SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan
Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar
Sarjana Hukum
Oleh:
FIQIH HAZRIAH NIM: 090200141
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan
Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar
Sarjana Hukum
Oleh:
FIQIH HAZRIAH NIM: 090200141
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW
Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
DR. H. Hasim Purba, S.H., M.Hum. NIP. 196603031985081001
Pembimbing I Pembimbing II
DR. H. Hasim Purba, S.H., M.Hum Zulkifli Sembiring, S.H., M.H. NIP. 196603031985081001 NIP. 196101181988031010
FAKULTAS HUKUM
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan yang tiada henti-hentinya akan
kehadhirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjalani perkuliahaan sampai
tahap penyelesaikan skripsi pada Jurusan Hukum Perdata BW di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara ini.
Penulisan skripsi yang diberi judul “ASPEK HUKUM HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KERJA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 (STUDI PADA PERJANJIAN KERJA PT. PERKEBUNAN NUSANTARA IV BAH JAMBI DENGAN TENAGA KERJA TETAP)” ini diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk memeroleh gelar Sarjana Hukum di
Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini, Penulis menyadari
dengan sepenuhnya bahwa hasil yang diperoleh masih jauh dari sempurna. Oleh
sebab itu dengan segala kerendahan hati Penulis akan sangat berterima kasih jika
ada kritik dan saran membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari pihak-pihak yang telah membantu
sebelum, selama, dan setelah Penulis mengerjakan skripsi. Melalui kesempatan
ini, Penulis tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Orang tua Penulis, Ir. Syafril Harahap dan Iris Yasmin yang selalu
yang selalu memberikan dorongan semangat kepada Penulis selama
mengikuti perkuliahan hingga selesai skripsi ini;
2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara;
3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan
I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
4. Bapak Syarifuddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM. selaku Pembantu Dekan
II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
5. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H. selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara;
6. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum
Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai
Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan kepada Penulis
dalam mengerjakan skripsi;
7. Bapak Zulkifli Sembiring, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang
telah memberikan bimbingan kepada Penulis dalam mengerjakan skripsi.;
8. Bapak Edy Murya, S.H. selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis;
9. Bapak dan Ibu Dosen serta Pegawai Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara yang turut mendukung segala urusan perkuliahan dan
memberikan hal-hal yang dibutuhkan Penulis;
11. Terima kasih kepada teman-teman Angkatan 2009 FH Universitas
Sumatera Utara, Nella Octaviany Siregar, Netty Karolin Hutabarat, Joice,
Sherly, Esra, Ila, dan semua yang tidak dapat Penulis tuliskan satu persatu.
Semoga pertemanan ini selamanya dan sukses untuk kita semua. Tidak
lupa juga penulis ucapkan terima kasih kepada adik junior, Annisaa’
Lubis, yang membantu Penulis dalam berbagi informasi dan menjadi
teman seperjuangan skripsi.
12. Kepada sahabat Penulis, Qaws Quzan (Ajeng, Cai, Cekik, Lili, Mina,
Mutia, Nana, Nisha, Rahma, Tika, Una) yang selalu mengingatkan Penulis
mengerjakan skripsi ini dan memberikan dukungan kepada Penulis,
Penulis ucapkan terima kasih banyak;
13. Dan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi atas penulisan skripsi
ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, Penulis mengucapkan
terima kasih.
Demikian Penulis dapat sampaikan, atas segala kesalahan dan
kekurangannya penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Medan, April 2014
Penulis,
DAFTAR ISI ... iv
ABSTRAK ... vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Pemasalahan ... 6
C. Tujuan Penulisan ... 6
D. Manfaat Penulisan ... 7
E. Metode Penelitian ... 8
F. Keaslian Penulisan ... 10
G. Sistematika Penulisan ... 12
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN KERJA BERSAMA A. Perjanjian Pada Umumnya ... 15
B. Pengertian Perjanjian Kerja Bersama ... 30
C. Tata Cara Pembuatan dan Jangka Waktu Berlakunya Perjanjian Kerja Bersama ... 33
D. Syarat Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama ... 42
B. Macam Tenaga Kerja ... 52
C. Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja ... 55
D. Ruang Lingkup dan Dasar Hukum Perlindungan Tenaga Kerja .. 65
BAB IV ASPEK HUKUM HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KERJA DI PT. PERKEBUNAN NUSANTARA IV BAH JAMBI
A. Pengaturan Hak dan Kewajiban Para Pihak Terhadap Kesepakatan
Kerja di PTPN IV Bah Jambi ... 75
B. Perjanjian Kerja Para Pihak dalam Melindungi Hak-Hak dan Jaminan
Sosial Bagi Para Pekerja yang Sesuai dengan Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 ... 82
C. Penyelesaian Sengketa Terhadap Tenaga Kerja Tetap yang Tidak
Menjalankan Aturan Sesuai dengan Isi Perjanjian Kerja yang
Disepakati ... 88
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 97
B. Saran ... 99
Zulkifli Sembiring***)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan merupakan salah satu solusi dalam perlindungan buruh maupun majikan tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perlindungan buruh diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 67-101 meliputi perlindungan buruh penyandang cacat, anak, perempuan, waktu kerja, keselamatan dan kesehatan kerja, pengupahan, dan kesejahteraan. Perlindungan tenaga kerja yang bertujuan agar bisa menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi. Hal ini merupakan esensi dari disusunnya Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu mewujudkan kesejahteraan para pekerja/buruh yang akan berimbas terhadap kemajuan dunia usaha di Indonesia. Bertolak dari pemikiran tersebut, permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah tentang bagaimana pengaturan hak dan kewajiban para pihak terhadap kesepakatan kerja PTPN IV Bah Jambi, apakah perjanjian kerja sudah melindungi hak-hak dan jaminan sosial bagi para pekerja, dan bagaimana penyelesaian sengketa terhadap tenaga kerja tetap yang tidak menjalankan aturan yang disepakati.
Penulisan ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yakni penelitian yang mengkaji penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku serta untuk memperoleh data maupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur. Data diperoleh melalui studi kepustakaan (library research) yaitu pengumpulan bahan teori dari kepustakaan.
Dari penelitian yang telah dilakukan bahwa pengaturan hak dan kewajiban yang dijalankan PTPN IV Bah Jambi tertera dalam PKB perusahaan tersebut. Hubungan antara pekerja dan pengusaha merupakan hubungan yang berdimensi banyak. Perlindungan terhadap tenaga kerja diberikan dalam bentuk waktu kerja, pengupahan, kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan kerja. Dimana bentuk perlindungan tersebut sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Perlindungan tersebut juga harus sesuai dengan UUK. Mekanisme penyelesaian sengketa/perselisihan yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian kerja di PTPN IV Bah Jambi dapat dilakukan dengan cara non litigasi (diluar pengadilan) dan melalui musyawarah.
Kata Kunci : Tenaga Kerja, Perjanjian Kerja Bersama *) Mahasiswa Fakultas Hukum USU
Zulkifli Sembiring***)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan merupakan salah satu solusi dalam perlindungan buruh maupun majikan tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perlindungan buruh diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 67-101 meliputi perlindungan buruh penyandang cacat, anak, perempuan, waktu kerja, keselamatan dan kesehatan kerja, pengupahan, dan kesejahteraan. Perlindungan tenaga kerja yang bertujuan agar bisa menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi. Hal ini merupakan esensi dari disusunnya Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu mewujudkan kesejahteraan para pekerja/buruh yang akan berimbas terhadap kemajuan dunia usaha di Indonesia. Bertolak dari pemikiran tersebut, permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah tentang bagaimana pengaturan hak dan kewajiban para pihak terhadap kesepakatan kerja PTPN IV Bah Jambi, apakah perjanjian kerja sudah melindungi hak-hak dan jaminan sosial bagi para pekerja, dan bagaimana penyelesaian sengketa terhadap tenaga kerja tetap yang tidak menjalankan aturan yang disepakati.
Penulisan ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yakni penelitian yang mengkaji penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku serta untuk memperoleh data maupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur. Data diperoleh melalui studi kepustakaan (library research) yaitu pengumpulan bahan teori dari kepustakaan.
Dari penelitian yang telah dilakukan bahwa pengaturan hak dan kewajiban yang dijalankan PTPN IV Bah Jambi tertera dalam PKB perusahaan tersebut. Hubungan antara pekerja dan pengusaha merupakan hubungan yang berdimensi banyak. Perlindungan terhadap tenaga kerja diberikan dalam bentuk waktu kerja, pengupahan, kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan kerja. Dimana bentuk perlindungan tersebut sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Perlindungan tersebut juga harus sesuai dengan UUK. Mekanisme penyelesaian sengketa/perselisihan yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian kerja di PTPN IV Bah Jambi dapat dilakukan dengan cara non litigasi (diluar pengadilan) dan melalui musyawarah.
Kata Kunci : Tenaga Kerja, Perjanjian Kerja Bersama *) Mahasiswa Fakultas Hukum USU
A. Latar Belakang
Memasuki era globalisasi khususnya di sektor ketenagakerjaan akan
menghadapi tantangan yang cukup besar, persaingan antara dunia usaha akan
semakin ketat dan penggunaan teknologi maju akan semakin mendapat perhatian
sehingga pemilihan pekerja akan semakin selektif. Hanya pekerja yang memiliki
kualitas diri yang baik, intelektual maupun derajat kesehatan yang tinggi yang
pada akhirnya dapat meraih keberhasilan. Selain itu pemanfaatan pasar kerja
internasional menuntut pula berbagai persyaratan serta kualifikasi dan hubungan
antar manusia, serta keberhasilan pembinaan terhadap pekerja selama ini, akan
meningkatkan kesadaran hukum mereka yang menyangkut hak dan kewajiban
dalam hubungan industrial dan hal ini membuka peluang terjadinya perselisihan
industrial baik yang menyangkut hak dan kepentingan termasuk kesejahteraan,
keselamatan dan kesehatan kerja.1
Pembangunan nasional merupakan upaya untuk meningkatkan aspek
pembangunan ekonomi, manusia, hingga sosial budaya dengan tujuan untuk
mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur. Dengan pelaksanaan
1
pembangunan nasional, perluasan lapangan kerja dan tenaga kerja mempunyai
peran yang penting sebagai tujuan pembangunan.
Peran serta tenaga kerja dalam pembangunan nasional semakin meningkat
dengan disertai berbagai tantangan dan risiko yang dihadapinya. Oleh karena itu,
kepada tenaga kerja perlu diberikan perlindungan, pemeliharaan dan peningkatan
kesejahteraan, sehingga pada gilirannya akan dapat meningkatkan produktivitas
nasional.2 Bentuk perlindungan, pemeliharaan, dan peningkatan kesejahteraan
dimaksud diselenggarakan dalam bentuk program jaminan sosial tenaga kerja
yang bersifat dasar, dengan berasaskan usaha bersama, kekeluargaan, dan gotong
royong sebagaimana terkandung dalam jiwa dan semangat Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.3
Pembangunan dalam suatu negara tidak terlepas dari perekonomian negara
itu sendiri, yang pada hakekatnya pembangunan itu adalah merupakan suatu cara
atau dasar untuk memperkuat perekonomian negara yang bersangkutan. Disetiap
negara, selalu berusaha untuk meningkatkan perekonomian melalui suatu
pembangunan secara terus menerus dan berkelanjutan. Adapun pembangunan
yang terus menerus ditingkatkan adalah untuk menaikkan tingkat kehidupan
rakyat. Setiap negara di dunia ini mempunyai corak ekonomi yang berbeda-beda
dalam melaksanakan pembangunannya, namun tujuannya adalah tetap sama yaitu
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, sehingga akan terwujud ke satu
arah yang akan terpenuhinya kebutuhan yang beraneka ragam.
2
Ridwan Halim, Hukum Perburuhan Aktual, (Jakarta : Pradnya Paramitha, 1987), hlm. 1. 3
Peran pemerintah dalam mengatasi ketenagakerjaan di Indonesia harus
dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku. Karena persoalan
ketenagakerjaan adalah persoalan yang menyangkut hajat hidup orang. Besarnya
jumlah pengangguran di Indonesia disebabkan masih rendahnya kualitas tenaga
kerja dan rendanya pendidikan masyarakat serta penciptaan lapangan kerja yang
terbatas. Pengangguran merupakan salah satu masalah ketenagakerjaan yang
menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat, seperti kualitas
hidup menurun, meningkatnya angka kriminalitas, dan lingkungan kumuh. Untuk
mengatasi hal tersebut, selain upaya dan kebijakan pemerintah, masyarakat sendiri
pun perlu menciptakan dan mengembangkan lapangan kerja sendiri atau
membangun usaha mandiri.
Tenaga kerja dan pengusaha merupakan dua faktor yang tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dengan terjadinya sinergi kedua
faktor itu baru perusahaan akan berjalan dengan baik. Begitu pula sebaliknya,
seahli apapun tenaga kerja tanpa adanya perusahaan hanya akan melahirkan
produk pengangguran.4 Sisi lain, pengusaha sebagai pemilik perusahaan berada
pada posisi yang kuat sebab didukung modal yang besar, sedangkan tenaga kerja
berada pada posisi yang lemah karena hanya bermodalkan keahlian dan
intelektual. Hal ini sering digunakan oleh pengusaha yang nakal berbuat
semena-mena terhadap karyawan dalam mendapatkan hak-haknya seperti hak upah yang
layak, hak mendapatkan pesangon, hak istirahat, dan hak cuti serta hak
mendapatkan jaminan sosial.
Hak dan kewajiban tenaga kerja telah diatur dalam Undang-Undang No.
13 Tahun 2003 tentang Undang-Undang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut
dengan UUK) dan Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Undang-Undang
Serikat Pekerja/Serika Buruh (selanjutnya disebut dengan UUSP) serta Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : PER.16/MEN/XI/2011, di mana
hak merupakan suatu hal selayaknya diterima oleh pekerja sesuai kesepakatan
atau perjanjian dengan pihak pemberi kerja. Sedangkan kewajiban merupakan
sesuatu yang wajib dijalankan atau wajib dilaksanakan oleh pekerja sesuai dengan
kesepakatan atau perjanjian dengan pihak pemberi kerja. Dengan melaksanakan
hak dan kewajiban antara pekerja dan pemberi kerja berarti telah memenuhi apa
yang sudah disepakati bersama atau sudah diperjanjikan, masing-masing pihak
telah memenuhi prestasinya.
Hak dan kewajiban masing-masing pihak haruslah seimbang. Oleh sebab
itu, hak pekerja merupakan kewajiban pengusaha, dan sebaliknya hak pengusaha
merupakan kewajiban pekerja.5 Hak merupakan sesuatu yang harus diterima oleh
seseorang tanpa ada suatu persyaratan yang harus dipenuhi sehingga dapat
menimbulkan suatu keyakinan untuk dipertahankan dan dimiliki seutuhnya,
karena dengan memperoleh hak maka dapat digunakan untuk meningkatkan taraf
kehidupan seseorang dan keluarganya.6 Salah satu hak dari tenaga kerja adalah
5 Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 26.
6
hak menerima upah. Upah adalah sesuatu penerimaan sebagai imbalan dari
pengusaha kepada pekerja atas pekerjaan atau jasa yang telah dilakukan. Oleh
sebab itu, setelah melakukan pekerjaan secara gigih yang menyita tenaga dan
pikiran maka tenaga kerja berhak mendapatkan imbalan berupa upah, dan itu
merupakan kewajiban dari pengusaha untuk memberikan upah yang layak atas
prestasi kerja yang dilakukan oleh pekerja. Meskipun kadang kala upah tersebut
tidak cukup memenuhi kebutuhan, namun tugas tetap harus dikerjakan sebagai
konsekuensi seorang pekerja yang mempunyai kewajiban untuk melaksanakan
pekerjaan yang telah diperjanjikan sebelumnya. Keadaan tersebut diatas menjadi
penghalang terciptanya hubungan kerja yang harmonis, nyaman dan dinamis.
Hubungan Industrial yang harmonis, nyaman dan dinamis antara pekerja
dengan pengusaha akan berdampak pada peningkatan produktifitas kerja serta
peningkatan kesejahteraan pekerja. PT. Perkebunan Nusantara IV (Persero)
(selanjutnya disebut dengan PTPN IV) Bah Jambi sebagai Badan Usaha Milik
Negara merupakan salah satu pelaku ekonomi nasional disamping usaha swasta
dan koperasi. Sebagai Badan Usaha Milik Negara, PTPN IV merupakan salah satu
sumber pendapatan negara yang berasal dari dalam negeri. Mengingat begitu
penting dan strategis peranan PTPN IV sebagai salah satu BUMN maka
diperlukan suatu lingkungan kerja yang harmonis, nyaman dan dinamis sehingga
produktifitas meningkat yang berdampak pula pada peningkatan pendapatan
negara.
Berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik untuk menelaah lebih lanjut
tenaga kerja tetap yang dalam menjalankan perjanjian kerja yang telah disepakati,
yang akan dibahas dalam tulisan ini dengan mengangkat judul “Aspek Hukum
Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kerja Menurut Undang-Undang
Nomor 13 tahun 2003 (Studi pada Perjanjian Kerja PT. Perkebunan Nusantara IV
Bah Jambi dengan Tenaga Kerja Tetap)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan dengan latar belakang di atas, maka hal yang akan diteliti
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan hak dan kewajiban para pihak terhadap
kesepakatan kerja di PTPN IV Bah Jambi?
2. Apakah perjanjian kerja para pihak sudah melindungi hak-hak dan
jaminan sosial bagi para pekerja sesuai dengan undang-undang yang
berlaku?
3. Bagaimana penyelesaian sengketa apabila tenaga kerja tetap tidak
menjalankan aturan sesuai dengan isi perjanjian kerja yang telah
disepakati?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan perumusan masalah yang telah Penulis kemukakan di atas,
maka tujuan dari Penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaturan hak dan kewajiban para pihak di
2. Untuk mengetahui perjanjian kerja tersebut sudah melindungi hak-hak
dan jaminan sosial para pekerja sesuai dengan Undang-Undang
Ketenagakerjaan.
3. Untuk mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa apabila terjadi
sengketa antara perusahaan PTPN IV dengan pekerja.
D. Manfaat Penulisan
Dalam penulisan ini, selain terdapat tujuan yang akan dicapai, juga
berharap dapat memberikan manfaat yang berguna.
1. Manfaat Secara Teoritis
Pembahasan terhadap skripsi ini diharapkan akan memberikan pemahaman
dan pengetahuan bagi pembaca mengenai aturan hukum terhadap
perlindungan tenaga kerja, khususnya mengenai hak dan kewajiban
perusahaan perkebunan PTPN IV dan tenaga kerja perkebunan itu sendiri
agar dapat terpenuhi dan terlaksana dengan baik. Jadi, secara teoritis
diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembangan
ilmu pengetahuan hukum secara umum dan ilmu hukum perdata pada
khususnya. Selain itu juga diharapkan dapat menambah dan melengkapi
koleksi karya ilmiah dibidang keperdataan terkait dengan perlindungan
tenaga kerja.
2. Manfaat Secara Praktis
Manfaat praktis yang diperoleh dari penelitian ini yaitu untuk dapat
dengan tenaga kerja perkebunan serta untuk memenuhi ketentuan-ketentuan
yang berlaku bagi tenaga kerja perkebunan di PTPN IV Bah Jambi, sehingga
kesejahteraan para tenaga kerja perkebunan tersebut dapat terpenuhi.
E. Metode Penelitian
Diperlukan metode penelitian sebagai suatu tipe pemikiran yang secara
sistematis dipergunakan dalam penelitian dan penilaian skripsi ini, yang pada
akhirnya bertujuan mencapai keilmiahan dari penulisan skripsi ini. Dalam
penulisan skripsi ini, metode yang dipakai adalah sebagai berikut:
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah
metode yuridis normatif. Metode yuridis normatif digunakan dalam penelitian
ini guna melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku serta untuk memperoleh
data maupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur di
perpustakaan, jurnal hasil penelitian, situs internet, koran, dan sebagainya.7
Metode penelitian yuridis normatif ini dilakukan dengan meneliti
sumber-sumber bacaan yang relevan dengan judul skripsi ini baik yang bersifat
teoritis ilmiah serta dapat menganalisa masalah-masalah yang dibahas dalam
permasalahan skripsi ini. Nama lain dari penelitian yuridis normatif adalah
penelitian hukum doktrinal, juga disebut sebagai penelitian kepustakaan atau
studi dokumen.8
7 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung : Alumni, 1994), hlm. 139.
8
Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian deskriptif, yaitu
penelitian yang menggambarkan masalah dengan cara menjabarkan
fakta-fakta secara sistematik sehingga lebih mudah dipahami dan disimpulkan.
Kesimpulan yang diberikan selalu jelas data faktualnya sehingga semuanya
selalu dapat dikembalikan langsung pada data yang diperoleh.
2. Jenis dan Sumber Data
Penelitian yuridis normatif menggunakan jenis data sekunder sebagai data
utama. Data sekunder adalah data yang didapat data yang diperoleh melalui
bahan pustaka.9
Data sekunder yang dipakai Penulis adalah sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan
merupakan landasan utama yang dipakai dalam penulisan skripsi ini, yakni
terdiri dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
Ketenagakerjaan.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer10 seperti buku-buku yang berkaitan dengan
judul skripsi, artikel-artikel, hasil penelitian, laporan-laporan dan
sebagainya yang diperoleh baik melalui media cetak maupun media
elektronik.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberik petunjuk dan penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder. 11 Misalnya, kamus,
ensiklopedia, jurnal ilmiah, dan bahan-bahan lain yang relevan dan dapat
9
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 23. 10
Ibid. 11
dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan
skripsi ini.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang digunakan dalam Penulisan skripsi ini adalah
teknik studi kepustakaan (library research) dan juga melalui bantuan media
elektronik, yaitu internet. Untuk memeroleh data dari sumber ini, Penulis
memadukan, mengumpulkan, menafsirkan, dan membandingkan buku-buku
dan arti-arti yang berhubungan dengan judul skripsi ini.
4. Analisis Data
Pada peneliatan hukum normatif yang menelaah data sekunder, maka pada
umumnya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya.12 Metode
analisis data yang dilakukan Penulis adalah pendekatan kualitatif, yaitu
dengan:
a. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang
relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.
b. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut
di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas.
c. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan
kesimpulan dari permasalahan.
d. Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan yang
kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan
dan tulisan.
12
F. Keaslian Penulisan
Untuk mengetahui orisinalitas Penulisan skripsi, sebelum melakukan
Penulisan “Aspek Hukum Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kerja
Menurut Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 (Studi pada Perjanjian Kerja PT.
Perkebunan Nusantara IV Bah Jambi dengan Tenaga Kerja Tetap)”, Penulis
terlebih dahulu melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang
tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum / Perpustakaan Universitas
cabang Fakultas Hukum USU melalui surat tertanggal Nopember 20013
(terlampir) menyatakan bahwa “Tidak Ada Judul yang Sama”.
Adapun beberapa judul yang berkaitan dengan judul karya ilmiah Penulis
di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara antara lain sebagai
berikut:
1. Penulis : Sari Anggraini / 930200204
Judul : Aspek Hukum Perjanjian Kerjasama Pengangkutan
Tebu Antara PT. Perkebunan Nusantara II Pabrik
Gula Kuala Madu dengan Para Rekanan Angkutan.
Rumusan masalah :
1. Bagaimana perjanjian pada umumnya menurut KUH Perdata?
2. Sebagaimana dalam judul skripsi ini merupakan perjanjian kerja sama
pengangkutan, selain kita mengetahui perjanjian disini penulis
mempermasalahkan bagaimana juga halnya tentang pengangkutan itu
3. Bagaimana prosedur pengikatan perjanjian pengangkutan dan dengan
adanya perjanjian tersebut maka timbul hak dan kewajiban dari para pihak
yang mengadakan perjanjian tersebut, maka apa yang menjadi hak dan
kewajiban dari para pihak tersebut serta bagaimanaakibat hukumnya bila
terjadi kesalahan dari salah satu kedua belah pihak dan bagaimana pula
tentang masalah ganti ruginya.
2. Nama : Rehulina Sembiring / 930200185
Judul : Aspek Hukum Perjanjian Pemborongan Kerja Pada
Penggantian Pipa Superheater Ketel Uap Takuma
N-600 di Pabrik Minyak Sawit Tinjauan (Studi Pada
PT. Perkebunan Nusantara IV (Persero Pabatu).
Rumusan masalah :
1. Sejauh mana kekuatan hukum perjanjian pemborongan kerja bangunan.
2. Garansi bank sebagai jaminan pemborong atas pekerjaan yang harus
dilaksanakannya.
3. Pemilihan barang yang diadakan dalam pemborongan proyek atau
pengadaan barang/jasa pada pekerjaan borongan penggantian pipa
superheater di PMS Tinjowan.
Apabila ada tulisan yang hampir mirip, mungkin itu hanya dari segi
redaksi saja, karena muatan/substansinya jelas berbeda dengan tulisan karya
ilmiah ini.
Pembahasan dan penyajian suatu penelitian harus memiliki keteraturan
agar terciptanya karya ilmiah yang baik. Maka dari itu, Penulis membagi skripsi
ini dalam beberapa bab yang saling berkaitan satu sama lain, karena isi dari
skripsi ini bersifat berkesinambungan antara bab yang satu dengan bab yang
lainnya.
Adapun sistematika Penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah
sebagai berikut:
Bab I : PENDAHULUAN
Pada bab ini dikemukakan tentang Latar Belakang yaitu apa yang
melatarbelakangi Penulis mengangkat judul, Perumusan Masalah yaitu
hal yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini, Tujuan Penulisan
yaitu dan Manfaat Penulisan yaitu maksud dari Penulis dalam menulis
skripsi ini, Metode Penelitian yang memaparkan metode yang
digunakan Penulis dalam mengkaji permasalahan, Keaslian Penulisan
yaitu pemaparan yang membuktikan bahwa skripsi ini asli berasal dari
pemikiran Penulis dan belum pernah dibahas sebelumnya di lingkungan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan Sistematika
Penulisan yang semuanya berkaitan dengan Hak dan Kewajiban Para
Pihak dalam Perjanjian Kerja.
Bab II : TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN KERJA BERSAMA
Bab ini merupakan awal dari pembahasan terhadap permasalahan yang
telah dirumuskan dalam pendahuluan. Adapun yang dibahas adalah
Cara Pembuatan dan Jangka Waktu Berlakunya Perjanjian Kerja
Bersama, Syarat Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama, Manfaat
Dibentuknya Perjanjian Kerja Bersama.
Bab III : TENAGA KERJA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR
13 TAHUN 2003
Pada bab ini yang menjadi pembahasan adalah Pengertian Tenaga
Kerja, Macam-macam Tenaga Kerja, Hak dan Kewajiban Tenaga
Kerja, Ruang Lingkup dan Dasar Hukum Perlindungan Tenaga Kerja.
Bab IV : ASPEK HUKUM HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM
PERJANJIAN KERJA DI PT. PERKEBUNAN NUSANTARA IV
BAH JAMBI
Sebagai kelanjutan bab sebelumnya, bab ini akan membahas
Pengaturan Hak dan Kewajiban Para Pihak Terhadap Kesepakatan
Kerja, Perjanjian Kerja Para Pihak dalam Melindungi Hak-Hak dan
Jaminan Sosial Bagi Para Pekerja yang sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003, Penyelesaian Sengketa Terhadap Tenaga Kerja
Tetap yang Tidak Menjalankan Aturan Sesuai dengan Isi Perjanjian
Kerja yang Disepakati.
Bab V : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan akhir dari Penulisan skripsi. Pada bab ini akan
dikemukakan kesimpulan dari bagian awal hingga bagian akhir
ini dan poin-poin yang berisi saran-saran konstruktif yang Penulis
BERSAMA
A. Perjanjian Pada Umumnya
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua
pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak
yang lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.13 Hubungan
hukum yang menerbitkan perikatan itu bersumber pada perjanjian atau sumber
lainnya, yaitu undang-undang. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1233
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut dengan KUH Perdata)
bahwa perikatan dapat bersumber dari perjanjian dan undang-undang.
Perikatan yang lahir dari undang-undang tidak ada kesepakatan dari para
pihak ataupun tidak dari kemauan para pihak, sedangkan perikatan yang lahir dari
perjanjian merupakan kesepakatan dari para pihak yang membuat perjanjian.14
Hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu
menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber terpenting yang melahirkan
perikatan, karena perjanjian merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh
dua pihak, sedangkan perikatan lahir dari undang-undang dibuat tanpa kehendak
dari para pihak yang bersangkutan. Dengan kata lain perikatan merupakan
13
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Bandung : Intermasa, 1978), hlm. 1. 14
pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian merupakan suatu hal yang konkrit
atau merupakan suatu peristiwa.15 Dalam Pasal 1313 KUH Perdata dinyatakan
bahwa “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Maksudnya bahwa
perjanjian suatu perbuatan dari para pihak yang ditujukan agar timbul akibat
hukum. Dengan demikian, perjanjian adalah suatu hubungan timbal balik,
maksudnya suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu juga
menerima kewajiban-kewajiban yang merupakan konsekuensi dari menerima
hak-hak yang diperolehnya.16
Wirjono Prodjdikoro menyatakan bahwa “Perjanjian adalah suatu
perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana
satu pihak berjanji atau dianggap tidak berjanji untuk melakukan suatu hal atau
tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak yang lain berhak untuk menuntut
pelaksaaan janji tersebut”.17 Menurut M. Yahya Harahap, perjanjian mengandung
suatu pengertian yang memberikan sesuatu hak pada suatu pihak untuk
memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk
menunaikan prestasi.18
Perbuatan hukum yang mengikat antara para pihak yang terlibat dalam
suatu hubungan hukum diawali dengan adanya suatu perjanjian. Setiap orang
diberikan kebebasan untuk mengadakan perjanjian atau perikatan sepanjang tidak
melanggar batasan yang telah ditentukan. Berdasarkan kehendak dari para pihak
15
Ibid. 16Ibid. 17
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu, (Bandung : Sumur, 1981), hlm. 11.
18
yang membuat perjanjian maka dapat diadakan pengecualian terhadap berlakunya
pasal-pasal dari hukum yang terdapat dalam KUH Perdata.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman bahwa :
Diizinkan orang membuat peraturansendiri karena pasal-pasal dari hukum perjanjian itu tidak lengkap, itulah yang menyebabkan sifat hukum perjanjian disebut dengan hukum pelengkap (optimal law) selanjutnya bahwa asas yang menentukan bahwa setiap orang adalah bebas atau leluasa memperjanjikan apa saja disebut atas kebebasan berkontrak yang berhubungan dengan isi perjanjian dan asas harus merupakan sesuatu yang halal.19
Hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perikatan, bahkan
sebagian ahli hukum menempatkan sebagai bagian dari hukum perjanjian karena
kontrak sendiri ditempatkan sebagai perjanjian tertulis. Pembagian antara hukum
kontrak dan hukum perjanjian tidak dikenal dalam KUH Perdata, karena dalam
KUH Perdata hanya dikenal perikatan yang lahir dari perjanjian dan yang lahir
dari undang-undang.20
Ahmadi Miru menyatakan bahwa:21
Perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang, perikatan yang bersumber dari undang-undang dibagi dua, yaitu dari undang-undang saja dan dari undang-undang karena perbuatan manusia. Selanjutnya, perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia dapat dibagi dua yaitu, perbuatan yang sesuai hukum dan perbuatan yang melanggar hukum.
Abdulkadir Muhammad menyatakan Pasal 1313 KUH Perdata kurang
memuaskan karena ada kelemahannya yaitu:22
19
Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III, Hukum Perikatan dengan Penjelasan, (Bandung : Alumni, 1983), hlm. 110
20
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak (Perancangan Kontrak), (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 1.
21
1. Hanya menyangkut sepihak saja. Dari rumusan ini diketahui satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih. Kata kerja “mengikat” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu saling “mengikat diri” terlihat dari adanya consensus dari kedua belah pihak.
2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus maksudnya dalam pengertian “perbuatan” termasuk tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming) dan tindakan melawan hukum yang tidak mengandung adanya consensus. Seharusnya dipakai kata “persetujuan” saja.
3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Dikatakan terlalu luas karena terdapat juga dalam lapangan hukum keluarga yang terdapat dalam buku I seperti janji kawin, pelangsungan perkawinan. Sedangkan perjanjian yang dikehendaki oleh buku III KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan bukan bersifat personal.
4. Dalam rumusan pasal tersebut tidak disebutkan tujuan mengaddakan perjanjian, sehingga para pihak mengikat dirinya tidak untuk apa.
Berdasarkan alasan yang dikemukakan di atas menurut Abdulkadir
Muhammad, perjanjian adalah “suatu persetujuan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan diri untuk melakukan suatu hal dalam lapangan harta
kekayaan”.23 Ia juga menyebutkan bahwa di dalam suatu perjanjian termuat
beberapa unsur, yaitu:
a. Adanya pihak-pihak
b. Adanya persetujuan antara para pihak c. Adanya tujuan yang akan dicapai d. Sepakat mereka yang mengikatkan diri e. Kecakapan membuat suatu perjanjian24
Perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu bisa dikatakan
sebagai suatu perjanjian yang sah dan sebagai akibatnya perjanjian akan mengikat
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karena itu agar
keberadaan suatu perjanjian diakui oleh undang-undang (Legally concluded
22
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung : Alumni, 1982), hlm. 78. 23
Ibid. 24
contract) haruslah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh
undang-undang. Adapun syarat sahnya suatu perjanjian telah ditentukan di dalam Pasal
1320 KUH Perdata, dinyatakan bahwa untuk sahnya perjanjian-perjanjian
diperlukan empat syarat, yakni:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Syarat pertama sahnya kontrak adalah kesepakatan para pihak yang
mengadakan perjanjian atas hal-hal yang diperjanjikan. Kesepakatan adalah
persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak
lainnya.25 Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak
dapat dilihat/diketahui orang lain. Ada lima cara terjadinya persesuaian
pernyataan kehendak, yaitu dengan:26
1. Bahasa yang sempurna dan tertulis;
2. Bahasa yang sempurna secara lisan;
3. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena
dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa
yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;
4. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;
5. Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.
Kesepakatan terjadi melalui 4 (empat) teori, yaitu:
1. Teori Pernyataan (Uitingstheorie)
Menurut teori pernyataan, kesepakatan terjadi pada saat pihak yang
menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu.
25
Salim H.S, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), hlm. 33.
Kelemahan teori ini adalah sangat teoretis karena dianggap terjadinya
kesepakatan secara otomatis.
2. Teori Pengiriman (Verzendtheorie)
Menurut teori ini, kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima
penawaran mengirimkan telegram. Kelemahannya yaitu perjanjian telah
mengikat pada saat orang yang menawarkan sendiri tidak tahu tanggal
berapa, sehingga tidak dapat diterima berdasarkan kepatutan.
3. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie)
Teori ini berpendapat bahwa kesepakatan terjadi apabila pihak yang
menawarkan mengetahui adanya penerimaan, tetapi penerimaan itu belum
diterimanya (tidak diketahui secara langsung). Kelemahannya, bagaimana
ia mengetahui isinya apabila ia belum menerimanya.
4. Teori Penerimaan (Ontvangstheorie)
Menurut teori ini bahwa kesepakatan terjadi padasaat pihak yang
menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.
5. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Kecakapan bertindak adalah kemampuan untuk melakukan perbuatan
hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat
hukum. Orang-orang yang membuat perjanjian haruslah orang yang cakap dan
mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang
ditentukan oleh undang-undang. Dalam Pasal 1329 KUH Perdata dinyatakan
undang-undang tidak dinyatakan tak cakap. Dalam Pasal 330 KUH Perdata dinyatakan
bahwa seorang dianggap tidak cakap untuk melakukan perjanjian jika belum
genap berumur 21 tahun, kecuali ia telah kawin sebelum itu. Sebaliknya setiap
orang yang berumur 21 tahun keatas, oleh hukum dianggap cakap, kecuali
karena suatu hal dia ditaruh di bawah pengampuan, seperti gelap mata, dungu,
sakit ingatan, atau pemboros. Sementara itu, dinyatakan dalam Pasal 1330
KUH Perdata, bahwa tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah:
1. Orang-orang yang belum dewasa;
2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan
semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
perjanjian tertentu.
Khusus huruf c diatas mengenai perempuan dalam hal yang ditetapkan
dalam undang-undang sekarang ini tidak dipatuhi lagi, setelah dikeluarkan
SEMA Nomor 3 Tahun 1963, maka sejak saat itu hak perempuan dan laki-laki
telah disamakan dalam hal membuat perjanjian. Dalam membuat sesuatu
perjanjian seseorang haruslah cakap bertindak dalam perbuatan hukum, karena
dalam perjanjian itu seseorang terikat untuk melaksanakan suatu prestasi dan
harus dapat mempertanggungjawabkannya.27
Subjek dari perjanjian harus cakap bertindak menurut hukum. Dalam hal
ini akan terikat dengan segala ketentuan yang telah disepakati bersama, maka
ia harus mampu bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Orang yang tidak
27
sehat pikirannya walaupun telah dewasa, tidak dapat menyelenggarakan
kepentingannya dengan baik dan memerlukan bantuan dari pihak lain untuk
menyelenggarakan kepentingannya. Ketidakcakapan ini disebut tidak cakap
untuk mengadakan hubungan hukum, hal ini dikarenakan ia tidak dapat
menentukan mana yang baik dan mana yang tidak baik.28
Orang yang belum dewasa, umumnya belum dapat menentukan dengan
sempurna dan tidak mampu mengendalikan ke arah yang baik, sehingga ia
dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian.
Sedangkan orang yang berada di bawah pengampuan adalah orang yang
berdasarkan keputusan hakim dinyatakan bahwa ia tidak mampu/pemboros di
dalam mengendalikan keinginannya sehingga bagi mereka harus ada wakil dari
orang tertentu untuk menyelenggarakan kepentingannya.29 Setiap orang yang
sudah dewasa dan sehat pikirannya cakap bertindak menurut hukum. Ahmadi
Miru mengatakan bahwa:
Seorang dikatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum jika orang tersebut belum cukup 21 tahun, kecuali jika ia telah kawin sebelum cukup 21 tahun. Sebaliknya setiap orang yang telah berumur 21 tahun ke atas, oleh hukum dianggap telah cakap kecuali karena suatu hal ditaruh di bawah pengampuan, seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan atau pemboros.30
4. Suatu hal tertentu (adanya objek perjanjian)
KUH Perdata hanya menekankan pada perikatan untuk memberikan atau
menyerahkan sesuatu. Namun demikian jika diperhatikan lebih lanjut, apapun
sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, KUH Perdata hendak menjelaskan
bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan atau
eksistensi dari suatu kebendaan yang tertentu. 31 Pada perikatan untuk
memberikan sesuau kebendaan yang akan diserahkan berdasarkan suatu
perikatan tertentu tersebut haruslah sesuai yang telah ditentukan secara pasti.
Dalam jual beli misalnya, setiap kesepakatan antara penjual dan pembeli
mengenai kebendaan yang dijual atau dibeli harus telah ditentukan terlebih
dahulu kebendaannya. Jika sebuah sepeda motor, maka harus ditentukan merek
sepeda motor tersebut, kapasitasnya, serta spesifikasi lain yang melekat pada
kebendaan sepeda motor yang dipilih tersebut, sehingga tidak akan
menerbitkan keraguan mengenai sepeda motor lainnya yang serupa tetapi
bukan yang dimaksudkan. Pada perikatan untuk melakukan sesuatu, hal yang
wajib dilakukan oleh salah satu pihak dalam perikatan tersebut (debitur)
pastilah juga berhubungan dengan suatu kebendaan tertentu, baik itu berupa
kebendaan berwujud maupun kebendaan tidak berwujud. Dalam perjanjian
penanggungan utang misalnya, seorang penanggung yang menanggung utang
seorang debitur, harus mencantumkan secara jelas utang mana yang ditanggung
olehnya, berapa besarnya, serta sampai seberapa jauh ia dapat dan baru
diwajibkan untuk memenuhi perikatannya kepada kreditur, atas kelalaian atau
wanprestasi dari pihak debitur. Pasal 1824 KUH Perdata dinyatakan bahwa :
“penanggungan utang tidak dipersangkakan, tetapi harus diadakan dengan
pernyataan yang tegas, tidaklah diperbolehkan untuk memperluas
31
penanggungan hingga melebihi ketentuan-ketentuan yang menjadi syarat
sewaktu mengadakannya.” Dalam pandangan KUH Perdata, kewajiban
penanggungan yang diberikan oleh penanggung adalah penanggungan utang
terhadap hak tagih kreditur kepada debitur, dimana penanggung akan
memenuhi kewajiban debitur yaitu untuk membayar hak tagih kreditur
manakala debitur cidera janji. Dalam hal yang demikian, berarti hak tagih
kreditur adalah kebendaan yang dinyatakan dalam Pasal 1333 KUH Perdata,
harus telah dapat ditentukan terlebih dahulu. Dalam perikatan untuk tidak
melakuan atau tidak berbuat sesuatu, KUH Perdata juga menegaskan kembali
bahwa apapun yang ditentukan untuk tidak dilakukan atau diperbuat, pastilah
merupakan kebendaan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang pasti
harus telah dapat ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Dalam perjanjian
untuk merahasiakan sesuatu (confidentially agreement) misalnya, apa-apa saja
yang wajib dirahasiakan oleh debitur misalnya terhadap hak (atas kekayaan
intelektual) milik kreditur, yang dalam pandangan KUH Perdata adalah juga
merupakan kebendaan yang telah tertentu sifatnya. Suatu perjanjian
merahasiakan saja tanpa menjelaskan apa yang harus dan wajib dirahasiakan
belumlah merupakan perjanjian yang mengikat pada pihak, dan karenanya
belum menerbitkan perikatan bagi para pihak. Jadi jelaslah bahwa dalam
pandangan KUH Perdata, yang dimaksudkan dengan kebendaan yang telah
ditentukan jenisnya, meliputi tidak hanya perikatan untuk memberikan sesuatu,
melainkan juga dalam perikatan untuk berbuat sesuatu dan juga perikatan
KUH Perdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan
rumusan dalam Pasal 1333 KUH Perdata, dinyatakan bahwa “suatu perjanjian
harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang
paling sedikit ditentukan jenisnya.” Tidak menjadi halangan bahwa jumlah
barangnya tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat dihitung atau
ditetapkan.
5. Suatu sebab yang halal
Menurut undang-undang, sebab yang halal adalah jika tidak dilarang oleh
undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum,
ketentuan ini dinyatakan dalam Pasal 1337 KUH Perdata.
Perjanjian yang berisi suatu sebab yang tidak halal, maka perjanjian itu
batal demi hukum. Dengan demikian, tidak ada dasar untuk menuntut
pemenuhan perjanjian di muka hakim, karena sejak semula dianggap tidak
pernah ada perjanjian. Demikian juga apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa
sebab, ia dianggap tidak pernah ada.32
Dari keempat syarat tersebut, secara garis besarnya dapat digolongkan
menjadi dua syarat pokok yaitu sebagai berikut:
1. Syarat Subjektif
Syarat subjektif adalah suatu syarat yang menyangkut pada subjek-subjek
perjanjian itu atau dengan perkataan lain, syarat-syarat yang harus dipenuhi
oleh mereka yang membuat perjanjian di mana hal ini meliputi kesepakatan
32
mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan pihak yang membuat
perjanjian.
2. Syarat Objektif
Syarat objektif adalah syarat yang menyangkut pada objek perjanjian itu,
hal ini meliputi suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Akibat hukum
dari kedua syarat tersebut apabila tidak dapat terpenuhi adalah batal demi
hukum (Pasal 1446 KUH Perdata). Dalam syarat subjektif, apabila perjanjian
yang disepakati itu diberikan karena kekhilafan, dengan paksaan, atau
penipuan maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Lebih lanjut lagi dapat
diperjelas, kalau akibat hukum itu dapat dibatalkan, ini berarti sebelum
dilakukan pembatalan tersebut perjanjian itu adalah sah, sahnya sampai
diadakannya pembatalan itu. Sedangkan kalau akibatnya batal demi hukum, ini
berarti sejak lahirnya perjanjian itu sudah batal atau perjanjian itu memang ada
tapi tidak berlaku atau dianggap tidak pernah ada.33
Perjanjian dikenal beberapa asas penting, yaitu:34
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata, yang dinyatakan “semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas
kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada
para pihak untuk :
1. Membuat atau tidak membuat perjanjian
33
A Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, (Yogyakarta : Liberty, 1985), hlm 13.
34
2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan,dan persyaratannya
4. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Asas kebebasan berkontrak adalah setiap orang bebas mengadakan suatu
perjanjian apa saja baik perjanjian itu sudah diatur dalam undang-undang
maupun belum diatur dalam undang-undang.35
Asas kebebasan seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata bukan berarti bahwa tidak ada batasannya sama sekali, melainkan
kebebasan seseorang dalam membuat perjanjian tersebut tidak bertentangan
dengan kesusilaan, ketertiban umum, dan undang-undang sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 1337 KUH Perdata.
5. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dinyatakan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata.
Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian, yaitu
adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan asas
yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara
formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang
dibuat oleh kedua belah pihak. Asas konsensualisme yang dikenal dalam
KUH Perdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.
Syarat sahnya suatu perjanjian, bahwa harus ada kata sepakat dari mereka
yang membuat perjanjian. Asas ini penting sekali dalam suatu perjanjian,
35
sebab dengan kata sepakat ini sudah timbul adanya suatu perjanjian sejak
tercapainya kata sepakat. Sejak tercapainya kata sepakat maka perjanjian itu
sudah mempunyai akibat hukum dan mengikat mengenai hal-hal yang pokok
dari apa yang diperjanjikan itu.36
6. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum.
Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda
merupakan asas bahwa hakim atau pihak yang berkepentingan harus
menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana
layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi
terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
Asas pacta sunt servanda dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, yang berbunyi “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang”.
Asas pacta sunt servanda ini dalam suatu perjanjian bermaksud untuk
mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak yang telah membuat
perjanjian itu. Asas pacta sunt servanda dalam suatu perjanjian yang mereka
buat mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.37
7. Asas Itikad Baik (Goede Trouw)
Asas iktikad baik dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata
yaitu “perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Asas iktikad baik
merupakan asas bahwa para pihak yaitu pihak kreditur dan debitur harus
36
Ibid, hlm. 21. 37
melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan
yang teguh atau kemauan baik dari pihak.
Asas itikad baik ini dapat dibedakan antara itikad baik yang subjektif dan
itikad baik yang objektif.38 Itikad baik dalam pengertian yang subjektif dapat
diartikan sebagai kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan
hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu
diadakan perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik dalam pengertian yang
objektif, maksudnya bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan
pada norma kepatutan atau apa-apa yang dirasakan sesuai dengan yang patut
dalam masyarakat (Pasal 1339 KUH Perdata).
8. Asas Kepribadian (Personalitas)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang
akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan
perseoranagan saja. Asas ini dinyatakan dalam Pasal 1315 KUH Perdata,
yaitu “pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama
sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”.
Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang
dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum
pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri. Namun
ketentuan itu ada pengecualiannya, sebagaimana yang dinyatakan dalam
Pasal 1317 KUH Perdata bahwa dapat pula perjanjian diadakan untuk
kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri,
38
atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam
itu. Pasal ini menyatakan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian
untuk kepentingan pihak ketiga dengan suatu syarat yang ditentukan.39
B. Pengertian Perjanjian Kerja Bersama
Istilah Perjanjian Kerja Bersama (selanjutnya disebut dengan PKB) timbul
setelah diundangkannya UUSP, dimaksudkan untuk mengganti istilah sebelumnya
yaitu Kesepakatan Kerja Bersama (KKB), dikarenakan pembuat undang-undang
berpendapat bahwa pengertian dari PKB sama dengan KKB. UUK menggunakan
istilah PKB, karena substansi PKB ini sendiri memuat syarat-syarat kerja hak dan
kewajiban kedua belah pihak yang dihasilkan melalui perundingan atau perjanjian
dan isinya bersifat mengikat.
Sentanoe Kertonegoro berpendapat lain mengenai persamaan pengertian
PKB dengan KKB, beliau menyatakan bahwa:
PKB adalah:
1. Merupakan dasar dari individualisme dan liberalisme yang berpendapat bahwa diantara pekerja/buruh dengan pengusaha adalah dua pihak yang memiliki kepentingan berbeda dalam perusahaan. 2. Bebas untuk melakukan perundingan dan juga membuat perjanjian
tanpa adanya campur tangan dari pihak lain.
3. Dibuat melalui perundingan yang bersifat tawar-menawar masing-masing pihak akan berusaha memperkuat kekuatan tawar-menawar, bahkan dengan menggunakan senjata mogok dan penutupan perusahaan.
4. Hasilnya adalah perjanjian yang merupakan keseimbangan dari kekuatan tawar-menawar.
Adapun KKB, yaitu:
1. Dasar adalah hubungan industrial Pancasila berpandangan bahwa antara pekerja dan pengusaha terdapat hubungan yang bersifat kekeluargaan dan gotong-royong.
39
2. Mereka bebas melakukan perundingan dan memuat perjanjian asal saja, tetapi memperhatikan kepentingan yang lebih luas, yaitu masyarakat, bangsa, dan negara.
3. Dibuat melalui musyawarah untuk mufakat, tidak melalui kekuatan tawar-menawar, tetapi yang diperlukan sifat yang keterbukaan, kejujuran, dan pemahaman terhadap kepentingan semua pihak. Kehadiran serikat pekerja dalam rangka meningkatkan kerja sama dan tanggung jawab.
4. Hasilnya adalah suatu kesepakatan yang merupakan titik optimal yang bisa dicapai menurut kondisi yang ada, dengan memperhatikan kepentingan semua pihak.40
Perbedaan antara PKB dengan KKB, tampak ada peluang yang dapat digunakan
oleh majikan dalam memanfaatkan suatu keadaan dari pengertian KKB untuk
menekankan buruh dalam memperjuangkan haknya. Pada pengertian KKB, lebih
ditekankan bahwa semua pihak tidak hanya mengutamakan kepentingannya,
tetapi juga harus memperhatikan juga kepentingan bangsa dan negara. Sebagai
contoh pemerintah telah menetapkan upah minimum provinsi/kota.41
Pasal 1 angka 21 UUK dinyatakan pengertian PKB adalah perjanjian yang
merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat
pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan
pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang membuat
syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.
PKB merupakan perundingan para pihak terkait yaitu serikat
pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh dengan
pengusaha atau beberapa pengusaha yang mengatur syarat-syarat kerja, serta hak
dan kewajiban masing-masing pihak. PKB tidak hanya mengikat para pihak yang
40 Sentanoe Kertonegoro, Hubungan Industrial, Hubungan antara Pengusaha dan Pekerja (Bipartid) dan Pemerintah (Tripartid), (Jakarta : YTKI, 1999), hlm. 106.
41
membuatnya yaitu serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha saja tetapi juga
mengikat pihak ketiga yang tidak ikut dalam perundingan yaitu pekerja/buruh,
terlepas dari apakah pekerja/buruh tersebut menerima atau menolak isi PKB dan
apakah pekerja/buruh tersebut menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh yang
berunding atau tidak.42 Perundingan PKB harus didasari dengan itikad baik dan
kemauan bebas kedua belah pihak secara musyawarah dan mufakat sehingga hasil
yang dicapai dapat dilaksanakan bersama dalam upaya menciptakan hubungan
yang harmonis didalam perusahaan.
Penggunaan istilah bersama dalam PKB ini memberikan kekuatan
berlakunya perjanjian yaitu adanya kekuatan mengikat pengusaha, atau beberapa
pengusaha, serikat pekerja/buruh, dan pekerja/buruh itu sendiri. Dalam suatu
perusahaan hanya boleh dibuat 1 (satu) PKB yang berlaku untuk pengusaha dan
semua pekerja/buruh di perusahaan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar dalam satu
perusahaan tidak terdapat perbedaan syarat-syarat kerja antara pekerja/buruh satu
dengan pekerja/buruh lainnya. Apabila perusahaan memiliki cabang perusahaan,
maka dapat dibuat PKB induk yang berlaku untuk di semua cabang dan PKB
turunan yang berlaku untuk di masing-masing cabang perusahaan. PKB induk
mengatur ketentuan-ketentuan yang berlaku umum di seluruh cabang perusahaan
dan PKB turunan memuat pelasanaan PKB induk yang disesuaikan dengan
kondisi masing-masing cabang perusahaan. Apabila belum ada kesepakatan dalam
PKB turunan maka tetap berlaku PKB induk (Pasal 13 Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor : PER.16/MEN/XI/2011).
42
C. Tata Cara Pembuatan dan Jangka Waktu Berlakunya Perjanjian Kerja Bersama
PKB dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat
pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab
dibidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.
Pihak-pihak yang dapat mengadakan PKB sebagaimana ditetapkan dalam
Pasal 12 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor :
PER.16/MEN/XI/2011 adalah:
1. Dari pihak pengusaha, yaitu:
1. Pengusaha, atau
2. Perkumpulan atau perkumpulan-perkumpulan pengusaha yang
berbadan hukum.
3. Dari pihak pekerja, yaitu:
1. Serikat pekerja, atau
2. Serikat-serikat pekerja yang telah terdaftar pada Departemen Tenaga
Kerja.
Membangun hubungan industrial di perusahaan tanpa kehadiran serikat
pekerja, bukanlah sesuatu hal yang mustahil dan tidak bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan yang berlaku di bidang ketenagakerjaan yang ada di
Indonesia. Banyak perusahaan yang tidak membentuk serikat pekerja. Namun
demikian, pihak perusahaan harus berhati-hati dalam merencanakan dan
melaksanakannya. Hal ini penting untuk menghindarkan perusahaan dari tuntutan
merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/Buruh.
Hubungan industrial tanpa keterlibatan serikat pekerja, dapat dibangun
apabila faktor-faktor yang dapat menahan upaya pengorganisasian serikat pekerja
telah dimiliki atau telah dibangun oleh pihak perusahaan. Faktor-faktor tersebut
adalah:43
1. Faktor faktor yang dapat menurunkan kesempatan terjadinya
pengorganisasian serikat pekerja
1. Adanya keyakinan dari karyawan bahwa atasannya tidak
memanfaatkannya.
2. Para karyawan yang bangga dengan pekerjaannya.
3. Catatan-catatan mengenai prestasi kerja yang baik disimpan oleh
perusahaan. Para karyawan merasa aman saat mereka mengetahui
bahwa upaya-upaya mereka diakui dan dihargai.
4. Tidak adanya tuntutan atas perlakuan yang sewenang-wenang. Para
karyawan menghargai disiplin yang tegas tapi adil.
5. Faktor-faktor di dalam perusahaan yang dapat menahan munculnya
keinginan membentuk serikat pekerja
1. Komunikasi yang efektif.
2. Kepercayaan dan keterbukaan.
43
3. Kompensasi yang efektif dengan sistim penggajian dan kesejahteraan
diberikan secara tepat guna kepada karyawan untuk mendorong mereka
berprestasi secara maksimal di dalam perusahaan.
4. Lingkungan kerja yang sehat dan aman.
UUK menjelaskan bahwa dalam hal disatu perusahaan hanya terdapat satu
serikat pekerja/serikat buruh, maka serikat pekerja/serikat buruh tersebut berhak
mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan PKB dengan pengusaha
apabila memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah
seluruh pekerja/buruh diperusahaan yang bersangkutan (Pasal 119 ayat 1 UUK).
Dalam hal disatu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh
tetapi tidak memiliki anggota lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah
seluruh pekerja/buruh di perusahaan, maka serikat pekerja/serikat buruh dapat
mewakili pekerja/buruh dalam melakukan perundingan dengan pengusaha apabila
serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat dukungan lebih
50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui
pemungutan suara (Pasal 19 ayat 2 UUK). Dalam hal dukungan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) tidak tercapai maka serikat pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan dapat mengajukan kembali permintaan untuk merundingkan PKB
dengan pengusaha setelah melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung
sejak dilakukannya pemungutan suara dengan mengikuti prosedur semula.44
Tempat perundingan pembuatan PKB dilakukan di kantor perusahaan yang
bersangkutan atau kantor serikat pekerja/serikat buruh atau tempat lain sesuai
44
dengan kesepakatan kedua belah pihak. Biaya perundingan PKB menjadi beban
pengusaha, kecuali disepakatan lain oleh kedua pihak (Pasal 17 Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : PER.16/MEN/XI/2011).
Perundingan pembuatan PKB dimulai dengan menyepakati terlebih dahulu
tata tertib dalam perundingan yang sekurang-kurangnya memuat (Pasal 17
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor :
PER.16/MEN/XI/2011):
1. Tujuan pembuatan tata tertib,
2. Susunan tim perunding,
3. Lamanya masa perundingan,
4. Materi perundingan,
5. Tempat perundingan,
6. Tata cara perundingan,
7. Cara penyelesaian apabila terjadi kebuntuan perundingan,
8. Sahnya perundingan, dan
9. Biaya perundingan
Tim perunding merupakan perwakilan dari masing-masing pihak (serikat
pekerja dan pengusaha) dengan pemberian kuasa penuh untuk melakukan
perundingan pembuatan PKB dengan ketentuan masing-masing paling banyak 9
(sembilan) orang dengan kuasa penuh. Ketentuan tata cara pembuatan PKB
menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor :
1. PKB dirundingkan oleh serikat pekerja atau beberapa serikat pekerja
yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab dibidang
ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha. Salah
satu pihak (serikat pekerja/serikat buruh atau pengusaha) mengajukan
pembuatan PKB secara tertulis, disertai konsep PKB;
2. Minimal anggota serikat pekerja/serikat buruh 50% (lima puluh
persen) dari jumlah pekerja/buruh yang ada pada saat petama
pembuatan PKB;
3. Perundingan dimulai paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak
permohonan tertulis;
4. Pihak-pihak yang berunding adalah pengurus serikat pekerja/serikat
buruh dan pimpinan perusahaan dengan membawa surat kuasa
masing-masing;
5. Perundingan dilaksanakan oleh tim perunding (negosiator) dengan
jumlah masing sesuai kebutuhan dengan ketentuan
masing-masing paling banyak 9 (sembilan) orang;
6. Batas waktu perundingan bipartid sesuai kesepakatan dalam tata
tertib, apabila dalam perundingan PKB tidak selesai dalam waktu
yang disepakati dalam tata tertib, maka kedua belah pihak dapat
menjadwal kembali perundingan dengan waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari setelah perundingan gagal;
7. Apabila dalam hal perundingan pembuatan PKB masih belum selesai
kembali, maka para pihak harus membuat pernyataan secara tertulis
bahwa perundingan tidak dapat diselesaikan pada waktunya yang
memuat:
1. Materi perjanjian kerja bersama yang belum mencapai
kesepakatan;
2. Pendirian para pihak;
3. Risalah perundingan;
4. Tempat, tanggal dan tanda tangan para pihak.
5. Dalam hal perundingan pembuatan PKB tidak mencapai kesepakatan
sebagaimana dimaksud dalam poin 6 maka salah satu pihak atau
kedua belah pihak melapor kepada instansi yang bertanggung jawab
dibidang ketenagakerjaan perihal gagalnya perundingan tersebut untuk
diselesaikan sesuai mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan
industrial. Instansi di bidang ketenagakerjaan yang dimaksud adalah:
1. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
Kabupaten/Kota apabila lingkup berlakunya PKB hanya
mencakup satu Kabupaten/Kota;
2. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
provinsi, apabila lingkup berlakunya PKB lebih dari satu
Kabupaten/Kota di satu Provinsi;
3. Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial pada Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi apabila lingkup berlakunya
4. Penyelesaian oleh instansi sebagaimana dimaksud poin 9 dilakukan
sesuai dengan mekanisme penyelesaian hubungan industrial yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004;
5. Apabila penyelesaiaannya melalui mediasi dan para pihak atau salah
satu pihak tidak menerima anjuran mediator maka atas kesepakatan
para pihak, mediator melaporkan kepada menteri untuk menetapkan
langkah-langkah penyelesaian, laporan tersebut memuat:
1. Materi Perjanjian Kerja Bersama yang belum dicapai
kesepakatan;
2. Pendirian para pihak;
3. Kesimpulan perundingan;
4. Pertimbanggan dan saran penyelesaian;
Dalam hal ini menteri dapat menunjuk pejabat untuk melakukan
penyelesaian pembuatan PKB;
5. Apabila berbagai cara telah ditempuh untuk menyelesaiakan
pembuatan PKB namun tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu
pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial
di daerah hukumnya mencakup domisili perusahaan;
6. Pengusaha mendaftarkan PKB kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan, maksud pendaftaran PKB adalah
sebagai alat monitoring dan evaluasi pengaturan syarat-syarat kerja
yang dilaksanakan perusahaan dan sebagai rujukan utama dalam hal