• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Salmonella Typhimurium pada Telur Ayam Menggunakan Metode Cepat dan Konvensional yang Dilalulintaskan Melalui Pelabuhan Tenau Kupang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Salmonella Typhimurium pada Telur Ayam Menggunakan Metode Cepat dan Konvensional yang Dilalulintaskan Melalui Pelabuhan Tenau Kupang"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN

Salmonella

Typhimurium PADA TELUR AYAM

MENGGUNAKAN METODE CEPAT DAN KONVENSIONAL

YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN

TENAU KUPANG

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Salmonella Typhimurium pada Telur Ayam Menggunakan Metode Cepat dan Konvensional yang Dilalulintaskan Melalui Pelabuhan Tenau Kupang, adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015

(4)

RINGKASAN

SUSANTO NUGROHO. Kajian Salmonella Typhimurium pada Telur Ayam Menggunakan Metode Cepat dan Konvensional yang Dilalulintaskan Melalui Pelabuhan Tenau Kupang. Dibimbing oleh TRIOSO PURNAWARMAN dan AGUSTIN INDRAWATI.

Salmonelosis adalah salah satu penyakit food-borne bakterial zoonotik yang paling penting di seluruh dunia. Salmonella spp. adalah penyebab salmonelosis akibat konsumsi makanan berbahan dasar unggas dan produk unggas yang terkontaminasi. Unggas dan telur ayam dianggap merupakan salah satu reservoir yang paling penting dimana Salmonella spp. ditularkan melalui rantai makanan dan akhirnya menular ke manusia. Meningkatkan keamanan produk unggas dengan cara deteksi dini terhadap food-borne patogen merupakan komponen penting untuk membatasi kontaminasi Salmonella spp.. Metode deteksi cepat dan identifikasi Salmonella spp. merupakan strategi yang dirancang untuk mencegah kontaminasi unggas dan produk unggas.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeteksi Salmonella spp. dari telur ayam yang berasal dari 4 pengirim telur dan membandingkan pengujian metode cepat dry culture medium plate dan metode konvensional. Hasil uji diduga Salmonella spp. dari metode cepat dan konvensional dilanjutkan dengan metode multipleks polymerase chain reaction (mPCR). Jumlah sampel dihitung dengan menggunakan rumus menduga prevalensi dan diambil menggunakan metode acak berlapis. Analisis data hasil positif Salmonella spp. dilakukan secara deskriptif, sedangkan metode pengujian dievaluasi terhadap sensitivitas dan spesifisitasnya.

Berdasarkan hasil pengujian dari 270 sampel, 5 pengujian dengan metode konvensional dan 2 pengujian dengan metode cepat positif diduga Salmonella spp.. Hasil pengujian mPCR dari 5 uji positif diduga Salmonella spp. menunjukkan positif Salmonella Typhimurium. Sensitivitas dan spesifisitas metode cepat masing-masing adalah 40% dan 100%. Nilai sensitivitas metode cepat dry culture medium plate lebih rendah dari metode konvensional. Pengujian menggunakan metode cepat lebih baik jika dilakukan setelah tahap pengayaan. Berdasarkan hasil pengujian positif kontaminasi Salmonella Typhimurium pada telur ayam maka diperlukan evaluasi terhadap pengiriman telur ayam konsumsi antar pulau.

(5)

SUMMARY

SUSANTO NUGROHO. Study of Salmonella Typhimurium in Hen Eggs Using Rapid and Conventional Method Entering Through Tenau Port Kupang. Supervised by TRIOSO PURNAWARMAN and AGUSTIN INDRAWATI.

Salmonellosis is one of the most important food-borne bacterial zoonotic diseases worldwide. Salmonella spp. are causative agent of salmonellosis associated with consumption contaminated poultry and poultry product. Poultry and eggs are considered one of the most important Salmonella spp. reservoirs. Salmonella spp. were able to pass through the food chain and ultimately transmitted to humans. Improving safety of poultry products by early detection of food-borne pathogens would be considered an important component for limiting exposure to Salmonella contamination. Rapid detection and identification method for Salmonella spp. are considered to be an important component of strategies designed to prevent poultry and poultry product.

The aims of the studied were to detect Salmonella spp. from hen eggs collected from 4 exporters and to compare dry culture medium plate rapid test method and conventional test method. The test result of suspected Salmonella spp. from rapid and conventional methods were continued using multiplex polymerase chain reaction (mPCR) test method. Samples size were calculated using estimates prevalence formula and selected by stratified random sampling. Data regarding the proportion of Salmonella spp. positive samples were analyzed descriptively, while the method evaluated using sensitivity and spesifisity.

According of test result from 270 samples, 5 test by conventional method and 2 test by rapid method were positive suspected Salmonella spp.. mPCR test results of 5 test positive suspected Salmonella spp. were showed positive Salmonella Typhimurium. Compared to the bacteriological method, the sensitivity and specificity of the rapid test method were estimated to be 40% and 100%, respectively. Sensitivity value dry culture medium plate rapid test method less than conventional method. So the analysis of test procedures using rapid test method are performing after enrichment stage. According of positive test results Salmonella Typhimurium contamination in hen eggs is necessary to evaluate the delivery of consumption hen eggs between islands.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(7)

KAJIAN

Salmonella

Typhimurium PADA TELUR AYAM

MENGGUNAKAN METODE CEPAT DAN KONVENSIONAL

YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN

TENAU KUPANG

SUSANTO NUGROHO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis: Kajian Salmonella Typhimurium pada Telur Ayam Menggunakan Metode Cepat dan Konvensional yang Dilalulintaskan Melalui Pelabuhan Tenau Kupang

Nama : Susanto Nugroho NIM : B251130224

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Drh Trioso Purnawarman, MSi. Dr Drh Agustin Indrawati, MBiomed.

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Kesehatan Masyarakat Veteriner Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi. Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr.

(10)

PRAKATA

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah mengaruniakan berkat anugerah dan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus sampai Desember 2014 ialah Kajian Salmonella Typhimurium pada Telur Ayam Menggunakan Metode Cepat dan Konvensional yang Dilalulintaskan Melalui Pelabuhan Tenau Kupang.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Drh Trioso Purnawarman, MSi. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr Drh Agustin Indrawati, MBiomed. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dalam penulisan tesis ini. Penulis mengucapkan terimakasih juga kepada Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi. selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner, serta seluruh staf pengajar pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner yang telah membimbing, mengarahkan, membantu dan memberikan saran kepada penulis.

Penulis menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Badan Karantina Pertanian yang telah memberikan beasiswa serta tugas belajar sehingga penulis dapat menempuh pendidikan magister pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner di Institut Pertanian Bogor. Ucapan terimakasih kepada Kepala Balai Karantina Pertanian Kelas I Kupang beserta pejabat struktural, fungsional dan staf yang telah memberikan ijin penelitian dan membantu baik materi maupun tenaga serta dorongan semangat hingga terselesaikannya tesis ini.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada istri tercinta Danty Ndakuramba atas doa, kesabaran, kesetiaan dengan segala suka dan duka selama penulis menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih kepada Bapak dan Ibu serta keluarga besar Hadi Purwanto di Jogjakarta, Bapak (alm) dan Mama serta keluarga besar Ndakuramba di Nusa Tenggara Timur (NTT) atas doa, perjuangan, perhatian, pengertian dan kasihnya selama ini.

Ucapan terimakasih juga diberikan kepada Kepala Departemen IPHK FKH IPB beserta staf yang telah memberikan waktu, tenaga dan kesabarannya pada penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Ucapan terimakasih kepada Kepala UPT Veteriner Dinas Peternakan Provinsi NTT dan kepada Kepala Balai Besar Veteriner Wates Jogjakarta atas bantuan dan kerjasamanya dalam penelitian selama ini. Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada teman-teman Mahasiswa S2 Program Khusus Karantina, atas dukungan dan kerjasamanya.

Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat dalam mengembangkan bidang kesehatan masyarakat veteriner dan perkarantinan Indonesia.

Bogor, Februari 2015

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR ii

DAFTAR TABEL ii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Salmonella spp. 3

Salmonelosis 4

Pandemik Serotype Salmonella Typhimurium 5

3 METODE 7

Waktu dan Tempat Penelitian 7

Metode Pengambilan Sampel 7

Alat 7

Bahan 8

Metode Pengujian Sampel 8

Analisis Data 10

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Salmonella Typhimurium Pada Telur Ayam 11

Pengaruh Faktor-Faktor dalam Distribusi Telur terhadap Salmonella

Typhimurium 15

Evaluasi Metode Cepat Dry Culture Medium Plate 17

Aspek Keamanan Pangan 19

5 SIMPULAN DAN SARAN 22

Simpulan 22

Saran 22

DAFTAR PUSTAKA 22

RIWAYAT HIDUP 27

(12)

DAFTAR GAMBAR

1 Salmonella spp. 4

2 Hasil elektroforesis DNA 12

3 Transmisi Salmonella spp. pada telur 13

DAFTAR TABEL

1 Daftar primer 8

2 Interpretasi hasil positif Salmonella spp. pada media TSIA dan LIA 9

3 Tabel 2x2 untuk pengujian diagnosis 10

(13)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keamanan pangan merupakan persyaratan utama yang semakin penting di era perdagangan bebas. Pangan yang aman, bermutu, bergizi, dan tersedia cukup merupakan prasyarat utama yang harus dipenuhi. Hal ini agar tercipta suatu sistem jaminan mutu pangan yang memberikan perlindungan bagi kepentingan kesehatan serta berperan dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat (Khoiriyah et al. 2013). Pengawasan bahan pangan asal hewan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, produsen maupun konsumen. Pemerintah dan produsen atau swasta harus bekerja sama untuk merancang aturan, standar dan implementasinya yang berhubungan dengan upaya pengendalian penyakit dalam rantai proses di industri peternakan. Penanganan yang higienis terhadap ternak dan produk olahannya dari berbagai pihak sangat berguna untuk meningkatkan keamanan pangan asal ternak terhadap kontaminasi (Ariyanti dan Supar 2005).

Salah satu hal penting dalam persyaratan produk asal hewan adalah bebas patogen mikroba termasuk Salmonella spp.. Salmonelosis adalah penyakit yang disebabkan bakteri Salmonella spp.. Penyakit ini dapat menyerang unggas, hewan mamalia dan manusia sehingga memiliki arti penting bagi manusia karena penyakit ini dapat terjadi akibat mengonsumsi makanan dan minuman yang tercemar Salmonella spp. (Doyle dan Cliver 1990). Salmonelosis merupakan penyakit yang menular pada manusia (zoonosis). Sumber penularan berupa keluaran (ekskresi) hewan dan manusia baik dari hewan ke manusia maupun sebaliknya. Meskipun sebagai bakteri yang terdapat di saluran pencernaan, Salmonella spp. menyebar luas di lingkungan, umumnya ditemukan pada sampah dan bahan-bahan yang berhubungan dengan kontaminasi fekal. Mikroorganisme ini juga ditemukan di peralatan pakan, menyebabkan penyakit infeksi pada hewan khususnya babi dan unggas (Poeloengan et al. 2006).

(14)

2

Salmonella spp. merupakan penyebab salmonelosis dengan kasus klinis yang berbeda seperti: typhoid like disease, dengan agen infeksinya Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi, dan dapat menyebabkan kematian manusia. Non-typhoid disease terbatas pada infeksi pada lapisan usus kecil yang menyebabkan gastroenteritis terutama oleh Salmonella Enteritidis dan Salmonella Typhimurium (Raffatellu et al. 2008). Salmonelosis non-typhoid adalah penyebab utama infeksi asal makanan yang mematikan di Amerika Serikat. Media yang paling umum dalam menginfeksi manusia adalah produk asal hewan termasuk daging, produk daging, telur dan produk telur. Makanan dan penyedia makanan berperan penting sebagai faktor yang berpengaruh terjadinya kontaminasi silang dari sumber hewan seperti unggas (Nutt et al. 2003). Infeksi Salmonella spp. dari pangan asal hewan memiliki peranan penting dalam kesehatan masyarakat dan khususnya pada keamanan pangan sehingga produk pangan asal hewan menjadi sumber utama infeksi Salmonella spp. pada manusia (Poeloengan et al. 2006).

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu provinsi dengan kebutuhan pasokan telur ayam konsumsi cukup tinggi. Hal ini disebabkan belum berkembangnya peternakan ayam petelur, sehingga perlu mendatangkan dari daerah lain untuk memenuhi kebutuhannya. Pemasukan melalui Pelabuhan Tenau di tahun 2013 mencapai 3859.15 ton dengan frekuensi pemasukan 440 kali (BKPK I 2013). Melihat besarnya pemasukan telur tersebut, tidak menutup kemungkinan besarnya potensi cemaran Salmonella spp. ikut terbawa. Cemaran Salmonella spp. dapat dibuktikan dengan pengujian laboratorium baik pengujian metode cepat maupun metode konvensional.

Deteksi Salmonella spp. pada telur dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium dengan cara isolasi dan identifikasi Salmonella spp. baik secara biokimia maupun serotyping. Isolasi dan identifikasi Salmonella spp. dalam bahan pangan dengan menggunakan metode konvensional yaitu pemupukan pada media kultur dan selektif. Metode deteksi cepat terhadap Salmonella spp. sudah banyak dikembangkan seperti deteksi metode kultur dalam media kering (dry culture medium plate) dan metode polymerase chain reaction (PCR). Beberapa keunggulan metode deteksi cepat adalah waktu pemeriksaan yang lebih cepat, hasil pemeriksaan yang lebih tepat, lebih sensitif dan lebih spesifik dibandingkan dengan metode konvensional. Penggunaan metode cepat sangat membantu dalam screening terhadap masuknya agen patogen dan penentuan dalam keputusan menyikapi keberadaan agen patogen tersebut. Oleh karena itu diperlukan pemilihan metode yang tepat dengan tingkat sensitivitas yang tinggi dengan tingkat biaya minimal dan waktu pengujian yang cepat.

Perumusan Masalah

(15)

3 adanya patogen. Metode pengujian cepat sudah banyak dikembangkan, namun diperlukan pertimbangan dalam pemilihan metode berkaitan dengan tingkat sensitivitas pengujian, lama waktu pengujian dan biaya.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mendeteksi cemaran Salmonella spp. pada telur ayam konsumsi yang dilalulintaskan di Balai Karantina Pertanian Kelas I Kupang melalui Pelabuhan Tenau menggunakan metode cepat dan konvensional. Menilai tingkat sensitivitas dan spesifisitas uji tersebut dengan cara membandingkan efektivitas metode pengujian cepat dengan metode biakan konvensional sebagai uji screening dalam mendeteksi keberadaan Salmonella spp. pada telur ayam.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengetahui penyebaran antar pulau cemaran Salmonella spp. pada telur ayam konsumsi yang dilalulintaskan ke wilayah NTT dan memberikan kontribusi dalam evaluasi manajemen pengiriman telur antar area. Kesesuaian hasil secara kualitatif pengujian cepat Salmonella spp. dapat digunakan dalam mendeteksi dan mengendalikan higiene bahan pangan khususnya telur konsumsi dan dapat diaplikasikan sebagai screening adanya cemaran Salmonella spp..

2 TINJAUAN PUSTAKA

Salmonella spp.

Genus Salmonella termasuk dalam Famili Enterobacteriaceae, Gram-negatif berbentuk batang langsing (0.7-1.5 x 2-5 μm), fakultatif anaerob, oksidase negatif, dan katalase positif. Sebagian besar strain motil dan memfermentasi glukosa dengan membentuk gas dan asam (Cox 2000). Salmonella spp. tumbuh pada kisaran suhu 8 °C sampai 45 °C pada rentang pH 4-9 dan membutuhkan activity water (Aw) di atas 0.94. Salmonella spp. tumbuh dengan optimum pada suhu 35 °C sampai 37 °C mampu memproduksi H2S dan mengkatabolisme berbagai macam karbohidrat menjadi asam dan gas (Bell dan Kyriakides 2003).

(16)

4 memfermentasikan salisin, sukrosa dan laktosa (Mario et al. 1976). Menurut Ray (2001) Salmonella spp. umumnya memfermentasi dulsitol, tetapi tidak laktosa, menggunakan sitrat sebagai sumber karbon, menghasilkan hidrogen sulfida, decarboxylate lysine dan ornitine, tidak menghasilkan indol, dan negatif untuk urease. Merupakan bakteri mesophylic, dapat dimatikan pada suhu dan waktu pasteurisasi, sensitif pada pH ≤4.5 dan tidak berbiak pada Aw 0.94, khususnya jika dikombinasikan dengan pH 5.5 atau kurang.

Tata nama dan klasifikasi spesies Salmonella spp. sesuai dengan sistem Kaufmann -White, ditentukan oleh kombinasi yang berbeda dari antigen somatik O, antigen permukaan Vi, dan antigen flagellar H (Su dan Chiu 2007). Salmonella Typhimurium termasuk dalam grup B Salmonella dengan struktur antigeniknya adalah O4,5,12 dan Hi; 1,2 (CDC 2011).

Salmonelosis

(17)

5 bagian tubuh lain dan dapat menyebabkan kematian jika tidak diobati dengan antibiotik yang tepat (Ariyanti dan Supar 2005).

Faktor risiko yang nyata pandemic food-borne disease oleh Salmonella spp. pada manusia adalah konsumsi telur yang tidak matang (Petter 2001). Perubahan pola konsumsi meliputi peningkatan kebiasaan makan di luar karena keterbatasan waktu untuk menyiapkan makanan, peningkatan kebiasaan makan makanan siap saji di restoran dan peningkatan konsumsi makanan yang dimasak tidak sempurna. Produk-produk yang dimasak setengah matang atau tidak sempurna mengakibatkan bakteri-bakteri patogenik tidak mati oleh proses pemasakan. Adanya infeksi Salmonella spp. pada anak ayam umur sehari (one day old chick/DOC) yang berasal dari beberapa peternakan pembibitan (grandparent stock) di Indonesia memudahkan terjadinya penyebaran agen salmonelosis dari DOC atau telur ayam ke peternakan-peternakan final stock atau ke konsumen dalam area yang sangat luas (Kusumaningsih 2012). Infeksi Salmonella non-typhoid biasanya bersifat self-limiting gastroenteritis dan kematian jarang terjadi, pada kasus dehidrasi memerlukan perawatan di rumah sakit. Komplikasi ekstraintestinal salmonelosis disebabkan oleh infeksi Salmonella spp. pada organ lain yang berhubungan dengan angka kematian yang meningkat. Komplikasi tersebut termasuk endokarditis, infeksi pembuluh darah, kolesistitis, abses hati dan limpa, infeksi saluran kemih, pneumonia atau empiema, meningitis, artritis septik, dan osteomyelitis. Infeksi Salmonella spp. pada sistem saraf pusat (SSP) merupakan penyebab yang fatal mencapai 50% penyebab kematian.

Pandemik Serotype Salmonella Typhimurium

Martelli dan Davies (2012) menjelaskan bahwa beberapa serotype Salmonella termasuk Salmonella Typhimurium dapat melakukan kolonisasi pada ovarium dan menginfeksi folikel preovulasi. Salmonella Typhimurium definitive phage type (DT) 104 tersebar di seluruh dunia dan umumnya pada populasi hewan, termasuk unggas yang mampu menginfeksi isi telur. Jenis Salmonella Typhimurium fage tertentu seperti DT2 dan DT99 infeksi pada burung liar dan infeksi strain ini biasanya berumur pendek. Salmonella Typhimurium pada burung liar ditemukan pada populasi unggas di kandang terbuka, atau kadang-kadang dalam kelompok tertutup sebagai akibat kontaminasi pakan oleh kotoran burung. Salmonella Typhimurium pada manusia dapat terjadi sebagai hasil dari kondisi yang tidak higienis dalam produksi telur dan distribusi. Penelitian yang dilakukan Vo et al. 2006, Salmonella Typhimurium PT90 sebanyak 57.5% dari 47 isolat dominan berasal dari manusia, babi, dan sapi. Outbreak Salmonella spp. kebanyakan berhubungan dengan konsumsi produk asal hewan yang terkontaminasi. Namun demikian infeksi pada manusia dapat berasal dari transmisi selama kontak dengan hewan dan produknya, air maupun lingkungan. Penelitian yang dilakukan Susan et al. 2004, Salmonella Typhimurium DT 104 diisolasi dari babi, sapi dan anak-anak. Sehingga diduga terjadi epidemic-link pada saat terjadi kesulitan dalam menentukan sumber utama kejadian pada manusia.

(18)

6

Salmonella Enteritidis (Selimovic et al. 2010). Secara umum berdasarkan survey Internasional kejadian dan proporsi Salmonella Typhimurium DT104 meningkat pada seluruh periode. Pada tahun 1992 sebesar 8.7% dan pada tahun 2001 proporsi ini meningkat menjadi 33%. Di Inggris kejadian memuncak pada tahun 1996 dan kemudian menurun. Di sebagian besar negara Eropa lainnya dan Amerika Utara, strain DT104 meningkat setiap tahun. Non-typhoid Salmonella menyebabkan infeksi ringan sampai berat sampai dengan meyebabkan kematian. Satu studi memperkirakan bahwa 600 kematian terjadi setiap tahun di Amerika Serikat karena infeksi non-typhoid serotype Salmonella. Penelitian terbaru di Denmark menunjukkan bahwa infeksi non-typhoid Salmonella dikaitkan dengan 2,5 kali lipat peningkatan risiko kematian dalam 1 tahun infeksi (Helms et al. 2005).

Salmonelosis menjadi penyebab kedua kasus penyakit gastrointestinal yang paling sering dilaporkan di Australia setelah kampilobakteriosis, dengan tingkat kejadian nasional 45.3 dan 80.9 per 100 000 penduduk masing-masing pada tahun 2007. Laporan kejadian salmonelosis di Australia Selatan lebih tinggi dari rata-rata nasional tahun 2007 dengan tingkat kejadian 68.5 per 100 000 penduduk. Salmonella Typhimurium PT 135A merupakan serotipe penyebab kedua yang paling sering diidentifikasi setelah Salmonella Infantis pada ayam dan sejumlah kejadian pada manusia. Salmonella Typhimurium 135A adalah sub-tipe Salmonella Typhimurium 135 yang digunakan di Australia untuk membantu mengidentifikasi epidemic-link antar kasus. Sebelumnya wabah Salmonella Typhimurium 135A di Australia telah dikaitkan dengan konsumsi daging ayam, telur dan produk telur (Fearnley et al. 2011).

(19)

7

3 METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan Desember 2014. Pengambilan sampel telur di 5 gudang penerima telur di Kota Kupang. Penelitian metode cepat dan konvensional dilakukan di Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Laboratorium Veteriner Dinas Peternakan Provinsi NTT. Pengujian serotype terhadap hasil positif Salmonella spp. menggunakan metode Multiplex Polimerase Chain Reaction (mPCR) di Balai Besar Veteriner (BBVet) Wates, Jogjakarta.

Metode Pengambilan Sampel

Terdapat 4 perusahaan pengirim telur dengan kontainer kapal laut tujuan 5 gudang penerima di Kota Kupang. Penentuan jumlah sampel pada kontainer menggunakan rumus menduga prevalensi n=4PQ/L2 dengan prevalensi (P) 50% dan tingkat kepercayaan 95% sehingga n=4x0.5(0.5)/0.062 diperoleh sebanyak 278 sampel. Berdasarkan data tahun 2013, rata-rata kontainer masuk sebanyak 30 setiap bulan maka sampel dalam 1 kontainer sejumlah 9.3 butir telur (dibulatkan 9 butir telur). Dalam 1 kontainer terdapat kemasan telur dalam eggs tray karton yang berjumlah 800 ikat. Eggs tray karton disusun dalam ikatan sebanyak 6 karton dengan isi telur setiap eggs tray karton 30 butir. Pengambilan sampel dalam 1 kontainer menggunakan metode penarikan contoh acak berlapis (stratified random sampling) dalam 3 strata. Strata pertama diambil sebanyak 9 ikatan eggs tray karton dari kontainer, strata ke-2 diambil 1 eggs tray karton dari ikatan dan strata ke-3 diambil 1 butir telur dari eggs tray karton. Masing-masing strata diambil menggunakan teknik penarikan contoh acak sederhana (simple random sampling) dengan bantuan angka acak yang diperoleh dari tabel acak, kalkulator ataupun komputer. Telur dalam satu kontainer dianggap berasal dari satu sumber yang sama sehingga 9 butir telur yang diambil dimasukkan dalam satu kantong plastik steril untuk dilakukan pengujian secara pool pada tiga parameter yaitu kerabang telur, putih telur, dan kuning telur. Kode sampel dibuat berdasar identitas pengirim dengan kode A; B; C; D, dan diambil data yang terdapat pada sertifikat sanitasi produk hewan dalam setiap kontainer.

Alat

(20)

8

Bahan

Bahan yang digunakan dalam metode cepat adalah media cepat dry culture medium plate Salmonella/Enterobacteriaceae (r-biopharm) dan larutan NaCl fisiologis 0.9%. Bahan yang digunakan dalam metode konvensional mengacu pada metode pengujian cemaran mikroba dalam daging, telur dan susu serta hasil olahannya (BSN 2008), antara lain: rappaport vassiliadis (RV), xylose lysine deoxycholate agar (XLDA), triple sugar iron agar (TSIA) dan lysine iron agar (LIA), nutrien agar (NA), buffered peptone water (BPW) 0.1%, dan isolat murni Salmonella spp. sebagai kontrol positif. Bahan yang digunakan untuk ekstraksi metode mPCR adalah QIAamp DNA mini kit (Qiagen, Cat. No. 51304) sedangkan bahan mastermix yang digunakan adalah Hotstar Taq Master Mix (Qiagen, Cat. No. 203443). Kontrol positif Salmonella spp., Salmonella Enteritidis dan Salmonella Typhimurium. Bahan elektroforesis metode PCR yang digunakan terdiri dari PCR grade water, TAE, agarose gel, ethidium bromide,blue loading dye, marker 100 base pairs (bp). Primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga pasang primer seperti pada Tabel 1.

(21)

9 0.1%. Swab-swab tersebut dipindahkan ke dalam erlenmeyer atau wadah steril berisi 45 ml BPW 0.1% kemudian diinkubasi pada suhu 35 °C selama 16-20 jam.

Sebanyak 9 sampel putih telur dipisahkan dari kuning telur secara aseptis, masing-masing ditempatkan dalam kantong plastik steril dan dihomogenkan dengan stomacher selama 1-2 menit. Masing-masing diambil 25 ml dimasukkan dalam erlenmeyer steril dan ditambahkan 225 ml larutan BPW 0.1% kemudian diinkubasi pada suhu 35 °C selama 16-20 jam.

Metode Cepat

Tahap persiapan media dengan memasukkan 1 ml NaCl (0.9%) steril dalam dry culture medium plate Salmonella/Enterobakteriaceae dan dibiarkan selama 15 menit agar terabsorbsi sempurna. Dilakukan streak menggunakan ose dari sampel prapengayaan untuk mendapatkan koloni terpisah. Inkubasi pada suhu 35-37 °C selama 24 jam dan diamati 24-40 jam, hasil positif koloni Salmonella spp. berwarna biru dan positif koloni Enterobakteriaceae berwarna magenta, purple atau indigo.

Metode Konvensional

Tahap prapengayaan dilanjutkan ke tahap pengayaan dari tiga parameter setelah inkubasi. Biak prapengayaan diaduk perlahan kemudian dipindahkan 0.1 ml ke dalam 10 ml media rappaport vassiliadis (RV) dalam tabung reaksi. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 42 °C selama 24 jam.

Isolasi dan Identifikasi dilakukan dengan cara mengambil sebanyak 1 atau 2 ose biakan bakteri dari media pengayaan yang telah diinkubasi, diinokulasikan pada media hectoen enteric agar (HEA). Selanjutnya media tersebut diinkubasi pada suhu 35 °C selama 24 jam. Pada media HEA pengamatan diarahkan pada koloni yang terlihat biru kehijauan dengan atau tanpa titik hitam.

Tahap selanjutnya mengambil koloni yang diduga Salmonella spp. dan diinokulasikan ke media triple sugar iron agar (TSIA) dan lysine iron agar (LIA). Inokulasi dilakukan dengan menusukkan jarum inokulasi ke dasar media agar dan selanjutnya digores pada bagian miring agar. Kedua media diinkubasi pada suhu 35 °C selama 24 jam. Setelah inkubasi dilakukan pengamatan koloni yang mengarah Salmonella spp. dengan terjadinya perubahan media yang khas seperti pada Tabel 2.

Tabel 2 Interpretasi hasil positif Salmonella spp. pada media TSIA dan LIA

Metode mPCR

Tahap ekstraksi DNA dari sampel biak murni Salmonella spp. mengikuti manual insert QIAamp DNA minikit. Komposisi master mix terdiri dari nuclease free water 4.5 µl, hotstar taq master mix 12.5 µl, primer OMPC-F 0.5 µl, primer OMPC-R 0.5 µl, primer ENT-F 0.5 µl, primer ENT-R 0.5 µl, primer Typh-F 0.5

(22)

10

µl, primer Typh-R 0.5 µl dan template DNA 5 µl sehingga total 25 µl dalam 1 kali reaksi. Reaksi polymerase dalam thermocycler diprogram 30 siklus, dengan tahap inisisasi denaturasi dioptimalkan pada suhu 95 °C selama 3 menit, kemudian dilanjutkan siklus denaturasi masing-masing pada suhu 95 °C selama 2 menit, anneling pada suhu 57 °C selama 2.5 menit dan elongation pada suhu 72 °C selama 2.5 menit. Final extention pada suhu 72 °C selama 5 menit. Kemudian didinginkan pada suhu 4 °C. Semua reaksi PCR divisualisasi dengan ethidium bromida pada gel agarosa melalui reaksi elektroforesis, selanjutnya divisualisasi pada UV transiluminator dan didokumentasi. Hasil elektroforesis kemudian dibaca pada ukuran 204 bp untuk Salmonella spp., 401 bp untuk Salmonella Typhimurium, dan 304 bp untuk Salmonella Enteritidis.

Analisis Data

Data yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar, dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan keberadaan Salmonella spp. pada telur ayam konsumsi. Untuk membandingkan efektivitas antara metode cepat dan metode konvensional, dilakukan dengan menggunakan bantuan tabel 2x2 untuk menduga nilai sensitivitas dan spesifisitas (Thrusfield 2005). Cara penghitungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

(23)

11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Salmonella Typhimurium pada Telur Ayam

Telah dilakukan pengambilan sampel telur ayam konsumsi dari kontainer secara aseptis di 5 gudang telur dari 4 pengirim di Kota Kupang. Penarikan contoh menggunakan teknik acak berlapis dalam 3 strata dan masing-masing strata diambil menggunakan teknik acak sederhana. Tidak ada perlakuan terhadap sampel sebelum pengujian dengan maksimal uji 3 hari setelah koleksi. Pengujian metode cepat dan metode konvensional terhadap 270 sampel telur ayam konsumsi dilakukan dalam 90 pengujian pada 3 parameteryaitu kerabang, putih dan kuning telur. Hasil pengujian metode cepat menunjukkan 2 parameter yaitu sampel kode 186C swab kerabang dan kode 222B putih telur positif diduga Salmonella spp. (Tabel 4). Pengujian metode konvensional menggunakan biakan yang diambil dari tahap prapengayaan yang sama dengan metode cepat, dilanjutkan tahap pengayaan dan selektif. Hasil positif diduga Salmonella spp. metode konvensional pada sampel 186C dan 221C swab kerabang, 222B dan 228B putih telur serta 228B kuning telur.

Tabel 4 Hasil positif diduga Salmonella spp. metode cepat dan konvensional

Pada sampel yang berasal dari kontainer dengan kode 186C dan 221C Salmonella spp. positif pada kerabang telur. Hasil positif Salmonella spp. pada kerabang telur berkaitan dengan kemampuan transmisi vertikal maupun horisontal yang dimiliki Salmonella spp.. Permukaan kerabang telur dapat terinfeksi Salmonella spp. pada saat oviposisi dimana saluran reproduksi bagian bawah ayam telah terinfeksi Salmonella spp.. Infeksi pada kerabang juga dapat berasal dari luar baik kontaminasi dari feses maupun dari lingkungan. Kontaminasi pada putih telur seperti pada kode sampel 222B berkaitan dengan kemampuan Salmonella spp. penetrasi dari kerabang ke dalam isi telur dan kemampuan bertahan Salmonella spp. dalam putih telur. Kontaminasi dalam kuning telur pada sampel 228B dapat diperoleh dari transmisi vertikal Salmonella spp. yang melakukan kolonisasi pada ovarium dan menginfeksi folikel preovulasi namun demikian karena rusaknya membran viteline maka Salmonella spp. dapat mencemari putih telur. Menurut Raghiante et al. (2010), beberapa studi melaporkan bahwa Salmonella spp. mudah melakukan penetrasi melalui kerabang dan bereplikasi di dalam telur. Faktor yang mempengaruhi diantaranya waktu yang dibutuhkan untuk penetrasi, kualitas kerabang; putih dan kuning telur, umur ayam, bentuk fisik, waktu penyimpanan, genetik dan periode penyinaran.

Hasil pengujian sampel positif diduga Salmonella spp. kemudian dilakukan pengujian metode mPCR untuk mengetahuai serotype dari Salmonella

No Kode Metode Cepat Metode Konvensional

Kerabang Putih Kuning Kerabang Putih Kuning

1 186 C (+) (-) (-) (+) (-) (-)

2 221 C (-) (-) (-) (+) (-) (-)

3 222 B (-) (+) (-) (-) (+) (-)

(24)

12

spp. tersebut. Hasil pengujian metode mPCR pada Gambar 2, menunjukkan 5 pengujian teridentifikasi Salmonella Typhimurium. Pemilihan metode ini dapat mempersingkat waktu identifikasi dan memberikan hasil dengan tingkat akurasi yang tinggi. Dalam uji screening maupun identifikasi untuk produk hewan terutama telur ayam dibutuhkan kecepatan dan keakuratan pengujian. Rata-rata telur yang dilalulintaskan sudah melampaui umur telur normal untuk dikonsumsi sehingga diperlukan keputusan yang cepat bagi petugas karantina untuk melakukan tindakan karantina berdasarkan hasil pemeriksaan kualitas dan mikroba Salmonella spp.. Penelitian yang dilakukan Park et al. (2014) metode PCR memiliki sensitivitas mencapai 92% dibanding metode konvensional 50%. Menurut Freitas et al. (2010) waktu pengujian dengan metode mPCR diperoleh hasil pengujian kurang dari 24 jam sedangkan penggunaan metode konvensional untuk hasil negatif memerlukan waktu 4 hari dan konfirmasi hasil positif memerlukan waktu mencapai 15 hari.

Gambar 2 Visualisasi elektroforesis DNA hasil polymerase. (1) marker 100 bp, (2) sampel kode 186C swab kerabang, (3) sampel kode 221C swab kerabang, (4) sampel kode 222B putih telur, (5) sampel kode 228B putih telur, (6) sampel kode 228B kuning telur, (7) kontrol positif Salmonella spp.; Salmonella Typhimurium, (8) kontrol positif Salmonella spp.; Salmonella Enteritidis, (9) kontrol negatif, (10) NTC (no template control), (a) Salmonella Typhimurium 401 bp, (b) Salmonella Enteritidis 304 bp, (c) Salmonella spp. 204 bp.

Telur merupakan hasil sekresi organ reproduksi ternak unggas yang berguna untuk meneruskan kehidupan atau perkembangbiakan. Telur juga merupakan mata rantai yang esensial dalam siklus reproduksi kehidupan hewan sehingga telur merupakan suatu sel reproduktif yang paling kompleks (Nurwantoro dan Mulyani 2003). Sistem reproduksi ayam betina terbagi 2 bagian yaitu ovarium dan oviduk. Sebagian besar ayam, ovarium dan oviduk sebelah kiri yang berkembang. Ovarium ayam betina dewasa terdiri dari folikel-folikel dengan ukuran yang berbeda dan hanya satu folikel mengalami ovulasi setiap 24-40 jam sekali (Howard et al. 2011).

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

(25)

13 Transmisi Salmonella spp. pada telur dapat melalui 2 cara yaitu transmisi vertikal dan horisontal (Gambar 3). Menurut Howard et al. (2011) Salmonella spp. dapat melakukan kolonisasi dalam saluran reproduksi ayam dengan cara menghindari respon kekebalan ayam. Salmonella spp. mampu bertahan hidup dalam sel-sel pada saluran reproduksi. Pada ovarium lebih sering ditemukan Salmonella spp. daripada di oviduk. Dalam hal ini, Salmonella spp. mampu berinteraksi dengan sel-sel folikel preovulasi. Attachment Salmonella spp. pada sel-sel granulosa folikuler dapat menginvasi dan berkembang biak dalam sel-sel ini. Salmonella spp. mudah menginvasi dan bermultiplikasi pada jaringan isthmus dan magnum. Ketika ayam petelur terinfeksi Salmonella spp. dan bakteri menyebar secara septikemia, bakteri dapat di temukan dalam sel-sel glandula tubular isthmus dan magnum. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Salmonella spp. masuk dan mengkontaminasi putih telur. Pada inokulasi Salmonella spp. intra vaginal terdapat kontaminasi yang tinggi pada kerabang. Hal ini juga menunjukkan bahwa Salmonella spp. mempunyai kemampuan besar untuk menempel pada epitelium vagina. Kemampuan invasi ini berhubungan dengan tipe lipopolisakarida. Salmonella Enteritidis tipe O9 lebih invasif daripada tipe O4 (Salmonella Typhimurium, Salmonella Heidelberg, Salmonella Agona).

(26)

14

Transmisi horisontal pada telur merupakan permulaan sebelum bakteri Salmonella spp. penetrasi ke dalam cangkang telur (Petter 2001). Pada transmisi horisontal terjadi setelah telur keluar dari tubuh ayam dan terekspos berbagai macam kontaminan termasuk feses yang mengandung bakteri Salmonella spp. (Howard et al. 2011). Setelah oviposisi telur berpotensi terpapar berbagai kontaminan dan bahan-bahan organik. Feses termasuk bahan organik yang membantu kelangsungan hidup dan pertumbuhan Salmonella spp. dengan menyediakan perlindungan dan sumber nutrisi. Kontaminasi berasal dari lingkungan dimana telur terdapat pada kotak sarang, lingkungan atau truk penetasan (Gantois et al. 2009). Kerabang telur mudah ditembus oleh bakteri dalam menit-menit pertama setelah oviposisi. Kutikula merupakan garis pertahanan pertama terhadap penetrasi bakteri pada telur. Jika kutikula mengering dan menyusut sebanding dengan umur telur, bakteri akan penetrasi melalui pori-pori kerabang (Howard et al. 2011). Kutikula merupakan protein hidrofob yang melapisi kerabang dan menutup pori-pori kerabang. Membentuk kristal pada permukaan kerabang dan membran kerabang. Kerabang dan membran kerabang selain sebagai pertahanan fisik juga sebagai pertahanan kimia. Lisozim, ovotransferrin dan ovocalixin-36 terdapat dalam membran kerabang yang berfungsi sebagai antibakteri (Gantois et al. 2009). Kualitas kulit telur seperti yang didefinisikan sebagai shell spesifik gravity, berat kerabang atau ketebalan kerabang juga diduga memiliki peran dalam penetrasi bakteri ke dalam telur. Jenis unggas dengan produksi telur tinggi dan berat telur yang lebih besar cenderung menghasilkan kualitas kerabang yang rendah sehingga menjadi rentan terhadap kontaminasi. Umur ayam adalah faktor lain yang mempengaruhi kualitas kerabang. Faktor stres seperti pemindahan dari kandang litter ke battrey serta vaksinasi juga berpengaruh terhadap kualitas kerabang (Howard et al. 2011).

(27)

15 Pengaruh Faktor-Faktor dalam Distribusi Telur terhadap

Salmonella Typhimurium

Distribusi pemasukan telur konsumsi antar area dalam kontainer merupakan rangkaian proses pascaproduksi yang perlu mendapat perhatian. Terdapat faktor-faktor dalam proses pascaproduksi yang berpengaruh dalam rantai distribusi bahan pangan telur ayam konsumsi terhadap keberadaan Salmonella spp.. Diantaranya adalah: waktu penyimpanan, temperatur, kualitas kerabang telur; putih telur dan kuning telur serta kemampuan Salmonella spp. menginfeksi telur dalam saluran reproduksi dan kemampuan bertahan dalam telur. Faktor-faktor tersebut berhubungan dengan penempatan kontainer telur dalam kapal, lama perjalanan kapal, keberadaan fasilitas pendingin, keberadaan feses dalam permukaan kerabang, adanya keretakan telur maupun pecah dalam kontainer serta kemampuan transmisi vertikal. Hubungan tersebut yang menyebabkan keberadaan Salmonella Typhimurium dalam penelitian ini terdeteksi baik pada kerabang, putih telur maupun kuning telur. Secara deskripsi hubungan ini dapat menjelaskan keberadaan Salmonella spp.. Menurut Bahri et al. (2002) faktor-faktor dalam setiap proses dapat dikelola dan dikendalikan dengan baik sehingga akan memberikan dampak positif.

Pada penyusunan dalam kapal penempatan kontainer telur diletakkan pada susunan kontainer paling atas. Penempatan ini bertujuan mempercepat proses penarikan kontainer pada saat sampai di tempat tujuan untuk dapat dilakukan proses distribusi selanjutnya. Pada posisi ini kontainer sangat mudah terpapar panas matahari selama perjalanan dan kondisi cuaca yang ekstrim sehingga berpengaruh terhadap suhu dan kelembaban ruangan kontainer. Kondisi permukaan telur kering dan atau terdapat kondensasi air yang teramati pada saat pembongkaran. Martelli dan Davies (2012) berpendapat bahwa pertumbuhan Salmonella spp. sangat cepat di dalam telur pada suhu ruang jika Salmonella spp. dapat menembus kuning telur pada suhu ruang 25 °C. Lake et al. (2004) menyatakan kelangsungan hidup Salmonella spp. pada kerabang dan membran tergantung pada suhu dan kelembaban relatif. Jumlah bakteri pada awalnya sangat kecil dan tidak mungkin tumbuh sampai pada saatnya dapat menembus membran viteline dan mencemari kuning telur. Raghiante et al. (2010) menyatakan bahwa penetrasi Salmonella spp. dipengaruhi kualitas kerabang, waktu penyimpanan dan suhu. Semakin lama waktu dan suhu yang tinggi semakin cepat penetrasi Salmonella spp. ke dalam telur.

Lama perjalanan yang terdeteksi pada sertifikat sanitasi produk hewan dari daerah asal sampai dengan kedatangan di daerah tujuan dari 30 kontainer adalah rata-rata 6.03 hari dengan waktu tercepat 4 hari dan waktu terlama 9 hari. Menurut Gross et al. (2015), rata-rata umur telur normal sampai dengan dikonsumsi pada suhu kamar adalah 7.5±1.7 hari. Umur telur merupakan faktor risiko terhadap lepasnya iron dan nutrien dari kuning telur. Martelli dan Davies (2012) menjelaskan bahwa kerusakan pada membran viteline menyebabkan nutrien masuk ke dalam putih telur dan menarik bakteri masuk ke dalam kuning telur sehingga bakteri berkembang dengan baik. Permeabilitas membran viteline ini dipengaruhi suhu di atas 10 °C.

(28)

16

pada suhu dingin, telur ayam bisa bertahan sampai 3 minggu. Suhu dingin dapat memperlambat reaksi metabolisme dan memperlambat pertumbuhan bakteri. Selain itu juga mencegah reaksi kimia dan hilangnya kadar air dari telur dibanding pada suhu kamar. Gross et al. (2015) menyatakan persyaratan pendinginan telur ditujukan untuk menjaga agar membran viteline tidak rusak. Membran kuning telur akan mengalami penurunan pada hari ke 17.2 dan 20.9 pada temperatur 20 °C dan 18 °C. Temperatur dingin dapat membatasi pertumbuhan Salmonella spp. dalam telur. Rantai pendinginan telur harus dipertahankan untuk mencegah kondensasi air pada permukaan kerabang yang meningkatkan kelangsungan hidup bakteri dan penetrasi melalui permukaan kerabang. Pendinginan hendaknya terus menerus dari peternakan dan selama transportasi. Menurut Okamura et al. (2008) temperatur penyimpanan telur merupakan faktor penting bagi perkembangan bakteri. Salmonella spp. dalam albumen dapat berkembang dari <102 CFU meningkat menjadi >108 CFU sesudah 20 hari penyimpanan pada suhu 21 °C. Penyimpanan telur pada suhu 10-20 °C dapat menghambat perkembangan Salmonella spp. selama 6 minggu. Pada suhu 4-10 °C memperlambat penuaan umur telur dan menjaga integritas membran viteline dan menghambat pertumbuhan bakteri. Penyimpanan pada suhu 30 °C jumlah bakteri meningkat mencapai >106 CFU setelah 3 minggu.

Kondisi permukaan kerabang telur bersih meskipun ditemukan juga telur dengan permukaan kerabang yang kotor oleh feses. Menurut Gantois et al. (2009), kontaminasi Salmonella spp. pada kerabang telur disebabkan feses ayam dan bahan organik pada permukaan kerabang lembab yang memberikan nutrisi untuk pertumbuhan Salmonella spp. Ketika kerabang telur terkontaminasi oleh kotoran yang mengandung Salmonella spp. dan kemudian disimpan pada suhu 25 °C, terjadi kenaikan jumlah bakteri 1-2 log hari pertama dan 4-5 log hari ketiga. Pertumbuhan tersebut menunjukkan bahwa feses dapat berfungsi sebagai nutrisi untuk Salmonella spp.. Menurut Raghiante et al. (2010) Salmonella spp. dapat bertahan hidup dan tumbuh di kerabang tanpa adanya kontaminasi feses, terutama pada suhu dan kelembaban relatif rendah. Salmonella spp. mampu bertahan dalam kondisi permukaan kerabang kering dengan menurunkan metabolisme pada suhu rendah. Howard et al. (2011) menjelaskan pada saat pertahanan fisik dan kimia telur mengalami penurunan, Salmonella spp. akan masuk ke dalam telur. Pada menit pertama setelah telur dikeluarkan dari tubuh ayam, kerabang telur sangat mudah terpapar bakteri. Ketika terjadi penurunan suhu dari 42 °C sesuai tubuh ayam, terjadi perubahan tekanan negatif pada telur segera setelah oviposisi yang memudahkan bakteri masuk melalui kerabang dan membran. Umur ayam juga berpengaruh terhadap kualitas kerabang meliputi kontaminasi kerabang dan pori-pori udara. Faktor stres juga berpengaruh terhadap kualitas kerabang telur yang berhubungan dengan masuknya bakteri ke dalam telur.

(29)

17 yang lebih besar ke dalam telur. Kekuatan kerabang dipengaruhi oleh dua faktor antara lain diet ayam terutama kalsium, fosfor, mangan dan vitamin D serta ukuran telur yang meningkat sebanding usia ayam sementara massa bahan kerabang yang menutupnya tetap sehingga telur dari ayam yang lebih tua lebih rentan terhadap invasi Salmonella spp. Hasil penelitian Raghiante et al. (2010), Salmonella spp. dapat ditemukan dalam isi telur setelah kontak dengan permukaan kerabang telur. Pada telur dengan kerabang berwarna putih dalam waktu 2 jam 16 menit dan pada telur dengan kerabang berwarna coklat dalam waktu 2 jam 44 menit.

Faktor internal infeksi Salmonella spp. dalam telur adalah kemampuan transovarian (vertikal transmisi) yang dimiliki oleh serovar Salmonella spp. tertentu untuk menginfeksi ke dalam kuning atau putih telur melalui ovarium atau oviduk (Lake et al. 2004). Transmisi melalui rute ini dimiliki oleh serovar tertentu dengan kemampuannya dalam kolonisasi pada saluran reproduksi. Kemampuan ini tergantung dari sifat genotip maupun fenotip yang mempengaruhi sifat virulensi, kemampuan dalam menghindar dari respon imun telur dan kemampuannya menetap dalam saluran reproduksi (Martelli dan Davies 2012). Penelitian yang dilakukan Pinto et al. (2009) antimikrobial putih telur efektif pada suhu 30 °C dibanding suhu dingin terhadap gram positif meskipun juga beberapa gram negatif. Pertumbuhan Salmonella spp. tidak dipengaruhi kondisi buruk pada putih telur dengan suhu 30 °C. Salmonella spp. akan mengeluarkan siderophore untuk mengatasi kekurangan iron dalam putih telur untuk metabolisme. Messen et al. (2004) menjelaskan, albumen akan terkontaminasi saat kutikula dan membran kerabang gagal untuk mencegah invasi mikroba. Di dalam albumen, mikroorganisme menghadapi rintangan lain. Lisozim, ovotransferrin, dan pH basa merupakan unsur utama untuk pertahanan. Ovotransferrin menghalangi mikroorganisme mendapatkan iron, dan mencegah multiplikasi. pH albumen segera setelah bertelur adalah ±7.4, tetapi meningkat setelah penyimpanan hingga ±9 yang berada di luar toleransi maksimal oleh banyak mikroorganisme. Pertumbuhan Salmonella spp. pada telur hanya bisa terjadi saat umur telur melebihi 21 hari pada suhu 20 °C. Kebocoran nutrisi atau beberapa faktor dari kuning telur karena perubahan dalam struktur membran kuning telur akan meniadakan sifat penghambatan albumen.

Evaluasi Metode Cepat Dry Culture Medium Plate

(30)

18

Hasil 90 pengujian terhadap 3 parameter dari 270 sampel yang dilakukan pengujian secara pool, metode cepat diperoleh hasil 2 positif Salmonella spp. dan 85 negatif, namun terdapat 3 pengujian negatif palsu (Tabel 5).

Tabel 5 Penghitungan sensitivitas dan spesifisitas metode cepat Metode Konvensional

Nilai sensitivitas dan spesifisitas metode cepat 40% dan 100%. Sensitivitas adalah proporsi telur yang positif Salmonella spp. yang memberikan hasil uji positif, sedangkan spesifisitas adalah proporsi telur yang tidak tercemar Salmonella spp. yang memberikan hasil uji negatif. Proporsi predictive positif 100% dan predictive negatif 96.6%. Proporsi predictive positif adalah proporsi positif uji yang benar-benar terinfeksi Salmonella spp.. Proporsi predictive negatif adalah proporsi dari negatif uji yang benar-benar tidak terinfeksi Salmonella spp.. Tingkat akurasi metode cepat 98.9%, akurasi merupakan proporsi telur yang status infeksi Salmonella spp. teridentifikasi secara tepat oleh uji.

Sensitivitas dan spesifisitas adalah tingkat validitas yang digunakan untuk mengukur kemampuan suatu uji diagnostik dalam mendiagnosa suatu penyakit. Sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dari suatu uji diagnostik menunjukkan tingkat validitas yang tinggi dari suatu uji. Uji diagnostik laboratorium yang memiliki tingkat validitas yang tinggi sangat bermanfaat untuk mendeteksi atau mendiagnosa suatu penyakit dengan nilai keakuratan hasil uji yang tinggi dengan tingkat negatif dan positif palsu dari hasil uji yang rendah (Morton dan Hebel 1984). Sensitivitas metode pengujian sangat diperlukan untuk mengidentifikasi jumlah yang tinggi dari suatu penyakit dan uji yang dapat menghasilkan beberapa negatif palsu (Timmreck 2004). Uji laboratorium yang memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi juga dapat mempengaruhi kecepatan dalam menentukan suatu kebijakan terhadap masuknya suatu penyakit pada suatu wilayah tertentu (AusVet 2008).

Metode cepat deteksi Salmonella spp. untuk mengidentifikasi sumber kontaminasi sangat penting dalam penanganan keadaan darurat. Perkembangan metode pengujian dapat mempersingkat waktu analisis dengan tetap menjaga atau meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas deteksi Salmonella spp. Meskipun terdapat kemajuan signifikan dalam pengembangan berbagai tes untuk mendeteksi dan mengendalikan Salmonella spp., penggunaannya memiliki keterbatasan karena beberapa alasan. Antara lain alat tes belum dipilih dengan benar terhadap matriks sampel yang akan diuji serta metode persiapan sampel belum optimal. Penentuan batas deteksi metode belum akurat dipertimbangkan dalam mengevaluasi hasil tes. Alasan lain mungkin perbedaan waktu pengayaan. Keterbatasan ini diyakini mempengaruhi akurasi tes dan selanjutnya menimbulkan kesalahan dalam penilaian keamanan pangan (Lee et al. 2015).

(31)

19 Salmonella spp. metode cepat dan konvensional berbeda prosedur inokulasi dari tahap pengayaannya. Pada inokulasi metode cepat, biakan bakteri berasal dari prapengayaan non selektif media BPW. Dalam tahap ini semua bakteri mengalami pemulihan dalam kondisi buffer dari keadaan sublethal dan belum multiplikasi. Menurut Taskila et al. (2012), BPW mengandung natrium klorida untuk menjaga keseimbangan osmotik dan fosfat serta menjaga kapasitas buffer dalam pemulihan maksimal sel bakteri. Lee et al. (2015) berpendapat bahwa Salmonella spp. merupakan bakteri tunggal yang dapat dengan cepat berlipat ganda menjadi lebih dari satu juta dalam beberapa jam, metode pengujian harus mampu menumbuhkan konsentrasi organisme target yang sangat rendah dari sampel.

Inokulasi metode konvensional pada media HEA, biak inokulasi diambil dari pengayaan RV yang telah terjadi seleksi terhadap Salmonella spp., pemulihan dari keadaan sublethal dan mengalami multiplikasi. Pada kondisi Enterobacteriaceae dominan akibat kompetisi dalam prapengayaan, koloni Salmonella spp. tidak dapat terdeteksi jelas pada metode cepat. Hal ini akan menimbulkan dugaan negatif terhadap Salmonella spp. atau negatif palsu dibanding metode konvensional. Menurut Lee et al. (2015), RV digunakan sebagai standar resmi media pengayaan yang telah dimodifikasi untuk meningkatkan pertumbuhan Salmonella spp. dan menekan bakteri lain, sehingga meningkatkan sensitivitas dan selektifitas.

Aspek Keamanan Pangan

(32)

20

Program dan peraturan pengendalian patogen unggas telah diterapkan dengan berbagai tingkatan di seluruh dunia. Uni Eropa (termasuk Inggris) telah mewajibkan pengujian Salmonella spp. pada peternakan, kewajian melapor jika ditemukan Salmonella spp., depopulasi ayam jika dikonfirmasi terinfeksi Salmonella Enteritidis dan Salmonella Typhimurium, serta aplikasi vaksin pada ayam. Amerika Serikat telah menerapkan wajib sampel pada pabrik pengolahan. Pendekatan berbasis hazard analysis and critical control point (HACCP) untuk mengendalikan Salmonella spp. pada tahap pengolahan, frekuensi pengambilan sampel tergantung pada hasil sebelumnya dan hasilnya dipublikasi pada situs web setiap 3 bulan. Selandia Baru melakukan pengambilan sampel untuk deteksi Salmonella spp. dan Campylobacter setelah pengolahan, kewajiban melapor jika teridentifikasi cemaran tersebut termasuk target mikrobiologi lain, pendekatan berbasis HACCP dalam proses pengolahan, melakukan pengendalian pada pakan unggas dan penggunaan vaksin Salmonella spp. untuk unggas. Australia juga memiliki sistem keamanan pangan HACCP. Pemberlakuan standar dalam produksi dan pengolahan daging unggas. Pengujian di pabrik pengolahan ditujukan untuk mendeteksi potensi adanya patogen, namun belum mengatur kewajiban melaporkan hasilnya. Di Australia Selatan mensyaratkan produksi telur yang aman termasuk peningkatan ketertelusuran telur yang dijual secara eceran dan pembatasan penjualan terhadap telur yang retak (Fearnley et al. 2011).

Salmonella spp. sering ditemukan sebagai agen penyebab penyakit di Indonesia, namun serotyping belum pernah dilakukan untuk mengkonfirmasi penyebab wabah salmonelosis. Sementara data kejadian penyakit foodbone yang dilaporkan menunjukkan rendahnya jumlah kasus (Hariyadi dan Dewanti 2010). Fardiaz (1996) berpendapat bahwa masalah utama mutu dan keamanan pangan nasional antara lain: produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu diantaranya cemaran mikroba. Banyaknya kasus keracunan makanan yang belum dilaporkan dan belum diidentifikasi penyebabnya. Masih rendahnya pengetahuan, keterampilan, dan tanggung jawab produsen pangan tentang mutu dan keamanan pangan. Rendahnya kepedulian konsumen terhadap mutu dan keamanan pangan yang berkaitan dengan keterbatasan pengetahuan dan rendahnya kemampuan daya beli.

Dalam distribusi telur dan kemungkinan keberadaan agen patogen Salmonella spp. diperlukan program manajemen pengendalian Salmonella spp.. Manajemen dimulai dari peternakan meliputi akuisisi/sertifikasi day old chicks (DOC) bebas Salmonella spp., pengendalian hama termasuk vektor yang menyebarkan Salmonella spp., kontrol lalulintas di peternakan, sanitasi dan desinfeksi serta pengujian Salmonella spp. secara rutin. Penanganan proses pascaproduksi yang meliputi proses penyimpanan, distribusi, pengecer dan konsumen. Gustiani (2009) berpendapat bahwa perlunya penerapan sistem keamanan pangan sebagai upaya pengendalian cemaran mikroba pada setiap proses produksi dan pascaproduksi melalui good farming practices (GFP), good handling practices (GHP), good manufacture practices (GMP), dan good distribution practices (GDP).

(33)

21 Salmonella spp.. Pengamatan yang dilakukan terhadap umur telur dan ketiadaan sarana pendingin dalam distribusi antar area berpengaruh terhadap kualitas telur dan perkembangan mikroorganisme. Kualitas telur merupakan jaminan kelayakan konsumsi telur selain keterkaitannya terhadap perkembangan patogen Salmonella spp.. Menurut Braden (2006), sebagai upaya dalam pengendalian dan penanganan infeksi Salmonella spp. dalam telur ayam konsumsi untuk mencegah kontaminasi cemaran Salmonella spp., selain program manajemen di peternakan diperlukan juga pendinginan cepat dan berkelanjutan telur dari peternakan ke konsumen.

Upaya pencegahan kontaminasi Salmonella spp. pada telur sebelum sampai pada konsumen diperlukan pengujian yang tepat dan akurat. Pemeriksaan fisik telur dan pengujian laboratorium terhadap keberadaan Salmonella spp. pada telur ayam dalam distribusi antar pulau hendaknya dilakukan di tempat pemasukan dan pengeluaran. Hal ini perlu dilakukan sebagai implementasi terhadap keamanan pangan. Konsekuensi terhadap satuan populasi yang dinyatakan positif Salmonella spp. harus disikapi bersama antara pemerintah dan pelaku pasar dan tindakan tegas yang harus diambil agar tidak mengakibatkan kejadian penyakit di masyarakat. Diperlukan persiapan diantaranya sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang pengujian Salmonella spp., alat kelengkapan pengujian seperti laboratorium yang memadai dan perangkat uji yang baik. Menurut Oliveira et al. (2002) pengujian Salmonella spp. bisa dilakukan kombinasi uji antara metode cepat dan konvensional dalam upaya peneguhan sensitivitas dan spesifisitas uji.

Pengujian cepat merupakan titik kritis dalam mendeteksi dan mengendalikan keamanan pangan. Untuk mendapatkan biak Salmonella spp. dari sampel diperlukan tahap pengayaan. Biak hasil pengayaan dapat diaplikasikan pada metode cepat dry culture medium plate ataupun selektif untuk metode mPCR. Dalam metode penelitian ini aplikasi metode cepat menggunakan biak sampel pada tahap prapengayaan sehingga belum mendapatkan hasil yang maksimal. Penambahan tahap pengayaan untuk metode cepat akan memberikan hasil yang lebih baik. Untuk mengetahui serotype Salmonella spp. dilakukan dengan menggunakan metode mPCR. Penggunaan tahap pengayaan dan selektif untuk metode mPCR memberikan hasil maksimal dengan teridentifikasinya serotype Salmonella Typhimurium. Hal ini juga telah dibuktikan oleh Gwida dan Ashmawi (2014) dan menyatakan bahwa penggunaan pengayaan dalam metode deteksi Salmonella spp. akan lebih efisien dan hasilnya dapat dipercaya dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.

(34)

22

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dari 270 sampel telur ayam yang dilakukan pengujian, diperoleh 5 pengujian metode konvensional positif Salmonella spp. dan 2 pengujian metode cepat positif Salmonella spp.. Pengujian metode mPCR terhadap 5 positif Salmonella spp. menunjukkan Salmonella Typhimurium. Tingkat sensitivitas uji metode cepat dry culture medium plate rendah dibanding metode konvensional.

Saran

Penggunaan metode cepat dry culture medium plate untuk pengujian Salmonella spp. dilakukan setelah tahap pengayaan. Perlu dilakukan evaluasi terhadap pengiriman telur ayam konsumsi antar pulau.

DAFTAR PUSTAKA

Ariyanti T, Supar. 2005. Peranan Salmonella Enteritidis pada ayam dan produknya. Wartazoa. 15(2):57-65.

AusVet. 2008. Livestock Disease Management Essentials. Surveylance. Sanitary and Phytosanitary Capacity Building Program. Brisbane (AU): Dep of Agric.

Bahri S. 2002. Beberapa aspek keamanan pangan asal ternak di Indonesia. Pengemb Inov Pert. 1(3):225-242.

Bahri S, Indraningsih, Widiastuti R, Murdiati TB, Maryam R. 2002. Keamanan pangan asal ternak: suatu tuntutan di era perdagangan bebas. Wartazoa. 12(2):47-64.

[BAM] Bacteriological Analytical Manual. 2006. Salmonella. Center for Food Safety and Applied Nutrition. 8th Ed. (US): Food and Drug Administration. Bell C, Kyriakides A. 2003. Salmonella. Di dalam: Blackburn C, McClure PJ, editor. Foodborne Pathogens (Hazard, Risk, Analysis and Control). Cambridge (GB): Woodhead Pub.

[BKPK I] Balai Karantina Pertanian Kelas I Kupang. 2013. Laporan Tahunan BKP Kelas I Kupang Tahun 2013. Kupang (ID). BKPK I Kupang.

Braden CR. 2006. Salmonella Enteritidis and eggs: a national epidemic in the United States. J Food Safety. 43:512-517.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2008. SNI 2897. Metode Pengujian Cemaran Mikroba dalam Daging, Telur dan Susu serta Hasil Olahannya. Jakarta (ID). Badan Standardisasi Nasional.

(35)

23 Burgess GW. 1995. Teknologi ELISA dalam Diagnosa dan Penelitian. Artama WT, penerjemah; Cook J, editor. Jogjakarta (ID): Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: ELISA Technology in Diagnosis and Research.

[CDC] Center for Disease Control and Prevention’s. 2010. Multistate Out Break

of Human Salmonella Enteritidis Infections Associated with Shell Eggs (Final Update). [internet]. [diunduh 2015 Jan 19]. Tersedia pada http://www.cdc.gov/salmonella/enteritidis/

[CDC] Center for Disease Control and Prevention’s. 2011. National Enteric Disease Surveylance: Salmonella Surveylance overview. [Internet],

[diunduh 2015 Jan 19], Tersedia pada

http://www.cdc.gov/nationalsurveillance/PDFs/NationalSalmSurveillOverv iew_508.pdf

Cox J. 2000. Salmonella (Introduction). Di dalam: Robinson RK, Batt CA and Patel PD, editor. Encyclopedia of Food Microbiology. (3). San Diego (US): Acad Pr.

Doyle MP, Cliver DO. 1990. Salmonella. Di dalam: Cliver DO, editor. Foodborne Diseases. San Diego (US): Acad Pr. 185-204.

Fardiaz S. 1996. Food Control Policy. WHO National Consultant Report. Ministry of Health. Jakarta (ID): Dir Gener of Drug and Food Contr.

Fearnley E, Raupach J, Lagala F, Cameron S. 2011. Salmonella in chicken meat, eggs and humans; Adelaide, South Australia, 2008. Inter J of Food Microbiol. 146:219-227.

Freitas CGD, Santana AP, Silva PHCD, Goncalves VSP, Barros MDAF, Torres FAG, Murata LS, Perecmanis S. 2010. PCR multiplex for detection of Salmonella Enteritidis, Typhi and Typhimurium and occurrence in poultry meat. Inter J of Food Microbiol. 139:15-22.

Gantois I, Ducatelle R, Pasmans F, Haesebrouck F, Gast R, Humphrey TJ, Van Immerseel F. 2009. Mechanisms of egg contamination by Salmonella Enteritidis. FEMS Microbiol Rev. 33(4):718-738.

Gross S, Johne A, Adolphs J, Schlichting D, Stingl K, Graf CM, Braunig J, Greiner M, Appel B, Kasbohrer A. 2015. Samonella in table eggs from farm to retail-when is cooling required. J Food Contr. 47:254-263.

Gustiani E. 2009. Pengendalian cemaran mikroba pada bahan pangan asal ternak (daging dan susu) mulai dari peternakan sampai dihidangkan. J Litbang Pertan. 28(3):96-100.

Gwida MM, Ashmawi MAMA. 2014. Culture versus PCR for Salmonella species identification in some dairy products and dairy handlers with special concern to its zoonotic importance. Vet Med Intern. 2014:1-5.

Hardianto, Suarjana IGK, Rudyanto MD. 2012. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap kualitas telur ayam kampung ditinjau dari angka lempeng total bakteri. Indones Medicus Veterinus. 1(1):71-84.

Hariyadi P, Dewanti R. 2010. The Need Communicating Food Safety in Indonesia. [Internet], tanggal [2014 Nov 21], Tersedia pada http://seafast.ipb.ac.id/article/the-need-of-comunicating.pdf.

(36)

24

Hong YT, Liu, Hofacre C, Maier M, White DG, Ayers S, Wang L, Maurer JJ. 2003. A restriction fragment length polymorphism-based polymerase chain reaction as an alternative to serotyping for identifying Salmonella serotypes. Avian Dis. 47:387-398.

Howard ZR, O’Bryan CA, Crandal PG, Ricke SC. 2011. Salmonella Enteritidis In

shell eggs: current issues and prospects for control. J Food Research Inter. 45:755-764.

Jordan F, Pattison M, Alexander D, Faragher T. 2001. Poultry Diseases. London (GB): WB Saunders.

[Kepmentan] Keputusan Menteri Pertanian. 2013. Kepmentan No 4971. Penetapan Zoonosis Prioritas. [diunduh 2014 Desember 1]. Tersedia pada: https://www.google.co.id/#q=Kepmentan+4971+tahun+2013

Khoiriyah A, Triyana, Ngatini. 2013. Bahaya Salmonella bagi kesehatan. Bul Lab Vet (Velabo). 30(2):9-17.

Kusumaningsih A. 2012. Faktor pemicu kasus foodborne disease asal ternak. Wartazoa. 22(3):107-112.

Lake R, Hudson A, Cressey P, Gilbert S. 2004. Risk profile: Salmonella (Non Typhoidal) in and on eggs. Christchurch (NZ): Inst of Environt Science and Res.

Lee KM, Runyon M, Herman TJ, Philips R, Hsieh J. 2015. Review of Salmonella detection and identification methods: aspect of rapid emergency response and food safety. J Food Contr. 47:264-276.

Mario P, Defigueiredo, Splittstoesser DF. 1976. Food Microbiology: Public Health and Spoilage Aspects. Connecticut (US): AVI Pub.

Martelli F, Davies RH. 2012. Salmonella serovars isolated from table eggs: an overview. J Food Res Intern. 45:745-754.

Messen W, Duboccage L, Grijspeerdt K, Heyndrickx M, Herman L. 2004. Growth of Salmonella serovars in hens’ egg albumen as affected by storage prior to inoculation. Food Microbiol. 21:25-32.

Morton RF, Hebel JR. 1984. A Study Guide to Epidemiology and Biostatistics. 2nd Ed. Rockville (US): Aspen Pub.

Okamura M, Kikuchi S, Suzuki A, Tachizaki H, Takehara A, Nakamura M. 2008. Effect of fixed or changing temperatures during prolonged storage on the growth of Salmonella enterica serovar Enteritidis inoculated artificially into shell eggs. J Epidemiol Infect. 136:1210-1216.

Oliveira SD, Santos LR, Schuch DMT, Siva AB, Salle CTP, Canal CW. 2002. Detection and identification of Salmonella from poultry-related samples by PCR. Vet Microbiol. 87:25-35.

(37)

25 Petter JG. 2001. The chicken, the egg and Salmonella Enteritidis. Environ

Microbiol. 3(7):421-430.

Pinto AT, Mendonҫa AD, Silva EN. 2009. Isolated for associated experimental

contamination of albumen and egg yolk for Salmonella Enteritidis and Escherichia colli – influence of temperature and storage time. Arg Bras Med Vet Zootec. 61(1):128-134.

Poeloengan M, Komala I, Noor SM. 2006. Bahaya Salmonella Terhadap Kesehatan. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. Bogor (ID): Balitvet. [diunduh 2014

Pebruari 21]. Tersedia pada :

http://peternakan.litbang.deptan.go.id/fullteks/lokakarya/lkzo05-34.pdf Raffatellu M, Wilson RP, Winter SE, Baumler AJ. 2008. Clinical pathogenesis of

typhoid fever. J Infect Developing Countries. 2(4):260-266.

Raghiante F, Rocha TS, Rossi DA, Silva PL. 2010. Penetration time of Salmonella Heidelberg through shells of white and brown commercial eggs. Braz J of Poultry Science. 12(4):273-277.

Ray B. 2001. Fundamental Food Microbiology. 2nd Ed. Washington DC (US): CRC Pr.

Salman M. 2008. Properties of screening and diagnostic tests and issue related to gold standard. Bahan kuliah umum. Bogor (ID): Sekolah Pasca Sarjana IPB.

Salo PB, Anyogu A, Varman AH, Sutherland JP. 2012. Survival of inoculated Salmonella on the shell of hens’ eggs and its potential significance. Food Control. 28:463-469.

Selimovic BM, Babic T, Stojanovic P. 2010. Salmonella Enteritidis - Actualities and Importance. J Acta Med Medianae. 49(3):71-75.

Singh S, Yadav AS, Singh SM, Bharti P. 2010. Prevalensi of Salmonella in chicken eggs collected from poultry farms and marketing channel and their antimicrobial resistensi. J Food Res Intern. 43:2027-2030.

Su LH, Chiu CH. 2007. Salmonella: clinical importance and evolution of nomenclature. Chang Gung Med J. 30(3):210-219.

Susan WM, Hendriksen, Orsel K, Wagenaar JA, Miko A, Duijkeren EV. 2004. Animal-to-human transmission of Salmonella Typhimurium DT104A variant. Emerg Infect Dis. 10(12):2225-2227.

Taskila S, Tuomola M, Ojamo H. 2012. Enrichment cultivation in detection of food-borne Salmonella. J Food Contr. 26:369-377.

Thrusfield M. 2005. Veterinary Epidemiology. Ed-3. London (UK): Blackwell. Timmreck TC. 2004. Epidemiologi. Suatu Pengantar. Fauziah M, Apriningsih,

Widyastuti P, Sugiarti M, Ratnawati, penerjemah; Widyastuti P, editor. Jakarta (ID): Penerbit buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: An introduction to Epidemiology. Ed ke-2.

[UURI] Undang-Undang Republik Indonesia. 2012. UU No 18. Pangan. [diunduh

2014 November 21]. Tersedia pada:

http://codexindonesia.bsn.go.id/uploads/download/UU_Pangan_No.18__.p df

(38)

26

Gambar

Tabel 2 Interpretasi hasil positif Salmonella spp. pada media TSIA dan LIA
Tabel 3 Tabel 2x2 untuk pengujian diagnosis
Tabel 4 Hasil positif diduga Salmonella spp. metode cepat dan konvensional
Gambar 3 Transmisi Salmonella spp. (a) Salmonella spp. tertelan oleh ayam melalui pakan ataupun minum dan melakukan kolonisasi di saluran reproduksi, menyebar secara sistemik dan menginfeksi secara vertikal, (b) penetrasi Salmonella spp

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian Wijayani (2011) mengenai pergantian manajemen, opini audit, financial distress , presentase perubahan ROA, ukuran KAP, ukuran klien pada auditor switching

Setelah inialisasi dilakukan ada proses cek modem GSM, apabila ada SMS untuk membuka pintu, maka solenoid akan aktif dan pintu akan terbuka serta modem GSM

Employees, retirees, customers and partners work together with Henkel and the Fritz Henkel Stiftung foundation to support social projects around the world. In 1998, Henkel was one

Menteri Pertanian Suswono berkata, ”Saya harap ada diversifikasi dalam pembiayaan untuk tanaman pangan, karena kebun kelapa sawit yang ada sekarang lebih dari 9 juta

• Asesmen terfokus Asesmen terfokus --kasus medis: dilakukan pada pasien yang sadar, memiliki orientasi baik, kasus medis: dilakukan pada pasien yang sadar, memiliki

1) Jenis ras, setiap ras mempunyai pengaruh terhadap perilaku yang spesifik, saling berbeda satu sama yang lainnya. 2) Jenis kelamin, perilaku pria atas dasar pertimbangan

Hasil analisis bivariat dengan uji korelasi menunjukkan bahwa ada hubungan antara status gizi menurut IMT/U, persen lemak tubuh, aktivitas fisik, asupan zat besi, dan

The research result was recorded Nepenthes or pitcher plants found growing in Region Hulu Air Lempur Kecamatan Gunung Raya Kerinci that is Nepenthes ampullaria