• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Hukum Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Kerja Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Perjanjian Kerja pt. Perkebunan Nusantara iv bah Jambi Dengan Tenaga Kerja Tetap)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Aspek Hukum Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Kerja Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Perjanjian Kerja pt. Perkebunan Nusantara iv bah Jambi Dengan Tenaga Kerja Tetap)"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan

Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar

Sarjana Hukum

Oleh:

FIQIH HAZRIAH NIM: 090200141

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan

Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar

Sarjana Hukum

Oleh:

FIQIH HAZRIAH NIM: 090200141

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

DR. H. Hasim Purba, S.H., M.Hum. NIP. 196603031985081001

Pembimbing I Pembimbing II

DR. H. Hasim Purba, S.H., M.Hum Zulkifli Sembiring, S.H., M.H. NIP. 196603031985081001 NIP. 196101181988031010

FAKULTAS HUKUM

(3)

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan yang tiada henti-hentinya akan

kehadhirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjalani perkuliahaan sampai

tahap penyelesaikan skripsi pada Jurusan Hukum Perdata BW di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara ini.

Penulisan skripsi yang diberi judul “ASPEK HUKUM HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KERJA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 (STUDI PADA PERJANJIAN KERJA PT. PERKEBUNAN NUSANTARA IV BAH JAMBI DENGAN TENAGA KERJA TETAP)” ini diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk memeroleh gelar Sarjana Hukum di

Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini, Penulis menyadari

dengan sepenuhnya bahwa hasil yang diperoleh masih jauh dari sempurna. Oleh

sebab itu dengan segala kerendahan hati Penulis akan sangat berterima kasih jika

ada kritik dan saran membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari pihak-pihak yang telah membantu

sebelum, selama, dan setelah Penulis mengerjakan skripsi. Melalui kesempatan

ini, Penulis tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Orang tua Penulis, Ir. Syafril Harahap dan Iris Yasmin yang selalu

(4)

yang selalu memberikan dorongan semangat kepada Penulis selama

mengikuti perkuliahan hingga selesai skripsi ini;

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan

I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Syarifuddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM. selaku Pembantu Dekan

II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H. selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum

Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai

Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan kepada Penulis

dalam mengerjakan skripsi;

7. Bapak Zulkifli Sembiring, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang

telah memberikan bimbingan kepada Penulis dalam mengerjakan skripsi.;

8. Bapak Edy Murya, S.H. selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis;

9. Bapak dan Ibu Dosen serta Pegawai Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang turut mendukung segala urusan perkuliahan dan

(5)

memberikan hal-hal yang dibutuhkan Penulis;

11. Terima kasih kepada teman-teman Angkatan 2009 FH Universitas

Sumatera Utara, Nella Octaviany Siregar, Netty Karolin Hutabarat, Joice,

Sherly, Esra, Ila, dan semua yang tidak dapat Penulis tuliskan satu persatu.

Semoga pertemanan ini selamanya dan sukses untuk kita semua. Tidak

lupa juga penulis ucapkan terima kasih kepada adik junior, Annisaa’

Lubis, yang membantu Penulis dalam berbagi informasi dan menjadi

teman seperjuangan skripsi.

12. Kepada sahabat Penulis, Qaws Quzan (Ajeng, Cai, Cekik, Lili, Mina,

Mutia, Nana, Nisha, Rahma, Tika, Una) yang selalu mengingatkan Penulis

mengerjakan skripsi ini dan memberikan dukungan kepada Penulis,

Penulis ucapkan terima kasih banyak;

13. Dan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi atas penulisan skripsi

ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, Penulis mengucapkan

terima kasih.

Demikian Penulis dapat sampaikan, atas segala kesalahan dan

kekurangannya penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Medan, April 2014

Penulis,

(6)

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Pemasalahan ... 6

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat Penulisan ... 7

E. Metode Penelitian ... 8

F. Keaslian Penulisan ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN KERJA BERSAMA A. Perjanjian Pada Umumnya ... 15

B. Pengertian Perjanjian Kerja Bersama ... 30

C. Tata Cara Pembuatan dan Jangka Waktu Berlakunya Perjanjian Kerja Bersama ... 33

D. Syarat Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama ... 42

(7)

B. Macam Tenaga Kerja ... 52

C. Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja ... 55

D. Ruang Lingkup dan Dasar Hukum Perlindungan Tenaga Kerja .. 65

BAB IV ASPEK HUKUM HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KERJA DI PT. PERKEBUNAN NUSANTARA IV BAH JAMBI

A. Pengaturan Hak dan Kewajiban Para Pihak Terhadap Kesepakatan

Kerja di PTPN IV Bah Jambi ... 75

B. Perjanjian Kerja Para Pihak dalam Melindungi Hak-Hak dan Jaminan

Sosial Bagi Para Pekerja yang Sesuai dengan Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2003 ... 82

C. Penyelesaian Sengketa Terhadap Tenaga Kerja Tetap yang Tidak

Menjalankan Aturan Sesuai dengan Isi Perjanjian Kerja yang

Disepakati ... 88

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 97

B. Saran ... 99

(8)

Zulkifli Sembiring***)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan merupakan salah satu solusi dalam perlindungan buruh maupun majikan tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perlindungan buruh diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 67-101 meliputi perlindungan buruh penyandang cacat, anak, perempuan, waktu kerja, keselamatan dan kesehatan kerja, pengupahan, dan kesejahteraan. Perlindungan tenaga kerja yang bertujuan agar bisa menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi. Hal ini merupakan esensi dari disusunnya Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu mewujudkan kesejahteraan para pekerja/buruh yang akan berimbas terhadap kemajuan dunia usaha di Indonesia. Bertolak dari pemikiran tersebut, permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah tentang bagaimana pengaturan hak dan kewajiban para pihak terhadap kesepakatan kerja PTPN IV Bah Jambi, apakah perjanjian kerja sudah melindungi hak-hak dan jaminan sosial bagi para pekerja, dan bagaimana penyelesaian sengketa terhadap tenaga kerja tetap yang tidak menjalankan aturan yang disepakati.

Penulisan ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yakni penelitian yang mengkaji penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku serta untuk memperoleh data maupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur. Data diperoleh melalui studi kepustakaan (library research) yaitu pengumpulan bahan teori dari kepustakaan.

Dari penelitian yang telah dilakukan bahwa pengaturan hak dan kewajiban yang dijalankan PTPN IV Bah Jambi tertera dalam PKB perusahaan tersebut. Hubungan antara pekerja dan pengusaha merupakan hubungan yang berdimensi banyak. Perlindungan terhadap tenaga kerja diberikan dalam bentuk waktu kerja, pengupahan, kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan kerja. Dimana bentuk perlindungan tersebut sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Perlindungan tersebut juga harus sesuai dengan UUK. Mekanisme penyelesaian sengketa/perselisihan yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian kerja di PTPN IV Bah Jambi dapat dilakukan dengan cara non litigasi (diluar pengadilan) dan melalui musyawarah.

Kata Kunci : Tenaga Kerja, Perjanjian Kerja Bersama *) Mahasiswa Fakultas Hukum USU

(9)

Zulkifli Sembiring***)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan merupakan salah satu solusi dalam perlindungan buruh maupun majikan tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perlindungan buruh diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 67-101 meliputi perlindungan buruh penyandang cacat, anak, perempuan, waktu kerja, keselamatan dan kesehatan kerja, pengupahan, dan kesejahteraan. Perlindungan tenaga kerja yang bertujuan agar bisa menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi. Hal ini merupakan esensi dari disusunnya Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu mewujudkan kesejahteraan para pekerja/buruh yang akan berimbas terhadap kemajuan dunia usaha di Indonesia. Bertolak dari pemikiran tersebut, permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah tentang bagaimana pengaturan hak dan kewajiban para pihak terhadap kesepakatan kerja PTPN IV Bah Jambi, apakah perjanjian kerja sudah melindungi hak-hak dan jaminan sosial bagi para pekerja, dan bagaimana penyelesaian sengketa terhadap tenaga kerja tetap yang tidak menjalankan aturan yang disepakati.

Penulisan ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yakni penelitian yang mengkaji penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku serta untuk memperoleh data maupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur. Data diperoleh melalui studi kepustakaan (library research) yaitu pengumpulan bahan teori dari kepustakaan.

Dari penelitian yang telah dilakukan bahwa pengaturan hak dan kewajiban yang dijalankan PTPN IV Bah Jambi tertera dalam PKB perusahaan tersebut. Hubungan antara pekerja dan pengusaha merupakan hubungan yang berdimensi banyak. Perlindungan terhadap tenaga kerja diberikan dalam bentuk waktu kerja, pengupahan, kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan kerja. Dimana bentuk perlindungan tersebut sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Perlindungan tersebut juga harus sesuai dengan UUK. Mekanisme penyelesaian sengketa/perselisihan yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian kerja di PTPN IV Bah Jambi dapat dilakukan dengan cara non litigasi (diluar pengadilan) dan melalui musyawarah.

Kata Kunci : Tenaga Kerja, Perjanjian Kerja Bersama *) Mahasiswa Fakultas Hukum USU

(10)

A. Latar Belakang

Memasuki era globalisasi khususnya di sektor ketenagakerjaan akan

menghadapi tantangan yang cukup besar, persaingan antara dunia usaha akan

semakin ketat dan penggunaan teknologi maju akan semakin mendapat perhatian

sehingga pemilihan pekerja akan semakin selektif. Hanya pekerja yang memiliki

kualitas diri yang baik, intelektual maupun derajat kesehatan yang tinggi yang

pada akhirnya dapat meraih keberhasilan. Selain itu pemanfaatan pasar kerja

internasional menuntut pula berbagai persyaratan serta kualifikasi dan hubungan

antar manusia, serta keberhasilan pembinaan terhadap pekerja selama ini, akan

meningkatkan kesadaran hukum mereka yang menyangkut hak dan kewajiban

dalam hubungan industrial dan hal ini membuka peluang terjadinya perselisihan

industrial baik yang menyangkut hak dan kepentingan termasuk kesejahteraan,

keselamatan dan kesehatan kerja.1

Pembangunan nasional merupakan upaya untuk meningkatkan aspek

pembangunan ekonomi, manusia, hingga sosial budaya dengan tujuan untuk

mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur. Dengan pelaksanaan

       1

(11)

pembangunan nasional, perluasan lapangan kerja dan tenaga kerja mempunyai

peran yang penting sebagai tujuan pembangunan.

Peran serta tenaga kerja dalam pembangunan nasional semakin meningkat

dengan disertai berbagai tantangan dan risiko yang dihadapinya. Oleh karena itu,

kepada tenaga kerja perlu diberikan perlindungan, pemeliharaan dan peningkatan

kesejahteraan, sehingga pada gilirannya akan dapat meningkatkan produktivitas

nasional.2 Bentuk perlindungan, pemeliharaan, dan peningkatan kesejahteraan

dimaksud diselenggarakan dalam bentuk program jaminan sosial tenaga kerja

yang bersifat dasar, dengan berasaskan usaha bersama, kekeluargaan, dan gotong

royong sebagaimana terkandung dalam jiwa dan semangat Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945.3

Pembangunan dalam suatu negara tidak terlepas dari perekonomian negara

itu sendiri, yang pada hakekatnya pembangunan itu adalah merupakan suatu cara

atau dasar untuk memperkuat perekonomian negara yang bersangkutan. Disetiap

negara, selalu berusaha untuk meningkatkan perekonomian melalui suatu

pembangunan secara terus menerus dan berkelanjutan. Adapun pembangunan

yang terus menerus ditingkatkan adalah untuk menaikkan tingkat kehidupan

rakyat. Setiap negara di dunia ini mempunyai corak ekonomi yang berbeda-beda

dalam melaksanakan pembangunannya, namun tujuannya adalah tetap sama yaitu

untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, sehingga akan terwujud ke satu

arah yang akan terpenuhinya kebutuhan yang beraneka ragam.

       2

Ridwan Halim, Hukum Perburuhan Aktual, (Jakarta : Pradnya Paramitha, 1987), hlm. 1. 3

(12)

Peran pemerintah dalam mengatasi ketenagakerjaan di Indonesia harus

dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku. Karena persoalan

ketenagakerjaan adalah persoalan yang menyangkut hajat hidup orang. Besarnya

jumlah pengangguran di Indonesia disebabkan masih rendahnya kualitas tenaga

kerja dan rendanya pendidikan masyarakat serta penciptaan lapangan kerja yang

terbatas. Pengangguran merupakan salah satu masalah ketenagakerjaan yang

menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat, seperti kualitas

hidup menurun, meningkatnya angka kriminalitas, dan lingkungan kumuh. Untuk

mengatasi hal tersebut, selain upaya dan kebijakan pemerintah, masyarakat sendiri

pun perlu menciptakan dan mengembangkan lapangan kerja sendiri atau

membangun usaha mandiri.

Tenaga kerja dan pengusaha merupakan dua faktor yang tidak dapat

dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dengan terjadinya sinergi kedua

faktor itu baru perusahaan akan berjalan dengan baik. Begitu pula sebaliknya,

seahli apapun tenaga kerja tanpa adanya perusahaan hanya akan melahirkan

produk pengangguran.4 Sisi lain, pengusaha sebagai pemilik perusahaan berada

pada posisi yang kuat sebab didukung modal yang besar, sedangkan tenaga kerja

berada pada posisi yang lemah karena hanya bermodalkan keahlian dan

intelektual. Hal ini sering digunakan oleh pengusaha yang nakal berbuat

semena-mena terhadap karyawan dalam mendapatkan hak-haknya seperti hak upah yang

      

(13)

layak, hak mendapatkan pesangon, hak istirahat, dan hak cuti serta hak

mendapatkan jaminan sosial.

Hak dan kewajiban tenaga kerja telah diatur dalam Undang-Undang No.

13 Tahun 2003 tentang Undang-Undang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut

dengan UUK) dan Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Undang-Undang

Serikat Pekerja/Serika Buruh (selanjutnya disebut dengan UUSP) serta Keputusan

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : PER.16/MEN/XI/2011, di mana

hak merupakan suatu hal selayaknya diterima oleh pekerja sesuai kesepakatan

atau perjanjian dengan pihak pemberi kerja. Sedangkan kewajiban merupakan

sesuatu yang wajib dijalankan atau wajib dilaksanakan oleh pekerja sesuai dengan

kesepakatan atau perjanjian dengan pihak pemberi kerja. Dengan melaksanakan

hak dan kewajiban antara pekerja dan pemberi kerja berarti telah memenuhi apa

yang sudah disepakati bersama atau sudah diperjanjikan, masing-masing pihak

telah memenuhi prestasinya.

Hak dan kewajiban masing-masing pihak haruslah seimbang. Oleh sebab

itu, hak pekerja merupakan kewajiban pengusaha, dan sebaliknya hak pengusaha

merupakan kewajiban pekerja.5 Hak merupakan sesuatu yang harus diterima oleh

seseorang tanpa ada suatu persyaratan yang harus dipenuhi sehingga dapat

menimbulkan suatu keyakinan untuk dipertahankan dan dimiliki seutuhnya,

karena dengan memperoleh hak maka dapat digunakan untuk meningkatkan taraf

kehidupan seseorang dan keluarganya.6 Salah satu hak dari tenaga kerja adalah

      

5 Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 26.

6

(14)

hak menerima upah. Upah adalah sesuatu penerimaan sebagai imbalan dari

pengusaha kepada pekerja atas pekerjaan atau jasa yang telah dilakukan. Oleh

sebab itu, setelah melakukan pekerjaan secara gigih yang menyita tenaga dan

pikiran maka tenaga kerja berhak mendapatkan imbalan berupa upah, dan itu

merupakan kewajiban dari pengusaha untuk memberikan upah yang layak atas

prestasi kerja yang dilakukan oleh pekerja. Meskipun kadang kala upah tersebut

tidak cukup memenuhi kebutuhan, namun tugas tetap harus dikerjakan sebagai

konsekuensi seorang pekerja yang mempunyai kewajiban untuk melaksanakan

pekerjaan yang telah diperjanjikan sebelumnya. Keadaan tersebut diatas menjadi

penghalang terciptanya hubungan kerja yang harmonis, nyaman dan dinamis.

Hubungan Industrial yang harmonis, nyaman dan dinamis antara pekerja

dengan pengusaha akan berdampak pada peningkatan produktifitas kerja serta

peningkatan kesejahteraan pekerja. PT. Perkebunan Nusantara IV (Persero)

(selanjutnya disebut dengan PTPN IV) Bah Jambi sebagai Badan Usaha Milik

Negara merupakan salah satu pelaku ekonomi nasional disamping usaha swasta

dan koperasi. Sebagai Badan Usaha Milik Negara, PTPN IV merupakan salah satu

sumber pendapatan negara yang berasal dari dalam negeri. Mengingat begitu

penting dan strategis peranan PTPN IV sebagai salah satu BUMN maka

diperlukan suatu lingkungan kerja yang harmonis, nyaman dan dinamis sehingga

produktifitas meningkat yang berdampak pula pada peningkatan pendapatan

negara.

Berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik untuk menelaah lebih lanjut

(15)

tenaga kerja tetap yang dalam menjalankan perjanjian kerja yang telah disepakati,

yang akan dibahas dalam tulisan ini dengan mengangkat judul “Aspek Hukum

Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kerja Menurut Undang-Undang

Nomor 13 tahun 2003 (Studi pada Perjanjian Kerja PT. Perkebunan Nusantara IV

Bah Jambi dengan Tenaga Kerja Tetap)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan dengan latar belakang di atas, maka hal yang akan diteliti

adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan hak dan kewajiban para pihak terhadap

kesepakatan kerja di PTPN IV Bah Jambi?

2. Apakah perjanjian kerja para pihak sudah melindungi hak-hak dan

jaminan sosial bagi para pekerja sesuai dengan undang-undang yang

berlaku?

3. Bagaimana penyelesaian sengketa apabila tenaga kerja tetap tidak

menjalankan aturan sesuai dengan isi perjanjian kerja yang telah

disepakati?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan perumusan masalah yang telah Penulis kemukakan di atas,

maka tujuan dari Penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan hak dan kewajiban para pihak di

(16)

2. Untuk mengetahui perjanjian kerja tersebut sudah melindungi hak-hak

dan jaminan sosial para pekerja sesuai dengan Undang-Undang

Ketenagakerjaan.

3. Untuk mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa apabila terjadi

sengketa antara perusahaan PTPN IV dengan pekerja.

D. Manfaat Penulisan

Dalam penulisan ini, selain terdapat tujuan yang akan dicapai, juga

berharap dapat memberikan manfaat yang berguna.

1. Manfaat Secara Teoritis

Pembahasan terhadap skripsi ini diharapkan akan memberikan pemahaman

dan pengetahuan bagi pembaca mengenai aturan hukum terhadap

perlindungan tenaga kerja, khususnya mengenai hak dan kewajiban

perusahaan perkebunan PTPN IV dan tenaga kerja perkebunan itu sendiri

agar dapat terpenuhi dan terlaksana dengan baik. Jadi, secara teoritis

diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembangan

ilmu pengetahuan hukum secara umum dan ilmu hukum perdata pada

khususnya. Selain itu juga diharapkan dapat menambah dan melengkapi

koleksi karya ilmiah dibidang keperdataan terkait dengan perlindungan

tenaga kerja.

2. Manfaat Secara Praktis

Manfaat praktis yang diperoleh dari penelitian ini yaitu untuk dapat

(17)

dengan tenaga kerja perkebunan serta untuk memenuhi ketentuan-ketentuan

yang berlaku bagi tenaga kerja perkebunan di PTPN IV Bah Jambi, sehingga

kesejahteraan para tenaga kerja perkebunan tersebut dapat terpenuhi.

E. Metode Penelitian

Diperlukan metode penelitian sebagai suatu tipe pemikiran yang secara

sistematis dipergunakan dalam penelitian dan penilaian skripsi ini, yang pada

akhirnya bertujuan mencapai keilmiahan dari penulisan skripsi ini. Dalam

penulisan skripsi ini, metode yang dipakai adalah sebagai berikut:

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah

metode yuridis normatif. Metode yuridis normatif digunakan dalam penelitian

ini guna melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat

dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku serta untuk memperoleh

data maupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur di

perpustakaan, jurnal hasil penelitian, situs internet, koran, dan sebagainya.7

Metode penelitian yuridis normatif ini dilakukan dengan meneliti

sumber-sumber bacaan yang relevan dengan judul skripsi ini baik yang bersifat

teoritis ilmiah serta dapat menganalisa masalah-masalah yang dibahas dalam

permasalahan skripsi ini. Nama lain dari penelitian yuridis normatif adalah

penelitian hukum doktrinal, juga disebut sebagai penelitian kepustakaan atau

studi dokumen.8

      

7 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung : Alumni, 1994), hlm. 139.

8

(18)

Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian deskriptif, yaitu

penelitian yang menggambarkan masalah dengan cara menjabarkan

fakta-fakta secara sistematik sehingga lebih mudah dipahami dan disimpulkan.

Kesimpulan yang diberikan selalu jelas data faktualnya sehingga semuanya

selalu dapat dikembalikan langsung pada data yang diperoleh.

2. Jenis dan Sumber Data

Penelitian yuridis normatif menggunakan jenis data sekunder sebagai data

utama. Data sekunder adalah data yang didapat data yang diperoleh melalui

bahan pustaka.9

Data sekunder yang dipakai Penulis adalah sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan

merupakan landasan utama yang dipakai dalam penulisan skripsi ini, yakni

terdiri dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

Ketenagakerjaan.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

terhadap bahan hukum primer10 seperti buku-buku yang berkaitan dengan

judul skripsi, artikel-artikel, hasil penelitian, laporan-laporan dan

sebagainya yang diperoleh baik melalui media cetak maupun media

elektronik.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberik petunjuk dan penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan sekunder. 11 Misalnya, kamus,

ensiklopedia, jurnal ilmiah, dan bahan-bahan lain yang relevan dan dapat       

9

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 23. 10

Ibid. 11

(19)

dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan

skripsi ini.

3. Tehnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang digunakan dalam Penulisan skripsi ini adalah

teknik studi kepustakaan (library research) dan juga melalui bantuan media

elektronik, yaitu internet. Untuk memeroleh data dari sumber ini, Penulis

memadukan, mengumpulkan, menafsirkan, dan membandingkan buku-buku

dan arti-arti yang berhubungan dengan judul skripsi ini.

4. Analisis Data

Pada peneliatan hukum normatif yang menelaah data sekunder, maka pada

umumnya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya.12 Metode

analisis data yang dilakukan Penulis adalah pendekatan kualitatif, yaitu

dengan:

a. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang

relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.

b. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut

di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas.

c. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan

kesimpulan dari permasalahan.

d. Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan yang

kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan

dan tulisan.

       12

(20)

F. Keaslian Penulisan

Untuk mengetahui orisinalitas Penulisan skripsi, sebelum melakukan

Penulisan “Aspek Hukum Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kerja

Menurut Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 (Studi pada Perjanjian Kerja PT.

Perkebunan Nusantara IV Bah Jambi dengan Tenaga Kerja Tetap)”, Penulis

terlebih dahulu melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang

tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum / Perpustakaan Universitas

cabang Fakultas Hukum USU melalui surat tertanggal Nopember 20013

(terlampir) menyatakan bahwa “Tidak Ada Judul yang Sama”.

Adapun beberapa judul yang berkaitan dengan judul karya ilmiah Penulis

di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara antara lain sebagai

berikut:

1. Penulis : Sari Anggraini / 930200204

Judul : Aspek Hukum Perjanjian Kerjasama Pengangkutan

Tebu Antara PT. Perkebunan Nusantara II Pabrik

Gula Kuala Madu dengan Para Rekanan Angkutan.

Rumusan masalah :

1. Bagaimana perjanjian pada umumnya menurut KUH Perdata?

2. Sebagaimana dalam judul skripsi ini merupakan perjanjian kerja sama

pengangkutan, selain kita mengetahui perjanjian disini penulis

mempermasalahkan bagaimana juga halnya tentang pengangkutan itu

(21)

3. Bagaimana prosedur pengikatan perjanjian pengangkutan dan dengan

adanya perjanjian tersebut maka timbul hak dan kewajiban dari para pihak

yang mengadakan perjanjian tersebut, maka apa yang menjadi hak dan

kewajiban dari para pihak tersebut serta bagaimanaakibat hukumnya bila

terjadi kesalahan dari salah satu kedua belah pihak dan bagaimana pula

tentang masalah ganti ruginya.

2. Nama : Rehulina Sembiring / 930200185

Judul : Aspek Hukum Perjanjian Pemborongan Kerja Pada

Penggantian Pipa Superheater Ketel Uap Takuma

N-600 di Pabrik Minyak Sawit Tinjauan (Studi Pada

PT. Perkebunan Nusantara IV (Persero Pabatu).

Rumusan masalah :

1. Sejauh mana kekuatan hukum perjanjian pemborongan kerja bangunan.

2. Garansi bank sebagai jaminan pemborong atas pekerjaan yang harus

dilaksanakannya.

3. Pemilihan barang yang diadakan dalam pemborongan proyek atau

pengadaan barang/jasa pada pekerjaan borongan penggantian pipa

superheater di PMS Tinjowan.

Apabila ada tulisan yang hampir mirip, mungkin itu hanya dari segi

redaksi saja, karena muatan/substansinya jelas berbeda dengan tulisan karya

ilmiah ini.

(22)

Pembahasan dan penyajian suatu penelitian harus memiliki keteraturan

agar terciptanya karya ilmiah yang baik. Maka dari itu, Penulis membagi skripsi

ini dalam beberapa bab yang saling berkaitan satu sama lain, karena isi dari

skripsi ini bersifat berkesinambungan antara bab yang satu dengan bab yang

lainnya.

Adapun sistematika Penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah

sebagai berikut:

Bab I : PENDAHULUAN

Pada bab ini dikemukakan tentang Latar Belakang yaitu apa yang

melatarbelakangi Penulis mengangkat judul, Perumusan Masalah yaitu

hal yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini, Tujuan Penulisan

yaitu dan Manfaat Penulisan yaitu maksud dari Penulis dalam menulis

skripsi ini, Metode Penelitian yang memaparkan metode yang

digunakan Penulis dalam mengkaji permasalahan, Keaslian Penulisan

yaitu pemaparan yang membuktikan bahwa skripsi ini asli berasal dari

pemikiran Penulis dan belum pernah dibahas sebelumnya di lingkungan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan Sistematika

Penulisan yang semuanya berkaitan dengan Hak dan Kewajiban Para

Pihak dalam Perjanjian Kerja.

Bab II : TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN KERJA BERSAMA

Bab ini merupakan awal dari pembahasan terhadap permasalahan yang

telah dirumuskan dalam pendahuluan. Adapun yang dibahas adalah

(23)

Cara Pembuatan dan Jangka Waktu Berlakunya Perjanjian Kerja

Bersama, Syarat Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama, Manfaat

Dibentuknya Perjanjian Kerja Bersama.

Bab III : TENAGA KERJA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR

13 TAHUN 2003

Pada bab ini yang menjadi pembahasan adalah Pengertian Tenaga

Kerja, Macam-macam Tenaga Kerja, Hak dan Kewajiban Tenaga

Kerja, Ruang Lingkup dan Dasar Hukum Perlindungan Tenaga Kerja.

Bab IV : ASPEK HUKUM HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM

PERJANJIAN KERJA DI PT. PERKEBUNAN NUSANTARA IV

BAH JAMBI

Sebagai kelanjutan bab sebelumnya, bab ini akan membahas

Pengaturan Hak dan Kewajiban Para Pihak Terhadap Kesepakatan

Kerja, Perjanjian Kerja Para Pihak dalam Melindungi Hak-Hak dan

Jaminan Sosial Bagi Para Pekerja yang sesuai dengan Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003, Penyelesaian Sengketa Terhadap Tenaga Kerja

Tetap yang Tidak Menjalankan Aturan Sesuai dengan Isi Perjanjian

Kerja yang Disepakati.

Bab V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan akhir dari Penulisan skripsi. Pada bab ini akan

dikemukakan kesimpulan dari bagian awal hingga bagian akhir

(24)

ini dan poin-poin yang berisi saran-saran konstruktif yang Penulis

(25)

BERSAMA

A. Perjanjian Pada Umumnya

Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua

pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak

yang lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.13 Hubungan

hukum yang menerbitkan perikatan itu bersumber pada perjanjian atau sumber

lainnya, yaitu undang-undang. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1233

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut dengan KUH Perdata)

bahwa perikatan dapat bersumber dari perjanjian dan undang-undang.

Perikatan yang lahir dari undang-undang tidak ada kesepakatan dari para

pihak ataupun tidak dari kemauan para pihak, sedangkan perikatan yang lahir dari

perjanjian merupakan kesepakatan dari para pihak yang membuat perjanjian.14

Hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu

menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber terpenting yang melahirkan

perikatan, karena perjanjian merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh

dua pihak, sedangkan perikatan lahir dari undang-undang dibuat tanpa kehendak

dari para pihak yang bersangkutan. Dengan kata lain perikatan merupakan

       13

R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Bandung : Intermasa, 1978), hlm. 1. 14

(26)

pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian merupakan suatu hal yang konkrit

atau merupakan suatu peristiwa.15 Dalam Pasal 1313 KUH Perdata dinyatakan

bahwa “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau

lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Maksudnya bahwa

perjanjian suatu perbuatan dari para pihak yang ditujukan agar timbul akibat

hukum. Dengan demikian, perjanjian adalah suatu hubungan timbal balik,

maksudnya suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu juga

menerima kewajiban-kewajiban yang merupakan konsekuensi dari menerima

hak-hak yang diperolehnya.16

Wirjono Prodjdikoro menyatakan bahwa “Perjanjian adalah suatu

perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana

satu pihak berjanji atau dianggap tidak berjanji untuk melakukan suatu hal atau

tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak yang lain berhak untuk menuntut

pelaksaaan janji tersebut”.17 Menurut M. Yahya Harahap, perjanjian mengandung

suatu pengertian yang memberikan sesuatu hak pada suatu pihak untuk

memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk

menunaikan prestasi.18

Perbuatan hukum yang mengikat antara para pihak yang terlibat dalam

suatu hubungan hukum diawali dengan adanya suatu perjanjian. Setiap orang

diberikan kebebasan untuk mengadakan perjanjian atau perikatan sepanjang tidak

melanggar batasan yang telah ditentukan. Berdasarkan kehendak dari para pihak

       15

Ibid. 16Ibid. 17

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu, (Bandung : Sumur, 1981), hlm. 11.

18

(27)

yang membuat perjanjian maka dapat diadakan pengecualian terhadap berlakunya

pasal-pasal dari hukum yang terdapat dalam KUH Perdata.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman bahwa :

Diizinkan orang membuat peraturansendiri karena pasal-pasal dari hukum perjanjian itu tidak lengkap, itulah yang menyebabkan sifat hukum perjanjian disebut dengan hukum pelengkap (optimal law) selanjutnya bahwa asas yang menentukan bahwa setiap orang adalah bebas atau leluasa memperjanjikan apa saja disebut atas kebebasan berkontrak yang berhubungan dengan isi perjanjian dan asas harus merupakan sesuatu yang halal.19

Hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perikatan, bahkan

sebagian ahli hukum menempatkan sebagai bagian dari hukum perjanjian karena

kontrak sendiri ditempatkan sebagai perjanjian tertulis. Pembagian antara hukum

kontrak dan hukum perjanjian tidak dikenal dalam KUH Perdata, karena dalam

KUH Perdata hanya dikenal perikatan yang lahir dari perjanjian dan yang lahir

dari undang-undang.20

Ahmadi Miru menyatakan bahwa:21

Perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang, perikatan yang bersumber dari undang-undang dibagi dua, yaitu dari undang-undang saja dan dari undang-undang karena perbuatan manusia. Selanjutnya, perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia dapat dibagi dua yaitu, perbuatan yang sesuai hukum dan perbuatan yang melanggar hukum.

Abdulkadir Muhammad menyatakan Pasal 1313 KUH Perdata kurang

memuaskan karena ada kelemahannya yaitu:22

       19

Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III, Hukum Perikatan dengan Penjelasan, (Bandung : Alumni, 1983), hlm. 110

20

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak (Perancangan Kontrak), (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 1.

21

(28)

1. Hanya menyangkut sepihak saja. Dari rumusan ini diketahui satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih. Kata kerja “mengikat” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu saling “mengikat diri” terlihat dari adanya consensus dari kedua belah pihak.

2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus maksudnya dalam pengertian “perbuatan” termasuk tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming) dan tindakan melawan hukum yang tidak mengandung adanya consensus. Seharusnya dipakai kata “persetujuan” saja.

3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Dikatakan terlalu luas karena terdapat juga dalam lapangan hukum keluarga yang terdapat dalam buku I seperti janji kawin, pelangsungan perkawinan. Sedangkan perjanjian yang dikehendaki oleh buku III KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan bukan bersifat personal.

4. Dalam rumusan pasal tersebut tidak disebutkan tujuan mengaddakan perjanjian, sehingga para pihak mengikat dirinya tidak untuk apa.

Berdasarkan alasan yang dikemukakan di atas menurut Abdulkadir

Muhammad, perjanjian adalah “suatu persetujuan dengan mana satu orang atau

lebih mengikatkan diri untuk melakukan suatu hal dalam lapangan harta

kekayaan”.23 Ia juga menyebutkan bahwa di dalam suatu perjanjian termuat

beberapa unsur, yaitu:

a. Adanya pihak-pihak

b. Adanya persetujuan antara para pihak c. Adanya tujuan yang akan dicapai d. Sepakat mereka yang mengikatkan diri e. Kecakapan membuat suatu perjanjian24

Perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu bisa dikatakan

sebagai suatu perjanjian yang sah dan sebagai akibatnya perjanjian akan mengikat

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karena itu agar

keberadaan suatu perjanjian diakui oleh undang-undang (Legally concluded

        22

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung : Alumni, 1982), hlm. 78. 23

Ibid. 24

(29)

contract) haruslah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh

undang-undang. Adapun syarat sahnya suatu perjanjian telah ditentukan di dalam Pasal

1320 KUH Perdata, dinyatakan bahwa untuk sahnya perjanjian-perjanjian

diperlukan empat syarat, yakni:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Syarat pertama sahnya kontrak adalah kesepakatan para pihak yang

mengadakan perjanjian atas hal-hal yang diperjanjikan. Kesepakatan adalah

persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak

lainnya.25 Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak

dapat dilihat/diketahui orang lain. Ada lima cara terjadinya persesuaian

pernyataan kehendak, yaitu dengan:26

1. Bahasa yang sempurna dan tertulis;

2. Bahasa yang sempurna secara lisan;

3. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena

dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa

yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;

4. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;

5. Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.

Kesepakatan terjadi melalui 4 (empat) teori, yaitu:

1. Teori Pernyataan (Uitingstheorie)

Menurut teori pernyataan, kesepakatan terjadi pada saat pihak yang

menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu.       

25

Salim H.S, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), hlm. 33.

(30)

Kelemahan teori ini adalah sangat teoretis karena dianggap terjadinya

kesepakatan secara otomatis.

2. Teori Pengiriman (Verzendtheorie)

Menurut teori ini, kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima

penawaran mengirimkan telegram. Kelemahannya yaitu perjanjian telah

mengikat pada saat orang yang menawarkan sendiri tidak tahu tanggal

berapa, sehingga tidak dapat diterima berdasarkan kepatutan.

3. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie)

Teori ini berpendapat bahwa kesepakatan terjadi apabila pihak yang

menawarkan mengetahui adanya penerimaan, tetapi penerimaan itu belum

diterimanya (tidak diketahui secara langsung). Kelemahannya, bagaimana

ia mengetahui isinya apabila ia belum menerimanya.

4. Teori Penerimaan (Ontvangstheorie)

Menurut teori ini bahwa kesepakatan terjadi padasaat pihak yang

menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.

5. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Kecakapan bertindak adalah kemampuan untuk melakukan perbuatan

hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat

hukum. Orang-orang yang membuat perjanjian haruslah orang yang cakap dan

mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang

ditentukan oleh undang-undang. Dalam Pasal 1329 KUH Perdata dinyatakan

(31)

undang-undang tidak dinyatakan tak cakap. Dalam Pasal 330 KUH Perdata dinyatakan

bahwa seorang dianggap tidak cakap untuk melakukan perjanjian jika belum

genap berumur 21 tahun, kecuali ia telah kawin sebelum itu. Sebaliknya setiap

orang yang berumur 21 tahun keatas, oleh hukum dianggap cakap, kecuali

karena suatu hal dia ditaruh di bawah pengampuan, seperti gelap mata, dungu,

sakit ingatan, atau pemboros. Sementara itu, dinyatakan dalam Pasal 1330

KUH Perdata, bahwa tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah:

1. Orang-orang yang belum dewasa;

2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;

3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan

semua orang kepada siapa undang-undang  telah  melarang membuat

perjanjian tertentu.

Khusus huruf c diatas mengenai perempuan dalam hal yang ditetapkan

dalam undang-undang sekarang ini tidak dipatuhi  lagi,  setelah dikeluarkan

SEMA Nomor 3 Tahun 1963, maka sejak saat itu hak perempuan dan laki-laki

telah disamakan dalam hal  membuat  perjanjian. Dalam membuat sesuatu

perjanjian seseorang haruslah cakap bertindak dalam perbuatan hukum, karena

dalam perjanjian itu seseorang terikat untuk melaksanakan suatu prestasi dan

harus dapat mempertanggungjawabkannya.27

Subjek dari perjanjian harus cakap bertindak menurut hukum. Dalam hal

ini akan terikat dengan segala ketentuan yang telah disepakati bersama, maka

ia harus mampu bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Orang yang tidak

       27

(32)

sehat pikirannya walaupun telah dewasa, tidak dapat menyelenggarakan

kepentingannya dengan baik dan memerlukan bantuan dari pihak lain untuk

menyelenggarakan kepentingannya. Ketidakcakapan ini disebut tidak cakap

untuk mengadakan hubungan hukum, hal ini dikarenakan ia tidak dapat

menentukan mana yang baik dan mana yang tidak baik.28

Orang yang belum dewasa, umumnya belum dapat menentukan dengan

sempurna dan tidak mampu mengendalikan ke arah yang baik, sehingga ia

dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian.

Sedangkan orang yang berada di bawah pengampuan adalah orang yang

berdasarkan keputusan hakim dinyatakan bahwa ia tidak mampu/pemboros di

dalam mengendalikan keinginannya sehingga bagi mereka harus ada wakil dari

orang tertentu untuk menyelenggarakan kepentingannya.29 Setiap orang yang

sudah dewasa dan sehat pikirannya cakap bertindak menurut hukum. Ahmadi

Miru mengatakan bahwa:

Seorang dikatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum jika orang tersebut belum cukup 21 tahun, kecuali jika ia telah kawin sebelum cukup 21 tahun. Sebaliknya setiap orang yang telah berumur 21 tahun ke atas, oleh hukum dianggap telah cakap kecuali karena suatu hal ditaruh di bawah pengampuan, seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan atau pemboros.30

4. Suatu hal tertentu (adanya objek perjanjian)

KUH Perdata hanya menekankan pada perikatan untuk memberikan atau

menyerahkan sesuatu. Namun demikian jika diperhatikan lebih lanjut, apapun

(33)

sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, KUH Perdata hendak menjelaskan

bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan atau

eksistensi dari suatu kebendaan yang tertentu. 31 Pada perikatan untuk

memberikan sesuau kebendaan yang akan diserahkan berdasarkan suatu

perikatan tertentu tersebut haruslah sesuai yang telah ditentukan secara pasti.

Dalam jual beli misalnya, setiap kesepakatan antara penjual dan pembeli

mengenai kebendaan yang dijual atau dibeli harus telah ditentukan terlebih

dahulu kebendaannya. Jika sebuah sepeda motor, maka harus ditentukan merek

sepeda motor tersebut, kapasitasnya, serta spesifikasi lain yang melekat pada

kebendaan sepeda motor yang dipilih tersebut, sehingga tidak akan

menerbitkan keraguan mengenai sepeda motor lainnya yang serupa tetapi

bukan yang dimaksudkan. Pada perikatan untuk melakukan sesuatu, hal yang

wajib dilakukan oleh salah satu pihak dalam perikatan tersebut (debitur)

pastilah juga berhubungan dengan suatu kebendaan tertentu, baik itu berupa

kebendaan berwujud maupun kebendaan tidak berwujud. Dalam perjanjian

penanggungan utang misalnya, seorang penanggung yang menanggung utang

seorang debitur, harus mencantumkan secara jelas utang mana yang ditanggung

olehnya, berapa besarnya, serta sampai seberapa jauh ia dapat dan baru

diwajibkan untuk memenuhi perikatannya kepada kreditur, atas kelalaian atau

wanprestasi dari pihak debitur. Pasal 1824 KUH Perdata dinyatakan bahwa :

“penanggungan utang tidak dipersangkakan, tetapi harus diadakan dengan

pernyataan yang tegas, tidaklah diperbolehkan untuk memperluas

       31

(34)

penanggungan hingga melebihi ketentuan-ketentuan yang menjadi syarat

sewaktu mengadakannya.” Dalam pandangan KUH Perdata, kewajiban

penanggungan yang diberikan oleh penanggung adalah penanggungan utang

terhadap hak tagih kreditur kepada debitur, dimana penanggung akan

memenuhi kewajiban debitur yaitu untuk membayar hak tagih kreditur

manakala debitur cidera janji. Dalam hal yang demikian, berarti hak tagih

kreditur adalah kebendaan yang dinyatakan dalam Pasal 1333 KUH Perdata,

harus telah dapat ditentukan terlebih dahulu. Dalam perikatan untuk tidak

melakuan atau tidak berbuat sesuatu, KUH Perdata juga menegaskan kembali

bahwa apapun yang ditentukan untuk tidak dilakukan atau diperbuat, pastilah

merupakan kebendaan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang pasti

harus telah dapat ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Dalam perjanjian

untuk merahasiakan sesuatu (confidentially agreement) misalnya, apa-apa saja

yang wajib dirahasiakan oleh debitur misalnya terhadap hak (atas kekayaan

intelektual) milik kreditur, yang dalam pandangan KUH Perdata adalah juga

merupakan kebendaan yang telah tertentu sifatnya. Suatu perjanjian

merahasiakan saja tanpa menjelaskan apa yang harus dan wajib dirahasiakan

belumlah merupakan perjanjian yang mengikat pada pihak, dan karenanya

belum menerbitkan perikatan bagi para pihak. Jadi jelaslah bahwa dalam

pandangan KUH Perdata, yang dimaksudkan dengan kebendaan yang telah

ditentukan jenisnya, meliputi tidak hanya perikatan untuk memberikan sesuatu,

melainkan juga dalam perikatan untuk berbuat sesuatu dan juga perikatan

(35)

KUH Perdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan

rumusan dalam Pasal 1333 KUH Perdata, dinyatakan bahwa “suatu perjanjian

harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang

paling sedikit ditentukan jenisnya.” Tidak menjadi halangan bahwa jumlah

barangnya tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat dihitung atau

ditetapkan.

5. Suatu sebab yang halal

Menurut undang-undang, sebab yang halal adalah jika tidak dilarang oleh

undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum,

ketentuan ini dinyatakan dalam Pasal 1337 KUH Perdata.

Perjanjian yang berisi suatu sebab yang tidak halal, maka perjanjian itu

batal demi hukum. Dengan demikian, tidak ada dasar untuk menuntut

pemenuhan perjanjian di muka hakim, karena sejak semula dianggap tidak

pernah ada perjanjian. Demikian juga apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa

sebab, ia dianggap tidak pernah ada.32

Dari keempat syarat tersebut, secara garis besarnya dapat digolongkan

menjadi dua syarat pokok yaitu sebagai berikut:

1. Syarat Subjektif

Syarat subjektif adalah suatu syarat yang menyangkut pada subjek-subjek

perjanjian itu atau dengan perkataan lain, syarat-syarat yang harus dipenuhi

oleh mereka yang membuat perjanjian di mana hal ini meliputi kesepakatan

       32

(36)

mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan pihak yang membuat

perjanjian.

2. Syarat Objektif

Syarat objektif adalah syarat yang menyangkut pada objek perjanjian itu,

hal ini meliputi suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Akibat hukum

dari kedua syarat tersebut apabila tidak dapat terpenuhi adalah batal demi

hukum (Pasal 1446 KUH Perdata). Dalam syarat subjektif, apabila perjanjian

yang disepakati itu diberikan karena kekhilafan, dengan paksaan, atau

penipuan maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Lebih lanjut lagi dapat

diperjelas, kalau akibat hukum itu dapat dibatalkan, ini berarti sebelum

dilakukan pembatalan tersebut perjanjian itu adalah sah, sahnya sampai

diadakannya pembatalan itu. Sedangkan kalau akibatnya batal demi hukum, ini

berarti sejak lahirnya perjanjian itu sudah batal atau perjanjian itu memang ada

tapi tidak berlaku atau dianggap tidak pernah ada.33

Perjanjian dikenal beberapa asas penting, yaitu:34

1. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat

(1) KUH Perdata, yang dinyatakan “semua perjanjian yang dibuat secara sah

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas

kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada

para pihak untuk :

1. Membuat atau tidak membuat perjanjian       

33

A Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, (Yogyakarta : Liberty, 1985), hlm 13.

34

(37)

2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun

3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan,dan persyaratannya

4. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

Asas kebebasan berkontrak adalah setiap orang bebas mengadakan suatu

perjanjian apa saja baik perjanjian itu sudah diatur dalam undang-undang

maupun belum diatur dalam undang-undang.35

Asas kebebasan seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH

Perdata bukan berarti bahwa tidak ada batasannya sama sekali, melainkan

kebebasan seseorang dalam membuat perjanjian tersebut tidak bertentangan

dengan kesusilaan, ketertiban umum, dan undang-undang sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 1337 KUH Perdata.

5. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme dinyatakan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata.

Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian, yaitu

adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan asas

yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara

formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.

Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang

dibuat oleh kedua belah pihak. Asas konsensualisme yang dikenal dalam

KUH Perdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.

Syarat sahnya suatu perjanjian, bahwa harus ada kata sepakat dari mereka

yang membuat perjanjian. Asas ini penting sekali dalam suatu perjanjian,

       35

(38)

sebab dengan kata sepakat ini sudah timbul adanya suatu perjanjian sejak

tercapainya kata sepakat. Sejak tercapainya kata sepakat maka perjanjian itu

sudah mempunyai akibat hukum dan mengikat mengenai hal-hal yang pokok

dari apa yang diperjanjikan itu.36

6. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum.

Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda

merupakan asas bahwa hakim atau pihak yang berkepentingan harus

menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana

layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi

terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.

Asas pacta sunt servanda dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH

Perdata, yang berbunyi “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang”.

Asas pacta sunt servanda ini dalam suatu perjanjian bermaksud untuk

mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak yang telah membuat

perjanjian itu. Asas pacta sunt servanda dalam suatu perjanjian yang mereka

buat mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.37

7. Asas Itikad Baik (Goede Trouw)

Asas iktikad baik dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata

yaitu “perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Asas iktikad baik

merupakan asas bahwa para pihak yaitu pihak kreditur dan debitur harus

       36

Ibid, hlm. 21. 37

(39)

melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan

yang teguh atau kemauan baik dari pihak.

Asas itikad baik ini dapat dibedakan antara itikad baik yang subjektif dan

itikad baik yang objektif.38 Itikad baik dalam pengertian yang subjektif dapat

diartikan sebagai kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan

hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu

diadakan perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik dalam pengertian yang

objektif, maksudnya bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan

pada norma kepatutan atau apa-apa yang dirasakan sesuai dengan yang patut

dalam masyarakat (Pasal 1339 KUH Perdata).

8. Asas Kepribadian (Personalitas)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang

akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan

perseoranagan saja. Asas ini dinyatakan dalam Pasal 1315 KUH Perdata,

yaitu “pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama

sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”.

Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang

dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum

pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri. Namun

ketentuan itu ada pengecualiannya, sebagaimana yang dinyatakan dalam

Pasal 1317 KUH Perdata bahwa dapat pula perjanjian diadakan untuk

kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri,

       38

(40)

atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam

itu. Pasal ini menyatakan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian

untuk kepentingan pihak ketiga dengan suatu syarat yang ditentukan.39

B. Pengertian Perjanjian Kerja Bersama

Istilah Perjanjian Kerja Bersama (selanjutnya disebut dengan PKB) timbul

setelah diundangkannya UUSP, dimaksudkan untuk mengganti istilah sebelumnya

yaitu Kesepakatan Kerja Bersama (KKB), dikarenakan pembuat undang-undang

berpendapat bahwa pengertian dari PKB sama dengan KKB. UUK menggunakan

istilah PKB, karena substansi PKB ini sendiri memuat syarat-syarat kerja hak dan

kewajiban kedua belah pihak yang dihasilkan melalui perundingan atau perjanjian

dan isinya bersifat mengikat.

Sentanoe Kertonegoro berpendapat lain mengenai persamaan pengertian

PKB dengan KKB, beliau menyatakan bahwa:

PKB adalah:

1. Merupakan dasar dari individualisme dan liberalisme yang berpendapat bahwa diantara pekerja/buruh dengan pengusaha adalah dua pihak yang memiliki kepentingan berbeda dalam perusahaan. 2. Bebas untuk melakukan perundingan dan juga membuat perjanjian

tanpa adanya campur tangan dari pihak lain.

3. Dibuat melalui perundingan yang bersifat tawar-menawar masing-masing pihak akan berusaha memperkuat kekuatan tawar-menawar, bahkan dengan menggunakan senjata mogok dan penutupan perusahaan.

4. Hasilnya adalah perjanjian yang merupakan keseimbangan dari kekuatan tawar-menawar.

Adapun KKB, yaitu:

1. Dasar adalah hubungan industrial Pancasila berpandangan bahwa antara pekerja dan pengusaha terdapat hubungan yang bersifat kekeluargaan dan gotong-royong.

       39

(41)

2. Mereka bebas melakukan perundingan dan memuat perjanjian asal saja, tetapi memperhatikan kepentingan yang lebih luas, yaitu masyarakat, bangsa, dan negara.

3. Dibuat melalui musyawarah untuk mufakat, tidak melalui kekuatan tawar-menawar, tetapi yang diperlukan sifat yang keterbukaan, kejujuran, dan pemahaman terhadap kepentingan semua pihak. Kehadiran serikat pekerja dalam rangka meningkatkan kerja sama dan tanggung jawab.

4. Hasilnya adalah suatu kesepakatan yang merupakan titik optimal yang bisa dicapai menurut kondisi yang ada, dengan memperhatikan kepentingan semua pihak.40

Perbedaan antara PKB dengan KKB, tampak ada peluang yang dapat digunakan

oleh majikan dalam memanfaatkan suatu keadaan dari pengertian KKB untuk

menekankan buruh dalam memperjuangkan haknya. Pada pengertian KKB, lebih

ditekankan bahwa semua pihak tidak hanya mengutamakan kepentingannya,

tetapi juga harus memperhatikan juga kepentingan bangsa dan negara. Sebagai

contoh pemerintah telah menetapkan upah minimum provinsi/kota.41

Pasal 1 angka 21 UUK dinyatakan pengertian PKB adalah perjanjian yang

merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat

pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan

pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang membuat

syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.

PKB merupakan perundingan para pihak terkait yaitu serikat

pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh dengan

pengusaha atau beberapa pengusaha yang mengatur syarat-syarat kerja, serta hak

dan kewajiban masing-masing pihak. PKB tidak hanya mengikat para pihak yang       

40 Sentanoe Kertonegoro, Hubungan Industrial, Hubungan antara Pengusaha dan Pekerja (Bipartid) dan Pemerintah (Tripartid), (Jakarta : YTKI, 1999), hlm. 106.

41

(42)

membuatnya yaitu serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha saja tetapi juga

mengikat pihak ketiga yang tidak ikut dalam perundingan yaitu pekerja/buruh,

terlepas dari apakah pekerja/buruh tersebut menerima atau menolak isi PKB dan

apakah pekerja/buruh tersebut menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh yang

berunding atau tidak.42 Perundingan PKB harus didasari dengan itikad baik dan

kemauan bebas kedua belah pihak secara musyawarah dan mufakat sehingga hasil

yang dicapai dapat dilaksanakan bersama dalam upaya menciptakan hubungan

yang harmonis didalam perusahaan.

Penggunaan istilah bersama dalam PKB ini memberikan kekuatan

berlakunya perjanjian yaitu adanya kekuatan mengikat pengusaha, atau beberapa

pengusaha, serikat pekerja/buruh, dan pekerja/buruh itu sendiri. Dalam suatu

perusahaan hanya boleh dibuat 1 (satu) PKB yang berlaku untuk pengusaha dan

semua pekerja/buruh di perusahaan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar dalam satu

perusahaan tidak terdapat perbedaan syarat-syarat kerja antara pekerja/buruh satu

dengan pekerja/buruh lainnya. Apabila perusahaan memiliki cabang perusahaan,

maka dapat dibuat PKB induk yang berlaku untuk di semua cabang dan PKB

turunan yang berlaku untuk di masing-masing cabang perusahaan. PKB induk

mengatur ketentuan-ketentuan yang berlaku umum di seluruh cabang perusahaan

dan PKB turunan memuat pelasanaan PKB induk yang disesuaikan dengan

kondisi masing-masing cabang perusahaan. Apabila belum ada kesepakatan dalam

PKB turunan maka tetap berlaku PKB induk (Pasal 13 Keputusan Menteri Tenaga

Kerja dan Transmigrasi Nomor : PER.16/MEN/XI/2011).

       42

(43)

C. Tata Cara Pembuatan dan Jangka Waktu Berlakunya Perjanjian Kerja Bersama

PKB dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat

pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab

dibidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.

Pihak-pihak yang dapat mengadakan PKB sebagaimana ditetapkan dalam

Pasal 12 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor :

PER.16/MEN/XI/2011 adalah:

1. Dari pihak pengusaha, yaitu:

1. Pengusaha, atau

2. Perkumpulan atau perkumpulan-perkumpulan pengusaha yang

berbadan hukum.

3. Dari pihak pekerja, yaitu:

1. Serikat pekerja, atau

2. Serikat-serikat pekerja yang telah terdaftar pada Departemen Tenaga

Kerja.

Membangun hubungan industrial di perusahaan tanpa kehadiran serikat

pekerja, bukanlah sesuatu hal yang mustahil dan tidak bertentangan dengan

ketentuan-ketentuan yang berlaku di bidang ketenagakerjaan yang ada di

Indonesia. Banyak perusahaan yang tidak membentuk serikat pekerja. Namun

demikian, pihak perusahaan harus berhati-hati dalam merencanakan dan

melaksanakannya. Hal ini penting untuk menghindarkan perusahaan dari tuntutan

(44)

merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang

Serikat Pekerja/Buruh.

Hubungan industrial tanpa keterlibatan serikat pekerja, dapat dibangun

apabila faktor-faktor yang dapat menahan upaya pengorganisasian serikat pekerja

telah dimiliki atau telah dibangun oleh pihak perusahaan. Faktor-faktor tersebut

adalah:43

1. Faktor faktor yang dapat menurunkan kesempatan terjadinya

pengorganisasian serikat pekerja

1. Adanya keyakinan dari karyawan bahwa atasannya tidak

memanfaatkannya.

2. Para karyawan yang bangga dengan pekerjaannya.

3. Catatan-catatan mengenai prestasi kerja yang baik disimpan oleh

perusahaan. Para karyawan merasa aman saat mereka mengetahui

bahwa upaya-upaya mereka diakui dan dihargai.

4. Tidak adanya tuntutan atas perlakuan yang sewenang-wenang. Para

karyawan menghargai disiplin yang tegas tapi adil.

5. Faktor-faktor di dalam perusahaan yang dapat menahan munculnya

keinginan membentuk serikat pekerja

1. Komunikasi yang efektif.

2. Kepercayaan dan keterbukaan.

       43

(45)

3. Kompensasi yang efektif dengan sistim penggajian dan kesejahteraan

diberikan secara tepat guna kepada karyawan untuk mendorong mereka

berprestasi secara maksimal di dalam perusahaan.

4. Lingkungan kerja yang sehat dan aman.

UUK menjelaskan bahwa dalam hal disatu perusahaan hanya terdapat satu

serikat pekerja/serikat buruh, maka serikat pekerja/serikat buruh tersebut berhak

mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan PKB dengan pengusaha

apabila memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah

seluruh pekerja/buruh diperusahaan yang bersangkutan (Pasal 119 ayat 1 UUK).

Dalam hal disatu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh

tetapi tidak memiliki anggota lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah

seluruh pekerja/buruh di perusahaan, maka serikat pekerja/serikat buruh dapat

mewakili pekerja/buruh dalam melakukan perundingan dengan pengusaha apabila

serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat dukungan lebih

50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui

pemungutan suara (Pasal 19 ayat 2 UUK). Dalam hal dukungan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (2) tidak tercapai maka serikat pekerja/serikat buruh yang

bersangkutan dapat mengajukan kembali permintaan untuk merundingkan PKB

dengan pengusaha setelah melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung

sejak dilakukannya pemungutan suara dengan mengikuti prosedur semula.44

Tempat perundingan pembuatan PKB dilakukan di kantor perusahaan yang

bersangkutan atau kantor serikat pekerja/serikat buruh atau tempat lain sesuai

       44

(46)

dengan kesepakatan kedua belah pihak. Biaya perundingan PKB menjadi beban

pengusaha, kecuali disepakatan lain oleh kedua pihak (Pasal 17 Keputusan

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : PER.16/MEN/XI/2011).

Perundingan pembuatan PKB dimulai dengan menyepakati terlebih dahulu

tata tertib dalam perundingan yang sekurang-kurangnya memuat (Pasal 17

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor :

PER.16/MEN/XI/2011):

1. Tujuan pembuatan tata tertib,

2. Susunan tim perunding,

3. Lamanya masa perundingan,

4. Materi perundingan,

5. Tempat perundingan,

6. Tata cara perundingan,

7. Cara penyelesaian apabila terjadi kebuntuan perundingan,

8. Sahnya perundingan, dan

9. Biaya perundingan

Tim perunding merupakan perwakilan dari masing-masing pihak (serikat

pekerja dan pengusaha) dengan pemberian kuasa penuh untuk melakukan

perundingan pembuatan PKB dengan ketentuan masing-masing paling banyak 9

(sembilan) orang dengan kuasa penuh. Ketentuan tata cara pembuatan PKB

menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor :

(47)

1. PKB dirundingkan oleh serikat pekerja atau beberapa serikat pekerja

yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab dibidang

ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha. Salah

satu pihak (serikat pekerja/serikat buruh atau pengusaha) mengajukan

pembuatan PKB secara tertulis, disertai konsep PKB;

2. Minimal anggota serikat pekerja/serikat buruh 50% (lima puluh

persen) dari jumlah pekerja/buruh yang ada pada saat petama

pembuatan PKB;

3. Perundingan dimulai paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak

permohonan tertulis;

4. Pihak-pihak yang berunding adalah pengurus serikat pekerja/serikat

buruh dan pimpinan perusahaan dengan membawa surat kuasa

masing-masing;

5. Perundingan dilaksanakan oleh tim perunding (negosiator) dengan

jumlah masing sesuai kebutuhan dengan ketentuan

masing-masing paling banyak 9 (sembilan) orang;

6. Batas waktu perundingan bipartid sesuai kesepakatan dalam tata

tertib, apabila dalam perundingan PKB tidak selesai dalam waktu

yang disepakati dalam tata tertib, maka kedua belah pihak dapat

menjadwal kembali perundingan dengan waktu paling lama 30 (tiga

puluh) hari setelah perundingan gagal;

7. Apabila dalam hal perundingan pembuatan PKB masih belum selesai

(48)

kembali, maka para pihak harus membuat pernyataan secara tertulis

bahwa perundingan tidak dapat diselesaikan pada waktunya yang

memuat:

1. Materi perjanjian kerja bersama yang belum mencapai

kesepakatan;

2. Pendirian para pihak;

3. Risalah perundingan;

4. Tempat, tanggal dan tanda tangan para pihak.

5. Dalam hal perundingan pembuatan PKB tidak mencapai kesepakatan

sebagaimana dimaksud dalam poin 6 maka salah satu pihak atau

kedua belah pihak melapor kepada instansi yang bertanggung jawab

dibidang ketenagakerjaan perihal gagalnya perundingan tersebut untuk

diselesaikan sesuai mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan

industrial. Instansi di bidang ketenagakerjaan yang dimaksud adalah:

1. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di

Kabupaten/Kota apabila lingkup berlakunya PKB hanya

mencakup satu Kabupaten/Kota;

2. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di

provinsi, apabila lingkup berlakunya PKB lebih dari satu

Kabupaten/Kota di satu Provinsi;

3. Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial pada Departemen

Tenaga Kerja dan Transmigrasi apabila lingkup berlakunya

(49)

4. Penyelesaian oleh instansi sebagaimana dimaksud poin 9 dilakukan

sesuai dengan mekanisme penyelesaian hubungan industrial yang

diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004;

5. Apabila penyelesaiaannya melalui mediasi dan para pihak atau salah

satu pihak tidak menerima anjuran mediator maka atas kesepakatan

para pihak, mediator melaporkan kepada menteri untuk menetapkan

langkah-langkah penyelesaian, laporan tersebut memuat:

1. Materi Perjanjian Kerja Bersama yang belum dicapai

kesepakatan;

2. Pendirian para pihak;

3. Kesimpulan perundingan;

4. Pertimbanggan dan saran penyelesaian;

Dalam hal ini menteri dapat menunjuk pejabat untuk melakukan

penyelesaian pembuatan PKB;

5. Apabila berbagai cara telah ditempuh untuk menyelesaiakan

pembuatan PKB namun tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu

pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial

di daerah hukumnya mencakup domisili perusahaan;

6. Pengusaha mendaftarkan PKB kepada instansi yang bertanggung

jawab di bidang ketenagakerjaan, maksud pendaftaran PKB adalah

sebagai alat monitoring dan evaluasi pengaturan syarat-syarat kerja

yang dilaksanakan perusahaan dan sebagai rujukan utama dalam hal

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah adalah untuk melihat objektif atau tidak pemberitaan yang ditulis pada Surat Kabar Jawa Pos tentang pemberitaan Kebakaran Diskotek redboXX

Pengadilan Negeri Sei Rampah sebagai lembaga Peradilan di bawah Mahkamah Agung, sejak sekitar bulan Desember tahun 2018 sudah mulai menerapkan standar PTSP sesuai

pelaku atau orang yang terlihat dalam peristiwa atau perbuatan hukum yang disengketakan. Dalam putusan tersebut, MA membenarkan testimonium de auditu secara eksepsional

Individu yang memiliki nilai sentralitas global terendah untuk topik jaringan komunikasi adaptasi ekonomi adalah node 23 yakni pak yusron, untuk adaptasi sosial adalah node 5

Memperhatikan identifikasi masalah yang ada, maka permasalahan yang diteliti dibatasi pada pengaruh penerapan metode pembelajaran Improve terhadap hasil belajar

tali benda dipakai untuk mengikat -- air selokan kecil: -- perut usus pada pusat bayi -- temali berma- cam-macam tali bertalian berhu- bungan dengan; - anak tali ternali

Masalah pengambilan keputusan pemindahan mesin yang akan dilakukan adalah apakah mesin Zehntel tersebut tetap dioperasikan di Palasari atau dipindahkan ke

Setelah mendapat pertapakan yang baik, selanjutnya keluarga-keluarga yang hendak mendirikan rumah tersebut mencari dan menetapkan satu hari yang baik melalui seorang dukun,