• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA OLEH PELAJAR Di WILAYAH KOTA METRO (Studi Perkara Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA OLEH PELAJAR Di WILAYAH KOTA METRO (Studi Perkara Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro)"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA OLEH PELAJAR Di WILAYAH KOTA METRO

(Studi Perkara Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro) Reza Fahlepi

Tindak pidana penganiayaan yang dilakukan secara bersama-sama oleh pelajar masih terjadi di Negara Republik Indonesia seperti yang pernah terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Metro dalam Putusan Perkara Pengadilan Negeri Metro Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro. Para terdakwa dijatuhi vonis oleh majelis hakim selama 2 (dua) bulan pidana penjara. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah bentuk pengkualifikasian tindak pidana Pasal 351 jo Pasal 55 KUHP dengan Pasal 170 KUHP dalam perkara Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro dan apakah putusan hakim terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan yang dilakukan secara bersama-sama oleh pelajar di wilayah kota Metro sudah sesuai dengan tujuan pemidanaan.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka, yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang kemudian dianalisis secara analisis kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa bentuk pengkualifikasian tindak pidana Pasal 351 jo Pasal 55 KUHP dengan Pasal 170 KUHP yakni kulifikasi Pasal 170 KUHP objeknya manusia dan benda /barang, pelaku lebih dari satu yang dilakukan dalam waktu bersamaan/berdekatan dengan syarat ada kesepakatan dan kesepahaman untuk berbuat, dilakukannya di hadapan orang banyak atau publik terbuka. Pasal 351 KUHP hanya merumuskan kualifikasinya dan pidana yang diancamkan, pelaku satu orang ataupun lebih, dilakukan tidak dalam waktu yang bersamaan, tidak dibedakan dilakukan di ruang tertutup untuk umum ataupun publik terbuka. Putusan Hakim terhadap para pelaku tindak pidana dalam Perkara Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro berpedoman pada nemesis theory (teori pembalasan) dalam pemidanaan. Tindak pidana tersebut masuk kategori penganiayaan. Secara normatif memang terjadi jumping conclusion, tetapi secara komperhensif penjatuhan hukuman pidana penjara sudah sesuai dengan tujuan pemidanaan.

(2)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pelajar sebagai tunas harapan bangsa dan negara perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah, mengingat usianya yang relatif masih muda dan biasanya mempunyai harapan-harapan yang sangat kuat dan belum diimbangi dengan kontrol diri yang mantap, sehingga perilaku cenderung untuk menyimpang. Perilaku anak yang menyimpang tersebut tidak sesuai dengan norma-norma yang ada di masyarakat sehingga timbul pelanggaran-pelanggaran yang pada akhirnya menjurus ke arah kejahatan.

Kenakalan atau kejahatan yang dilakukan oleh remaja (juvenel delinguency) dewasa ini semakin meluas dan beragam, baik frekuensi maupun dalam keseriusan kualitas kejahatan. Hal ini terlihat dari banyaknya kasus yang terjadi antara lain perkelahian, pemerasan/penodongan, perkosaan, penyalahgunaan narkotika dan sebagainya.

(3)

Seperti yang dimukakan oleh Y. Bambang Mulyono (1986: 51), Problema kenakalan remaja bukan suatu masalah yang timbul dalam lingkup kecil, tetapi hampir terjadi baik di kota-kota besar maupun di kota-kota kecil. Sebenarnya hampir tiap negara di dunia ini mengalami atau menghadapi kenakalan remaja.

Masalah delinguency anak remaja sejauh ini seperti tersebut di atas tidak hanya terjadi di negara yang sedang berkembang, tetapi juga terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Robert Mevercic Iver dalam bukunya “The Prevention and Control Of Delinguency” menyatakan bahwa berdasarkan data statistik delikuensi anak remaja meningkat setiap tahunnya juga dinyatakan bahwa kenaikan itu cukup mencemaskan dan jika delikuensi anak remaja itu dibiarkan maka hal itu akan meningkat menjadi kejahatan remaja atau Adult Criminality (Kartini Kartono, 1992: 113).

(4)

ditimbulkan sebagai konsekuensi dari perbuatannya tersebut baik bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat maupun negara.

Menurut Zakiah Daradjat (1978: 51), remaja adalah usia transisi, seorang individu telah meninggalkan usia kanak-kanak yang lemah dan penuh kebergantungan, akan tetapi belum mampu ke usia yang kuat dan penuh tanggung jawab, baik terhadap dirinya maupun terhadap masyarakat. Banyaknya masa transisi ini bergantung kepada keadaan dan tingkat sosial masyarakat dimana ia hidup. Semakin maju masyarakat semakin panjang usia remaja, karena ia harus mempersiapkan diri untuk menyesuaikan diri dalam masyarakat yang banyak syarat dan tuntutannya.

Memahami latar belakang tersebut tidak berarti “memanjakan” atau mencari-cari dalih untuk melindungi para remaja, melainkan bertujuan menemukan usaha preventif yang terintegrasi dan terprogram. Makna eksistensi pelajar merujuk kepada pandangan humanistik terhadap anak yaitu anak merupakan makhluk kesatuan yang bermakna dan sebagai subjek yang memiliki potensi untuk berkembang, subjek yang dapat mengembangkan rasa tanggungjawab terhadap keputusan dan perbuatannya.

(5)

Ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana penganiayaan termasuk tindak pidana yang kualifikasiannya tersebut diatur dalam Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Istilah lain yang digunakan untuk menyebut jenis Tindak Pidana Penganiayaan dalam bentuk pokok, dalam Pasal 351 KUHP jenis-jenis penganiayaan itu sendiri terdiri atas : 1. Penganiayaan biasa;

2. Penganiayaan ringan; 3. Penganiayaan berencana; 4. Penganiayaan berat;

5. Penganiayaan berat berencana;

6. Penganiayaan terhadap orang-orang yang berkualitas tertentu; 7. Turut serta dalam penyerangan dan perkelahian.

Unsur perbuatan delinquat adalah pelanggaran-pelanggaran norma masyarakat. Unsur tersebut bersifat anti sosial dari berbagai tindakan untuk mengamankan masyarakat maka para pelaku kejahatan diberi hukuman yang sesuai dengan perbuatannya dan perbuatan delinguat adalah perbuatan yang merugikan dalam segala aspeknya. Disamping itu kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa pada umumnya hampir sama dengan yang dilakukan oleh anak-anak pula. Jadi perbuatan tersebut merupakan kejahatan seperti yang dirumuskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

(6)

sebenarnya yang dimaksud. Sebagaimana kelaziman yang berlaku dalam hukum pidana, dimana terhadap rumusan tindak pidana yang hanya menyebutkan kualifikasinya biasanya ditafsirkan secara historis, maka penafsiran terhadap Pasal 351 KUHP tersebut juga antara lain ditempuh berdasarkan metode penafsiran historis.

Sehubungan dengan hal tersebut, untuk memberikan gambaran awal tentang perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 351 KUHP di atas, akan dikutipkan ketentuan dalam Pasal tersebut. Pasal 351 KUHP secara tegas merumuskan: (1) Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua tahun

delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah; (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah dikenakan

pidana penjara paling lama lima tahun;

(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya orang, maka yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun;

(4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja; (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dapat dipidana.

Berdasarkan rumusan ketentuan Pasal 351 KUHP di atas terlihat, bahwa rumusan tersebut tidak memberikan kejelasan tentang perbuatan seperti apa yang dimaksudkan. Ketentuan Pasal 351 KUHP di atas hanya merumuskan kualifikasinya dan pidana yang diancamkan.

(7)

diketahui dari banyaknya remaja yang menggunakan senjata tajam bila melakukan pemerasan, perkelahian, pengrusakan dan penganiayaan.

Masalah kejahatan dilakukan oleh anak remaja oleh para ahli dikatakan masih berada pada usia rawan yaitu antara 13 sampai 18 tahun, nampaknya perlu penanganan khusus dan serius terutama dalam hal mencari sebab musababnya agar dapat dicari jalan pencegahannya guna menanggulangi kejahatan yang dilakukan oleh anak remaja.

Berbagai motif kejahatan yang dilakukan anak remaja terjadi karena hal-hal tertentu, sedangkan kualitas setiap motif berbeda-beda, suatu kejahatan yang muncul di permukaan tidak selalu berdiri sendiri, ada suatu gejala yang melatarbelakanginya, seperti berbagai kondisi psikologis maupun sosiologis yang dapat memicu timbulnya kejahatan tersebut dalam segala aspek dan kondisinya.

(8)

dengan teman-temannya sedang menginap di tempat kost ARDI HERDIANSYAH. Selanjutnya tredakwa ARDI HERDIANSYAH langsung menampar saksi korban ke arah pipi kirinya, dan sempat mengatakan kepada mereka terdakwa I. Angga Satria bin Hairul Azwar, terdakwa II. Damba Perdana Bin Irson Bahri, dan terdakwa III. Yogi Pratama Bin Dwi Prayitno dan terdakwa Chandra untuk memukuli saksi korban. Akibat kejadian tersebut saksi korban FACHRIANSYAH ROBBI MAULANA berdasarkan visum et repertum Nomor:000/97/RSU/2008 bahwa saski korban mengalami luka-luka akibat benda tumpul. Luka akibat benda tumpul tersebut secara fisik berupa: memar di bagian belakang kepala, mengeluarkan darah dari hidung dan telinga bagian sebelah kiri, juga saksi korban tidak bisa mendengar dengan jelas, kemudian mata bagian sebelah kanan memar dan saksi korban mengalami gegerotak ringan dan sempat dirawat inap di Rumah Sakit.

Ketentuan dalam ilmu pengetahuan hukum pidana atau doktrin menjelaskan penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain.penganiayaan yang biasanya terjadi tidak hanya dilakukan oleh satu orang tetapi secara bersama-sama, oleh karena itu penganiayaan yang dilakukan bersama-sama dikenakan Pasal 351 jo Pasal 55 ayat (1) Dipidana sebagai pembuat delik :

Ke-1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan

(9)

Suatu perbuatan tindak pidana yang dilakukan 1 (satu) orang atau lebih biasanya disebut dengan pengeroyokkan/massa. Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, menyebutkan bahwa :

1. Barangsiapa dengan terang-terangan dan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan.

2. Barangsiapa bersalah diancam:

a. Dengan Pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka.

b. Dengan Pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat.

c. Dengan Pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut.

Penganiayaan yang dilakukan pelajar masih sering sekali terjadi di indonesia. Penjatuhan hukuman yang diberikan oleh hakim atas kasus penganiayaan yang dilakukan oleh remaja masih dirasakan kurang memuaskan.

(10)

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Masalah

1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang timbul dalam penelitian ini adalah:

a. Apakah bentuk pengkualifikasian tindak pidana Pasal 351 jo Pasal 55 KUHP dengan Pasal 170 KUHP dalam perkara Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro? b. Apakah putusan hakim terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan yang

dilakukan secara bersama-sama oleh pelajar di wilayah kota Metro dalam perkara Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro sudah sesuai dengan tujuan pemidanaan?

2. Ruang Lingkup

(11)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui bentuk pengkualifikasian tindak pidana Pasal 351 jo Pasal 55 KUHP dengan Pasal 170 KUHP dalam perkara Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro.

b. Untuk mengetahui putusan hakim terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan yang dilakukan secara bersama-sama oleh pelajar di wilayah kota Metro dalam perkara Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro sudah sesuai dengan tujuan pemidanaan.

3. Keguanaan penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kegunaan teoritis

Kegunaan penulisan ini secara teoritis adalah memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu hukum pidana, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan beberapa permasalahan tentang analisis yuridis terhadap tindak pidana penganiayaan yang dilakukan secara bersama-sama oleh pelajar di Wilayah Kota Metro (Studi Kasus Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro).

b. Kegunaan Paktis

(12)

khususnya ilmu hukum pidana dan juga dapat bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan bagi aparatur penegak hukum pada khususnya untuk menambah wawasan dalam berfikir dan dapat dijadikan sebagai masukan dalam rangka penegakan hukum pidana anak Indonesia.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Setiap penelitian akan ada kerangka teoritis yang menjadi kerangka acuan dan bertujuan untuk mengidentifikasikan terhadap dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto, 1987: 125).

Penelitian ini akan membahas mengenai analisis terhadap tindak pidana penganiayaan yang dilakukan secara bersama-sama oleh pelajar di wilayah Kota Metro, untuk mempertajam fakta tersebut sangat penting untuk mengetahui Pasal-Pasal dalam peraturan hukum yang berlaku menyangkut fakta tersebut dan teori-teori serta interprestasi para ahli-ahli hukum.

(13)

pemaaf dan pembenar, sedangkan untuk dapat dipidananya seseorang harus terdapat kesalahan pada orang tersebut, artinya secara yuridis tidak ada alasan pemaaf seperti yang diatur dalam Pasal 44 dan 48 KUHP, maupun tidak ada alasan pembenar seperti diisyaratkan dalam Pasal 49, 50, dan 51 KUHP.

Penanggulangan kejahatan merupakan suatu upaya rasional penegakan hukum pidana melalui sarana penal (hukum pidana) yang bertujuan untuk melindungi dan mensejahterakan masyarakat. Penganiayaan yang dilakukan pelajar masih sering sekali terjadi di indonesia. Penjatuhan hukuman yang diberikan oleh hakim atas kasus penganiayaan yang dilakukan oleh remaja masih dirasakan kurang memuaskan.

Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Djisman Samosir yang dikutip oleh Barda Nawawi Arif (2010: 43) menjelaskan bahwa penjatuhan hukuman yang diberikan oleh hakim atas kasus penganiayaan yang dilakukan oleh remaja dalam sistem pemidanaan terdapat beberapa teori tujuan pemidanaan yang mencakup beberapa teori antara lain:

a. Nemesis Theory(teori pembalasan)

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang melakukan kejahatan atau tindak pidana.

b. Relative Theory(teori relatif)

Menurut teori relatif suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana.

c. Combinative Theory(teori gabungan)

(14)

penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban, dengan ketentuan beratnya pidana tidak boleh melampaui batas pembalasan yang adil.

Sehubungan dengan hal tersebut, teori tujuan dan pedoman pemidanaan sebagaimana dikemukakan oleh Djisman Samosir yang dikutip oleh Barda Nawawi Arif (2010: 51), maka dalam usaha pembaharuan hukum pidana anak di Indonesia, pemidanaan terhadap anak/remaja merupakan salah satu masalah urgen untuk diperbaharui. Beberapa perkembangan mengenai pidana dan pemidanaan dalam usaha pembaharuan hukum pidana anak di Indonesia itu di antaranya sebagai berikut:

a. Teori Tujuan Pemidanaan

Tujuan pemidanaan dalam usaha pembaharuan hukum pidana anak di Indonesia yaitu untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan berguna, dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

b. Teori Pedoman Pemidanaan

(15)

melakukan tindak pidana, sikap batin pelaku tindak pidana, riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana, sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana, pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku tindak pidana, pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan, pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban, apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana.

Ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana penganiayaan adalah ketentuan dalam Pasal 351 KUHP yang menjelaskan bahwa:

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah

(2) Bila perbuatan itu mengakibatkan luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

(3) Bila perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun penjara.

(4) Dengan sengaja merusak kesehatan orang disamakan dengan penganiayaan. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Ketentuan Pasal 170 KUHP menjelaskan bahwa:

(1) Barangsiapa secara terang-terangan dan secara bersama-sama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. (KUHP 336).

(2) Barangsiapa bersalah diancam

1. dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, bila dengan sengaja menghancurkan barang atau bila kekerasan yang digunakan itu mengakibatkan luka-luka;

2. dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, bila kekerasan itu mengakibatkan luka berat; (KUHP 90);

3. dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, bila kekerasan itu mengakibatkan kematian. (KUHP 487).

(3) Pasal 89 tidak berlaku bagi pasal ini (KUHP 336).

(16)

berbeda dengan tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa, timbul dalam wilayah ekologis kota dan lokasi sub kebudayaan metropolitan.

2. Konseptual

Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antar konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang diinginkan atau diteliti (Soerjono Soekanto, 1987: 32).

Penulisan ini akan menjelaskan pengertian-pengertian pokok yang akan

digunakan dalam penulisan dan penelitian ini sehingga mempunyai

batasan-batasan yang tepat tentang istilah-istilah dan maksudnya yang mempunyai tujuan

untuk menghindari kesalahpahaman dalam penulisan ini. adapun

pengertian-pengertian yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini adalah:

a. Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan

penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh

pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan (Tim Penyusun Kamus

Besar Bahasa Indonesia, 1997: 32).

b. Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang atau bertentangan dengan

undang-undang yang dilakukan dengan kelalaian oleh orang yang dapat

dipertanggungjawabkan (Sudarto, 1990: 26).

c. Remaja adalah usia transisi, seorang individu telah meninggalkan usia

(17)

usia dewasa yang kuat dan penuh tanggungjawab, baik terhadap diri sendiri

maupun masyarakat (Zakiah Daradjat, 1978: 93).

d. Penganiayaan adalah suatu perbuatan dengan sengaja menimbulkan rasa sakit

atau luka, kesengajaan itu harus dicantumkan dalam surat tuduhan (Soenarto

Soerodibroto, 1994: 211).

e. Kota adalah sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai oleh strata

sosial ekonomi yang heterogen serta corak matrialistis (R. Bintarto, 1984: 36).

E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual dan sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

(18)

III. METODE PENELITIAN

Merupakan Bab yang menjelaskan metode yang dipakai guna memperoleh dan mengolah data yang akurat. Adapun metode yang digunakan terdiri dari pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta analisa data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi tentang pembahasan berdasarkan hasil penelitian terhadap permasalahan dalam penelitian ini adalah bentuk pengkualifikasian tindak pidana Pasal 351 jo Pasal 55 KUHP dengan Pasal 170 KUHP dalam perkara Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro dan putusan hakim terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan yang dilakukan secara bersama-sama oleh pelajar di wilayah kota Metro dalam perkara Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro sudah sesuai dengan tujuan pemidanaan.

V. PENUTUP

(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Remaja dan Pelajar dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

1. Pengertian Remaja

Kamus Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa pelajar adalah murid atau siswa. Sedangkan murid menurut Kamus Praktis Bahasa Indonesia adalah seseorang atau anak yang sedang berguru atau belajar. Menurut Zakiah Daradjat (1978: 63), anak didik yang pada sekolah lanjutan telah berada pada umur remaja yang sedang mengalami goncangan jiwa, karena pertumbuhan cepat yang terjadi pada segi dirinya, baik pertumbuhan jasmani, kecerdasan pemikiran, pribadi dan sosialnya.

(20)

adalah seseorang yang sedang menginjak masa remaja. Pengertian remaja ini dapat ditinjau dari 2 macam segi yaitu:

1) Segi Hukum

Hal ini dimaksudkan untuk membedakan status seseorang yang sudah dewasa dengan yang belum dewasa. Dari Hukum yang ada di Indonesia:

a. Undang-undang Pengadilan Anak Nomor 3 tahun 1997 Pasal 1 ayat (1) : Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal yang telah berumur 8 tahun, tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah menikah.

b. Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 angka (2) : Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.

c. Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 angka (5) : Anak adalah setiap manusia yang berada dibawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut ada kepentingan.

d. Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002 Pasal 1 : Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

2) Segi Biologis

(21)

Perubahan yang terjadi itu, melewati segi kehidupan manusia yaitu jasmani, rohani, pikiran, perasaan dan sosial. Biasanya dimulai perubahan jasmani yang menyangkut segi seksual, ini biasanya terjadi pada umur 13 dan 14 tahun. Perubahan itu disertai dan diiringi oleh perubahan-perubahan lain, yang berjalan terus sampai usia 20 tahun.

Dari berbagai tinjauan inilah maka penulis dapat menarik penjelasan bahwa pelajar atau remaja adalah orang atau anak yang telah berusia antara 13 tahun samapai umur 21 tahun, dan biasanya umur-umur seperti ini seorang remaja sedang bersekolah, dan ini biasanya berada pada jenjang sekolah lanjutan, baik lanjutan pertama ataupun pada lanjutan atas.

2. Pengertian Pelajar

Ditinjau dari segi hukum pengertian remaja di Indonesia tidak dikenal dalam sebagian Undang-undang yang berlaku. Hukum di Indonesia hanya mengenal anak-anak dan dewasa, walaupun batasan yang diberikan untuk itu bermacam-macam antara lain :

1. Undang-undang Pengadilan Anak (UU No. 3 tahun 1997) memberikan batasan orang yang di bawah 21 tahun dan belum menikah sebagai anak-anak, dipergunakan sebagai tolak ukur sejak kapan anak bisa dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan kriminal.

(22)

berusia di bawah 18 tahun masih menjadi tanggungan orang tua bila melanggar hukum pidana.

3. Undang-undang Kesejahteraan Anak (UU No. 4 Tahun 1979), dalam hal ini menganggap bahwa orang di bawah usia 21 tahun dan belum menikah sebagai anak-anak dan karenanya berhak mendapat kemudahan-kemudahan yang diperuntukkan bagi anak-anak.

4. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) memberikan batasan usia 21 tahun atau kurang dari itu asalkan sudah menikah untuk menyatakan kedewasaan seseorang, dibawah usia itu seseorang masih membutuhkan wali untuk melakukan tindakan hukum perdata.

Menurut Ramplein yang dikutip oleh Sudarsono (1990: 13), membagi remaja antara usia 11-21 tahun yang digolongkan menjadi :

1. Pra-pubertas, umur 10,5-13 tahun (wanita), 12-14 tahun (laki-laki). 2. Pubertas, umur 13-15,5 tahun (wanita), 14-16 tahun (laki-laki). 3. Krisis remaja, 15,5 -16,5 tahun (wanita), 16-17 tahun (laki-laki). 4. Andoselen, 16,5-17 tahun (wanita), 17-21 tahun (laki-laki).

Selanjutnya pengertian remaja menurut WHO yang dikeluarkan pada tahun 1924 memberikan definisi yang lebih bersifat konseptual dan mengemukakan 3 (tiga) kriteria yaitu biologis, psikologis dan sosial ekonomi.

Untuk lengkapnya definisi remaja adalah suatu masa depan dimana :

(23)

2. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.

3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri. (Sarlito Wirawan Sarwono, 1991: 9).

Setelah mengalami perkembangan bertahun-tahun berikutnya dan sesuai dengan bidang kegiatan WHO, yaitu kesehatan maka WHO menetapkan batas usia 10-20 tahun adalah batas usia remaja, sedangkan menurut Laulla Cole yang dikutip Bambang Mulyono (1985: 15), berpandangan bahwa masa adolesence adalah sekitar umur 13 - 21 tahun yang terbagi dalam 3 (tiga) tingkatan yaitu :

1. Awal Adolesence dari umur 13 - 15 tahun. 2. Pertengahan Adolesence dari umur 16 - 18 tahun. 3. Akhir Adolesence dari umur 19 - 21 tahun.

Masa remaja dikenal dengan masa transisi, secara psikologis remaja bukan lagi tergolong anak-anak tapi juga belum masuk kategori dewasa baik fisik maupun tugas-tugas perkembangannya. Masa remaja merupakan masa penuh gejolak emosi dan ketidakseimbangan yang tercakup dalam “Strom dan Stress” dengan demikian remaja mudah terkena pengaruh oleh lingkungannya.

Menurut Singgih D. Gunarsa (1984: 82), dilihat dari segi psiologis maka ciri-ciri remaja dapat dikemukakan sebagai berikut :

1. Kegelisahan, pada umumnya mereka banyak keinginan tetapi tidak tersalurkan sehingga dikuasai oleh perasaan gelisah.

2. Pertentangan, biasanya terjadi antara remaja dengan orang tua sehingga menyebabkan remaja berusaha melepaskan diri dari pengaruh orang tua. 3. Berkeinginan besar untuk mencoba segala hal yang belum diketahuinya,

(24)

Keinginan mencoba remaja akan berakibat negatif bila diajak untuk melakukan tindakan kriminal.

4. Keinginan mencoba sering pula diarahkan pada diri sendiri maupun terhadap orang lain.

5. Keinginan menjelajah ke alam sekitarnya. 6. Mengkhayal dan berfantasi.

7. Aktifitas kelompok

Adapun pengertian pelajar yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah para remaja yang berusia antara 15-18 tahun dan sedang menempuh pendidikan di sekolah menengah umum atau yang disamakan.

B. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur Tindak Pidana

1. Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana dan oleh karena itu memahami tindak pidana adalah sangat penting. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yang yuridis, lain halnya dengan kejahatan yang bisa diartikan secara yuridis ataupun krimonologis. Istilah tindak pidana adalah terjemahan dari bahasa Belanda yaitu “Strafbaar Feit “atau “Delict”. Untuk mengetahui hal ini maka akan diuraikan pendapat dari beberapa sarjana baik pengertian perbuatan pidana, tindak pidana, ataupunstrafbaar feit:

Menurut R. Soesilo (1984: 4), tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang dilarang atau diwajibkan undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan itu diancam dengan pidana.

(25)

Menurut Soedjono (1977: 15), kejahatan adalah perbuatan manusia yang melanggar atau bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kaidah hukum, tegasnya perbuatan yang melanggar larangan yang ditetapkan kaidah hukum dan tidak memenuhi atau melawan perintah-perintah yang telah ditetapkan dalam kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat.

Wirjono Projodikoro (1981: 50), menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.

Menurut Simons yang dikutip oleh P.A.F. Lamintang (1997: 127), menjelaskan bahwa strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya yang dinyatakan sebagai dapat dihukum.

Menurut W. Mulyana Kusuma (1982: 23) peristiwa pidana ialah perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.

(26)

a. Kejahatan

Kejahatan adalah “Recht Delicten” yaitu perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana, dirasakan sebagai “Onrecht” sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum, (Moeljatno, 1973: 71).

Secara formal kejahatan dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang oleh negara diberi pidana. Pemberian pidana dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat perbuatan itu. Dengan patokan hukum pidana kejahatan serta pelakunya relatif dapat diketahui yaitu mereka atau barang siapa yang terkena rumusan kaidah hukum pidana memenuhi unsur-unsur delik, ia dianggap melakukan perbuatan yang dapat dihukum (Soedjono Dirjosisworo, 1984: 12).

Selanjutnya menurut Sue Titus Reid yang dikutip oleh Soerjono Soekanto (1986: 44), terhadap suatu perumusan tentang kejahatan maka yang perlu diperhatikan adalah antara lain:

a. Kejahatan adalah suatu tindakan sengaja (Omissi) dalam pengertian ini seseorang tidak dapat dihukum karena pikirannyamelainkan harus ada suatu tindakan atau kealpaan dalam bertindak. Kegagalan untuk dapat bertindak dapat juga merupakan kejahatan, jika terdapat suatu kewajiban hukum untuk bertindak dalam kasus tertentu, disamping itu ada niat jahat (Crimminal Intent Mens Rea).

b. Merupakan pelanggaran hukum pidana.

c. Dilakukan tanpa adanya suatu pembelaan atau pembenaran yang diakui secara hukum.

d. Diberikkan sanksi oleh negara sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran.

(27)

perundang-undangan lain serta melanggar norma sosial sehingga masyarakat menentangnya. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan definisi secara tegas tentang pengertian kejahatan namun dalam kaitannya dengan kejahatan dapat kita simpulkan bahwa semua perbuatan yang disebutkan dalam Buku ke II adalah kejahatan dan perbuatan lain secara tegas dinyatakan sebagai kejahatan dalam undang-undang tertentu diluar KUHP.

b. Pelanggaran

Pelanggaran adalah “Wets Delicten” yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat hukumnya baru dapat diketahui setelah adanya undang-undang yang menyatakan demikian (Moeljatno, 1973 : 72).

Perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran dalam KUHP ada kecenderungan untuk mengikuti pandangan kuantitatif, beberapa ketentuan KUHP yang mengandung ukuran secara kuantitatif adalah:

1. Percobaan / pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana, sedangkan kejahatan dapat dipidana.

2. Daluarsa bagi pelanggaran ditentukan lebih pendek dibanding dengan kejahatan.

3. Kewenangan menuntut pelanggaran menjadi hapus apabila telah dibayar maksimum denda dan biaya perkara sebagai sistem penebusan.

4. Dalam hal terjadi perbarengan atas pelanggaran berlaku sistem pidana kumulasi murni yang tiap-tiap pelanggaran dijatuhi pidana sendiri-sendiri. 5. Dalam hal perampasan barang karena pelanggaran hanya boleh dilakukan

apabila tidak ditentukan dengan tegas oleh undang-undang, (Bambang Poernomo, 1982 : 97).

(28)

sifat dan hakekat dari perbuatan itu dalam masyarakat, dimana kejahatan mempunyai dampak yang lebih buruk dibandingkan dengan pelanggaran.

Berdasarkan beberapa pengertian dari pendapat sarjana diatas dapat diketahui bahwa tindak pidana merupakan suatu perbuatan atau kejadian tertentu yang dilakukan oleh seseorang, beberapa orang atau badan hukum yang menimbulkan suatu akibat karena melanggar peraturan perundang-undangan yang ada. Atau dapat diartikan pula tindak pidana merupakan perbuatan yang dipandang merugikan masyarakat sehingga pelaku tindak pidana itu harus dikenakan sanksi hukum yang berupa pidana atau nestapa.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Beberapa unsur yang terkandung dalam suatu tindak pidana. Unsur-unsur ini penting untuk dibuktikan melalui suatu proses sistem peradilan pidana, merupakan hal pemeriksaan dipersidangan. Apabila unsur-unsur itu salah satu di antaranya tidak terbukti, maka perbuatan itu bukanlah suatu tindak pidana atau kejahatan dan tersangka harus dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Untuk itu perlu kita ketahui beberapa pendapat sarjana mengenai unsur-unsur tindak pidana yaitu:

Menurut Moeljatno (1973: 63), unsur-unsur atau elemen perbuatan pidana adalah: a. Kelakuan dan akibat (perbuatan)

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan. c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana. d. Unsur melawan hukum yang objektif.

e. Unsur melawan hukum yang subjektif

(29)

a. Unsur melawan hukum b. Unsur merugikan masyarakat c. Dilarang oleh aturan hukum pidana d. Pelakunya dapat diancam pidana

Menurut pendapat Tresna yang dikutip oleh Adami Chazawi (2002: 80). Tindak pidana terdiri dari unsur-unsur yakni:

a. Perbuatan/ rangkaian perbuatan (manusia)

b. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, c. Diadakan tindakan penghukuman.

Lebih lanjut Moeljatno (1973: 64) membedakan unsur tindak pidana berdasarkan perbuatan dan pelaku dapat dibagi dalam 2 bagian yaitu :

a. Unsur Subjektif berupa : - Perbuatan manusia

- Mengandung unsur kesalahan b. Unsur objektif, berupa :

- Bersifat melawan hukum - Ada aturannya

(30)

memenuhi unsur-unsur didalamnya yaitu unsur perbuatan, melawan hukum, kesalahan, dan dapat pertanggungjawabkan.

C. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Penganiayaan serta Pengaturannya

1. Tindak Pidana Penganiayaan

Secara umum tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan”, mengenai arti dan makna kata penganiayaan tersebut banyak perbedaan diantara para ahli hukum dalam memahaminya. Penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit (pijn) atas luka (letsel) pada tubuh orang lain.

Adapula yang memahami penganiayaan adalah “dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka, kesengajaan itu harus dicantumkan dalam surat tuduhan” (M. Bassar Sudrajat, 1986: 24), sedangkan dalam doktrin/ilmu pengetahuan hukum pidana penganiayaan mempunyai unsur sebagai berikut :

a. Adanya kesengajaan, b. Adanya perbuatan,

c. Adanya akibat perbuatan (yang dituju), yaitu : 1. rasa sakit pada tubuh

2. luka pada tubuh

(31)

2. Tindak Pidana Penganiayaan dengan Pengaturannya

Kejahatan tindak pidana yang dilakukan terhadap tubuh dalam segala perbuatan-perbuatannya sehinnga menjadikan luka atau rasa sakit pada tubuh bahkan sampai menimbulkan kematian bila kita lihat dari unsur kesalahannya, dan kesengajaannya diberikan kualifikasi sebagai penganiayaan (mishandeling), yang dimuat dalam BAB XX Buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 351 s/d 356.

Penganiayaaan yang dimuat dalam BAB XX Buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 351s/d 355 adalah sebagai beriku:

1) Penganiayaan biasa Pasal 351 KUHP 2) Penganiayaan ringan Pasal 352 KUHP 3) Panganiayaan berencana Pasal 353 KUHP 4) penganiayaan berat Pasal 354 KUHP 5) Penganiayaan berat Pasal 355 KUHP

Penjelasan dari beberapa macam penganiayaan beserta pengaturannya tersebut diatas adalah sebagai berikut:

a. Penganiayaan biasa Pasal 351 KUHP

Pasal 351 KUHP telah menerangkan penganiayaan ringan sebagai berikut :

1. Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

2. Jika perbuatan itu menyebabkan luka-luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

3. Jika mengakibatkan mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

(32)

5. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak di pidana.

Arti sebuah penganiayaan yang merupakan suatu tindakan yang melawan hukum, memang semuanya perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh subyek hukum akan berakibat kepada dirinya sendiri. Mengenai penganiayaan biasa ini merupakan suatu tindakan hukum yang bersumber dari sebuah kesengajaan. Kesengajaan ini berari bahwa akibat suatu perbuatan dikehendaki dan ini ternyata apabila akibat itu sungguh-sungguh dimaksud oleh perbuatan yang dilakukan itu. yang menyebabkan rasa sakit, luka, sehingga menimbulkan kematian. Tidak semua perbuatan memukul atau lainnya yang menimbulkan rasa sakit dikatakan sebuah penganiayaan.

Oleh karena mendapatkan perizinan dari pemerintah dalam melaksanakan tugas dan fungsi jabatannya. Seperti contoh: seorang guru yang memukul anak didiknya, atau seorang dokter yang telah melukai pasiennya dan menyebabkan luka, tindakan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai penganiayaan, karena ia bermaksud untuk mendidik dan menyembuhkan penyakit yang diderita oleh pasiennya. Adapula timbulnya rasa sakit yang terjadi pada sebuah pertandingan diatas ring seperti tinju, pencak silat, dan lain sebagainya. Tetapi perlu digaris bawahi apabila semua perbuatan tersebut diatas telah malampui batas yang telah ditentukan karena semuanya itu meskipun telah mendapatkan izin dari pemerintah ada peraturan yang membatasinya diatas perbuatan itu, mengenai orang tua yang memukili anaknya dilihat dari ketidak wajaran terhadap cara mendidiknya.

(33)

karena telah melampaui batas-batas aturan tertentu maka berbuatan tersebut dimanakan sebuah penganiayaan yang dinamakan dengan “penganiayaan biasa”. Yang bersalah pada perbuatan ini diancam dengan hukuman lebih berat, apabila perbuatan ini mengakibatkan luka berat atau matinya sikorban. Mengenai tentang luka berat lihat Pasal 90 KUHP. Luka berat atau mati yang dimaksud disini hanya sebagai akibat dari perbuatan penganiayaan itu.

Mengenai tindakan hukum ini yang akan diberikan kepada yang bersalah untuk menentukan Pasal 351 KUHP telah mempunyai rumusan dalam penganiayaan biasa dapat di bedakan menjadi:

1. Penganiayaan biasa yang tidak menimbulkan luka berat maupun kematian 2. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat

3. Penganiayaan yang mengakibatkan kematian

4. Penganiayaan yang berupa sengaja merusak kesehatan.

b. Penganiayaan ringan Pasal 352 KUHP

Dikategorikan penganiayaan ringan Karena penganiayaan ini tidak menyebabkan luka atau penyakit dan tidak menyebabkan si korban tidak bisa menjalankan aktivitas sehari-harinya. Rumusan dalam penganiayaan ringan telah diatur dalam Pasal 352 KUHP sebagai berikut:

(34)

Melihat Pasal 352 Ayat (2) bahwa “percobaan melakukan kejahatan itu (penganiyaan ringan) tidak dapat di pidana” meskipun dalam pengertiannya menurut para ahli hukum, percobaan adalah menuju kesuatu hal, tetapi tidak sampai pada sesuatu hal yang di tuju, atau hendak berbuat sesuatu dan sudah dimulai akan tetapi tidak sampai selesai. Disini yang dimaksud adalah percobaan untuk melakukan kejahatan yang bisa membahayakan orang lain dan yang telah diatur dalam Pasal 53 ayat (1). Sedangkan percobaan yang ada dalam penganiyaan ini tidak akan membahayakan orang lain.

c. Penganiyaan berencarna Pasal 353 KUHP

Ketentuan Pasal 353 mengenai penganiyaan berencana merumuskan sebagai berikut :

1. Penganiayaan dengan berencana lebih dulu, di pidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

2. Jika perbutan itu menimbulkan luka-luka berat, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara palang lama tujuh tahun

3. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Arti di rencanakan lebih dahulu adalah: “bahwa ada suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya untuk mempertimbangkan, untuk berfikir dengan tenang”.

(35)

terdapatnya unsur direncanakan lebih dulu (meet voor bedachte rade) sebelum perbuatan dilakukan, direncanakan lebih dulu (disingkat berencana), adalah berbentuk khusus dari kesengajaan (opzettielijk) dan merupakan alasan pemberat pidana pada penganiayaan yang bersifat subjektif, dan juga terdapat pada pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP).

Perkataan berpikir dengan tenang, sebelum melakukan penganiayaan, si pelaku tidak langsung melakukan kejahatan itu tetapi ia masih berfikir dengan batin yang tenang apakah resiko/akibat yang akan terjadi yang disadarinya baik bagi dirinya maupun orang lain, sehingga si pelaku sudah berniat untuk melakukan kejahatan tersebut sesuai dengan kehendaknya yang telah menjadi keputusan untuk melakukannya. Maksud dari niat dan rencana tersebut tidak di kuasai oleh perasaan emosi yang tinggi, was-was/takut, tergesa-gesa atau terpaksa dan lain sebagainya.

(36)

d. Penganiayaan berat Pasal 354 KUHP

Penganiayaan berat dirumuskan dalam Pasal 354 yang rumusannya adalah sebgai berikut:

1. Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, dipidana kerena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

2. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

Perbuatan berat (zwar lichamelijk letsel toebrengt) atau dapat disebut juga menjadikan berat pada tubuh orang lain. Haruslah dilakukan dengan sengaja. Kesengajaan itu harus mengenai ketiga unsur dari tindak pidana yaitu pebuatan yang dilarang, akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larang itu dan bahwa perbuatan itu melanggar hukum. Ketiga unsur diatas harus disebutkan dalam Undang-undang sebagai unsur dari perbuatan pidana, seorang jaksa harus teliti dalam merumuskan apakah yang telah dilakukan oleh seorang terdakwa dan ia harus menyebutkan pula tuduhan pidana semua unsur yang disebutkan dalam Undang-undang sebagai unsur dari perbuatan pidana.

(37)

Luka berat berarti : Jatuh sakit atau luka yang tak dapat diharapkan akan sembuh lagi dengan sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut seperti;

a. Senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pekerjaan pencaharian

b. Didak dapat lagi memakai salah satu panca indra c. Mendapat cacat besar

d. Lumpuh (kelumpuhan)

e. Akal (tenaga faham) tidak sempurna lebih lama dari empat minggu f. Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.

Ketentuan Pasal 90 KUHP di atas telah dijelaskan tentang golongan yang bisa dikatakan sebagi luka berat, sedangkan akibat kematian pada penganiayaan berat bukanlah merupakan unsur penganiayaan berat, melainkan merupakan faktor atau alasan memperberat pidana dalam penganiayaan berat.

e. Penganiayaan berat berencana Pasal 355 KUHP

Penganiyaan berat berencana, dimuat dalam Pasal 355 KUHP yang rumusannya adalah sebagai berikut :

1. Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun

2. Jika perbuatan itu menimbulkan kematian yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(38)

terjadi secara bersama, maka harus terpenuhi baik unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan berencana.

D. Ketentuan dan Unsur-Unsur Tindak Pidana dalam Pasal 170 KUHP

Ketentuan Pasal 170 KUHP menjelaskan bahwa:

(1) Barangsiapa secara terang-terangan dan secara bersama-sama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. (KUHP 336).

(2) Barangsiapa bersalah diancam

1. dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, bila dengan sengaja menghancurkan barang atau bila kekerasan yang digunakan itu mengakibatkan luka-luka;

2. dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, bila kekerasan itu mengakibatkan luka berat; (KUHP 90);

3. dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, bila kekerasan itu mengakibatkan kematian. (KUHP 487).

(3) Pasal 89 tidak berlaku bagi pasal ini (KUHP 336).

Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 170 KUHP ini sebagai berikut:

1. Unsur “barangsiapa”. Hal ini menunjukkan kepadaorang sebagai pelaku. 2. Unsur “di muka umum”. Perbuatan itu dilakukan di tempat dimana publik

dapat melihatnya.

3. Unsur “bersama-sama”, artinya dilakukan oleh sedikit-dikitnya dua orang atau lebih.

4. Unsur “kekerasan”, yang berarti mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil dan tidak sah. Kekerasan dalam pasal ini biasanya terdiri dari “merusak barang” atau “penganiayaan”.

(39)

E. Jenis-Jenis Sanksi Pidana dan Tindakan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (selanjutnya disingkat UU Pengadilan Anak) antara lain telah menetapkan apa yang dimaksud anak. Undang-Undang ini berlaku lexspecialis terhadap KUHP, khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak, dengan adanya UU Pengadilan Anak, menjadi acuan pula dalam perumusan Konsep KUHP Tahun 2011 berhubungan dengan pidana dan tindak pidana bagi anak. Dengan demikian, tidak akan ada tumpang tindih atau saling bertentangan.

UU Pengadilan Anak menyatakan bahwa anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin (Pasal 1 angka 1 UU Pengadilan Anak), yang dimaksud anak nakal adalah :

a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

(40)

berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada Negara untuk dididik dan ditempatkan di LP anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

Berdasarkan ketentuan UU Pengadilan Anak terhadap Anak Nakal dapat dijatuhkan pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan atau tindakan. Ketentuan dalam Pasal 23 Ayat (2) dan Ayat (3) UU Pengadilan Anak mengatur tentang pidana pokok dan pidana tambahan bagi anak nakal.

1. Pidana Pokok

Pidana pokok yang dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah : a. Pidana penjara,

b. Pidana kurungan, c. Pidana denda, atau d. Pidana pengawasan.

2. Pidana Tambahan

Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa :

a. Perampasan barang-barang tertentu, dan atau b. Pembayaran ganti kerugian.

Berdasarkan ketentuan Pasal 24 Ayat (1) UU Pengadilan Anak tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:

a. Mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh,

(41)

c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.

Selain tindakan tersebut, Hakim dapat memberikan teguran dan menetapkan syarat tambahan. Teguran adalah peringatan dari hakim baik secara langsung terhadap anak yang dijatuhi tindakan maupun secara tidak langsung melalui orang tua, wali atau orang tua asuhnya agar anak tersebut tidak mengulangi perbuatannya. Syarat tambahan itu misalnya kewajiban untuk melapor secara periodik kepada pembimbing kemasyarakatan didasarkan pada penjelasan Pasal 24 Ayat (2) UU Pengadilan Anak.

Penjatuhan tindakan yang dilakukan oleh hakim dilakukan kepada anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak menurut peraturan perundang-undangan. Namun, terhadap anak yang melakukan tindak pidana, hakim menjatuhkan pidana pokok dan atau pidana tambahan atau tindakan. Pada segi usia, pengenaan tindakan terutama bagi anak yang masih berusia 8 (delapan) tahun sampai 12 (dua belas) tahun. Terhadap anak yang telah melampaui umur diatas 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun dijatuhkan pidana. Hal ini dilakukan mengingat pertumbuhan dan perkembanagn fisik, mental dan sosial anak.

(42)

a. Pengembalian kepada orang tua, wali atau pengasuhnya, b. Pengembalian kepada pemerintah atau seseorang,

c. Keharusan mengikuti suatu latihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta,

d. Pencabutan surat izin mengemudi, e. Rehabilitasi

F. Teori-Teori Tentang Pidana dan Pemidanaan

Teori hukum pidana menjelaskan bahwa seseorang yang berbuat dengan sengaja itu, harus dikehendaki apa yang diperbuat dan harus diketahui pula atas apa yang diperbuat. Tidak termasuk perbuatan dengan sengaja adalah suatu gerakan yang ditimbulkan oleh reflek, gerakan tangkisan yang tidak dikendalikan oleh kesadaran.

Kesengajaan itu secara alternatif, dapat ditujukan kepada tiga elemen perbuatan pidana sehingga terwujud kesengajaan terhadap perbuatan, kesengajaan terhadap akibat dan kesengajaan terhadap hal ikhwal yang menyertai perbuatan pidana. Adapun teori-teori yang berkaitan dengan hal tersebut antara lain:

1. Teori Kehendak (willstheorie)

(43)

2. Teori Pengetahuan/dapat membayangkan/persangkaan (voorstellingstheorie)

Teori Pengetahuan/dapat membayangkan/persangkaan yang diajarkan oleh Frank dengan karanganya tentang “Vorstelung un Wille in der Moderner Doluslehre”

menerangkan bahwa tidaklah mungkin sesuatu akibat atau hal ikhwal yang menyertai itu tidak dapat dikatakan oleh pembuatnya tentu dapat dikehendakinya pula, karena manusia hanya dapat membayangkan/menyangka terhadap akibat atau hal ikhwal yang menyertai.

Menurt teori kehendak (willstheorie) adalah hal baik terhadap perbuatnnya maupun terhadap akibat atau hal ikhwal yang menyertai, dapat dikehendaki oleh si pembuat, sehingga kesengajaan si pembuat dapat ditujukan kepada perbuatan, akibat dan hal ikhwal yang menyertai. Sebaliknya menurut teori pengetahuan/membayangkan/persangkaan (voorstellingstheorie) bahwa aakibat atau hal ikhwal yang menyertai itu tidak dapat dikehendaki oleh si pembuat, sehingga kesengajaan si pembuat hanya dapat ditujukan kepada perbuatan saja.

Sehubungan dengan hal tersbut, menurut Adami Chazawi (2002: 55) memberikan pendapat mengenai teori kehendak (willstheorie) sebagai berikut:

(44)

memuaskan karena dalam kehendak dengan sendirinya diliputi pengetahuan (gambaran) dimana seseorang untuk menghendaki sesuatu lebih dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan (gambaran) tentang sesuatu itu, lagi pula kehendak merupakan arah, maksud atau tujuan, hal mana berhubungan dengan motif (alsan pendorong untuk berbuat) dan tujuannya perbuatan.

Teori tentang hukuman atau pemidaaan menjelaskan bahwa hukuman sebaiknya didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masarakat, yang diterapkan dengan menggabungkan salah satu unsur tanpa memberatkan unsur lain sehingga tujuan hukum untuk mewujudkan kepastian hukum dan keadilan hukum dapat tercapai (R. Soesilo, 1984: 37).

Sehubungan dengan hal tersebut, pada dasarnya masalah pemidanaan berhubungan erat dengan kehidupan seseorang dimasyarakat, terutama bila menyangkut kepentingan benda hukum yang paling berharga bagi kehidupan bermasyarakat yaitu nyawa dan kemerdekaan atau kebebasan. Periodisasi sekarang ini telah umum diterima pendapat bahwa yang menjatuhkan pidana adalah negara atau pemerintah dengan perantaraan alat-alat hukum pemerintah. Pemerintah dalam menjalankan hukum pidana selalu dihadapkan dengan suatu paradoxaliteit yang oleh Hazewinkel-Suringa (R. Soesilo, 1984: 53) dilukiskan sebagai berikut:

(45)

Tujuan pemidanaan dalam ilmu hukum pidana menurut R. Soesilo (1984: 42), adalah sebagai berikut :

1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat

2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna.

3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. keseluruhan teori pemidanaan baik yang bersifat prevensi umum dan prevensi khusus, pandangan perlindungan masyarakat, teori kemanfaatan, teori keseimbangan yang bersumber pada pandangan adat bangsa Indonesia maupun teori resosialisasi sudah tercakup didalamnya.

Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Simons yang dikutip oleh P.A.F. Lamintang (1997: 34) menjelaskan bahwa dalam perangkat tujuan pemidanaan tersebut harus tercakup dua hal, yaitu pertama harus sedikit banyak menampung aspirasi masyarakat yang menuntut pembalasan sebagai pengimbangan atas dasar tingkat kesalahan si pelaku dan yang kedua harus tercakup tujuan pemidanaan berupa memelihara solidaritas masyarakat, pemidanaan harus diarahkan untuk memelihara dan mempertahankan kesatuan masyarakat. Di dalam pemidanaan terdapat beberapa teori antara lain teori teori absolut, teori pembalasan, teori relatif, dan teori gabungan.

a. Teori Absolut atau Teori pembalasan

(46)

dasar pembenaran dari pidana terletak dari adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri, terlepas dari manfaat yang harus dicapai.

Menurut Imanuel Kant memandang pidana sebagai ”Kategorische imperatif” yakni seseorang harus dipidana oleh hakim karena telah melakukan kejahatan, sehingga pidana menunjukkan suatu tuntutan. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat pada pendapat Imanuel Kant yang dikutip oleh Wirjono Projodikoro (1981: 11) dalam bukunya sebagai berikut:

...pidana tidak pernah dilaksnakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan.

Mengenai teori pembalasan tersebut, menurut Djisman Samosir yang dikutip oleh Wirjono Projodikoro (1981: 21) memberikan pendapat sebagai berikut:

Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendiri yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana. Pidana secara mutlak ada, karena melakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana.

b. Teori Relatif

(47)

social defence). Karena teori ini juga memasyarakatkan adanya tujuan dalam pemidanaan maka sering juga disebut sebagai teori tujuan (utilitarian theory).

Dasar pembenaran dari adanya pidana menurut teori ini terletak pada tujuanya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan).

Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan ini, biasa dibedakan menjadi dua istilah, yakni :

1) Prevensi/pencegahan umum (Generale Preventie)

Prevensi umum menekankan bahwa tujuan pidana adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan penjahat. Pengaruh pidana ditujukan terhadap masyarakat pada umumnya dengan maksud untuk menakut-nakuti. Artinya pencegahan kejahatan yang ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana (Wirjono Projodikoro, 1981: 33).

Menurut Johan Andreas yang dikutip oleh Wirjono Projodikoro (1981: 39) menyatakan bahwa terdapat tiga bentuk pengaruh dalam pengertian prevensi umum, yaitu :

1. Pengaruh pencegahan;

2. Pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral;

3. Pengaruh untuk mendorong suatu kebiasaan perbuatan patuh terhadap hukum

2) Prevensi/pencegahan khusus (speciale preventie)

(48)

perbuatanya lagi. Fungsinya untuk mendidik dan memperbaiki terpidana untuk menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna, sesuai dengan harkat dan martbatnya. Teori tujuan pidana ini dikenal pula dengan sebutan reformationataurehabilitation theory(Wirjono Projodikoro, 1981: 41).

c. Teori Gabungan

Teori gabungan adalah suatu kombinasi dari teori absolut dan teori relatif. Menuirut teori gabungan, tujuan pemidanaan selai membahas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban, dengan ketentuan beratnya pidana tidak boleh melampaui batas pembalasan yang adil (Wirjono Projodikoro, 1981: 46).

Sehubungan dengan hal tersebut, terhadap teori gabungan ini terdapat tiga aliran yang mempengaruhi (Moeljatno, 1973: 22-23), yakni :

1) Teori gabungan menitikberatkan unsur pembalasan, tetapi sifatnya berguna bagi masyarakat. Zeverbergen mengatakan, bahwa makna tiap-tiap pidana untuk melindungi tata hukum dan pemerintah.

2) Teori gabungan yang menitikberatkan pertahanan tata tertib masyarakat. Pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi tujuanya ialah melindungi kesejahteraan masyarakat. Menurut Vos, pidana berfungsi sebagai pencegahan umum.

3) Teori gabungan yang memandan sama pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat.

(49)

Hukum Pidana”, bahwa pidana hakekatnya terdapat dua poros yang menentukan garis-garis hukum pidana, yakni:

a). Segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan.

(50)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya (soerjono soekanto, 1987: 43)

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah secara yuridis normatif. Pendekatan normatif dilakukan dengan cara mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan, bahan-bahan literatur lain yang menunjang dan berhubungan sebagai penelaahan hukum terhadap kaidah yang dianggap sesuai dengan penelitian hukum tertulis. Penelitian normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, dasar hukum dan konsep-konsep hukum.

B. Sumber dan jenis data

(51)

perundang-undangan, pra survey pada Pengadilan Negeri Metro, teori-teori dari para ahli hukum, kamus hukum, serta internet.

1. Bahan Hukum Primer antara lain:

a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

c) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. d) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. e) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

f) Undang-Undamg Nomor 48 tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dalam hal ini teori-teori yang dikemukakan para ahli hukum serta peraturan-peraturan pelaksanaan dari Undang-undang khususnya Rancangan Undang-undang yang berhubungan dengan penelitian penulis. Bahan hukum sekunder penelitian ini meliputi putusan Pengadilan Negeri Metro Nomor: 29/Pid.An/2009/PN.Metro, peraturan pemerintah nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan sebagainya.

3. Bahan Hukum Tersier

(52)

C. Penentuan Narasumber

Narasumber dalam penelitian ini diperlukan untuk memberikan informasi dan pengetahuan secara jelas yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian. Pemilihan narasumber dengan pertimbangan bahwa narasumber tersebut dapat mewakili institusinya sehingga dapat memberikan informasi mengenai permasalahan yang diajukan dalam skripsi ini. Informasi yang diberikan oleh narasumber berdasarkan pengetahuan dan pengalaman, sehingga penelitian ini memperoleh sumber informasi yang dapat dipertanggungjawabkan kebenaranya. Adapun narasumber sebagai bahan hukum penunjang dalam penelitian ini adalah 2 (dua) orang akademisi/dosen bagian hukum pidana fakultas hukum Universitas Lampung.

D. Metode Pengumpulan dan Pengelolaan data

1. Prosedur Pengumpulan Data

(53)

2. Pengelolahan Data

Tahapan pengolahan data dalam penelitian ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

a. Identifikasi data, yaitu mencari data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pembahasan yang akan dilakukan yaitu dengan menelaah peraturan, buku atau artikel yang berkaitan dengan judul yang akan dibahas.

b. Klasifikasi data, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya diklasifikasikan atau dikelompokkan sehingga diperoleh data yang benar-benar objektif.

c. Penyusunan data, yaitu menyusun data menurut sistematika yang telah ditetapkan dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam menginterpretasikan data.

d. Interpretasi data, yaitu memberikan pendapat atau pandangan secara teoritis terhadap suatu data.

E. Analisis Data

(54)
(55)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut :

1. Bentuk pengkualifikasian tindak pidana Pasal 351 jo Pasal 55 KUHP dengan Pasal 170 KUHP dalam perkara Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro yakni Pasal 170 KUHP mengatur tentang sanksi hukum bagi para pelaku kekerasan terhadap orang atau barang di muka umum. Bila dikualifikasikan berbeda pengertian ataupun tujuan yang dimaksudkan Pasal 170 KUHP dengan Pasal 351 dan 55 KUHP. Objek dari perlakuan para pelaku dalam Pasal 170 KUHP ini bukan saja haruslah manusia tetapi dapat saja berupa benda atau barang.

(56)

sepaham untuk melakukan kekerasan itu, maka hal ini sudah memasuki ranah Pasal 351 KUHP. Pasal 170 dilakukan oleh para pelaku dalam waktu yang bersamaan ataupun dalam waktu yang berdekatan dengan syarat ada kesepakatan dan kesepahaman untuk berbuat tindakan kekerasan tersebut terhadap orang atau barang. Kualifikasi yang paling mendasar Pasal 170 dengan Pasal 351 KUHP adalah dilakukannya tindakan itu di hadapan orang banyak atau di ruang publik terbuka, sedangkan pada Pasal 351 hal ini tidak dibedakan, apakah dilakukan di ruang tertutup untuk umum ataupun di ruang publik terbuka. Ancaman hukuman Pasal 170 KUHP lebih berat daripada Pasal 351 KUHP.

(57)

sudah sesuai dengan tujuan pemidanaan karena hakim memiliki alasan-alasan tertentu dalam menjatuhkan hukuman pidana penjara.

B. Saran

Adapun saran yang akan diberikan penulis berkaitan dengan analisis yuridis terhadap tindak pidana penganiayaan yang dilakukan secara bersama-sama oleh pelajar di wilayah Kota Metro (Studi Kasus Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro) sebagai berikut:

1. Hakim harus lebih teliti lagi dalam menerapkan sanksi pidana dan menjatuhkan pidana kepada terdakwa, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam menerapkan sanksi pidana (jumping conclusion) sesuai dengan tujuan pemidanaan. Dalam hal ini kentuan Pasal 170 KUHP dinilai lebih tepat diterapkan dalam pemidanaan.

(58)

(Studi Perkara Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro) (Skripsi)

Reza Fahlepi

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(59)

(Studi Perkara Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro)

Oleh Reza Fahlepi

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(60)

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 9

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 10

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 11

E. Sistematika Penulisan ... 16

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Remaja dan Pelajar dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ... 18

B. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur Tindak Pidana... 23

C. Pengertian dan Unsur - Unsur Tindak Pidana Penganiayaan serta Pengaturannya... 29

D. Ketentuan dan Unsur-Unsur Tindak Pidana dalam Pasal 170 KUHP.. ... 37

E. Jenis - Jenis Sanksi Pidana dan Tindakan dalam Undang - Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak... 38

F. Teori-Teori Tentang Pidana dan Pemidanaan.. ... 41

III.METODE PENELITAN A. Pendekatan Masalah ... 49

B. Sumber dan Jenis Data ... 49

C. Penentuan Narasumber... 51

D. Metode Pengumpulan dan Pengelolaan data ... 51

(61)

B. Bentuk Pengkualifikasian Tindak Pidana Pasal 351 Jo Pasal 55 KUHP dengan Pasal 170 KUHP dalam Perkara Nomor 29 / Pid.An / 2009/ PN.Metro... 56 C. Putusan Hakim terhadap Pelaku Tindak Pidana Penganiayaan yang

Dilakukan secara Bersama-Sama oleh Pelajar Di Wilayah Kota Metro dalam Perkara Nomor 29/Pid.An/2009/PN. Metro dalam Kerangka Tujuan Pemidanaan... 68

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 83 B. Saran ... 85

(62)

1. Buku dan Kamus

Chazawi, Adami. 2002.Pelajaran hukum pidana. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Daradjat, Zakiah. 1978.Problema remaja di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang. Dirjosisworo, Soedjono. 1984. Amalan ilmu jiwa dalam studi kejahatan. Bandung:

Karya Nusantara.

Gunarsa, Singgih D. 1984.Kenakalan remaja. Gultom. Jakarta.

Kartono, Kartini. 1992.Patologi 2 kenakalan remaja. Jakarta: Rajawali Pers.

Kusuma, W Mulyana. 1982. Analisa kriminologi tentang kejahatan kekerasan. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Moeljatno. 1973. Perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana. Jakarta: Bina Aksara.

Moeljatno. 1973.Asas-asas hukum pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

M. Sudrajat, Bassar. 1986. Tindak-tindak pidana tertentu di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Jakarta: Remaja Karya.

Mulyono, Bambang. 1986. Kenakalan remaja dalam persfektif pendekatan sosiologi psikologi dan penanggulangannya. Yogyakarta.

Nawawi Arif, Barda. 2010. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan. Kencana. Jakarta.

Projodikoro, Wirjono. 1981.Asas-asas hukum pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia. P.A.F. Lamintang, 1997.Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya Bakti.

Bandung.

(63)

Soedjono. 1977.Hukum pidana I. Jakarta: Sinar Grafika.

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990.Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia. Jakarta.

Soerodibroto, Soenarto. 1994. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jakarta: Raja Grafindo.

Sudarto. 1990. Hukum pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto Fakultas Hukum UNDIP.

Tim Penyusun Kamus. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta.

Universitas Lampung. 2009.Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung Press. Bandar Lampung.

2. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

(64)

METRO (Studi Perkara Nomor 29/Pid.An/2009/PN.Metro)

Nama Mahasiswa :Reza Fahlepi

No. Pokok Mahasiswa : 0852011178

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Prof. Kadri Husin, S.H., M.H. Firganefi, S.H., M.H.

NIP 19431114 196909 1 001 NIP 19631217 198803 2 003

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

(65)

1. Tim Penguji

Ketua :Prof. Kadri Husin, S.H., M.H.

...

Sekretaris/Anggota :Firganefi, S.H., M.H.

...

Penguji Utama :Tri Andrisman, S.H., M.H.

...

2. Pj. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP 19621109 198703 1 003

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karenanya, pada penilitian ini dibuat polymer blend dengan beberapa variasi komposisi polikarbonat serta dengan proses pembuatan yang berbeda yakni handtruder

Segala puji hanya milik Allah SWT atas segala nikmat, rahmat dan karunia-Nya yang tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini yang berjudul ”Upaya

ديرجتلا مسلاا : مدشر دمت٤ يساسلأا مقرلا : َُِّّّْٓ ةيلك / ةبعش لع : و ميلعتلاك ةيبتًلا ـ / ةيبرعلا ةغللا سيردت ؿكلأا ؼرشت١ا : تَتسجات١ا فويتوسن دلاخ

pendidikan di Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo. 10) Mutasi mahasiswa adalah perubahan status akademik dan status administrasi mahasiswa, yang meliputi cuti

Mandi safar dalam pandangan mayoritas masyarakat Desa Tanjung Punak, Pulau Rupat Utara adalah tradisi yang patut untuk dilestarikan dan menjadi khas serta

 Carol Alexander, 2003, Operational Risk, Regulation, Analysis and Management, Prentice Hall.  Allen, Boudoukh and

Berdasarkan hasil pengamatan kupu-kupu yang diperoleh di tiga lokasi berbeda yakni Taman Sakura, Guest House, dan Air Mancur yang terdapat di Kebun Raya Cibodas dengan total

Jadi pengertian identitas nasional adalah pandangan hidup bangsa, kepribadian bangsa, filsafat pancasila dan juga sebagai idiologiai negara sehingga mempunyai