• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Penyesuaian Sosial Remaja Tunarungu Ditinjau dari Metode Komunikasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbedaan Penyesuaian Sosial Remaja Tunarungu Ditinjau dari Metode Komunikasi"

Copied!
178
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL REMAJA TUNARUNGU DITINJAU DARI METODE KOMUNIKASI

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

KURNIA J.P. LUMBANBATU 091301021

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Perbedaan Penyesuaian Sosial Remaja Tunarungu Ditinjau dari Metode Komunikasi

Kurnia J.P. Lumbanbatu dan Debby Anggraini Daulay

ABSTRAK

Remaja tunarungu mengalami kesulitan dalam memproduksi suara atau bunyi bahasa yang akhirnya berdampak pada proses komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kondisi tersebut, tugas perkembangan untuk memenuhi penyesuaian sosial tentu membutuhkan usaha yang besar sehingga mereka memerlukan metode komunikasi yang efektif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan penyesuaian sosial antara remaja tunarungu yang menggunakan metode komunikasi oral dengan metode komunikasi total. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik pengambilan sampel dengan random secara berkelas, dengan jumlah subjek sebanyak 63 orang yang berusia 13-18 tahun. Alat ukur yang digunakan berupa skala penyesuaian sosial yang disusun berdasarkan kriteria penyesuaian sosial yang dikemukakan Hurlock (1997) yaitu penampilan nyata melalui sikap dan tingkah laku, penyesuaian diri terhadap kelompok, sikap sosial, dan kepuasan pribadi. Hasil analisa data penelitian dengan menggunakan perhitungan statistik

(3)

Difference of Social Adjustment for Adolescents with hearing impairment

being viewed from method of communication

Kurnia J.P. Lumbanbatu and Debby Anggraini Daulay

ABSTRACT

Adolescents with hearing impairment have difficulty in producing sounds or sounds of language that ultimately have an impact on the process of communication in everyday life. Under these conditions, the task of development to meet social adjustment would require a major effort so that they require effective communication methods. This research has the objectives to determine whether there are differences of Social adjustment for adolescents with hearing impairment between using oral communication and total communication. Sampling technique is cluster random sampling, with 63 subjects range from 13-18 years old. The measurement tool used is Social Adjustment Scale which will be prepared based on social adjustment criteria proposed by Hurlock (1997) which refers to the real appearance through attitudes and behavior, self-adjustment to a group of people, social attitudes, and personal satisfaction. The results of research data analysis using independent sample t - test statistical calculation are, the value of t = -2390 and p = 0.020 smaller than 0.05, so the null hypothesis (Ho) is rejected and the alternative hypothesis (Ha) is accepted which means that there is difference of social adjustment for adolescents with hearing impairment who used oral communication with those who used total communication.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan, kemampuan, semangat kepada penulis untuk bisa

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perbedaan Penyesuaian Sosial Remaja

Tunarungu Ditinjau dari Metode Komunikasi”. Penyusunan skripsi ini diajukan guna memperoleh gelar sarjana jenjang strata satu (S1) di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Terutama sekali penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada orangtua tercinta, kepada ayahanda tercinta Alm.Drs. H. Lumbanbatu atas dukungan dan cinta yang selalu hidup dalam jiwa penulis dan kepada ibunda tercinta M.Sitanggang yang selalu memberi dukungan dan doa kepada penulis dan juga menjadi satu-satunya alasan penulis untuk segera menyelesaikan kuliah.

Skripsi ini dapat diselesaikan tidak lepas dari bantuan banyak pihak, oleh karena itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi USU. 2. Kak Debby Anggraini Daulay, M.Psi., psikolog selaku dosen pembimbing.

Terima kasih atas bimbingan dan masukan-masukan yang telah kakak berikan kepada penulis, terima kasih juga karena meskipun kakak sibuk tapi kakak selalu menyediakan waktu untuk membimbing saya. Semoga Tuhan membalas semua kebaikan kakak.

(5)

4. Ibu Dr. Wiwik Sulistyaningsih, M.Si., psikolog dan Ibu Ika Sari Dewi, S.Psi., psikolog selaku dosen penguji. Terima kasih karena Ibu telah bersedia meluangkan waktu untuk menjadi dosen penguji saya.

5. Ibu Etty Rahmawati, M.Si yang membantu penulis dalam menyelesaikan Bab III. Terima kasih atas kesediaan ibu meluangkan waktunya untuk berdiskusi mengenai metode penelitian.

6. Seluruh dosen dan staff di Fakultas Psikologi. Terima kasih untuk ilmu yang sudah bapak dan ibu berikan buat penulis dan kesediaannya untuk membantu saya dalam mengurus masalah administrasi yang saya perlukan dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Kakak, Abang dan Abang ipar penulis, Monika Lumbanbatu, S.Ag, Armen Perangin-angin, SE, Agustina Lumbanbatu, SH, MKn, Fransiskus Sinaga, SH, MKn, Victor Lumbanbatu, ANT III, Ristauli Lumbanbatu, S.Ag, Thomas Lumbanbatu, SE, Ak, yang telah memberi bantuan, doa, yang selalu mengiringi setiap langkah penulis. Terima kasih semuanya.

8. Kepala sekolah (SLB Karya Murni Medan, SDLB Negeri Pematang Siantar, UPT Pematang Siantar) beserta para staf, guru, dan para siswa atas kerjasamanya dalam penelitian ini. Terima kasih telah memberikan saya izin, terutama para siswa yang telah rela dan mau memberikan hati dan waktu untuk mengisi skala.

(6)

membantu menyebarkan skala, menemani berkeliling dari satu sekolah ke sekolah yang lain untuk mendapat izin penelitian dan melakukan penelitian. Terima kasih banyak sahabat-sahabatku atas dukungan, bantuan, semangat dan celaan positif buat penulis.

10. Teman-teman Psikologi stambuk 2009, senior dan junior di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Saya mungkin tidak bisa menyebutkan semuanya satu per satu Sere, Sony, Rebeka, Rani, Rahmi, Vina, Inu, Putri, Yuni, Ketrin, Ratna, Holy, Reffo, Soffa, Sugi, July, Maya, Kak Lenny, Kak Friska, Bang Roimer, Bang Hitler, Bang Edwin, Cynthia, Clara. Terima kasih atas semuanya.

11. Teman-teman OMK, Pastor Paul, Pastor Tom yang selalu mendoakan dan dukungan yang selalu mengingatkan penulis untuk tetap semangat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas semuanya.

12. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu per satu.

Akhirnya penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca agar dapat menambah wawasannya terutama di bidang Psikologi Perkembangan. Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu dengan kerendahan hati, penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini.

Medan, November 2013

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian... 11

D.1. Manfaat Teoritis ... 11

D.2. Manfaat Praktis ... 12

E. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II LANDASAN TEORI ... 14

A. Penyesuaian Sosial ... 14

A.1. Pengertian Penyesuaian Sosial ... 14

A.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Sosial ... 16

A.3. Kriteria Penyesuaian Sosial ... 19

A.4. Penyesuaian Sosial Remaja ... 21

A.5. Penyesuaian Sosial Remaja Tunarungu ... 23

B. Metode Komunikasi ... 25

B.1. Pengertian Komunikasi... 25

B.2. Proses Komunikasi ... 27

B.3. Metode Komunikasi Tunarungu ... 28

(8)

B.3.2. Komunikasi Oral ... 30

B.3.3. Komunikasi Total ... 32

C. Remaja ... 34

C.1. Pengertian Remaja ... 34

C.2. Ciri-Ciri Masa Remaja ... 35

C.3. Tugas-Tugas Perkembangan Remaja ... 38

C.4. Remaja Tunarungu ... 41

C.4.1. Pengertian dan Klasifikasi Tunarungu ... 41

C.4.2. Penyebab Tunarungu ... 42

D. Perbedaan Penyesuaian Sosial Remaja Tunarungu Ditinjau dari Metode Komunikasi Oral dan Total... 44

E. Hipotesa ... 48

BAB III METODE PENELITIAN... 49

A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 49

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 49

C. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel Penelitian ... 50

C.1. Populasi dan Sampel... 50

C.2. Teknik Pengambilan Sampel ... 51

D. Metode Pengumpulan Data ... 52

E. Uji Coba Alat Ukur ... 54

E.1. Uji Validitas ... 54

E.2. Uji Reliabilitas ... 56

E.3. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 57

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian... 59

(9)

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 63

A. Gambaran Sampel Penelitian ... 63

A.1. Gambaran Sampel Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 63

A.2. Gambaran Sampel Penelitian Berdasarkan Usia ... 64

B. Hasil Penelitian ... 65

B.1. Uji Asumsi ... 65

B.1.1. Uji Normalitas ... 65

B.1.2. Uji Homogenitas ... 66

B.2. Uji Hipotesis ... 66

B.3. Kategori Skor Penyesuaian Sosial Remaja Tunarungu ... 68

C. Hasil Analisis Tambahan ... 71

C.1. Gambaran Penyesuaian Sosial Remaja Tunarungu Berdasarkan Kriteria Penyesuaian Sosial ... 71

C.2. Gambaran Penyesuaian Sosial Remaja Tunarungu Berdasarkan Jenis Kelamin ... 75

C.3. Gambaran Penyesuaian Sosial Remaja Tunarungu Berdasarkan Rentang Usia... 75

D. Pembahasan ... 76

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 80

A. Kesimpulan... 80

B. Saran ... 80

B.1. Saran Metodologis ... 81

B.2. Saran Praktis ... 81 DAFTAR PUSTAKA

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Distribusi Aitem Skala Penyesuaian Sosial Sebelum Uji Coba .. 54

Tabel 2 Distribusi Aitem Skala Penyesuaian Sosial Sesudah Uji Coba .. 57

Tabel 3 Distribusi Aitem Skala Penyesuaian Sosial Untuk Penelitian .... 58

Tabel 4 Penyebaran Sampel Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 63

Tabel 5 Penyebaran Sampel Penelitian Berdasarkan Usia ... 64

Tabel 6 One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test ... 65

Tabel 7 Hasil Uji Homogenitas ... 66

Tabel 8 Group Statistics ... 66

Tabel 9 Independent Samples Test ... 67

Tabel 10 Perbandingan Mean Empirik dan Mean Hipotetik... 68

Tabel 11 Norma Kategori Penyesuaian Sosial ... 69

Tabel 12 Descriptive Statistics ... 69

Tabel 13 Kategorisasi Norma Skor Penyesuaian Sosial ... 69

Tabel 14 Kategorisasi Skor Penyesuaian Sosial Ditinjau dari Metode Komunikasi Remaja Tunarungu ... 70

Tabel 15 Deskripsi Kriteria Penyesuaian Sosial ... 71

Tabel 16 Deskripsi Masing-Masing Indikator Perilaku Kriteria Penyesuaian Sosial ... 72

Tabel 17 Analisa Penyesuaian Sosial Remaja Tunarungu Berdasarkan Jenis Kelamin ... 75

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Skala Penyesuaian Sosial Sebelum Uji Coba Lampiran 2 Data Mentah Uji Coba Skala Penyesuaian Sosial Lampiran 3 Hasil Uji Reliabilitas

Lampiran 4 Skala Penyesuaian Sosial

Lampiran 5 Data Mentah Sampel Penelitian Skala Penyesuaian Sosial Lampiran 6 Hasil Analisa Data Penelitian

Lampiran 7 Gambaran Sampel Penelitian

(12)

Perbedaan Penyesuaian Sosial Remaja Tunarungu Ditinjau dari Metode Komunikasi

Kurnia J.P. Lumbanbatu dan Debby Anggraini Daulay

ABSTRAK

Remaja tunarungu mengalami kesulitan dalam memproduksi suara atau bunyi bahasa yang akhirnya berdampak pada proses komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kondisi tersebut, tugas perkembangan untuk memenuhi penyesuaian sosial tentu membutuhkan usaha yang besar sehingga mereka memerlukan metode komunikasi yang efektif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan penyesuaian sosial antara remaja tunarungu yang menggunakan metode komunikasi oral dengan metode komunikasi total. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik pengambilan sampel dengan random secara berkelas, dengan jumlah subjek sebanyak 63 orang yang berusia 13-18 tahun. Alat ukur yang digunakan berupa skala penyesuaian sosial yang disusun berdasarkan kriteria penyesuaian sosial yang dikemukakan Hurlock (1997) yaitu penampilan nyata melalui sikap dan tingkah laku, penyesuaian diri terhadap kelompok, sikap sosial, dan kepuasan pribadi. Hasil analisa data penelitian dengan menggunakan perhitungan statistik

(13)

Difference of Social Adjustment for Adolescents with hearing impairment

being viewed from method of communication

Kurnia J.P. Lumbanbatu and Debby Anggraini Daulay

ABSTRACT

Adolescents with hearing impairment have difficulty in producing sounds or sounds of language that ultimately have an impact on the process of communication in everyday life. Under these conditions, the task of development to meet social adjustment would require a major effort so that they require effective communication methods. This research has the objectives to determine whether there are differences of Social adjustment for adolescents with hearing impairment between using oral communication and total communication. Sampling technique is cluster random sampling, with 63 subjects range from 13-18 years old. The measurement tool used is Social Adjustment Scale which will be prepared based on social adjustment criteria proposed by Hurlock (1997) which refers to the real appearance through attitudes and behavior, self-adjustment to a group of people, social attitudes, and personal satisfaction. The results of research data analysis using independent sample t - test statistical calculation are, the value of t = -2390 and p = 0.020 smaller than 0.05, so the null hypothesis (Ho) is rejected and the alternative hypothesis (Ha) is accepted which means that there is difference of social adjustment for adolescents with hearing impairment who used oral communication with those who used total communication.

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Setiap manusia berharap dilahirkan dalam keadaan yang normal dan sempurna, akan tetapi tidak semua manusia mendapatkan kesempurnaan yang diinginkan karena adanya keterbatasan-keterbatasan, baik fisik maupun mental. Keterbatasan-keterbatasan fisik tersebut meliputi tunarungu, tunadaksa, tunagrahita, dan tunanetra. Berdasarkan data hasil Sensus Nasional Biro Pusat Statistik tahun 2011, jumlah penyandang cacat di Indonesia sebesar 0,7% dari jumlah penduduk 211.428.572. Jumlah tersebut 1.480.000 jiwa (21,42%) diantaranya anak cacat usia sekolah (5-18 tahun). Data siswa penyandang cacat yang tersebar di Sekolah Luar Biasa (SLB) menurut Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia pada tahun 2011 pada SLB tunarungu sebesar 5.610 orang (Kementrian kesehatan dalam Putra, 2013).

Salah satu ketunaan yang masih memiliki potensi untuk dapat dikembangkan secara maksimal adalah tunarungu (Pernamari dalam Putra, 2013). Tunarungu adalah suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya (Somantri, 2007).

(15)

sehingga mengalami hambatan dalam memproses informasi bahasa melalui pendengarannya dengan atau tanpa menggunakan alat bantu dengar. Sedangkan orang yang hard of hearing adalah seseorang yang mengalami kesulitan mendengar suara orang lain secara wajar sehingga tidak terhalang untuk mengerti atau mencoba memahami pembicaraan orang lain dengan menggunakan alat bantu dengar (Hallahan dan Kaufman, 1991). Orang yang deaf dan hard of hearing

harus menerima informasi dari mata mereka, yang memerlukan perhatian visual untuk semua komunikasi yang terjadi dan juga untuk kejadian yang terjadi di lingkungan mereka (National Association of the Deaf, 2000).

Kecacatan yang diderita oleh seseorang dengan gangguan pendengaran menampakkan suatu karakteristik yang khas dan berbeda dari orang normal. Van Uden (dalam Heryati, 2010) mengemukakan pandangannya bahwa orang dengan gangguan pendengaran cenderung lebih egosentris, mempunyai perasaan takut hidup yang lebih luas, lebih dependen terhadap orang lain terutama orang sudah dikenalnya, memiliki perhatian yang sukar dialihkan, lebih terpusat pada hal yang lebih kongkrit, miskin dalam fantasi, umumnya memiliki sifat yang polos, sederhana, dan tidak banyak masalah, mudah marah dan lekas tersinggung, serta kurang mempunyai konsep tentang hubungan, sehingga mereka memiliki karakter yang sulit dipahami.

(16)

membicarakan sesuatu mereka merasa tersinggung karena mengira yang dibicarakan adalah dirinya (observasi personal, 2013)

Anak penyandang tunarungu akan menanggung konsekuensi berupa kesulitan dalam menerima segala jenis rangsang atau peristiwa bunyi yang ada di sekitarnya sehingga penyandang tunarungu akan mengalami kesulitan dalam memproduksi suara atau bunyi bahasa. Konsekuensi tersebut pada akhirnya berdampak pada proses komunikasi anak tunarungu dalam kehidupan sehari-hari (Efendi, 2006). Masalah umumnya akan menjadi lebih besar ketika anak tunarungu memasuki masa remaja karena pada masa ini remaja akan lebih banyak mengeksplorasi dunia luas dan berintegrasi dengan masyarakat dewasa sehingga mereka dituntut mampu berinteraksi dengan masyarakat (Hurlock, 1993).

Remaja tunarungu sebagai makhluk sosial juga tidak banyak berbeda dengan remaja normal, dilihat dari hakikatnya sebagai seorang manusia. Seorang tunarungu mempunyai sejumlah potensi hidup dan kebutuhan jasmani yang pada gilirannya membutuhkan orang lain atau sesama manusia guna pemenuhan kebutuhannya. Demi pemenuhan kebutuhannya, remaja tunarungu akan melakukan interaksi dengan orang lain. Kegiatan interaksi tunarungu tidak lain merupakan suatu bentuk aktifitas yang lazim dilakukan oleh seorang manusia sebagai makhluk sosial (Hakim, 2012).

(17)

Sama halnya dengan remaja normal, yang terjadi pada remaja tunarungu juga demikian adanya. Dengan bergaul mereka terfokus pada bagaimana aktualisasi diri mereka sebagai makhluk sosial yang bisa berbaur dengan sesamanya atau lintas kelompok (dengan remaja normal). Pola pergaulan remaja tunarungu terhadap kelompok pada faktanya juga sama dengan remaja normal yaitu pergaulan remaja banyak diwujudkan dalam bentuk kelompok seperti kelompok kecil atau kelompok besar. Namun, masalah yang umum dihadapi oleh remaja tunarungu dan paling rumit adalah penyesuaian sosial terhadap lingkungannya (Hakim, 2012).

Penyesuaian sosial menurut Hurlock (1997) dapat diartikan sebagai keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompok pada khususnya. Sementara Schneiders (1964) mengemukakan penyesuaian sosial adalah kemampuan individu untuk bereaksi secara efektif dan sehat terhadap situasi, realitas dan relasi sosial sehingga tuntutan hidup bermasyarakat dipenuhi dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan. Penyesuaian sosial seseorang mencapai ukuran baik menurut Hurlock (1997) dapat dilihat dari penampilan nyata melalui sikap dan tingkah laku yang nyata, penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok, sikap sosial yang menunjukan sikap menyenangkan terhadap orang lain dan kepuasan pribadi.

(18)

dengan kelompok, memiliki tanggung jawab dan setia kawan. Sikap sosial berupa ikut berpartisipasi dalam kegiatan sosial di masyarakat, berempati, dapat menghormati dan menghargai pendapat orang lain. Kepuasan pribadi yakni merasa puas terhadap kontak sosialnya dan terhadap peran yang dimainkannya dalam situasi sosial berupa kepercayaan diri, disiplin diri dan kehidupan yang bermakna dan terarah (Hurlock, 1997).

Penyesuaian sosial yang baik dilakukan dengan mempelajari berbagai keterampilan-keterampilan sosial seperti kemampuan untuk menjalin hubungan diplomatis, kemampuan berkomunikasi, serta kerjasama dengan orang lain, sehingga sikap orang lain terhadap mereka menyenangkan (Nurdin, 2009). Namun, dikarenakan keterbatasan remaja tunarungu dalam berkomunikasi mengakibatkan merasa sulit dalam mengadakan kontak sosial dan mengekspresikan emosinya. Keterbatasan tersebut bahkan dapat berdampak pada sikap menarik diri dari lingkungannya (terisolir) dikarenakan kurang berhasilnya menjalin interaksi dengan orang lain (Edja Sadjaah dalam Heryati, 2010).

(19)

yang memiliki kekurangan dan menilainya sebagai individu yang kurang berkarya. Persepsi tersebut juga turut memberi dampak negatif bagi remaja tunarungu, dimana mereka menjadi semakin merasa tidak aman, bimbang, dan ragu-ragu terhadap keberadaan dirinya (Efendi, 2006). Namun, tidak semua remaja tunarungu mengalami hal tersebut, beberapa dari mereka ada yang berhasil mengatasi permasalahannya dikarenakan adanya konsep diri yang positif mengenai dirinya sehingga menampilkan kesan yang baik jika berhubungan dengan orang di sekitarnya (Alfi, 2005), serta penerimaan yang baik di dalam kelompok sosial sehingga membantu proses penyesuaian sosial dengan lingkungannya (Wasito, 2010).

(20)

karena keterbatasannya dalam mendengar yang mengkibatkan ketidakmampuan dalam berbicara secara baik.

Peranan bicara, bahasa dan pendengaran merupakan tiga serangkai potensi manusia yang mampu menjembatani proses komunikasi sehingga dapat menjadi pengontrol efektif ada tidaknya sebuah komunikasi. Oleh karena itu, kepincangan salah satu komponen komunikasi tersebut berarti kehilangan kontributor besar yang dapat membantu manusia dalam proses interaksi sosial pada kehidupan sehari-hari (Efendi, 2006). Namun pada tunarungu ada beberapa metode komunikasi yang dapat membantu dalam melakukan proses komunikasi. Metode komunikasi yang dapat digunakan penyandang tunarungu tidak semata-mata berdasarkan pada status pendengarannya, sehingga dalam penggunaan metode komunikasi baik individu yang deaf atau hard of hearing, tidak berbeda secara signifikan. Dalam pemilihan penggunaan metode komunikasi umumnya lebih ditekankan peranan orangtua yang bekerjasama dengan para profesional seperti pihak sekolah untuk berdiskusi dan mempelajari mengenai metode komunikasi yang paling efektif untuk perkembangan bahasa anak mereka (Department of Health and Human Services, 2011).

(21)

Metode komunikasi manual menurut Sastrawinta (1977) merupakan komunikasi yang kurang efisien dikarenakan banyaknya isyarat yang harus dipelajari, adanya keragaman isyarat sesuai dengan daerah, dan tidak semua pengertian dapat diisyaratkan, sehingga dapat membatasi remaja tunarungu pada lingkungan masyarakat yang lebih luas. Penggunaan metode komunikasi manual tidak disertakan dalam penelitian ini karena terbatasnya sampel penelitian yang menggunakan komunikasi manual sekarang ini. Oleh karena itu, penelitian ini memfokuskan pada metode komunikasi oral dan total.

Metode komunikasi oral yang dalam pelaksanaannya menitikberatkan kepada pengucapan dalam penyampaian pesan (mengekspresikan gagasan/ pikiran/ perasaan) dan membaca ujaran (speechreading) dalam menerima pesan (Bunawan, 1997). Metode ini juga disertakan dengan penggunaan ekspresi wajah dan gestur secara natural (Gravel, 2003).

Metode komunikasi ini dapat menerima akses kebahasaan yang lebih besar dari lingkungannya, sehingga dapat membawa remaja tunarungu kepada kehidupan yang mendekati kehidupan normal atau kehidupan seperti layaknya orang-orang pada umumnya. Oleh karena itu, metode ini dianggap menguntungkan dalam memperluas komunikasi remaja dengan masyarakat sekitarnya (Gravel, 2003).

(22)

remaja tunarungu dapat berinteraksi aktif dalam lingkungannya, baik lingkungan sesama, keluarga maupun masyarakat. Di dalam interaksi sosial ada kemungkinan individu dapat menyesuaikan dengan yang lain, atau sebaliknya (Faricha, 2008).

Sejalan dengan survey awal peneliti terhadap salah satu guru di SLB B di Medan yang menerapkan komunikasi oral menyatakan bahwa metode oral merupakan metode yang dapat meningkatkan kemampuan bicara, meningkatkan kemampuan dalam membedakan berbagai vokal yang berbeda, melatih siswa cara menggunakan vokal dalam ucapan yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi tunarungu pada masyarakat sekitarnya. Pihak sekolah mengharapkan dengan penerapan metode komunikasi ini dapat menjadi individu yang mandiri, partisipatif dan kontributif dalam masyarakat. Dengan demikian metode ini dianggap sebagai metode yang efektif bagi remaja tunarungu dalam berinteraksi sosial yang akhirnya akan berdampak pada proses penyesuaian remaja tersebut.

(23)

isyarat dan fingerspelling (Moores, 2001). Pada umumnya sasarannya adalah agar penyandang tunarungu tetap menguasai keterampilan berbicara dengan memberi penunjang visual yang lebih nyata dan membaca ujaran karena dalam metode ini unsur bicara digunakan bersamaan dengan unsur isyarat (Bunawan, 1997).

Metode ini dapat mempermudah remaja tunarungu dalam meningkatkan kemampuan komunikasinya. Remaja tunarungu tidak merasa kesulitan dalam menjalankan perannya dan dapat mempermudah aktivitas komunikasinya dengan orang lain, sehingga dengan metode komunikasi total remaja tunarungu dapat bersosialisasi secara lebih mudah dan lebih efektif dengan orang lain (Valintini, 2011). Kemampuan bersosialisasi yang efektif dengan orang lain akan berdampak pada penyesuaian yang baik secara sosial (Hurlock, 1997).

Berdasarkan tinjauan awal pada salah satu guru SLB yang menerapkan penggunaan komunikasi total menyatakan bahwa dengan komunikasi ini dapat meningkatkan rasa percaya diri penyandang tunarungu dikarenakan tetap adanya penggunaan komunikasi manual yang sesuai dengan bahasa ibu penyandang tunarungu, dan dapat meningkatkan keterampilan berbahasa, serta diharapkan lebih mudah bergaul karena mereka menguasai berbagai metode sehingga dapat menyesuaikan diri pada lingkungan sosial yang lebih luas.

Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan

(24)

B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah penelitian ini adalah apakah ada perbedaan penyesuaian sosial remaja tunarungu ditinjau dari metode komunikasi oral dan total?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan penyesuaian sosial remaja tunarungu ditinjau dari metode komunikasi oral dan total.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan akan membawa dua manfaat, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.

D.1. Manfaat Teoritis

(25)

D.2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis berupa: a. Remaja tunarungu

Informasi untuk mengetahui penggunaan metode komunikasi yang dapat membantu proses penyesuaian sosial yang lebih baik.

b. Pihak SLB B

Informasi untuk mengetahui penerapan metode komunikasi yang lebih efektif terhadap penyesuaian sosial tunarungu.

c. Masyarakat

Sebagai masukan bahwa begitu pentingnya penerimaan sosial bagi remaja tunarungu yang berdampak dalam penyesuaian sosial yang lebih baik.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Penelitian ini dibagi atas lima bab, dan masing-masing bab dibagi atas beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah:

Bab I : Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sitematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

(26)

Bab III : Metode Penelitian

Bab ini berisikan identifikasi variabel-variabel yang diteliti, definisi operasional, subjek penelitian, alat ukur yang digunakan, metode pengambilan sampel, dan metode analisis data.

Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan

Bagian ini berisikan uraian singkat hasil utama penelitian, dan interpretasi data, serta hasil tambahan yang dapat memperkaya penelitian ini.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

(27)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. PENYESUAIAN SOSIAL

A.1. Pengertian Penyesuaian Sosial

Penyesuaian sosial merupakan salah satu bagian dari penyesuaian diri. Oleh karena itu, ketika membahas penyesuaian sosial akan banyak merujuk pada konsep penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan di sekitarnya. Penyesuaian sosial merupakan keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompok pada khususnya (Hurlock, 1997).

Schneiders (1964) mendefinisikan penyesuaian sosial sebagai “the capacity to react adequately to social realities, situation and relations.”

Penyesuaian sosial menandakan kemampuan atau kapasitas yang dimiliki individu untuk bereaksi secara efektif dan wajar pada realitas sosial, situasi dan relasi sosial.

Lebih jelasnya, Schneiders (1964) menyatakan penyesuaian sosial sebagai berikut, “Social adjustment signifies the capacity to react effectively and wholesomely to social realities, situation and relations so that the requirements

for social living are fulfilled in an acceptable and satisfactory manner.”

(28)

sosial sehingga tuntutan hidup bermasyarakat terpenuhi dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan.

Mu’tadin (dalam Vianawati, 2008) mendefinisikan penyesuaian sosial

sebagai suatu proses saling mempengaruhi antar individu yang menghasilkan suatu pola kebudayaan dan tingkah laku yang sesuai dengan aturan, hukum, adat dan nilai-nilai yang dipatuhi, demi tercapainya penyelesaian bagi persoalan-persoalan hidup.

Menurut Mu’tadin (dalam Wahyuni, 2009) individu juga mempelajari

keterampilan-keterampilan sosial yang diperlukan dalam penyesuaian sosial, meliputi:

a. Kemampuan berkomunikasi,

b. Menjalin hubungan dengan orang lain, c. Menghargai diri sendiri dan orang lain,

d. Mendengarkan pendapat dan keluhan dari orang lain, e. Memberi dan menerima kritik,

f. Bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku.

(29)

merupakan usaha yang dilakukan individu untuk mengubah diri dan keinginan agar sesuai dengan keadaan lingkungan atau kelompok.

Berdasarkan beberapa definisi penyesuaian sosial yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan penyesuaian sosial adalah kemampuan seseorang untuk berperilaku sesuai dengan harapan orang lain, yang ditunjukkan dengan memperlihatkan sikap dan tingkah laku yang menyenangkan, serta dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga ia mampu merasa puas terhadap dirinya dan orang lain.

A.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Sosial

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial erat kaitannya dengan penyesuaian diri karena penyesuaian sosial merupakan bagian dari penyesuaian diri. Schneiders (1964) mengelompokan faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri sebagai berikut:

a. Physicalcondition (kondisi jasmaniah) meliputi: 1. Pengaruh pembawaan dan struktur jasmaniah

Beberapa ciri kepribadian memiliki hubungan dengan struktur jasmaniah yang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor pembawaan, dapat diwariskan secara genetis terutama dengan perantara temperamen.

2. Kesehatan dan kondisi jasmaniah

(30)

ketergantungan, dan perasaan ingin diperhatikan oleh orang lain. Namun tidak semua orang yang memiliki penyakit jasmani tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik.

b. Developmentandmaturation (perkembangan dan kematangan)

Perkembangan dan kematangan mempunyai hubungan yang erat dengan proses penyesuaian diri, dalam arti bahwa proses penyesuaian diri itu akan banyak tergantung pada tingkat perkembangan dan kematangan yang dicapai. Dalam proses perkembangan, respon anak berkembang dari respon yang bersifat instingtif menjadi respon yang diperoleh melalui belajar dan pengalaman. Dengan bertambahnya usia, anak juga matang untuk melakukan respon, proses ini menentukan pola-pola penyesuaian sosial.

c. Psychologicalcondition (kondisi psikologis)

Banyak sekali faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi penyesuaian diri. Diantaranya adalah faktor pengalaman, frustasi, konflik, iklim psikologis dan lain-lain. Proses belajar merupakan suatu dasar yang fundamental dalam penyesuaian diri, karena melalui proses belajar ini akan berkembang pola-pola respon yang akan membentuk kepribadian.

d. Environmentalcondition (kondisi lingkungan)

(31)

2. Pengaruh masyarakat. Lingkungan masyarakat merupakan tempat individu bergerak, bergaul dan melakukan peran sosial. Sehingga individu sedikit banyak akan terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Pengaruh masyarakat merupakan kondisi-kondisi yang menentukan proses dan pola-pola penyesuaian diri.

3. Pengaruh sekolah. Sekolah mempunyai peran yang penting dalam menentukan pola penyesuaian seseorang, karena sekolah mempunyai peran sebagi medium untuk mempengaruhi kehidupan intelektual, sosial, dan moral siswa sehingga individu diharapkan mampu mengembangkan kemampuan menyesuaikan diri.

e. Cultureandreligion (budaya dan agama)

1. Faktor budaya. Faktor kebudayaan mempunyai pengaruh terhadap pembentukan watak dan tingkah laku individu yang diperoleh melalui media pendidikan dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat secara bertahap dipengaruhi oleh faktor-faktor kebudayaan. Budaya yang sehat dalam suatu lingkungan masyarakat akan memberikan pengaruh yang baik kepada anggota masyarakat, begitu pula sebaliknya budaya yang tidak sehat akan mempengaruhi perilaku anggota yang ada di lingkungan tersebut.

(32)

tertentu dalam mengurangi konflik, frustasi dan ketegangan lainnya kemudian memberikan suasana tenang dan damai.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penyesuaian sosial dapat dipengaruhi oleh faktor dalam diri individu tersebut dan juga dari luar diri individu. Adapun faktor dalam diri inidividu seperti kondisi jasmani yang sehat, perkembangan dan kematangan melalui proses belajar dan pengalaman, serta kondisi psikologis. Sedangkan faktor luar diri individu, yaitu kondisi lingkungan seperti pengaruh keluarga, masyarakat dan sekolah, serta budaya dan agama juga menjadi indikasi penyesuaian sosial yang baik jika semua berjalan selaras.

A.3. Kriteria Penyesuaian Sosial

Hurlock (1997) mengatakan terdapat empat kriteria dalam menentukan sejauh mana penyesuaian sosial seseorang mencapai ukuran baik, yaitu sebagai berikut :

a) Penampilan nyata melalui sikap dan tingkah laku yang nyata

(33)

memberikan dan sikap untuk bersedia menerima pengetahuan atau informasi dari pihak lain.

b) Penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok

Individu dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap berbagai kelompok, baik kelompok teman sebaya maupun kelompok orang dewasa. Bentuk dari penyesuaian diri adalah (1) kerja sama dengan kelompok yaitu proses beregu (berkelompok) yang mana anggota-anggotanya mendukung dan saling mengandalkan untuk mencapai suatu hasil mufakat, (2) tanggung jawab yaitu sesuatu yang harus kita lakukan agar kita menerima sesuatu yang dinamakan hak, dan (3) setia kawan yaitu saling berbagi, saling memotivasi dalam kebaikan.

c) Sikap sosial

Individu dapat menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap orang lain, terhadap partisipasi sosial, serta terhadap perannya dalam kelompok maka individu akan menyesuaikan diri dengan baik secara sosial. Bentuk dari sikap sosial adalah ikut berpartisipasi dalam kegiatan sosial di masyarakat, berempati, dapat menghormati dan menghargai pendapat orang lain.

d) Kepuasan pribadi

(34)

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kriteria dalam penyesuaian sosial adalah penampilan nyata melalui sikap dan tingkah laku yang nyata seperti kemampuan berkomunikasi dan kemampuan berorganisasi, penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok, sikap sosial, dan kepuasan pribadi.

A.4. Penyesuaian Sosial Remaja

Salah satu perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial (Hurlock, 1993).

(35)

Dengan demikian remaja memiliki kepercayaan diri yang diungkapkan melalui sikap tenang dan seimbang dalam situasi sosial (Hurlock, 1993). Keberhasilan remaja tersebut akan mengantarkannya ke dalam suatu kondisi penyesuaian sosial yang baik dalam keseluruhanya sehingga remaja yang bersangkutan dapat merasa bahagia, harmonis dan dapat menjadi orang yang produktif (Nurdin, 2009).

Mereka diharapkan dapat memenuhi tanggung jawab orang dewasa, tetapi berhubung antara pertumbuhan fisik dan pematangan psikisnya masih ada jarak yang cukup lebar, maka kegagalan yang sering dialami remaja dalam memenuhi tuntutan sosial ini menyebabkan frustasi dan konflik-konflik batin pada remaja terutama bila tidak ada pengertian pada pihak orang dewasa (Monks, 2006).

Mereka dituntut untuk dapat menentukan sikap pilihannya dan kemampuannya dalam menyesuaikan diri terhadap tuntutan lingkungannya agar partisipasinya selalu relevan dalam kegiatan masyarakat. Berdasarkan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, kenyataan memperlihatkan bahwa tidak semua remaja berhasil atau mampu melakukan penyesuaian sosial dalam lingkungannya. Hal ini tampak dari banyaknya keluhan remaja yang dapat diketahui dari berbagai berita atau ulasan mengenai masalah dan perilaku menyimpang remaja dalam berbagai media, baik media cetak maupun elektronik (Setianingsih dkk, 2006).

(36)

mengapa masa remaja dinilai lebih rawan daripada tahap-tahap perkembangan manusia yang lain (Hurlock, 1997).

Menghadapi masalah yang begitu kompleks, banyak remaja dapat mengatasi masalahnya dengan baik, namun tidak jarang ada sebagian remaja yang kesulitan dalam melewati dan mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapinya. Remaja yang gagal mengatasi masalah seringkali menjadi tidak percaya diri, prestasi sekolah menurun, hubungan dengan teman menjadi kurang baik serta berbagai masalah dan konflik lainnya yang terjadi (Milarsari dalam Setianingsih dkk, 2006).

Remaja-remaja bermasalah ini kemudian membentuk kelompok yang terdiri dari teman sealiran dan melakukan aktivitas yang negatif seperti perkelahian antar pelajar (tawuran), membolos, minum-minuman keras, mencuri, memalak, mengganggu keamanan masyarakat sekitar dan melakukan tindakan yang dapat membahayakan bagi dirinya sendiri (Setianingsih dkk, 2006).

A.5. Penyesuaian Sosial Remaja Tunarungu

(37)

sosial akan terasa menjadi penting, manakala individu dihadapkan pada kesenjangan-kesenjangan yang timbul dalam hubungan sosialnya dengan orang lain. Betapapun kesenjangan-kesenjangan itu dirasakan sebagai hal yang menghambat, akan tetapi sebagai makhluk sosial, kebutuhan individu akan pergaulan, penerimaan, dan pengakuan orang lain atas dirinya tidak dapat dielakkan sehingga dalam situasi tersebut penyesuaian sosial akan menjadi wujud kemampuan yang dapat mengurangi atau mengatasi kesenjangan-kesenjangan tersebut (Nurdin, 2009).

Kehilangan pendengaran yang dialami remaja tunarungu berdampak pada kemiskinan kosakata, kesulitan berbahasa dan berkomunikasi, efeknya dapat mengalami berbagai hamabatan dalam meniti perkembangannya, terutama pada aspek kecerdasan, dan penyesuaian sosial (Efendi, 2006). Penyesuaian sosial pada remaja tunarungu mengalami hambatan sebagai dampak gangguan pendengaran yang dideritanya. Keterbatasan dalam kemampuan berbahasa/bicara sebagai alat untuk kontak sosial dan mengekspresikan emosinya mengakibatkan mereka mengalami kesulitan dalam mengadakan kontak sosial. Hal tersebut juga berdampak pada sikap menarik diri dari lingkungannya, ditambah lagi bila orang sekelilingnya kurang memiliki kepedulian terhadap keberadaannya (Edja Sadjaah dalam Heryati, 2010).

(38)

seringkali tampak frustasi. Akibatnya ia sering menampakkan sikap-sikap bermusuhan atau menarik diri dari lingkungannya. Keadaan ini semakin tidak menguntungkan ketika beban ini ditambah dengan sikap lingkungan atau tekanan lain yang berasal dari luar diri (keluarga, teman sebaya, masyarakat sekitar) yang berupa cemoohan, ejekan, dan bentuk penolakan lain sejenis dan berdampak negatif. Hal ini tentu membuat penyandang tunarungu semakin merasa tidak aman, bimbang dan ragu-ragu terhadap keberadaan diriya.

Beberapa dari mereka yang berhasil mengatasi permasalahannya dikarenakan adanya konsep diri yang positif mengenai dirinya sehingga menampilkan kesan yang baik jika berhubungan dengan orang di sekitarnya (Alfi, 2005). Di samping itu penerimaan yang baik di dalam kelompok sosial juga membantu proses penyesuaian sosial dengan lingkungannya (Wasito, 2010). Mereka mendapat harga diri seperti apa yang mereka harapkan karena orang lain mengakui dan menerima kehadirannya, sehingga mereka merasa aman akan kedudukannya dalam masyarakat (Sastrawinata, 1977).

B. METODE KOMUNIKASI B.1. Pengertian Komunikasi

Secara etimologis, komunikasi berasal dari bahasa latin communico yang berarti membagi. Yang dimaksud membagi adalah membagi gagasan, ide atau pikiran antara seseorang dan orang lain (Cangara dalam Shoelhi, 2009).

(39)

terkandung kesamaan makna atau kesamaan pengertian. Tidak ada kesamaan pengertian diantara mereka yang melakukan komunikasi, komunikasi tidak akan berlangsung.

Secara terminologis, para ahli komunikasi mendefinisikan komunikasi dari berbagai perspektif, yakni perspektif filsafat, sosiologis dan psikologis. Dalam perspektif filsafat, komunikasi dimaknai untuk mempersoalkan apakah hakikat komunikator-komunikan, dan bagaimana mereka menggunakan komunikasi untuk berhubungan dengan realitas di alam semesta (Rakhmat dalam Shoelhi, 2009). Aristoteles merumuskan komunikasi pada tiga komponen pokok, yaitu siapa yang berbicara, apa yang dibicarakan dan siapa yang mendengarkan.

Dari perspektif sosiologis, Colin Cherry (dalam Shoelhi, 2009) mendefinisikan komunikasi sebagai upaya untuk membuat satuan sosial yang terdiri dari individu-individu dengan menggunakan satuan sosial yang terdiri dari individu-individu dengan menggunakan bahasa atau tanda. Harnack dan Fest (dalam Shoelhi, 2009) menganggap komunikasi sebagai proses interaksi di antara orang-orang untuk tujuan integrasi intrapersonal dan interpersonal. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa sosiologi menitikberatkan komunikasi dalam konteks interaksi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok.

(40)

dilakukan untuk mengubah perilaku orang lain, yakni bagaimana caranya agar orang berperilaku atau melakukan tindakan tertentu.

Kesimpulannya komunikasi adalah proses interaksi sosial yang dilakukan seorang komunikator untuk menyampaikan pesan kepada pihak komunikan dengan tujuan untuk mencapai tujuan-tujuan individu atau kelompok.

B.2. Proses Komunikasi

Dari pengertian komunikasi sebagaimana diutarakan di atas, tampak adanya sejumlah komponen atau unsur yang merupakan persyaratan terjadinya komunikasi. Komponen-komponen tersebut adalah sebagai berikut:

- Komunikator : orang yang menyampaikan pesan;

- Pesan : pernyataan yang didukung oleh lambang; - Komunikan : orang yang menerima pesan;

- Media : sarana atau saluran yang mendukung pesan bila komunikan jauh tempatnya atau banyak jumlahnya; - Efek : dampak sebagai pengaruh dari pesan (Effendy, 2004).

Dalam komunikasi salah satu pihak menyampaikan pesan (pengirim atau komunikator) kemudian pihak lain yang menerimanya (penerima atau komunikan). Agar dapat berkomunikasi dengan baik dibutuhkan kemampuan komunikasi yaitu kemampuan individu dalam mengolah kata-kata, berbicara secara baik dan dapat dipahami oleh lawan bicara (Sarwono, 1997).

(41)

yang disampaikan komunikator adalah pernyataan sebagai paduan pikiran dan perasaan, dapat berupa ide, informasi, keluhan, keyakinan, imbauan, anjuran, dan sebagainya (Effendy, 2004).

B.3. Metode Komunikasi Tunarungu B.3.1. Komunikasi Manual

Metode ini didasari oleh pandangan yang menyatakan bahwa sesuai dengan kodratnya bahasa yang paling cocok untuk anak tunarungu. Pada abad ke 18 Abbe de L Eppee, seorang pendidik di Perancis memelopori mengajar dengan bahasa isyarat kepada anak-anak tunarungu. Oleh karena itu metode manual sering juga disebut metode Perancis. Isyarat itu dicoba digambarkan menjadi tanda-tanda gambar, seperti tulisan Hieroglyph di Mesir dan tulisan Kanji di Cina. Isyarat-isyarat yang sederhana membutuhkan 3000 sampai 4000 buah tanda gambar (Sastrawinata, 1977).

(42)

mempergunakan dua tangan kemudian dipergunakan satu tangan saja (Sastrawinata, 1977).

Metode manual memiliki dua komponen dasar (Smith dalam Muawanah. 2009) yaitu bahasa isyarat dan fingerspelling. Yang pertama adalah bahasa isyarat. Adapun isyarat dibagi atas dua yaitu isyarat alamiah dan isyarat formal (Van Uden dalam Bunawan, 1997). Isyarat alamiah yaitu suatu isyarat sebagaimana digunakan penyandang tunarungu (berbeda dari bahasa tubuh), merupakan suatu ungkapan manual (dengan tangan) yang disepakati bersama antar pemakai (konvensional), dikenal secara terbatas dalam kelompok tertentu (esoteric), dan merupakan pengganti kata. Isyarat formal yaitu isyarat yang sengaja dikembangkan dan memiliki struktur bahasa yang sama dengan bahasa lisan masyarakat. Berbagai bentuk bahasa isyarat formal yang dikembangkan antara lain, bahasa isyarat yang dinamakan Sign English atau juga disebut Pidgin Sign English (PSE) yang merupakan gabungan atau campuran antara bahasa isyarat asli/alami dengan bahasa Inggris, bahasa isyarat standar American Sign Language (ASL) untuk menjelaskan kata dan konsep.

Metode manual yang kedua adalah fingerspelling. Fingerspelling

menggambarkan alfabet secara manual. Posisi-posisi tangan menunjukkan tiap huruf alfabet huruf latin. Fingerspelling biasanya digunakan sebagai pelengkap bahasa isyarat. Jika tidak ada bahasa isyarat untuk satu kata, maka digunakan

(43)

Keuntungan metode komunikasi manual adalah metode komunikasi yang sesuai dengan penyandang tunarungu yaitu dunia tanpa suara, sesuai dengan kemampuan remaja tunarungu untuk menerima dan mengeluarkan pikiran-pikiran melalui lambang visual sesuai dengan bahasa ibunya. Kelemahan-kelemanhan metode ini adalah tidak efisien karena banyaknya isyarat yang harus diperlajari, tidak semua pengertian dapat diisyaratkan, dan keragaman isyarat sesuai dengan daerah serta dapat membatasi remaja tunarungu pada lingkungan masyarakat luas (Sastrawinata, 1977).

B.3.2. Komunikasi Oral

Metode oral dipelopori oleh Samuel Heinecke seorang tokoh pendidikan yang dikembangkan di Jerman. Oleh karena itu metode tersebut kadang-kadang disebut metode Jerman. Secara eksperimental kemampuan berbicara anak tunarungu telah dibuktikan oleh Pedro Ponce de Leon seorang pendidik khusus gangguan pendengaran di Spanyol. Metode ini cepat sekali termashur dengan terjadinya polemik antara pengikut Ake de L Eppe dengan pengikut-pengikut Samuel Heinicke, dan ternyata metode ini lebih memberikan hari depan yang baik bagi pendidikan anak tunarungu. Dari Jerman metode ini dibawa oleh Johann Conrad Amman ke negeri Belanda dan kemudian meluas ke negara-negara yang lain (Sastrawinata, 1977).

Metode komunikasi oral menekankan pada pembimbingan ucapan dan

(44)

penggunaan bahasa oral, siswa-siswa tidak didorong untuk menggunakan komunikasi manual. Speechreading menggunakan informasi visual untuk membantu memahami ucapan orang lain. Siswa dilatih memperhatikan gerak bibir, posisi bibir, serta gigi agar dapat memahami apa yang sedang diucapkan. Mereka diajarkan membaca ekspresi wajah yang akan mempermudah pemahaman mereka terhadap apa yang sedang diucapkan (David Smith dalam Muawanah, 2009). Metode ini juga disertakan dengan penggunaan ekspresi wajah dan gesture

secara natural (Gravel, 2003).

Keuntungan dari penggunaan metode ini adalah penyandang tunarungu dapat menerima akses kebahasaan yang lebih besar dari lingkungannya, membawa dan mengarahkan penyandang tunarungu kepada kehidupan yang mendekati kehidupan normal atau kehidupan seperti layaknya orang-orang pada umumnya, serta dapat menerima pesan atau mengekspresikan gagasan, pikiran, dan perasaannya diharapkan melalui cara-cara yang lazim digunakan oleh anak-anak yang mendengar pada umumnya (Gravel, 2003). Keuntungan metode oral yang telah dijabarkan yakni mampu berkomunikasi melalui cara-cara yang lazim digunakan oleh orang normal, yang pada gilirannya dapat memberi remaja tunarungu berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial (Somad, 2010).

(45)

(Suparno, 1997). Penggunaan metode komunikasi ini saat membaca ujaran tidak jarang pada akhirnya mereka hanya menebak-nebak karena intonasi dan tanda baca yang tidak nampak (Parmawati, 2012).

B.3.3. Komunikasi Total

Sejak tahun 1960-an mulai diperkenalkan perpaduan antara metode manual dan metode oral yang disebut dengan metode total (Efendi, 2006). Diawali dari Negara-negara Amerika dan Skandinavia, telah terjadi adanya perubahan secara besar-besaran dari komunikasi oral menuju ke arah komunikasi total dalam program di sekolah bagi para penyandang tunarungu, baik sekolah-sekolah yang berasrama maupun yang tidak berasrama (Suparno, 1997).

Metode komunikasi total dapat berupa gabungan dari metode oral, isyarat, serta fingerspelling (abjad jari). Anak menerima input melalui membaca ujaran, isyarat, dan fingerspelling, kemudian mengekspresikannya melalui bicara, isyarat dan fingerspelling. Isyarat berbeda dengan fingerspelling, dengan isyarat memungkinkan mereka menggambarkan ide atau kata-kata secara lengkap dari pada menggunakan fingerspelling (Moores, 2001).

(46)

Kelebihan penggunaan komunikasi total adalah komunikasi tersebut memuat spektrum model bahasa yang lengkap. Dengan komunikasi total berarti hak setiap tunarungu untuk bisa belajar menggunakan segala bentuk komunikasi agar mereka memiliki kesempatan penuh mengembangkan kemampuan bahasa pada usia sedini mungkin (Somantri, 2007). Komunikasi total juga memungkinkan terciptanya iklim komunikasi yang fleksibel, bebas dari rasa keraguan dan tekanan (Suparno, 1997). Kelemahan penggunaan komunikasi ini lebih mengarah pada adanya penggunaan isyarat dan fingerspelling, yang umumnya kurang diketahui oleh masyarakat luas.

Jordan, Gustason, dan Rosen (1976) melaporkan bahwa dari Tahun 1968 sampai tahun 1975, 302 program pada beberapa Negara bagian tetap pada pengajaran metode oral, dan 333 program diubah kepada pengajaran komunikasi total. Dalam kurun waktu 10 tahun sebanyak 481 program tetap pada pengajaran metode oral, dan sebanyak 538 program beralih kepada komunikasi total (Moores, 2001).

(47)

metode komunikasi yang paling efektif untuk perkembangan bahasa anak mereka (Department of Health and Human Services, 2011).

C. REMAJA

C.1. Pengertian Remaja

Masa remaja adalah masa transisi dalam rentang kehidupan manusia yang menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa. Istilah remaja atau

adolescence berasal dari kata Latin yaitu adolescere (kata bendanya, adolescentia

yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” , yang

mempunyai arti yang lebih luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Masa remaja awal dimulai pada saat anak secara seksual menjadi matang dan berakhir saat remaja mencapai matang secara hukum. Masa remaja awal dibagi menjadi dua bagian, yaitu masa remaja awal dan akhir masa remaja. Masa remaja awal berlangsung dari usia 13 sampai 16 tahun, dan akhir masa remaja dari usia 16 sampai 18 tahun (Hurlock, 1993).

Monks, dkk (2006) masa remaja secara global berlangsung antara umur 12-21 tahun, dengan pembagian:

1. Masa remaja awal : 12-15 tahun, umumnya disebut dengan masa puber yaitu terjadinya pemasakan seksual yang akan berdampak pada perkembangan psikososialnya.

2. Masa remaja pertengahan : 15-18 tahun

(48)

melakukan kewajiban-kewajiban tertentu tidak tergantung pada orangtua.

Menurut Piaget (dalam Hurlock, 1993) menyatakan bahwa secara psikologis, masa remaja adalah usia di mana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia di mana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.

Beberapa definisi yang telah dikemukakan sebelumnya dapat disimpulkan masa remaja adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis dan psikososial.

C.2. Ciri-ciri Masa Remaja

Masa remaja memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan masa-masa sebelumnya dan sesudahnya. Menurut Hurlock (1993) ciri-ciri remaja antara lain sebagai berikut.

a. Masa remaja sebagai periode yang penting

Pada masa remaja terjadi perkembangan fisik dan mental yang cepat dan penting dimana semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan pembentukan sikap, nilai dan minat baru.

b. Masa remaja sebagai periode peralihan

(49)

satu tahap perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya. Dengan demikian dapat diartikan bahwa apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekas pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang, serta mempengaruhi pola perilaku dan sikap yang baru pada tahap berikutnya.

c. Masa remaja sebagai periode perubahan

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat. Ketika perubahan fisik menurun, maka perubahan sikap dan perilaku juga menurun.

d. Masa remaja sebagai usia bermasalah

Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan.Ada dua alasan bagi kesulitan ini, yaitu :

- Sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh orangtua dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah.

(50)

e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Pencarian identitas dimulai pada akhir masa kanak-kanak, penyesuaian diri dengan standar kelompok lebih penting daripada bersikap individualistis. Pada awal masa remaja, penyesuaian diri dengan kelompok masih tetap penting bagi anak laki-laki dan perempuan, namun lambat laun mereka mulai mendambakan identitas diri dengan kata lain ingin menjadi pribadi yang berbeda dengan orang lain.

f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja muda takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal. g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik

Pada masa ini, remaja melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Semakin tidak realistik cita-citanya ia semakin menjadi marah. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri.

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

(51)

memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberi citra yang mereka inginkan.

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwasanya ciri-ciri masa remaja antara lain terjadi perubahan fisik, psikis maupun sosialnya. Selain itu remaja juga dianggap sebagai periode penting dan rawan dengan berbagai masalah, masa mencari identitas, masa yang tidak realistik serta ambang masa dewasa.

C.3. Tugas-tugas Perkembangan Remaja

Tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1993), yaitu :

1. Mencari hubungan baru dan yang lebih matang dengan memperluas hubungan antar pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan teman sebaya baik pria maupun wanita

2. Mencapai peran sosial pria dan wanita

3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif 4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab 5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang

dewasa lainnya

(52)

7. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga 8. Memperoleh peringkat nilai dan sistem etis

Tugas-tugas perkembangan remaja, menurut Havighurst (dalam Dariyo, 2004) ada beberapa, yaitu sebagai berikut.

a. Menyesuaiakan diri dengan perubahan fisiologis-psikologis

Diketahui bahawa perubahan fisiologis yang dialami oleh individu, mempengaruhi pola perilakunya. Di satu sisi, ia harus dapat memenuhi kebutuhan dorongan biologis, namun bila dipenuhi hal itu pasti akan melanggar norma-norma sosial, padahal dari sisi penampilan fisik, remaja sudah seperti orang dewasa. Oleh karena itulah, remaja menghadapi dilema. Dengan demikian, dirinya dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik.

b. Belajar bersosialisasi sebagai seorang laki-laki maupun wanita

(53)

c. Memperoleh kebebasan secara emosional dari orangtua

Ketika sudah menginjak remaja, individu memiliki hubungan pergaulan yang lebih luas, dibandingkan dengan masa anak-anak sebelumnya yaitu selain dari teman-teman tetangga, teman sekolah, tetapi juga dari orang dewasa lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa individu remaja tidak lagi bergantung pada orangtua. Bahkan mereka menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bergaul bersama dengan teman-temannya.

d. Remaja bertugas untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab Untuk dapat mewujudkan tugas ini, umumnya remaja berusaha mempersiapkan diri dengan menempuh pendidikan formal maupun non formal agar memiliki taraf ilmu pengetahuan, keahlian yang profesional. Warga negara yang bertanggung jawab ditandai dengan kepemilikan taraf keahlian dan profesi yang dapat disumbangkan oleh seorang individu untuk mengembangkan dan memajukan seluruh warga masyarakat.

e. Memperoleh kemandirian dan kepastian secara ekonomis

(54)

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tugas-tugas perkembangan remaja adalah mencari hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita, mencapai peran sosial pria dan wanita, menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif, mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab, mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya, mempersiapkan karir ekonomi, mempersiapkan perkawinan dan keluarga dan memperoleh peringkat nilai dan sistem etis.

C.4. Remaja Tunarungu

C.4.1. Pengertian dan Klasifikasi Tunarungu

Secara medis tunarungu adalah kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan dan mal-/dis-/non-fungsi dari sebagian atau seluruh alat-alat pendengaran (Sastrawinata, 1977). Menurut Somantri (2007) tunarungu adalah suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya.

(55)

dianggap normal, sebab pada kenyataannya orang kehilangan pendengaran pada gradasi 20 dB tidak menunjukkan kekurangan yang berarti (Efendi, 2006).

Hallahan dan Kaufman (1991) mendefinisikan tunarungu sebagai istilah umum yang menunjukkan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai yang berat, dan diklasifikasikan dalam tuli (deaf) dan lemah pendengaran (hard of hearing). Seseorang dikategorikan deaf jika ia kehilangan kemampuan mendengar 70 dB atau lebih menurut ISO (International Standard Organization) sehingga ia akan mengalami kesulitan untuk mengerti atau memahami pembicaraan orang lain walaupun menggunakan alat bantu dengar atau tanpa menggunakan alat bantu dengar. Sedangkan seseorang yang dikategorikan hardof hearing jika ia kehilangan kemampuan mendengar antara 35-69 dB menurut ISO (International Standard Organization) sehingga mengalami kesulitan mendengar suara orang lain secara wajar, namun tidak terhalang untuk mengerti atau mencoba memahami bicara orang lain dengan menggunakan alat bantu dengar.

C.4.2. Penyebab Tunarungu

Penyebab terjadinya tunarungu menurut S.C. Brown (dalam Heward, 1996) ada empat faktor yaitu:

(56)

Anak mengalami ketunarunguan karena di antara aggota keluarganya ada yang mengalami ketunarunguan.

2. Faktor kondisi ibu saat mengandung, jika seorang ibu yang tengah mengandung terserang virus rubella (terutama pada tiga bulan pertama waktu kehamilan), maka anak yang dikandungnya memiliki potensi untuk mengalami ketulian atau masalah serius lainnya.

3. Faktor kelahiran, proses lahir bayi yang terlalu dini sehingga berat badannya atau panjang badannya relatif di bawah normal, dan jaringan-jaringan tubuhnya sangat lemah, akibatnya anak lebih mudah terkena anoxia

(kekurangan oksigen) yang berpengaruh pada kerusakan inti cochlea.

4. Meningitis, adalah infeksi bakteri atau virus. Infeksi ini dapat mengakibatkan hancurnya bagian-bagian sensitif yang terletak di telinga bagian dalam. Kesulitan keseimbangan juga dapat terjadi akibat penyakit ini. Brown (dalam Heward, 1996) menyatakan bahwa anak yang mengalami ketulian akibat meningitis umumnya mengalami kerusakan pendengaran yang parah, namun tidak mengalami permasalahan lainnya.

(57)

D. PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL REMAJA TUNARUNGU DITINJAU DARI METODE KOMUNIKASI ORAL DAN TOTAL

(58)

Remaja tunarungu akan berhadapan dengan permasalahan terkait dengan kesulitan untuk menjembatani hubungan sosial pada lingkungan sekitarnya seperti kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang yang dapat mendengar secara normal (Efendi, 2006). Kesulitan ini tidak dapat dihindari oleh remaja tunarungu sehingga memerlukan komunikasi yang efektif yang dijalin individu dengan orang lain.

Dalam proses komunikasi diperlukan peranan bahasa, bicara, dan pendengaran yang menjadi pengontrol efektif ada tidaknya sebuah komunikasi (Efendi, 2006). Metode komunikasi yang dapat digunakan tunarungu dalam melakukan proses komunikasi ada tiga metode, yakni metode manual, metode oral dan metode komunikasi total (Efendi, 2006).

Metode komunikasi oral dalam pelaksanaannya menitikberatkan kepada pengucapan dalam penyampaian pesan (mengekspresikan gagasan/ pikiran/ perasaan) dan membaca ujaran (speechreading) dalam menerima pesan (Bunawan, 1997). Metode ini juga disertakan dengan penggunaan ekspresi wajah dan gesture secara natural (Gravel, 2003). Metode komunikasi ini mengarahkan agar remaja tunarungu baik dalam menerima pesan atau mengekspresikan gagasan, pikiran, dan perasaannya diharapkan melalui cara-cara yang lazim digunakan oleh anak-anak yang mendengar pada umumnya. Sehingga dengan metode komunikasi ini tunarungu dapat menerima akses kebahasaan yang lebih besar dari lingkungannya (Gravel, 2003).

(59)

memberi remaja tunarungu berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial (Somad, 2010). Remaja tunarungu dapat berinteraksi aktif dalam lingkungannya, baik lingkungan sesama, keluarga maupun masyarakat. Di dalam interaksi sosial ada kemungkinan individu dapat menyesuaikan dengan yang lain, atau sebaliknya (Faricha, 2008). Namun, penggunaan komunikasi ini seringkali membuat lawan bicara meminta untuk mengulangi pembicaraan berkali-kali sehingga diperlukan juga komunikasi isyarat untuk mempermudah komunikasi (Suparno, 1997).

Metode komunikasi total merupakan perpaduan antara metode komunikasi manual dan metode komunikasi oral (Efendi, 2006). Komunikasi total dapat berupa gabungan dari metode oral, isyarat, dan fingerspelling (abjad jari). Anak menerima input melalui membaca ujaran, isyarat, dan fingerspelling, kemudian mengekspresikannya melalui bicara, isyarat dan fingerspelling (Moores, 2001). Penyandang tunarungu tetap menguasai keterampilan berbicara dengan memberi penunjang visual yang lebih nyata dan membaca ujaran karena dalam metode ini unsur bicara digunakan bersamaan dengan unsur isyarat (Bunawan, 1997)

(60)

Metode ini dapat mempermudah remaja tunarungu dalam meningkatkan kemampuan komunikasinya. Remaja tunarungu tidak merasa kesulitan dalam menjalankan perannya dan dapat menjalankan aktivitas komunikasinya dengan orang lain, sehingga dengan metode komunikasi total remaja tunarungu dapat bersosialisasi secara lebih mudah dan lebih baik dengan orang lain (Valintini, 2011). Kemampuan untuk bersosialisasi secara lebih efektif akan berdampak pada penyesuaian yang baik secara sosial (Hurlock, 1997).

Penggunaan komunikasi total dianggap lebih efektif daripada oral, namun di Medan masih ada SLB B yang tetap menerapkan komunikasi oral dan tidak beralih pada penggunaan komunikasi total dengan alasan penggunaan komunikasi total dapat memungkinkan siswa lebih fokus terhadap penggunaan isyarat dan fingerspelling yang dapat berdampak semakin kecilnya penggunaan komunikasi

oral. Sehingga dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat penyesuaian sosial antara metode komunikasi oral dan komunikasi total. Komunikasi manual tidak disertakan dalam penelitian ini karena terbatasnya sampel penelitian yang menggunakan komunikasi manual sekarang ini. Oleh karena itu penelitian memfokuskan pada perbedaan metode komunikasi oral dan total.

(61)

E. HIPOTESA

Gambar

Tabel 1. Distribusi Aitem Skala Penyesuaian Sosial Sebelum Uji Coba
Tabel 2. Distribusi Aitem Skala Penyesuaian Sosial Sesudah Uji Coba
Tabel 3. Distribusi Aitem Skala Penyesuaian Sosial Untuk Penelitian
Tabel 5. Penyebaran sampel penelitian berdasarkan rentang usia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap berbagai kelompok di lingkungan sosialnya, baik kelompok teman sebaya maupun kelompok orang dewasaTujuan

Penyesuaian sosial bagi remaja tuna rungu dalam kehidupannya adalah semata-mata untuk menyesuaikan diri agar dapat meningkatkan harga dirinya, serta mendapat dorongan dari orang

Remaja yang dapat menyesuaikan diri dengan baik mempelajari berbagai keterampilan sosial seperti kemampuan untuk menjalin hubungan secara diplomatis dengan orang

Kecemasan sosial adalah ketakutan yang menetap terhadap sebuah atau lebih situasi sosial yang terkait dengan performa, yang membuat individu harus berhadapan dengan

Pada indikator 3 memperoleh persentase sejumlah 79% hal ini menunjukkan bahwa siswa mampu memperlihatkan dan menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap orang lain, individu mampu

Hurlock (2004: 287) mendefinisikan penyesuaian sosial sebagai keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan orang lain pada umumnya dan terhadap kelompok

Hasil analisa data penelitian dengan menggunakan perhitungan statistik independent sample t-test, diperoleh nilai t=-2.390 dan p=0.020 yang lebih kecil dari

Dampak positif bagi individu yang menerima dukungan sosial dari orang lain, individu tersebut akan lebih mampu melakukan penyesuaian diri di lingkungannya, ataupun menyesuaikan diri