• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reformulasi Dana Alokasi Khusus Untuk Pencapaian Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Reformulasi Dana Alokasi Khusus Untuk Pencapaian Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

REFORMULASI DANA ALOKASI KHUSUS UNTUK

PENCAPAIAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL

BIDANG PENDIDIKAN

MOCHAMAD SAUQI BIMANTARA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Reformulasi Dana Alokasi Khusus untuk Pencapaian Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor,Juni 2015

Mochamad Sauqi Bimantara

(4)

ABSTRAK

MOCHAMAD SAUQI BIMANTARA. Reformulasi Dana Alokasi Khusus untuk Pencapaian Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan. Dibimbing oleh BAMBANG JUANDA.

Selama satu setengah dekade berjalannya desentralisasi fiskal di Indonesia, pelaksanaan dan formulasi pengalokasian Dana Alokasi Khusus (DAK) belum memenuhi tujuannya yakni untuk mempercepat pertumbuhan dan pembangunan. Oleh karena itu, DAK dengan menggunakan Standar Pelayanan Minimal (SPM) diperlukan karena lebih melihat kebutuhan yang diperlukan suatu daerah. Bidang pendidikan merupakan salah satu dari tiga bidang utama pelayanan dasar. Peningkatan dan pemerataan pendidikan yang baik diperlukan oleh suatu negara untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia. Penelitian ini menganalisis perhitungan DAK SPM dan kemudian membandingkan besaran alokasi dengan menggunakan formula saat ini (existing) dan formula DAK SPM dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita, tingkat kemiskinan, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) daerah tersebut menggunakan analisis korelasi. Hasil penelitian ini DAK SPM memiliki keterkaitan yang lebih kuat terhadap PDRB per kapita, tingkat kemiskinan dan IPM dibandingkan dengan DAK

existing.

Kata kunci: Analisis Korelasi, Dana Alokasi Khusus, Formulasi Standar Pelayanan Minimal, Pendidikan.

ABSTRACT

MOCHAMAD SAUQI BIMANTARA. Reformulation of Specific Grant for Minimum Service Standard Achievement in Education. Supervised By BAMBANG JUANDA.

Over one and a half decade goes by fiscal decentralization in Indonesia, the implementation and formulation of Specific Grant (DAK) has not fullfilled its purpose which is to accelerate economic growth and development. Therefore, DAK using Minimum Service Standard (SPM) is required due to the region basic needs. Education sector is one of the three main basic services sectors at the regions. The increasing quantity and equity of education are both needed by a country to improve a quality of human resources. This study analyzes the calculation of DAK SPM and comparison between the amount of allocation using existing formula and DAK SPM formula to Gross Domestic Product per capita (GDP), poverty rate, and Human Development Index (HDI) of the region using correlation analysis. The result of this study shows that DAK SPM has stronger linkages to regional GDP, poverty rate, and HDI than existing DAK.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

REFORMULASI DANA ALOKASI KHUSUS UNTUK

PENCAPAIAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL

BIDANG PENDIDIKAN

MOCHAMAD SAUQI BIMANTARA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2015 ini ialah Dana Alokasi Khusus (DAK), dengan judul Reformulasi Dana Alokasi Khusus untuk pencapaian Standar Pelayanan Minimal untuk Bidang Pendidikan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada orang tua penulis yakni Bapak Asep S. Muharam dan Ibu Eti Setiati, serta kakak dari penulis M. Yogi Septiaro atas segala doa dan dukungan yang selalu diberikan. Selain itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS selaku pembimbing yang telah memberikan ilmu, arahan, bimbingan, kritik, pelajaran, saran, serta motivasi yang sangat bermanfaat untuk penulis pada penulisan karya ilmiah ini

2. Bapak Dr. Syamsul Hidayat Pasaribu, M.Si selaku dosen penguji utama dan Dr. Eka Puspitawati selaku dosen penguji dari komisi pendidikan atas kritik serta saran yang telah diberikan untuk perbaikan ilmiah ini.

3. Para dosen, staff, dan seluruh akademika Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis.

4. Teman-teman satu bimbingan Nia Nirmala, Ratih Ayu, dan Ina Marlina yang telah memberikan bantuan, saran, kritik, dan motivasi kepada penulis.

5. Sahabat-sahabat penulis Riri, Rendy, Yogo, Salma, Dian, Sarah, Silmi, Regi, Ina, Ulin, Dody, Yusuf, Meli, Kati, Wina, Ajeng, Ogi yang telah memberikan dukungan, dan motivasi dari ketika kuliah hingga penyelesaian karya ilmiah ini.

6. Departemen Komunikasi dan Informasi BEM FEM 2013, Teman Sepermainan Wirenza, Ipeh, Imu, Karat, Kanina, dan Kak Ikhsan yang sudah memberikan saran, motivasi, dan pelajaran yang sangat berharga kepada penulis.

7. Divisi RED HIPOTESA 2014 Raras, Dede, Lita, Syifah, Ben, Gisa, Vidy, Inet, Dita, pimpinan HIPOTESA 2014, dan keluarga besar HIPOTESA 2014 yang telah menularkan semangat dan motivasinya kepada penulis. 8. Semua pihak yang telah membantu penyusunan karya ilmiah ini yang

tidak bisa disebutkan satu per satu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2015

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 4

TINJAUAN PUSTAKA 4

Otonomi Daerah 4

Desentralisasi Fiskal 5

Dana Perimbangan 5

Dana Alokasi Khusus 5

Standar Pelayanan Minimal 6

DAK-SPM 6

Indikator SPN Bidang Pendidikan 7

Formula Existing Penentuan Daerah Penerima DAK 9

Formula Existing Penentuan Alokasi DAK 11

Penelitian Terdahulu 12

Kerangka Pemikiran 12

METODE 13

Jenis dan Sumber Data 13

Definisi Operasional 14

Penggunaan Proksi Angka Putus Sekolah Kasar SMP 15

Formula DAK-SPM 15

Analisis Korelasi 18

HASIL DAN PEMBAHASAN 19

Hasil Perhitungan DAK SPM Menggunakan Proksi ISPN 19

Analisis Koefisien Korelasi 22

SIMPULAN DAN SARAN 25

Simpulan 25

(10)

DAFTAR PUSTAKA 26

LAMPIRAN 28

RIWAYAT HIDUP 81

DAFTAR TABEL

1. Pagu Bidang dan Alokasi Minimum Bidang Pendidikan Tahun 2015 12

2. Data dan Sumber Data 14

3. Target Pencapaian Proksi ISPN 17

4. Bobot ISPN output-outcome Bidang Pendidikan 17

5. Hasil Pencapaian Indikator SPN 19

6. Sepuluh Daerah Terbesar ICP 20

7. Sepuluh Daerah dengan DAK SPM Terbesar Bidang Pendidikan 20 8. Sepuluh Daerah dengan DAK Existing Terbesar Bidang Pendidikan 21

9. Hasil Analisis Koefisien Korelasi 22

10. Korelasi ICP dan IKKD dengan alokasi DAK SPM 24

11. Korelasi DAK SPM dengan Bobot Berbeda 24

DAFTAR GAMBAR

1. Indeks Gini Indonesia 2

2. Seluruh Indikator SPM, SIPD, MDGs, dan IPM 7

3. ISPN bidang pendidikan terpilih 8

4. Kerangka Pemikiran 13

5. Scatter Diagram DAK Existing dengan DAK SPM 21

6. Scatter Diagram DAK Existing dan SPM dengan Tingkat Kemiskinan 22 7. Scatter Diagram DAK Existing dan SPM dengan PDRB Per Kapita 23

8. Scatter Diagram DAK Existing dan SPM dengan IPM 24

DAFTAR LAMPIRAN

1. Daerah Layak dan Besaran Alokasi Penerima DAK Existing Tahun

2015 28

2. Penentuan Kelayakan DAK SPM 48

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memberlakukan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal selama satu setengah dekade ini. Hal ini tertuai pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 serta Undang-Undang-undang No. 33 Tahun 2004 mengenai perimbangan keuangan. Otonomi daerah dan pemberlakuan desentralisasi fiskal ini bertujuan mempercepat pembangunan dan memperluas pemerataan. Dalam mencapai tujuan tersebut maka digunakanlah instrumen-instrumen. Salah satu instrumennya adalah melalui dana perimbangan. Dana perimbangan sendiri terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), serta Dana Alokasi Khusus (DAK).

DAK yang merupakan salah satu pendapatan pemerintah daerah, berfungsi untuk membiayai kegiatan khusus bagi daerah tertentu sesuai dengan prioritas nasional. DAK merupakan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang ditetapkan setiap tahunnya. Daerah penerima DAK dan jumlah alokasi yang diterima daerah penerima DAK ditentukan berdasarkan formula yang ditentukan oleh Departemen Keuangan setiap tahunnya. DAK yang membiayai kegiatan khusus daerah tertentu ini juga bertujuan untuk mempengaruhi pola alokasi daerah yang merupakan perwujudan tugas pemerintah di bidang tertentu. Pelaksanaan DAK di Indonesia saat ini berbentuk matching grants dimana daerah harus menyiapkan dana pendamping sebesar 10%. Hingga saat ini, pelaksanaan DAK di Indonesia menggunakan close-ended grants yang berarti jumlah yang akan diterima oleh daerah sudah ditentukan dari awal untuk satu tahun anggaran.

Sejalan dengan satu setengah dekade pemberlakuan DAK di Indonesia, Indonesia banyak menjumpai berbagai masalah. Penentuan daerah dan jumlah alokasi DAK yang diterima oleh daerah penerima tersebut dinilai belum efisien dan efektif. Pada penentuan daerah, formula penentuan tersebut ditentukan berdasarkan tiga kriteria yakni umum, khusus, dan teknis. Penentuan derah ini ditentukan dengan cara substitutif pada ketiga kriteria tersebut. Maksudnya adalah apabila daerah tidak lolos pada kriteria umum maka dilanjutkan pada kriteria khusus. Apabila daerah tersebut tidak lolos juga pada kriteria khusus maka daerah tersebut ditentukan pada kriteria yang terakhir yakni kriteria teknis. Penggunaan ketiga kriteria ini yang bersifat substitutif membuat semakin banyak daerah yang layak mendapatkan DAK dan menghilangkan nilai-nilai kekhususan dari DAK itu sendiri. Kriteria teknis dalam penentuan daerah saat ini dinilai bersifat kaku karena dilaksanakan sesuai petunjuk teknis yang diterapkan serupa untuk seluruh daerah di Indonesia. Kemudian kriteria teknis hingga saat ini dalam penentuan indikator teknis tersebut selalu diubah-ubah setiap tahunnya. Lainnya, menurut penelitian yang dilakukan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Deutsche Gesellchaft Für Internationale Zusammenarbeit (GIZ),

(12)

2

kontribusi terhadap beberapa indikator tujuan-tujuan pertumbuhan dan pembangunan nasional.

Selain itu, ketimpangan Indonesia yang dilambangkan oleh indeks gini semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan semakin lebarnya kesenjangan pendapatan yang terjadi di Indonesia. Dimana individu yang berpendapatan tinggi semakin kaya sedangkan penduduk yang miskin menjadi semakin miskin.

Gambar 1 Indeks Gini Indonesia

Formulasi DAK saat ini dinilai tidak efisien untuk mecapai tujuan nasional, sehingga belum dapat mencapai tujuan yang diamanatkan (ADB 2011). Selama berjalannya desentralisasi fiskal dan otonomi daerah di Indonesia hingga saat ini Standar Pelayanan Minimal (SPM) belum dapat sepenuhnya dapat diimplementasikan. Dokumen Grand Desain Desentralisasi Fiskal Indonesia (DJPK 2009) menyatakan penyediaan pelayanan publik sesuai SPM merupakan salah satu elemen utama desentralisasi fiskal yang perlu disempurnakan. Oleh karena itu perlu adanya pengoptimalisasian formula penentuan daerah penerima DAK dan besaran alokasi DAK.

Oleh karena itu sebagai upaya dalam perbaikan formulasi DAK pemerintah telah menyusun rancangan revisi UU No. 33 Tahun 2004. Dimana pada revisi tersebut tujuan pemberian DAK diberikan untuk mendanai kegiatan khusus :

1. Kegiatan dalam rangka mendorong pencapaian SPM pelayanan dasar pendidikan, kesehatan, dan/atau infrastruktur jalan, jembatan, sanitasi, irigasi, dan air minum

2. Kegiatan dalam rangka pencapaian prioritas nasional

3. Kegiatan dalam rangka kebijakan tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan

Pada pasal 41 draf XX revisi UU No. 33 Tahun 2004, pemerintah berencana mendorong pencapaian SPM melalui kebijakan fiskal. Rencana ini kemudian mengusulkan penggunaan DAK yang di prioritaskan untuk mendanai pencapaian SPM (DAK-SPM). DAK-SPM ini digunakan untuk mencapai SPM pelayanan dasar di daerah. Selain itu, DAK-SPM dapat digunakan untuk kegiatan fisik dan non fisik sehingga memberikan fleksibilitas kepada daerah untuk mengatur sendiri kebutuhannya, kemudian DAK-SPM bersifat performance based

dimana berorientasi pada tujuan (output).

DAK-SPM ini ditujukan untuk membiayai SPM pada tiga pelayanan dasar, yaitu pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan umum. Pendidikan sebagai salah satu pelayanan dasar sangatlah penting untuk meningkatkan kesehjateraan masyarakat daerah karena dengan adanya pelayanan dasar pendidikan maka akan tercipta pula

Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah)

0.30

2008 2009 2010 2011 2012 2013

(13)

3 pembangunan sumberdaya manusia. Dengan tercapainya SPM ini akan menimbulkan pemerataan pada bidang pendidikan ini mengakibatkan daerah yang maju dan daerah yang terpelosok sama-sama mendapatkan pelayanan pada standar yang sama.

Saat ini penyediaan data SPM di daerah masih belum lengkap (terbatas), oleh karena itu digunakanlah proksi Indikator Standar Pelayanan Nasional (ISPN) dimana ISPN merupakan gabungan indikator yang berasal dari SPM, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Sistem Informasi Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri dan Millennium Development Goals BAPPENAS. Karena DAK digunakan untuk pencapaian SPM maka lebih sesuai menggunakan indikator yang berbasis output-outcome. Penggunaan ISPN output-outcome dinilai lebih valid, sederhana dan reliable. Selain itu penggunaan ISPN output-outcome memberikan fleksibilitas kepada daerah dalam melakukan intervensi indikator SPM mana yang diprioritaskan untuk dicapai,dan sangat terkait dengan ISPN pada daerah tersebut (Juanda et al. 2014).

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan bahwa formula penentuan DAK saat ini dinilai menghilangkan nilai-nilai kekhususannya karena jumlah bidang yang dibiayai, dan jumlah daerah penerima DAK semakin banyak. Oleh karena itu pemerintah berencana mengarahkan DAK untuk pencapaian SPM. Penulis merangkum rumusan masalah menjadi dua poin, yakni :

1. Bagaimana Hasil Perhitungan DAK menggunakan formula DAK pencapaian SPM bidang pendidikan ?

2. Bagaimana perbandingan besaran alokasi antara DAK Existing dan DAK SPM bidang pendidikan serta hubungannya terhadap kondisi perekonomian dan pembangunan daerah ?

Tujuan Penelitian

Dalam rangka optimalisasi DAK dari pusat ke daerah seperti yang sudah dipaparkan pada latar belakang dan rumusan masalah, untuk mengurangi dan menghilangkan kelemahan dan permasalahan yang ada. Diperlukannya peninjauan kembali mengenai formula yang digunakan untuk merancang DAK yang akan diterima oleh daerah. Kementerian Keuangan berencana akan memberlakukan formula baru yakni menggunakan Standar Pelayanan Minimal (DAK-SPM). Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis dan mengkaji penentuan daerah penerima DAK dan besarnya alokasi yang akan diterima oleh daerah tersebut dengan menggunakan DAK-SPM untuk DAK tahun 2015 pada bidang pendidikan. 2. Membandingkan hasil kedua formula yang digunakan yakni formula

(14)

4

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan memberikan pertimbangan kepada kementerian atau lembaga terkait untuk menetapkan kebijakan fiskal yang lebih sesuai dengan kondisi saat ini agar dapat mencapai sasaran pembangunan, pemerataan dan pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan bagi masyarakat umum serta dapat dijadikan sumber rujukan untuk penelitian lain yang terkait dengan DAK.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini gambaran umum mengenai perhitungan DAK formula saat ini (existing) yakni formula tahun 2015 dan tahun-tahun sebelumnya, dan formula DAK-SPM dengan data untuk tahun 2015. Penelitian ini mencakup seluruh daerah kabupaten/kota di Indonesia. Penelitian ini hanya dibatasi pada bidang pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang merupakan pelayanan dasar di daerah. Karena permasalahan keterbatasan data pencapaian SPM menyebabkan formulasi berdasarkan indikator SPM mengalami kendala dalam penerapannya. Juanda et al (2014) merekomendasikan penggunaan ISPN. ISPN merupakan proksi indikator SPM yang datanya tersedia. Pada penelitian ini penulis menggunakan ISPN yang menggunakan indikator

output-outcome.

TINJAUAN PUSTAKA

Otonomi Daerah

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014). Daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Tujuan otonomi daerah ini adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, mempermudah pemantauan dan pengontrolan oleh masyarakat terkait penggunaan dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), dan menciptakan persaingan yang sehat antar daerah dan mendorong timbulnya inovasi. Dengan adanya kewenangan daerah tersebut, daerah diharapkan lebih mampu untuk menggali sumber-sumber keuangan khususnya untuk memenuhi kebutuhan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD) (Sutedi 2009).

(15)

5 mendorong kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah dan masyarakat daerah dalam meningkatkan kesehjateraan daerahnya (Haris 2005).

Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi fiskal merupakan salah satu mekanisme penyaluran dana dari APBN dalam kaitan dengan kebijakan keuangan negara, yaitu untuk mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan dan memberikan stimulus terhadap aktivitas perekonomian masyarakat, maka dengan kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan akan menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah yang sepadan dengan besarnya kewenangan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah otonom (Rahayu 2010).

Selain itu, definisi lainnya desentralisasi fiskal adalah varian dari pelaksanaan desentralisasi yang ditempuh oleh suatu negara. Didefinisikan sebagai devolusi (penyerahan) tanggung jawab fiskal dari pemerintah pusat kepada tingkatan pemerintahan yang ada dibawahnya, sub national level of government, seperti negara bagian, daerah, provinsi, distrik, dan kota. Tanzi (2004) menyatakan bahwa desentralisasi fiskal harus diimbangi dengan kemampuan daerah untuk membiayai sejumlah pengeluaran yang dialihkan kepadanya dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi dengan jalan memberikan kewenangan untuk menarik pajak yang telah dialihkan kepadanya, menarik pajak yang telah ditetapkan kepadanya dalam (Rahayu 2010).

Desentralisasi Fiskal memiliki makna dalam bentuk pemberian otonomi di bidang keuangan (sebagai sumber penerimaan) kepada daerah-daerah merupakan suatu proses untuk mengintensifikasikan peranan dan sekaligus pemberdayaan daerah dalam pembangunan.

Dana Perimbangan

Intergovernmental transfers atau dikenal dengan istilah dana perimbangan di Indonesia terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH, Revenue Sharing), DAU, dan DAK. Dana Alokasi Umum adalah yang terbesar dari ketiga jenis dana perimbangan tersebut, diikuti oleh DBH dan kemudian yang terkecil adalah DAK. Namun DAK hingga saat ini menunjukan trend peningkatan, terutama akibat dari pemindahan Dana Dekonsentrasi (Dekon) dan/atau dana dalam rangka Tugas Pembantuan (TP).

Dana Perimbangan merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal dari APBN yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi kepada daerah, yaitu terutama peningkatan pelayanan dan kesehjateraan masyarakat yang semakin baik (Supriady et al. 2003).

Dana Alokasi Khusus

Berikut adalah regulasi atau dasar hukum yang dijadikan dasar untuk pengelolaan DAK secara umum (perencanaan, penetapan, program dan kegiatan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi DAK) :

(16)

6

ii. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

iii.Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan

iv.Petunjuk Teknis yang ditetapkan oleh Menteri Teknis terkait

v. Permendagri Nomor 20 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Alokasi Khusus di daerah

vi.Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS, Menteri Keuangan, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 0239/M.PPN/11/2008, SE 1722/MK 07/2008, 900/3556/SJ tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemantauan Teknis Pelaksanaan dan Evaluasi Pemanfaatan DAK.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 DAK didefinisikan sebagai dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. DAK Indonesia termasuk kelompok transfer bersyarat, yang digolongkan sebagai matching requirement dimana daerah harus menyiapkan dana pendamping sebesar 10%. Lebih jauh lagi DAK di Indonesia termasuk dalam kelompok close-ended matching grants, yang berarti jumlah yang akan diterima oleh daerah sudah ditentukan dari awal untuk satu tahun anggaran.

DAK dapat dialokasikan dari APBN kepada daerah tertentu untuk membantu membiayai kebutuhan khusus, dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN. Maksud dari daerah tertentu adalah daerah-daerah yang mempunyai kebutuhan yang bersifat khusus. DAK digunakan khusus untuk membiayai investasi pengadaan dan/atau peningkatan dan/atau perbaikan prasarana dan sarana fisik dengan umur ekonomis yang panjang. DAK dapat membantu biaya pengoperasian dan pemeliharaan prasarana dan sarana tertentu untuk periode terbatas, tidak melebihi tiga tahun (Supriady et al. 2003).

Standar Pelayanan Minimal

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005, Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. SPM ditetapkan oleh pemerintah dan diberlakukan untuk seluruh pemerintahan daerah propinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Penerapan SPM oleh pemerintahan daerah merupakan bagian dari penyelenggaraan pelayanan dasar nasional. SPM disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan, prioritas dan kemampuan keuangan nasional dan daerah serta kemampuan kelembagaan dan personil daerah dalam bidang yang bersangkutan.

DAK-SPM

(17)

7 sehingga bantuan spesifik ditujukan untuk mempengaruhi pola belanja daerah agar menunjang pencapaian SPM tersebut, misalnya penggunaan yang spesifik dan mensyaratkan dana pendamping (Juanda 2013).

Pelaksanaan kebijakan DAK-SPM memiliki tujuan untuk mempercepat pemerataan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan pelayanan publik pada tingkat standar tertentu. Instrumen SPM yang bersifat standarisasi lebih bernuansa pemerataan pelayanan antar daerah, secara substantif. Sehingga untuk pemerintah daerah yang masih memberikan pelayanan dibawah stadar, penerapan SPM berarti upaya mendorong peningkatan derajat pelayanan baik secara kualitas maupun kuantitas.

Indikator SPN Bidang Pendidikan

Penggunaan data indikator SPM saat ini sulit dilakukan, karena masih banyaknya daerah yang belum melengkapi data pencapaiannya. Oleh karena itu. (Juanda et al. 2014) menyarankan penggunaan proksi indikator SPN (ISPN). Proksi ISPN ini dipilih berdasarkan metode expert judgement dimana dipilih berdasarkan empat kriteria :

1. Bersumber dari (i) IPM BPS , (ii) Millenium Development Goals

(MDGs) BAPPENAS, (iii) Pelayanan Publik Sistem Informasi Pembangunan Daerah (SIPD) Kementerian Dalam Negeri, dan (iv) SPM Kementerian dan lembaga terkait.

2. Keterwakilan indikator SPM 3. Ketersediaan data

4. Terdiri dari indikator (i) input process, (ii) output outcome, dan (iii)

input process output outcome

SPM pada bidang pendidikan memiliki 27 indikator, kemudian setelah digabungkan dengan IPM, MDGs, dan SIPD ditotalkan menjadi sebanyak 53 indikator terdiri dari input, process, output, outcome seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.

Gambar 2 Seluruh Indikator SPM, SIPD, MDGs, dan IPM

(18)

8

Kemudian berdasarkan metode expert judgement yang dilakukan oleh (Juanda et al. 2014), Gambar 3 merupakan indikator ISPN terpilih berdasarkan empat kategori yang sudah disebutkan sebelumnya.

Gambar 3 ISPN bidang pendidikan terpilih Indikator input-process dan output-outcome :

1. Angka Melek Huruf (%)

2. Rata-rata Lama Sekolah (Tahun)

3. Angka Partisipasi Murni SD/MI dan SMP/MTs (%)

4. Proporsi murid kelas 1 yang berhasil menamatkan sekolah dasar (%) 5. Angka Melek Huruf 15-24 tahun (%)

6. Rasio Ketersediaan sekolah/penduduk usia sekolah SD/MI 7. Rasio Ketersediaan sekolah/penduduk usia sekolah SMP/MTs 8. Rasio Guru terhadap SD/MI

9. Rasio Guru terhadap SMP/MTs 10.Angka Putus Sekolah SMP

11.Guru SD/MI yang berkualifikasi S1/D-IV dan bersertifikasi 12.Guru SMP/MTs yang berkualifikasi S1/D-IV dan bersertifikasi Indikator Output-Outcome :

1. Rata-rata Lama Sekolah (Tahun)

2. Angka Partisipasi Murni SMP/MTs (%) 3. Angka Melek Huruf usia 15-24 tahun (%) 4. Angka Putus Sekolah SMP/MTs (%)

Penggunaan Indikator Output-Outcome dipilih pada penelitian ini karena indikator tersebut datanya valid, sederhana dan dapat dipertanggungjawabkan. Serta memberikan fleksibelitas kepada daerah untuk menentukan indikator prioritas dalam pencapaian SPM daerah tersebut.

(19)

9

Formula Existing Penentuan Daerah Penerima DAK

Sesuai pada Pasal 40 Undang-undang 33 tahun 2004 DAK ditetapkan dengan mengikuti tiga kriteria, yakni kriteria umum, khusus, dan teknis. Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam APBD. Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah. Sedangkan kriteria teknis ditetapkan oleh kementerian negara atau departemen teknis.

Kriteria Umum

Didefinisikan sebagai kemampuan APBD untuk membiayai pembangunan daerah, yakni Kemampuan Keuangan Daerah (KKD) sebagai selisih antara Penerimaan Umum Daerah (PUD) dan Belanja Pegawai Daerah (BPD). Penerimaan Umum Daerah terdiri dari DAU, PAD, DBH, dan dikurangi dengan Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi.

KKD = 2- 2

KKD = [ 2 + 2+ ( 2 2)] –2 (1)

Selanjutnya menerjemahkan KKD ke dalam bentuk Indeks Fiskal Netto (IFN/IKKD) dan kemudian menetapkan daerah yang memenuhi kriteria umum merupakan daerah dengan IFN yang ditetapkan setiap tahun. Untuk tahun 2015, yang memenuhi kriteria umum adalah daerah dengan IFN kurang dari satu dan selanjutnya dikategorikan dengan kategori IFN Tinggi, Sedang, Rendah dan Rendah Sekali. Apabila daerah termasuk pada IFN tinggi maka daerah tersebut tidak mendapatkan DAK dan tidak masuk terhadap perhitungan selanjutnya. IKKD = � = (2)

KKDi : Kemampuan Keuangan Daerah daerah ke-i IFNi : Indeks Fiskal Netto daerah ke-i

Setelah mendapatkan IFNi dan membuang daerah dengan IFNi kategori tinggi kemudian IFNi di standarisasi kembali dengan membagi IFNi dengan rata-ratanya setelah daerah IFN tinggi dibuang.

Kriteria Khusus

Kriteria khusus diformulasikan ke dalam Indeks Karakteristik Wilayah (IKW), yang sering disebut juga Indeks Kewilayahan. Kecuali untuk daerah yang telah dispesifikasi oleh undang-undang mengenai otonomi khusus yakni Provinsi Papua dan Papua Barat. IKW terdiri dari Indeks Daerah Tertinggal (IDT), Indeks Daerah Perbatasan (IDP), dan Indeks Daerah Pesisir Kepulauan (IDPK) dimana untuk mendapatkan indeks dari indikator masing-masing adalah dengan indikator suatu daerah tersebut harus membaginya dengan rata-rata indikator tersebut. Contohnya adalah daerah tertinggal suatu daerah harus dibagi dengan rata-rata daerah tertinggal seluruh indonesia. Untuk lebih jelasnya dapat disederhanakan dengan rumus berikut :

(20)

10

IDPKi : Indeks Daerah Pesisir Kepulauan daerah ke-i IKWi : Indeks Karakteristik Wilayah daerah ke-i

Daerah dapat dikatakan layak menerima DAK melalui kriteria khusus ini adalah daerah dengan otonomi khusus yakni Papua dan Papua Barat serta daerah dengan besaran Indeks Fiskal Wilayah lebih dari satu. IFW sendiri merupakan komponen dari penjumlahan IFNi dan IKWi.

� = 0,5 � + 0.5 (5) IFWi : Indeks Fiskal Wilayah daerah ke-i

Kriteria Teknis

Kriteria teknis ini ditetapkan oleh kementerian teknis yang bersangkutan dalam hal penelitian ini maka yang digunakan berasal dari kementerian pendidikan. Kementerian teknis menyusun kriteria teknis ke dalam indikator-indikator kegiatan yang kemudian diserahkan kepada Menteri Keuangan. Kriteria teknis mencakup standar kualitas atau kuantitas konstruksi serta perkiraan manfaat lokal dan nasional yang menjadi indikator dalam perhitungan teknis. Untuk penentuan teknis tahun 2015 berikut bobot yang digunakan untuk bidang pendidikan :

Sub Bidang Pendidikan SD/SDLB

Indeks Teknis (IT) Sub Bidang Pendidikan SD/SDLB untuk Pemda Kab./Kota ditentukan berdasarkan indikator-indikator teknis sebagai berikut:

1) Rehab Ruang Kelas Rusak Sedang bobot 17%

9) Kebutuhan Alat Pendidikan bobot 30%

Jumlah perhitungan indikator teknis dan bobot tersebut kemudian dikalikan dengan faktor pengali berdasarkan Angka Partisipasi Murni (APM), dengan nilai sebagai berikut:

APM > 95% nilai 1 APM < 95% nilai 2

Sub Bidang Pendidikan SMP/SMPLB

IT Sub Bidang Pendidikan SMP/SMPLB untuk Pemda Kab./Kota ditentukan berdasarkan indikator-indikator teknis sebagai berikut:

1) Rehab Ruang Belajar Rusak Berat bobot 12% 2) Rehab Ruang Belajar Rusak Sedang bobot 12% 3) Kebutuhan Ruang Kelas Baru bobot 20% 4) Kebutuhan Ruang Perpustakaan bobot 7% 5) Kebutuhan Ruang Laboratorium IPA bobot 7% 6) Kebutuhan Ruang Laboratorium Komputer bobot 2% 7) Kebutuhan Ruang Laboratorium Bahasa bobot 2%

8) Kebutuhan Ruang Guru bobot 4%

9) WC Guru bobot 1,5%

(21)

11

11) Rumah Dinas Guru bobot 3%

12) Alat IPA bobot 5%

13) Alat IPS bobot 2%

14) Alat Matematika bobot 2%

15) Alat PJOK bobot 4%

16) Alat Bahasa bobot 5%

17) Laporan DAK bobot 10%

Kemudian untuk menentukan apakah daerah tersebut layak atau tidak menurut kriteria teknis, digunakannya Indeks Fiskal Wilayah Teknis (IFWT1) yang merupakan gabungan komposisi dari IFW dan Indeks Teknis (IT). Setelah distandarisasi kembali daerah dikatakan layak apabila IFWTi1 lebih besar dari satu.

� 1 = 0,5 � + 0,5 (6)

Formula Existing Penentuan Alokasi DAK

Besaran alokasi DAK untuk tahun 2015 untuk masing-masing daerah yang sudah ditentukan dalam tahap sebelumnya sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan mempertimbangkan ketiga kriteria. Oleh karena itu, dasar penentuannya tetap menggunakan indeks dengan unsur ketiga kriteria tersebut dengan proporsi yang berbeda. Setelah daerah ditentukan layak menerima DAK baik menurut kriteria umum, khusus, maupun teknis kemudian menurut bidangnya daeah tersebut dilihat kembali Indeks Teknis per bidangnya. Apabila indeks teknis lebih besar dari 0 (nol) maka daerah tersebut berhak mendapatkan alokasi pada bidang dengan IT tersebut. Sebaliknya, apabila IT tidak lebih besar dari nol maka daerah tersebut tidak mendapat alokasi pada bidang tersebut. Kemudian daerah yang mendapat alokasi tersebut dihitung kembali dengan IFWTnya namun dengan proporsi yang berbeda dengan formula penentuan daerah penerima DAK, yakni sebagai berikut :

� 2 = 0,2 � + 0,8 (7) Setelah mendapatkan nilai IFWT2 tersebut kemudian nilainya distandarisasi kembali sehingga rata-ratanya sama dengan satu. Kemudian IFWT2 yang didapatkan dikalikan dengan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) sehingga mendapatka bobot DAK per daerah per bidang (BD).

= � 2 (8)

Selanjutnya setelah mendapatkan BD, dengan membagi BD dengan jumlah BD yang ada pada bidang tersebut dan mengalikannya dengan Pagu Bidang dan dikurangi dengan jumlah daerah penerima (N) yang sudah dikalikan dengan Alokasi Minimal (AM) yang sudah ditentukan oleh kementerian teknis, maka akan didapatkan Alokasi DAK per Bidang (ADB). Pagu bidang dan AM yang sudah ditentukan sebelumnya, untuk bidang pendidikan dapat dilihat pada Tabel 1 .

(22)

12

Setelah mendapatkan ADB untuk masing-masing bidang maka dengan menambahkan ADB seluruh bidang pada suatu daerah, akan mendapatkan besaran alokasi DAK pada daerah tersebut.

Penelitian Terdahulu

Wibowo, et al (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Apakah DAK Benar-benar Spesifik? : Kasus Provinsi di Indonesia, 2003-2010” menggunakan analisis statistik untuk menganalisis kespesifikan DAK. Penelitian ini menggunakan alokasi DAK 33 provinsi di Indonesia tahun 2003 hingga 2009. Sesuai dengan evaluasi yang dilakukan selama 2003-2010 esensi dari spesifikasi tenggelam oleh adanya esensi pemerataan kapasitas fiskal baik itu secara horizontal maupun vertikal. Padahal yang lebih memiliki fungsi ini adalah DAU dan DBH. Hasil penelitian ini mengatakan bahwa pola dan besaran alokasi selama bertahun-tahum ini tidak berkontribusi secara signifikan terhadap tujuan dari adanya DAK untuk pembangunan nasional.

Juanda, et al (2014) pada laporan akhir “Kajian Atas Indikator Standar

Pelayanan Nasional (ISPN) di Bidang Layanan Publik Dasar yang Relevan

Dengan Pengalokasian DAK” merumuskan indikator ISPN bagi pemerintah pusat

yang ditujukan untuk mendorong daerah agar dapat mencapai target SPM. Penggunaan indikator output-outcome dinilai lebih cocok, karena penggunaan indikator ini relatif sederhana, valid, realibel, serta memberikan fleksibilitas dalam melakukan intervensi indikator mana yang diprioritaskan untuk dicapai dan sangat terkait dengan indikator indikator output-outcome di daerah tersebut.

Kerangka Pemikiran

Setelah satu setengah dekade pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pelaksanaan dan pengalokasian Dana Alokasi Khusus (DAK) dinilai tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap pembangunan dan pertumbuhan nasional. Hal ini dikarenakan formulasi DAK saat ini yang menghilangkan nilai-nilai khusus yang ada pada DAK. Oleh karena itu dicanangkannya formulasi dengan pencapaian Standar Pelayananan Minimal. Formulasi DAK-SPM meliputi penentuan daerah dan penentuan alokasi. Karena keterbatasan data SPM seluruh daerah maka digunakannya proksi Indikator Standar Pelayanan Nasional (Juanda

et.al 2014).

Tabel 1 Pagu Bidang dan Alokasi Minimum Bidang Pendidikan Tahun 2015 No Sub Bidang Pagu Bidang (Rp) Alokasi Minimal (Rp) 1. SD/SDLB 3.514.455.000.000 3.000.000.000

2. SMP/SMPLB 2.510.325.000.000 2.500.000.000 Total Pagu 6.024.700.000.000

(23)

13

METODE

METODE

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari 505 kabupaten dan kota seluruh Indonesia. Data sekunder tersebut adalah data

cross section pada tahun 2013 karena untuk menentukan DAK tahun t digunakan formulasi 2 tahun sebelumnnya. Alat analisis yang digunakan oleh peneliti adalah

Microsoft Excel 2007 dan SPSS 20. Sumber dan data yang digunakan dijelaskan pada Tabel 2.

Gambar 4 Kerangka Pemikiran

DAK-SPM Otonomi Daerah dan

Desentralisasi Fiskal

Tidak mencapai tujuan yang diamanatkan dan memudarkan nilai kekhususannya dengan formula saat

ini

Dana Perimbangan

DAU DAK DBH

Formula Lama

1. Kriteria Umum 2. Kriteria Khusus 3. Kriteria Teknis

Penentuan Daerah

Penentuan Alokasi

Penentuan Daerah Pelayanan Dasar

Penentuan Alokasi

Kesehatan Perimban

Pekerjaan Umum Pendidikan

Penggunaan Proksi ISPN

(24)

14

Tabel 2 Data dan Sumber Data

No Data Tahun Sumber

1. Rata-rata Lama Sekolah 2013 Badan Pusat Statistik RI

2. Angka Melek Huruf

15-24 Tahun

2013 Badan Pusat Statistik RI

3. Angka Partisipasi Murni

(APM) Tingkat SMP

2012/2013 Kementerian Pendidikan

RI

4. Angka Putus Sekolah

(APTS) Tingkat SMP

2012/2013 Kementerian Pendidikan

RI

5. Daerah Penerima dan

besaran alokasi DAK

2015 Kementerian Keuangan

RI

6. Pendapatan Asli Daerah 2013 Kementerian Keuangan

RI

7. Dana Bagi Hasil 2013 Kementerian Keuangan

RI

8. Dana Alokasi Umum 2013 Kementerian Keuangan

RI

9. Belanja Pegawai Negeri

Sipil Daerah

2013 Kementerian Keuangan

RI

10. Tingkat Kemiskinan 2013 Badan Pusat Statistik RI

11. Produk Domestik menggunakan data daerah induk untuk menggantikan ketidaktersediaan data tersebut.

Definisi Operasional Rata-rata Lama Sekolah

RLS = 1

�+15 �15+=1 ( ℎ − )

P+15 : Jumlah penduduk berusia 15 tahun ke atas

Angka Melek Huruf 15-24 Tahun

AMH = � 15−24 ℎ

ℎ 15−24 ℎ 100%

Angka Partisipasi Murni SMP

� � = ℎ � 13−15

ℎ� 13−15 x 100%

Angka Putus Sekolah SMP

(25)

15

Penggunaan Proksi Angka Putus Sekolah Kasar SMP

Dikarenakan penulis tidak menemukan data Angka Putus Sekolah (APTS) SMP, maka penulis menggunakan proksi Angka Putus Sekolah Kasar (APTSK) SMP. Dimana penulis mendapatkan jumlah penduduk usia 13-15 yang tidak bersekolah lagi dengan menyelishkan jumlah penduduk usia 13-15 dan jumlah murid SMP usia 13-15 tahun. Kemudian jumlah penduduk usia 13-15 yang tidak bersekolah lagi tersebut dibagi dengan jumlah murid SMP usia 13-15.

� =

ℎ 13−15 ℎ �

ℎ �

ℎ � 13−15 100%

Formula DAK-SPM

Pada penentuan alokasi formula DAK-SPM pada penelitian ini menggunakan proksi ISPN indikator output-outcome . Secara keseluruhan proksi ISPN bidang pendidikan memiliki sebanyak 53 indikator sehingga terlalu kompleks bila dijadikan indikator alokasi DAK-SPM. Karena ISPN bidang pendidikan sangat diperlukan, maka digunakannya indikator output-outcome yang lebih sederhana. Sehingga terpilihlah empat indikator output-outcome ISPN pendidikan yakni sebagai berikut :

1. Angka Putus Sekolah (APTS) Tingkat SMP tahun 2013 2. Angka Partisipasi Murni (APM) Tingkat SMP tahun 2013 3. Angka Melek Huruf (AMH) 15-24 tahun 2013

4. Rata-rata Lama Sekolah (RLS) tahun 2013

Juanda et. al (2013) pada kajian mengenai mekanisme DAK untuk pembiayaan SPM, disamping memberikan rekomendasi mekanisme penyaluran DAK-SPM, dan Gambaran umum mengenai perhitungan alokasi DAK-SPM. Tahapannya adalah sebagai berikut :

1. Alokasi ditentukan oleh Indeks Kemampuan Keuangan Daerah (IKKD)/Indeks Fiskal Netto (IFN) dan Indeks Celah Pencapaian SPM (IPSPM). Suatu daerah layak mendapatkan alokasi bila IKKD dibawah rata-rata nasional (IKKD<1) dan IPSPM dibawah target yang ditetapkan (IPSPM<SPM).

2. IKKD dihitung denga menggunakan rumus yang serupa dengan IFN pada formula lama.

3. Indeks Celah Pencapaian SPM bidang ke-i ditentukan dengan menggunakan rumus :

�� = =1

( � − � )

(26)

16

_ = 1( )−1+ 2 ��

Dimana 1, 2ditentukan serupa dengan formula lama sebesar

� 2 = 0,2 + 0,8

� 2 = 0,1 ( )−1+ 0,1 + 0,8

_ = 0,1( )−1+ 0,9 �

5. Penentuan Alokasi DAK-SPM bidang ke-i untuk daerah ke-k adalah :

� =

IPSPMij : Indeks Pencapaian SPM untuk indikator ke-j dalam bidang ke-i

oleh daerah

ICPSPMij : Indeks Celah Pencapaian SPM untuk indikator ke-j dalam

bidang ke-i oleh daerah.

I_DAKSPMik : Indeks DAK_SPM bidang ke-i untuk daerah ke-k P_DAKSPMi : Pagu DAK-SPM untuk bidang ke-i

Wij : Bobot untuk indikator SPM ke-j untuk bidang ke-i yang sudah ditetapkan oleh kementerian teknis

1 : Bobot untuk IKKD

2 : Bobot untuk IPMSPMi

ni : Banyaknya indikator SPM untuk bidang ke-i yang sudah ditetapkan oleh Kementerian Teknis

Jika menggunakan ISPN sebagai proksi Indikator SPM, maka menggunakan formula sebagai berikut :

1. Indeks Celah Pencapaian SPN (ICPSPN) bidang ke-i ditentukan dengan menggunakan rumus :

�� = =1

( � − � )

Sehubungan satuan SPN dapat berbeda, maka perlu dibakukan sehingga Indeks Pencapaian SPN (IPSPNij) untuk indikator ke-j dalam bidang ke-i oleh daerah, diperoleh dengan rumus sebagai berikut :

IPSPNij = (Xij– X(ij)min / [X(ij)maks –X(ij)min] x 100%)

Untuk indikator yang nilai pencapaian ISPNnya ke arah nilai yang lebih kecil misalnya indikator Angka Putus Sekolah (APS), menggunakan rumus :

IPSPNij = (Xij– X(ij)max / [X(ij)min –X(ij)maks]) x 100%

Dimana :

X(ij) : Nilai Indikator SPN ke-j untuk bidang ke-i (i=1,2,3) X(ij)maks : Nilai maksimum indikator SPN ke-j untuk bidang ke-i X(ij)min : Nilai minimum indikator SPN ke-j untuk bidang ke-i

(27)

17 Tabel 3Target Pencapaian Proksi ISPN

No Indikator Target

1 Angka Partisipasi Murni SMP 82.2%

2 Rata-rata Lama Sekolah 8.25 Tahun

3 Angka Melek Huruf 96.17%

4 Angka Putus Sekolah SMP 1%

Sumber : Kemendikbud 2013 dan BAPPENAS 2014

2. Adapun indeks DAK-SPN bidang ke-i ditentukan dengan rumus :

_ = 1( )−1+ 2 ��

Dimana 1, 2ditentukan serupa dengan formula lama sebesar

� 2 = 0,2 + 0,8

SPNij : Nilai Indikator SPN ke-j untuk bidang ke-i yang sudah ditetapkan oleh Kementerian Teknis, misalnya 100% untuk indikator Angka Melek Huruf.

IPSPNij : Indeks Pencapaian SPN untuk indikator ke-j dalam bidang ke-i oleh

daerah

ICPSPNij : Indeks Celah Pencapaian SPN untuk indikator ke-j dalam bidang

ke-i oleh daerah.

I_DAKSPNik : Indeks DAK_SPN bidang ke-i untuk daerah ke-k P_DAKSPNi : Pagu DAK-SPN untuk bidang ke-i

wij : Bobot untuk indikator SPN ke-j untuk bidang ke-i yang sudah ditetapkan oleh kementerian teknis

1 : Bobot untuk IKKD 2 : Bobot untuk IPMSPNi

ni : Banyaknya indikator SPN untuk bidang ke-i yang sudah ditetapkan oleh Kementerian Teknis

Juanda et. al (2014) dalam Kajian atas Indikator Stadar Pelayanan Nasional (ISPN) di Bidang Layanan Publik Dasar yang Relevan dengan Pengalokasian DAK dengan metode Focus Group Discussion (FGD) menghitung bobot untuk indikator (wij) menggunakan kuesioner yang dibagikan kepada peserta FGD dan responden daerah sampel. Menghasilkan bobot sebagai berikut :

Tabel 4 Bobot ISPN output-outcome Bidang Pendidikan

No. Indikator Bobot Kota Bobot

Kabupaten

1 Rata-rata Lama Sekolah 0.2630 0.2687

2 Angka Partisipasi Murni SMP 0.2630 0.2562

3 Angka Melek Huruf 15-24 tahun 0.2227 0.2312

4 Angka Putus Sekolah SMP 0.2512 0.2438

Total 1,0000 1.0000

(28)

18

Analisis Korelasi

Keeratan hubungan linier antara dua peubah metrik dapat diukur dan dianalisis menggunakan koefisien korelasi. Besaran koefisien korelasi tidaklah menggambarkan hubungan sebab akibat antara peubah.

Korelasi Pearson (Product Moment Correlation)

= − −

− 2 − 2

Xi : Variabel X daerah ke-i Yi : Variabel Ydaerah ke-i

: Rata-rata variabel X : Rata-rata variabel Y

Hasil perhitungan koefisien korelasi pada dasarnya dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok besar (Irianto 2004) :

1. Korelasi Positif Kuat, apabila hasil perhitungan korelasi mendekati 1 atau sama dengan 1.

2. Korelasi Negatif Kuat, apabila hasil perhitungan korelasi mendekati -1 atau sama dengan -1

3. Tidak Ada Korelasi, apabila hasil perhitungan korelasi mendekati 0 atau sama dengan 0

Uji Signifikansi Koefisien Korelasi

Dalam menguji signifikansi koefisien korelasi, dapat disusun suatu hipotesis statistik sebagai berikut :

H0 : � = 0 H1 : �≠ 0

Untuk menghitung nilai peluang dalam uji hipotesis, digunakan transformasi sebaran normal baku Z.

= −3

2 ln

1 + 1− �

1− 1 +�

Dengan kriteria terima H0, jika < Z�

2, artinya secara statistik belum

dapat dibuktikan bahwa ada korelasi antara kedua peubah tersebut. Tolak H0, jika

> Z�

2, artinya secara statistik telah dibuktikan bahwa ada korelasi antara

(29)

19

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Perhitungan DAK SPM Menggunakan Proksi ISPN

Sebelum menghitung besaran ICP, IKKD dan Alokasi DAK, terlebih dahulu dilihat bagaimana pencapaian dari masing-masing ISPN bidang pendidikan yakni AMH, RLS, APM dan APTSK. Hasil Pencapaian tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia untuk masing-masing Indikator masih banyak sekali yang belum mencapai target terutama untuk APTSK.

Tabel 5 Hasil Pencapaian Indikator SPN

Berdasarkan perhitungan menggunakan proksi ISPN bidang pendidikan, daerah yang layak mendapatkan DAK berdasarkan ICP) adalah sebanyak 498 daerah kabupaten/kota. Sedangkan, berdasarkan Indeks Kemampuan Keuangan Daerah (IKKD) adalah sebanyak 356 kabupaten/kota. Syarat suatu daerah kabupaten/kota mendapatkan DAK adalah layak secara kemampuan keuangan daerah dan layak secara celah pencapaian. Oleh karena itu yang berhak mendapatkan DAK berdasarkan DAK pencapaian SPM sebanyak 352 kabupaten/kota. Daerah penerima DAK-SPM dengan proksi ISPN dibandingkan dengan DAK existing tahun 2015 lebih sedikit sebanyak 352 daerah, sedangkan DAK existing sebanyak 443 daerah. Pengurangan ini diakibatkan banyaknya daerah yang sudah mencapai SPM. Berdasarkan hasil penentuan daerah ini dapat diketahui bahwa daerah yang tidak mendapatkan DAK existing pasti tidak mendapatkan DAK dengan menggunakan DAK-SPM. Banyak daerah yang tidak mendapatkan DAK existing maupun DAK-SPM adalah 62 kabupaten/kota. Daerah yang semula mendapatkan DAK existing namun pada perhitungan DAK-SPM tidak layak mendapatkan DAK adalah sebanyak 91 kabupaten/kota.

Pada penentuan kelayakan ini, daerah yang ICP dengan jumlah yang dapat cukup besar diantara daerah lainnya belum tentu mendapatkan DAK. Terlihat pada Tabel 6 menunjukan 10 daerah yang memiliki nilai ICP terbesar, namun diantara 10 daerah tersebut hanya tiga diantaranya yang berhak mendapatkan DAK. Hal ini diakibatkan oleh syarat kemampuan keuangan daerah yang harus kurang dari satu. Namun daerah yang secara kemampuan keuangan daerah tidak mendapat DAK memiliki nilai IKKD yang hampir berdekatan dengan satu.

Indikator AMH RLS APM APTSK

Rata-rata 92.62 8.03 77.68 31.58

Jumlah Daerah yang telah

mencapai target SPM 257 197 167 10

(30)

20

Setelah penentuan daerah yang berhak mendapatkan DAK, selanjutnya adalah penentuan besaran alokasi yakni dengan membagi indeks DAK suatu daerah dengan total indeks seluruh daerah yang kemudian dikalikan dengan pagu bidang pendidikan pada tahun 2015. Hasilnya 10 daerah yang mendapatkan DAK tebesar ditunjukan pada Tabel 7. Kabupaten/kota yang mendapatkan DAK terbesar didominasi oleh daerah-daerah yang berada di bagian timur Indonesia dimana daerah tersebut tentu saja memiliki celah pencapaian yang besar.Kabupaten Nduga yang merupakan daerah dengan DAK terbesar berdasarkan DAK SPM mendapatkan alokasi DAK yang jauh lebih besar hingga sekitar lima kali lipat dibandingkan dengan DAK existing.

Kemudian apabila dibandingkan dengan 10 daerah dengan DAK existing

terbesar seperti yang terlihat pada Tabel 7 daerah yang mendapatkan DAK

existing terbesar didominasi oleh daerah-daerah yang berada di Pulau Jawa. Bila dibandingkan dengan jumlah alokasi DAK SPM, maka terlihat bahwa delapan diantaranya tidak mendapatkan DAK SPM. Kedelapan daerah tersebut tidak layak mendapatkan alokasi karena daerah tersebut telah mencapai SPM ataupun dikarenakan oleh syarat kemampuan fiskal yang dinilai diatas rata-rata.

Tabel 7 Sepuluh Daerah dengan DAK SPM Terbesar Bidang Pendidikan No Daerah Kabupaten/Kota DAK Existing

(Juta Rp)

Tabel 6 Sepuluh Daerah Terbesar ICP

(31)

21

Dalam hal perbedaan, penulis membandingkan DAK- SPM dengan DAK

existing dalam bentuk Scatter Diagram seeperti terlihat pada Gambar 5 menunjukan bahwa terdapat garis dengan persamaan Y=X. Hal ini mengartikan bahwa daerah yang berada di atas garis Y=X memiliki pencapaian SPM yang rendah. Namun, daerah yang berada dibawah garis adalah daerah dengan pencapaian tinggi .Selain itu, daerah yang berada diatas garis persamaan Y=X menunjukan bahwa daerah tersebut mendapatkan lebih besar DAK-SPM dibandingkan DAK existing. Begitu pula sebaliknya, daerah yang berada dibawah garis Y=X maka menunjukan bahwa daerah tersebut lebih besar mendapatkan DAK existing dibandingkan DAK-SPM. Sebanyak 198 daerah berada diatas garis Y=X (pencapaian rendah) dan sebanyak 154 daerah berada dibawah garis Y=X (pencapaian tinggi).

Gambar 5 Scatter Diagram DAK Existing dengan DAK SPM 0

0 20000 40000 60000 80000 100000 120000

D

DAK Existing Pendidikan SD&SMP 2015 (Juta Rp)

Tabel 8 Sepuluh Daerah dengan DAK Existing Terbesar Bidang Pendidikan No Daerah Kabupaten/Kota DAK SPM

(32)

22

0 20000 40000 60000 80000 100000120000

Ti

DAK Existing Pendidikan 2015 (Juta Rp)

0

0 20000 40000 60000 80000 100000 120000

Ti

DAK SPM Pendidikan 2015 (Juta Rp)

Analisis Koefisien Korelasi

Penentuan suatu variabel memiliki hubungan linier dengan variabel lainnya maka digunakanlah analisis korelasi. Pada penelitian ini analisis korelasi bertujuan untuk menganalisis hubungan antara besaran alokasi DAK melalui formula DAK saat ini (existing) dan formula DAK pencapain SPM dengan indikator-indikator pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yakni PDRB per kapita, tingkat kemiskinan dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Berikut merupakan hasil perhitungan koefisien korelasi antara besaran alokasi DAK dengan tingkat kemiskinan dan PDRB per kapita.

Analisis koefisien korelasi DAK existing dengan tingkat kemiskinan sebesar 0.126. Dan Koefisien Korelasi antara DAK-SPM dengan tingkat kemiskinan adalah sebesar 0.479. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya hubungan linier diantara DAK exisiting dan juga DAK SPM dengan tingkat kemiskinan, hubungan tersebut positif jadi semakin tinggi tingkat kemiskinan suatu daerah maka semakin tinggi pula DAK yang diperoleh begitu pula sebaliknya. koefisien korelasi DAK SPM lebih mendekati nilai 1 yang artinya DAK SPM memiliki keterkaitan linier yang lebih kuat dibanding DAK existing.

Uji signifikansi menggunakan P-Value sebesar 0.008 untuk DAK existing

dan 0.000 untuk DAK SPM. Nilai ini lebih kecil dari α dengan taraf nyata 1%. Maka dapat ditarik kesimpulan tolak H0 yang artinya dapat dibuktikan bahwa ada korelasi antara kedua peubah tersebut.

Gambar 6 Scatter Diagram DAK Existing dan SPM dengan Tingkat Kemiskinan Tabel 9 Hasil Analisis Koefisien Korelasi

No Variabel Koefisien

Korelasi

P-Value

1 DAK Existing-Tingkat Kemiskinan 0.126 0.008

2 DAK SPM-Tingkat Kemiskinan 0.479 0.000

3 DAK Existing-PDRB Per Kapita -0.088* 0.065

4 DAK SPM-PDRB Per Kapita -0.196 0.000

5 DAK Existing-IPM -0.175 0.000

6 DAK SPM-IPM -0.757 0.000

(33)

23

0 20000 40000 60000 80000 100000120000

PD

0 20000 40000 60000 80000 100000 120000

PD

DAK SPM Pendidikan 2015 (Juta Rp)

Koefisien Korelasi antara DAK existing dengan PDRB per kapita adalah sebesar -0.088. Koefisien Korelasi antara DAK-SPM dengan PDRB per kapita sebesar -0.196. Hasil ini mengindikasikan bahwa adanya hubungan linier yang negatif antara DAK existing maupun SPM dengan PDRB per kapita ditunjukan dengan nilai koefisien korelasi yang kurang dari 0 (nol). semakin rendah PDRB per kapita suatu daerah maka semakin tinggi pula DAK yang diperoleh begitu pula sebaliknya. Korelasi diantara kedua variabel ini tidak terlalu kuat, namun korelasi DAK-SPM lebih kuat hubungannya dibandingkan dengan DAK existing

terhadap PDRB per kapita suatu daerah.

Uji signifikansi untuk DAK existing dengan PDRB per kapita menggunakan P-Value sebesar 0.065 yang lebih besar dari α dengan taraf nyata 1%. Maka dapat ditarik kesimpulan tolak H0 yang artinya tidak dapat dibuktikan bahwa ada korelasi antara kedua peubah tersebut. Uji signifikansi untuk DAK SPM dengan PDRB per kapita menggunakan P-Value sebesar 0.000 yang lebih kecil dari α dengan taraf nyata 1%. Maka dapat ditarik kesimpulan tolak H0 yang artinya dapat dibuktikan bahwa ada korelasi antara kedua peubah tersebut.

Gambar 7 Scatter Diagram DAK Existing dan SPM dengan PDRB Per Kapita DAK existing memiliki koefisien korelasi sebesar -0.175 terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Sedangkan koefisien korelasi antara DAK-SPM dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah sebesar -0.757. Nilai ini menunjukan bahwa ada hubungan linier negatif antara DAK existing maupun SPM dengan IPM. Jika semakin tinggi nilai IPM, maka semakin rendah DAK

existing dan DAK SPM yang didapatkan suatu daerah begitu pula sebaliknya.. Melihat nilai korelasi tersebut. DAK-SPM lebih memiliki keterkaitan atau hubungan linier dibandingkan dengan DAK existing. Hubungan linier kedua variabel ini memiliki nilai yang cukup kuat karena memiliki nilai koefisien korelasi mendekati -1.

Uji signifikansi untuk DAK existing maupun SPM menggunakan P-Value

(34)

24

0 20000 40000 60000 80000 100000120000

IP

M

2013

(%

)

DAK Existing Pendidikan 2015 (Juta Rp)

0

0 20000 40000 60000 80000 100000 120000

IP

M

2013

(%

)

DAK SPM Pendidikan 2015 (Juta Rp)

Gambar 8 Scatter Diagram DAK Existing dan SPM dengan IPM

Pada bidang pendidikan seperti sudah dibahas sebelumnya dinyatakan bahwa DAK SPM memiliki korelasi yang lebih kuat dibandingkan dengan DAK

existing terhadap PDRB per kapita, tingkat kemiskinan, dan IPM. Pada Tabel 10 merupakan hasil korelasi ICP dan IKKD yang di inverskan dengan DAK SPM. Hubungan Linier ICP memiliki hubungan yang sangat kuat dengan hasil alokasi DAK SPM.

Tabel 10 Korelasi ICP dan IKKD dengan alokasi DAK SPM

Indikator Koefisien Korelasi P-Value

IKKD 0.094* 0.079 mendapatkan alokasi yang lebih besar lagi. Tabel 11 memperlihatkan bahwa walaupun proporsi bobot dari masing-masing indikator, DAK SPM tetap memiliki korelasi yang lebih besar dengan PDRB per kapita, tingkat kemiskinan, dan IPM dibandingkan dengan DAK existing pada bidang pendidikan.

Tabel 11 Korelasi DAK SPM dengan Bobot Berbeda

Indikator DAK

(35)

25

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan perhitungan formula DAK pencapaian SPM, jumlah daerah yang layak untuk menerima DAK menjadi berkurang drastis Daerah yang tidak mendapatkan DAK berdasarkan formula DAK existing dipastikan juga tidak mendapatkan DAK dengan formula DAK SPM. Karena formula DAK existing

menggunakan syarat kemampuan keuangan daerah juga sama halnya seperti formula DAK SPM. Dalam penggunaan DAK SPM menghasilkan banyak daerah yang memiliki indeks celah pencapaian yang cukup besar namun karena syarat kemampuan keuangan daerah jadi tidak mendapatkan DAK. Hasil perhitungan besaran alokasi pun bernuansa sesuai dengan kebutuhan, karena besaran celah pencapaian yang menggambarkan dari kebutuhan suatu daerah itu sendiri. Awalnya daerah yang memiliki DAK bidang pendidikan terbesar tersebar di Pulau Jawa. Namun, dengan penggunaan formula DAK SPM daerah-daerah yang mendapatkan DAK terbesar berada di daerah timur Indonesia seperti Papua dan sekitarnya.

Hasil analisis korelasi menunjukan adanya hubungan linier positif antara besaran alokasi DAK existing maupun DAK SPM dengan tingkat kemiskinan. Namun DAK SPM memiliki koefisien korelasi yang lebih besar sehingga DAK SPM memiliki hubungan yang lebih kuat dibandingkan dengan DAK existing

terhadap tingkat kemiskinan. Kemudian, hasil analisis korelasi anatara besaran alokasi DAK dengan PDRB per kapita menghasilkan hubungan linier negatif diantara keduanya. Jadi jika PDRB per kapita suatu daerah meningkat maka akan diikuti penurunan pada besaran alokasi DAK yang didapatkan begitu pula sebaliknya. Hasil analisis korelasi antara DAK existing dan DAK-SPM terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kedua besaran hasil kedua formula tersebut menujukan hubungan yang negatif diantara keduanya. Namun besaran DAK-SPM memiliki nilai koefisien korelasi yang lebih besar sehingga menunjukan bahwa DAK-SPM lebih memiliki hubungan linier yang lebih kuat.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang sudah penulis paparkan berikut beberapa saran yang dapat penulis sampaikan :

1. DAK yang menggunakan pencapaian SPM lebih bernuansa pemerataan. Karena menggunakan kriteria celah pencapaian yang menjadi kebutuhan suatu daerah. Oleh karena itu penulis menyarankan penggunaan formula DAK SPM untuk digunakan sebagai formula DAK dalam bidang pendidikan

2. Perlunya regulasi yang tepat dalam penentuan daerah yang layak penerima DAK seperti penggunaan proksi ISPN.

3. Saran untuk penelitian lanjutan adalah penelitian ini menggunakan proksi Indikator Standar Pelayanan Nasional (ISPN) output-outcome. Penulis menyarankan untuk menggunakan indikator input-process dan

(36)

26

4. Perlunya melengkapi data-data pencapaian SPM untuk seluruh daerah yang ada di Indoensia sehingga dapat memberikan hasil yang lebih baik lagi sesuai dengan kebutuhan daerah.

DAFTAR PUSTAKA

[ADB] Asian Development Bank. 2011. Laporan Final Usulan Reformasi Dana Alokasi Khusus.

[BAPPENAS] Badan Perencana Pembangunan Nasional.2011. Analisis Perspektif, Permasalahan dan Dampak Dana Alokasi Khusus (DAK) Whitepaper. Jakarta(ID) : BAPPENAS.

[BAPPENAS] Badan Perencana Pembangunan Nasional.2014. Rencana Teknokratik-Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019. Jakarta(ID): BAPPENAS

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Data dan Informasi Kemiskinan Kabupaten/Kota 2013. Jakarta(ID): BPS.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Indeks Pembangunan Manusia 2013. Jakarta(ID): BPS.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Produk Regional Domestik Bruto Kabupaten/Kota 2009-2013. Jakarta(ID): BPS.

[DJPK] Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan RI. 2009. Grand Design Desentralisasi Fiskal Indonesia. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan RI

[DJPK] Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan RI. 2013. Penyusunan Mekanisme Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk Pembiayaan Standar Pelayanan Minimum (SPM). Jakarta(ID): Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan RI.

[DJPK] Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan RI. 2014. Modul Pengalokasian Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2015. Jakarta(ID): Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan RI.

Elmi, Bakhrul. 2002. Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia. Jakarta (ID): UI Pr.

Haris, Syamsuddin (ed). 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah : Desentralisasi, Demokratisasi, dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah. Jakarta (ID): Lipi Pr.

Irianto, Agus. 2004. Statistik Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta (ID): Kencana.

Juanda, Bambang. 2009. Ekonometrika : Pemodelan dan Pendugaan. Bogor (ID) : IPB Pr.

Juanda, Bambang. Reformulasi Instrumen DAK untuk Pertumbuhan dan Pemerataan Ekonomi Daerah di Indonesia.

(37)

27 [Kemendibud] Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. 2013. APK/APM PAUD, SD, SM dan PT (Termasuk Madrasah dan Sederajat) Tahun 2012/2013.

Jakarta(ID): Pusat Data dan Statistik Pendidikan, Kemendikbud.

[Kemendikbud] Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. 2013. Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2010-2014. Jakarta(ID): Kemendikbud

Rahayu, Ani Sri. 2010. Pengantar Kebijakan Fiskal. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014.

Republik Indonesia. Rencana Revisi Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 draf ke-XX.

Supriady D, Bratakusumah, Solihin D. 2003. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama.

Sutedi, Adrian. 2009. Implikasi Hukum Atas Sumber Pembiayaan Daerah Dalam Kerangka Otonomi Daerah. Jakarta (ID): Sinar Grafika.

Wibowo K, Dendi A, Zulhanif. 2011.Is a Specific Grant Really “Specific” ? :

(38)

28

LAMPIRAN

Lampiran 1 Daerah Layak dan Besaran Alokasi Penerima DAK Existing Tahun 2015

NO DAERAH KELAYAKAN

SD

KELAYAKAN SMP

KELAYAKAN DAK PENDIDIKAN

DASAR

ALOKASI SD (Ribu

Rp)

ALOKASI SMP (Ribu Rp)

TOTAL ALOKASI

(Ribu Rp)

1 Kab. Aceh Barat Layak Layak Dapat 5426.64486 4583.88 10010.52

2 Kab. Aceh Besar Layak Layak Dapat 6076.86291 5058.834 11135.7

3 Kab. Aceh Selatan Layak Layak Dapat 6969.19081 4801.67 11770.86

4 Kab. Aceh Singkil Layak Layak Dapat 5108.08751 4773.041 9881.128

5 Kab. Aceh Tengah Layak Layak Dapat 6730.86972 4326.12 11056.99

6 Kab. Aceh Tenggara Layak Layak Dapat 4426.5885 4418.156 8844.744

7 Kab. Aceh Timur Layak Layak Dapat 8704.43865 5315.944 14020.38

8 Kab. Aceh Utara Layak Layak Dapat 14926.6338 6950.065 21876.7

9 Kab. Bireuen Layak Layak Dapat 6708.44094 5167.423 11875.86

10 Kab. Pidie Layak Layak Dapat 5362.1164 5149.789 10511.91

11 Kab. Simeulue Layak Layak Dapat 9467.51228 4995.677 14463.19

12 Kota Banda Aceh Layak Layak Dapat 4375.41239 3852.196 8227.608

13 Kota Sabang Layak Layak Dapat 4581.87001 3573.45 8155.32

14 Kota Langsa Layak Layak Dapat 4445.07705 3677.304 8122.381

15 Kota Lhokseumawe Layak Layak Dapat 3772.11965 3612.853 7384.973

(39)

29

17 Kab. Aceh Jaya Layak Layak Dapat 4839.83369 4264.209 9104.043

18 Kab. Aceh Barat Daya Layak Layak Dapat 5430.5833 4213.454 9644.038

19 Kab. Gayo Lues Layak Layak Dapat 4100.437 3691.625 7792.062

20 Kab. Aceh Tamiang Layak Layak Dapat 6664.00548 3982.517 10646.52

21 Kab. Bener Meriah Layak Layak Dapat 4351.03598 4589.062 8940.097

22 Kab. Pidie Jaya Layak Layak Dapat 4491.79836 3919.76 8411.558

23 Kota Subulussalam Layak Layak Dapat 4095.14271 3794.443 7889.586

24 Kab. Asahan Layak Layak Dapat 11533.295 6305.824 17839.12

25 Kab. Dairi Layak Layak Dapat 4804.43251 4269.401 9073.833

26 Kab. Deli Serdang Layak Layak Dapat 10229.9449 11002.5 21232.45

27 Kab. Karo Layak Layak Dapat 7388.1548 4656.485 12044.64

28 Kab. LabuhanBatu Layak Layak Dapat 4968.82503 4701.153 9669.978

29 Kab. Langkat Layak Layak Dapat 14465.1569 6343.061 20808.22

30 Kab. Mandailing Natal Layak Layak Dapat 5523.74614 6063.115 11586.86

31 Kab. Nias Layak Layak Dapat 6177.18822 5687.107 11864.3

32 Kab. Simalungun Layak Layak Dapat 5260.59147 7423.176 12683.77

33 Kab. Tapanuli Selatan Layak Layak Dapat 7305.81665 4812.181 12118

34 Kab. Tapanuli Tengah Layak Layak Dapat 5298.67658 5413.112 10711.79

35 Kab. Tapanuli Utara Layak Layak Dapat 4732.34287 5122.949 9855.292

36 Kab. Toba Samosir Layak Layak Dapat 6367.69771 4614.111 10981.81

37 Kota Binjai Layak Layak Dapat 8009.39732 5366.502 13375.9

38 Kota Medan Tidak Layak Tidak Layak Tidak Dapat 0 0 0

39 Kota PematangSiantar Layak Layak Dapat 7493.96149 6868.238 14362.2

40 Kota Sibolga Layak Layak Dapat 4057.17093 3873.212 7930.383

(40)

30

42 Kota Tebing Tinggi Layak Layak Dapat 4087.82169 3319.646 7407.468

43 Kota PadangSidempuan Layak Layak Dapat 3983.01491 5119.056 9102.071

44 Kab. Pakpak Bharat Layak Layak Dapat 4582.80504 4232.199 8815.004

45 Kab. Nias Selatan Layak Layak Dapat 8265.68123 10055.69 18321.37

46 Kab. Humbang Hasundutan Layak Layak Dapat 5471.46781 4093.629 9565.096

47 Kab. Serdang Bedagai Layak Layak Dapat 6818.97773 5819.698 12638.68

48 Kab. Samosir Layak Layak Dapat 5253.74653 4516.788 9770.534

49 Kab. BatuBara Layak Layak Dapat 14722.1792 4984.772 19706.95

50 Kab. Padang Lawas Layak Layak Dapat 6405.79542 4057.232 10463.03

51 Kab. Padang Lawas Utara Layak Layak Dapat 4993.64264 3761.395 8755.037

52 Kab. LabuhanBatu Selatan Layak Layak Dapat 6518.74889 4622.597 11141.35

53 Kab. LabuhanBatu Utara Layak Layak Dapat 7724.86993 4702.936 12427.81

54 Kab. Nias Barat Layak Layak Dapat 8759.67419 5340.815 14100.49

55 Kab. Nias Utara Layak Layak Dapat 9236.79317 5974.433 15211.23

56 Kota GunungSitoli Layak Layak Dapat 8724.79561 4825.646 13550.44

57 Kab. Lima puluh Kota Layak Layak Dapat 7589.39152 3847.973 11437.36

58 Kab. Agam Layak Layak Dapat 9472.02667 5224.236 14696.26

59 Kab. Kepulauan Mentawai Layak Layak Dapat 6528.59777 6095.041 12623.64

60 Kab. Padang Pariaman Layak Layak Dapat 15845.4041 5333.204 21178.61

61 Kab. Pasaman Layak Layak Dapat 4307.42356 3911.172 8218.595

62 Kab. Pesisir Selatan Layak Layak Dapat 6346.60373 6853.616 13200.22

63 Kab. Sijunjung Layak Layak Dapat 6330.59688 4764.07 11094.67

64 Kab. Solok Layak Layak Dapat 8810.54319 5101.925 13912.47

65 Kab. Tanah Datar Layak Layak Dapat 6883.47476 4331.696 11215.17

Gambar

Gambar 2.
Gambar 3 ISPN bidang pendidikan terpilih
Gambar 4 Kerangka Pemikiran METODE
Tabel 2 Data dan Sumber Data
+5

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pengembangan usaha, sangat membutuhkan suatu pandangan ke depan (visi), motivasi dan tentu saja sebuah kreativitas (misi), jika ini dilakukan oleh setiap pelaku usaha ,

Kolerasi ganda merupakan angka yang menunjukan arah dan kuatnya hubungan antara dua variabel secara bersama-sama dengan variabel yang lain.Analisis koefesien

Proyeksi timbulan sampah pada tahun 2027 akan digunakan untuk menghitung potensi daur ulang sampah rumah tangga Kecamatan Sangkapura serta untuk mengetahui berapa

Dalam mencapai keberhasilan suatu reformasi birokrasi, dibutuhkan Keterlibatan dan Keseriusan unsur SDM melalui pencapaian output atau prestasi-prestasi gemilang para pegawai, unsur

Rencana pengembangan keorganisasian dilakukan dengan mengacu pada analisis dan evaluasi tugas dan fungsi satuan organisasi termasuk perumusan dan pengembangan jabatan struktural

diketahui bahwa dari 15 item pertanyaan pada hasil kuesioner motivasi kerja ada 1 item tidak valid karena nilai r hitung &lt; r tabel yaitu pertanyaan 1.. Kemudian dilakukan

Berbagai langkah yang dilakukan Bank Indonesia (BI) mempertahankan nilai rupiah, seperti intervensi pasar valuta asing (valas) menaikkan suku bunga sertifikat Bank Indonesia

Keuntungan/(kerugian) dari perubahan nilai aset keuangana. 49b dalam kelompok tersedia untuk dijual