• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kompetensi Komunikasi Pendamping Dan Kepuasan Petani Dalam Pelaksanaan Program Simantri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kompetensi Komunikasi Pendamping Dan Kepuasan Petani Dalam Pelaksanaan Program Simantri"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

KOMPETENSI KOMUNIKASI PENDAMPING DAN

KEPUASAN PETANI DALAM PELAKSANAAN

PROGRAM SIMANTRI

KADEK DIAH PRADNYANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kompetensi Komunikasi Pendamping dan Kepuasan Petani dalam Pelaksanaan Program Simantri adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016

Kadek Diah Pradnyani

(4)

RINGKASAN

KADEK DIAH PRADNYANI. Kompetensi Komunikasi Pendamping dan Kepuasan Petani dalam Pelaksanaan Program Simantri. Dibimbing oleh DJUARA P LUBIS dan EKO SRI MULYANI.

Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri) merupakan program pembangunan unggulan Pemerintah Provinsi Bali sejak tahun 2009 yang memanfaatkan inovasi berbasis tanpa limbah dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat (BPTP Prov Bali 2011). Hasil evaluasi lapangan terhadap 419 unit Simantri tahun 2009-2013 menunjukkan bahwa 63 unit Simantri belum melaksanakan kegiatan secara optimal (Distan Prov Bali 2014a). Hasil penelitian Suardi (2015) menyatakan perilaku petani masih kurang pada aspek pelaksanaan dibandingkan aspek pengetahuan dan sikap yang sudah tergolong baik.

Data yang menunjukkan masih adanya unit Simantri yang belum optimal menandakan kondisi setiap unit Simantri yang tersebar di Provinsi Bali sangat beragam. Terdapat unit Simantri yang sudah melaksanakan konsep integrasi dengan baik dan terdapat pula yang belum atau hanya berfokus pada usaha pemeliharaan ternak. Salah satu kabupaten dengan kondisi unit Simantri yang tergolong baik adalah unit Simantri di Kabupaten Klungkung yang mendapatkan peringkat tiga besar dalam Lomba Gabungan Kelompok Tani atau Kelompok Tani Berprestasi Tingkat Provinsi Bali Tahun 2014 (Pemprov Bali 2014) dan 2015 (Pemprov Bali 2015). Kondisi berbeda terlihat pada unit Simantri di Kabupaten Jembrana. Simantri di Kabupaten Jembrana belum pernah meraih posisi lima besar dalam Lomba Gabungan Kelompok Tani atau Kelompok Tani Berprestasi Tingkat Provinsi Bali. Letak unit Simantri Kabupaten Jembrana yang jauh dari Sekretariat Simantri menjadi tantangan tersendiri dalam upaya pengembangan unit-unit Simantri di Kabupaten Jembrana.

Berbagai kondisi yang terjadi pada program Simantri tersebut bisa disebabkan oleh kurang efektifnya komunikasi program Simantri. Salah satu hal yang dapat mendukung efektivitas komunikasi adalah kegiatan pendampingan yang optimal oleh pendamping Simantri. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali sebagai leading sector program Simantri merekrut tenaga pendamping outsourcing sejak tahun 2012 untuk menggantikan tenaga pendamping insourcing. Pendamping outsourcing sebagian besar belum memiliki pengalaman kerja dan rata-rata mendampingi tiga unit Simantri. Kegiatan pendampingan Simantri sangat memerlukan pendamping yang memiliki kompetensi komunikasi yang baik agar proses komunikasi antara pendamping dengan leading sector dan petani menjadi efektif. Menilai kepuasan petani juga dapat menjadi ukuran keberhasilan seorang pendamping menyampaikan pesan secara efektif. Pendamping Simantri dengan kompetensi komunikasi yang baik diharapkan dapat meningkatkan kepuasan petani sehingga program dengan konsep integrasi tersebut dapat terlaksana dengan baik.

(5)

komunikasi pendamping Simantri, dan (4) menganalisis hubungan kompetensi komunikasi pendamping Simantri dengan kepuasan petani terhadap pendamping Simantri. Desain penelitian adalah penelitian survei dengan unit analisis penelitian adalah pendamping outsourcing program Simantri. Kompetensi komunikasi diukur dengan dua tipe pengukuran yaitu self-report (oleh pendamping) dan

receiver-report (oleh petani). Responden penelitian adalah 30 orang pendamping Simantri Kabupaten Klungkung dan Jembrana serta 150 orang petani pelaksana program Simantri di Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Jembrana. Pengumpulan data dilakukan dengan metode pengisian kuesioner dan wawancara. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, analisis korelasi Rank

Spearman, analisis korelasi Chi-Square, dan analisis komparatif Mann-Whitney, yang dibantu dengan software SPSS 22.0.

Hasil penelitian ini adalah (1) Kompetensi komunikasi pendamping Simantri secara umum tergolong tinggi, baik pada pendamping Klungkung maupun pendamping Jembrana berdasarkan penilaian sendiri dan penilaian petani. Tidak terdapat perbedaan signifikan antara kompetensi komunikasi pendamping Kabupaten Klungkung dengan pendamping Kabupaten Jembrana berdasarkan hasil penilaian sendiri. Perbedaan signifikan terlihat pada perbandingan kompetensi komunikasi pendamping Kabupaten Klungkung dengan pendamping Kabupaten Jembrana hasil penilaian petani. Pendamping Jembrana mendapatkan nilai mean rank yang lebih tinggi dari petani dibandingkan pendamping Klungkung; (2) Tingkat kepuasan petani terhadap pendamping Kabupaten Klungkung dan Jembrana tergolong tinggi. Nilai persentase menunjukkan bahwa petani di Kabupaten Jembrana memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani di Kabupaten Klungkung pada setiap indikatornya. Tidak terdapat perbedaan signifikan tingkat kepuasan petani terhadap pendamping Kabupaten Klungkung dengan pendamping Kabupaten Jembrana; (3) Faktor internal pendamping yang berhubungan nyata dengan kompetensi komunikasi pendamping (penilaian sendiri) adalah motivasi. Faktor internal umur, masa kerja, masa pendampingan, tingkat pendidikan formal, dan tingkat kekosmopolitan tidak berhubungan nyata dengan kompetensi komunikasi pendamping (penilaian sendiri). Jumlah pelatihan adalah faktor eksternal pendamping yang berhubungan dengan kompetensi komunikasi pendamping (penilaian sendiri), sedangkan pengalaman berorganisasi tidak berhubungan nyata dengan kompetensi komunikasi pendamping (penilaian sendiri). Faktor internal dan faktor eksternal pendamping tidak berhubungan nyata dengan kompetensi komunikasi pendamping berdasarkan penilaian petani; (4) Kompetensi komunikasi pendamping (penilaian petani) berhubungan nyata dengan kepuasan petani terhadap pendamping pada taraf kepercayaan 95 persen. Tidak terdapat hubungan nyata anatara kompetensi komunikasi pendamping (penilaian sendiri) dengan kepuasan petani terhadap pendamping. Pendamping disarankan meningkatkan kemampuan dalam menjalin relasi sebagai bagian dari kompetensi komunikasi. Pendamping juga disarankan untuk lebih aktif mengikuti kegiatan-kegiatan pelatihan yang berkaitan dengan program Simantri.

(6)

SUMMARY

KADEK DIAH PRADNYANI. Communication Competence of Facilitator and Farmer Satisfaction on Simantri Programme. Supervised by DJUARA P LUBIS and EKO SRI MULYANI.

The Government of Bali has an agricultural development programme since 2009, named Integrated Farming System (Sistem Pertanian Terintegrasi / Simantri). Simantri utilises zero waste concept to increase the prosperity of the community (BPTP Prov Bali 2011). Evaluation results of 419 Simantri units formed in 2009-2013, showed that 63 Simantri units have not yet optimised the integration activities (Distan Prov Bali 2014a). Suardi (2015) showed the farmer’s behaviour on Simantri had poorer score on implementation point than cognitive and attitude points.

The facts that some Simantri units were not yet optimal showed the diverse condition of Simantri units in Bali Province. Some Simantri units have optimally implemented the integration activities while others have not (they just focus on cattle husbandry). Klungkung Regency is one regency that has good Simantri units, because they received first and third places in Simantri unit competition in 2014 (Pemprov Bali 2014) and 2015 (Pemprov Bali 2015). This is different from the Simantri units in Jembrana Regency which never gets achievement in the Simantri unit competition. The location of Simantri units of Jembrana Regency that is far from Simantri office in Denpasar pose as a challenge in improving the conditions of Simantri units in Jembrana Regency.

One contributing factor to those diverse conditions of Simantri programs may be the lack of communication effectiveness in Simantri. Simantri communication effectiveness can be improved by good mentoring from the facilitators. Department of Agriculture Food Crops of Bali Province (the leading sector of Simantri programme) recruited outsourced facilitators since 2012 who replaced the insourced facilitators. The outsourced facilitators did not have any job experience, but they have to mentor three Simantri units on average. The mentoring of Simantri need facilitators with good communication competence, so it can create good communication process between the facilitators, leading sector, and farmers in Simantri units. The farmers' satisfaction can be a measurement that the facilitators deliver the messages effectively. Facilitators of Simantri with good communication competence are expected to increase the farmers' satisfaction, so the integration activities can run optimally.

(7)

Klungkung and Jembrana Regency. The methods of collecting data were questionnaire and interview. Data analysis used descriptive analysis, Spearman’s Rank, Chi-Square, and Mann-Whitney tests, assisted by SPSS 22.0.

The results indicated that: (1) the level of communication competence of facilitators in Klungkung and Jembrana were generally high (based on self-report and receiver-report). There was no significant difference between the communication competence of facilitators in Klungkung Regency and the communication competence of facilitators in Jembrana Regency (based on self-report). A significant difference was shown in the comparison of communication competence of facilitators in Klungkung and Jembrana Regency (based on receiver-report); (2) the level of farmers’ satisfaction was high. The percentage showed that farmers in Jembrana Regency had higher satisfaction level than the farmers in Klungkung Regency on each indicator. There was no significant difference of farmers’ satisfaction level between Klungkung facilitators and Jembrana facilitators; (3) the internal factor of facilitators that had significant correlation with their communication competence was motivation. Age, time of work, time of mentoring, formal education level, and the level of cosmopolite did not have significant correlation with the communication competence of facilitators (based on self-report). External factor of facilitators (the number of training) had significant correlation with their communication competence (based on self-report). The organization experience did not have significant correlation with the communication competence (based on self-report). There was no significant correlation between internal and external factors of facilitators with their communication competence (based on receiver-report); (4) the communication competence of facilitators (based on receiver-report) had significant correlation with the level of farmers’ satisfaction toward facilitators. There was no significant correlation between the communication competence of facilitators (based on self-report) with the level of farmers’ satisfaction toward facilitators. The facilitators should improve their ability to interweave relationships as a part of their communication competence. They also should improve their number of trainings on Simantri activities.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

KOMPETENSI KOMUNIKASI PENDAMPING DAN

KEPUASAN PETANI DALAM PELAKSANAAN

PROGRAM SIMANTRI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini adalah Kompetensi Komunikasi Pendamping dan Kepuasan Petani dalam Pelaksanaan Program Simantri.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Djuara P Lubis, MS dan Ibu Dr Ir Eko Sri Mulyani, MS selaku pembimbing yang senantiasa membantu dan memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Eko Prasetyo Direktur Utama Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) beserta staf yang telah memberikan beasiswa penuh kepada penulis selama melanjutkan studi magister di IPB. Penghargaan penulis sampaikan pula kepada Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali; BPTP Provinsi Bali; Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Klungkung; Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Kabupaten Jembrana; para petani pelaksana program Simantri; serta para pendamping Simantri Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Jembrana yang telah membantu penulis selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, keluarga, serta seluruh kerabat, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2016

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 6

Manfaat Penelitian 7

2 TINJAUAN PUSTAKA 7

Kompetensi 7

Kompetensi Komunikasi 8

Faktor Internal Pendamping 10

Faktor Eksternal Pendamping 13

Teori Kepuasan 14

Program Simantri 17

Pendamping Simantri 18

Penelitian Terdahulu 19

Kerangka Berpikir 22

Hipotesis 23

3 METODOLOGI PENELITIAN 24

Desain Penelitian 24

Lokasi dan Waktu Penelitian 24

Populasi dan Responden Penelitian 24

Data dan Instrumentasi 25

Definisi Operasional 26

Validitas dan Reliabilitas Instrumentasi 30

Pengumpulan Data 32

Analisis Data 33

4 DESKRIPSI UMUM 39

Deskripsi Lokasi Penelitian 39

Deskripsi Faktor Internal Pendamping Simantri 43 Deskripsi Faktor Eksternal Pendamping Simantri 50 5 KOMPETENSI KOMUNIKASI PENDAMPING SIMANTRI DAN

HUBUNGANNYA DENGAN FAKTOR INTERNAL DAN

EKSTERNAL PENDAMPING SIMANTRI 52

Kompetensi Komunikasi Pendamping Simantri 52

Hubungan Faktor Internal Pendamping dengan Kompetensi

(14)

Hubungan Faktor Eksternal Pendamping dengan Kompetensi

Komunikasi Pendamping 67

6 KEPUASAN PETANI TERHADAP PENDAMPING DAN HUBUNGANNYA DENGAN KOMPETENSI KOMUNIKASI

PENDAMPING 70

Tingkat Kepuasan Petani terhadap Pendamping Simantri 71 Hubungan Kompetensi Komunikasi Pendamping dengan Kepuasan

Petani terhadap Pendamping 74

7 PENUTUP 84

Simpulan 84

Saran 85

DAFTAR PUSTAKA 86

LAMPIRAN 93

(15)

DAFTAR TABEL

1 Tingkat keeratan hubungan menurut nilai koefisien korelasi 34 2 Tujuan penelitian, variabel dan indikator, sumber data, metode

pengumpulan data, dan metode analisis data penelitian 37 3 Produksi tanaman pangan di Kabupaten Klungkung menurut

kecamatan tahun 2014 40

4 Produksi tanaman perkebunan di Kabupaten Klungkung menurut

kecamatan tahun 2014 40

5 Luas tanam, luas panen, produksi, dan produktivitas tanaman pangan

di Kabupaten Jembrana tahun 2014 42

6 Produksi tanaman perkebunan di Kabupaten Jembrana menurut

kecamatan tahun 2014 43

7 Jumlah pendamping Simantri di Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Jembrana menurut variabel faktor internal tahun 2016 44 8 Jumlah pendamping Simantri menurut latar belakang pendidikan di

Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Jembrana tahun 2016 45 9 Persentase sumber-sumber informasi yang digunakan oleh

pendamping Simantri di Kabupaten Klungkung dan Kabupaten

Jembrana tahun 2016 46

10 Persentase faktor-faktor motivasi pendamping dalam bekerja di unit Simantri Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Jembrana tahun 2016 47 11 Nilai mean rank, Uhitung, dan Utabel pada perbandingan faktor internal

pendamping Simantri di Kabupaten Klungkung dan Kabupaten

Jembrana tahun 2016 48

12 Nilai mean rank, Uhitung, dan Utabel pada perbandingan sumber-sumber

informasi yang digunakan oleh pendamping Simantri di Kabupaten

Klungkung dan Kabupaten Jembrana tahun 2016 49

13 Nilai mean rank, Uhitung, dan Utabel perbandingan faktor-faktor

motivasi pendamping dalam bekerja di unit Simantri Kabupaten

Klungkung dan Kabupaten Jembrana tahun 2016 49

14 Jumlah pendamping Simantri menurut faktor eksternal di Kabupaten

Klungkung dan Kabupaten Jembrana tahun 2016 50

15 Nilai mean rank, Uhitung, dan Utabel pada perbandingan faktor eksternal

pendamping Simantri di Kabupaten Klungkung dan Kabupaten

Jembrana tahun 2016 51

16 Persentase penilaian sendiri dan penilaian petani pada kompetensi komunikasi pendamping Simantri di Kabupaten Klungkung dan

Kabupaten Jembrana tahun 2016 53

17 Nilai mean rank, Uhitung, dan Utabel pada perbandingan kompetensi

komunikasi pendamping Simantri di Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Jembrana berdasarkan penilaian sendiri tahun 2016 59 18 Nilai mean rank, Uhitung, dan Utabel pada perbandingan kompetensi

komunikasi pendamping Simantri di Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Jembrana berdasarkan penilaian petani tahun 2016 60 19 Koefisien korelasi spearman (rs) faktor internal pendamping dan

kompetensi komunikasi pendamping Simantri berdasarkan penilaian

(16)

20 Koefisien korelasi spearman (rs) faktor internal pendamping dan

kompetensi komunikasi pendamping Simantri berdasarkan penilaian

petani tahun 2016 63

21 Nilai pearson chi-square(χ2) pada korelasi tingkat pendidikan formal dan kompetensi komunikasi pendamping Simantri berdasarkan penilaian sendiri dan penilaian petani tahun 2016 66 22 Koefisien korelasi spearman (rs) faktor eksternal pendamping dan

kompetensi komunikasi pendamping Simantri berdasarkan penilaian

sendiri tahun 2016 69

23 Koefisien korelasi spearman (rs) faktor eksternal pendamping dan

kompetensi komunikasi pendamping Simantri berdasarkan penilaian

sendiri tahun 2016 69

24 Jumlah pendamping Simantri menurut tingkat kepuasan petani terhadap pendamping di Kabupaten Klungkung dan Kabupaten

Jembrana tahun 2016 71

25 Nilai mean rank, Uhitung, dan Utabel pada perbandingan tingkat

kepuasan petani terhadap pendamping Simantri di Kabupaten

Klungkung dan Kabupaten Jembrana tahun 2016 73

26 Koefisien korelasi spearman (rs) kompetensi komunikasi pendamping

Simantri (penilaian sendiri) dan kepuasan petani terhadap pendamping

tahun 2016 74

27 Koefisien korelasi spearman (rs) kompetensi komunikasi pendamping

Simantri (penilaian petani) dan kepuasan petani terhadap pendamping

tahun 2016 75

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka berpikir kompetensi komunikasi pendamping dan kepuasan

petani dalam pelaksanaan program Simantri 23

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta lokasi penelitian 94

2 Hasil uji validitas dan reliabilitas kuesioner 95

3 Hasil analisis komparatif Mann-Whitney 102

4 Hasil analisis korelasi Chi-Square 106

(17)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Konsep pembangunan pertanian berkelanjutan sesuai dengan isi Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP) Tahun 2014-2045 menyebutkan bahwa sektor pertanian di Indonesia saat ini merupakan sektor pendukung pembangunan ekonomi dan bioindustri berkelanjutan berdasarkan biokultura. Hal tersebut mengandung makna bahwa sektor pertanian tidak hanya dituntut sebagai penghasil bahan pangan, namun juga dituntut sebagai penghasil bahan baku energi terbarukan (bioindustri). Pembangunan bioindustri berkelanjutan merupakan upaya untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertanian melalui pemanfaatan limbah pertanian (BPPSP 2015).

Pembangunan pertanian berkelanjutan merupakan paradigma pembangunan pertanian yang saat ini dianggap sebagai solusi alternatif menggantikan paradigma pembangunan pertanian sebelumnya yang hanya berorientasi pada peningkatan produksi. Saptana dan Ashari (2007) menyatakan pembangunan pertanian berkelanjutan sebagai upaya pemanfaatan inovasi dan teknologi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat tanpa mengabaikan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan. Kebutuhan masyarakat berusaha dipenuhi, baik untuk generasi saat ini maupun untuk generasi mendatang (Saptana & Ashari 2007).

Salah satu program pembangunan yang memanfaatkan inovasi dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi sosial ekonomi dan lingkungan setempat adalah Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri) yang dicanangkan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Pemerintah Provinsi Bali mulai melaksanakan Program Simantri sejak tahun 2009 dan masih berjalan hingga saat ini. Simantri merupakan program pembangunan yang berupaya mengoptimalkan pemanfaatan potensi lokal dengan inovasi teknologi pertanian tanpa limbah (zero waste) (BPTP Prov Bali 2011). Kegiatan utama program ini antara lain integrasi usaha budidaya tanaman dan ternak, pengolahan limbah tanaman menjadi pakan, pembuatan cadangan pakan pada musim kemarau, dan pengolahan limbah ternak menjadi bio gas, bio urine, dan pupuk organik (BPTP Prov Bali 2011).

Simantri menjadi program unggulan Pemerintah Provinsi Bali dengan target 1000 unit Simantri di tahun 2018 (Anugrah et al. 2014). Hingga tahun 2014 Pemerintah Provinsi Bali telah memberikan bantuan kepada 502 unit Simantri yang tersebar di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Bali (Distan Prov Bali 2014a). Adapun tujuan akhir Simantri adalah peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani melalui kemandirian petani dalam berusahatani (BPTP Prov Bali 2011). Program Simantri berupaya meningkatkan partisipasi petani dalam hal menggali potensi pertanian yang ada di daerah mereka, menentukan sistem integrasi pertanian yang tepat bagi daerah mereka, dan pada akhirnya mampu mengelola kegiatan sistem integrasi pertanian mereka sendiri secara mandiri sesuai dengan tujuan akhir program Simantri.

(18)

2

belum optimalnya pengolahan limbah ternak menjadi pupuk organik (Distan Prov Bali 2014a). Suardi (2015) meneliti tingkat keberhasilan Simantri pada unit penerima bantuan Simantri tahun 2012. Menurut hasil penelitian tersebut, nilai rata-rata yang dicapai hanya 4.48 (dari nilai interval 1-10), yang menandakan bahwa program Simantri ternyata kurang berhasil mencapai keberhasilan program. Indikator keberhasilan yang masih tergolong dalam kategori kurang yakni perkembangan pertanian organik, peningkatan pendapatan petani, pengembangan lembaga usaha ekonomi pedesaan, dan peningkatan insentif berusaha tani. Hasil penelitian Suardi (2015) menyatakan bahwa perilaku petani responden dalam aspek pengetahuan dan sikap terhadap Simantri tergolong dalam kategori baik, namun masih kurang pada aspek tindakan atau pelaksanaan. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa petani paham dan setuju dengan program Simantri, namun belum mereka aplikasikan secara penuh di lapangan. Sebuah program pembangunan termasuk Simantri akan berhasil apabila pelaku program mampu mengaplikasikan kegiatan program dengan baik di lapangan. Sebaliknya, keberhasilan program lebih sulit tercapai jika pelaku program tidak melaksanakan kegiatan program meskipun mereka paham dan setuju dengan program tersebut.

Data yang menunjukkan bahwa masih adanya unit Simantri yang belum optimal menandakan kondisi setiap unit Simantri yang tersebar di kabupaten/kota Provinsi Bali sangat beragam. Terdapat unit Simantri yang sudah melaksanakan konsep integrasi dengan baik dan terdapat pula unit Simantri yang belum melaksanakan konsep integrasi atau hanya berfokus pada usaha pemeliharaan ternak. Salah satu kabupaten dengan kondisi unit Simantri yang tergolong baik adalah Kabupaten Klungkung yang salah satu unit Simantrinya mendapatkan peringkat tiga besar dalam Lomba Gabungan Kelompok Tani atau Kelompok Tani Berprestasi Tingkat Provinsi Bali Tahun 2014 dan 2015. Kabupaten Klungkung menduduki peringkat pertama pada tahun 2014 (Pemprov Bali 2014) dan peringkat ketiga pada tahun 2015 (Pemprov Bali 2015). Penelitian pendahuluan menyebutkan bahwa unit Simantri Klungkung yang memperoleh juara pertama tersebut mendapatkan peluang bekerjasama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA) hingga saat ini. Bentuk kerjasama antara unit Simantri Klungkung tersebut dengan JICA adalah kerjasama dalam pembuatan pakan ternak menggunakan dedak, gula merah, dan jamur; penggunaan alas kandang dengan cacahan jerami; serta pembuatan pupuk organik. Unit Simantri tersebut menjadi unit Simantri percontohan bagi unit-unit Simantri di sekitarnya. Simantri Kabupaten Klungkung juga mendapatkan perhatian penuh dari Tim Koordinasi Simantri Kabupaten Klungkung yang dibentuk oleh Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Klungkung yang rutin melakukan kunjungan dan pembinaan kepada unit-unit Simantri di Kabupaten Klungkung.

(19)

3 kelebihan produksi pupuk organik maupun kelebihan kotoran ternak di setiap unit Simantri dapat disalurkan melalui 17 unit Simantri tersebut sehingga peluang pemasaran pupuk dapat dirasakan merata oleh unit-unit Simantri, serta pupuk organik bersubsidi hasil olahan Simantri dapat dinikmati oleh petani di seluruh Bali. Dua dari 17 unit Simantri produsen dan penyalur pupuk organik bersubsidi tersebut berada di Kabupaten Klungkung, sedangkan belum ada unit Simantri di Kabupaten Jembrana yang menjadi produsen dan penyalur pupuk organik bersubsidi (Rhismawati 2015).

Berbagai kondisi yang terjadi pada program Simantri tersebut bisa disebabkan oleh kurang efektifnya komunikasi program Simantri. Sebuah program memang harus dikomunikasikan dengan jelas sehingga efektivitas komunikasi dapat tercapai sehingga mampu mendukung tercapainya keberhasilan program. Salah satu hal yang dapat mendukung efektivitas komunikasi program Simantri adalah kegiatan pendampingan yang optimal oleh pendamping Simantri. Kegiatan pendampingan oleh pendamping Simantri sangat diperlukan. Selain berdasarkan hasil evaluasi, perlu diingat kembali bahwa jumlah unit Simantri saat ini sudah mencapai 502 unit. Jumlah anggota tim koordinasi provinsi dan kabupaten/kota yang relatif tetap, menandakan pentingnya keberadaan pendamping dalam mengawasi dan membina unit Simantri.

Setiap unit Simantri dibantu oleh seorang pendamping yang secara umum bertugas mendampingi petani penerima bantuan Simantri dalam membuat keputusan dan pengelolaan terkait kegiatan Simantri, memperkenalkan teknis Simantri yang sesuai kondisi lapangan, memotivasi guna penguatan kelompok, fasilitator informasi, membantu kegiatan administrasi, serta berkoordinasi dengan petugas lain di tingkat desa hingga provinsi (Distan Prov Bali 2011). Mulai tahun 2009 tiap unit Simantri didampingi oleh pendamping yang berasal dari tenaga

insourcing dari disiplin ilmu pertanian dan direkrut oleh SKPD provinsi. Tenaga

insourcing tersebut mendapat pelatihan teknis dari BPTP Provinsi Bali dan tim koordinasi tingkat provinsi (BPTP Prov Bali 2011). Namun dalam pelaksanaannya, kinerja tenaga insourcing ternyata kurang maksimal karena keterbatasan waktu dan tanggung jawab lain yang dimiliki tenaga insourcing. Hal ini kemudian memunculkan kebijakan untuk merekrut tenaga outsourcing. Adapun tenaga outsourcing direkrut oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali (leading sector program Simantri) yakni sebanyak 100 orang pada tahun 2012 dan sekitar 100 orang lagi pada tahun 2014.

Jumlah pendamping tenaga outsourcing yang sudah memiliki pengalaman kerja atau pengalaman menjadi pendamping sekitar 10 persen. Hal ini menunjukkan bahwa 90 persen atau sebagian besar pendamping belum memiliki pengalaman menjadi pendamping. Selain itu, disamping mendampingi unit Simantri tahun 2012-2014, tenaga outsourcing juga membantu tenaga insourcing

untuk mendampingi unit Simantri tahun 2010-2011. Hal ini membuat seorang tenaga outsourcing bisa mendampingi dua hingga tiga unit Simantri.

(20)

4

juga mendatangkan pemateri atau narasumber yang disesuaikan dengan permasalahan yang sering dihadapi pendamping.

Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa pertemuan tersebut belum berlangsung efektif karena beberapa pendamping masih ragu untuk menyampaikan permasalahan yang dihadapi. Jumlah pendamping yang hadir juga tidak selalu lengkap. Komunikasi dalam pertemuan tersebut seakan masih bersifat searah, yakni perwakilan leading sector dan narasumber sebagai komunikator dan pendamping sebagai komunikan. Umpan balik yang diharapkan pun belum banyak bermunculan. Pendamping sesungguhnya dapat langsung menyampaikan permasalahan di unit Simantri mereka kepada leading sector sehingga upaya penyelesaian masalah dapat segera dijalankan. Permasalahan akan menjadi lebih lama bertahan di unit Simantri ketika hal tersebut tidak disampaikan.

Pendamping Simantri bertugas di tiap unit Simantri yang tersebar di kabupaten/kota di Bali. Pendamping diharapkan pula tetap berkoordinasi dengan tim teknis kabupaten/kota setempat di masing-masing kabupaten/kota. Hal ini dikarenakan tim teknis kabupaten/kota lebih mengetahui kondisi di kabupaten mereka dan cenderung lebih memiliki kedekatan dengan petani. Hasil monitoring dan evaluasi Simantri juga menyatakan bahwa salah satu kendala yang memengaruhi pelaksanaan Simantri menjadi kurang optimal adalah belum maksimalnya peran atau partisipasi dari tim teknis kabupaten/kota (Distan Prov Bali 2014a). Oleh karena itu, perlu dilihat kompetensi komunikasi pendamping baik saat berkomunikasi dengan tim teknis provinsi, tim teknis kabupaten/kota, dan petani sebagai upaya pencapaian tujuan program Simantri. Hal ini menunjukkan bahwa kompetensi komunikasi pendamping sangat berperan dalam mempercepat penyampaian pesan dari leading sector kepada petani maupun sebaliknya, serta mengoptimalkan koordinasi dengan tim teknis kabupaten/kota. Ketika pesan tertahan pada pendamping, maka pesan tidak akan pernah sampai baik kepada leading sector, tim teknis kabupaten/kota, maupun kepada petani sehingga permasalahan yang ada tidak dapat ditangani dengan baik.

Sumodiningrat dalam Mangkuprawira (2010) menyatakan bahwa sebuah kegiatan pendampingan merupakan kegiatan yang dapat mendorong secara optimal terjadinya pemberdayaan masyarakat pertanian di perdesaan. Kegiatan pendampingan dianggap perlu karena adanya kesenjangan pemahaman antara pihak yang memberikan bantuan dengan sasaran penerima bantuan (Mangkuprawira 2010). Oleh karena itu, seorang pendamping harus mampu menjadi perencana, pembimbing, pemberi informasi, motivator, penghubung, fasilitator, dan juga evaluator (Mangkuprawira 2010).

(21)

5 Pendamping Simantri yang memiliki kompetensi komunikasi yang baik akan membantu petani dalam manajemen pelaksanaan program Simantri. Pelaksanaan kegiatan Simantri yang baik tentu akan mewujudkan tujuan program Simantri.

Menilai kepuasan petani dapat menjadi sebuah ukuran keberhasilan seorang pendamping menyampaikan pesan dengan tepat dan efektif sesuai dengan tujuan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Berlo (1960) yang menyatakan bahwa kritik terhadap komunikator dapat dilihat dari tindakan penerima pesan. Petani adalah penerima pesan dari pendamping, sehingga tindakan petani dapat dijadikan kriteria untuk mengatakan bahwa pendamping dapat menyelesaikan tujuannya sebagai komunikator. Tingkat kepuasan petani dapat menjadi ukuran tentang pelayanan yang dilakukan pendamping selama pelaksanaan program Simantri.

Kegiatan pendampingan tidak berhenti pada pelaksanaan konsep integrasi dalam petunjuk pelaksanaan teknis kegiatan Simantri. Kelompok petani yang aktif akan memerlukan informasi dan inovasi-inovasi terbaru dari pendamping mereka guna pengembangan kegiatan Simantri. Pendamping dituntut kreativitasnya dalam mengembangkan kegiatan Simantri, seperti pengembangan pemasaran produk hasil kegiatan Simantri dan pengembangan inovasi terbaru yang dibutuhkan petani. Sebagaimana yang dijelaskan Mardikanto (2010) bahwa fasilitator harus mampu memfasilitasi penerapan inovasi baru di bidang kegiatan tertentu bagi para penerima manfaat. Kegiatan Simantri akan menjadi stagnan apabila pendamping tidak mampu melaksanakan pengembangan kegiatan Simantri. Petani akan kurang merasakan manfaat dari integrasi yang sudah mereka jalankan karena kurang berkembang serta tidak didukung oleh pendamping yang berkompeten. Hal tersebut dapat terlihat pada tingkat kepuasan petani terhadap pendamping.

Perumusan Masalah

Program Simantri sebagai program pembangunan berupaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani melalui kemandirian petani dalam berusahatani. Keberhasilan program Simantri mencapai tujuannya hanya dapat terjadi jika petani melaksanakan kegiatan program Simantri. Perilaku sebagian petani pelaksana program Simantri memiliki aspek pengetahuan dan sikap yang baik terhadap program, namun pada aspek tindakan masih tergolong kurang. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa petani paham dan setuju dengan program Simantri, namun belum mereka aplikasikan secara penuh dalam bentuk kegiatan di lapangan sehingga berdampak pada belum tercapainya keberhasilan program secara keseluruhan. Kondisi tersebut bisa disebabkan karena efektivitas komunikasi program Simantri masih kurang.

Salah satu hal yang dapat meningkatkan efektivitas komunikasi program Simantri adalah kegiatan pendampingan yang optimal yang dilaksanakan oleh pendamping Simantri. Sejak tahun 2012 Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali (leading sector program Simantri) merekrut tenaga outsourcing

(22)

6

paling dekat dan memiliki intensitas pertemuan yang lebih tinggi dengan petani pelaksana program Simantri. Oleh karena itu, pendamping seharusnya memiliki kompetensi komunikasi yang baik dalam upaya meningkatkan tiga aspek perilaku petani.

Pendamping Simantri yang memiliki kompetensi komunikasi yang baik, akan membantu mereka dalam mencapai komunikasi yang efektif dengan tim teknis provinsi, tim teknis kabupaten/kota, dan petani sehingga akan membantu upaya pencapaian tujuan program Simantri. Pencapaian tujuan program merupakan salah satu wujud dari pendamping yang bekerja dengan baik. Kompetensi komunikasi serta pelayanan yang baik dari seorang pendamping dapat dilihat pada tingkat kepuasan petani pelaksana program Simantri.

Adanya perbedaan kondisi unit-unit Simantri di Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Jembrana menunjukkan perlunya melihat perbandingan kompetensi komunikasi pendamping serta tingkat kepuasan petani terhadap pendamping di Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Jembrana. Hasil perbandingan tersebut diharapkan dapat memberikan masukan dalam meningkatkan optimalisasi unit-unit Simantri di Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Jembrana. Berdasarkan hal tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana kompetensi komunikasi pendamping serta tingkat kepuasan petani terhadap pendamping Simantri di Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Jembrana, dengan rumusan masalah yang lebih rinci sebagai berikut.

1. Bagaimana tingkat kompetensi komunikasi pendamping Simantri di Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Jembrana?

2. Bagaimana tingkat kepuasan petani terhadap pendamping Simantri di Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Jembrana?

3. Bagaimana hubungan faktor internal dan eksternal pendamping Simantri dengan kompetensi komunikasi pendamping Simantri?

4. Bagaimana hubungan kompetensi komunikasi pendamping Simantri dengan kepuasan petani terhadap pendamping Simantri?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian berdasarkan rumusan masalah di atas yakni menganalisis tingkat kompetensi komunikasi pendamping serta tingkat kepuasan petani terhadap pendamping Simantri di Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Jembrana, dengan tujuan penelitian yang lebih rinci sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan tingkat kompetensi komunikasi pendamping Simantri di Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Jembrana.

2. Mendeskripsikan tingkat kepuasan petani terhadap pendamping Simantri di Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Jembrana.

3. Menganalisis hubungan faktor internal dan eksternal pendamping Simantri dengan kompetensi komunikasi pendamping Simantri.

(23)

7 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini dipaparkan sebagai berikut. 1. Bagi pemerintah daerah: hasil penelitian dapat menjadi referensi data dan

masukan bagi pemerintahan daerah selaku pengambil kebijakan dalam meningkatkan kompetensi komunikasi pendamping pada program Simantri maupun pada program pembangunan lainnya sebagai salah satu upaya ketercapaian keberhasilan program.

2. Bagi pendamping: hasil penelitian dapat menjadi bahan evaluasi dan referensi untuk meningkatkan kompetensi komunikasi mereka dalam melaksanakan tugas.

3. Bagi kalangan akademisi: hasil penelitian dapat menambah khasanah keilmuan dalam bidang komunikasi pembangunan pertanian dan pedesaan terutama dalam upaya peningkatan kompetensi komunikasi pendamping program pembangunan.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Kompetensi

Spencer dan Spencer dalam Helmy et al. (2013) mendefinisikan kompetensi sebagai karakteristik dasar dari individu yang berhubungan langsung dengan kinerja efektif dari suatu pekerjaan. Kompetensi meliputi niat, tindakan, dan hasil. Marius (2007) menyebutkan kompetensi sebagai kumpulan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang berhubungan satu sama lain yang berpengaruh pada peranan dan tanggungjawab pekerjaan seseorang. Anwas (2013) juga memberikan definisi pada kompetensi penyuluh pertanian sebagai kemampuan yang dilandasi pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dituntut dalam tugasnya memberdayakan petani.

Menurut Khalil et al. (2008), kompetensi dalam konteks penyuluhan mengarah pada keterampilan dan pengetahuan penyuluh yang sangat penting dalam keberhasilan penyuluhan. Kompetensi seorang penyuluh menjadi sangat penting karena memengaruhi produktivitas kerja baik pada aspek persiapan, pelaksanaan, evaluasi, dan komunikasi penyuluhan (Hanafiah et al. 2013). Penelitian Ierhasy et al. (2014) menyatakan bahwa variabel kompetensi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai. Diketahui pula bahwa kompetensi merupakan variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap kinerja individu. Berdasarkan teori-teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa kompetensi merupakan karakteristik seorang individu yang terdiri dari pengetahuan, keterampilan, serta sikap yang berpengaruh pada kemampuan individu dalam melaksanakan suatu pekerjaan.

(24)

8

Haryadi (2014) bahwa kompetensi memiliki dua makna, makna pertama kompetensi merujuk pada pekerjaan yang mampu dilakukan seseorang secara kompeten (job specification), sedangkan makna kedua merujuk pada dimensi-dimensi perilaku yang terletak di balik kinerja yang kompeten (person specification).

Adler dan Rodman (1997) memaparkan empat karakteristik dari kompetensi. Pertama, tidak ada cara yang paling ideal untuk berkomunikasi (there is no ideal way to communicate). Menjadi komunikator yang kompeten membutuhkan fleksibilitas dalam memahami pendekatan terbaik apa yang dapat diaplikasikan dalam situasi yang diberikan. Perbedaan budaya juga menggambarkan prinsip bahwa tidak ada model tunggal dari sebuah kompetensi.

Kedua, kompetensi bersifat situasional (competence is situasional). Karakteristik ini berbicara tentang derajat atau area kompetensi. Seseorang mungkin berkompeten di beberapa daerah namun akan kurang berkompetensi pada daerah atau area lain. Ketiga, kompetensi itu relasional (competence is relational). Perilaku yang kompeten dalam suatu hubungan tidak selalu kompeten pada orang lain. Keempat, kompetensi dapat dipelajari (competence can be learned). Hal ini terkait dengan kemampuan seseorang dalam mempelajari budaya, daerah, serta orang lain di sekitar mereka. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa kompetensi terbentuk atas situasi, budaya, dan hubungan dengan orang lain. Kompetensi setiap orang berbeda-beda tergantung pada niat, proses belajar, tindakan, serta hasil yang diberikan.

Kompetensi Komunikasi

Kompetensi penyuluh yang strategis dan penting untuk ditingkatkan adalah kompetensi komunikasi. Kemampuan berkomunikasi merupakan salah satu faktor kompetensi tugas penyuluh yang berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh pertanian (Marliati et al. 2008, Mujiburrahmad 2014, Payne 2005). Rickheit dan Strohner (2008) menjelaskan gagasan kompetensi komunikasi dari aspek teoritis berhubungan dengan efektivitas dan kesesuaian (appropriateness). Efektivitas menggambarkan hasil dari kompetensi komunikasi dan kesesuaian menghubungkan dengan kondisi situasional dari interaksi sosial yang sebenarnya.

McCroskey dan McCroskey (1988) mendefinisikan kompetensi komunikasi sebagai kemampuan yang memadai untuk menyampaikan atau memberikan informasi, baik melalui ucapan maupun melalui tulisan. Definisi kompetensi komunikasi dalam perspektif perilaku dirumuskan oleh Wiemann dan Backlund (1980) sebagai kemampuan seorang individu untuk mendemonstrasikan pengetahuan dari perilaku berkomunikasi yang tepat dalam situasi tertentu. Komunikator yang memiliki kompetensi komunikasi yang baik berarti mampu memanfaatkan sumberdaya yang ada dalam proses komunikasi (Jablin & Sias

(25)

9 empati, kemampuan untuk menyesuaikan diri, dan memengaruhi lingkungan (Heath & Bryant 2000, Payne 2005). Kompetensi terjadi pada semua tingkat baik interpersonal, organisasi, dan media massa (Heath & Bryant 2000).

Terdapat tiga variabel kompetensi komunikasi yakni motivasi, pengetahuan, dan keterampilan (Heath & Bryant 2000, Payne 2005). Motivasi seseorang mengarah pada kesediaan seseorang untuk mendekati atau menjauhi sebuah interaksi komunikasi. Individu juga cenderung lebih kompeten apabila mereka memiliki pengetahuan, yakni informasi dan pengalaman yang diperlukan untuk berinteraksi. Jika tingkat keterampilan seseorang tinggi, maka mereka tidak mudah cemas serta menunjukkan lebih banyak kedekatan, ekspresif, dan kemampuan untuk mengelola interaksi, serta mengambil orientasi terhadap orang lain (Spitzberg & Hecht dalam Heath & Bryant 2000).

Adler dan Rodman (1997) memaparkan tujuh karakteristik komunikator yang kompeten, yakni (1) Perilaku yang sangat bervariasi; (2) Kemampuan untuk memilih perilaku yang paling tepat, agar dapat bekerja dengan baik dalam situasi tertentu; (3) Keterampilan dalam melakukan perilaku, yang dilakukan secara efektif, setelah mengulangi keterampilan baru secara terus menerus, maka hal itu dapat dilakukan kembali dengan sangat baik; (4) Empati/perspective taking, membantu kita memahami orang lain dan juga memberikan kita informasi untuk mengembangkan strategi terbaik untuk memengaruhi mereka; (5) Kompleksitas kognitif, adalah kemampuan membangun berbagai kerangka dalam melihat masalah, memungkinkan kita untuk memahami orang lain dari berbagai sudut pandang; (6) Pemantauan diri (self-monitoring), melihat dengan cermat perilaku seseorang; (7) Komitmen dalam hubungan, orang-orang yang peduli tentang hubungan berkomunikasi lebih baik daripada mereka yang tidak.

Kompetensi komunikasi juga dihubungkan dengan berbagai konsep dan teori lainnya. Penelitian Wiemann dalam Rickheit dan Strohner (2008) menyimpulkan bahwa komunikator yang kompeten adalah seseorang other-oriented (empati, mampu berafiliasi, suportif, dan santai) namun pada waktu yang bersamaan tetap mempertahankan kemampuan untuk mencapai tujuan interpersonal dirinya. Wiemann dan Backlund (1980) juga merumuskan model yang merumuskan lima keterampilan dalam kompetensi komunikasi yakni (1) empati, (2) descriptiveness, yaitu cara di mana umpan balik diberikan dan diterima, (3) memiliki perasaan dan pikiran, (4) keterbukaan diri, dan (5) keluwesan berperilaku.

Madlock (2008a) menilai kompetensi komunikator berdasarkan 12 poin

(26)

10

Penelitian Susilowati (2012) tentang kompetensi komunikasi interpersonal mengukur kompetensi berdasarkan skala kompetensi komunikasi Rubin dan Martin yakni (1) self-disclosure, (2) emphaty, (3) social relaxation, (4)

assertiveness, (5) interaction management, (6) altercentrism, (7) expressiveness, (8) supportiveness, (9) immediacy, dan (10) environmental control. Hasil penelitian Susilowati (2012) menemukan bahwa kompetensi komunikasi interpersonal memiliki hubungan yang signifikan dan positif dengan kinerja. Pelatihan juga mampu meningkatkan kompetensi komunikasi secara efektif. Kompetensi komunikasi penting bagi seorang pemimpin (Jubaedah 2009). Kompetensi komunikasi yang baik pada seorang pemimpin akan dipersepsikan sebagai seorang pemimpin yang cakap oleh para pegawai atau bawahannya dalam suatu organisasi. Kompetensi komunikasi seorang supervisor juga menjadi faktor yang dapat memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap peningkatan kepuasan kerja, kepuasan komunikasi, serta kinerja pegawai (Madlock 2008b, Susilowati 2012).

Berdasarkan teori-teori dan hasil penelitian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kompetensi komunikasi merupakan kemampuan seseorang untuk melakukan komunikasi dengan baik melalui pemilihan perilaku dan strategi yang tepat sesuai dengan lingkungan tempat ia berkomunikasi dengan pelaku komunikasi lainnya. Kompetensi komunikasi pendamping program Simantri berkaitan dengan karakteristik kompetensi komunikasi yang bersifat situasional dan relasional. Kompetensi komunikasi yang situasional berkaitan dengan derajat atau area kompetensi, yakni pendamping mungkin berkompeten di suatu daerah namun akan kurang berkompetensi pada daerah lain. Kompetensi komunikasi yang relasional menunjukkan bahwa perilaku pendamping yang kompeten dalam suatu hubungan tidak selalu kompeten pada orang lain. Kompetensi komunikasi bagi seorang pendamping program Simantri merupakan kemampuan yang penting dimiliki karena akan berpengaruh pada keberhasilan kegiatan pendampingan yang mereka lakukan. Kompetensi komunikasi seorang pendamping dapat diukur dengan indikator-indikator sebagai berikut, (1) kecepatan merespons pesan, (2) keluwesan berperilaku, (3) keterbukaan diri, (4) kemampuan menjalin relasi, (5)

interaction management, (6) pengetahuan tentang informasi dan materi program, (7) kemampuan menyampaikan pesan, (8) kemampuan memunculkan motivasi dan partisipasi petani, (9) kemampuan berkomunikasi secara tertulis, serta (10) kemampuan penanganan masalah.

Faktor Internal Pendamping

(27)

11 Kompetensi komunikasi seorang pendamping dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang diduga memengaruhi kompetensi komunikasi pendamping adalah umur, masa kerja, tingkat pendidikan formal, tingkat kekosmopolitan, dan motivasi. Faktor eksternal yang diduga memengaruhi kompetensi komunikasi seorang pendamping adalah jumlah pelatihan dan pengalaman organisasi.

Umur

Umur merupakan faktor internal yang berpengaruh pada kompetensi atau kinerja seorang penyuluh (Suhanda 2008, Bahua 2010, Widodo 2010). Penelitian Murfiani dan Jahi (2006) menunjukkan bahwa umur berhubungan nyata dengan kompetensi penyuluh dalam hal pengembangan modal agribisnis kecil. Hasil penelitian Mukhlishah (2014) menyatakan bahwa umur memiliki hubungan negatif dan sangat nyata dengan kinerja pendamping. Perlu diklarifikasi lebih lanjut tentang pengaruh umur terhadap kompetensi komunikasi individu.

Masa Kerja

Beberapa penelitian menjadikan masa kerja sebagai faktor yang berhubungan atau berpengaruh dengan kompetensi maupun kinerja individu. Masa kerja adalah faktor yang berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh (Suhanda 2008). Penelitian Bahua (2010) menyimpulkan bahwa masa kerja berpengaruh terhadap kinerja penyuluh. Masa kerja juga berpengaruh langsung pada tingkat kompetensi penyuluh (Widodo 2010). Penelitian Mukhlisah (2014) memiliki hasil yang berbeda bahwa masa kerja tidak memiliki hubungan dengan kinerja pendamping. Masa kerja mencerminkan lamanya seseorang bekerja dalam posisi tertentu yang dihitung dengan satuan tahun. Masa kerja dalam penelitian ini terdiri dari dua, yakni masa bekerja sebagai seorang pendamping serta masa kerja pendamping dalam mendampingi kelompok atau unit Simantri tempat pengumpulan data dilakukan (masa pendampingan).

Tingkat Pendidikan Formal

Penelitian Murfiani dan Jahi (2006) menemukan bahwa pendidikan merupakan salah satu karakteristik penyuluh yang berhubungan nyata dengan kompetensi penyuluh. Tingkat pendidikan formal berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh (Suhanda 2008). Hasil penelitian yang berbeda ditunjukkan oleh Mujiburrahmad (2014) dan Mukhlisah (2014) yang menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan formal tidak berhubungan dengan kinerja seorang penyuluh ataupun pendamping. Faktor tingkat pendidikan formal pada pendamping perlu dilihat hubungannya dengan kompetensi komunikasi pendamping. Pendidikan formal yang diterima pendamping diduga akan memengaruhi kemampuan pendamping dalam berkomunikasi dan menanggapi kondisi situasional yang ada di sekitarnya. Tingkat Kekosmopolitan

(28)

12

dalam berkomunikasi. Kekosmopolitan yang tinggi juga berhubungan positif dengan berbagai indikator komunikasi dan akan mengarahkan dirinya pada perubahan perilaku yang positif. Widodo (2010) menyatakan bahwa kekosmopolitan, khususnya pada frekuensi pemanfaatan media massa untuk peningkatan kompetensi, berpengaruh langsung terhadap kompetensi penyuluh. Kekosmopolitan juga berhubungan dengan kompetensi penyuluh dalam pengembangan modal agribisnis kecil (Murfiani & Jahi 2006).

Motivasi

Motivasi bersama dengan pengetahuan dan keterampilan diperlukan agar interaksi sosial berlangsung secara efektif (Payne 2005, Cetinavci 2012). Komunikasi yang efektif adalah salah satu bentuk adanya kompetensi komunikasi. Motivasi merupakan proses yang memberikan semangat, arah, dan kegigihan perilaku pada seseorang. Perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah dan bertahan lama (Santrock 2004). Wiriadihardja (1987) mendefinisikan motivasi sebagai dorongan kerja yang berasal dari diri orang itu sendiri, seperti karena adanya tantangan pekerjaan, rasa cinta pada pekerjaan, perasaan senang apabila pekerjaan berhasil, dan lain sebagainya. Motivasi bukan disebabkan oleh tekanan atau bujuk rayu dari orang lain karena hal tersebut disebut dengan positif “KITA (kick him in the asse)”. Pendapat berbeda

dikemukakan oleh Zainun (1989) yang menyatakan bahwa motivasi dapat muncul dari dorongan yang datang dari dalam diri maupun dirangsang oleh tujuan yang berada di luar dirinya. Hal ini hampir serupa dengan perbedaan dua teori yakni Teori Kebutuhan Maslow dengan Teori Motivasi Dua Faktor Herzberg. Teori Maslow menyatakan bahwa semua tingkat kebutuhan adalah alat motivator sedangkan teori Herzberg menyatakan bahwa gaji, kondisi kerja, kualitas supervisi, dan lain sebagainya bukanlah alat motivator melainkan hanya alat pemeliharaan atau maintenance factors (Hasibuan 2001). Faktor motivator dan

maintenance factors harus tetap dipenuhi karena akan memengaruhi perilaku seseorang dalam pekerjaannya (Wiriadihardja 1987, Hasibuan 2001).

(29)

13 Aworemi et al. (2011) melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang memotivasi pegawai di Nigeria berdasarkan peringkat yang diberikan responden. Hasil penelitian tersebut menunjukkan faktor-faktor yang memotivasi pegawai dalam bekerja dari peringkat tertinggi hingga terendah yakni (1) kondisi kerja yang baik, (2) pekerjaan yang menarik, (3) upah atau gaji yang sesuai, (4) keamanan kerja, (5) promosi dan perkembangan karir dalam organisasi, (6) apresiasi terhadap hasil kerja, dan (7) kesetiaan personal kepada pegawai. Manzoor (2012) juga menyimpulkan hal-hal yang dapat meningkatkan motivasi pegawai yakni apresiasi terhadap hasil kerja, memberikan ruang kepada pegawai untuk ikut dalam pengambilan keputusan, serta memberikan kepuasan internal terhadap pekerjaan, organisasi, dan lingkungan organisasi mereka.

Berdasarkan teori dan hasil penelitian tersebut, maka penelitian ini melihat motivasi internal dan eksternal dari pendamping program Simantri. Motivasi internal pendamping terdiri dari prestasi, pengakuan, pekerjaan, tanggung jawab, dan pengembangan potensi individu. Motivasi eksternal pendamping terdiri dari gaji atau upah, kondisi kerja, fasilitas dari atasan, serta hubungan dengan kelompok dampingan.

Faktor Eksternal Pendamping

Faktor eksternal yang diduga memengaruhi kompetensi komunikasi seorang pendamping adalah jumlah pelatihan dan pengalaman organisasi pendamping Simantri.

Jumlah Pelatihan

Pelatihan menurut Cascio (2013) adalah kegiatan yang memiliki desain program terencana yang dilakukan dengan tujuan meningkatkan kinerja baik pada tingkatan individu, kelompok, dan atau organisasi. Peningkatan kinerja tersebut diukur pada perubahan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan atau perilaku sosial. Terdapat beberapa manfaat dari pelaksanaan pelatihan baik bagi individu maupun kelompok, antara lain (1) pelatihan secara umum memberikan efek positif pada perilaku kerja atau kinerja, (2) pelatihan dapat meningkatkan technical skills, (3) pelatihan dapat meningkatkan pengetahuan strategi, yakni mengetahui kapan menggunakan pengetahuan atau keterampilan tertentu, (4) pelatihan (terutama yang memiliki unsur praktis) membantu menjaga konsistensi kinerja, (5) pelatihan yang teratur dapat meningkatkan self-efficacy atau self-management, serta (6) pelatihan berdampak positif pada kepuasan karyawan, atasan, dan konsumen, serta pada produktivitas (Cascio 2013).

Penelitian Widodo (2010) menyatakan bahwa pelatihan adalah salah satu faktor eksternal yang berpengaruh pada tingkat kompetensi penyuluh. Anwas (2013) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa intensitas pelatihan berpengaruh signifikan terhadap kompetensi penyuluh pertanian. Program pelatihan yang disesuaikan dengan kebutuhan individu mampu meningkatkan kompetensi komunikasi individu tersebut (Bissenbayeva et al. 2013, Dumitriu et al.2014). Susilowati (2012) meneliti tentang peningkatan kompetensi komunikasi interpersonal melalui pelatihan komunikasi dengan responden adalah pre ops

(30)

14

interpersonal yang diberikan kepada responden efektif meningkatkan kompetensi komunikasi interpersonal. Pelatihan yang mampu memberikan dampak atau hasil sesuai dengan harapan seperti hasil penelitian di atas tentu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tersebut seperti kualitas pelatihan yang baik, kesiapan dan motivasi individu untuk mengikuti pelatihan, besarnya dukungan organisasi terhadap pelatihan, serta proses mentransfer hasil pelatihan ke situasi pekerjaan sehari-hari (Cascio 2013).

Pengalaman Organisasi

Indra (2011) menyatakan bahwa pengalaman organisasi memungkinkan seseorang berinteraksi lebih banyak dengan komponen organisasi dan pemimpin organisasinya. Seseorang yang memiliki pengalaman berorganisasi akan cenderung memberikan penilaian positif terhadap kepemimpinan pimpinannya. Pengalaman organisasi merupakan salah satu hal yang berhubungan nyata dengan keterbukaan komunikasi ke bawah (Kosasih 2015). Semakin tinggi tingkat pengalaman organisasi seseorang maka keterbukaan komunikasi ke bawah cenderung tinggi (Kosasih 2015). Hasil penelitian tersebut memberikan kecenderungan bahwa pengalaman organisasi akan memberikan kesempatan orang lain untuk berinteraksi dengan orang lain lebih banyak dibandingkan dengan yang tidak memiliki pengalaman berorganisasi sehingga seseorang tersebut akan mendapatkan kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan informasi dan ide-ide baru.

Teori Kepuasan

Kotler dan Keller (2009) mendefinisikan kepuasan sebagai perasaan seseorang setelah membandingkan antara persepsi dan ekspektasi mereka terhadap suatu produk atau jasa. Ekspektasi seseorang bisa muncul dari pengalaman di masa lalu, informasi yang diterima dari teman atau lingkungan, atau janji yang ditawarkan oleh pemilik produk atau jasa (Kotler & Keller 2009). Perbedaan antara persepsi dan ekspektasi pelanggan akan menghasilkan gap dengan nilai tertentu. Nilai gap negatif menunjukkan kualitas pelayanan yang kurang dan kepuasan pelanggan belum tercapai, sebaliknya nilai gap positif menunjukkan kualitas pelayanan yang lebih tinggi dan adanya kepuasan pelanggan (Daniel & Berinyuy 2010). Widana (2013) menyatakan bahwa tingkat kepuasan dapat dikatakan tinggi apabila gap antara persepsi dan ekspektasi semakin kecil. Kepuasan dikatakan sempurna apabila tidak ada gap antara persepsi dan ekspektasi, artinya pendapat seseorang terhadap suatu keadaan pada waktu tertentu sesuai dengan yang diharapkan. Kepuasan yang tinggi dapat menciptakan ikatan emosional dengan perusahaan (Kotler & Keller 2009).

(31)

15 Kepuasan Petani

Madlock (2008b) menemukan bahwa kompetensi komunikasi seorang pemimpin berpengaruh positif pada kepuasan kerja dan kepuasan komunikasi pegawai. Kepuasan komunikasi adalah faktor munculnya kepuasan kerja dan pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja pegawai dalam organisasi (Pincus 1986). Hal tersebut dapat mengasumsikan bahwa apabila seorang pendamping program Simantri memiliki kompetensi komunikasi maka dapat memunculkan kepuasan kerja dan kepuasan komunikasi pada petani.

Pengukuran tingkat kepuasan petani terhadap pelayanan penyuluhan atau suatu produk pertanian dilakukan dalam beberapa penelitian. Batlayeri et. al

(2013) merumuskan tiga indikator untuk mengukur tingkat kepuasan petani terhadap penyuluhan pertanian, yakni materi penyuluhan, sumber informasi pertanian, dan penerapan teknologi pertanian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga indikator tersebut tergolong dalam kategori tinggi yang menunjukkan bahwa petani sangat puas terhadap penyuluhan yang diberikan karena materi penyuluhan yang diberikan sesuai dengan keinginan petani, informasi pertanian dianggap sangat penting oleh petani, serta penerapan teknologi pertanian sangat membantu pekerjaan petani. Wicaksana et al. (2013) juga meneliti kepuasan petani tepatnya kepuasan petani terhadap benih kentang bersertifikat melalui analisis Costumer Satisfaction Index (CSI). Penelitian tersebut menunjukkan nilai CSI sebesar 67,34% yang berarti petani merasa puas menggunakan benih kentang bersertifikat meskipun dengan beberapa hal yang perlu diperbaiki pada kinerja atribut-atribut yang terdapat pada benih kentang.

Menilai kepuasan petani dapat menjadi sebuah ukuran keberhasilan seorang pendamping menyampaikan pesan sesuai dengan tujuan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Berlo (1960) bahwa kritik terhadap komunikator dapat dilihat dari tindakan penerima pesan. Petani adalah penerima pesan dari pendamping, sehingga tindakan petani dapat dijadikan kriteria untuk mengatakan bahwa pendamping dapat menyelesaikan tujuannya sebagai komunikator.

Metode pengukuran kepuasan dapat dilakukan dengan melakukan penelitian survei dan merupakan metode yang paling sering digunakan (Kotler dalam

Tjiptono 2008). Penelitian survei terhadap kepuasan seseorang dapat menjadi cara memperoleh tanggapan langsung dari pelanggan serta sebagai bentuk perhatian terhadap pelanggan (Tjiptono 2008). Pengukuran kepuasan melalui survei dapat dilakukan dengan beberapa cara atau teknik (Tjiptono 2008). Pertama, directly reported satisfaction adalah teknik yang menanyakan secara langsung seberapa puas seseorang terhadap sebuah pelayanan dan diukur dengan skala sangat tidak puas, tidak puas, netral, puas, dan sangat puas. Kedua, derived dissatisfaction

(32)

16

(1) IKP = PP (2) IKP = IM x PP (3) IKP = PP – EX

(4) IKP = IM x (PP – EX) (5) IKP = PP/EX

Pengukuran tingkat kepuasan petani dapat menggunakan dimensi pengukuran SERVQUAL sebagai atribut dalam pengukurannya. SERVQUAL merupakan sebuah instrumen yang digunakan untuk mengukur tingkat kualitas pelayanan dan berhubungan dengan pengukuran kepuasan (Oliver 1996). Pengukuran ini sudah banyak digunakan dalam berbagai penelitian yang mengukur tingkat kepuasan pelanggan baik terhadap barang maupun jasa (Abubakar & Siregar 2010, Daniel & Berinyuy 2010). Pendekatan ini juga dapat digunakan untuk mengevaluasi tingkat pelayanan yang diberikan seorang individu (Dwihayanti 2004, Abubakar & Siregar 2010,Daniel & Berinyuy 2010). Dimensi yang sering digunakan dalam penelitian kepuasan yakni reliability atau keandalan,

responsiveness atau kesigapan, assurance atau jaminan, empathy atau empati, dan

tangibles atau bukti fisik.

Dwihayanti (2004) menggunakan empat variabel untuk mengukur kemampuan penyuluh pertanian pembina dalam memberikan pelayanan kepada kelompok petani-nelayan kecil (KPK), yakni reliability (keandalan), responsiveness (daya tanggap/kesigapan), assurance (jaminan), dan empathy

(empati). Variabel keandalan meliputi kemampuan penyuluh dalam memberikan pelayanan sesuai dengan janji yang ditawarkan. Variabel kesigapan merujuk kepada kemampuan penyuluh dalam memberikan pelayanan dengan cepat dan tanggap. Variabel jaminan meliputi kemampuan memberikan informasi dan kemampuan menanamkan kepercayaan KPK terhadap program yang dijalankan. Varibel empati yang mengarah pada kepekaan penyuluh terhadap masalah yang dihadapi binaannya.

Penelitian Abubakar dan Siregar (2010) menggunakan variabel yang hampir serupa dalam mengukur kualitas pelayanan penyuluh dan kepuasan petani dalam penanganan dan pengolahan hasil ubi jalar. Variabel tersebut adalah tangible,

reliability, responsiveness, insurance, dan empathy. Abubakar dan Siregar (2010) menganalisis kualitas pelayanan penyuluh dan tingkat kepuasan petani dengan membandingkan kualitas pelayanan penyuluh dengan tingkat kepentingan menurut petani (importance-performance analysis). Kualitas pelayanan penyuluh harus ditingkatkan ketika dimensi pelayanan tersebut dianggap penting oleh petani namun penyuluh belum memberikan pelayanan yang baik (petani tidak puas). Kualitas pelayanan penyuluh harus dipertahankan ketika dimensi tersebut dianggap penting oleh petani dan penyuluh sudah memberikan pelayanan yang baik (petani puas). Upaya peningkatan kualitas pelayanan dianggap sia-sia ketika kualitas pelayanan penyuluh pada suatu dimensi baik namun petani menganggap dimensi tersebut belum begitu penting. Peningkatan kualitas pelayanan juga tidak perlu dilakukan apabila suatu dimensi kualitas pelayanan penyuluh belum baik

Keterangan:

IKP = Indeks Kepuasan Pelanggan PP = Perceived Performance

EX = Expectations

(33)

17 serta tidak dianggap penting oleh petani. Analisis yang dilakukan tersebut akan sangat bermanfaat karena akan diketahui dimensi pelayanan apa saja yang memang perlu ditingkatkan oleh penyuluh.

Wijaya et. al(2012) melakukan penelitian tentang kepuasan peternak mitra terhadap kemitraan model contract farming. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peternak dikategorikan kurang puas dengan indeks kepuasan konsumen sebesar 48%. Tingkat kepuasan antara peternak yang telah lama mengikuti kerjasama lebih tinggi dibandingkan dengan peternak yang baru mengikuti kerjasama. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah internal gap analysis, external gap analysis, customer satisfaction index, expectation-performance analysis, dan modified expectation-performance analysis. Kualitas pelayanan diukur dengan 5 dimensi, yakni tangibles (dimensi berwujud), service reliability

(keandalan pelayanan), responsiveness (daya tanggap), assurance (kepastian), dan

empathy (empati).

Berdasarkan beberapa teori dan hasil penelitian di atas, dapat dirumuskan kepuasan petani terhadap pendamping adalah perasaan petani terhadap pelayanan yang didapatkan dari pendamping. Metode yang akan digunakan dalam mengukur tingkat kepuasan petani terhadap pendamping adalah directly reported satisfaction

dengan menggunakan rumus indeks kepuasan pelanggan pertama (IKP = PP). Tingkat kepuasan petani terhadap pendamping pada penelitian ini dapat dilihat berdasarkan 5 indikator, yakni (1) reliability; (2) responsiveness; (3) assurance; (4) empathy; dan (5) tangibles.

Program Simantri

Sesuai dengan Peraturan Gubernur Bali Nomor 29 Tahun 2010 tentang keberlanjutan program Simantri menjelaskan bahwa Simantri atau Sistem Pertanian Terintegrasi merupakan upaya terobosan dalam mempercepat adopsi teknologi pertanian karena merupakan pengembangan model percontohan dalam mempercepat alih teknologi kepada masyarakat pedesaan (Pemprov Bali 2010). Simantri mengintegrasikan kegiatan sektor pertanian dengan sektor pendukungnya baik secara vertikal maupun horizontal sesuai potensi masing-masing wilayah dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal yang ada. Program atau kegiatan pengembangan usaha Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri) dilaksanakan dalam rangka pemberdayaan petani, peternak, perkebunan dan nelayan melalui kegiatan yang terintegrasi baik antar sub sektor/sektor maupun antar sub sistem dalam agribisnis.

(34)

18

infrastruktur di perdesaan (Distan Prov Bali 2015a). Ada pula beberapa indikator keberhasilan Simantri yang diharapkan dapat terwujud dalam jangka pendek (3-4 tahun) yakni (Distan Prov Bali 2015a).

1. Berkembangnya kelembagaan dan sumberdaya manusia baik petugas pertanian maupun petani;

2. Terciptanya lapangan kerja melalui pengembangan diversifikasi usaha pertanian dan industri rumah tangga;

3. Berkembangnya intensifikasi dan ekstensifikasi usaha tani;

4. Meningkatnya insentif berusaha tani melalui peningkatan produksi dan efisiensi usaha tani (pupuk, pakan, biogas, bio urine, bio pestisida diproduksi sendiri);

5. Tercipta dan berkembangnya pertanian organik; 6. Berkembangnya lembaga usaha tani pedesaan; dan 7. Peningkatan pendapatan petani.

Pendamping Simantri

Pendampingan Simantri tahun 2009 dilakukan oleh BPTP Provinsi Bali. Pendampingan yang dilakukan BPTP Provinsi Bali adalah pelaksanaan PRA,

Baseline Survey, dan pelatihan teknis (budidaya dan pengolahan limbah tanaman dan ternak). Mulai tahun 2010 tiap Gapoktan didampingi oleh pendamping tenaga

insourcing yang berasal dari disiplin ilmu pertanian dan direkrut oleh SKPD provinsi. Tenaga insourcing tersebut mendapat pelatihan teknis dari BPTP Provinsi Bali dan Tim Koordinasi tingkat provinsi (BPTP Prov Bali 2011).

Kinerja tenaga insourcing ternyata kurang maksimal dalam pelaksanaannya karena keterbatasan waktu dan tanggung jawab lain yang dimiliki tenaga

insourcing. Hal ini kemudian memunculkan kebijakan untuk merekrut tenaga

outsourcing sebagai pendamping Simantri. Adapun tenaga outsourcing direkrut oleh leading sector program Simantri yakni sekitar 100 orang pada tahun 2012 dan 100 orang lagi pada tahun 2014. Selain tahun tersebut juga dilakukan perekrutan tenaga outsourcing tetapi tidak dalam jumlah banyak karena perekrutan hanya untuk menggantikan pendamping yang tidak melanjutkan kontrak. Pendampingan setiap unit Simantri selanjutnya dilakukan sepenuhnya oleh tenaga outsourcing yang sudah mendapatkan pelatihan teknis. Adapun tugas pendamping Simantri diuraikan sebagai berikut (Distan Prov Bali 2011).

1. Pendamping wajib mendampingi Gapoktan dalam membina kelompok, menetapkan lokasi pusat kegiatan Sistem Pertanian Terintegrasi bersama-sama dengan petugas lapangan lainnya di lapangan.

2. Pendamping akan mendampingi Gapoktan Simantri dalam menetapkan kesepakatan bagi hasil/sistem kadas yang diperlukan untuk penumbuhan kelompok ternak/kebun/ikan dan tanaman pangan dengan orientasi kesejahteraan tanpa memberatkan anggota kelompok sebagai pengelola/pengadas ternak, serta membuat perjanjian kerja sama pengelolaan lahan yang dipergunakan sebagai tempat usaha simantri.

Gambar

Gambar 1 Kerangka berpikir kompetensi komunikasi pendamping dan kepuasan   petani terhadap pendamping dalam pelaksanaan program Simantri
Tabel 1 Tingkat keeratan hubungan menurut nilai koefisien korelasi
Tabel 2 Tujuan penelitian, variabel dan indikator, sumber data, metode pengumpulan data, dan teknik analisis data penelitian
Tabel 4 Produksi tanaman perkebunan di Kabupaten Klungkung menurut   kecamatan tahun 2015
+7

Referensi

Dokumen terkait

Uji Mann Whitney selisih pengukuran I dan pengukuran II antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan diperoleh hasil signifikan p=0,041 untuk skor eosinofil dan

Bapak SFL dalam mengajar selalu melakukan perubahan posisi dari berdiri menjadi berduduk, berjalan dari satu tempat ke tempat lain dengan tujuan mendekati siswa yang

Bank Rakyat Indonesia Syariah Tbk” ini ditulis oleh Miftahurrohmah, 3223103041, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Jurusan Perbankan Syari’ah, Institut Agama

Ciri-ciri tahap analitik adalah: Siswa menganalisis bangun berdasarkan sifat-sifat dari komponen dan hubungan antar komponen, menyusun sifat-sifat pada sebuah

PEMASARAN DAN PENJUALAN Memberikan dan meningkatkan kualitas program program siaran yang ada pada LPP RRI Palembang yang dapat diterima oleh semua kalangan pendengar radio

adalah peningk atan hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa yang diperoleh pada siklus I belum sesuai dengan harapan yang diinginkan yaitu 75% siswa tuntas

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa bahwa perumahan memberikan pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan di Kecamatan Mapanget, hal ini dapat dilihat

Butir Nilai : Menunjukkan rasa ingin tahu dan sikap santun dalam menggali informasi tentang keberagaman produk alat penjernih air dari bahan alam daerah setempat sebagai wujud