petugas mencuci tangan.

17.Dokumentasikan ke buku status pasien (SOP pemasangan infus di RSUD

dr. R.M Djoelham Binjai).

2.1.7. Komplikasi Pemasangan Infus

Terapi intravena diberikan secara terus-menerus dan dalam jangka waktu yang

lamaakan meningkatkan kemungkinan terjadinya komplikasi, yaitu:

1. Flebitis

Flebitis adalah reaksi inflamasi yang terjadi pada pembuluh darah yang

ditandai dengan nyeri, kemerahan, bengkak, panas, indurasi pada daerah

tusukan dan pengerasan sepanjang pembuluh darah vena (Alaxander, et al.

2010). Insiden flebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur

intravena, pemasangan jalur IV yang tidak sesuai dan masuknya

mikroorganisme pada saat penusukan. Flebitis merupakan peradangan

pada intima tunika dari vena dangkal yang disebabkan oleh iritasi

mekanik, kimia atau sumber bakteri (mikroorganisme) yang dapat

(8)

Flebitis mekanik disebabkan oleh pergerakan benda asing yang menyebabkan

gesekan dan peradangan vena (Stokowski et al, 2009).Hal ini sering terjadi

ketika ukuran kanula terlalu besar untuk vena yang dipilih (Martinho &

Rodrigues, 2008). Penempatan katup kanula terlalu dekat dengan vena akan

meningkatkan risiko flebitis mekanis akibat iritasi pada dinding pembuluh

darah dengan ujung kanula (Macklin, 2003). Flebitis kimia disebabkan oleh

obat atau cairan yang diberikan melalui kannula.

Flebitis yang disebabkan oleh bakteri berasal dari teknik aseptik

yang kurang dari keterampilan perawat dalam memasang infus. Karena

kurangnya teknik aseptik saat pemasangan alat intavena sehingga terjadi

kontaminasi baik melalui tangan, cairan infus, set infus, dan area penusukan

(Alaxander, et al. 2010). MenurutHankins (2001) dan Ignatavicius et al

(2010) faktor-faktor terjadinya flebitis dibedakan menjadi dua, yaitu faktor

internal dan eksternal. Faktor-faktor internal yang berpengaruh adalah usia,

keadaan vena, stress, status nutrisi dan faktor penyakit. Faktor-faktor

eksternal yang berpengaruh antara lain adalah perawatan infus, pemilihan

vena, jenis cairan, lama pemasangan infus, dan tindakan pemasangan infus.

Menurut Infusion Nursing Standards of Practice(2006), skala flebitis

(9)

Adapun skala flebitis tersebut adalah :

Skala Manifestasi

0 Tidak ada tanda dan gejala

1 Kemerahan dan nyeri di sekitar vena yang dipasang infus

2 Nyeri, kemerahan, dan bengkak pada sekitar vena yang dipasang infus

3 Nyeri, kemerahan (eritema), bengkak, dan vena teraba mengeras (palpable venous cord)

4 Nyeri, kemerahan (eritema), bengkak, vena teraba mengeras (palpable venous cord), dan tampak bernanah pada area yang dipasang infus.

Infusion Nurse Society: Standard of Practice (2006) dalam Alaxander et al (2010)

2. Infiltrasi

Infiltrasi terjadi ketika cairan IV memasuki ruang subkutan di sekeliling

tempat pungsi vena.Infiltrasi ditunjukkan dengan adanya pembengkakan

(akibat peningkatan cairan di jaringan), palor (disebabkan oleh sirkulasi yang

menurun) di sekitar area insersi, ketidaknyamanan dan penurunan kecepatan

aliran secara nyata. Infiltrasi mudah dikenali jika tempat penusukan lebih

besar daripada tempat yang sama di ekstremitas yang berlawanan. Suatu cara

yang lebih dipercaya untuk memastikan infiltrasi adalah dengan memasang

torniquet di atas atau di daerah proksimal dari tempat pemasangan infus dan

mengencangkan torniquet tersebut secukupnya untuk menghentikan aliran

vena. Jika infus tetap menetes meskipun ada obstruksi vena, berarti terjadi

infiltrasi.

3. Iritasi vena

Kondisi ini ditandai dengan nyeri selama diinfus, kemerahan pada kulit di

(10)

rendah atau osmolaritas yang tinggi (misal: phenytoin, vancomycin,

eritromycin, dan nafcillin).

4. Hematoma

Hematoma terjadi sebagai akibat kebocoran darah ke jaringan di sekitar

area insersi.Hal ini disebabkan oleh pecahnya dinding vena yang berlawanan

selama penusukan vena, jarum keluar vena, dan tekanan yang tidak sesuai

yang diberikan ke tempat penusukan setelah jarum atau kateter

dilepaskan.Tanda dan gejala hematoma yaitu ekimosis, pembengkakan segera

pada tempat penusukan, dan kebocoran darah pada tempat penusukan.

5. Trombosis

Trombosis ditandai dengan nyeri, kemerahan, bengkak pada vena, dan

aliran infus berhenti.Trombosis disebabkan oleh injuri sel endotel dinding

vena, dan pelekatan platelet.

6. Occlusion

Occlusion ditandai dengan tidak adanya penambahan aliran ketika botol

dinaikkan, aliran balik darah di selang infus, dan tidak nyaman pada area

pemasangan/insersi.Occlusion disebabkan oleh gangguan aliran IV, aliran

balik darah ketika pasien berjalan, dan selang diklem terlalu lama.

7. Spasmevena

Kondisi ini ditandai dengan nyeri sepanjang vena, kulit pucat di sekitar

vena,aliran berhenti meskipun klem sudah dibuka maksimal.Spasme vena bisa

disebabkan oleh pemberian darah atau cairan yang dingin, iritasi vena oleh

(11)

8. Reaksivasovagal

Klien tiba-tiba kollaps pada vena, dingin, berkeringat, pingsan, pusing,

mual dan penurunan tekanan darah.Reaksi vasovagal bisa disebabkan oleh

nyeri atau kecemasan.

9. Kerusakan syaraf, tendon dan ligamen

Kondisi ini ditandai oleh nyeri ekstrem, kebas/mati rasa, dan kontraksi

otot.Efek lambat yang bisa muncul adalah paralisis, mati rasa dan

deformitas.Kondisi ini disebabkan oleh tekhnik pemasangan yang tidak tepat

sehingga menimbulkan injuri di sekitar syaraf, tendon dan ligamen(Hinlay,

2006).

2.1.8. Peran Perawat dalam Terapi Infus

Peran adalah seperangkattingkah laku yang diterapkan orang lain terhadap

seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh

keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil.Peran

adalah bentuk perilaku yang diharapkan dari seseorang pada situasi sosial

tertentu.Peran perawat dalam terapi infus dapat berfungsi sebagai perawat

spesialis terapi infus yang termasuk dalam bidang Nurse’s Practice Act.Selain

itu bertanggung jawab untuk melakukan tugas delegasi, harus memiliki

pengetahuan yang jelas tentang bidang praktik keperawatan yang berhubungan

dengan pengkajian, perencanaan, implementasi, dan evaluasi dalam perawatan

intravena.

Sementara tanggung jawab perawat dalam pemberian infus sendiri adalah

(12)

memastikan kebersihan dan ketajaman jarum, membersihkan set pemasangan

infus, dan mempertahankan kepatenan jarum serta mencegah terjadinya

sumbatan dalam aliran infus (Hankins et al, 2001).

2.2. Infeksi Nosokomial

2.2.1. Definisi

Nosokomial berasal dari bahasa Yunani, dari kata nosos yang artinya

penyakit,dankomeo yang artinya merawat.Nosokomion berarti tempat untuk

merawat/rumah sakit.Jadi infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai infeksi yang

diperoleh atau terjadi di rumah sakit (Darmadi, 2008).

Infeksi Nosokomial adalah suatu infeksi yang diperoleh atau dialami oleh

pasien selama dia dirawat di rumah sakit dan menunjukan gejala infeksi baru

sekurang-kurangnya muncul 72 jam pasien berada dirumah sakit serta infeksi itu

tidak ditemukan atau diderita pada saat pasien masuk ke rumah sakit

(Darmadi,2008).

Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi di rumah sakit karena

mikroorganisme patogen yang menginfeksi pasien melalui pemberian pelayanan

kesehatan (Potter& Perry, 2005).

2.2.2. Batasan Infeksi Nosokomial

Suatu infeksi pada penderita baru bisa dinyatakan sebagai infeksi

nosokomial apabila memenuhi beberapa kriteria tertentu, yaitu :

1. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit, tidak didapatkan

(13)

2. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit, tidak sedang dalam

masa inkubasi dari infeksi tersebut.

3. Tanda-tanda klinik infeksi tersebut timbul sekurang-kurangnya setelah

3×24 jam sejak mulai perawatan.

4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa dari sebelumnya.

5. Bila saat mulai dirawat dirumah sakit sudah ada tanda-tanda infeksi, dan

terbukti infeksi tersebut didapat penderita ketika dirawat di rumah sakit

yang sama pada waktu yang lalu, serta belum pernah dilaporkan sebagai

infeksi nosokomial (Darmadi, 2008).

2.2.3. Faktor-faktor yang Berpengaruh dalam terjadinya Infeksi Nosokomial

Terjadinya infeksi nosokomial dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor

yang ada dalam diripenderita sendiri, maupun faktor yang berada disekitarnya.

Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

1. Faktor-faktor yang ada dari diri penderita (faktor instrinsik) seperti, umur,

jenis kelamin, kondisi umum penderita, resiko terapi, atau adanya penyakit

lain yang menyertai penyakit dasar beserta komplikasinya.

2. Faktor ekstrinsik seperti, petugas pelayanan medis (dokter, perawat, bidan,

tenaga laboratorium),penderita lain, lingkungan, peralatan dan material

medis, pengunjung/keluarga, makanan dan minuman.

3. Faktor keperawatan seperti, lamanya hari perawatan, menurunnya standar

(14)

4. Faktor mikroba patogen seperti, tingkat kemampuan invasi serta tingkat

kemampuan merusak jaringan, lamanya pemaparan antara sumber

penularan dengan penderita(Darmadi, 2008).

2.2.4. Tahapan Infeksi Nosokomial

Mikroba patogen agar dapat menimbulkan penyakit infeksi harus bertemu

dengan pejamu yang rentan melalui dan menyelesaikan tahap-tahap sebagai

berikut:

1. Tahap pertama: mikroba patogen bergerak menuju ke penjamu/penderita

dengan mekanisme penyebaran (made of transmission) terdiri dari

penularan langsung dan tidak langsung.

Penularan langsung

Melalui droplet nuklei yang berasal dari petugas, keluarga/pengunjung,

dan penderita lainnya. Kemungkinan lain berupa darah saat transfusi

darah.

Penularan tidak langsung

a. Vehicle borne yaitu, penyebaran/penularan mikroba patogen melalui

benda-benda mati seperti peralataan medis, bahan-bahan atau material

medis, atau peralatan lainnya. Tindakan invasif seperti pemasangan

kateter, vena pungsi, tindakan pembedahan, dan tindakan medis lain

beresiko untuk terjadinya infeksi nosokomial.

b. Vector-borne yaitu penyebaran/penularan mikroba patogen dengan

perantara seperti serangga. Luka terbuka, jaringan nekrosis, luka bakar,

(15)

c. Food-borne yaitu penyebaran atau penularan mikroba patogen melalui

makanan, dan minuman yang disajikan untuk penderita. Mikroba

patogen dapat ikut menyertainya sehingga menimbulkan gejala dan

keluhan gastrointestinal.

d. Water-borne yaitu, penyebaran/penularan mikroba patogen melalui air.

e. Air-borne yaitu, penyebaran/penularan melalui mikroba patogen

melalui udara.Peluang terjadinya infeksi melalui cara ini cukup

tinggikarena ruangan atau bangsal yang tertutup secara teknis kurang

baik ventilasi dan pencahayaannya.

2. Tahap kedua: adalah upaya dari mikroba patogen untuk melakukan invasi

ke jaringan atau organpenderita dengan cara mencari akses masuk untuk

masing-masing penyakit (port d’entree) seperti adanya kerusakan atau lesi

kulit, mukosa dari rongga hidung, rongga mulut, dan orifisium uretra.

a. Mikroba patogen masuk ke jaringan atau organ melalui lesi kulit. Hal ini

dapat terjadi sewaktu melakukan insisi bedah atau jarum suntik. Mikroba

patogen yang dimaksud antara lain virus hepatitis B.

b. Mikroba patogen masuk melalui kerusakan/lesi mukosa saluran urogenital

karena tindakan invasif seperti tindakan kateterisasi,sitoskopi,

pemeriksaan dan tindakan ginekologi, pertolongan persalinan pervaginam

patologis, baik dengan bantuan instrumen medis maupun tanpa bantuan

instrumen medis.

c. Cara inhalasi, mikroba patogen masuk melalui rongga hidung menuju

(16)

bentuk aerosol. Penularan langsung dapat terjadi melalui percikan ludah

apabila terdapat individu yang mengalami infeksi saluran napas

melakukan ekhalasi paksa seperti batuk atau bersin. Penularan tidak

langsung juga dapat terjadi apabila udara dalam ruangan terkontaminasi.

d. Cara ingesti, yaitu melalui mulut masuk ke dalam saluran cerna. Terjadi

pada saat makan dan minum, dengan makanan dan minuman yang

terkontaminasi, contoh Salmonella, Shigella, dan Vibrio.

3. Tahap ketiga:mikroba patogen berkembang biak (melakukan multiplikasi)

disertai dengan tindakan dekstruktif terhadap jaringan, walaupun ada

mengakibatkan perubahan morfologis, dan gangguan fisiologis jaringan

(Septiari, 2012).

2.2.5. Dampak infeksi Nosokomial

Infeksi nosokomial dapat memberikan dampak sebagai berikut:

1. Menyebabkan cacat fungsional, stres emosional, dan dapat menyebabkan

cacat yang permanen serta kematian.

2. Dampak tertinggi pada negara berkembang dengan prevalensi HIV/AIDS

yang tinggi.

3. Meningkatkan biaya kesehatan di berbagai negara yang tidak mampu,

dengan meningkatkan lama perawatan di rumah sakit, pengobatan dengan

obat-obat mahal, dan penggunaan pelayanan lainnya.

4. Morbiditas dan mortalitas semakin tinggi.

5. Adanya tuntutan secara hukum.

(17)

2.2.6. Penyebab Infeksi Nosokomial

Pasien akan terpapar berbagai macam mikroorganisme selama dirawat di

rumah sakit. Kontak antara pasien dan berbagai macam mikroorganisme ini tidak

selalu menimbulkan gejala klinis karena banyaknya faktor lain yang dapat

menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial.

1. Agen infeksi

Pasien akan terpapar berbagai macam mikroorganisme selama dirawat di

rumah sakit. Kontak antara pasiendan berbagai macam mikroorganisme ini tidak

selalu menimbulkan gejala klinis karena banyaknya faktor lain yang dapat

menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial. Semua mikroorganisme termasuk

bakteri, virus, jamur, dan parasit dapat menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi

ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross

infection) atau disebabkan oleh flora normal daripasien itu sendiri (endogenous

infection).Kebanyakan infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih disebabkan

karena faktor eksternal, yaitu melalui makanan, udara dan benda atau

bahan-bahan yang tidak steril.Penyakit yang didapat dari rumah sakit saat ini

kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya selalu ada pada

manusia yang sebelumnya tidak atau jarang menyebabkan penyakit pada orang

normal (Ducel, 2002).

2. Bakteri

Bakteri dapat ditemukan sebagai flora normal dalam tubuh manusia yang

(18)

bakteri patogen.Tetapidalam beberapa kasus dapat menyebabkan infeksi jika

manusia tersebut mempunyai toleransi yang rendah terhadap mikroorganisme.

3. Virus

Banyak kemungkinan infeksi nosokomial disebabkan oleh berbagai

virus,termasuk virus hepatitis B dan C dengan media penularan dari transfusi,

dialisis, suntikan dan endoskopi. Virus lain yang sering menyebabkan infeksi

nosokomial adalah cytomegalovirus, ebola, influenza virus, herpes simplex

virus,dan varicella-zoster virus.

4. Parasit dan Jamur

Beberapa parasit seperti Giardia Lamblia dapat menular dengan mudah ke

orang dewasa maupun anak-anak. Banyak jamur dan parasit dapat timbul selama

pemberian obat antibiotika bakteri dan obat immunosupresan.

5. Faktor alat

Dari suatu penelitian klinis, infeksi nosokomial terutama disebabkan

infeksi dari kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran nafas, infeksi kulit,

infeksi dari luka operasi dan septikemia.Pemakaian infus dan kateter urin yang

tidak terganti-ganti. Di ruang penyakit dalam diperkirakan 20-25% pasien

memerlukan terapi infus. Komplikasi kanulasi intravena ini dapat berupa

gangguan mekanis, fisis dan kimiawi (Darmadi, 2008).

2.2.7. Pengendalian dan Pencegahan Infeksi Nosokomial

Dalam mengendalikan infeksi nosokomial dirumah sakit, ada tiga hal yang

perlu ada dalam program pengendalian infeksi nosokomial dirumah sakit, yaitu:

(19)

Surveilan suatu penyakit adalahtindakan pengamatan yang sitemikdan

dilakukan terus menerus terhadap penyakit tersebut yang terjadi pada suatu

populasi tertentu dengan tujuan untuk dapat melakukan pencegahan dan

pengendalian.Jadi tujuan dari surveilan adalah untuk menurunkan resiko

terjadinya infeksi nosokomial.Perlu ditegaskan disini bahwa keberhasilan

pengendalian infeksi nosokomial bukanlah ditentukan oleh canggihnya peralatan

yang ada, tetapi ditentukan oleh kesempurnaan perilaku petugas dalam

melaksanakan perawatan penderita secara benar. Dalam pelaksanaan surveilan ini

perawat sebagai petugas lapangandi garis paling depan mempunyai peran yang

sangat menentukan.

2. Adanya peraturan yang jelas dan tegas

Adanya peraturan yang jelas dan tegas serta dapat dilaksanakan

merupakan hal yang sangat penting.Peraturan-peraturan ini merupakan standar

yang harus dijalankan setelah dimengerti semua petugas.Dalam pelaksanaan dan

pengawasan pelaksanaan peraturan ini peran perawat sangat besar.

3. Adanya program pendidikan terus menerus untuk petugas rumah sakit

Keberhasilan program ini ditentukan oleh perilaku petugas

dalammelaksanakan perawatan yang sempurna kepada penderita. Perubahan

perilaku inilah yang memerlukan prosesbelajar dan mengajar yang terus menerus.

Program pendidikan hendaknyatidak hanya ditekankan pada aspek perawatanyang

baik saja, tetapi kiranya juga aspek epidemiologi dari infeksi nosokomial

(Septiari, 2012).

(20)

1. Kewaspadaan Universal

Kewaspadaan universal adalah suatu pedoman yang ditetapkan oleh

Centers for Disease Control (CDC) untuk mencegah penyebaran dari

berbagai penyakit yang ditularkan melalui darah di lingkungan rumah

sakit maupun sarana pelayanan kesehatan lainnya seperti, cuci tangan,

menggunakan sarung tangan, masker, kaca mata, masker muka, baju

pelindung, peralatan perawatan pasien, kain, pembersih lingkungan,

instrumen tajam, resusitasi pasien, dan penempatan pasien.

2. Tindakan invasif

a. Tindakan invasif sederhana adalah suatu tindakan memasukkan alat

kesehatan kedalam tubuh dan menyebar ke jaringan. Contoh: suntikan,

pungsi (vena, lumbal, pericardial, pleura suprapubik), bronkoskopi,

angiografi, pemasangan alat (kontrasepsi, kateter intravena, kateter

jantung, pipa endotrakeal, pipa nasogastrik, pacu jantung).

b. Tindakan invasif operasi adalah suatu tindakan yang melakukan

penyayatan pada tubuh pasien dan memungkinkan mikroorganisme masuk

kedalam tubuh dan menyebar.

3. Tindakan non invasif

Tindakan non invasif adalah suatu tindakan medis dengan menggunakan

alat kesehatan tanpa memasukkan ke dalam tubuh pasien yang

memungkinkan mikroorganisme masuk ke dalam jaringan seperti,

tindakan EKG, USG, pengkuran suhu tubuh, pengukuran tekanan darah,

(21)

4. Tindakan terhadap anak dan neonatus

Tindakan terhadap anak dan neonatus dapat berupa tindakan invasif,

invasif operasi maupun tindakan non invasif.

5. Sterilisasi

Sterilisasi adalah penghancuran atau pemusnahan seluruh

mikroorganisme, termasuk spora.Sterilisasi merupakan suatu proses

dengan metode tertentu dapat memberikan hasil akhir yaitu suatu bentuk

keadaan yang tidak dapat ditunjukkan lagi adanya mikroorganisme hidup.

6. Desinfeksi

Desinfeksi adalah istilah umum tindakan atau upaya destruktif membunuh

mikroba patogen dengan memanfaatkan bahan kimia, baik yang ada pada

jaringan hidup maupun yang ada pada benda mati (Darmadi, 2008).

2.3. Tindakan 2.3.1. Definisi

Tindakan adalah mekanisme dari suatu pengamatan yang muncul

daripersepsi sehingga ada respon untuk mewujudkan suatu tindakan

(Notoatmodjo, 2012).

Tindakan mempunyai beberapa tingkatan, yaitu:

1. Persepsi yaitu mengenal dan memilih berbagai objek yang akan dilakukan.

2. Respon terpimpin yaitu melakukan segala sesuatu sesuai dengan urutan

yang benar.

3. Mekanisme yaitu melakukan sesuatu dengan benar secara otomatisatau

(22)

4. Adopsi yaitu suatu praktik atautindakan yang sudah berkembang dan

dilakukan dengan baik (Notoatmodjo, 2012).

2.3.2. Pelaksanaan TindakanPencegahan Infeksi

Strategi pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial yaitu cara yang

pertama dengan cara meningkatkan daya tahan pejamu melalui pemberian

imunisasi aktif maupun imunisasi pasif serta melalui promosi kesehatan. Cara

kedua dengan menginaktivasi agen penyebab infeksi melalui metode fisik seperti

pemanasan (pasteurisasi atau sterilisasi).Cara yang ketiga dengan memutus mata

rantai penularan. Cara ini merupakan cara yang paling mudah tetapi hasilnya

sangat bergantung kepada ketaatan petugas dalam melaksanakan prosedur yang

telah ditetapkan.

Melalui pemikiran kritis, perawat dapat mencegah terjadinya atau

menyebarnya infeksi dengan meminimalkan jumlah dan jenis organisme yang

ditularkan kedaerah yang berpotensi mengalami infeksi.Menghancurkan reservoir

infeksi, mengontrol portal keluar dan masuk serta menghindari tindakan yang

dapat menularkan mikroorganisme, mencegah bakteri menemukan tempat untuk

bertumbuh.Penggunaan dengan tepat alat-alat steril, barrier pelindung, dan

mencuci tangan dengan tepat merupakan contoh-contoh metode yang dapat

digunakan perawat untuk mengontrol penyebaran mikroorganisme.Tindakan

pencegahan akhir adalah untuk menguatkan hospes potensial bertahan terhadap

infeksi.Dukungan nutrisi, istirahat,mekanisme perlindungan, pemeliharaan

fisiologis, dan imunisasi melindungi klien terhadap invasi patogen.Berbekal

(23)

bedah pada waktu dan situasi klinis yang tepat.Bila terjadi infeksi pada klien,

perawat melanjutkan kewaspadaan sehinggapekerja kesehatan dan klien lainnya

tidak terpapar infeksi.Klien dengan penyakit menular membutuhkan tindakan

pencegahan isolasi yang mengontrollingkungan dengan membuat halangan

terhadap penularan infeksi (Potter&Perry, 2005).

Menurut Depkes RI (2004), ada berbagai carayang dilaksanakan untuk

mencegah terjadinya infeksi atau mencegah mikroorganisme berpindah dari suatu

individu ke individu yang lain yang dapat menyebarkan infeksi, yaitu pelaksanaan

tindakan pencegahan infeksi dengan cara melakukan tindakan-tindakan esensial

sebagai berikut:

1.Cuci tangan

Cuci tangan adalah prosedur yang paling penting dari pencegahan timbulnya

infeksi.

Prosedur cuci tangan :

1. Tuang cairan handscrub pada telapak tangan kemudian usap dan gosok

kedua telapak tangan secara lembut dengan arah memutar.

2. Usap dan gosok kedua punggung tangan secara bergantian.

3. Gosok sela-sela jari tangan hingga bersih.

4. Bersihkan ujung jari secara bergantian dengan posisi saling mengunci.

5. Gosok dan putar kedua ibu jari secara bergantian.

6. Letakkan ujung jari ke telapak tangan kemudian gosok perlahan.

(24)

memutar, kemudian bilas seluruh bagian tangan dengan air bersih yang

mengalir lalu keringkan dengan handuk.

2. Pemakaian sarung tangan

Pakai sarung tangan sebelum menyentuh sesuatu yang basah baik kulit tak

utuh, selaput mukosa, darah atau cairan tubuh lainnya maupun peralatan.Sarung

tangan sekali pakai lebih dianjurkan.

3. Pemakaian masker.

4.Pengelolaan cairan antiseptik.

5.Pemrosesan alat bekas pakai, baik terbuat dari logam maupun plastik.

6.Pengelolaan sampah medik.

Menurut Sharon Weinstein dan Ada Lawrence (2007) bahwa daerah insersi

pada pemasangan infus merupakan jalan masuk kuman yang potensial kedalam

tubuh. Cara atau upaya untuk mencegah masuknya mikroorganisme pada vaskuler

sehingga tidak menimbulkan terjadinya infeksi saat terpasang infus dengan cara:

mencuci tangan, memakai sarung tangan, membasahi plester dengan alkohol dan

buka balutan dengan menggunakan pinset, ketepatan tempat penusukan intravena,

membersihkan daerah tusukan dan sekitarnya dengan NaCl, mengolesi tempat

tusukan dengan iodin, dan menutup dengan kasa steril dengan rapi.

Cuci tangan merupakan hal yang penting untuk mencegah kontaminasi dari

petugas kesehatan dalam tindakan pemasangan infus. Tangan merupakan media

penularan yang paling efisien untuk timbulnya infeksi nosokomial, sehingga jika

tindakan cuci tangan diabaikan maka akan menempatkan pasien pada resiko

(25)

Dalam pesan kewaspadaan universal petugas kesehatan yang melakukan

tindakan invasif harus memakai sarung tangan. Meskipun telah memakai sarung

tangan teknik cuci tangan yang baik harus tetap dilakukan dikarenakan adanya

kemungkinan sarung tangan robek, dan bakteri mudah berkembang baik di

lingkungan sarung tangan yang basah dan hangat (INS, 2006). Bila teknik aseptik

tidak dilaksanakan dengan baik sangat memungkinkan untuk terjadinya suatu

infeksi terutama pada tindakan invasif karena mikroorganisme akan lebih mudah

masuk (Schmid M.W, 2007).

Selama prosedur pemasangan atau penusukan harus menggunakan teknik

aseptik. Area yang akan dilakukan penusukan harus dibersihkan dahulu untuk

meminimalkan mikroorganisme yang ada, dan bila kulit kelihatan kotor harus

dibersihkan dahulu (Widigdo, 2003).

Kerusakan pada dinding vena perifer seperti flebitis sering dihubungkan

dengan pemasangan atau penempatan kateter intravena. Penempatan kateter pada

area fleksi lebih sering menimbulkan kejadian infeksi nosokomial pemasangan

infus yang menyebabkan trauma pada dinding vena. Penggunaan ukuran kateter

yang besar pada vena yang kecil juga dapat mengiritasi dinding vena (Martin,

2004). Pada penempatan kateter yang baik yang perlu diperhatikan adalah lokasi

pemasangan, yaitu vena metakarpal, sefalika, basilika, sefalika mediana, basilika

mediana, dan vena antebrakial mediana. Pemilihan lokasi perlu diperhatikan

(26)

Penggunaan balutan atau fiksasi harus dilakukan dengan aseptik, balutan harus

tetap kering, tertutup, dan utuh. Jika dressing lembab, basah, kotor, atau lepas

menimbulkan kontaminasi mikroba melalui titik akses ke sirkulasi dan menjadi

tempat perkembangbiakan kuman, hal ini tidak boleh terjadi, karena penggunaan

balutan atau fiksasi yang benar sangat direkomendasikan untuk dilaksanakan

karena didukung oleh berbagai penelitian dan telah terbukti dapat meminimalkan

resiko infeksi (CDC, 2002). Beberapa jenis balutan meliputi balutan transparan,

perban steril, kasa, dan plester dapat digunakan sepanjang sterilisasi dapat

dipertahankan (Martin, 2004).

Kecepatan pemberian larutan intravena juga dianggap salah satu penyebab

utama terjadi kerusakan pada dinding vena perifer seperti flebitis. Pada pemberian

dengan kecepatan rendah mengurangi iritasi pada dinding pembuluh darah

(Darmawan, 2008).

Lama pemasangan kateter infus sering dikaitkan dengan insidensi kejadian

flebitis. Menurut INS (2006) salah satu faktor yang berperan dalam kejadian

infeksi bakteri antara lain adalah pemasangan kateter infus yang terlalu lama.

Lama pemasangan kateter akan mengakibatkan tumbuhnya bakteri pada area

penusukan. Infeksi nosokomial pemasangan infus dapat dicegah delakukan teknik

aseptik selama pemasangan, penggunaan ukuran kateter intravena yang sesuai

dengan ukuran vena, pemilihan lokasi pemasangan dan melakukan secara aseptik

(27)

2.3.3. Kontrol Atau Eliminasi Agens Infeksius

Pembersihan, desinfeksidan sterilisasi yang tepat terhadap objek yang

terkontaminasi secara signifikanmengurangi dan memusnahkan

mikroorganisme.Namun, perawat dapat mengatasi situasi yang memerlukan

penggunaan teknik-teknik tersebut.Banyak prinsip pembersihan dan desinfeksi

juga dilakukandirumah (Potter&Perry, 2005).

Pembersihan adalah membuang semua material asing seperti kotoran dan

materi organik dari suatu objek.Biasanya, pembersihan termasuk menggunakan

air dan kerja mekanis dengan atau tanpa deterjen.Pada saat objek kontak dengan

material infeksius atau berpotensi infeksius, objek menjadi terkontaminasi.Jika

objek sekali pakai,objek tersebut dibuang.Objek yang dapat digunakan kembali

harus dibersihkan seluruhnya bahkan di desinfeksi atau disterilisasi sebelum

digunakan kembali (Potter&Perry, 2005).

Desinfeksi menggambarkan prosesyang memusnahkan banyak atau semua

mikroorganisme, dengan pengecualian spora bakteri, dari objek yang mati.

Biasanya dilakukan dengan menggunakan desinfektan kimia atau pasteurisasi

basah.Contoh desinfektan adalah alkohol, klorin, glutaraldehid, dan fenol.Zat-zat

kimia ini dapat membakar dan toksik terhadap jaringan (Potter&Perry, 2005).

Sterlisasi adalah penghancuran atau pemusnahan seluruh mikroorganisme,

termasuk spora.Penguapan dengan tekanan, gas etilen oksida, dan kimia

(28)

2.3.4. Pengendalian Penularan Infeksi

Pengendalian efektif terhadap infeksi mengharuskan perawat untuk tetap

waspada tentang jenis penularan dan cara untuk mengontrolnya. Di rumah sakit,

di rumah, maupun di fasilitas perawatan yang lebih luasklien harus memiliki set

peralatan perawatan pribadi. Menggunakan bedpan, urinal, waskom mandi dan

alat-alat makan secara bersama dapat dengan mudah menularkan infeksi(Potter &

Perry, 2005).

Sebagian besar infeksi dapat dicegah dengan strategi yang telah tersedia

dan relatif murah, yaitu:

1. Mentaati praktik pencegahan infeksi yang dianjurkan, terutama kebersihan

dan kesehatan tangan serta pemakaian sarung tangan.

2. Memperhatikan dengan seksama proses yang telah terbukti bermanfaat

untuk dekontaminasi dan pencucian peralatan dan benda lain yang kotor,

diikiuti dengan sterilisasi atau desinfeksi tingkat tinggi.

3. Meningkatkan keamanan dalam ruang operasi dan area beresiko tinggi

lainnya dimana kecelakaan perlukaan yang sangat serius dan paparan pada

agen penyebab infeksi sering terjadi

Referensi

Dokumen terkait

and company. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2005. Penanganan Remaja Yang Beresiko Tinggi. Jakarta: Departemen Kesehatan.). Effendy, Uchjana Onong. Ilmu Komunikasi Teori

131 Yamaha, sepeda motor Yamaha merupakan produk yang berkualitas dalam kecepatan dan mempunyai daya tahan mesin yang tinggi, sepeda motor Yamaha mempunyai

Hal ini juga sama dengan nilai efficiency of conversion of feed ingested (ECI), bahwa tanpa kejut panas berbeda nyata dengan yang diberi kejut panas. Analisis indeks

Protokol Aplikasi Nirkabel (Wireless Aplication Protocol - WAP) merupakan langkah awal menuju Internet Bergerak yang memungkinkan sebuah ponsel untuk bisa digunakan mengakses

DPA - SKPD 2.2 Rekapitulasi Dokumen Pelaksanaan Anggaran Belanja Langsung Menurut Program dan Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah. DPA - SKPD 2.2.1 Rincian Dokumen

Gambaran diatas menyimpulkan bahwa dengan semakin banyaknya pengguna angkutan kereta api khususnya untuk yang ke luar kota baik kelas bisnis maupun eksekutif maka akan

DPA - SKPD 2.2 Rekapitulasi Dokumen Pelaksanaan Anggaran Belanja Langsung Menurut Program dan Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah. DPA - SKPD 2.2.1 Rincian Dokumen

Penulisan ini membahas mengenai sistem yang dibentuk dalam langkah mendukung e-commerce dalam bidang sepatu olahraga yang menggunakan Macromedia Dreamweaver MX sebagai editor,