• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKIBAT HUKUM PENCABUTAN PERNYATAAN PAILIT TERHADAP DEBITUR DAN KREDITUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "AKIBAT HUKUM PENCABUTAN PERNYATAAN PAILIT TERHADAP DEBITUR DAN KREDITUR"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

AKIBAT HUKUM PENCABUTAN PERNYATAAN PAILIT TERHADAP DEBITUR DAN KREDITUR

Oleh:

ANSARI NURMALINDA

Dalam menjalankan suatu perusahaan adakalanya orang atau perusahaan tersebut tidak mempunyai cukup dana untuk mencukupi semua kebutuhannya. Untuk mencukupi kebutuhannya, perusahaan ini dapat melakukan pinjaman. Pinjaman tersebut dapat diperoleh melalui kredit dari bank. Berkaitan dengan pemberian pinjaman atau kredit, Kreditur (bank) akan meminta pemberian jaminan kepada Debitur (nasabah). Salah satu bentuk pemberian jaminan adalah jaminan perorangan (personal guarantee). Jaminan pada kepailitan merupakan sumber pelunasan utang. Apabila Debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya maka Kreditur harus mendapat kepastian dalam pelunasan piutang-piutangnya sehingga hasil penjualan jaminan atau likuidasi harta kekayaan Debitur melalui putusan pailit dari Pengadilan Niaga dapat diandalkan sebagai sumber pelunasan alternatif. Pada hakikatnya, kepailitan suatu Debitur dapat berakhir. Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 menentukan, kepailitan yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan dapat diakhiri dengan dicabutnya putusan pailit tersebut apabila harta kekayaan Debitur Pailit tidak mencukupi untuk membayar biaya kepailitan. Penelitian ini akan membahas tentang analisis duduk perkara kepailitan antara PT Rabobank International Indonesia dengan Gunawan Tjandra dan akibat hukum yang ditimbulkan dari pencabutan permohonan pernyataan pailit putusan 74/Pailit/2009/PN.Niaga.Jkt.Pst.

(2)

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan bahwa duduk perkara ini berawal dari adanya permohonan pernyataan pailit yang diajukan PT Rabobank International Indonesia terhadap Gunawan Tjandra selaku penjamin dari PT Pratama Jaringan Nusantara. Berdasarkan perjanjian jaminan perorangan yang dibuat secara tertulis Gunawan Tjandra sepakat untuk melepaskan hak istimewanya dan menjadi pihak pertama yang dapat ditagih jika PT Pratama Jaringan Nusantara tidak membayar utang-utangnya. Untuk itu, dengan telah terpenuhinya syarat untuk dinyatakan pailit, maka Pengadilan Niaga mengabulkan permohonan PT Rabobank International Indonesia dan Gunawan Tjandra dinyatakan pailit serta menunjuk Tim Kurator untuk melakukan pemberesan harta pailit. Dalam masa pemberesan harta pailit, Gunawan Tjandra mengajukan upaya hukum kasasi, namun kemudian kasasi ini ditolak oleh Mahkamah Agung. Setelah Kurator melakukan pemberesan atas harta pailit, ditemukan fakta bahwa harta kekayaan Gunawan Tjandra tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan. Oleh karena itu, Tim Kurator mengajukan permohonan pencabutan pernyataan pailit dan permohonan tersebut diterima oleh Pengadilan Niaga. Terhadap pencabutan putusan pernyataan pailit ini, PT Rabobank International Indonesia mengajukan upaya hukum kasasi.

Akibat putusan pencabutan pernyataan pailit pada perkara ini adalah berakhirnya kepailitan Gunawan Tjandra selaku Debitur Pailit dengan ini Debitur berwenang kembali mengurus harta kekayaannya dan Kreditur yaitu PT Rabobank International Indonesia tidak dapat mengeksekusi harta kekayaan Debitur Pailit. Akibat hukum lain terhadap PT Pratama Jaringan Nusantara selaku Debitur Utama adalah tetap berkewajiban untuk membayar utang-utangnya kepada PT Rabobank International Indonesia. Namun, dengan tidak dapat dieksekusinya harta kekayaan Debitur Pailit, maka Kreditur tidak dapat memperoleh pelunasan atas piutang-piutangnya. Dengan demikian, diperlukan upaya hukum dalam penyelesaian pembayaran utang yang dapat ditempuh melalui jalur litigasi maupun non litigasi. Jalur litigasi dapat di tempuh melalui permohonan kepailitan dan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri. Sedangkan jalur non litigasi dapat ditempuh melalui arbitrase.

(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan setiap orang memerlukan uang untuk membiayai kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan dibutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai kegiatan perusahaan tersebut adakalanya orang atau perusahaan tersebut tidak mempunyai cukup dana untuk mencukupi semua kebutuhannya. Untuk mencukupi kebutuhannya, orang atau perusahaan ini dapat melakukan pinjaman. Pinjaman tersebut dapat diperoleh melalui kredit dari bank. Penyedia pinjaman lazimnya dapat disebut dengan Kreditur dan penerima pinjaman disebut dengan Debitur.

(4)

jaminan tersebut akan digunakan sebagai pemenuhan atas hak Kreditur apabila Debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya. Jaminan tersebut dapat berupa jaminan kebendaan atau jaminan perorangan (personal guaranty). Jaminan perorangan adalah jaminan berupa pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh seorang pihak ketiga, guna menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban Debitur kepada Kreditur apabila Debitur yang bersangkutan cidera janji atau wanprestasi.1 Pada praktiknya biasanya kreditur akan meminta seorang penjamin (personal guarantor) agar melepaskan hak istimewanya sebelum menandatangani perjanjian kredit untuk mendapatkan kemudahan dalam penagihan atas utang-utang Debitur.2 Hal ini sering kali tidak disadari oleh para pengusaha bahwa seorang personal guarantor adalah juga seorang Debitur yang mempunyai kewajiban untuk membayar utang Debitur Utama kepada Kreditur apabila Debitur Utama tersebut tidak dapat melunasi utang-utangnya dan dapat mempunyai konsekuensi hukum apabila Debitur Utama tidak melaksanakan kewajibannya. Konsekuensinya adalah bahwa penjamin tersebut dapat dinyatakan pailit.

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU) yang berlaku di Indonesia pada saat ini, kepailitan atau pailit adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah

1

Hasanuddin Rahman. 1996. Aspek-aspek Hukum Perikatan Kredit Perbankan. Bandung: PT Citra Aditya bakti. Hlm.164

2

(5)

pengawasan Hakim Pengawas. Apabila Debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya, Kreditur atau Debitur sendiri dapat dengan secara sukarela mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada Pengadilan Niaga untuk memperoleh pemberesan atas pelunasan utang-utangnya. Permohonan pernyataan pailit kepada Pengadilan Niaga ini bertujuan untuk meletakan harta pailit dibawah sita jaminan sebelum harta kekayaan tersebut dibenarkan oleh hukum untuk dijual dan hasil penjualan dibagikan kepada Kreditur sehingga Kreditur tidak saling mendahului untuk mendapat pelunasan atas utang Debitur. Agar harta Debitur tersebut dapat diletakkan di bawah sita umum secara hukum, maka terlebih dahulu Debitur tersebut harus dinyatakan pailit oleh Pengadilan. Menurut Pasal 1 Ayat (7) UUK-PKPU, Pengadilan yang berwenang untuk menangani perkara yang berhubungan dengan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum.

(6)

dahulu meskipun terhadap putusan tersebut masih dilakukan suatu upaya hukum lebih lanjut. Akibat-akibat putusan pailit pun mutatis mutandis berlaku walaupun sedang ditempuh upaya hukum lebih lanjut.3 Terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, Debitur Pailit tidak dapat lagi diperkenankan untuk melakukan pengurusan atas harta kekayaannya yang telah dinyatakan pailit (harta pailit). Selanjutnya pelaksanaan pengurusan atau pemberesan atas harta pailit tersebut diserahkan kepada Kurator yang diangkat oleh Pengadilan, dengan diawasi oleh seorang Hakim Pengawas yang ditunjuk dari Hakim Pengadilan. Pengangkatan tersebut harus ditetapkan dalam putusan pernyataan pailit tersebut. Kemudian Kurator diangkat oleh Pengadilan bersamaan dengan putusan pernyataan pailit. Dalam hal Debitur atau Kreditur yang memohonkan kepailitan tidak mengajukan usul pengangkatan Kurator lain kepada pengadilan, maka Balai Harta Peninggalan bertindak selaku Kurator.

Pada hakikatnya, kepailitan suatu Debitur dapat berakhir. UUK-PKPU menentukan, kepailitan yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan dapat diakhiri dengan dua cara yaitu cara yang pertama adalah dengan tercapainya perdamaian antara Debitur Pailit dengan para Kreditur dan kemudian disahkannya perdamaian itu oleh Pengadilan Niaga dan cara kedua adalah dengan dicabutnya putusan pailit tersebut oleh Pengadilan Niaga hal ini diatur dalam Pasal 18 dan 19 UUK-PKPU.. Berdasarkan UUK-PKPU, Debitur dan para Kreditur diperbolehkan untuk mengajukan perlawanan terhadap permohonan pencabutan kepailitan berupa kasasi

3

(7)

dan/atau peninjauan kembali. Ketentuan mengenai perlawanan pencabutan kepailitan diatur dalam Pasal 19 Ayat (2) UUK-PKPU.

Studi kasus permohonan pernyataan pailit yang akan penulis teliti berikut ini menggambarkan bahwa suatu putusan pernyataan pailit dapat dicabut oleh Pengadilan Niaga. Putusan ini mengenai putusan pernyataan pailit yang bermula ketika PT Rabobank International Indonesia mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap pendiri PT Pratama Jaringan Nusantara yaitu Gunawan Tjandra ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 14 Desember 2009 dengan perkara Nomor 74/Pailit/2009/PN.Niaga.Jkt.Pst. PT Rabobank International Indonesia mengajukan permohonan pernyataan pailit dikarenakan PT Pratama Jaringan Nusantara yang telah mendapatkan fasilitas kredit sebesar Rp.310.000.000.000,- dari PT Rabobank International Indonesia hingga tanggal diajukannya permohonan pailit tidak memenuhi kewajibannya berdasarkan perjanjian jaminan perorangan dan kewajiban Termohon kepada Pemohon hingga saat permohonan pailit diajukan adalah sebesar Rp.439.099.940.905,-.

(8)

(satu) orang Kreditur telah terpenuhi sebagaimana termuat didalam ketentuan Pasal 2 UUK-PKPU telah terpenuhi.

Berdasarkan perjanjian jaminan perorangan yang telah disepakati oleh Gunawan Tjandra dengan PT Rabobank International Indonesia bahwa secara sukarela Gunawan Tjandra bersedia untuk menjadi penjamin (guarantor) dan akan memenuhi segala kewajiban-kewajiban PT Pratama Jaringan Nusantara yang timbul dari perjanjian kredit berdasarkan permintaan tertulis dari PT Rabobank International Indonesia selaku Pemohon. Seorang penjamin atau guarantor berkewajiban untuk membayar utang-utang Debitur Utama apabila Debitur tersebut tidak dapat memenuhi kewajibannya.4 Penanggungan ini sifatnya accessoir atau merupakan suatu perjanjian tambahan di samping perjanjian pokok (perjanjian kredit) yang mengakibatkan batalnya perjanjian pokok dapat membatalkan perjanjian tambahan.

Seorang penanggung (penjamin) pada dasarnya mempunyai hak-hak istimewa5 yang mana dapat digunakan atau dapat dilepaskan ketika perjanjian kredit dibuat. Dalam hal ini, Gunawan Tjandra sepakat untuk melepaskan hak istimewanya berdasarkan permintaan tertulis dari PT Rabobank International Indonesia sehingga PT Rabobank International Indonesia mempunyai hak untuk melakukan penagihan secara langsung atas kewajiban-kewajiban PT Pratama Jaringan Nusantara kepada Gunawan Tjandra

4

Dalam surat jaminan umumnya dimuat klausula yang berbunyi :

penjamin dengan ini menjamin dan karena itu berjanji serta mengikatkan diri untuk dan atas permintaan pertama dari kreditur membayar utang secara tanpa syarat apapun dengan seketika dan secara sekaligus lunas kepada kreditur, termasuk bunga, provisi dan biaya-biaya lainnya yang

sekarang telah ada dan/atau dikemudian hari terhutang dan wajib dibayar oleh debitur”. Demikian menurut RasjimWiraatmaja, advokat senior.

5

(9)

yang bertindak selaku penjamin. Dengan adanya hak ini, PT Rabobank International Indonesia telah memberikan somasi kepada Gunawan Tjandra untuk melunasi kewajiban atas pinjaman PT Pratama Jaringan Nusantara. Dengan demikian syarat suatu debitur dapat dinyatakan pailit telah terpenuhi oleh Gunawan Tjandra sehingga Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutuskan untuk mengabulkan permohonan pernyataan pailit PT Rabobank International Indonesia dan mengangkat Suhendra Asido Hutabarat, S.H., S.E., M.M., M.H., dan Bertua Hutapea, S.H., sebagai Kurator pada rapat Majelis Hakim pada hari rabu tanggal 10 Februari 2010.

(10)

2010 yang secara singkat menyatakan bahwa aset-aset yang ditemukan bernilai sangat kecil sehubungan dengan dugaan tidak ditemukannya harta pailit atas nama Debitur Pailit Gunawan Tjandra sehingga tidak mencukupi untuk membayar biaya kepailitan sehingga Kurator mengajukan permohonan pencabutan pernyataan pailit. Pasal 18 Ayat (1) UUK-PKPU menyatakan bahwa dalam hal harta pailit tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan maka pengadilan atas usul Hakim Pengawas dan setelah mendengar Panitia Kreditur Sementara jika ada, serta setelah memanggil dengan sah atau mendengar Debitur, dapat memutuskan pencabutan putusan pernyataan pailit.

(11)

berdasarkan pertimbangan bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan dan pencabutan pernyataan pailit telah sesuai dengan UUK-PKPU.

Pada dasarnya, pencabutan putusan pernyataan pailit dapat diajukan atas usul dari Hakim Pengawas berdasarkan laporan pemberesan harta pailit yang dilakukan oleh Kurator bahwa harta pailit tidak mencukupi untuk membayar pelunasan utang-utang Debitur kepada Kreditur. Permasalahannya adalah apa akibat hukum yang ditimbulkan berkenaan dengan pencabutan putusan pernyataan pailit tersebut ?

(12)

B. Rumusan Masalah dan Pokok Bahasan

1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah :

a. Analisis duduk perkara kepailitan antara PT Rabobank International Indonesia dengan Gunawan Tjandra;

b. Akibat hukum yang ditimbulkan dari pencabutan putusan pernyataan pailit

2. Pokok Bahasan

Pokok bahasan pada penulisan ini adalah bagaimana duduk perkara kepailitan antara PT Rabobank International Indonesia dengan Gunawan Tjandra dan apa akibat pencabutan pernyataan pailit terhadap Debitur dan Kreditur pada putusan ini.

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian

Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk menganalisis duduk perkara kepailitan antara Gunawan Tjandra dan PT Rabobank International Indonesia

(13)

Kegunaan Penelitian ini diharapkan agar dapat bermanfaat secara teoritis dan praktis, yakni:

a. Kegunaan Teoritis

Agar penelitian ini dapat menambah wawasan pengetahuan dan memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu hukum perdata ekonomi, khususnya mengenai análisis putusan pailit.

b. Kegunaan Praktis

(14)

II . TINJAUAN PUSTAKA

A. Pemberian Kredit

1. Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit

Dana yang diterima dari masyarakat, apakah itu berbentuk simpanan berupa tabungan, giro, deposito pada akhirnya akan diedarkan kembali oleh bank, misalnya lewat pasar uang (money market), pendepositoan, investasi dalam bentuk lain dan terutama dalam bentuk pemberian kredit.1 Kredit yang diberikan oleh bank (Kreditur) didasarkan atas kepercayaan sehingga pemberian kredit merupakan pemberian kepercayaan kepada nasabah (Debitur) oleh karena pemberian kredit oleh bank dimaksudkan sebagai salah satu usaha bank untuk mendapatkan keuntungan, maka bank hanya boleh meneruskan simpanan masyarakat kepada nasabahnya dalam bentuk kredit jika ia betul-betul yakin bahwa si Debitur akan mengembalikan pinjaman yang diterimanya sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah disetujui oleh kedua belah pihak. Setiap pemberian kredit yang telah disetujui dan disepakati antara pihak Kreditur dan Debitur wajib dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis. Dalam praktik perbankan bentuk dan format dari

1

(15)

perjanjian kredit diserahkan sepenuhnya kepada bank yang bersangkutan. Namun terdapat hal-hal yang tetap harus dipedomani yaitu bahwa perjanjian tersebut sekurang-kurangnya harus memperhatikan keabsahan dan persyaratan secara hukum sekaligus juga harus memuat secara jelas mengenai jumlah besarnya kredit, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit serta persyaratan lainnya yang lazim dalam perjanjian kredit. Hal-hal yang menjadi perhatian tersebut guna mencegah adanya kebatalan dari perjanjian yang dibuat (invalidity) sehingga pada saat dilakukannya perbuatan hukum (perjanjian) tersebut jangan sampai melanggar suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian pejabat bank harus memastikan bahwa seluruh aspek yuridis yang berkaitan dengan perjanjian kredit telah diselesaikan dan telah memberikan perlindungan yang memadai bagi bank. Sesuai dengan asas yang utama dari suatu perikatan atau perjanjian yaitu asas kebebasan berkontrak, maka pihak-pihak yang akan mengikatkan diri dalam perjanjian kredit tersebut dapat mendasarkan pada ketentuan-ketentuan yang ada pada KUH Perdata. Tetapi dapat pula mendasarkan pada kesepakatan bersama.2

2. Jaminan Kredit

Kredit yang diberikan bank mengandung resiko sehingga bank (Kreditur) dituntut untuk meminalisasi potensi kerugian yang akan timbul. Selain itu bank wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan dimaksud sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Inilah yang dimaksud dengan jaminan pemberian kredit yakni berwujud keyakinan atas kemampuan dan

2

(16)

kesanggupam nasabah (Debitur) untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan.3 Jaminan kredit akan memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak perbankan bahwa kreditnya akan tetap kembali dengan cara mengeksekusi jaminan kredit perbankannya. Jaminan pada kepailitan adalah sebagai sumber pelunasan utang. Apabila debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya maka kreditur harus mendapat kepastian dalam pelunasan utang-utangnya sehingga hasil penjualan jaminan atau likuidasi harta kekayaan debitur melalui putusan pailit dari Pengadilan Niaga dapat diandalkan sebagai sumber pelunasan alternatif. Disamping dari hasil penjualan agunan atau likuidasi harta kekayaan debitur dinyatakan pailit, juga harta kekayaan penjamin (guarantor/borg), serta barang-barang agunan milik pihak ketiga bila ada dapat pula menjadi sumber pelunasan utang. Sumber pelunasan alternatif ini dalam dunia perbankan disebut second way out.4

Jaminan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu jaminan materiil (kebendaan), yaitu jaminan kebendaan dan jaminan immateriil (perorangan), yaitu jaminan perorangan. Jaminan perorangan dapat diikat dengan akta penanggungan (borgtocht). bila dilakukan oleh perorangan maka penanggungan di sebut personal guaranty. Berikut ini, peneliti akan membahas lebih lanjut mengenai jaminan perorangan. Penggunaan istilah “penanggungan” atau “perjanjian penanggungan” sudah lazim digunakan para sarjana. Pada penanggungan, penanggung (borg) menjamin kewajiban prestasi dengan seluruh harta borg sedangkan pada jaminan

3

Rachmadi Usman. 2001. Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Cetakan pertama. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 281

4

(17)

kebendaan selalu ada benda tertentu yang secara khusus di tunjuk, baik oleh undang-undang maupun atas sepakat.5 Pasal 1820 KUH Perdata mendefinisikan bahwa penanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang, manakala orang (Debitur Utama) sendiri tidak memenuhinya. Berdasarkan definisi ini maka jelaslah bahwa ada tiga pihak yang terkait dalam perjanjian penanggungan utang yaitu pihak Kreditur, Debitur Utama dan pihak ketiga. Kreditur disini berkedudukan sebagai pemberi kredit, sedangkan Debitur Utama adalah orang yang mendapatkan pinjaman uang atau kredit dari Kreditur. Pihak ketiga adalah orang yang akan menjadi penanggung utang manakala Debitur tidak dapat memenuhi prestasinya.6

Alasan adanya penanggungan ini antara lain karena si penanggung mempunyai hubungan kepentingan antara si penanggung dan peminjam. Untuk dapat menjadi penanggung utang haruslah seseorang yang mempunyai harta kekayaan yang cukup untuk menutup sejumlah utang. Karena itu sebelum kreditur mengikat janji dengan penanggung utang, Kreditur perlu menanyakan harta kekayaan yang dimiliki pihak ketiga tersebut. Diantara bank ada yang menghendaki agar pemimpin perusahaan yang menerima kredit diikat dengan borgtocht. Namun tidak semua pemimpin perusahaan dapat dibebani sebagai penanggung utang hanya pemimpin

5

J. Satrio. 2003. Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Pribadi tentang Perjanjian

Penanggungan dan Perikatan Tanggung Menanggung.. Cetakan Kedua Revisi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Hlm. 5

6

(18)

perusahaan yang berbadan hukum saja yang dapat dibebani jaminan tersebut. Sedangkan pemimpin perusahaan yang tidak berbadan hukum seperti persekutuan komanditer dan firma bertanggung jawab sampai dengan harta pribadinya.7 Seorang penanggung pada prinsipnya mempunyai hak istimewa yang terdapat pada Pasal 1831 KUH Perdata dalam hal ia digugat di depan pengadilan untuk memenuhi kewajiban Debitur Utama yang telah wanprestasi. Penanggung dapat menangkisnya dengan mengemukakan eksepsi agar harta kekayaan Debitur Utama dieksekusi lebih dahulu untuk diambil sebagai pelunasan. Penanggung dalam hal ini diberikan kebebasan untuk menggunakan hak ini atau melepaskannya. Hak-hak istimewa penanggung (penjamin) yaitu :8

1. Hak agar Kreditur menuntut lebih dahulu Debitur. Hak ini diatur dalam Pasal 1831 KUH Perdata;

2. Hak untuk meminta pemecahan utang. Hak ini diatur dalam Pasal 1837 KUH Perdata. Hak istimewa ini hanya penting apabila terdapat lebih dari satu orang penanggung;

3. Hak untuk dibebaskan dari penanggungan bila karena salahnya Kreditur, si penanggung tidak dapat menggantikan hak-haknya, hipotik/hak tanggungan dan hak-hak istimewa yang dimiliki Kreditur. Diatur dalam Pasal 1848 dan 1849 KUH Perdata.

7

Gatot Supramono. 2009. Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan di Bidang Yuridis. Cetakan I. Jakarta: PT Rineka Cipta. Hlm. 258-259

8

(19)

Pelepasan hak utama penanggung diatur dalam Pasal 1832 KUH Perdata. Pada asasnya tidak ada kewajiban dari Kreditur untuk menggugat Debitur Utama lebih dahulu, ia dapat langsung menggugat penanggung tetapi dengan risiko mendapat tangkisan dari borg yang menggunakan hak utamanya agar Kreditur mengambil pelunasan dari Debitur Utama lebih dahulu. Tangkisan seperti itu merupakan tangkisan dilatoir. Tangkisan dilatoir merupakan tangkisan yang menyatakan bahwa gugatan belum dapat dikabulkan karena waktu atau syaratnya belum terpenuhi atau karena sebelumnya harus dipenuhi prosedur tertentu terlebih dahulu. Eksepsi yang demikian hanya bersifat menunda saja.9

Dalam hukum, masyarakat diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk mengadakan perjanjian yang berisikan apa saja asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Sedangkan pasal-pasal sebuah perundang-undangan yang tidak diperlukan dalam sebuah perjanjian dapat disimpangi keberadaaannya. Para pihak boleh mengadakan perjanjian yang tidak diatur oleh undang-undang atau bahkan para pihak dapat meniadakannya sama sekali.10 Hal tersebut diperbolehkan sebab sifat hukum perjanjian adalah melengkapi aturan-aturan hukum yang ada dalam masyarakat. Bukti bahwa hukum perjanjian itu bersifat melengkapi dapat dilihat dari undang-undang yang tidak mengatur besarnya harga sebuah barang tetapi dalam pelaksanaan transaksi jual beli, para pihak yang hendak melakukan transaksi dapat melakukan transaksi dapat mengadakan perjanjian jual beli dengan menentukan besarnya harga, bagaimana menentukan besarnya harga dan lain sebagainya. Hal inilah yang disebut

9

J sartio. 2003. Op. Cit., Hlm. 114 10

(20)

sebagai asas kebebasan berkontrak (freedom of contract priciple). Asas kebebasan berkontrak diatur dalam Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata yang mengatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak membebaskan para pihak yang mengadakan perjanjian kredit untuk sebebas-bebasnya menentukan isi perjanjian. Para pihak boleh tidak setuju sebelum mengadakan perjanjian. Namun sayangnya, demi ketertiban administrasi suatu bank maka biasanya perjanjian kredit telah dibuat berbentuk standar baku (standard contract) oleh bank (Kreditur) yang bersangkutan sehingga pada saat perjanjian kredit itu terjadi maka pihak nasabah (Debitur) tidak dapat merubah isi perjanjian (klausul) perjanjian tersebut.11

Dalam standard contract, perjanjiannya dapat digolongkan ke dalam dua golongan, yaitu perjanjian standard umum dan perjanjian standard khusus. Yang dimaksud dengan perjanjian standard umum ialah perjanjian yang bentuk dan isinya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh Kreditur kemudian disodorkan kepada Debitur. Sedangkan perjanjian standard khusus adalah perjanjian yang standarnya telah ditetapkan oleh pemerintah. Pada perjanjian standar khusus, baik bentuk dan berlakunya perjanjian ditetapkan oleh pemerintah.12 Maka kontrak baku (standard contract) merupakan perjanjian yang bentuknya tertulis dan isinya telah ditentukan secara sepihak oleh Kreditur, serta sifatnya memaksa Debitur untuk menyetujui. Dalam praktik perbankan selama ini, seluruh bank telah menerapkan penggunaan

11

Badriyah Harun. 2010. Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Pustaka Yustisia. Hlm. 20-23

12

(21)

standard contract yang telah dibuatnya. Ketika bank telah mengambil keputusan menyetujui permohonan kredit, bank menyerahkan blanko atau formulir perjanjian kredit kepada nasabah. Dalam blanko tersebut telah tersusun isi perjanjiannya. Maksud penyerahan blanko ini, nasabah diminta untuk memberikan tanggapannya apakah ia menyetujui atau tidak.13 Pada umumnya pada praktik pemberian kredit, untuk menghindari tangkisan dari penanggung, Kreditur akan meminta penanggung untuk melepaskan hak utamanya. Sehingga apabila Debitur Utama wanprestasi, bank (Kreditur) dapat segera melakukan penagihan langsung kepada pihak ketiga. Tujuan pelepasan hak tersebut agar pihak bank lebih mudah mendapatkan hak pembayaran kreditnya. Bank juga mengantisipasi kendala penarikan pembayaran yang bisa jadi karena harta benda yang dimiliki oleh Debitur tidak marketable seperti yang diharapkan.14

Kesediaan penanggung untuk melepaskan hak tersebut pada umumnya diberikan dalam suasana perjanjian yang mana Kreditur mempunyai kedudukan yang lebih kuat dan lebih dominan dalam menentukan syarat-syaratnya. Kebutuhan dari seorang Debitur untuk segera mendapatkan pinjaman utang atau fasilitas kredit juga merupakan alasan utama untuk mengikuti aturan main dari pemberi kredit. Sehingga apabila si penangggung melepaskan hak istimewanya ia mempunyai kedudukan dan akibat hukum yang sama seperti Debitur Utama, yaitu melunasi utang-utang kepada Kreditur dan dapat dinyatakan pailit apabila ia tidak dapat memenuhi kewajibannya.

13

Gatot Supramono. Op. Cit., Hlm.175 14Ibid

(22)

Perjanjian penanggungan utang diatur dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUH Perdata.

B. Tinjauan Umum tentang Kepailitan

1. Pengertian Kepailitan dan Dasar Hukum Kepailitan

Secara etimologi istilah kepailitan berasal dari kata pailit. Selanjutnya istilah “pailit”

berasal dari kata Belanda failliet yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu failite yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran.15 Dari pengertian yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary dapat kita lihat bahwa pengertian pailit dihubungkan

dengan “ketidakmampuan untuk membayar” dari seorang (Debitur) atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Suatu utang dikatakan telah jatuh tempo ketika waktu tersebut telah sesuai dengan jangka waktu yang sudah diperjanjikan. Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh Debitur sendiri, maupun atas pihak ketiga (di luar Debitur). Maksud dari pengajuan permohonan tersebut adalah

sebagai suatu bentuk pemenuhan azas “publisitas” dari keadaan tidak mampu

membayar dari seorang Debitur. Keadaan ini kemudian akan diperkuat dengan suatu putusan pernyataan pailit oleh Hakim Pengadilan, baik itu yang merupakan putusan

15

(23)

yang mengabulkan ataupun menolak permohonan kepailitan yang diajukan.16 Sebelum Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 Jo. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 tahun 1998 di keluarkan, masalah kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang di indonesia diatur dalam Faillisements Verordering- Peraturan Kepailitan (staatsblad Tahun 1905 No. 217 Jo. staatsblad Tahun 1906 No. 348). Dalam masa-masa tersebut hingga dilakukannya revisi atas Faillisements Verordering (FV), urusan kepailitan merupakan hal yang jarang muncul di permukaan. Hal ini terjadi karena banyak pihak yang kurang puas terhadap pelaksanaan kepailitan. Banyaknya urusan kepailitan yang tidak tuntas, lamanya waktu persidangan dan ketidakjelasan kepastian hukum merupakan beberapa alasan yang ada. Perlu diketahui bahwa dalam sejarahnya sebelum kita merdeka, sebenarnya tidak berlaku untuk golongan rakyat pribumi. FV tersebut hanya berlaku bagi golongan Eropa dan golongan Timur Asing dan atau mereka yang dengan sukarela telah menundukan dirinya pada berlakunya hukum golongan eropa, karena mereka inilah yang melakukan kegiatan perdagangan dengan orang-orang dari golongan Eropa. Hal ini sesuai dengan Staatsblad 1942 No. 556 dan Staatsblad 1917 No. 129.

Perubahan atas FV (staatsblad Tahun 1905 No. 217 Jo. staatsblad Tahun 1906 No. 348), ditetapkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang pada tanggal 22 April 1998 yaitu dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut kemudian ditetapkan

16

(24)

menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998. Meskipun Undang-Undang ini telah dibentuk namun masih terdapat kekurangan salah satunya ketidakjelasan mengenai definisi utang. Oleh karena itu untuk mengatasai kekurangan yang terdapat pada undang-undang ini maka Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merevisi undang-undang ini dan menjadikannya undang-undang baru yaitu Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU). Undang-Undang Kepailitan ini sebagian besar substansinya sama dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 dengan penyempurnaan pada beberapa hal sehubungan dengan berbagai penyelesaian perkara kepailitan dan PKPU yang tidak atau belum memuaskan.17

2. Pihak-Pihak dalam Kepailitan

a. Pihak Pemohon Pailit

Dikaji dari perspektif teoritis, normatif dan praktik peradilan pihak Pemohon Pailit adalah pihak yang mengajukan dan memohon kepada Pengadilan Niaga yang berwenang agar Debitur dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya, kemudian ditunjuk Kurator dan Hakim Pengawas terhadap harta kekayaan Debitur Pailit. Menurut ketentuan Pasal 2 UUK-PKPU pihak pemohon pailit dapat dilakukan oleh :

1. Debitur itu sendiri (Voluntary Petition); 2. Kreditur;

17

(25)

3. Kejaksaan untuk kepentingan umum; 4. Bank Indonesia jika Debiturnya Bank;

5. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dalam hal Debiturnya adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;

6. Menteri Keuangan dalam hal debiturnya adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan Publik;

7. Pada dasarnya permohonan pernyataan pailit oleh pihak pernyataaan pailit diajukan kepada ketua Pengadilan Niaga dan harus diajukan oleh seorang Advokat kecuali permohonan tersebut diajukan oleh Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal atau Menteri Keuangan. Apabila Debitur yang masih terikat oleh pernikahan yang sah maka permohonan hanya dapat diajukan hanya dengan persetujuan suami/istrinya. Apabila permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Kreditur berdasarkan ketentuan Pasal 2 UUK-PKPU menggariskan bahwa Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka Pengadilan dan pada asasnya, Kreditur dapat bersifat perorangan atau badan hukum.

b. Pihak Debitur Pailit

(26)

Dalam hal pernyataan pailit masih terikat perkawinan yang sah permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami/istrinya kecuali diantara keduanya tidak terdapat persatuan harta. Apabila permohonan tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Niaga, Debitur tersebut berubah menjadi Debitur Pailit.18 Pihak-pihak yang dapat dinyatakan pailit adalah orang perorangan, harta peninggalan (warisan), perkumpulan perseroan (holding company), penjamin (guarantor), badan hukum, perkumpulan bukan badan hukum, bank, perusahaan efek, perusahaan asuransi, reasuransi, dana pensiun, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).19

c. Hakim Niaga/Hakim Pemutus Perkara

Pada dasarnya, perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diadili oleh Majelis Hakim baik pada Judex Facti (Pengadilan Niaga) maupun Judex Yuris (Mahkamah Agung) untuk perkara kasasi dan peninjauan kembali. Majelis Hakim tersebut terdiri atas hakim-hakim pada Pengadilan Niaga, yakni hakim-hakim Pengadilan Negeri yang diangkat menjadi Hakim Pengadilan Niaga atau lazim dalam praktik Pengadilan Niaga disebut sebagai Hakim Pemutus Perkara berdasarkan keputusan ketua Mahkamah Agung setelah melalui proses seleksi dan pelatihan perkara niaga. Berdasarkan ketentuan Pasal 302 Ayat (3) UUK-PKPU, dengan Keputusan Presiden atas usul Mahkamah Agung dapat diangkat seorang yang ahli

18

Lilik Mulyadi. 2010. Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Teori dan Praktik. Cetakan kesatu. Malang: PT ALUMNI. Hlm. 130

19

(27)

sebagai Hakim Ad hoc baik pada pengadilan tingkat pertama, kasasi maupun peninjauan kembali.20

d. Hakim Pengawas

Hakim Pengawas adalah Hakim pada Pengadilan Niaga yang ditunjuk oleh Majelis Hakim Pemeriksa atau Majelis Hakim Pemutus Perkara permohonan pernyataan pailit. Pada prinsipnya Hakim Pengawas adalah wakil Pengadilan yang mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit yang dilakukan bersamaan dengan diucapkannya putusan pernyataan pailit.

Ruang lingkup tugas Hakim Pengawas tidak terbatas hanya untuk memberikan perstujuan atau izin kepada Kurator saja melainkan juga berwenang memberikan instruksi kepada Kurator untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu sehubungan dengan harta pailit seperti memerintahkan untuk memberikan perlindungan yang dianggap wajar bagi kepentingan pemohon pailit hal ini diatur dalam Pasal 58 UUK-PKPU. Serta Hakim Pengawas wajib didengar pendapatnya oleh Pengadilan Niaga sebelum mengambil putusan mengenai pengurusan atau pemberesan harta pailit. Selain itu Hakim Pengawas berwenang untuk menetapkan hal-hal tertentu dan dalam proses pengambilan ketetapan itu, berwenang untuk mendapat keterangan saksi atau memerintahkan penyelidikan oleh para ahli untuk mendapat kejelasan tentang segala hal mengenai kepailitan.21

20

Lilik Mulyadi. Op.Cit., Hlm. 131 21Ibid,

(28)

e. Kurator

Pada dasarnya, ketentuan pada Pasal 15 Ayat (1) UUK-PKPU menentukan bahwa dalam putusan pernyataan pailit harus diangkat Kurator dan dan seorang Hakim Pengawas yang ditunjuk dari Hakim Pengadilan. Dalam hal Debitur, Kreditur dan pihak berwenang lain yang mengajukan permohonan pernyataan pailit tidak mengusulkan pengangkatan Kurator kepada Pengadilan kemudian Balai Harta Peninggalan (BHP) diangkat selaku Kurator. Kurator yang diangkat tersebut harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan atau mempunyai kepentingan ekonomis yang sama dengan kepentingan Debitur dan Kreditur dan tidak menangani lebih dari 3 (tiga) perkara Kepailitan dan PKPU. Kurator dibedakan menjadi dua yaitu Kurator Balai Harta Peninggalan dan Kurator lain yaitu orang perseorangan yang lulus pada pendidikan Kurator dan telah terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnyanya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan.

f. Panitia Kreditur

(29)

panitia. Dalam hal seorang Kreditur yang ditunjuk menolak pengangkatannya, berhenti atau meninggal, Pengadilan harus mengganti Kreditur tersebut dengan mengangkat seorang diantara 2 calon yang diusulkan Hakim Pengawas. Selain Panitia Kreditur Sementara, dapat dibentuk Panitia Kreditur Tetap setelah pencocokan utang selesai dilakukan apabila dalam putusan pailit tidak diangkat Panitia Kreditur Sementara. Aspek ini wajib ditawarkan oleh Hakim Pengawas kepada Kreditur hal ini diatur dalam Pasal 79 Ayat (1), (2), (3), Pasal 80 Ayat (1) UUK-PKPU.

C. Kompetensi Pengadilan Niaga

(30)

pengkhususan yang diatur dengan undang-undang.22 Dalam Pasal 280 Ayat (1) Undang-Undang Kepailitan No. 4 Tahun 1998 (Undang-Undang Kepailitan lama) ditegaskan bahwa Pengadilan Niaga merupakan bagian dari Peradilan Umum. Sebagai bagian dari Peradilan Umum, Pengadilan Niaga diberikan kewenangan eksklusif untuk menangani seluruh perkara yang berhubungan dengan permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang, sebagaimana diatur dalam Bab Pertama dan Bab Kedua Undang-Undang Kepailitan lama.23

Pengadilan Niaga yang pertama kalinya didirikan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berdasarkan Pasal 281 Ayat (1) Perpu No. 1 Tahun 1998 jo. Undang-Undang No.1 Tahun 1998 kemudian dinyatakan tetap berwenang memeriksa dan memutus perkara yang menjadi lingkup Pengadilan Niaga sebagaimana dalam bagian Ketentuan Penutup Bab VII Pasal 306 UUK-PKPU. Pengadilan Niaga berwenang untuk menerima permohonan kepailitan dan PKPU yang meliputi lingkup di seluruh wilayah Indonesia. Dalam Pasal 281 Ayat (2) Perpu No. 1 Tahun 1998 ditegaskan bahwa pembentukan Pengadilan Niaga selain sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan secara bertahap dengan keputusan presiden, dengan memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber daya yang diperlukan. Kemudian dengan Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1999 pemerintah membentuk Pengadilan Niaga di empat wilayah Pengadilan Negeri lainnya, yaitu di Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Surabaya dan Pengadilan Semarang. Dalam Pasal 300 Ayat (1) UUK-PKPU secara tegas dinyatakan bahwa Pengadilan Niaga

22

Jono. 2010. Hukum Kepaiitan. Cetakan Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm. 82 23

(31)

selain mempunyai kewenangan absolut untuk memeriksa setiap permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang, juga berwenang untuk memeriksa perkara lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Pasal 300 Ayat (1) UUK-PKPU juga menyatakan bahwa salah satu contoh bidang perniagaan yang menjadi kewenangan Pengadilan Niaga saat ini adalah persoalan Hak atas Kekayaan Intelektual. Selain itu Undang-Undang Kepailitan juga mempertegas kewenangan Pengadilan Niaga yang terkait dengan perjanjian yang memuat klausul arbitrase, yaitu pada Pasal 303 UUK-PKPU. Pasal 303 memberikan penegasan bahwa meskipun dalam suatu perjanjian (utang-piutang) mengandung klausul arbitrase, Pengadilan Niaga tetap berwenang untuk memeriksa dengan syarat bahwa utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan yaitu tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih serta mempunyai dua atau lebih Kreditur.24

D. Pencabutan Kepailitan

1. Permohonan Pencabutan Kepailitan dan Upaya Hukum Terhadap Pencabutan Kepailitan

Undang-undang memungkinkan dicabutnya kepailitan meskipun kepailitan tersebut sedang di proses di Pengadilan, jika keadaan harta pailit menghendakinya. Dalam hal harta pailit tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan maka Pengadilan atas usul Hakim Pengaawas dan setelah mendengar Panitia Kreditur Sementara jika ada, serta

24

(32)

setelah memanggil dengan sah atau mendengar Debitur dapat memutuskan pencabutan putusan pernyataan pailit. Putusan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Hakim yang memerintahkan pengakhiran pailit menetapkan jumlah biaya kepailitan dan imbalan jasa Kurator serta membebankannya kepada Debitur.25

Terhadap pencabutan pernyataan pailit dapat diajukan upaya hukum kasasi dan peninjauan kembali sesuai dengan Pasal 19 Ayat (2) UUK-PKPU namun dalam pasal ini tidak ditentukan siapa yang dapat mengajukan kasasi atau peninjauan kembali. Putusan yang memerintahkan pencabutan pernyataan pailit, wajib diumumkan oleh panitera Pengadilan. Pasal 19 Ayat (1) UUK-PKPU menyatakan bahwa pengumuman tersebut dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia paling sedikit dua surat kabar harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Ayat (4). Sekalipun tidak ditentukan secara tegas dalam UUK-PKPU, secara logika hukum dengan putusan pencabutan kepailitan tersebut maka berakhirlah kepailitan Debitur. Dengan pencabutan kepailitan tersebut, berakhir pula kekuasaan Kurator untuk mengurus kekayaan Debitur dan selanjutnya Debitur berwenang kembali mengurus harta kekayaannya seperti sebelum putusan pernyataan pailit dijatuhkan.26

25

Gunawan Widjaja Op.Cit., Hlm. 145 26

(33)

2. Prioritas Biaya Kepailitan dan Imbalan Jasa Kurator

(34)

E. Kerangka pikir

PUTUSAN

No. 74/Pailit/2009/PN.Niaga.Jkt.Pst 10 Februari 2010

Perjanjian Pemberian Kredit antara PT Rabobank International Indonesia dengan PT Pratama Jaringan Nusantara (Debitur Utama) dengan Gunawan Tjandra selaku penjamin

Permohonan Pernyataan Pailit PT Rabobank International Indonesiaa terhadap Gunawan Tjandra (Penjamin)

Permohonan Kasasi oleh Gunawan Tjandra terhadap PT Rabobank International

Indonesia P U T U S A N KASASI No. 270 K/Pdt.Sus/2010

21 Oktober 2010

Pengurusan boedel pailit oleh

kurator

PENCABUTAN PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT No. 74/PAILIT/2009/PN.NIAGA.JKT.PST.

27 Oktober 2010

Analisis Duduk Perkara Kepailitan antara PT Rabobank International Indonesia dengan Gunawan Tjandra

Akibat hukum yang

ditimbulkan dari pencabutan putusan pernyataan pailit Permohonan Kasasi PT Rabobank International

Indonesia terhadap Gunawan Tjandra P U T U S A N KASASI No. 1037 K/PDT.SUS/2010

(35)

Keterangan :

Kasus ini bermula ketika Gunawan Tjandra menandatangani perjanjian kredit dengan PT Rabobank International berdasarkan kesepakatan bahwa Gunawan Tjandra bersedia menjadi penanggung atas pemberian fasilitas kredit yang diberikan kepada PT Pratama Jaringan Nusantara yang pada intinya disebutkan bahwa Gunawan Tjandra menjamin secara tanpa syarat dan tanpa dapat dicabut kembali, pembayaran dan pelunasan secara tepat, layak dan tepat waktu atas kewajiban-kewajiban PT Pratama Jaringan Nusantara. Dengan demikian, berdasarkan perjanjian ini maka Gunawan Tjandra sebagai Penanggung mempunyai kedudukan yang sama dengan PT Pratama Jaringan Nusantara.

(36)

permohonan kasasi No. 270 K/Pdt.Sus/2010. Setelah dilakukannya pengurusan atas boedel pailit berdasarkan laporan Tim Kurator Gunawan Tjandra (dalam pailit) kemudian Hakim Pengawas mengambil kesimpulan bahwa Gunawan Tjandra tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk membayar semua utang-utangnya karena harta pailit tidak mencukupi untuk menutup semua utang sehingga Kurator dapat mengajukan permohonan pencabutan pernyataan pailit kepada Hakim Pengawas dalam hal harta pailit tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan.

(37)

III. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif, yaitu penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan.1 Aspek yang digunakan dalam penelitian ini adalah formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, dimana undang-undang yang dimaksud adalah Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 yang berkaitan dengan putusan pailit Gunawan Tjandra pada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tingkat pertama sampai pada tingkat kasasi.

B. Tipe Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku ditempat tertentu pada saat tertentu, atau mengenai gejala yuridis yang

1

(38)

ada, atau peristiwa hukum yang berlaku di masyarakat.2 Penelitian ini memaparkan secara lengkap, rinci, jelas, dan sistematis mengenai gejala yuridis yang ada berkenaan dengan isi putusan pernyataan dan pencabutan putusan pailit No. 74/Pailit/2009/PN.Niaga.Jkt.Pst. dan kesesuaiannya terhadap Undang-Undang No. 37 Tahun 2004.

C. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam peneilitian ini dilakukan dengan pendekatan normatif terapan (applied law approach), yaitu penerapan ketentuan normatif pada peristiwa hukum dengan menggunakan tipe judicial case study yaitu pendekatan studi kasus pada peristiwa hukum tertentu yang menimbulkan konflik kepentingan, namun tidak dapat diselesaikan oleh pihak-pihak tetapi tetap melalui proses pengadilan melalui putusannya. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan penerapan ketentuan normatif (Undang-Undang No. 37 Tahun 2004) dalam putusan pernyataan dan pencabutan pailit No. 74/Pailit/2009/PN.Niaga.Jkt.Pst. Tahap-tahap pendekatan masalah yang dapat ditentukan peneliti adalah sebagai berikut :3

1. Penentuan pendekatan yang lebih sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian;

2. Identifikasi pokok bahasan (topical subject) berdasarkan rumusan masalah penelitian;

2Ibid.

Hlm. 50 3Ibid.

(39)

3. Pembuatan rincian subpokok bahasan (subtopical subject) berdasarkan setiap pokok bahasan hasil identifikasi;

4. Pengumpulan, pengolahan, penganalisisan data dan kesimpulan; 5. Laporan hasil penelitian.

D. Data dan Sumber Data

Sebagai suatu penelitian normatif, maka data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder tersebut bersumber dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, sebagai berikut:

1. Bahan hukum primer, yaitu data normatif yang bersumber dari perundang-undangan dan yurisprudensi yang menjadi tolak ukur terapan. Bahan hukum primer meliputi:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

b. Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;

c. Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 74/Pailit/2009/PN.Niaga.Jkt.Pst;

d. Putusan Pencabutan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 74/Pailit/2009/PN.Niaga.Jkt.Pst;

(40)

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang mempelajari penjelasan terhadap bahan hukum primer yang terdiri dari literatur-literatur, buku-buku ilmu pengetahuan hukum yang berkaitan dengan kredit dan kepailitan yang berkaitan dengan rumusan masalah;

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan informasi, penjelasan, terhadap bahan hukum primer dan sekunder yaitu kamus hukum dan informasi lainnya yang mendukung penelitian.

E. Pengumpulan dan Pengolahan Data

Berdasarkan pendekatan masalah dan sumber data yang dibutuhkan, maka pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi pustaka dan studi dokumen. Studi pustaka adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif.4 Studi dokumen adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang tidak dipublikasikan secara umum, tetapi boleh diketahui oleh pihak tertentu seperti pengajar hukum, peneliti hukum dan praktisi hukum.5

1. Studi pustaka

Studi pustaka yaitu dengan melakukan serangkaian kegiatan seperti mencari bahan bahan hukum yang diperlukan, inventarisasi data yang relevan seperti buku karya

4Ibid.

Hlm.81 5Ibid.

(41)

tulis hukum yang sudah terkumpul kemudian menentukan relevansinya dengan rumusan masalah.

2. Studi dokumen

Studi dokumen didapatkan dan dilakukan dengan cara menelaah dan mengkaji Undang-Undang No. 37 Tahun 2007, Putusan pernyataan dan pencabutan pailit No. 74/Pailit/2009/PN.Niaga.Jkt.Pst dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan rumusan masalah.

Setelah melakukan pengumpulan data, selanjutnya dilakukan pengolahan data sehingga data yang didapat dipergunakan untuk menganalisis permasalahan yang diteliti. Data yang telah terkumpul kemudian diolah melalui melalui tahap-tahap sebagai berikut,6 yaitu :

1. Pemeriksaan Data (editing) yaitu memeriksa atau mengoreksi kelengkapan dan kebenaran data yang sudah terkumpul dan sudah sesuai (relevan) dengan permasalahan;

2. Penandaan Data (coding)

Yaitu memberi catatan atau tanda yang menyatakan jenis sumber data, pemegang hak cipta atau rumusan masalah. Catatan atau tanda dapat ditempatkan dalam body text dan catatan atau tanda dapat juga ditempatkan di bagian bawah teks yang disebut catatan kaki (footnote) dengan nomor urut;

6Ibid.

(42)

3. Rekostruksi Data (reconstructing)

Yaitu menyusun ulang data secara teratur, berurutan, logis, sehingga mudah dipahami dan diinterprestasikan;

4. Sistematis Data (systematizing) yaitu menempatkan data menurut kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah.

F. Analisis Data

Setelah dilakukan pengolahan data, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan menghubungkan data yang satu dengan data yang lain secara lengkap, kemudian ditarik kesimpulan sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai jawaban dari permasalahan yang dibahas. Analisis kualitatif artinya menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindah dan efektif sehingga memudahkan interprestasi data dan pemahaman hasil analisis. Komprehensif artinya analisis data secara mendalam dari berbagai aspek sesuai dengan lingkup penelitian. Lengkap artinya tidak ada bagian yang terlupakan, semuanya sudah masuk dalam analisis.7

7Ibid.

(43)

V. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:

1. Duduk perkara ini berawal dari adanya permohonan pernyataan pailit yang

(44)

diterima oleh Pengadilan Niaga. Terhadap pencabutan putusan pernyataan pailit ini, PT Rabobank International Indonesia mengajukan upaya hukum kasasi.

(45)

AKIBAT HUKUM PENCABUTAN PERNYATAAN PAILIT TERHADAP DEBITUR DAN KREDITUR

(Skripsi)

Oleh

ANSARI NURMALINDA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(46)

AKIBAT HUKUM PENCABUTAN PERNYATAAN PAILIT TERHADAP DEBITUR DAN KREDITUR

Oleh

ANSARI NURMALINDA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar

SARJANA HUKUM

pada

Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(47)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR LAMPIRAN

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah dan Pokok Bahasan ... 10

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pemberian Kredit ... 1. Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit ... 12

2. Jaminan Kredit ... 13

B. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan ... 1. Pengertian Kepailitan dan Dasar Hukum Kepailitan ... 20

2. Pihak-Pihak Dalam Kepailitan... ... 22

C. Kompetensi Pengadilan Niaga ... 23

D. Pencabutan Kepailitan ... 1. Permohonan Pencabutan Kepailitan dan Upaya Hukum Pencabutan Kepailitan. ... 29

2. Prioritas Biaya Kepailitan dan Imbalan Jasa Kurator... 31

E. Kerangka Pikir ... 32

III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 35

B. Tipe Penelitian ... 35

C. Pendekatan Masalah ... 36

D. Data dan Sumber Data ... 37

E. Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 38

(48)

International Indonesia dengan Gunawan Tjandra...

1. Para pihak ... 41

2. Duduk Perkara Kepailitan Antara PT Rabobank International Indonesia dengan Gunawan Tjandra……… 43

B. Akibat Hukum yang Ditimbulkan dari Pencabutan Pernyataan Pailit ... 1. Debitur Pailit ... 55

2. Debitur Utama ... 57

3. Kreditur ... 60

V. KESIMPULAN ... 74

DAFTAR PUSTAKA

(49)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

LAMPIRAN 1 : Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

No. 74/Pailit/2009/PN.Niaga.Jkt.Pst………….… 79

LAMPIRAN 2 : Putusan Kasasi Mahkamah Agung

No. 270 K/Pdt.Sus/2010……….…... 123

LAMPIRAN 3 : Putusan Pencabutan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

No. 74/Pailit/2009/PN.Niaga.Jkt.Pst………. 163

LAMPIRAN 4 : Putusan Kasasi Mahkamah Agung

(50)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Anonim. 2008. Format Penulisan Karya Ilmiah. Penerbit Universitas Lampung: Bandar Lampung.

Badrulzaman, MD. 1978. Perjanjian Kredit Bank. Alumni: Bandung

Djumhana, Muhammad. 2006. Hukum Perbankan di Indonesia. PT Citra Aditya Bakti: Bandung

Fuady, Munir. 2005. Hukum Pailit. PT Citra Aditya Bakti: Bandung

Harun, Badriyah 2010. Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah. Cetakan Pertama. Pustaka Yustisia: Yogyakarta

HS, Salim. 2011. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta

Jono. 2010. Hukum Kepaiitan. Sinar Grafika: Jakarta

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. PT Citra Aditya Bakti: Bandung

Mulyadi, Lilik. 2010. Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Teori dan Praktik. PT ALUMNI: Malang

M. Subhan Hadi. 2008. Hukum Kepailitan. Prenada Media Group: Jakarta

(51)

Satrio, J. 2003. Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Pribadi tentang Perjanjian Penanggungan dan Perikatan Tanggung Menanggung. PT Citra Aditya Bakti: Bandung

Sembiring, Jimmy Joses. 2011. Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan. Visi Media: Jakarta

Situmorang, Victor M. dan Hendri Soekarso. 1994. Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia. PT. Rineka Cipta : Jakarta

Sjahdeini, Sutan Remy. 2010. Hukum Kepailitan. PT Pustaka Utama Grafiti : Jakarta. Subekti. 2008. Hukum Perjanjian. Intermasa: Jakarta

Supramono, Gatot. 2009. Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan di Bidang Yuridis. PT Rineka Cipta: Jakarta

Sutarno. 2005. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank.. Alfabeta: Bandung Usman, Rachmadi. 2001. Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia. PT

Gramedia Pustaka Utama: Jakarta

Widjaja, Gunawan. 2009. Resiko Hukum & Bisnis Perusahaan Pailit. Forum Sahabat: Jakarta

Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja. 2000. Seri Hukum Bisnis Kepailitan. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta

B. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(52)

Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 74/Pailit/2009/PN.Niaga.Jkt.Pst

Putusan Pencabutan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 74/Pailit/2009/PN.Niaga.Jkt.Pst

(53)

Judul Skripsi : Akibat Hukum Pencabutan Pernyataan Pailit Terhadap Debitur dan Kreditur

Nama Mahasiswa : Ansari Nurmalinda No. Pokok Mahasiswa : 0812011117

Bagian : Hukum Keperdataan

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Rilda Murniati, S.H., M.Hum. Ratna Syamsiar S.H., M.H.

NIP 19700925 199403 2 002 NIP 19550428 198103 2 001

2. Ketua Bagian Hukum Keperdataan

Prof. Dr. I Gede AB. Wiranata, S.H., M.H.

(54)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Rilda Murniati, S.H., M.Hum ………

Sekretaris/Anggota : Ratna Syamsiar, S.H., M.H ………

Penguji

Bukan Pembimbing : Lindati Dwiatin, S.H., M.Hum ………

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S.

NIP 19621109 198703 1 003

(55)

RIWAYAT HIDUP

Peneliti dilahirkan pada tanggal 13 Desember 1990 di Jakarta. Merupakan anak keempat dari empat bersaudara pasangan Bapak Eddi Maziardi S.E. M.Si., dan Ibu Komalasari Pakpahan S.Pd.,

Peneliti menyelesaikan pendidikan, Sekolah Dasar di SDN Rawabunga 14 Pagi pada tahun 1996-2002, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTPN 109 Jakarta pada tahun 2002-2005, dan Sekolah Menengah Atas di SMAN 54 Jakarta pada tahun 2005-2008. Dengan mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) akhirnya peneliti diterima di Fakultas Hukum Universitas Lampung pada tahun 2008.

(56)

MOTTO

“Empty pockets never held anyone back.

Only empty heads and empty hearts can do that“.

(Norman Vincents Peale)

“Your time is limited, don’t waste it living someone else’s life. Don’t be trapped

by dogma which is living the result of other’s people thinking. Don’t let the noise

of other’s opinion drowned your own inner voice. And most important have the courage to follow your heart and intitution, they somehow already know what you

truly want to become. Everything else is secondary”.

(57)

PERSEMBAHAN

Bismillahirohmanirrohim

With all my deep grateful to Allah SWT the almighty I dedicate this for my...

Mom and dad for the life, pray, strength, love, support And for being the center of my universe

(58)

SANWACANA

Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya lah peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul “Akibat Hukum Pencabutan Pernyataan Pailit Terhadap Debitur dan

Kreditur” sebagai salah satu syarat dalam mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Peneliti menyadari terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini, hal tersebut dikarenakan kurang dan terbatasnya kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki peneliti. Untuk itu, sangat diharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak untuk pengembangan dan kesempurnaan skripsi ini.

Peneliti menyelesaikan skripsi ini tidak akan lepas dari bantuan, bimbingan dan saran dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini peneliti menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Bapak Prof. Dr. I Gede Arya Bagus Wiranata, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

(59)

4. Ibu Ratna Syamsiar S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang telah sabar dan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, serta petunjuk dan pengarahan kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini;

5. Ibu Lindati Dwiatin, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas I terima kasih atas perhatian, masukan, kritik dan saran yang sangat berarti selama proses penulisan skripsi ini;

6. Ibu Rohaini, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas II yang telah memberikan saran dan masukan demi kebaikan penulisan skripsi ini;

7. Bapak Fx. Sumarja, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing Akademik atas bimbingan dan pengarahan kepada peneliti selama studi di Fakultas Hukum Universitas Lampung;

8. Seluruh dosen dan karyawan/wati Fakultas Hukum Universitas Lampung yang penuh dedikasi untuk memberikan ilmu yang bermanfaat bagi peneliti, serta segala bantuannya selama peneliti menyelesaikan studi;

9. Dimas Abiyoga atas dukungan dan semangat yang telah diberikan;

10. Seluruh Sahabat-sahabat tercinta Ika Marlia Sari, Aziza Nurhayatun, Idha Rachmani dan Ika Handayani yang telah menemani dan memberikan dukungan kepada peneliti selama ini;

11. Keluarga Besar Persikusi FH UNILA;

12. Rekan-rekan pada kantor Notaris/PPAT Asvi Maphilindo Volta;

(60)

dukungannya.

Selanjutnya, secara khusus penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua, Ayahanda Eddi Maziardi S.E. M.Si., dan Ibunda Komalasari Pakpahan S.Pd., Kakak Amalisari, Abang Adi Suprayoga, Anthony Adrian dan Hermawan Wida terimakasih untuk perhatian dan dorongannya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Allah SWT memberikan balasan atas jasa dan budi baik yang telah diberikan kepada peneliti dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya bagi peneliti dalam mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan.

Bandar Lampung, 14 Februari 2012 Peneliti,

Referensi

Dokumen terkait

Hak tanggungan menurut ketentuan pasal 1 butir 1 UUHT adalah : Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, bagaimanakah akibat atas gugatan-gugatan hokum oleh dan terhadap debitur pailit, bagaimanakah perlindungan hukum terhadap para

Kurator memiliki kewenangan yang sangat luas dalam proses kepailitan, sehingga sering kali menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya, bahkan tidak jarang kurator dituntut

Amar putusan Peninjauan Kembali mengandung alasan maupun pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus perkara a quo yang isinya adalah Putusan pernyataan pailit

Pasal 41 ayat (1) UUK-PKPU menyatakan secara tegas bahwa untuk kepentingan harta pailit, segala perbuatan hukum debitur yang telah dinyatakan pailit, yang

Dalam penelitian ini Menurut Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU secara umum tugas Kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta

Harton Badia Simanjuntak: Akibat Hukum Putusan Pailit Terhadap Utang Pajak Perseroan Ditinjau dari Hukum Kepailitan Dan Hukum Pajak, 2005... Harton Badia Simanjuntak: Akibat

BAB II KONSEKUENSI PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT DEBITOR TERHADAP PERJANJIAN ARBITRASE ANTARA DEBITOR DAN KREDITOR Arbitrase Sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian Sengketa Perdata di Luar